You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Epilepsi merupakan gangguan saraf kronik dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang
disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi. Menurut International League Against
Epilepsi (ILAE), yang disebut epilepsi adalah kecenderungan untuk terjadinya
kejang tipe apapun secara klinis. Tiap individu yang mengalami epilepsi
mempunyai risiko yang bermakna untuk mengalami kekambuhan kejang. Waktu
munculnya kejang terjadi secara mendadak, tidak disertai demam berulang dan
tidak dapat diprediksi. Kejang yang menahun dan berulang dapat berakibat fatal,
oleh karena itu sasaran terapi utamanya adalah pengendalian penuh atas kejang
(Gidal dan Garnett, 2005).
Terapi utama epilepsi yaitu dengan pemberian obat-obat antiepilepsi
(OAE) untuk mengontrol kejang (Brodie dan French, 2000). Terapi pilihan
lainnya termasuk perubahan pola makan, menghindari faktor pencetus (contohnya
alkohol atau kurang tidur), stimulasi nervus vagus dan pembedahan (Gidal dan
Garnett, 2005). Terapi dimulai saat pasien mengalami kejang berulang dengan
interval kejang yang tidak menahun (Carpay dkk., 1998).

Sekitar 50% pasien epilepsi dapat mengontrol frekuensi kekambuhan dan


aktivitas kejangnya dengan OAE, namun 30-40% pasien mengalami kesukaran
dalam mengontrol kejangnya walaupun telah menggunakan obat antiepilepsi
(Gidal dan Garnett, 2005; Lawthorn dan Smith, 2001). Pengobatan epilepsi
dengan OAE bersifat individual dan khas, berbeda dengan terapi terhadap
penyakit lainnya. Sifat khas ini diwarnai oleh jangka waktu pengobatan yang lama
dan seringkali memerlukan lebih dari satu obat sehingga memungkinkan
terjadinya interaksi dan efek samping obat, toksisitas dan faktor lain yang dapat
mempengaruhi pengobatan (Moe dkk., 2006).
Dalam prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi
ketidakpatuhan dalam meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat,
serangan yang tidak kunjung hilang setelah meminum obat, harga obat yang
mahal, kewajiban pasien untuk kontrol secara teratur dan adanya efek samping
yang muncul karena pengobatan. Kepatuhan merupakan masalah utama karena
terapi pada penyakit epilepsi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan
kedisiplinan dalam menjalani pengobatan. Hal ini memerlukan strategi dan
pendekatan khusus dalam menanganinya, mengingat sifat-sifat epilepsi yang
kompleks dan pemberian obat antiepilepsi jangka panjang dengan segala
konsekuensinya, yang menuntut kedisiplinan penderita untuk mematuhi
pengobatan (Andarini, 2007).
Kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan epilepsi telah dilaporkan terjadi
pada 58% pasien anak-anak yang baru terdiagnosis epilepsi dan hanya 42% pasien
mendekati kepatuhan yang sempurna (Modi dkk., 2011 b). Alasan dari

ketidakpatuhan sangat spesifik dan bervariasi pada tiap pasien. Tingkat kepatuhan
pengobatan pada anak-anak ini sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dan
dukungan dokter dalam merawat pasien. Beberapa orang tua pasien kemungkinan
belum dapat menerima anaknya mengalami epilepsi, beberapa berpikir bahwa
obat-obatan tersebut memperparah kejang dan beberapa lainnya mungkin takut
pada efek samping yang didapat dari pengobatan (Modi dkk., 2008).
Beberapa dokter mungkin tidak mempertimbangkan rendahnya kepatuhan
dalam meminum obat ketika kekambuhan kejang terjadi. Kurangnya komunikasi
tentang kepatuhan ini dapat menimbulkan perubahan atau peningkatan dosis obat
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (Koumoutsos dkk., 2007). Peran tenaga
kesehatan, khususnya farmasis sangat dibutuhkan dalam membantu untuk
menentukan jenis terapi yang tepat dan rasional, mengevaluasi pengobatan,
pengatasan akan efek samping yang mungkin terjadi, serta edukasi orang tua dan
pasien agar tercapai keberhasilan terapi. Penelitian tentang hubungan kepatuhan
pengobatan dengan frekuensi dan keparahan kejang pasien epilepsi pediatrik
masih jarang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan kepatuhan pengobatan dengan frekuensi dan keparahan kejang pada
pasien epilepsi pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
frekuensi kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

2. Apakah terdapat hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan


keparahan kejang pasien epilepsi pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan :
1. Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
frekuensi kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
keparahan kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi terkait kepatuhan pengobatan dan pengaruhnya dengan frekuensi
dan keparahan kejang epilepsi anak yang mendapat pengobatan antiepilepsi.
2. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian dapat menyumbangkan masukan dalam menetapkan strategi
pendekatan pada pasien epilepsi anak.
3. Bagi dokter
Sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan edukasi akan pentingnya
minum obat antiepilepsi secara teratur dan pertimbangan untuk melakukan
evaluasi terapi pasien epilepsi anak.

