You are on page 1of 4

Dibaca : 13

Sembilan Bidan Kehidupan

KORAN JAKARTA/GANJAR DEWA


Sebagai materi cerita, kisah bidan Rosalina Delin dari Belu, NTT, layak diangkat ke layar
lebar. Sebagai bidan, Rosalina menemukan realitas kehidupan yang berawal dari tradisi.
Dia melihat bahwa di rumah ibu yang baru melahirkan, ada upacara panggang api selama 40
hari. Api dinyalakan di dalam rumah untuk menimbulkan asap pengap. Tentu saja tradisi itu
bertentangan dengan nilai kesehatan.
Untuk menjelaskan bahwa panggang api bukan cara sehat, diperlihatkan ikan, yang banyak
terdapat di daerah itu, yang diasap. Kulit ikan mengelupas, dan tubuhnya menjadi kering.
Pendekatan budaya itu bisa menyadarkan masyarakat setempat.
Tak berbeda jauh dengan bidan Sri Ariati dari Majene, Sulbar, yang menemukan "upacara"
bagi ibu yang baru melahirkan, yakni membuang air dan mengambil air sungai dalam bejana
tertentu. Pastilah berat dan berliku "upacara" yang ibu itu tempuh.
Ada juga bidan Meiriyastuti dari Tebo, Jambi. Dia menemukan bahwa para ibu sehabis
melahirkan dilarang makan sayur dan ikan. Untuk menyampaikan pesan yang tidak pas, bidan
Mei menjadi pasien pijat di kampungnya.
Dalam suasana pijat itulah komunikasi, dan persuasi, terjadi. Dinamika budaya seperti itu
sangat menarik, sekaligus unik, karena menyangkut kearifan lokal, local genius, yang
menjawab dan menyelesaikan masalah setempat secara damai dan bermanfaat.
Sulit membayangkan bagi yang berdiam di kota besar bahwa masih ada tradisi-yang pastilah
memiliki relevansi dan manfaat pada zamannya-seperti itu, dan masih berlaku. Ketiga bidan
yang menekuk garis tradisi itu-dari sembilan bidan dari berbagai daerah, dari berbagai bidangmenerima Srikandi Award 2011.
Kesembilan bidan teladan itu sungguh inspiratif, mampu memberikan lebih dari sekadar
profesi mengawal kelahiran bayi, kelahiran kehidupan baru. Saya memilih tema kehidupan ini
dibandingkan minggu ini yang dipenuhi rasa miris akan kematian sembilan pejalan kaki yang
dilalap pengendara narkoba, atau penghancuran kehidupan bertetangga ketika dua dusun

saling serang atau membakar rumah.


Bidan adalah profesi yang paling awal mengawal kehidupan. Barangkali saja, kalau waktu
lahir bayi sudah bisa melihat, wajah bidan yang pertama kali terpotret dalam ingatannya
sebelum wajah ibunya. Bukan barangkali kalau para presiden kita dulu juga lahir dari para
bidan-baik disebut dukun bayi, paraji, atau istilah yang lain.
Dalam cakupan lebih luas, profesi bidan itu mulia dan pantas dimuliakan-sebagaimana guru,
sebagaimana perawat yang anehnya di negeri ini jauh dari penghargaan dan perhatian. Peran
mereka sungguh indah, apalagi kalau dikaitkan dengan wilayah geografis yang demikian
lebar, terutama ketika bicara tentang lebih banyak daerah terpencil yang kadang didatangi
sepeda pun susah.
Harus jalan kaki, keadaan yang tak berubah sejak diciptakan. Ini tidak melebihlebihkan. Saya
pernah diundang ke pertemuan para bidan di Palembang. Pesertanya dari desa-desa yang
memerlukan delapan sampai sepuluh jam untuk mendatangi.
Apalagi, tentunya, kalau misalnya itu terjadi wilayah Indonesia Timur, bisa dibayangkan
mereka yang menginap di perjalanan karena berada di titik pulau-pulau yang tak terpetakan
dalam benak kita. Saya merasa bahagia bisa bertemu para bidan itu, dan ingin mengucapkan
terima kasih atas jasa-jasanya yang belum bisa terucapkan saat saya lahir.
Saya merasakan keperkasaan Srikandi dalam arti yang lebih dari tokoh perempuan dalam
wayang yang pandai memanah dan menang dalam perang, melainkan juga tokoh Kunthi,
perempuan yang membesarkan anak orang lain selain anak kandungnya.
Saya melihat film layar lebar yang sesungguhnya dalam wajah, dalam senyuman, para bidan
yang mengagumkan ini, yang bahkan namanya lupa kita tanyakan ketika kita dilahirkan.
Terima kasih Srikandi, terimalah penghargaan ini, sebagai tanda bahwa kami tak sepenuhnya
melupakanmu.

Ketika mata membuka tabir hati


Ketika jiwa terbisik raga
Dan seketika itu pula langkah ini dimulai
Dalam Pengabdian hati
Pengabdian Ilmu
Pengabdian mega mega
Yang terbaring dalam Pengabdian berbatas senja

Dan ku lihat fatamorgana menghampiri jejak ini


Seakan gurun pun ikut menjelma dalam langkah

Tabir cahaya mulai nampak


mengikis sukma bergejelaga manis
Tak luput rona pancaran sendu menghitam putih

Hai cakrawala senja apa kabar mu kini


Aku disini ingin menghias mega indah mu
Membawa setumpuk harapan
Membawa setetes peluh
Membawa secarik kertas pelipur lara
Membawa ilmu yang kupunya
Membawa keikhlasan yang ku yakin benar seutuhnya

Cukup hanya ingin melihat mega mu tetap tersenyum


Dalam putih nya embun pagi mu
Tak kurang ingin memberimu damai selalu
Dalam pancaran sinar yang tak akan pudar

Dalam begitu sehat nya tawa indah mu


Dalam begitu sehat nya langkah tegap mu
Dalam begitu sehat nya masyarakat naungan mu

Dan dengan Ilmu yang ku punya


Dengan segala keterbatasan yang ku punya
Aku hanya ingin ikhlas dalam Pengabdian ini

Tidak lebih,..tidak kurang hanya sebuah pengabdian


Yang ku yakin Tuhan melihat semuanya
Dengan Ridho Semesta Nya

Walaupun peluh yang kurasa


Semua tertutup dengan canda tawa mu
Wahai senja dan mega-mega
Ku ingin selalu menghias rona indah mu
Dalam kesehatan di langkah tegap mu

You might also like