Professional Documents
Culture Documents
OLEH
Iwan Hidayat
240110060039
DAFTAR ISI.............................................................................................. i
DAFTAR TABEL..................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. v
I. PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Manfaat Ekonomi........................................................................ 3
1.3. Manfaat Sosial............................................................................ 4
1.4. Tujuan......................................................................................... 4
II. ASPEK PASAR................................................................................ 5
2.1. Gambaran Umum Pasar.............................................................. 5
2.2. Permintaan Pasar......................................................................... 5
2.3. Potensi Penawaran...................................................................... 6
2.4. Peluang Pasar ............................................................................. 7
2.5. Rencana Penjualan dan Pangsa Pasar ......................................... 7
2.6. Strategi Pemasaran Pesaing ........................................................ 8
2.6.1. Strategi Produk................................................................ 8
2.6.2. Strategi Harga................................................................. 8
2.6.3. Strategi Distribusi........................................................... 8
2.7. Strategi Pemasaran Perusahaan.................................................. 9
2.7.1. Strategi Produk................................................................
9
2.7.2. Strategi Harga ................................................................. 9
2.7.3. Strategi Distribusi ........................................................... 9
2.7.4. Strategi Promosi ............................................................. 9
III. ASPEK PRODUKSI DAN TEKNOLOGI ................................... 10
3.1. Produk......................................................................................... 10
3.1.1. Ciri-Ciri Produk ............................................................... 10
3.1.2. Kegunaan Utama Produk ................................................ 10
3.2. Proses Produksi........................................................................... 10
3.2.1. Pengadaan Benih.............................................................. 10
3.2.2. Pengolahan tanah .............................................................. 10
3.2.3. Pembuatan kompos langsung di lahan(KLD).................... 11
3.2.4. Penanaman ........................................................................ 12
3.2.5. Pemeliharaan .................................................................... 12
i
3.2.6. Panen dan Pasca Panen .................................................... 13
3.2.7. Pemasaran......................................................................... 13
3.3. Teknologi Produksi ................................................................. 13
2. DEFORESTASI………………………………………………………… 26
2.1 Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia:Penelaahan
Kerancuan dan Penyelesaiannya………………………………… 29
2.2 Masalah Yang Kurang Tepat Dan Saling Bertentangan…… 33
2.3 Sistem Perladangan Berpindah, Perambahan Hutan………. 37
2.4 Indonesia, Deforestasi Terbesar di Dunia…………………… 39
2.5 Faktor penyebab Deforestasi Hutan………………………….. 43
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 49
3. PERUBAHAN IKLIM
3.1 PEMANASAN GLOBAL……………………………………..50
3.2 Penyebab pemanasan global……………………………... 59
3.3 Mengukur pemanasan global………………….…………. 61
3.4 Dampak pemanasan global……………………….………. 63
3.5 Dampak sosial dan politik………………………….…....... 66
3.6 Pengendalian pemanasan global…………………..……… 67
3.7 Persetujuan internasional………….…………….………... 69
ii
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 72
1. DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
10. Biaya Bahan pada Budidaya Tanaman Jagung Selama Satu Tahun
untuk luasan 5.250 m2 ......................................................................... 18
11. Biaya Tenaga Kerja pada Budidaya Tanaman Jagung selama Satu
Tahun untuk Luasan 5.250 m2 .............................................................. 18
iii
15. Produksi dan Pendapatan per Tahun dalam Budidaya
Tanamam Jagung dengan Luasan 5.250 m2........................................ 20
16. Analisa Laba Rugi (Dalam satu tahun)................................................. 20
17. Arus Kas dalam Budidaya Tanamam Jagung Selama Satu Tahun
dengan Luasan 5.250 m 2 .....................................................................21
iv
1. DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
v
vi
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia jagung (Zea mays L.) memegang peranan kedua setelah padi.
kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, dan kalori yang hampir sama dengan
beras. Jagung selain dapat digunakan sebagai bahan pangan juga dapat digunakan
Produksi jagung muda digunakan oleh manusia dan jagung tua banyak
digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Industri makanan
yang memerlukan jagung dalam jumlah besar pada komposisi ransumnya adalah
ayam. Jagung yang diberikan dapat berupa jagung pipil, jagung giling, dan
limbah industri pengolahan minyak jagung berupa bungkil jagung. Pada ayam
fase pertumbuhan (grower) komposisi jagung dalam ransumnya berkisar 45% dan
mengandung kalori tinggi. Oleh karena itu didalam ransum perlu ditambahkan
bahan yang berkalori tinggi. Secara keseluruhan, gizi yang cukup menyebabkan
ternak berproduksi lebih baik. Telur dan daging sebagai hasil utama ternak sangat
ditentukan oleh gizi yang terkandung dalam ransum. Hasil penelitian menunjukan
1
bahwa jagung sebagai ransum yang terbesar cukup menunjang keberhasilan
produksi telur.
lain teknik budidaya yang tepat dan penerapan teknologi yang tepat guna bagi
karena pupuk organik memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah.
sifat tanah, disamping itu di dalam kompos terkandung hara-hara mineral yang
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos limbah batang jagung sangat
yang tinggi.
penggunaan pupuk buatan yang bertujuan untuk mengurangi biaya produksi dan
pupuk organik memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pada umumnya
mikro yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Jadi, kompos selain mengandung
2
hara yang lengkap yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah, juga memperbaiki
sifat fisik terutama memperbaiki tekstur dan struktur tanah sehingga tanah
mudah didapat tetapi harganya lebih mahal dan dapat merusak tanah. Kebutuhan
pupuk anorganik untuk pertanaman jagung per hektarnya adalah Urea 200-300 kg,
mengandung nitrogen 0,92%, posfor 0,29%, dan kalium 1,39% (Ruskandi, 2005).
Jagung memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, karena kebutuhan akan
jagung semakin meningkat baik dari kalangan industri maupun sebagai pakan
ternak.
Produksi utama tanaman jagung adalah biji. Biji jagung merupakan sumber
karbohidrat yang potensial untuk bahan pangan maupun bahan non pangan.
Produksi sampingan berupa batang, daun dan kelobot dapat dimanfaatkan sebagai
mulai dari batang sampai daunnya, contohnya kelobot jagung digunakan sebagai
3
1.3. Manfaat Sosial
produksinya.
protein nabati, lemak, minyak, karbohidrat, air, dan vitamin. Bertambahnya gizi
1.4. Tujuan
4
II. ASPEK PASAR
Jagung yang dipasarkan adalah pipilan biji kering yang harganya sesuai
dengan harga pasar. Pemanenan jagung tua harus tepat waktu, sesuai dengan
jelasnya peningkatan populasi ayam dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
5
Berdasarkan jumlah populasi ayam tahun 2002-2006 dapat dihitung rata-
rata peningkatan ayam per tahun, sehingga jumlah ayam lima tahun ke depan
dapat diproyeksikan.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa permintaan akan jagung semakin
meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan populasi ayam dan di
muda dan jagung pipilan dimana jagung muda dikonsumsi oleh manusia
6
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa produksi jagung pipilan di
Tabel 5. Peluang Pasar Jagung Pipilan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2008-2012
Tahun Permintaan (kg) Penawaran (kg) Peluang pasar (kg)
2008 31.405.111 7.412,77 31.397.698
2009 48.999.826 6.188,18 48.993.637
2010 76.451.969 5.165,89 76.446.803
2011 119.284.190 4.312,48 119.279.877
2012 186.113.153 3.600,05 186.109.553
7
Tabel 6. Hasil proyeksi Rencana Penjualan, Peluang Pasar dan Pangsa Pasar
jagung pipilan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2008-2012
Penjualan
Tahun pertahun (kg) Peluang pasar Pangsa pasar(%)
2008 10.350 31.397.698 0.0329642
2009 10.350 48.993.637 0.021125192
2010 10.350 76.446.803 0.013538826
2011 10.350 119.279.877 0.008677071
2012 10.350 186.109.553 0.005561241
Produk yang akan dipasarkan adalah pipilan biji kering yang mempunyai
mutu baik, biji jagung masih utuh, tidak rusak maupun terserang hama dan
Harga yang ditawarkan sesuai dengan harga pasar yang sedang berlaku
8
2.7. Strategi Pemasaran Perusahaan
pipilan yang telah dikeringkan dengan kadar air ± 12 % dan telah disortir,
mempunyai mutu baik, tidak rusak maupun terserang hama dan penyakit. Jagung
dimasukan ke dalam karung yang bersih dan diikat dengan tali rafia.
