You are on page 1of 11

Referat

Suspect Carcinoma Nasofaring

Oleh :
Nama

: Muhammad Nauval

NIM

: H1A 007 042

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang bertumbuh (berawal) dari mukosa


nasofaring, dimana terdapat bukti adanya differensiasi skuamosa baik secara mikroskopik
atau ultrastruktural (WHO, 2005)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara
tumor ganan THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5 besar tumor ganas
dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah
bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan
paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, dan
tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring (Adham, 2007) .
Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000
kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia,
frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60
kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit
Tinggi (Adham, 2007)
Pada tulisan ini akan dijabarkan mengenai kasus suspect karsinoma nasofaring di
Poliklinik THT RSU Mataram yang didapatkan pada tanggal 14 November 2011.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi
Faring
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams dalam
Adams et al, 1997):

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Batas-batas nasofaring:
Superior

: basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior

: bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas

ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior

: koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os

vomer
Posterior

: vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa

bagian atas
Lateral

: mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara

tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller


2. Karsinoma Nasofaring
Etiologi
Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi genetik, faktor
lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 & Wolden, 2001).
1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang dengan
kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk menderita
karsinoma nasofaring.
2. Lingkungan
Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang mengandung volatile
nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan formaldehide, akumulasi debu kapas, asam,
caustic, proses pewarnaan kain, merokok, nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum
nasi meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring.
3. Virus Ebstein-Barr
Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk penyakit. Virus
ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma burkit dan karsinoma nasofaring.
Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di
Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat.

Patologi
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga
akan menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di

bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah
korpus os sphenoid dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin
timbul di tempat-tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring
atau fossa Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.
Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing
menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke
sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis
pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII. Di
nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral dan bermuara di
kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).
Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring
harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala
belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih berada
dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma
nasofaring (Adham, 2007)
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak

disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila
sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).
Stadium
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi
menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang sudah
melekat dengan jaringan sekitar
M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:
Stadium I

: T1 N0 M0

Stadium II

: T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0

T1 T4 N2,N3 M0
T1 T4 N0 N3 M1

Diagnosis
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma
nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa adalah hasil
biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi
topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang


dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut ditaik
dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum molle
tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut. Tumor akan terlihat lebih jelas
menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan
hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah
lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)

4. Pemeriksaan patologi anatomi


Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum tahun
1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe diferensiasi
baik, sedang, dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada
umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang
prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun
1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
2. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi (WHO,
2005).
4. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang
lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang
lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar.

Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau
penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian tumor
pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)
o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
o Posisi basis cranii atau submentoforteks
o Tomogram lateral daerah nasofaring
o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring

CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah kemampuan
untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring. CT Scan mampu
membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke
jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial (Wolden, 2001).

Tatalaksana
1. Radioterapi
Merupakan terapi primer pada karsinomanasofaring (Wolden, 2001)
2. Kemoterapi
Kemoterapi terutama diberikan pada tumor stadium lanjut atau keadaan kambuh, dan
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi bila diberikan kombinasi dengan pengobatan
lainnya (Wolden, 2001)
3. Kombinasi kemo-radioterapi
Mitomicyn C dan 5-flourouracil oral setiap hari sebelum radiasi memberikan hasil
yang baik dan harapan kesembuhan total (Adham, 2007).
Prognosis

Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker. Pada
studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka
harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%,
stadium III 86%, dan stadium IV 73%.

Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terlena berumur lebih
muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih
baik.

Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat menentukan
prognosis dari pasien (WHO, 2005)

DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta:
EGC. Hal: 263-271
Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
Hal:182-187
Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Hal: 1020-1039
Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical Oncology:
Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156
World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and Neck
Tumours. Lyon: IARC Press. Available at: www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php
accessed: 19 November 2011.

You might also like