Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
ketidakpatuhan sangat spesifik dan bervariasi pada tiap pasien. Tingkat kepatuhan
pengobatan pada anak-anak ini sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dan
dukungan dokter dalam merawat pasien. Beberapa orang tua pasien kemungkinan
belum dapat menerima anaknya mengalami epilepsi, beberapa berpikir bahwa
obat-obatan tersebut memperparah kejang dan beberapa lainnya mungkin takut
pada efek samping yang didapat dari pengobatan (Modi dkk., 2008).
Beberapa dokter mungkin tidak mempertimbangkan rendahnya kepatuhan
dalam meminum obat ketika kekambuhan kejang terjadi. Kurangnya komunikasi
tentang kepatuhan ini dapat menimbulkan perubahan atau peningkatan dosis obat
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (Koumoutsos dkk., 2007). Peran tenaga
kesehatan, khususnya farmasis sangat dibutuhkan dalam membantu untuk
menentukan jenis terapi yang tepat dan rasional, mengevaluasi pengobatan,
pengatasan akan efek samping yang mungkin terjadi, serta edukasi orang tua dan
pasien agar tercapai keberhasilan terapi. Penelitian tentang hubungan kepatuhan
pengobatan dengan frekuensi dan keparahan kejang pasien epilepsi pediatrik
masih jarang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan kepatuhan pengobatan dengan frekuensi dan keparahan kejang pada
pasien epilepsi pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
frekuensi kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan :
1. Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
frekuensi kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan pengobatan antiepilepsi dengan
keparahan kejang pasien pediatrik di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi terkait kepatuhan pengobatan dan pengaruhnya dengan frekuensi
dan keparahan kejang epilepsi anak yang mendapat pengobatan antiepilepsi.
2. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian dapat menyumbangkan masukan dalam menetapkan strategi
pendekatan pada pasien epilepsi anak.
3. Bagi dokter
Sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan edukasi akan pentingnya
minum obat antiepilepsi secara teratur dan pertimbangan untuk melakukan
evaluasi terapi pasien epilepsi anak.
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan.
Data World Health Organization (WHO), 2001 menunjukkan epilepsi
menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara
pada perempuan dan kanker prostat pada pria.
Epilepsi secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
epilambanmein yang berarti serangan (Harsono, 1999). Kata ini menandakan
ada sesuatu dari luar badan seseorang yang menimpa orang tersebut sehingga
orang tersebut jatuh. Tahun 1859-1906, ahli neurologi Inggris mendefinisikan
epilepsi sebagai penyakit yang terjadi karena ketidakstabilan dan kerusakan
pada jaringan saraf di otak, sehingga mempengaruhi kesadaran dan tingkah
laku penderita (Indrayati, 2004).
Epilepsi merupakan penyakit yang ditandai dengan kejadian kejang
yang berulang dan reversibel. Serangan kejang yang merupakan gejala atau
manifestasi klinik utama epilepsi disebabkan oleh berbagai hal, yang dapat
menimbulkan kelainan fungsional (motorik, sensorik, otonom atau psikis).
Serangan epilepsi berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh neuron serebral
yang berlebihan dan berlangsung lokal. Pelepasan mendadak muatan listrik
memberikan gerakan maupun persepsi abnormal yang berlangsung singkat.
Secara prinsip, serangan terjadi berulang kali dengan pola yang sama, tanpa
memandang tempat, waktu dan keadaan (Harsono, 1999). Kejang sendiri
didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak sementara, tiba-tiba, yang dapat
2. Klasifikasi epilepsi
Prinsip klasifikasi didasarkan pada data rekaman elektroensefalogram
(EEG) dan manifestasi klinis. Klasifikasi epilepsi memudahkan pertukaran
informasi tentang epilepsi dan bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat
(Harsono, 2001). Klasifikasi yang sekarang dipergunakan secara luas adalah
b.
c.
Kejang parsial
1) Parsial sederhana
2) Parsial kompleks
3) Parsial yang diikuti kejang umum sekunder
Kejang umum
1) Absence (petit mal)
2) Tonik-klonik (grand mal)
3) Tonik
4) Atonik
5) Klonik
6) Mioklonik
Kejang yang tak terklasifikasi
b. Kejang umum
Kejang umum dapat terjadi karena gangguan sel saraf yang terjadi
pada daerah otak yang lebih luas daripada yang terjadi pada kejang parsial.
Oleh karena itu, kejang ini memiliki efek yang lebih serius pada pasien.
1) Kejang absence (petit mal)
Kejang ini ditandai dengan hilangnya kesadaran yang berlangsung
sangat singkat sekitar 3-30 detik. Jenis yang jarang dijumpai dan
umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
Sekitar 15-20% anak-anak menderita kejang tipe ini (Kasper dkk.,
2008). Penderita tiba-tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan
kepala terkulai. Kejang ini kemungkinan tidak disadari oleh orang di
sekitarnya. Petit mal terkadang sulit dibedakan dengan kejang parsial
sederhana atau kompleks, atau bahkan dengan gangguan attention
deficit.