E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan.
Data World Health Organization (WHO), 2001 menunjukkan epilepsi
menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara
pada perempuan dan kanker prostat pada pria.
Epilepsi secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
epilambanmein yang berarti serangan (Harsono, 1999). Kata ini menandakan
ada sesuatu dari luar badan seseorang yang menimpa orang tersebut sehingga
orang tersebut jatuh. Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan
epilepsi sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan
pada jaringan saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah
laku penderita (Indrayati, 2004).
Epilepsi merupakan penyakit yang ditandai dengan kejadian kejang
yang berulang dan reversibel. Serangan kejang yang merupakan gejala atau
manifestasi klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat
menimbulkan kelainan fungsional (motorik, sensorik, otonom atau psikis).
Serangan epilepsi berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral
yang berlebihan dan berlangsung lokal. Pelepasan mendadak muatan listrik
memberikan gerakan maupun persepsi abnormal yang berlangsung singkat.
Secara prinsip, serangan terjadi berulang kali dengan pola yang sama, tanpa
memandang tempat, waktu dan keadaan (Harsono, 1999). Kejang sendiri
didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak sementara, tiba-tiba, yang dapat

tampak sebagai kehilangan aktivitas motorik abnormal, kelainan tingkah laku,


gangguan sensoris, disfungsi autonom dengan perubahan atau gangguan
fungsi kesadaran (Hay, 2003).
Gambaran klinis serangan epilepsi tergantung pada fungsi daerah otak
yang mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur yang dilalui
oleh lepas muatan listrik tersebut atau bagian disekitar jalur tersebut, sehingga
manifestasi serangan epilepsi dapat terjadi sebagai serangan beraneka ragam
dan kompleks (Gunawan, 1998).
Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa kejang umum, kejang fokal,
penurunan kesadaran, kelainan tingkah laku sampai manifestasi klinik lainnya
yang penyebabnya masih sulit dimengerti (Harsono, 1999). Adanya variasi
dalam manifestasi klinis ini, maka cukup sulit membedakan jenis epilepsi
secara klinis. Bangkitan epilepsi tidak selalu bersifat eksitasi atau kejang
melainkan dapat juga bersifat fenomena negatif berupa menghilangnya
kesadaran dan tonus otot, sehingga kadang-kadang epilepsi sulit dibedakan
dengan penyakit lain yang mirip gejalanya, maka diperlukan pemeriksaan
penunjang lain seperti EEG (Andarini, 2007).

2. Klasifikasi epilepsi
Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram
(EEG) dan manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran
informasi tentang epilepsi dan bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat
(Harsono, 2001). Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara luas adalah

klasifikasi oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 yang


terdiri dari 3 kategori utama yaitu kejang parsial, kejang umum dan kejang
yang tak terklasifikasi.
Tabel I. Klasifikasi kejang berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE),
1981
Klasifikasi Kejang International League Against Epilepsy (ILAE), 1981
a.

b.

c.

Kejang parsial
1) Parsial sederhana
2) Parsial kompleks
3) Parsial yang diikuti kejang umum sekunder
Kejang umum
1) Absence (petit mal)
2) Tonik-klonik (grand mal)
3) Tonik
4) Atonik
5) Klonik
6) Mioklonik
Kejang yang tak terklasifikasi

(Dodson & Pellock, 2008)


Serangan epilepsi tidak selalu disertai dengan kejang dan sebaliknya,
kejang belum tentu dapat dikatakan epilepsi. Berikut gambaran klinis
berdasarkan tipe kejangnya (Ikawati, Z., 2011):
a. Kejang parsial (fokal/lokal)
Kejang ini terjadi pada salah satu atau lebih lokasi yang spesifik
pada otak. Dalam beberapa kasus, kejang parsial dapat menyebar luas di
otak. Kejang ini terkadang disebabkan terjadinya trauma spesifik, namun
dalam banyak kasus penyebabnya tidak dapat diketahui (idiopatik).
1) Kejang parsial sederhana
Dalam kasus kejang parsial sederhana (Jacksonian epilepsy), pasien
tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun dapat mengalami
kebingungan, jerking movement, atau kelainan mental dan emosional.
Manifestasi klinis dari kejang parsial sederhana ini yaitu klonik

(repetitif, gerakan kepala dan leher menengok ke salah satu sisi).


