Sebagai materi cerita, kisah bidan Rosalina Delin dari Belu, NTT, layak diangkat ke layar lebar. Sebagai bidan, Rosalina menemukan realitas kehidupan yang berawal dari tradisi. Dia melihat bahwa di rumah ibu yang baru melahirkan, ada upacara panggang api selama 40 hari. Api dinyalakan di dalam rumah untuk menimbulkan asap pengap. Tentu saja tradisi itu bertentangan dengan nilai kesehatan. Untuk menjelaskan bahwa panggang api bukan cara sehat, diperlihatkan ikan, yang banyak terdapat di daerah itu, yang diasap. Kulit ikan mengelupas, dan tubuhnya menjadi kering. Pendekatan budaya itu bisa menyadarkan masyarakat setempat. Tak berbeda jauh dengan bidan Sri Ariati dari Majene, Sulbar, yang menemukan "upacara" bagi ibu yang baru melahirkan, yakni membuang air dan mengambil air sungai dalam bejana tertentu. Pastilah berat dan berliku "upacara" yang ibu itu tempuh. Ada juga bidan Meiriyastuti dari Tebo, Jambi. Dia menemukan bahwa para ibu sehabis melahirkan dilarang makan sayur dan ikan. Untuk menyampaikan pesan yang tidak pas, bidan Mei menjadi pasien pijat di kampungnya. Dalam suasana pijat itulah komunikasi, dan persuasi, terjadi. Dinamika budaya seperti itu sangat menarik, sekaligus unik, karena menyangkut kearifan lokal, local genius, yang menjawab dan menyelesaikan masalah setempat secara damai dan bermanfaat. Sulit membayangkan bagi yang berdiam di kota besar bahwa masih ada tradisi-yang pastilah memiliki relevansi dan manfaat pada zamannya-seperti itu, dan masih berlaku. Ketiga bidan yang menekuk garis tradisi itu-dari sembilan bidan dari berbagai daerah, dari berbagai bidangmenerima Srikandi Award 2011. Kesembilan bidan teladan itu sungguh inspiratif, mampu memberikan lebih dari sekadar profesi mengawal kelahiran bayi, kelahiran kehidupan baru. Saya memilih tema kehidupan ini dibandingkan minggu ini yang dipenuhi rasa miris akan kematian sembilan pejalan kaki yang dilalap pengendara narkoba, atau penghancuran kehidupan bertetangga ketika dua dusun
saling serang atau membakar rumah.
Bidan adalah profesi yang paling awal mengawal kehidupan. Barangkali saja, kalau waktu lahir bayi sudah bisa melihat, wajah bidan yang pertama kali terpotret dalam ingatannya sebelum wajah ibunya. Bukan barangkali kalau para presiden kita dulu juga lahir dari para bidan-baik disebut dukun bayi, paraji, atau istilah yang lain. Dalam cakupan lebih luas, profesi bidan itu mulia dan pantas dimuliakan-sebagaimana guru, sebagaimana perawat yang anehnya di negeri ini jauh dari penghargaan dan perhatian. Peran mereka sungguh indah, apalagi kalau dikaitkan dengan wilayah geografis yang demikian lebar, terutama ketika bicara tentang lebih banyak daerah terpencil yang kadang didatangi sepeda pun susah. Harus jalan kaki, keadaan yang tak berubah sejak diciptakan. Ini tidak melebihlebihkan. Saya pernah diundang ke pertemuan para bidan di Palembang. Pesertanya dari desa-desa yang memerlukan delapan sampai sepuluh jam untuk mendatangi. Apalagi, tentunya, kalau misalnya itu terjadi wilayah Indonesia Timur, bisa dibayangkan mereka yang menginap di perjalanan karena berada di titik pulau-pulau yang tak terpetakan dalam benak kita. Saya merasa bahagia bisa bertemu para bidan itu, dan ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasanya yang belum bisa terucapkan saat saya lahir. Saya merasakan keperkasaan Srikandi dalam arti yang lebih dari tokoh perempuan dalam wayang yang pandai memanah dan menang dalam perang, melainkan juga tokoh Kunthi, perempuan yang membesarkan anak orang lain selain anak kandungnya. Saya melihat film layar lebar yang sesungguhnya dalam wajah, dalam senyuman, para bidan yang mengagumkan ini, yang bahkan namanya lupa kita tanyakan ketika kita dilahirkan. Terima kasih Srikandi, terimalah penghargaan ini, sebagai tanda bahwa kami tak sepenuhnya melupakanmu.
Ketika mata membuka tabir hati
Ketika jiwa terbisik raga Dan seketika itu pula langkah ini dimulai Dalam Pengabdian hati Pengabdian Ilmu Pengabdian mega mega Yang terbaring dalam Pengabdian berbatas senja
Dan ku lihat fatamorgana menghampiri jejak ini
Seakan gurun pun ikut menjelma dalam langkah
Tabir cahaya mulai nampak
mengikis sukma bergejelaga manis Tak luput rona pancaran sendu menghitam putih
Hai cakrawala senja apa kabar mu kini
Aku disini ingin menghias mega indah mu Membawa setumpuk harapan Membawa setetes peluh Membawa secarik kertas pelipur lara Membawa ilmu yang kupunya Membawa keikhlasan yang ku yakin benar seutuhnya
Cukup hanya ingin melihat mega mu tetap tersenyum
Dalam putih nya embun pagi mu Tak kurang ingin memberimu damai selalu Dalam pancaran sinar yang tak akan pudar
Dalam begitu sehat nya tawa indah mu
Dalam begitu sehat nya langkah tegap mu Dalam begitu sehat nya masyarakat naungan mu
Dan dengan Ilmu yang ku punya
Dengan segala keterbatasan yang ku punya Aku hanya ingin ikhlas dalam Pengabdian ini
Tidak lebih,..tidak kurang hanya sebuah pengabdian
Yang ku yakin Tuhan melihat semuanya Dengan Ridho Semesta Nya
Walaupun peluh yang kurasa
Semua tertutup dengan canda tawa mu Wahai senja dan mega-mega Ku ingin selalu menghias rona indah mu Dalam kesehatan di langkah tegap mu