Harga yang ditawarkan sesuai dengan harga yang sedang berlaku di pasar,
harga jual yang dipasarkan adalah seharga Rp. 2.400/ kg Pembayaran dilakukan
secara tunai.
keuntungan perusahaan.
Produsen
Pedagang pengecer
9
III. ASPEK PRODUKSI DAN TEKNOLOGI
3.1. Produk
dari jagung tua dengan ciri-ciri kelobot sudah bewarna kuning, bijinya sudah
cukup keras dan mengkilat, apabila ditusuk dengan kuku ibu jari, biji tersebut
Jagung pipilan biji kering digunakan sebagai bahan makanan ternak, yang
dicampurkan ke dalam ransum ternak, untuk industri seperti tepung jagung dan
minyak jagung.
Jumlah benih yang dibutuhkan sebanyak 78,75 kg/ 5.250 m2, termasuk benih
untuk penyulaman.
dengan traktor dan cangkul untuk membalik tanah dan pembersihan lahan dari
Jarak pengolahan tanah pertama dan kedua adalah satu minggu di lanjutkan
10
3.2.3. Pembuatan Kompos Langsung di Lahan (KLD)
Kompos batang jagung dibuat 3 hari sebelum tanam. Agar kompos batang
7.679,25 kg
tanah
akan berlangsung lebih cepat bila curah hujan cukup. Limbah batang
11
3.2.4. Penanaman
25 cm, dan ditanam 2 biji per lobang tanam dengan kedalaman 3 cm. Lobang
tanam yang telah dimasukan biji jagung ditutup dengan tanah. Selanjutnya
dilakukan pemupukan Urea dengan dosis 90 kg, dan SP-36 45 kg di samping kiri
dan kanan lubang dengan cara tugal dan ditutup kembali. Pemberian pupuk Urea
3.2.5. Pemeliharaan
1. Penyulaman
benih yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal dengan benih jagung yang baru.
Penyulaman paling lambat 15 hari setelah tanam, jika lebih dari 15 hari akan
kegiatan pemeliharaan.
2. Pengairan
bertujuan untuk memberi kelembaban pada tanah agar tanaman tidak layu.
12
agar tidak mudah rebah dan merangsang pembentukan ataupun pertumbuhan akar
secara leluasa.
Panen dilakukan pada umur tanaman jagung 105 hari, yaitu pada jagung
tua. Saat itu batang daun sudah menguning, kelobot dari tongkol sudah kuning
mengering, tongkol berukuran maksimum, berbiji penuh, padat, dan bila biji
ditekan tidak tampak bekas lekukan. Biji jika dipipil dari tongkolnya telah
Pemanenan dilakukan dengan cara memetik jagung dari batang lalu dibuang
pemipilan dan jumlah jagung pipilan yang diperoleh 10.350 kg, selanjutnya
3.2.7. Pemasaran
lahan ini merupakan teknologi mudah dan murah, langsung di lahan dan secara
13
Beberapa keuntungan dengan kompos langsung di lahan
hara dalam tanah dan tanaman setelah batang jagung terdegradasi oleh
dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah. Melalui
penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah
kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah erat kaitanya dengan
perbaikan sifat – sifat tanah, yaitu sifat fisik, kimia, dan sifat biologi tanah.
seperti jerami, batang jagung, sekam padi, dan lain-lain termasuk kotoran hewan.
Kompos batang jagung dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
14
a. Sifat Fisik Tanah
tanah, tanah pasir menjadi lebih kompak dan tanah lempung dapat menjadi
gembur.
penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Bahan organik batang
jagung adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Melalui
penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah
yang relatif lebih ringan. Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat
diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat sehingga aliran permukaan
dan erosi diperkecil. Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik
(kmi.faperta.ugm.ac.id, 2008).
kompos berada dalam bentuk tersedia bagi tanaman karena proses dekomposisi.
Hara-hara mikro mineral yang terkandung dan dibutuhkan oleh tanaman seperti
Fe, S, Cu, Zn, Mo, Si dan mineral lainnya yang dalam jumlah sedikit tapi
15
c. Sifat Biologi Tanah
bakteri dan algae) yang berfungsi untuk proses dekomposisi lanjut terhadap bahan
organik tanah. Dengan penambahan kompos di dalam tanah, tidak hanya jutaan
yang ada di dalam tanah juga terpacu untuk berkembang biak. Selain itu aktifitas
seperti auksin, giberalin dan sitokinin yang dapat memacu pertumbuhan dan
16
IV. ASPEK FINANSIAL
4.1. Biaya untuk budidaya jagung dengan luasan 5.250 m2 selama satu tahun
Tabel 9. Biaya Depresiasi pada Budidaya Tanaman Jagung selama Satu Tahun
untuk Luasan 5.250 m2.
Nilai Awal Umur Nilai
No Jenis Alat Biaya (RP)
(Rp) Ekonomis Sisa(Rp)
1 Cangkul 120.000 2 0 20.000
2 Knapsack sprayer 185.000 4 0 20.555
3 Koret 60.000 2 0 10.000
4 Meteran 40.000 3 0 4.444
5 Tugal 8.000 2 0 1.333
6 Ember 30.000 1 0 10.000
7 Parang 45.000 2 0 7.500
Jumlah 73.832
Ket : Nilai sisa :0
Depresiasi = Nilai baru – nilai sisa
UE x Periode dalam satu tahun
17
4.1.3. Biaya Bahan
Tabel 10. Biaya Bahan pada Budidaya Tanaman Jagung Selama Satu Tahun
untuk luasan 5.250 m2.
Harga
Total Biaya
No Nama bahan satuan Jumlah Satuan
(Rp)
(Rp)
1 Benih jagung kg 78,75 25.000 1.968.750
2 Batang jagung kg 7.679,25 10 76.792,5
3 EM4 ml 4.500 16 72.000
4 Pupuk Urea kg 90 2.000 180.000
5 Pupuk SP36 kg 45 3.000 135.000
6 Pupuk kandang kg 7.679,25 100 767.925
7 Gula Kg 11,25 7.000 78.750
8 Dedak Kg 225 1.500 337.500
9 Karung Buah 180 2.000 360.000
10 Curater 3-G Kg 10,5 12.000 126.000
Jumlah 4.102.717,5
Tabel 11. Biaya Tenaga Kerja pada Budidaya Tanaman Jagung selama Satu
Tahun untuk Luasan 5.250 m2.