Beberapa pasien dapat pula terjadi gejala somatosensorik berupa aura,
halusinasi, atau perasaan kuat pada indra penciuman dan perasa.
Setelah kejang, pasien biasanya mengalami kelemahan pada otot
tertentu. Umumnya kejang terjadi selama 90 detik.
2) Kejang parsial kompleks
Sekitar 80% dari kejang ini berasal dari temporal lobe, bagian otak
yang berdekatan dengan telinga. Gangguan pada bagian tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran atau dapat terjadi perubahan
tingkah laku misalnya automatisme. Pasien kemungkinan mengalami
kehilangan kesadaran secara singkat dan tatapan kosong. Kejang ini
seringkali diawali dengan aura. Episode serangan biasanya tidak lebih
dari 2 menit. Sakit kepala yang berdenyut kemungkinan terjadi pada
kejang tipe ini.
3) Kejang parsial diikuti kejang umum sekunder
Kejang fokal dapat berkembang menjadi tonik klonik dengan
kehilangan kesadaran dan kejang (tonik) otot seluruh badan diikuti
periode kontraksi otot bertukar dengan relaksasi (klonik). Seringkali
sulit dibedakan dengan kejang umum. Hal ini karena kejang parsial
dengan generalisata sekunder mempunyai onset fokal yang seringkali
tak teramati. Onset fokal kejang diidentifikasi melalui analisis riwayat
kejang dan EEG secara cermat (Kasper dkk., 2008).

b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
1) Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini (Kasper dkk.,
2008). Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan
kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di
sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial
sederhana atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention
deficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang,
serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi
diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai
oleh ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur
otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang
tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan
tipe kejang absence tipikal (Kasper dkk., 2008).

10

2) Kejang tonik-klonik (grand mal)


Tipe ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Fase
awal dari terjadinya kejang biasanya berupa kehilangan kesadaran
disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi
tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otototot yang berkontraksi, menyebabkan pasien tiba-tiba terjatuh dan
terbaring kaku sekitar 10-30 detik. Beberapa pasien mengalami
pertanda atau aura sebelum kejang. Kebanyakan mengalami
kehilangan kesadaran tanpa tanda apapun. Dapat juga terjadi sianosis,
keluar air liur, inkontinensi urin dan atau menggigit lidah. Segera
sesudah kejang berhenti pasien tertidur. Kejang ini biasanya terjadi
sekitar 2-3 menit.
3) Kejang atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien dapat tiba-tiba
mengalami kehilangan kekuatan otot yang mengakibatkan pasien
terjatuh, namun dapat segera pulih kembali. Terkadang terjadi pada
salah satu bagian tubuh, misalnya mengendurnya rahang dan kepala
yang terkulai.
4) Kejang mioklonik
Kejang tipe ini ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat,
bilateral, dan terkadang hanya terjadi pada bagian otot-otot tertentu.
Biasa terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur, pasien mengalami
hentakan yang terjadi secara tiba-tiba.

11

5) Simply tonic atau clonic seizures


Kejang kemungkinan terjadi secara tonik atau klonik saja. Pada kejang
tonik, otot berkontraksi dan gangguan kesadaran terjadi sekitar 10
detik, tetapi kejang ini tidak berkembang menjadi klonik atau jerking
phase. Kasus kejang klonik yang jarang ditemukan, terutama terjadi
pada anak-anak, yang mengalami spasme otot tetapi bukan kekakuan
tonik.
c. Kejang yang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung
oleh data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan kejang
yang sering terjadi pada neonatus. Hal ini kemungkinan disebabkan
adanya perbedaan fungsi dan hubungan saraf pada sistem saraf pusat di
bayi dan dewasa (Kasper dkk., 2008).

3. Etiologi epilepsi
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas
muatan listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis
normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada
ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi
genetik hingga luka trauma pada otak (Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi
kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien.
Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan berdasarkan
umur antara lain sebagai berikut:

12

Tabel II. Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik


Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur
Neonatus
Hipoksia dan iskemia pada perinatal
(<1 bulan)
Trauma dan hemoragi intrakranial
Infeksi akut pada SSP
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesia, defisiensi piridoksin)
Gejala putus obat
Gangguan perkembangan
Penyakit genetik
Bayi dan
Kejang karena demam
Anak-anak
Penyakit genetik
(>1 bulan,
Infeksi SSP
<12 tahun)
Gangguan perkembangan
Trauma
Idiopatik
Remaja
Gangguan perkembangan
(12-18 tahun)
Infeksi
Tumor otak
Penggunaan obat terlarang
Trauma
Idiopatik

(Kasper dkk., 2008)


Kejang terjadi akibat pengeluaran sejumlah neuron yang abnormal
akibat dari berbagai proses patologi sehingga berdampak pada otak. Epilepsi
bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang dapat timbul karena
suatu penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat
timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan
mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak
(Harsono, 1999).
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
a. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik
Epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak.
Diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam
sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak

