Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Bambang Dwi Hayunanto Sp.KK
dr. Andri Catur Jatmiko Sp.KK
dr. Harry Subagijo
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes Zoster merupakan infeksi akut
Penyakit ini terjadi pada individu yang telah terserang infeksi varicella
sebelumnya. Virus varisela kemudian berpindah tempat dari lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara
sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan
tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi
infeksius. (Moon dan Melton, 2007). Proses reaktivasi virus dapat dicetuskan oleh
antara lain usia lanjut dengan penurunan imunitas, keganasan, radioterapi,
pengobatan imunosupresif dan penggunaan kortikosteroid yang lama. Setelah
lebih dari 1 bulan paska infeksi postherpetik neuralgia dapat terjadi pada 13%35% pasien yang berumur di atas 60 tahun (Melton, 2007)
Diagnosis herpes zoster oftalmikus ditegakkan melalui anamnesa yang
teliti dan gejala-gejala klinis yang dialami penderita, serta pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan sitologi (Tzanck
smear) serta jika sarana memadai dapat dilakukan kultur virus. (Wolff, 2009)
Pemberian terapi meliputi topikal dan sitemik. Secara umum terapi topikal
pengobatan herpes zoster yang diberikan antara lain kompres garam faali (NaCl
0,9% atau PZ) untuk lesi basah. (Djuanda, 2005) Terapi sistemik yang diberikan
antara lain analgesik, antibiotik bila pada penderita didapatkan infeksi sekunder
dan secara khusus diberikan terapi antivirus.
Pada kasus herpes zoster oftalmikus perlu untuk konsul pada ahli mata
atau dapat diberikan antivirus lokal. (PDT, 2005). Beberapa literatur menyebutkan
pemberian kortikosteroid. Namun, ini hanya diberikan pada kasus sindroma
Ramsay-Hunt (Djuanda, 2005)
Penyulit pada penyakit ini adalah bila didapatkan infeksi sekunder pada
penderita antara lain misalnya keratokonjuctivitis,, neuralgia pasca herpetika,
otalgia, zoster generalisata, dan sindroma Ramsay-Hunt.(PDT, 2005
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Agama
Status Perkawinan
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Suku Bangsa
Nomor RM
Ruang Perawatan
Tanggal Pemeriksaan
: Ny. S
: Perempuan
: 54 tahun
: Mojowarno Jombang
: Islam
: Kawin
: SMU
: Swasta
: Jawa
::: 20 Oktober 2010
2. Anamnesis
Keluhan Utama : Muncul bintil-bintil
Riwayat Penyakit Sekarang :
Muncul bintil-bintil berisi cairan sejak 5 hari yang lalu semakin lama
semakin bertambah banyak pada daerah wajah tepatnya pada daerah sekitar
mata kanan dan di daerah kepala bagian depan. Pasien juga merasa nyeri pada
mata kanannya. Pasien saat datang tidak dapat membuka mata kanannya.
Riwayat Atopik :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengatakan pernah menderita cacar air
Kolesterol tinggi (+)
Asam urat (+)
Riwayat Kontak :
Tidak ada anggota keluarga, tetangga atau teman kerja yang menderita
penyakit serupa.
Riwayat Pengobatan :
Pasien sampai saat dating ke poli belum memberikan obat apapun ataupun
berobat. Pasien hanya mengompres dengan air hangat.