No Jenis kegiatan satuan Jumlah Harga/unit Total
1 Pengolahan tanah I M2 15.750 150 2.362.500
2 Pengolahan tanah II HKO 45 30.000 1.350.000
3 Pencincangan HKO 4,2 30.000 126.000
4 Pembuatan pupuk kompos HKO 6.9 30.000 207.000
Penanaman dan
5 31,95 30.000 958.500
pemupukan dasar HKO
6 Penyulaman HKO 6,3 30.000 189.000
Penyiangan dan
7 49,95 30.000 1.498.500
pembumbunan HKO
8 Pemupukan susulan HKO 18,9 30.000 567.000
9 Panen HKO 31,95 30.000 958.500
Pascapanen HKO
10 Penjemuran HKO 18,9 30.000 567.000
Pemipilan HKO 19,35 30.000 580.500
Jumlah 9.364.500
18
4.1.5. Biaya lain-lain
Tabel 12. Biaya Lain-lain pada Budidaya Tanaman Jagung Selama Satu
Tahun dengan Luas Lahan 5.250 M2.
No Jenis pembiayaan Perhitungan Total
1 Sewa lahan 0,52 x 500.000 260.000
2 Bunga modal sendiri 12% x 1.582.072 189.848,64
3 Bunga modal pinjaman 15% x 3.670.000 550.500
Transportasi 3 x 15.000 45.000
Jumlah 1.045.348,64
Tabel 13. Rekapitulasi Biaya pada Budidaya Tanaman Jagung selama 1 Tahun
pada Luasan 5.250 m2.
Total Total
No Jenis Pembiayaan (Rp)/periode (Rp)/tahun
A BIAYA TETAP
Biaya depresiasi 24.610 73.832
Biaya sewa lahan 86.666 260.000
Jumlah biaya tetap 111.276 333.832
B BIAYA VARIABEL
Biaya bahan 1.367.572,5 4.102.717,5
Biaya tenaga kerja 3.121.500 9.364.500
Transportasi 15.000 45.000
Jumlah biaya variabel 4.504.072,5 13.512.217,5
D TOTAL BIAYA PRODUKSI 4.615.348,5 13.846.049,5
19
Tabel 15. Produksi dan Pendapatan per Tahun dalam Budidaya Tanamam
Jagung dengan Luasan 5.250 m2
No Jenis produksi Satuan Jumlah Harga Biaya
1 Jagung Pipilan kg 10.350 2.400 24.840.000
Jumlah 24.840.000
20
4.2. Proyeksi Arus Kas
Tabel 17. Proyek Arus Kas dalam Budidaya Tanamam Jagung Selama Satu Tahun dengan Luasan 5.250 m2
Keterangan Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Awal Tahun 4
KAS AWAL 0 0 14.281.355 23.918.637.5 32.919.420
ARUS KAS MASUK
Penjualan Tunai 0 24.840.000 24.840.000 24.840.000 24.840.000
Penerimaan Piutang 0 0 0 0 0
Modal Sendiri 1.582.072 0 0 0 0
Penerimaan Modal pinjaman 3.670.000 0 0 0 0
Penerimaan Kas Lainnya 0 0 0 0 24.999
Total Cash Inflow 5.252.072 24.840.000 24.840.000 24.840.000 24.864.999
Arus Kas Keluar
Biaya Pembelian Alat 488.000 0 30.000 146.500 0
Biaya Sewa lahan 260.000 0 260.000 260.000 0
Biaya bahan 1.367.572,5 2.735.145 4.102.717,5 4.102.717,5 0
Biaya Tenaga kerja 3.121.500 6.243.000 9.364.500 9.364.500 0
Biaya Transportasi 15.000 30.000 45.000 45.000 0
Total Cash Outflow 5.252.072,5 9.008.145 13.802.217,5 13.918.717,5 0
Kas Netto 0 15.831.855 25.319.137,5 34.839.920 57.784.419
Kewajiban Bank
Angsuran Pokok Kredit 0 1.000.000 1.000.000 1.670.000 0
Angsuran Bunga Kredit 0 550.500 400.500 250.500 0
Total Kewajiban Bank 0 1.550.500 1.400.500 1.920.500 0
Kas Akhir 0 14.281.355 23.918.637,5 32.919.420 57.784.419
Sisa Pokok Kredit 3.670.000 2.670.000 1.670.000 0 0
21
4.3. Analisa Proyek
Tabel 18. Analisa Proyek dalam Budidaya Tanamam Jagung Selama Satu Tahun dengan Luasan 5.250 m2
Tahun Revenue Cost Benefit DF 15% NPV 15% DF 20% NPV 20%
0 0 5.252.073 5.252.073- 1,000 5.252.073- 1,000 -5.252.073
1 24.840.000 9.008.145 15.831.855 0,870 13.773.714 0,833 13.187.935
2 24.840.000 13.802.218 11.037.783 0,765 8.443.904 0,694 7.660.221
3 24.840.000 13.918.718 10.921.283 0,658 7.186.204 0,579 6.323.423
24.151.749 21.919.506
Kriteria Investasi :
Rp. 29.403.821
a. Net B/C 15% =
Rp. 5.252.073
= 5,59
22
=
Rp. 5.252.073
= 5,17
NPV1
c. IRR = i1 + x ( i2 – i1 )
NPV1 – NPV2
24.151.749
= 15% + x ( 20% -15% )
24.151.749- 21.919.506
= 15% + 10,81 x 5%
= 69,05 %
23
V. KESIMPULAN
sebagai berikut :
analisa finansial, diperoleh NPV 15% sebesar Rp. 24.151.749 dengan Net B/C
5,59 dan NPV 20% sebesar Rp. 21.919.506 dengan Net B/C 5,17
2. Dari perluasan usaha yang dilakukan didapatkan IRR sebesar 69,05 % berarti
tingkat pengembalian modal usaha ini 69,05 % dari besarnya modal yang
ditanamkan, hal ini berarti lebih baik modal tersebut diinvestasikan dari pada
24
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2007. Limapuluh kota dalam angka. BPS Kabupaten LimaPuluh Kota.
Payakumbuh.
BPTP Solok. 1997. laporan tahunan 1996/1997. BPTP Solok
Ruskandi. 2005. Teknik pemupukan buatan dan kompos pada tanaman sela
jagung diantara kelapa. Buletin Teknik pertanian vol 10 no 2/2005.
Sukabumi.
25
PENYEBAB UTAMA DEFORESTASI
Penulis juga mengulas metodologi serta hasil lebih dari 140 penelitian
ekonomi deforestasi hutan. Mereka menyatakan bahwa banyak hasil temuan yang
sebaiknya dipandang secara skeptis disebabkan buruknya kualitas data serta
lemahnya rancangan studi. Akhir-akhir ini model ekonomi kuantitatif deforestasi
menjadi sangat populer. Meskipun beberapa kajian di bidang ini menawarkan
suatu gagasan pemikiran yang bermanfaat, dilain pihak penulis bahkan kurang
sependapat karena pada umumnya pendekatan yang digunakan seperti model
regresi nasional dan multi-negara manfaatnya terbatas. Mereka
merekomendasikan suatu perubahan kearah kajian pada tingkat daerah dan
penduduk/keluarga, yang mampu untuk lebih jauh menerangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pihak yang terkait langsung
dalam pembukaan dan pemanfaatan hutan.
26
intensifikasi pertanian serta dampaknya terhadap hutan. Paradigma konvensional
yang ada saat ini adalah meningkatnya produktifitas pertanian yang disebabkan
oleh kemajuan teknologi akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan
sehingga mendukung upaya-upaya konservasinya. Tetapi peneliti CIFOR dalam
hal ini banyak menemukan berbagai contoh dimana temuan baru di sektor
pertanian bahkan menciptakan kesempatan baru bagi petani untuk membuka lahan
lebih cepat dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian
ini memberikan kesan bahwa penerapan teknologi padat modal (capital-intensive)
yang cocok dengan kondisi kawasan lahan pertanian serta kegiatan produksi untuk
keperluan ekspor cenderung akan meningkatkan konversi lahan hutan.