13

ada kelainan anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang


menimbulkan kejang, maka sindrom ini disebut epilepsi idiopatik atau
primer. Kejang dapat ditimbulkan karena abnormalitas susunan sistem
saraf pusat (Harsono, 2001).
Epilepsi idiopatik merupakan 2/3 kasus yang tidak diketahui
penyebabnya. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak
diketahui faktor penyebabnya (Harsono, 1991). Umumnya faktor genetik
lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Insidensi epilepsi idiopatik lebih
tinggi pada anak-anak (Berg, 2006). Diduga bahwa serangan terjadi karena
cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-neuron pada area jaringan otak
yang abnormal. Etiologi idiopatik digunakan pada kejang dengan tipe
umum, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan bila tidak ada penyebab
yang diketahui pada onset kejang parsial (Rogers dan Cavazos, 2008).
b. Epilepsi sekunder
Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat
dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan
otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini
bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma, luka kepala, infeksi
atau radang selaput otak, penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU)
dan kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.

14

Epilepsi
penyebabnya.

sekunder
Kelainan

merupakan
dapat

terjadi

1/3

kasus

bawaan

yang
atau

diketahui

pada

masa

perkembangan anak (Pedley, 1995). Beberapa faktor risiko yang sudah


diketahui antara lain: trauma kepala, trauma persalinan, demam tingi,
stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan
keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan reaksi alergi.
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia
serangan pertama kali.

4. Patogenesis epilepsi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi
neuron. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi

ion

ekstraseluler,

voltage-gated-ion-channel

opening

dan

menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter eksitasi yaitu
glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang
paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik
(Shih, 2007).

15

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam ruang


ekstraseluler dan intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion menembus
membran neuron (Harsono, 2001). Aktivitas dari ion-ion tersebut yang
menimbulkan potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung
pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran mudah dilewati
oleh ion K dari ekstraseluler ke intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan
Cl. Perbedaan konsentrasi yang dibuat ini yang akan menimbulkan potensial
membran.
Beberapa mekanisme yang dapat mempengaruhi keseimbangan
hipereksibilitas antara lain (Rogers dan Cavazos, 2008):
a. Perubahan distribusi, jumlah, tipe dan kandungan kanal ion pada membran
saraf. Faktor-faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilalui
oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel. Influks dari Ca ini
akan menimbulkan letupan depolarisasi membran dan melepas muatan
listrik yang berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Cetusan listrik
abnormal ini yang kemudian menstimulasi neuron-neuron sekitarnya yang
terkait di dalam sel. Sifat khas dari epilepsi ialah terjadinya penghentian
serangan akibat proses inhibisi. Diduga sistem inhibisi ini merupakan
pengaruh neuron-neuron disekitarnya. Keadaan lain yang menyebabkan
hentinya serangan epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya
zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Shih, 2007);
b. Perubahan sistem biokimia reseptor;

16

c. Modulasi dari second messaging systems dan ekspresi gen;


d. Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler;
e. Perubahan pada uptake neurotransmitter dan metabolisme sel glial;
f. Modifikasi pada rasio dan fungsi dari sirkuit inhibitor.
Perhatian utama pada serangan epilesi adalah adanya faktor pencetus.
Faktor-faktor pencetus yang telah dikenal yaitu:
a. Kurang tidur, berakibat pada gangguan aktivitas saraf-saraf otak;
b. Stres emosional atau stres fisik yang berat;
c. Infeksi yang biasanya disertai demam, terutama pada anak-anak;
d. Anak dengan kejang demam kompleks memiliki risiko epilepsi yang lebih
besar daripada anak dengan kejang sederhana;
e. Obat-obat tertentu dan alkohol, misalnya sedatif atau antidepresan
trisiklik;
f. Perubahan hormonal;
g. Terlalu lelah, sehingga terjadi hiperventilasi dengan peningkatan kadar
CO2 darah yang dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak.
(Pedley, 1995; Harsono, 1999)

5. Diagnosis epilepsi
Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila ada kejang berulang yang tidak
disertai demam dan tidak membutuhkan provokasi. Biasanya didasarkan pada
riwayat penyakit dan pemeriksaan Electroenchepalography (EEG), namun
dapat juga dengan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak,

