You are on page 1of 8

J. Sains MIPA, Desember 2011, Vol. 17, No. 3, Hal.

: 99 - 106
ISSN 1978-1873

SELEKSI LOKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA DALAM KERAMBA JARING


APUNG (KJA) BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN KUALITAS AIR DI
PERAIRAN PANTAI TIMUR KABUPATEN BANGKA TENGAH
Junaidi M. Affan
Jurusan Budidaya Perairan, Gedung Koordinatorat Kelautan dan Perikanan
Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
E-mail: junaidi_jik@yahoo.com

ABSTRACT
In sustainable aquaculture activities, environmental factors such depth, brightness, flow velocity and
the water quality such temperature, salinity, pH and dissolved oxygen are limiting factors in choosing a
location to obtain a success in cultivation. Waters of the east coast of Bangka Regency has marine
resources that as sufficient fo create an alternative source of livelihood for its residents. Geographic
information technology (GIS) has bene used to determine the location using the parameter of interpolation
oceanography method based on the results of measurement at a random predetermined station and
systematically. The spatial analysis for each parameter and then overlay on-site, it will be obtained the
feasibility location with appropriate catergory, quite appropriate, conditional situation and not suitable for
aquaculture activities. Based on the extent of the analysis which reached 127,746 hectares showed that
122,950 hectares (96.25%) are suitable, 4,796 h (3.75%) are good for fish farming, 64,074 h (50.16%) are
suitable where 27,437 ha (21.48) are good for sea grass and 10,865 h (8,52%) is very good; 78,495 h
(61.45%) are good for culturing pearl oysters. The result of field verification and consideration of physial
aspects and the affordability of the location it is recommended the development are of 8,627 h around the
islands of Ketawai, Panjang and Bujur.
Keywords: feasibility, aquaculture, Central Bangka

ABSTRAK
Dalam kegiatan perikanan budidaya yang berkelanjutan, faktor lingkungan (kedalaman, kecerahan,
kecepatan arus) dan kualitas perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut) merupakan pembatas dalam
memilih lokasi agar keberhasilan usaha budidaya tercapai. Perairan pantai timur Kabupaten Bangka memiliki
sumberdaya laut yang cukup untuk menciptakan sumber alternatif mata pencaharian bagi penduduknya.
Teknologi sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk menentukan lokasi tersebut dengan metode
interpolasi parameter oseanografi hasil pengukuran di stasiun yang telah ditetapkan secara acak dan
sistematis. Analisis spasial terhadap masing-masing parameter dan selanjutnya di-overlay maka didapatkan
lokasi kelayakan dengan kategori sangat sesuai, cukup sesuai, sesuai bersyarat dan tidak sesuai terhadap
kelayakan kegiatan budidaya laut. Dari luasan analisis yang mencapai 127.746 ha menunjukkan 122.950 ha
(96,25 %) sangat sesuai,4.796 ha (3,75 %) sesuai untuk peruntukan budidaya ikan; 64.074 ha (50,16%)
sangat sesuai, 27.438 ha (21,48 %) sesuai untuk peruntukan rumput laut, dan 10.865 ha (8,52 %) sangat
sesuai, 78.495 ha (61,45 %) sesuai untuk peruntukan budidaya tiram mutiara. Hasil verifikasi lapangan dan
dengan pertimbangan aspek fisik dan keterjangkauan lokasi maka direkomendasikan lokasi pengembangan
seluas 8.627 ha yang terletak di sekitar Pulau Ketawai, Pulau Panjang dan Pulau Bujur.
Kata kunci : kelayakan, budidaya laut, Bangka Tengah

1. PENDAHULUAN
Pengembangan budidaya laut merupakan usaha meningkatkan produksi dan sekaligus merupakan
langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dalam rangka mengimbangi
pemanfaatan dengan cara penangkapan. Usaha budidaya merupakan salah satu contoh pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan.
2011 FMIPA Universitas Lampung

99

Junaidi M. Affan... Seleksi Lokasi Pengembangan Budidaya dalam Keramba Jaring Apung (KJA)