Pada tahun 1998, Dr. David Kaimowitz dan Arilds Angelsen menerbitkan
Economic Models of Tropical Deforstation: A Review, yang banyak menarik
perhatian diantara para peneliti dan para pengambil kebijakan karena
kesimpulannya yang dianggap provokatif. Disarikan dalam sebuah jurnal utama
27
World Bank, tulisan ini meragukan banyak hipotesa konvensional tentang
penyebab deforestasi.
Pada tahun 1998, para peneliti melakukan analisa terhadap hasil survey
yang dilakukan di Kamerun untuk menentukan sejauh mana perubahan harga
pasar dan devaluasi mata uang yang terjadi secara besar-besaran setelah adanya
krisis ekonomi pada tahun 1980-an dapat mempengaruhi jenis-jenis tanaman yang
ditanam oleh penduduk serta jumlah lahan yang dimanfaatkan. Salah satu temuan
penting menyatakan bahwa pada saat harga pasar dunia jatuh, petani berskala
kecil beralih kegiatan dari produksi ekspor misalnya coklat ke pertanian menetap,
dan hal ini dilakukan dengan jalan membuka lebih banyak lahan hutan daripada
memanfaatkan lahan yang sebelumnya sudah dibuka untuk pertanian. (Mereka
tetap membiarkan lahan garapan tanaman ekspornya dengan harapan suatu saat
harganya akan kembali tinggi). Proyek yang dikerjakan bekerjasama dengan
Department of Overseas Development, United Kingdom ini juga menyelidiki
berbagai aspek pengaruh kebijakan makro-ekonomi serta pengaruh berlakunya
peraturan kehutanan yang baru di Kamerun.
28
demikian, ada beberapa hambatan utama yang dapat mengurangi nilai
pemanfaatan serta pengelolaannya secara lestari, termasuk lemahnya kemampuan
teknis lokal, terbatasnya dukungan nasional serta masalah-masalah ke-
organisasian yang muncul diantara penebang kayu skala-kecil.
PENDAHULUAN
Indonesia menempati peringkat ketiga (sesudah Brazil dan Zaire) dalam
kekayaan hutan hujan tropis, dan memiliki 10% dari sisa sumberdaya ini di dunia.
Perkiraan resmi mengenai kawasan lahan hutan di Indonesia sangat bervariasi.
REPELITA VI, 1994/95- 1998/99 menyebutkan bahwa ada 92,4 juta ha lahan
hutan pada tahun 1993 (RI 1994:312). Ini merupakan 48,1 % dari keseluruhan
daratan Indonesia. Inventarisasi Hutan Nasional, berdasarkan data satelit 1986-91
memperkirakan adanya 120,6 juta ha lahan hutan, yang meliputi 69% daratan di
negeri ini (tidak termasuk Pulau Jawa) (GOI/FAO 1996:17-18). Perkiraan
penyebaran hutan di Indonesia adalah sebagai berikut: Kalimantan (32,0% dari
keseluruhan); Irian Jaya (29,9%); Sumatra (20,8%); Sulawesi (9,7%); Maluku
(5,5%); dan daerah-daerah lain (2,1%) (data dari GOI/FAO 1996:36). Bermula
dari pertengahan tahun 1960-an eksploitasi komersial hutan di pulau-pulau di luar
pulau Jawa1 telah tumbuh dengan cepat dan Indonesia kini merupakan salah satu
pengekspor kayu tropis yang terbesar di dunia (terutama kayu lapis). Pada tahun
1996 pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) berjumlah 445 dan meliputi area
seluas 54.060.599 ha.2 Pada tahun 1994 kayu dan produk-produk kayu
menghasilkan sekitar US$ 5,5 milyar pendapatan ekspor Indonesia, kira-kira 15%
dari keseluruhan pendapatan ekspor (Economist Intelligence Unit 1995b:3). Ada
kira-kira 700.000 orang yang dipekerjakan di sektor hutan secara resmi (World
Bank 1995:1).
Dalam perjalanan perkembangan industri perkayuan, terjadi peningkatan
besar dalam jumlah dan laju hilangnya tutupan hutan di Indonesia. Penelitian
FAO tahun 1990 menunjukkan bahwa tutupan hutan di negeri ini telah berkurang
dari 74% menjadi 56% dalam jangka waktu 30-40 tahun (FAO 1990:3). World
29
Bank (1990:xx), mengacu pada penelitian yang dilakukan FAO, mencatat
peningkatan dalam estimasi
deforestasi setiap tahun: pada tahun 1970-an 300.000 ha/tahun; pada tahun 1981,
600.000 ha/tahun; pada tahun 1990 satu juta ha/tahun.
Orang cenderung berkesimpulan bahwa pertumbuhan industri perkayuan
mengakibatkan peningkatan laju deforestasi yang dianggap cepat sekali, karena
kedua fenomena itu terjadi pada saat yang bersamaan. Namun penjelasan lain
menekankan bahwa deforestasi
30
di pulau-pulau di luar pulau Jawa terutama adalah sebagai akibat pertumbuhan
kepadatan penduduk dan pertumbuhan jumlah petani kecil/rakyat di
kawasankawasan ini.
Data mengenai kepadatan penduduk di Indonesia menunjukkan korelasi
negatif yang kuat dengan tutupan hutan (FAO 1990:10; Barbier et al, 1993; Fraser
1996).3 Saat ini pada dasarnya ada dua kubu dalam perdebatan yang berlangsung
mengenai penyebab deforestasi di Indonesia (Tabel 1). Di satu pihak ada
penjelasan - penjelasan yang memandang produksi petani kecil dan meningkatnya
jumlah petani kecil sebagai penyebab utama deforestasi (FAO 1990; World Bank
1990; Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut cenderung
memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor utama dalam
pembabatan tutupan hutan. Di pihak lain ada penjelasan-penjelasan yang,
meskipun mengakui peran besar produksi petani kecil dalam deforestasi, lebih
menekankan pada peranan pemerintah dan proyek-proyek pembangunannya, dan
pada sektor industri perkayuan (Dick 1991; WALHI 1992; Ascher 1993;
Dauvergne 1994; Porter 1994; Thiele 1994; World Bank 1994; Angelsen 1995;
Dove 1996; Hasanuddin 1996; Ross 1996).
Tabel 1 menunjukkan bergesernya Òtitik beratÓ penjelasan penyebab
deforestasi akhir-akhir ini. Pada tahun 1990 World Bank dan FAO menyatakan
penyebab utamanya adalah perladangan berpindah. Analisa-analisa berikutnya
menyatakan bahwa peran perladangan berpindah dalam deforestasi telah terlalu
dibesarbesarkan, dan peran sektor industri perkayuan kurang disoroti. Pemikiran
baru ini terutama menyatakan bahwa sektor industri perkayuan memainkan
peranan penting secara tidak langsung dalam deforestasi dengan kegiatannya
mengeksploitasi hutan, yang kemudian diambil alih dan diusahakan oleh para
petani kecil.
Perlu dicatat bahwa telah ada perubahan besar dalam pandangan World
Bank, yang merupakan salah satu pemain kunci resmi dalam perdebatan ini. Pada
tahun 1990, World Bank (1990:xxi) memperkirakan laju deforestasi tahunan
antara 700.000 dan 1.200.000 ha, di mana konversi oleh petani kecil ditaksir
sebesar 350.000 - 650.000 ha dari keseluruhan angka laju deforestasi diatas, dan
menekankan keprihatinannya pada sistem perladangan berpindah. Pada tahun
31
1994 World Bank (1994:ix, 19) menemukan bahwa pengelolaan konsesi hutan di
pulau-pulau di luar pulau Jawa sebagai prioritas utama masalah lingkungan yang
dihadapi negara ini dan mencatat bahwa peranan sistem pertanian berladang
dalam deforestasi telah terlalu dibesar-besarkan dalam studi-studi sebelumnya.