17

Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT), Positron Emission


Tomography (PET), Magnetoencephalography (MEG) yang dapat digunakan
untuk menentukan etiologi epilepsi, letak fokus dan mengklasifikasikan
sindroma epilepsi. EEG masih menjadi standar baku pada penegakan
diagnosis epilepsi.
Pemeriksaan EEG dapat menentukan prognosis pada kasus tertentu
dan sebagai pertimbangan dalam penghentian obat antiepilepsi. Diagnosis
pasti dengan menyaksikan sendiri secara langsung bangkitan epilepsi jarang
sekali dilakukan, sehingga pemeriksaan yang teliti dan pemeriksaan EEG
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis tipe bangkitan epilepsi dan
penyakit-penyakit neurologi yang mungkin berhubungan atau mencetuskan
bangkitan epilepsi misalnya ensefalopati dan defek otak fokal (Andarini,
2007). Namun gangguan fungsi otak tidak selalu tercermin dalam rekaman
EEG. Kenyataannya didapat bahwa gambaran EEG normal dapat terjadi pada
anak dengan kelainan otak yang jelas dan sebaliknya, gambaran EEG
abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat, rekaman EEG yang
normal tidak mengesampingkan adanya epilepsi (Lamsudin, 1992). Gambaran
EEG abnormal paling sering ditemukan pada kejang parsial kompleks dan
epilepsi absence (Blume, 1992). Sebanyak 10 40% pasien epilepsi tidak
menunjukkan gambaran EEG abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal
ringan dan tidak khas dapat dijumpai pada 15% populasi normal (Pedley dkk.,
1995).

18

Dalam beberapa kasus, khususnya pada kejang tipe GTC (atau


mungkin CP), kadar prolaktin serum dapat meningkat. Kadar prolaktin serum
yang didapat 10 20 menit dari kejang tonik klonik dapat berguna dalam
membedakan aktivitas kejang dengan aktivitas pseudoseizure (Chen dkk.,
2005).

6. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya
membebaskan pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi normal
saraf pusat, tetapi juga mengoptimalkan kualitas hidup penderita epilepsi
(Gidal dan Garnett, 2005). Pertimbangan untuk memulai pemberian obat
antiepilepsi

memperhatikan

faktor-faktor

atau

kondisi-kondisi

yang

mempengaruhi yang memerlukan pertimbangan tertentu, yaitu:


a. Diagnosa
b. Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama
c. Etiologi; adanya lesi struktural otak (simptomatik), idiopatik, atau
kriptogenik
d. Elektroensefalogram
e. Umur
f. Tipe kejang
g. Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan
h. Jenis epilepsi
i. Kepatuhan dalam meminum obat

19

j. Bangkitan reflektoris dan bangkitan simptomatik akut (bangkitan yang


timbul karena keadaan tertentu seperti fotosensitif, kelelahan, dan alkohol)
k. Harapan penderita
Prinsip penatalaksanaan terapi pada pasien pediatrik sedikit lebih
kompleks dibandingkan kelompok pasien lainnya dan memerlukan perhatian
yang khusus. Penentuan diagnosis epilepsi yang tepat akan membantu dalam
menentukan terapi, meramalkan prognosis dan pemberian informasi kepada
pasien dan keluarganya. Banyak dokter tidak mulai memberikan pengobatan
hingga bangkitan kejang yang selanjutnya terjadi. Sebaliknya beberapa dokter
lain, langsung memberikan pengobatan ketika kejang pertama terjadi (Rogers
dan Cavazos, 2008). Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) 2007 merekomendasikan untuk memulai memberikan
OAE setelah kejang pertama pada keadaan sebagai berikut :
a. Kejang parsial dan kejang umum tonik klonik, termasuk kejang berulang
dalam 1 hari dan status epileptikus.
b. Kejang berikut biasanya datang dengan keluhan sering kejang, seperti
absence, mioklonik, atau atonik.
c. Kejang yang memerlukan penanganan khusus, seperti kejang neonatus.
Tujuan dari pengobatan epilepsi pediatrik adalah dapat mengendalikan
kejang menggunakan monoterapi, tanpa menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, dan menggunakan formulasi yang sesuai untuk mencapai
kepatuhan anak-anak pada pengobatan. Ketika meresepkan obat untuk

20

pediatrik, diharuskan memperhitungkan profil keamanan dan formulasi yang


tersedia (Sander dkk., 2009).
Hal yang paling penting adalah memastikan bahwa monoterapi yang
diberikan mempunyai dosis terendah efektif untuk mengendalikan kejang.
Apabila kejang tetap tidak dapat dikendalikan (suboptimal) maka dosis dapat
dinaikkan secara bertahap hingga kejang terkontrol atau hingga munculnya
efek samping obat yang tidak dapat diterima. Ketika efek samping terjadi
sebelum kendali kejang dicapai, maka obat sebelumnya diganti atau ditambah
dengan obat antiepilepsi (OAE) lain sebagai politerapi (Sander dkk., 2009).
Pilihan politerapi harus didasarkan atas interaksi yang mungkin terjadi
diantara kedua obat. Umumnya obat yang dipilih bergantung pada
kepercayaan dan pengalaman dari dokter yang memeriksa.