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya laut yang sangat tinggi, potensi
yang tinggi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dikarena masyarakatnya masih menggantungkan
kehidupan dari hasil penambangan, khususnya di Kabupaten Bangka Tengah. Aktivitas masyarakat di
Kabupaten Bangka Tengah selain menambang timah yang merusak lingkungan juga sebagai nelayan
tradisional. Hampir 70 % masyarakat di Kabupaten ini perekonomiannya didukung dari hasil penambangan1).
Kini dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan timah telah dirasakan oleh masyarakat, Pemerintah
dalam hal ini sedang mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas. Menanggapi
permasalahan diatas diperlukan kegiataan usaha alternatif untuk beralih profesi seperti budidaya di laut bagi
masyarakat agar mengurangi penambangan.
Perairan pantai timur Bangka Tengah memiliki sumberdaya laut yang dapat digunakan sebagai lokasi
budidaya laut. Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
usahan budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan
lokasi harus mempertimbangkan faktor lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil
kesesuaian di antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap lingkungan
fisik perairan. Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi oseanografi dan kualitas perairan serta
topografi dasar laut.
Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi yang tepat berdasar data
pengukuran parameter fisika dan kimia perairan. Parameter ini didapatkan dari hasil pengukuran dan
pengambilan sampel air di stasiun penelitian yang telah ditentukan secara acak dan sistematis. Dalam
bidang perikanan, penggunan teknik SIG untuk pertama kalinya digunakan oleh Kapetsky et al.2), kini metode
ini telah berkembang dan banyak digunakan di dunia untuk menentukan lokasi kesesuaian budidaya laut, di
Indonesia teknik ini telah dimanfaatkan mengeksplorasi lahan budidaya diantaranya Suyarso dari P20-LIPI3),
Radiarta dkk dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan (PRPB-DKP)4,5),
Utojo dkk. dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros6,7), Pramono dkk dari Bakosurtanal8) dan
Sulma et al. dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)9).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan luasan dan memilih lokasi yang tepat untuk usaha budidaya
kerapu di perairan Bangka Tengah sebagai upaya menciptakan usaha alternatif bagi masyarakat. Hasil
Analisis kesesuaian lokasi budidaya yang berupa data tematik spasial pesisir dan laut diharapkan dapat
digunakan sebagai masukan bagi para perencana/ stakeholder di dalam menentukan peruntukan suatu
wilayah pesisir yang sesuai dengan potensi dan daya dukungnya.

2. METODE PENELITIAN
Data kualitas perairan dikumpulkan berasal dari titik-titik stasiun yang penyebarannya mewakili lokasi
pengamatan, untuk menganalisa secara spasial, titik-titik tersebut terlebih dahulu dilakukan interpolosi.
Beberapa metode untuk melakukan interpolasi diantaranya metode trend, spline, krigging dan inverse
distance weight, IDW. Pramono dkk8) dan Radiarta dkk10) menyebutkan bahwa metode IDW lebih tepat untuk
menginterpolasi data fisik wilayah pesisir karena tidak menghasilkan nilai melebihi data yang disampel.
Metode ini mengasumsikan tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal sehingga memberikan
bobot yang besar pada sel yang terdekat dengan titik dibandingkan pada sel yang jauh dengan titik.
Sedangkan metode spline hanya cocok digunakan untuk membuat ketinggian permukaan bumi, ketinggian
muka air tanah ataupun konsentrasi polusi udara.
Dari hasil pengukuran dan analisis sampel air pada masing-masing stasiun, selanjutnya dengan
menggunakan software Arc View 3.2 pada menu image analysis dilakukan interpolasi dengan metode IDW
hingga menghasilkan layer data spasial masing-masing parameter kualitas perairan. Layer ini digunakan
sebagai masukan untuk overlay, dengan memasukkan formula yang berupa syarat pembatas untuk hidup dan
berkembangnya suatu komoditas budidaya maka didapatkanlah peta lokasi yang layak untuk budidaya, pada
lokasi yang layak ini selanjutnya dihitung luasannya.
Beveridge11) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi budidaya menjadi dua yaitu faktor
lingkungan meliputi kedalaman, kecerahan, kecepatan arus dan faktor kualitas perairan (suhu, salinitas, pH,
oksigen terlarut, fosfat, nitrat, nitrit, amoniak dan silikat). Pengelompokan ini menurut didasarkan atas
pengaruh paramete, parameter dari faktor lingkungan akan mempengaruhi daya tahan hidup ikan laut
sementara faktor kualitas akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan daya tahan hidup ikan10).
Berikut syarat pembatas kehidupan dan perkembangan komoditas budidaya dan nilai parameter kesesuaian
dapat dilihat pada Tabel 1.