World Bank (1994:51) mengacu pada penelitian Dick (1991), menyatakan bahwa
program-program yang disponsori pemerintah (transmigrasi, perkebunan,
kegiatan pembalakan) menyebabkan 67% dari semua deforestasi.
Perubahan dramatis pada pandangan World Bank tidak boleh diartikan
sebagai tanda bahwa para peneliti telah semakin mengerti sampai sejauh mana
tingkat deforestasi dan penyebabnya di Indonesia. Justru sebaliknya, nampaknya
meskipun elemen-elemen penting telah berhasil diakumulasi, masih banyak
ketidakpastian dan teka-teki yang dihadapi. World Bank (1994:19) mengakui
bahwa taksiran laju tahunan deforestasi didasarkan pada data yang lemah.
Bukannya mengajukan estimasinya sendiri yang telah diperbaharui, World Bank
malahan hanya melaporkan berbagai estimasi yang dikemukakan pihak-pihak lain,
dari 263.000 ha/tahun sampai 1.315.000 ha/tahun (World Bank: 1994:52). World
Bank kelihatannya mendua dalam hal pelaku deforestasi. Di satu pihak lembaga
ini membesarkan peranan industri perkayuan dan peranan program-program
pemerintah dalam proses deforestasi, dan mengecilkan peranan sistem pertanian
berladang; di pihak lain mengatakan bahwa pertanian rakyat merupakan penyebab
terbesar deforestasi.
(World Bank 1994:53). Ulasan atas beberapa literatur mengenai
deforestasi di Indonesia menunjukkan bahwa ada dua penyebab utama kelemahan
dasar pengetahuan masalah ini. Pertama, data primer yang dapat diandalkan
mengenai laju dan penyebab perubahan tutupan hutan kurang sekali.4 Dick
(1991:32) mengamati bahwa karena keterbatasan ini, estimasi tingkat dan
penyebab deforestasi di Indonesia adalah perkiraan semi-intelek (semi-educated
guesses).
Kedua, para komentator mengenai masalah tersebut memakai istilah-
istilah seperti deforestasi dan perladangan berpindah dengan beraneka arti. Kita
lihat nanti bahwa hal ini mengakibatkan berbagai kekacauan dalam perdebatan
32
mengenai masalah di atas. Langkah yang paling berguna menuju peningkatan
dasar pengetahuan mengenai deforestasi adalah mengadakan ulasan kritis
mengenai literatur yang ada. Dengan cara ini kita dapat terlebih dahulu
menetapkan tingkat kepercayaan bagian-bagian yang relevan dari analisa yang
telah dikerjakan, menentukan topik-topik yang memerlukan penelitian lebih jauh,
dan mengusulkan pedoman untuk mengatasi kerancuan masalah. Makalah ini
akan mengulas literatur mengikuti langkah-langkah berikut.
Pertama-tama akan ditelaah masalah konseptualisasi istilah deforestasi dan
pelaku deforestasi yang tidak jelas. Kedua, akan dianalisa diskusi mengenai
berbagai penyebab perubahan tutupan hutan. Urutannya adalah: petani kecil
(perladangan berpindah dan perambah hutan; produksi perkebunan rakyat;
transmigrasi umum; transmigrasi spontan; pertumbuhan jumlah penduduk);
kegiatan pembalakan dan industri perkayuan; perkebunan dan hutan tanaman
industri; kebijakan-kebijakan ekonomi makro; serta berbagai bentuk penyebab
yang selama ini kurang diperhatikan dalam literatur. Ketiga, akan diusulkan
pedoman pedoman untuk perbaikan penelitian mengenai laju dan penyebab
perubahan tutupan hutan. Makalah ini akan ditutup dengan ringkasan
permasalahan-permasalahan pokok yang memerlukan penelitian lebih jauh.
33
(lihat Tabel 2). Beberapa penulis melihat bahwa estimasi deforestasi di Indonesia
digerogoti oleh penggunaan istilah deforestasi yang kurang jelas dan tidak
konsisten.
Diantara penulis yang paling vokal mengenai permasalahan ini adalah
Dick (1991), Soemarwoto (1992), Saharjo (1994) dan Angelsen (1995).5 Kurang
spesifiknya penggunaan istilah deforestasi mengakibatkan ,interpretasi data yang
selektif dan karenanya benar-benar mengaburkan permasalahannya. Seperti yang
kita lihat di bawah ini, kasus yang terburuk adalah, deforestasi bagi seseorang
mungkin berarti reboisasi (penghutanan kembali) bagi orang lain.
Masalah yang ada hubungannya dengan hal tersebut adalah bagaimana
seseorang mengkonsepsualisasikan atau mendefinisikan pelaku deforestasi.
Berikut beberapa kesulitan utama dalam penggunaan istilah deforestasi dan pelaku
deforestasi.
(1) Apakah deforestasi hanya berarti hilangnya tutupan hutan secara permanen,
atau baik permanen
34
maupun sementara? Dua diantara penelitian utama (FAO 1990; World Bank
1990) secara tersirat menyatakan bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen
ataupun sementara merupakan deforestasi. Dengan demikian, berarti mereka
menganggap kawasan perladangan berpindah yang akan kembali menjadi hutan
sekunder juga merupakan deforestasi.
Dengan definisi seperti itu, kawasan yang mengalami deforestasi maupun
peranan sistem perladangan berpindah dalam deforestasi secara keseluruhan
menjadi sangat besar
(2) Apakah deforestasi berarti hilangnya tutupan hutan untuk segala macam
penggunaan, atau apakah artinya hilangnya tutupan hutan yang tidak dapat
menghasilkan kayu? Definisi yang tersirat dalam istilah deforestasi World Bank
1990 (hal. 3) didasarkan pada pandangan yang kedua.
(3) Apakah deforestasi berarti hilangnya tutupan hutan saja, atau apakah itu juga
berarti hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan (forest attributes),
misalnya kelebatannya, strukturnya dan komposisi spesiesnya? Saharjo (1994)
menunjukkan bahwa bila menyangkut tutupan hutan saja, luas kawasan yang
hilang lebih kecil daripada bila yang dimaksud menyangkut hilangnya berbagai
ciri-ciri kelengkapan hutan.
Degradasi hutan merupakan masalah penting dalam penilaian
perbandingan efek lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertanian rakyat
dan kegiatan pembalakan. Pada sistem perladangan berpindah, misalnya, lahan
yang ditanami sering dikatakan sebagai lahan yang telah mengalami deforestasi,
namun lahan ini kelak dapat kembali menjadi tutupan hutan. Hutan-hutan yang
ditebang dalam kegiatan pembalakan secara besar-besaran sering tidak dianggap
telah mengalami deforestasi, hanya karena masih banyak pohon yang tegak
setelah tebang pilih, tetapi dalam beberapa kasus mungkin banyak sekali fungsi
lingkungan yang telah hilang
dari hutan tersebut.
(4) Apakah yang disebut dengan pelaku deforestasi adalah mereka yang membuka
tutupan hutan, atau mereka yang kemudian menghalangi pertumbuhan kembali
tutupan hutan? Apabila pengertian pertama yang diakui, maka perusahaan-
perusahaan penebangan hutan (HPH) memainkan peranan yang lebih besar dalam
35
deforestasi. Dan apabila pengertian kedua yang diakui, maka para petani kecil,
yang kadang-kadang menduduki lahan yang telah dibuka terlebih dahulu oleh
kegiatan pembalakan (HPH), yang dianggap berperanan lebih besar. Beberapa
pengamat telah menunjukkan bahwa secara praktis tidak mungkin memilah-milah
peranan pelaku-pelaku deforestasi dalam suatu lokasi yang sama (contoh: World
Bank 1990:xx; Ahmad 1995:3).