Selain itu terdapat jenis kejang atypical absence seizure, yang
mempunyai perbedaan dengan tipe absence. Sebagai contoh atipikal
mempunyai jangka waktu gangguan kesadaran yang lebih panjang,
serangan terjadi tidak dengan tiba-tiba, dan serangan kejang terjadi
diikuti dengan tanda gejala motorik yang jelas. Kejang ini diperantarai
oleh ketidaknormalan yang menyebar dan multifokal pada struktur
otak. Kadangkala diikuti dengan gejala keterlambatan mental. Kejang
tipe ini kurang efektif dikendalikan dengan antiepilepsi dibandingkan
tipe kejang absence tipikal (Kasper dkk., 2008).
10
11
3. Etiologi epilepsi
Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas
muatan listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis
normal dan stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada
ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi
genetik hingga luka trauma pada otak (Rogers dan Cavazos, 2008). Etiologi
kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien.
Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan berdasarkan
umur antara lain sebagai berikut:
12
13
14
Epilepsi
penyebabnya.
sekunder
Kelainan
merupakan
dapat
terjadi
1/3
kasus
bawaan
yang
atau
diketahui
pada
masa
4. Patogenesis epilepsi
Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak
lebih dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi
neuron. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi
ion
ekstraseluler,
voltage-gated-ion-channel
opening
dan
menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter eksitasi yaitu
glutamat, aspartat dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang
paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Potensial aksi akan mencetuskan
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik
(Shih, 2007).
15
16
5. Diagnosis epilepsi
Diagnosis epilepsi ditegakkan apabila ada kejang berulang yang tidak
disertai demam dan tidak membutuhkan provokasi. Biasanya didasarkan pada
riwayat penyakit dan pemeriksaan Electroenchepalography (EEG), namun
dapat juga dengan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak,
17
18
6. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya
membebaskan pasien dari serangan kejang tanpa mengganggu fungsi normal
saraf pusat, tetapi juga mengoptimalkan kualitas hidup penderita epilepsi
(Gidal dan Garnett, 2005). Pertimbangan untuk memulai pemberian obat
antiepilepsi
memperhatikan
faktor-faktor
atau
kondisi-kondisi
yang
19
20
21
Karbamazepin,
Oxcarbazepin,
Zonisamid,
reuptake
(Tiagabin);
GABA-transaminase
22
Pedoman pemilihan OAE dapat dilihat pada Tabel III dan IV berikut:
Tabel III. Pemilihan OAE Berdasarkan Jenis Epilepsi
Lini Pertama
Lini Kedua
Karbamazepin,
Lamotrigin,
Parsial sederhana
Fenitoin
Gabapentin
Karbamazepin,
Lamotrigin,
Parsial kompleks
Fenitoin
Gabapentin
Karbamazepin,
Tonik-klonik
Fenitoin,
Fenobarbital
(grand mal)
Asam Valproat
Etosuksimid,
Klonazepam,
Absence
Asam Valproat
Acetazolamide
Fenitoin,
Primidone,
Mixed seizure
Fenobarbital+Etosuksimid
Karbamazepin+Klonazepam,
Atau Asam Valproat
Acetazolamide
Mioklonik,
Fenobarbital,
atonik,
Klonazepam
Benzodiazepin,
infantile spasms
Acetazolamide
Jenis Kejang
Tabel IV. Pemilihan OAE yang Disarankan ILAE untuk Pasien Pediatrik
General
Tipe Kejang
Parsial
Absense
Tonik-klonik
Lini pertama
Oxcarbazepine
Carbamazepin,
Carbamazepin,
Ethosuximide,
Fenobarbital,
Fenobarbital,
Alternatif
Lamotrigin,
Fenitoin,
Fenitoin,
Asam Valproat
Topiramat,
Topiramat,
Asam Valproat
Valproat
(Wells, 2009)
8. Kepatuhan
a. Pendahuluan
Selama lebih dari 30 tahun, kepatuhan didefinisikan sebagai sejauh
mana perilaku seseorang (dalam hal meminum obat, pengaturan pola
makan, dan atau perubahan pola hidup) sesuai dengan petunjuk dan saran
medis yang telah disepakati oleh dokter (Quittner dkk., 2008). Beberapa
yang lain mendefinisikan kepatuhan sebagai kesiapan untuk bertindak
23
24
pengobatan
antiepilepsi
berdampak
pada
hasil
pengobatan
dan
25
26
27
28
9. Keparahan kejang
Keparahan kejang merupakan aspek yang penting dalam epilepsi.
Penentuan efektivitas pengobatan yang hanya menggunakan frekuensi kejang
sebagai alat ukur dianggap tidak dapat mencerminkan efek pengobatan yang
secara potensial dapat bermanfaat. Hal ini penting bagi pasien epilepsi
refraktori, yang mana tidak mungkin terjadi pencapaian remisi kejang dan
pengurangan keparahan kejang merupakan faktor yang cukup berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas hidup (Carpay & Arts, 1996; Todorova dkk.,
2013).
Alat ukur keparahan kejang khususnya untuk pasien pediatrik dapat
menggunakan instrumen Hague Seizure Severity Scale (HASSS) yang
dikembangkan oleh Carpay dkk. (1996). Kuesioner HASSS ini merupakan
perkembangan dari instrumen Liverpool Seizure Severity Scale (LSSS). LSSS
ditujukan untuk menilai keparahan kejang pasien dewasa, sedangkan HASSS
ditujukan untuk pasien pediatrik hingga umur 16 tahun. Instrumen ini terdiri
dari 13 pertanyaan tertutup bersifat subjektif, yaitu pertanyaan dengan
berbagai pilihan jawaban dalam skala likert.