100

2011 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains MIPA, Desember 2011, Vol. 17, No. 3

Dalam penelitian ini, data parameter fisika dan kimia oseanografi didapatkan dari hasil pengukuran
P20-LIPI pada tahun 2004 dan pengukuran lapangan tahun 2009 (Tabel 2). Untuk memastikan dan
membuktikan hasil penentuan kelayakan lokasi, pada bulan November 2009 dilakukan verifikasi lapangan
dengan melakukan pengukuran kembali terhadap parameter fisika perairan (Tabel 3).
Tabel 1. Kesesuaian parameter perairan untuk budidaya ikan laut dalam KJA
Sangat
Cukup Sesuai, Sesuai bersyarat,
Sesuai, S1
S2
S3
1. Kedalaman (m)
10 20
20 25
25 30
2. Kecerahan (m)
>3
2 3
1 2
3. Kecepatan arus (cm/dt)
5 15
15 25
25 35
4. Suhu perairan (C)
28 32
25 28
20 25
5. Salinitas (ppt)
31 35
28 31
25 28
6. Derajat keasaman (pH)
>7
6 7
4 6
7. Oksigen terlarut (mg/l)
>7
5 7
3 5
Sumber :
Radiarta dkk10); Beveridge11), Ismail dan Wiyono12) dan Mayunar dkk13
Parameter

Tidak Sesuai, N
< 10 & > 30
<1
< 5 & >35
<20 & >32
<25 & >35
<4
<3

Tabel 2. Hasil pengukuran (verifikasi) lapangan November 2009

Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Koordinat
(BT dan LU)
106.28
106.30
106.29
106.31
106.31
106.34
106.34
106.27
106.26
106.28
106.29
106.30
106.31
106.25
106.22

Kedalaman
(m)

-2.25
-2.24
-2.06
-2.25
-2.27
-2.28
-2.25
-2.17
-2.15
-2.14
-2.17
-2.14
-2.17
-2.09
-2.01

9
8
5
4,5
6
8
10
5
4,8
6
7
6
6
10
9

Keceraha
n
(m)
5,0
4,5
4,5
4,0
5,0
5,2
5,0
4,5
4,5
4,8
5,0
5,2
5,0
5,5
5,2

Suhu
(oC)

Salinitas
(ppt)

pH

DO
(mg/l)

28,5
29,0
29,0
29,8
29,5
30,0
30,3
30,5
30,1
30,5
31,0
30,8
31,0
30,5
30,0

31,0
31,0
32,0
32,0
31,5
31,5
31,5
31,5
31,0
32,0
33,0
32,5
33,0
32,5
32,0

7,5
7,8
7,7
8,0
8,2
8,3
7,9
8,3
8,0
8,3
8,2
8,5
8,8
8,3
8,0

4,5
4,7
4,7
5,0
5,0
5,2
5,3
5,0
4,9
5,3
5,0
4,9
5,1
4,9
5,0

Tabel 3. Hasil pengukuran dan analisis parameter lingkungan dan kualitas


Parameter
Faktor lingkungan
Kedalaman
Kecerahan
Kecepatan arus
Faktor kualitas air
Suhu
Salinitas
pH
Oksigen

Satuan

Min

M
M
cm/dt

7,00
4,61
7,30

18,00
5,54
33,50

11,46
5,09
17,47

0,30
0,30
8,44

4,5
4,0
-

10,0
5,5
-

6,95
4,86
-

1,91
0,39
-

29,26
32,61
7,95
3,51

29,38
32,74
8,20
4,67

29,30
32,67
8,08
4,14

0,05
0,04
0,09
0,39

28,5
31,0
7,5
4,5

31,0
33,0
8,8
5,3

30,03
31,87
8,12
4,97

0,76
0,67
0,33
0,22

oC

Ppt
mg/l

2011 FMIPA Universitas Lampung

Max
Rerata
Data P20-LIPI (2004)

Std

Min

Max
Rerata
Std
Data verifikasi (2009)

101

Junaidi M. Affan... Seleksi Lokasi Pengembangan Budidaya dalam Keramba Jaring Apung (KJA)