7. Obat Antiepilepsi (OAE)


Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis
kejang tertentu yang sesuai dengan mekanisme aksi obat tersebut. Obat
antiepilepsi digolongkan dalam 2 periode (Shih, 2007), yaitu:
a. Senyawa lama, terdiri dari karbamazepin, klonazepam, ethosuksimid,
fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan asam valproat. Senyawa ini telah
ditemukan, digunakan cukup banyak dan sering kali dijadikan obat-obat
lini pertama.
b. Senyawa baru, terdiri dari felbamat, gabapentin, lamotrigin, topiramat,
levetiracetam, oxcarbazepin, zonisamid dan pregabalin. Obat ini baru

21

ditemukan dan digunakan sehingga data-data mengenai penggunaan obat


tersebut masih sedikit. Selain itu, ada obat yang diciptakan sebagai terapi
adjuvant/add-on. Akan tetapi, lamotrigin yang pada awalnya digunakan
sebagai adjuvant kini telah dipertimbangkan menjadi lini pertama bagi
jenis epilepsi umum (Wells, 2009).
Ada 4 mekanisme aksi utama OAE yaitu:
a. Mengikat kanal Na menjadi inaktif
Contoh obat: Fenitoin,

Karbamazepin,

Oxcarbazepin,

Zonisamid,

Lamotrigin, Topiramat, Gabapentin.


b. Memodulasi GABA, menginhibisi reuptake GABA
Contoh obat: Agonis GABAa (Benzodiazepin, Barbiturat, Topiramat);
Inhibitor

reuptake

(Tiagabin);

GABA-transaminase

(Vigabatrin); Modulasi GAD (Felbamate).


c. Mengikat reseptor glutamat
Contoh obat: Reseptor NMDA (Felbamate) dan Reseptor AMPA/Kainat
(Topiramat).
d. Mengikat kanal Ca
Contoh obat: Ethosuksimid, Fenitoin, Karbamazepin, Oxcarbazepin,
Zonisamid.
(Brodie dan Dichter, 1996; Gidal dan Garnett, 2005; Lawthorn dan Smith,
2001).

22

Pedoman pemilihan OAE dapat dilihat pada Tabel III dan IV berikut:
Tabel III. Pemilihan OAE Berdasarkan Jenis Epilepsi
Lini Pertama
Lini Kedua
Karbamazepin,
Lamotrigin,
Parsial sederhana
Fenitoin
Gabapentin
Karbamazepin,
Lamotrigin,
Parsial kompleks
Fenitoin
Gabapentin
Karbamazepin,
Tonik-klonik
Fenitoin,
Fenobarbital
(grand mal)
Asam Valproat
Etosuksimid,
Klonazepam,
Absence
Asam Valproat
Acetazolamide
Fenitoin,
Primidone,
Mixed seizure
Fenobarbital+Etosuksimid
Karbamazepin+Klonazepam,
Atau Asam Valproat
Acetazolamide
Mioklonik,
Fenobarbital,
atonik,
Klonazepam
Benzodiazepin,
infantile spasms
Acetazolamide
Jenis Kejang

(Gidal dan Garnett, 2005)

Tabel IV. Pemilihan OAE yang Disarankan ILAE untuk Pasien Pediatrik
General
Tipe Kejang
Parsial
Absense
Tonik-klonik
Lini pertama
Oxcarbazepine
Carbamazepin,
Carbamazepin,
Ethosuximide,
Fenobarbital,
Fenobarbital,
Alternatif
Lamotrigin,
Fenitoin,
Fenitoin,
Asam Valproat
Topiramat,
Topiramat,
Asam Valproat
Valproat

(Wells, 2009)

8. Kepatuhan
a. Pendahuluan
Selama lebih dari 30 tahun, kepatuhan didefinisikan sebagai sejauh
mana perilaku seseorang (dalam hal meminum obat, pengaturan pola
makan, dan atau perubahan pola hidup) sesuai dengan petunjuk dan saran
medis yang telah disepakati oleh dokter (Quittner dkk., 2008). Beberapa
yang lain mendefinisikan kepatuhan sebagai kesiapan untuk bertindak

23

kooperatif dengan pengukuran diagnostik dan terapi (Andarini, 2007).