(5) Apakah Òpelaku deforestasiÓ sebaiknya didefinisikan secara tepat dalam
pengertian pemanfaatan akhir lahan hutan yang telah dibuka, dan bukan
berdasarkan tindakan dan tujuan mereka yang sesungguhnya membuka hutan?
Barbier et al. (1993:7) mengusulkan jalan pemikiran yang demikian dan
berpendapat bahwa deforestasi di Indonesia banyak terjadi pada lahan yang
dimaksudkan untuk dikonversikan menjadi lahan pertanian, jadi peranan
penyebab deforestasi dipegang oleh pertumbuhan kegiatan pertanian. Masalah lain
yang berkaitan adalah beragamnya perspektif para pengamat mengenai nilai
utama hutan, misalnya dalam hal penggantian hutan alam dengan hutan tanaman
industri.
Para komentator yang mewakili pemerintah atau industri mungkin akan
mendukung perkembangan kegiatan ini, karena hasil kayu gelondongan dari hutan
tanaman industri per hektar dapat lebih besar dibandingkan dengan hasil dari
hutan alam. Para komentator yang mewakili kelompok lingkungan dan
masyarakat di sekitar dan di dalam hutan memandang situasi ini dengan kacamata
berbeda, karena proses ini dapat membahayakan keaneka-ragaman hayati dan
kepentingan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Dari kacamata
pendukung lingkungan, pembangunan hutan tanaman industri dapat dipandang
sebagai deforestasi, sedangkan dari kacamata pemerintah dan industri hal ini
dipandang sebagai reforestasi.
Keprihatinan ini tercermin secara ringkas dalam judul dokumen
WALHI/YLBHI (1992) Mistaking Plantations for IndonesiaÕs Tropical Forests
(Kekeliruan Menafsirkan Hutan Tanaman Industri Sebagai Hutan Tropis
Indonesia). Pandangan-pandangan berbeda yang mewakili kepentingan-
kepentingan tertentu mengenai berbagai jenis hutan, dapat menyebabkan
interpretasi yang berbeda atas data primer yang sama.
36
Seharusnya jelas bahwa pemakaian istilah-istilah dan konsep-konsep
penting secara lebih akurat merupakan prasyarat dalam meningkatkan kualitas
penelitian mengenai perubahan tutupan hutan. Pada bagian 6 kami menganjurkan
pemakaian metodologi baru yang dikembangkan oleh FAO (1996) untuk
menganalisa perubahan tutupan hutan. Metodologi ini mencakup definisi yang
tepat mengenai hutan dan deforestasi yang apabila diterapkan secara sistematis
dapat mencegah kekisruhan dan interpretasi selektif atas data tutupan hutan.
Petani Rakyat
Dalam bagian ini kami ulas literatur terbaru mengenai peranan petani
rakyat atau petani kecil dalam perubahan tutupan hutan di Indonesia. Ulasan ini
meliputi: rangkaian kesatuan (continuum) Òsistem perladangan berpindah
perambahan hutan, produksi perkebunan rakyat; transmigrasi umum; transmigrasi
spontan (swakarsa); dan peranan kepadatan penduduk dalam hilangnya tutupan
hutan.
37
dengan konservasi hutan jangka panjang, bisa juga tidak. Penulis lain lagi
menyamakan perladangan berpindah dengan sistem pertanian rakyat secara umum
di pulau-pulau di luar Jawa pemakaian istilah yang mengabaikan kenyataan
bahwa banyak petani rakyat yang dalam usahanya tidak menjalankan bentuk
rotasi apapun. Weinstock dan Sunito (1989:20-21) menyarankan perbedaan
fundamental antara peladang berpindah dan perambah hutan.
Peladang berpindah dijabarkan sebagai orang-orang yang melaksanakan
sistem pertanian berotasi dengan masa bera yang lebih lama daripada masa tanam
Kecuali apabila dihadapkan oleh tekanan penduduk atau kendala-kendala lain,
lahan hanya dipakai satu sampai tiga tahun dan diberakan (tidak diusahakan)
untuk masa yang relative lama (sampai duapuluh tahun atau lebih) .
Para perambah hutan dijabarkan sebagai orang-orang yang mungkin
menggunakan sistem tebas bakar vegetasi yang ada, tetapi dengan niatan utama
untuk mendirikan usaha pertanian yang permanen atau semipermanen. Meskipun
mungkin ditanam beberapa jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri, penanaman tanaman komersial (seringkali tanaman tahunan) merupakan
fokus budidayanya. Biasanya lahannya tidak diberakan, tetapi dipergunakan terus
menerus dan hanya ditinggalkan setelah kesuburannya hampir atau telah hilang
samasekali, karena tidak ada rencana jangka panjang untuk kembali ke lokasi
yang sama.
Agar kita dapat benar-benar memahami peranan petani kecil dalam perubahan
tutupan hutan di Indonesia, perlu sekali menyadari dan mengakui adanya
rangkaian kesatuan usaha tani mulai dari sistem perladangan berpindah tradisional
(dengan masa bera panjang dan konservasi hutan jangka panjang) pada ujung
yang satu, dan budidaya perambah hutan (yang seringkali berakibat degradasi
dalam jangka panjang dan deforestasi) pada ujung yang lain. Di Indonesia ada
polarisasi ideologi di mana wakil-wakil pemerintah dan LSM Lingkungan
cenderung tidak mengakui adanya rangkaian kesatuan tersebut. Pihak pemerintah
mencela perambahan hutan sebagai merusak lingkungan dan seringkali tidak
membedakannya dengan sistem perladangan berpindah.
38
Apabila pemerintah serius dalam melestarikan hutan, pemerintah harus
mendukung usaha pertanian tradisional yang konsisten dengan tujuan konservasi
hutan jangka panjang.
8 Sebaliknya LSM-LSM Lingkungan cenderung memusatkan perhatiannya pada
budidaya perladangan berpindah tradisional
9 dan mengesampingkan usaha-usaha pertanian yang kurang lestari berkelanjutan.
Nampaknya aktivis-aktivis ini takut bahwa pengakuan atas adanya usaha-
usaha pertanian rakyat yang tidak lestari berkelanjutan akan melemahkan
pernyataan mereka bahwa penduduk yang tinggal di pinggir hutan memiliki
kearifan dalam mengelola hutan. Pengakuan akan keseluruhan rangkaian kesatuan
berbagai usaha pertanian justru akan memperkuat, bukannya melemahkan posisi
LSM karena dua hal.
Pertama, ini akan menunjukkan pengakuan atas rumitnya perubahan sosial
pedesaan. Kedua, ini akan menunjukkan keprihatinan terhadap perambah hutan,
yang seperti halnya para peladang berpindah, sebenarnya juga merupakan korban
proses perubahan sosial yang cepat sekali.
Terobosan penting dalam pemahaman yang lebih baik mengenai peranan sistem
perladangan berpindah dalam deforestasi dicapai melalui kritik Dick (1991)
terhadap penelitian-penelitian World Bank (1991) dan FAO (1990). Berdasarkan
perhitungan berikut ini, World Bank (1990) menyatakan bahwa sistem
perladangan berpindah memegang peranan yang sangat besar dalam deforestasi.
Luas areal yang dilaporkan dipakai untuk perladangan berpindah dalam tiga
propinsi di Indonesia pada tahun 1990 adalah 14 juta ha di Sumatra, 11 juta ha di
Kalimantan dan 2 juta ha di Irian Jaya (data RePPProT, seperti disitir oleh World
Bank (1990:3). Keseluruhan areal sejumlah 27 juta ha meluas dengan laju 2 %
setahun, yang menurut World Bank (1990:3) berarti deforestasi seluas kira-kira
500.000 ha per tahun jelas sekali ini merupakan penyebab terbesar deforestasi.