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan kelayakan budidaya ikan laut mengacu dari hasil
penelitian Radiarta dkk10) dan Utojo dkk14). Penentuan tingkat kesesuaian budidaya untuk masing-masing
parameter didasarkan dari pengaruh parameter terhadap komoditas budidaya. Sistem skor 1 sampai 4
digunakan dalam penelitian ini dengan rincian tingkat kesesuaian sebagai berikut :
(1) Tidak layak / tidak sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun membutuhkan biaya, tenaga dan
waktu yang cukup besar
(2) Cukup layak / sesuai bersyarat : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun membutuhkan biaya,
tenaga dan waktu yang cukup besar
(3) Layak / sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, dengan sedikit membutuhkan biaya, tenaga dan
waktu
(4) Sangat layak / sangat sesuai : sesuai dimanfaatkan untuk budidaya ikan laut dalam KJA

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian dari 7 stasiun pada tahun 2009 menunjukkan nilai kisaran masing-masing parameter
yaitu kedalaman laut 7 18 m, kecerahan 4,61 5,54 m, kecepatan arus 7,3 - 33,5 cm/dt, suhu 29,26
29,38 oC, salinitas 32,61 32,74 ppt, pH 7,95 8,20 dan konsentrasi oksigen terlarut 3,51 4,67 mg/l.
Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan paramater terhadap budidaya laut menunjukkan bahwa secara umum
hasil pengukuran pada tahun 2009 berada pada kategori sesuai. Khususnya suhu, salinitas dan pH berada
dalam kriteria sangat sesuai untuk budidaya laut. Sedangkan parameter lainnya berada pada kategori cukup
sesuai dan sesuai bersyarat serta terdapat beberapa lokasi yang tidak sesuai untuk budidaya ikan
berdasarkan parameter kedalaman pada kedalaman tertentu. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Gambar 1 menunjukkan lokasi yang direkomendasikan untuk budidaya laut.
10 6 10 '

1 06 15 '

1 06 2 0 '

106 2 5 '

200'

200'

K E S E S U A IAN W IL A Y AH B U D ID AY A L AU T
D I P E R A IR A N T IM U R B AN G K A TE N G A H
U

15

14

c# S t 1

cS t 2

St 3

12

K ilo m e te r

25'

25'

LEG EN D A
Tg Bunga

c
12

13

11
210'

P . P a n ja n g

Lo k a s i S ta s iu n
Lo k a s i V e rif ik a s i
D a ra ta n

St 4

cS t 7

210'

P . B a ng k a

10

P . B uju r

W ilaya h K e ses u aian L ing ku n g an


S a n g at S e s u a i
C u k u p S e su a i

Tg U dang

S e s u a i B e rs ya ra t
T id a k S e s u a i

230'

P . B eb u a r

300'

220'

220'

P. B an gk a

230'

P . K e ta w a i

200'

200'

T g L e m p u ya n g

300'

215'

10 5 0 0 ' 10 5 3 0 ' 10 6 0 0 ' 10 6 3 0 ' 10 7 0 0 ' 1 0 7 3 0 '

130'

St 5

215'

130'

1 St 6
#

10 5 0 0' 10 5 3 0 ' 10 6 0 0' 10 6 3 0 ' 10 7 0 0 ' 10 7 3 0 '

Sum ber :

10 6 10 '

1 06 15 '

1 06 2 0 '

106 2 5 '

Gambar 1. Rekomendasi lokasi hasil analisis kelayakan terhadap semua komoditas budidaya laut
berdasarkan hasil verikasi lapangan bulan November 2009
Tabel 4. Luasan dan persentase tingkat kelayakan masing-masing parameter untuk budidaya ikan dalam KJA
Parameter
(a). Kedalaman
(b). Kecerahan
(c). Kecepatan arus
(d). Suhu
(e). Salinitas
(f). pH
(g). Oksigen
(h). Faktor lingkungan
(i). Faktor kualitas air
(j). Kesesuaian ikan KJA

102

Sangat layak
(ha)
(%)
28.687 22,46
89.884 70,36
49.678 38,89
127.746
100
127.746
100
127.746
100
28.687
127.746
122.950

22,46
100
96,25

Layak
(ha)
(%)

Cukup layak
(ha)
(%)

37.862
76.177

29,64
59,63

1.891

1,48

94.263

73,79

127.746
4.796

100
3,75

4.796

3,75

Tidak layak
(ha)
(%)
99.059 77,54

2011 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains MIPA, Desember 2011, Vol. 17, No. 3

