Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Nama
: Muhammad Nauval
NIM
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Faring
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams, 1997).
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams dalam
Adams et al, 1997):
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
Batas-batas nasofaring:
Superior
Inferior
Anterior
vomer
Posterior
: vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas
Lateral
Patologi
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga
akan menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga tengah. Di
bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah
korpus os sphenoid dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin
timbul di tempat-tempat tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring
atau fossa Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.
Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing
menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke
sinus kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis
pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII. Di
nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral dan bermuara di
kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).
Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring
harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala
belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih berada
dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma
nasofaring (Adham, 2007)
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula
ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila
sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).
Stadium
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi
menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang sudah
melekat dengan jaringan sekitar
M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:
Stadium I
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 T4 N2,N3 M0
T1 T4 N0 N3 M1
Diagnosis
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma
nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa adalah hasil
biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi
topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang
prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun
1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
2. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi (WHO,
2005).
4. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang
lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang
lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar.
Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau
penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian tumor
pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)
o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
o Posisi basis cranii atau submentoforteks
o Tomogram lateral daerah nasofaring
o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah kemampuan
untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring. CT Scan mampu
membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke
jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial (Wolden, 2001).
Tatalaksana
1. Radioterapi
Merupakan terapi primer pada karsinomanasofaring (Wolden, 2001)
2. Kemoterapi
Kemoterapi terutama diberikan pada tumor stadium lanjut atau keadaan kambuh, dan
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi bila diberikan kombinasi dengan pengobatan
lainnya (Wolden, 2001)
3. Kombinasi kemo-radioterapi
Mitomicyn C dan 5-flourouracil oral setiap hari sebelum radiasi memberikan hasil
yang baik dan harapan kesembuhan total (Adham, 2007).
Prognosis
Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker. Pada
studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system, menunjukkan angka
harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%, stadium II A-B, 95%,
stadium III 86%, dan stadium IV 73%.
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terlena berumur lebih
muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang lebih
baik.
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat menentukan
prognosis dari pasien (WHO, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta:
EGC. Hal: 263-271
Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
Hal:182-187
Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Hal: 1020-1039
Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical Oncology:
Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156
World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and Neck
Tumours. Lyon: IARC Press. Available at: www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php
accessed: 19 November 2011.