Asumsi FAO (1990) kira-kira juga demikian.
Menurut data State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN
Food & Agriculture Organization’s (FAO), angka deforestasi Indonesia 2000-
39
2005 1,8 juta hektar/tahun. Sedangkan Brazil dalam kurun waktu yang sama 3,1
juta hektar/tahun dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun
karena luas kawasan hutan totalIndonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka
laju deforestasiIndonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia
adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%.
Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju kerusakan
hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Prof. Dr. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
Bogor. Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut
puluhan jiwa Orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari
deforestasi yang tinggi di negeri ini.
Memang hubungan antara deforestasi dan flu burung sulit diuraikan secara
kasat mata, akan tetapi menurut penelitian para ahli, flu burung yang pertama kali
ditemukan di Cina pada tahun 1990, muncul akibat pengelolaan sumber daya yang
buruk di negeri tirai bambu itu yang kini telah beralih menjadi negeri industri
terbesar di dunia dan ekologinya telah hancur.
40
Jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang dengan ekosistemnya sehingga
tidak sampai menyerang manusia. Tapi apa lacur! Manusialah yang merusak
ekologi mikroba tersebut. Hasilnya: keseimbangan hidup mikroba pun berubah.
Dan perubahan itu menyebabkan mikroba mengalami transformasi dalam
kehidupannya. Mikroba transformatif itulah yang akhirnya menyerang manusia.
Seperti diketahui, suplai oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu
rusak, maka suplai oksigen pun berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan
tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen – yang
bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O
nascend – adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif.
Bila oksigen itu berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang.
Dampaknya, mikroba dan virus akan makin berkembang, hingga muncullah
varian baru virus flu burung HxNy, dengan yang kini menyerang manusia
merupakan farian H5N1. So, apakah kita akan birakan hutan hancur dan virus,
bakteri dan mikroba lain yang selama ini hidup tenang dihabitatnya gentayangan
dengan beragam varian dan siap menyerang manusia?
Deforestasi merupakan suatu kondisi saat tingkat luas area hutan yang
menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas. Indonesia memiliki 10%
hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah
spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan
amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian
diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas
hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia
41
yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-
1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000
menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu
tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar
hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan
hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. Pada abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada
akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar
atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa
oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air
sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Fungsi hutan sebagai
penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan
yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi
kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan.
Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian
masyarakat. Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat
tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak
terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat
luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.
Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang
mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini
juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap
sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak
akhirtahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan
kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan
dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri
di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal
hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang
juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan
42
transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan. Di tahun 1999,
setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya
kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang
sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa izin yang tak
terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang
dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
43
akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami,
sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak
produktif.
44
menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan
sekitar 10 juta ha hutan Indonesia.
45
tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap
dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim
kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan
gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya adanya konversi lahan atau
pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim
kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah
terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah
permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah
secara lambat dan dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan
gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan,
baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
46
DAFTAR PUSTAKA
47
of Growth-Oriented Policies. Working Paper No. 4. The World Bank,
Washington, DC.
Colfer, C.J. Pierce with R.G. Dudley. 1993. Shifting Cultivators of Indonesia:
Marauders or Managers of the Forest?
Community Forestry Case Study Series 6. Food and Agriculture Organization of
the United Nations, Rome.
Dauvergne, P. 1994. The politics of deforestation in Indonesia. Pacific Affairs
66(4):497-518.
DepHut. 1995. Laporan: Inventarisasi dan Identifikasi Perladangan
Berpindah/Perambahan Hutan Propinsi
Kalimantan Timur, Tahun Anggaran 1994/1995. Departemen Kehutanan, Kantor
Wilayah Propinsi Kalimantan
Timur, Samarinda.
DepTrans. 1995. Kontribusi Pembangunan Transmigrasi Pelita V. Pusat Data dan
Informasi. Sekretariat Jenderal
Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Republik Indonesia,
Jakarta.
DepTrans dan YDWL. 1996. Upaya Penanganan Permasalahan Perambah
Hutan di Propinsi Kalimantan Timur
(Taman Nasional Kutai) dan Kalimantan Selatan (Sungai Pinang). Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Hutan, Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur dan Yayasan
Dharma Wana Lestari, Fakultas
Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia:
a summary and interpretation of existing
information. Background paper to UNCED for the State Ministry for Population
and Environment (KLH) and
the Environmental Impact Management Agency (BAPEDAL).
DJP. 1995. Statistik Perkebunan Indonesia 1994-1996. Direktorat Jendral
Perkebunan, Jakarta.
48
Dove, M.R. 1993. Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a
sustainable adaptation to the ecology and
economy of the tropical forest. Economic Botany 47(2):136-147.
Dove, M.R. 1996. So far from power, so near to the forest: a structural analysis of
gain and blame in tropical forest
development. In C. Padoch and N.L. Peluso (eds), Borneo in Transition: People,
Forests, Conservation, and
Development. Oxford University Press, Kuala Lumpur. pp. 41-58.
Downton, M.W. 1995. Measuring tropical deforestation: development of the
methods. Environmental Conservation
22(3):229-240.
DÕSilva, E. and S. Appanah. 1993. Forestry Management for Sustainable
Development. EDI Policy Seminar Report No.
32. The World Bank, Washington DC.
Durand, F. 1994. Les Forts en Asie du Sud-Est: Recul et Exploitation. Le Cas de
lÕIndon.sie. LÕHarmattan, Paris.
Economist Intelligence Unit. 1995a. Country Profile: Indonesia 1994-95. The
Economist Intelligence Unit, London.
Economist Intelligence Unit. 1995b. Country Report: Indonesia 4th Quarter
1995. The Economist Intelligence Unit, London.
Endogeotec Visicon. 1996. Studi pola migrasi perambah hutan. Lokasi: Sumatra
Selatan dan Lampung. Endogeotec
Visicon, Jakarta.
FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 1:
issues, findings and opportunities.
Ministry of Forestry, Government of Indonesia; Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Jakarta.
20 William D. Sunderlin dan Ida Aju Pradnja Resosudarmo
http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/UCauses.html
49
Pemanasan global
Efek Rumah Kaca, Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Bumi telah menjadi lebih hangat sekitar 1ºF (0.5ºC) dari 100 tahun yang
lalu. Tapi mengapa? Dan bagaimana? Sebenarnya para pakar ilmu pengetahuan
juga tidak tahu pasti. Bumi bisa saja menjadi hangat secara alami, tetapi banyak
ahli iklim dunia yang percaya bahwa tindakan manusia telah membantu membuat
Bumi menjadi lebih hangat.
Para ahli sudah setuju bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh
bertambahnya jumlah gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir yang menyebabkan
energi panas yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali
ke permukaan dan menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih
panas.
50
Gas Rumah Kaca :
Ada beberapa gas diatmosfir yang berfungsi sebagai \'penangkap\' energi
panas matahari. Tanpa gas-gas ini, panas akan hilang ke angkasa dan temperatur
rata-rata Bumi dapat menjadi 60ºF (33ºC) lebih dingin. Karena fungsinya sebagai
penjaga hangatnya Bumi, gas-gas ini kemudian disebut sebagai Gas Rumah Kaca
(GRK). Yang termasuk diantaranya adalah : Karbon Dioksida (CO2), Nitro-
Oksida (NO2), dan Metana (CH4).