3.1. Kesesuaian berdasarkan faktor lingkungan


Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya, Beveridge11) menyebutkan bahwa
kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba dengan dasar perairan adalah 4 5 m, hasil penelitian
menunjukkan nilai kedalaman perairan berkisar dari 7 18 m, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-KLH masih
layak untuk budidaya laut15). Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai kedalaman berada dalam
kategori sangat layak hingga tidak layak untuk budidaya laut. Untuk budidaya ikan dalam KJA 28.687 ha
(22,46 %) yang sangat layak, sedangkan sisanya tidak layak (Tabel 4).
Kecerahan menunjukkan kemampuan penetrasi cahaya kedalam perairan. Tingkat penetrasi cahaya
sangat dipengaruhi oleh partikel yang tersuspensi dan terlarut dalam air sehingga mengurangi laju
fotosintesis. Pengukuran kecerahan salah satunya dapat dilakukan dengan sechi disk dengan satuan meter
atau persentase. Menurut Kepmenneg-KLH15) kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan sebaiknya lebih
dari 3 m. Kecerahan perairan dari hasil penelitian berkisar 4,61 5,55 m (40 - 65 %) masih baik untuk
budidaya perikanan (kecerahan > 3 m), namun untuk budidaya rumput laut dan tiram mutiara masih baik
hanya untuk lokasi tertentu yang kecerahan > 5 m. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai
kecerahan berada dalam kategori sangat layak dan layak untuk komoditas budidaya laut dengan luasan
89.884 ha (70,36 %) yang sangat layak, sedangkan sisanya berada dalam kategori layak (Tabel 4).
Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga
mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. Di samping itu berhubungan dengan KJA, kekuatan arus
dapat mengurangi organisme penempel (fouling) pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus
disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Mayunar dkk,1995
menyebutkan organisme penempel akan lebih banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25
cm/dt sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen. Namun demikian, Ahmad dkk16) mengemukakan
kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar 5 15 cm/dt. Berdasarkan hasil
pemetaan kecepatan arus, didapatkan luasan wilayah secara umum sangat layak, layak dan layak bersyarat
untuk pengembangan budidaya ikan dalam keramba dengan luasan yang sangat layak 49.678 ha (38,89 %),
76.177 ha (59,63 %) layak dan sangat sedikit yang layak bersyarat 1.891 ha (1,48 %) (Tabel 4).
Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang selanjutnya di-overlaykan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan faktor lingkungan didapatkan bahwa untuk budidaya ikan
dalam KJA masih sesuai dilakukan di perairan timur Bangka Tengah, hal ini ditunjukkan dari hasil pemetaan
berada dalam kategori sangat layak (22,46 %), layak (73,79 %) dan kategori cukup layak (layak bersyarat)
3,75 % serta tidak terdapat lokasi yang tidak layak (Tabel 4).
3.2 Kesesuaian berdasarkan faktor kualitas air
Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota laut, peningkatan suhu dapat
menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi
oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 29,26
29,38 oC, kisaran suhu ini berada dalam kategori sangat layak untuk perairan. Mayunar dkk13) menyebutkan
suhu optimum untuk budidaya ikan adalah 27 32oC, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan
suhu pada kisaran 20 30 oC dan untuk tiram 20 32oC17). Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan
parameter suhu, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian sangat layak (127.746 ha; 100 %) untuk
dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Tabel 4).
Salinitas perairan hasil penelitian 32,62 32,74 ppt, kisaran ini masih baik untuk kegiatan budidaya
baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut
berada pada kisaran 30 35 ppt. Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan sesuai
dengan jenis ikan yang akan dibudidaya. Hal ini dikarenakan ikan tertentu membutuh salinitas tertentu pula.
Ikan memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 34
ppm18) beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas membutuhkan nilai berbeda. Kerapu secara umum memiliki
salinitas optimum pada kisaran 27 34 ppm13). Seperti halnya dengan suhu, hasil pemetaan kelayakan lokasi
berdasarkan parameter salinitas, juga menunjukkan semua lokasi penelitian sangat layak untuk
dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Tabel 4).
Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan,
pada pH rendah (asam, pH < 5) dan pH tinggi (basa, pH > 11) dapat menimbulkan kematian ikan dan tidak
terjadi reproduksi. Nilai pH air laut berkisar 7,5 8,4 dan semakin rendah ke wilayah pantai karena pengaruh
air tawar. Mayunar dkk13) menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 9,0, dan 7,5 8,5 untuk