Secara spesifik, ketidakpatuhan dapat didefinisikan tidak minum obat
sesuai dosis (terlalu banyak atau terlalu sedikit), gagal dalam mengikuti
jadwal minum obat, tidak minum obat sesuai jangka waktu tertentu atau
meminum obat lain yang tidak direkomendasikan (Wagner dkk., 2001).
Besarnya tingkat kepatuhan pada anak-anak dengan penyakit
kronis sangat bergantung pada jenis penyakit, kerumitan regimen dan alat
ukur yang digunakan (DiMatteo dkk., 2002). Kurangnya tingkat kepatuhan
merupakan masalah yang serius. Kegagalan dalam meminum obat secara
teratur sesuai resep dapat berakibat terjadinya resistensi obat, reaksi obat,
peningkatan morbiditas dan mortilitas, serta mengurangi kualitas hidup
(Collin dkk., 2008). Rendahnya kepatuhan juga berdampak pada
penetapan keputusan terapi oleh dokter. Hal tersebut berpotensi
menyebabkan kenaikan dosis atau penghentian pengobatan karena
pengobatan sebelumnya dipercaya tidak efektif (DiMatteo dkk., 2002).
Penyakit epilepsi, khususnya pada pasien pediatrik, kesuksesan
dari pengobatan dengan obat antiepilepsi (OAE) bergantung pada peran
aktif pasien dan keluarganya dalam menggunakan obatnya sesuai dengan
regimen terapi, serta keyakinan bahwa obat tersebut dapat mengontrol
kejangnya dan meminimalkan pengaruhnya pada kualitas hidup (Modi
dkk., 2010). Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada
penyakit epilepsi membutuhkan jangka waktu yang lama, bahkan seumur
hidup. Sama halnya dengan penyakit lain, ketidakpatuhan pada

24

pengobatan

antiepilepsi

berdampak

pada

hasil

pengobatan

dan

menimbulkan efek klinis yang tidak diinginkan.


Rendahnya kepatuhan pada pasien epilepsi dewasa dalam
menggunakan OAE berkontribusi pada morbiditas (contohnya aktivitas
kejang yang persisten) (Bassili dkk., 2002; Cramer dkk., 2002; Jones dkk.,
2006), mortalitas (Faught dkk., 2008), tambahan biaya perawatan
kesehatan (Berg dkk., 1993; DiMatteo dkk., 2002), dan pengurangan
kualitas hidup (Collin dkk., 2008).

b. Penilaian Kepatuhan Pediatrik


Penilaian tingkat kepatuhan merupakan hal yang cukup sulit
dilakukan (Jones dkk., 2006). Besarnya tingkat kepatuhan bergantung
pada alat ukur yang digunakan. Tingkat kepatuhan pada penyakit epilepsi
dapat diukur menggunakan metode self-report, Therapeutic Drug
Monitoring (TDM) yaitu dengan pengukuran kadar obat antiepilepsi dalam
serum dan interpretasi farmakokinetiknya, serta pemantauan pengisian
ulang resep (Jones dkk., 2006). Tiap metode mempunyai kekurangan.
Contohnya pada TDM, kadar obat dalam darah dapat berubah sesuai
farmakokinetika, dibutuhkan perlakuan yang invasif dan hasil yang
didapat dapat menyesatkan karena pasien dapat patuh selama beberapa
hari sebelum tes dilakukan.
Alat perekam elektronik yang merekam tiap pembukaan wadah
obat dianggap sebagai alat pengukur kepatuhan yang paling akurat dan

25

merupakan gold standard pengukuran kepatuhan yang sebenarnya


(Cramer, 1995). Namun pada penelitian tentang kepatuhan pengobatan
antiepilepsi selanjutnya, menemukan bahwa metode ini memberikan hasil
yang tidak dapat dipercaya dan terkadang tidak dapat diintegrasikan ke
dalam perawatan kesehatan rutin (Jones dkk., 2006; Modi dkk., 2011a).
Metode yang lebih bermanfaat secara klinis dan relatif akurat menilai
kepatuhan adalah mengkombinasikan TDM dengan pengukuran kepatuhan
secara tidak langsung seperti perhitungan jumlah obat, penggunaan wadah
obat khusus untuk memonitor penggunaan obat, kuesioner, wawancara,
pengisian ulang resep, perubahan frekuensi kejang, pendapat dari dokter
dan frekuensi kunjungan berobat (Wagner dkk., 2001).
Metode self-report merupakan pengukuran yang paling sederhana.
Meskipun kepatuhan dapat diukur berlebihan, terutama disebabkan oleh
kecenderungan akan recall bias sebanyak 87% (Cramer dkk., 1995).
Kuesioner untuk menilai kepatuhan pada pasien epilepsi dewasa yang
telah diketahui validitas dan reliabilitasnya adalah kuesioner Morisky
Medication Adherence Scale (MMAS) yang dikembangkan oleh Morisky
dkk. (2008). Namun kemudian diketahui kuesioner MMAS kurang
memberikan nilai yang baik bila digunakan dalam penelitian hubungan
kepatuhan dan frekuensi kejang, karena data yang dihasilkan menjadi tidak
berbeda signifikan antara pasien yang bebas kejang dan yang tidak
(Sweileh dkk., 2011).