Rumah Kaca:
Pernahkah kamu melihat sebuah rumah kaca? Rumah kaca umumnya
berbentuk sebuah rumah kecil yang seluruhnya terdiri dari kaca dan dibangun
untuk menumbuhkan berbagai jenis tanaman, terutama diwaktu musim dingin.
Bagaimana rumah kaca bekerja? Panel-panel kacanya membiarkan sinar matahari
masuk tetapi menjaga energi panas yang disebabkannya hilang ke udara. Untuk
mudahnya, bayangkan kalau kamu masuk ke dalam mobil yang diparkir dibawah
sinar matahari, joknya terasa panas bukan? Nah, begitu juga tanaman yang ada
didalam rumah kaca, panas yang ditahan menyebabkan tanaman dapat bertahan di
musim dingin.
51
menjadi lebih hangat dari semestinya dan akan timbul masalah baru bagi
kehidupan manusia, tumbuhan, dan binatang.
Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu dalam jangka
waktu yang panjang. Sebagai contoh, ada kemungkinan dalam suatu hari di
musim dingin di New York, Amerika Serikat, terjadi suatu hari yang cerah dan
hangat, tetapi rata-rata cuaca - iklim- memberitahu kita bahwa musim dingin di
New York umumnya akan dingin dan penuh salju dan hujan. Perubahan iklim
menunjukkan suatu perubahan dalam cuaca secara jangka panjang, bisa lebih
hangat atau lebih dingin. Curah hujan atau salju rata-rata pertahun dapat
bertambah atau berkurang.
Cuaca
Cuaca mengambarkan apapun yang terjadi di alam pada suatu waktu
tertentu di suatu tempat tertentu. Cuaca adalah sesuatu gejala alam yang terhadi
dari menit ke menit. Cuaca dapat berubah drastis dalam waktu yang singkat.
Contohnya, bisa saja terjadi hujan satu jam lamanya dan mendadak langit cerah
dan terang. Cuaca adalah yang kita dengar di berita televisi setiap malam. Yang
termasuk cuaca adalah perubahan harian dalam kelembaban, tekanan barometrik,
temperatur, dan kondisi angin di suatu lokasi tertentu. Sekarang, katakan,
bagaimana cuaca di tempat mu hari ini?
Iklim
Iklim menggambarkan total cuaca yang terjadi selama satu periode tertentu
dalam setahun di suatu tempat tertentu, Yang termasuk didalamnya adalah kondisi
cuaca rata-rata, musim (dingin, panas, semi, gugur, hujan, dan kemarau), dan
gejala alam khusus (seperti tornado dan banjir). Iklim memberitahu kita
bagaimana tinggal di daerah tertentu. Bogor kota hujan, Jakarta panas, dan
Bandung sejuk. Jadi, bagaimana iklim di tempat tinggalmu?
52
Pemanasan Global (Global Warming)
53
Kapan saja kamu ….
Nonton TV
Memasang AC
Menyalakan Lampu
Menggunakan
Pengering Rambut
Mengendarai Mobil
Bermain Video Game
Menyalakan Radio
Mencuci atau Mengeringkan Pakaian dengan Mesin
Menggunakan Microwave / Oven
Tentu saja. Apabila kita mau mencoba, setiap orang dapat melaksanakan
bagiannya dalam membantu mencegah terjadinya pemanasan global. Tidak ada
yang mengatakan bahwa mengendarai mobil atau menggunakan listrik adalah
kegiatan yang salah. Kita hanya harus lebih pintar dalam melaksanakannya.
54
Beberapa orang mengurangi penggunaan energi dengan melakukan carpooling
atau pemakaian mobil bersama. Contohnya, empat orang dapat berada dalam satu
mobil yang sama daripada mengendarai empat mobil berbeda untuk pergi ke
tempat yang sama.
Berikut ini adalah hal-hal yang mudah tetapi dapat membuat kamu ikut serta
dalam menjaga Bumi menjadi tempat hidup yang lebih baik!
Membaca
Belajar mengenai lingkungan adalah hal yang penting. Ada banyak buku
yang bisa kamu baca. Sebagai permulaan, minta tolong guru atau pegawai
perpustakaan untuk memberikan judul buku yang bisa dibaca. Atau dengan
semaraknya dunia internet, ada baiknya kamu menjelajahi alam maya untuk
mencari situs-situs yang memberikan informasi mengenai lingkungan dan
perubahan iklim.
Hemat Penggunaan Listrik
Matikan lampu, televisi, dan komputer ketika kamu selasai menggunakannya.
Naik Sepeda, Bis, dan Jalan Kaki
Dengan sekali-sekali naik bis, mengendarai sepeda, atau berjalan kaki, kamu
sudah menghemat penggunaan energi fossil.
Daur Ulang
55
Mendaur ulang kaleng, botol, kantong plastik, dan koran. Ketika kamu
melakukan daur ulang, kamu mnguerangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat
pembuangan sampah dan kamu membantu penyelamatan sumber daya alam,
seperti pohon, minyak bumi, dan bahan metal seperti alumunium.
Ketika belanja, belilah barang yang ramah lingkungan Salah satu cara untuk
mengurangi pelepasan GRK ke atmosfir adalah membeli produk yang hemat
energi, seperti mobil, barang elektronik dan lampu.
Mobil
Mobil adalah kebutuhan utama, terutama dikota-kota besar. Kamu dapat
membantu menghemat energi dengan menggunakan mobil yang lebih sedikit
menggunakan bahan bakar.
56
ENERGY STAR
Bebearapa benda, seperti komputer, TV, Stereo, dan VCR mencantumkan
label bertuliskan \"Energy\" dengan gambar sebuah bintang. Produk dengan label
ENERGY STAR® dibuat untuk menghemat energi. Membeli produk ini akan
membantu pelestarian lingkungan.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara
tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di
masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun
sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan
kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu
tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan
besarnya kapasitas panas dari lautan.
57
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai
jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana
pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari
satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik
dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk
mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi
terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan
negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto,
yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
58
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan
semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas
yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang
ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan
temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas
33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu
bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan
tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian
saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra
merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya
bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi
infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek
netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa
detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini
59
sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil
bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model
iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada
peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif
(menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap
pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH 4 yang juga
menimbulkan umpan balik positif.
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar
fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur
rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang
bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year,
mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
60
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan
cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi
peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat.
Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke
lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-
data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada
akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi
data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
61
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di
atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat
selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon
dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum
alam mampu menyerapnya kembali.
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi,
konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat
pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya,
akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa
perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia
akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang
menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut
malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal
ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga
62
keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap
air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga
akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan
menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat
Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1
persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain
itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan
menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan
mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh
kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
63
pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan
evakuasi dari daerah pantai.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari
efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam
pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas
pegunungan.
64
mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat
berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat
mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian
akibat trauma.
Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor
penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten
terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa
diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi
ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini.
Hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis
berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau
panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
65
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada
sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran
pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru
kronis, dan lain-lain.
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-
tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini
tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang
ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-
langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai
dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air
laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke
daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat
menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur)
habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara.
Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk
menuju ke habitat yang lebih dingin.
Menghilangkan karbon
66
Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon
dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan
karbon dalam kayunya.
Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai
Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas
alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali
ke permukaan.
Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai
sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya
secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke
udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan
dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara.
67
Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih
mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun
kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan
tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru
terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan
karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal
dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan
persyaratan pengurangan karbon dioksida ini.
68
2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan
untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
69
Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki
program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual
hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan
karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti
Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya
yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila
sistem ini diterapkan.
Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah
kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih
dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit
emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
70
DAFTAR PUSTAKA
71