2011 FMIPA Universitas Lampung

103

Junaidi M. Affan... Seleksi Lokasi Pengembangan Budidaya dalam Keramba Jaring Apung (KJA)

budidaya rumput laut14) serta 6,75 9 untuk tiram mutiara17). Hasil pemetaan derajat keasaman untuk
komoditas ikan dan rumput menunjukkan hasil yang sama seperti halnya suhu dan salitas yaitu sangat layak
semua lokasi. Namun berbeda untuk tiram mutiara yang membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang
lebih rendah 6,75 7,0 (hasil pengukuran lapangan 7,95 8,20) dibandingkan ikan dan rumput laut, sehingga
kelayakan lokasi hanya 36.688 ha (28,27 %) berada dalam kategori layak dan sisanya 71,28 % tidak layak
(Tabel 4).
Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan dibandingkan rumput
laut dan tiram mutiara. Oksigen berasal dari proses difusi udara dan fotosintesis, serta dipengaruhi suhu,
salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen,
begitu juga sebaliknya. Mayunar dkk13) menyebutkan jika untuk sekedar hidup diperlukan oksigen 1 mg/l,
namun untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 mg/l. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen
terlarut yang optimal berkisar 5 8 mg/l16). Hasil penelitian menunjukkan kisaran 4,15 4,67 mg/l, nilai ini
berdasarkan Kepmenneg-LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut menunjukkan kondisi perairan
kurang baik karena oksigen terlarut dibawah 5 mg/l.
Hasil pemetaan oksigen menunjukkan bahwa kelayakan oksigen untuk budidaya ikan semua lokasi
berada pada kategori layak bersyarat (100 %) artinya membutuhkan perlakuan khusus jika dilakukan
budidaya dengan memasang aerator untuk meningkatkan oksigen (Tabel 4).
Secara umum, gabungan parameter faktor kualitas air, didapatkan peta kelayakan seluruh lokasi
penelitian berada dalam kategori sangat sesuai (100 %) untuk budidaya ikan dalam KJA. Secara umum,
konsentrasi zat hara diatas sangat sesuai untuk budidaya laut berdasarkan Kepmenneg-KLH sehingga tidak
dilakukan analisis spasial untuk mengetahui kelayakan lokasi, tetapi sebagai data pendukung untuk analisis
dan pengambilan keputusan.
3.3. Kesesuaian berdasarkan komoditas Ikan kerapu
Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang akhir-akhir ini dihargai cukup tinggi, khususnya untuk
konsumsi di restoran-restoran besar, baik di dalam maupun di luar negeri. Tingkat harga yang menarik dan
kecocokan lingkungan budidaya ikan kerapu di banyak perairan pantai di wilayah Indonesia serta
penguasaan teknologi budidaya sudah dikuasai, sehingga tingkat produksinya dapat ditingkatkan telah
menarik minat berbagai Pemerintah Daerah untuk bermitra dengan Perguruan Tinggi serta Lembaga
Penelitian perikanan dan pengusaha melakukan eksplorasi atas peluang investasi tersebut.
Indonesia termasuk salah satu negara yang mengekspor kerapu dalam keadaan hidup ke beberapa
negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan,Malaysia dan Amerika Serikat. Untuk memenuhi
permintaan pasar dunia, nelayan Indonesia umumnya masih menangkap ikan kerapu dari alam dan masih
sedikit dari hasil budidaya. Ikan kerapu di Indonesia terdiri atas tujuh genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon,
Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari tujuh genus tersebut umumnya
hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk
pasaran internasional, seperti ikan kerapu bebek, kerapu sunuk (termasuk genus Plectropomus), kerapu
lumpur dan ikan kerapu macan (termasuk genus Epninephelus). Dari beberapa jenis ikan kerapu komersial
tersebut, ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis
Epinephelus suillus yang banyak dibudidayakan oleh petani, karena jenis ikan ini ternyata pertumbuhannya
lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga
sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan dalam bak, sedangkan ikan kerapu lainnya sulit dipijahkan,
sehingga pengadaan benihnya harus diambil dari alam.
Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi penelitian untuk pengembangan usaha budidaya laut
didapatkan lokasi sangat layak dan layak berdasarkan gabungan faktor lingkungan (Tabel 4) dan semua
lokasi sangat layak berdasarkan gabungan faktor kualitas air (Tabel 4). Hasil gabungan kedua faktor ini
menunjukkan bahwa hampir semua lokasi lokasi sangat layak untuk kembangkan budidaya ikan dalam
keramba jaring apung (Tabel 4 dan Gambar 1). Walaupun dari hasil pemetaan bahwa secara umum wilayah
perairan timur Bangka Tengah sangat layak dilakukan usaha pengembangan budidaya ikan dalam KJA,
namun pemanfaatannya harus memperhatikan keberlanjutan karena budidaya ikan dapat menimbulkan
dampak lingkungan berupa kotoran ikan dan sisa pakan, rumput laut dapat menyerap zat hara berupa fosfat,
nitogen dan zat hara lainnya untuk kehidupannya dengan mengubah bahan an-organik tersebut menjadi
bahan organik. Sedangkan kekerangan, disamping dapat menyerap zat pencemar juga dapat mencemari
lingkungan melalui sisa makanannya dari fitoplanton (bahan organik) lalu mengendap dalam air. Oleh bakteri