3. Status Presens (20 Oktober2010)
Status Dermatologis :
6. Penatalaksanaan
Sistemik :
o Antivirus : Valvir (Valasiklovir tab 500mg) 3 x 2 tab
o Analgesik : Argesid (Asam mefenamat tab 500 mg) 2 x1 tab
Topikal :
o Kompres PZ (garam faali) selama 5 menit pagi& sore setelah
mandi
7. Prognosis
Prognosis pada pasien ini cenderung baik namun penyakit ini dapat
muncul kembali dikemudian hari jika penderita ada dalam lingksrsn faktor
pencetus. Selain itu pada pasien ini juga dapat menimbulkan makula
hiperpigmentasi atau sikatrik. Namun dengan memperhatikan hygiene akan
memberikan prognosis yang lebih baik.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny. S datang ke RSUD kab. Jombang pada tangal 20 Oktober 2010
dengan keluhan muncul bintil-bintil berisi cairan sejak 5 hari yang lalu semakin
lama semakin bertambah banyak pada daerah wajah tepatnya pada daerah sekitar
mata kanan dan di daerah kepala bagian depan. Pasien juga merasa nyeri pada
mata kanannya. Pasien saat datang tidak dapat membuka mata kanannya. Pasien
juga merasa panas
Dari anamnesis tersebut tampak gambaran adanya kelainan pada kulit
berupa bintil-bintil berisi cairan yang bergerombol disertai adanya krusta dan
erosi. Dari literatur yang ada, diketahui bahwa herpes zoster oftalmikus
merupakan penyakit yang ditandai dengan vesikel yang bergerombol di atas kulit
yang eritematus, sementara kulit diantara gerombolan satu dengan yang lain
normal. Juga sering didapatkan krusta berwarana kuning kecoklatan sampai
kehitaman. (PDT, 2005)
Dari identitas pasien didapatkan data perempuan berusia 54 tahun, dan
suku bangsa Jawa. Hal ini sesuai menurut data yang ada, bahwa herpes zoster
oftalmikus dapat terjadi pada semua suku bangsa dan ras. Frekuensiya pada lakilaki dan perempuan sama, dan biasanya penyakit ini sering terjadi pada usia
dewasa. (Djuanda, 2005)
Dari status dermatologis didapatkan makula eritematosa batas tidak jelas,
diatasnya terdapat vesikel bergerombol yang tidak melewati garis tengah tubuh.
Sementara kulit di sekitar gerombolan tampak normal. Juga didapatkan gambaran
sebagian vesikel yang sudah pecah dan krusta kuning kecoklatan sampai merah
kehitaman, serta didapatkan gambaran erosi di beberapa lokasi. Ini sesuai dengan
gambaran vesikel yang bergerombol di atas kulit yang eritematus, sementara kulit
diantara gerombolan satu dengan yang lain normal. Juga sering didapatkan krusta
berwarana kuning kecoklatan sampai kehitaman. Selain itu juga sifatnya unilateral
sesuai dermatom (Melton, 2007 dan PDT, 2005)
Untuk menegakkan diagnosa pemphigus vulgaris, seharusnya dilakukan
pemeriksaan sitologi (tzanck smear). (Wolff, 2009). Namun karena keterbatasan
sarana dan prasarana, pada pasien ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan tersebut.
Pada pemeriksaan sitologi pada herpes zoster oftalmikus, diharapkan
terdapat gambaran sel datia (se raksasa) yang berinti banyak. (Moon dan Melton,
2007)Serta sel-sel akantolitik. (Djuanda, 2005)
diberikan antivirus. Pada pasien ini tidak diberikan antibiotik karena tidak
didapatkan tanda infeksi sekunder. Antivirus yang diberikan adalah valasiklovir.
Hal ini sesuai dengan literatur dimana terapi antivirus dapat menggunakan
asiklovir atau modifikasinya seperti valasiklovir dan famsiklovir. Analgesik yang
diberikan pada pasien ini adalah asam mefenamat (Djuanda, 2005)
Terapi topikal yang diberikan pada pasien ini adalah kompres PZ untuk
lesi basah. Pada literatur dikatakan bahwa untuk lesi basah dikompres dengan
garam faali (NaCl 0,9%). (Djuanda, 2005)
Prognosis pada pasien ini cenderung baik dengan adanya pengobatan
segera sebelum terjadinya infeksi sekunder atau komplikasi.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. FK UI. Jakarta.
2005
Melton
CD,
Herpes
Zoster.
eMedicine
World
Medical
Library
Library
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm. 2007
Moon,
JE.,
Herpes
Zoster.
eMedicine
World
Medical
http://www.emedicine.com/med/topic1007.htm
Wolff, Klaus., Johnson, Richard Allen. Fitzpatricks color atlas and synopsis of
clinical dermatology. 6th edition. United States of America : The McGrawHill Companies. 2009
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya: 2005