26

Kuesioner berdasarkan metode self-report pada pasien epilepsi


pediatrik yang baru dikembangkan dan telah diketahui validitas dan
reliabilitasnya adalah Pediatric Epilepsy Medication Self-Management
Questionnaire (PEMSQ). PEMSQ merupakan alat ukur self-management
pertama yang dikembangkan oleh Modi dkk. (2010) dan dapat digunakan
untuk mengukur pengetahuan dan harapan, kepatuhan, efektivitas
pengobatan, serta batasan akan pengobatan yang ada pada populasi pasien
epilepsi pediatrik. Penelitian untuk menguji psikometri dan prediksi
validitas telah diujikan pada pasien epilepsi anak di Cincinnati pada tahun
2008 dan dipublikasikan Mei 2010.

Hasilnya menunjukkan bahwa

PEMSQ memiliki ukuran psikometrik yang kuat termasuk konsistensi


internal yang baik di tiap skalanya dan tervalidasi untuk mengukur
kepatuhan secara objektif dan subjektif. Kuesioner ini dapat digunakan
pula untuk menilai hubungannya dengan kejadian kejang yang dialami
pasien (Modi dkk., 2010).
PEMSQ terdiri dari 27 pertanyaan yang dikelompokkan dalam 4
skala inti yaitu:
1) Epilepsy and Treatment Knowledge and Expectations Scale
Skala ini terdiri dari 8 pertanyaan yang berfungsi untuk mengukur
persepsi orang tua pasien atas pemahamannya terhadap penyakit dan
pengobatan antiepilepsi yang sedang dijalani pasien, harapan mereka
atas pengobatan dan kemampuannya dalam mengelola penyakit
sehubungan dengan bantuan tenaga kesehatan. Skala ini secara khusus

27

dapat digunakan sebagai pedoman untuk tenaga kesehatan dalam


mengenali orang tua pasien yang mempunyai pengetahuan yang
rendah tentang epilepsi atau pengobatan epilepsi yang dijalani pasien.
2) Adherence to Medication and Clinic Appointments Scale
Skala ini merupakan salah satu skala yang yang paling penting dalam
menilai aspek self-management pasien epilepsi anak. Terdiri dari 8
pertanyaan yang berfungsi untuk mengukur persepsi orang tua pasien
atas kepatuhan pasien dalam meminum obat seperti yang diresepkan,
berkenaan dengan persetujuan mereka atas rencana pengobatan dan
kemampuan mereka dalam mengikuti petunjuk pengobatan yang telah
direkomendasikan. Skala ini secara signifikan berkolerasi positif
dengan pengukuran kepatuhan secara subjektif dan objektif.
3) Barriers to Medication Adherence Scale
Skala ini terdiri dari 8 pertanyaan yang secara spesifik dapat
mengidentifikasi alasan yang mungkin memperantarai keterbatasan
keluarga dalam menerapkan self-management untuk pasien.
4) Beliefs about Medication Efficacy Scale
Skala ini terdiri dari 3 pertanyaan yang dapat menerangkan persepsi
orang tua atas kepercayaan bahwa pengobatan yang dijalani pasien
dapat mengontrol kejangnya. Persepsi ini dapat menjadi kunci utama
bagaimana pasien mengelola epilepsinya.

28

9. Keparahan kejang
Keparahan kejang merupakan aspek yang penting dalam epilepsi.
Penentuan efektivitas pengobatan yang hanya menggunakan frekuensi kejang
sebagai alat ukur dianggap tidak dapat mencerminkan efek pengobatan yang
secara potensial dapat bermanfaat. Hal ini penting bagi pasien epilepsi
refraktori, yang mana tidak mungkin terjadi pencapaian remisi kejang dan
pengurangan keparahan kejang merupakan faktor yang cukup berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas hidup (Carpay & Arts, 1996; Todorova dkk.,
2013).
Alat ukur keparahan kejang khususnya untuk pasien pediatrik dapat
menggunakan instrumen Hague Seizure Severity Scale (HASSS) yang
dikembangkan oleh Carpay dkk. (1996). Kuesioner HASSS ini merupakan
perkembangan dari instrumen Liverpool Seizure Severity Scale (LSSS). LSSS
ditujukan untuk menilai keparahan kejang pasien dewasa, sedangkan HASSS
ditujukan untuk pasien pediatrik hingga umur 16 tahun. Instrumen ini terdiri
dari 13 pertanyaan tertutup bersifat subjektif, yaitu pertanyaan dengan
berbagai pilihan jawaban dalam skala likert.

You might also like