104

2011 FMIPA Universitas Lampung

J. Sains MIPA, Desember 2011, Vol. 17, No. 3

pengurai, bahan organik tersebut diubah menjadi an-organik. Pada kondisi yang ideal tidak menimbulkan
dampak, namun jika terjadi kondisi berlebih maka akan terjadi eutrofikasi sehingga menyebabkan oksigen
terlarut akan berkurang drastis yang akan mematikan ikan.
Dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan usaha untuk kegiatan budidaya seperti yang
dikemukan oleh Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution, GESAMP pada tahun
200210), agar tidak terjadi pencemaran lingkungan sekitarnya, maka potensi yang ada tidak semuanya
dimanfaatkan untuk budidaya tetapi harus disisakan untuk penyangga.
Hasil verifikasi lapangan di sekitar Pulau Ketawai dan Pulau Panjang serta Pulau Bujur menunjukkan
hasil pengukuran parameter oseanografi berada dalam kategori sesuai untuk budidaya seperti halnya hasil
pemetaan. Hasil pemetaan menunjukkan hampir semua wilayah kajian termasuk dalam kategori sesuai,
namun berdasarkan pertimbangan aspek fisik lokasi dan keterjangkau, maka direkomendasikan lokasi
budidaya seluas 1.626 ha disekitar pulau Ketawai dan seluas 7.000 ha disekitar Pulau Panjang dan Pulau
Bujur (Gambar 1).
Dalam penelitian ini, direkomendasikan pemanfaatan untuk budidaya ikan dalam KJA sekitar 10 % dari
total luasan yang direkomendasikan berarti 863 ha. Biasanya untuk budidaya ikan dalam KJA, 1 unit usaha
keramba terdiri dari 4 keramba dengan ukuran 2 x 2 x 2 m3, maka 1 ha lokasi pengembangan usaha
budidaya dapat dimanfaatkan 60 unit keramba. Dengan demikian berdasarkan hasil analisa, khusus untuk
perairan timur direkomendasikan 60 unit keramba/ha x 863 ha = 51.780 unit keramba.

4. KESIMPULAN
Pengembangan usaha budidaya laut dapat dilakukan di perairan timur Kabupaten Bangka Tengah,
khususnya komoditas yang memiliki peluang ekspor tinggi seperti kerapu, rumput laut jenis Eucheuma
cottonii dan Eucheuma spinasum serta tiram mutiara jenis Pinctada maxima. Pemetaan kelayakaan
menunjukkan terdapat luasan yang sangat luas untuk pengembangan budidaya, namun berdasarkan hasil
verifikasi lapangan dan pertimbangan aspek fisik lokasi serta keterjangkauan, maka disarankan lokasi
pengembangan budidaya laut dapat dilakukan disekitar pulau Ketawai 1.626 ha dan disekitar Pulau Panjang
dan Pulau Bujur seluas 7.000 ha.
Pengembangan usaha budidaya laut harus menganut prinsip berkelanjutan, selain memberikan
dampak positif terhadap terciptanya lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan juga
diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya perikanan laut yang pemanfaatannya secara
berlebih. Untuk itu, disarankan agar pengembangan bubidaya harus memperhatikan (a). Penggunaan
teknologi yang ramah lingkungan, layak secara ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat, (b).
Pengembangan budidaya disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dengan menggunakan input yang
tepat, tenaga terampil dan disertai monitoring lingkungan, (c). Kegiatan budidaya diharapkan dapat
mensejahterakan kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
1.

BPS Bangka Belitung. 2006. Jumlah Produksi dan Nilai Budidaya Ikan, 2006 - 2009.

2.

Kapetsky, J.M., McGregor, L. and Nanne, H. 1987. A Geographical Information System and Satellite
Remote Sensing to Plan for Aquaculture Development: A FAO-UNEP/ GRID Cooperation Study in Costa
Rica. FAO Fish. Tech Pap. (287): 51 pp

3.

Suyarso, 2007. Pengangkatan Daratan Akibat Gempa Aceh (2004) dan Nias (2005) dan Dampaknya
terhadap Ekosistem Pesisir. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33: 413 426

4.

Radiarta, I.N, Saputra, A. dan Pariono, B. 2004. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan
usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 10 (5):
19-32

2011 FMIPA Universitas Lampung

105

Junaidi M. Affan... Seleksi Lokasi Pengembangan Budidaya dalam Keramba Jaring Apung (KJA)

5.

Radiarta, I.N, Saputra, A. dan Johan, O. 2005. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan usaha
budidaya laut dengan aplikasi inderaja dan sistem informasi geografi di perairan Lemito,Provinsi
Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11 (1): 1-14

6.

Utojo, A.M., Pirzan, A.M., Tarunamulia dan Pantjara, B. 2004. Identifikasi kelayakan lokasi lahan
budidaya laut di perairan Teluk Saleh, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 10 (5): 19 - 32

7.

Utojo, A.M., Pirzan, A.M., Tarunamulia dan Pantjara, B. 2004. Identifikasi kelayakan lahan untuk
pengembangan usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 10 (5): 1-18.

8.

Pramono, G.H., Suryanto, H. dan Ambarwulan, W. 2005. Prosedur dan spesifikasi teknis analisis
kesesuaian budidaya kerapu dalam keramba jaring apung. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut.
Bakosurtanal, Jakarta. 41 hal.

9.

Sulma, S, Hasyim, B., Susanto, A. Dan Budiono, A. 2005. Pemanfaatan penginderaan jauh untuk
menentukan lokasi budidaya laut di Kepulauan Seribu. MAPIN XIV : 48-59

10. Radiarta, I.N., Prihadi, T.H., Saputra, A., Haryadi, J. dan Johan, O. 2006. Penentuan lokasi budidaya
ikan KJA menggunakan analisis multikriteria dengan SIG di Teluk Kapontori, Sultenggara. Jurnal Riset
Akukultur 1(3): 303 -318
11. Beveridge, M.C.M, 1996. Cage aquaculture (eds 2nd). Fishing News Books LTD. Farnham, Surrey,
England; 352 pp.
12. Ismail, W. dan Wijono, A. 1995. Lingkungan laut : Pelestarian dan pengelolaannya bagi lahan budidaya
perikanan. Dalam Sudradjat et al. (Eds.). 1995. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi
keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta: 157
171.
13. Mayunar, Purba, R. dan Imanto, P.T. 1995. Pemilihan lokasi budidaya ikan laut. Dalam Sudradjat et al.
(Eds.). 1995. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut,
Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta: 179 189.
14. Utojo, A.M., Rahmansyah dan Hasnawi. 2006. Identifikasi kelayakan lokasi budidaya rumput laut di kota
baru, Kalimantan Selatan. Jurnal Riset Akukultur 1(3): 303 -318
15. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Jakarta, 49
hal.
16. Ahmad, T., Imanto, P.T., Muchari, Basyarie, A., Sunyoto, P., Slamet, B., Mayunar, Purba, R., Diana, S.,
Redjeki, S., Pranowo, A.S. dan Murtiningsih, S. 1991. Operasional pembesaran kerapu dalam keramba
jaring apung. Dalam Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8 10.
17. Atjo, H. 1992. Potensi sumberdaya kekerangan Kabupaten Barru . Dalam Mansur, A.(Ed.). 1992.
Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara,
Watampone. Hal 8 10.
18. Imanto, P.T., N. Lisyanto & B. Priono. 1995. Desain dan konstruksi keramba jaring apung untuk
budidaya ikan laut. Dalam Sudradjat et al. (Eds.). 1995. Prosiding temu usaha pemasyarakatan
teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian,
Jakarta: 157 171.

106

2011 FMIPA Universitas Lampung

You might also like