You are on page 1of 35

KEMEIVTERIAN KESEHATAN RI

DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN


Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4-9 Kotak Pos 3097, 1196 Jakarta 12950
Telepon : (021) 5201590 (Hunting) Faksimile : (021) 5261814, 5203872
Surat Elektronik : yanmed@depkes.go.id, seyanmed@depkes.go.id, mailing list: buk3@yahoogroups.com

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN


NOMOR: HK. 02.03/1/1641/2013
TENTANG
DISTRIBUSI OBAT ANTI PSIKOTIK INJEKSI LONG ACTING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


DIREKTUR JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN,
Menimbang : a. bahwa masih banyak penderita psikotik yang mendapat
perlakuan tidak wajar dan dihilangkan hak-hak asasinya
sebagai manusia melalui tindakan pemasungan dan
penelantaran;
b. bahwa tindakan pemasungan dan penelantaran terhadap
penderita psikotik dilakukan karena tidak adanya
kemampuan orang-orang di sekitar penderita, dalam
menenangkan penderita yang mengalami kekambuhan;
c. bahwa kekambuhan pada penderita psikotik dapat
dicegah secara medis melalui pemberian terapi anti
psikotik injeksi long acting oleh tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan;
d. bahwa Pemerintah telah rnengupayakan obat anti psikotik
injeksi long acting sebagai salah satu upaya mengatasi
permasalahan pemasungan dan penelantaran pada
penderita psikotik dan perlu pendistribusian yang baik
agar dapat memenuhi tujuan yang diharapkan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dari huruf d di atas, perlu
menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan tentang Distribusi Obat Anti Psikotik Injeksi
Long Acting;
Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Repubiik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);

KEMENTERIAX KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4-9 Kotak Pos 3097, 1196 Jakarta 12950
Telepon : (021) 5201590 (Hunting) Faksimile : (021) 5261814, 5203372
Surat Elektronik : yanmed@depkes.go.id, seyanmed@depkes.go.id, mailing list: buk3@yahoogroups.com

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20102014;
6.

Peraturan
Merited
Kesehatan
Nornor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585);

7. Keputusan

Menteri
Kesehatan
021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana
Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014;

Nomor
Strategis

MEMUTUSKAN:
Menetapkan

KEPUTUSAN
DIREKTUR
JENDERAL
BINA UPAYA
KESEHATAN TENTANG DISTRIBUSI OBAT ANTI PSIKOTIK
INJEKSI LONG ACTING

KESATU

Menetapkan Rumah Sakit Jiwa milik Kementerian


Kesehatan dan Rumah Sakit Jiwa milik Pemerintah Daerah
Provinsi serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai
Penerima Obat Anti Psikotik Injeksi Long Acting.

KEDUA

Rumah Sakit Jiwa dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota


Penerima Obat Anti Psikotik Injeksi Long Acting.
sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu ditetapkan
Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Dinas
Kesehatan Provinsi.

KETIGA

Dalam memberikan pelayanan bagi penderita psikotik yang


mengalami pemasungan dan penelantaran, Rumah Sakit
Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua
bertugas :

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4-9 Kotak Pos 3097, 1196 Jakarta 12950
Telepon : (021) 5201590 (Hunting) Faksimile : (021) 5261814, 5203872
SuratElektronik : yanmed@depkes.go.id, seyanmed@depkes.go.id, mailing list: buk3@yahoogroups.com

1. menyusun Standar Prosedur Operasional;


2. menjamin ketersediaan obat Anti Psikotik Injeksi Long
Acting yang secara langsung didistribusikan oleh
Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur
khusus yang berlaku;
3. meminta laporan penggunaan obat Anti Psikotik Injeksi
Long Acting dari fasilitas pelayanan kesehatan yang
berada di bawah koordinasinya;
4. menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang
sesuai dengan pedoman;
5. membentuk tim kelompok kerja khusus penanganan
penderita psikotik yang mengalami pemasungan dan
penelantaran, dan
6. melaporkan pelaksanaan pelayanan bagi penderita
psikotik
yang
mengalami
pemasungan
dan
penelantaran, dan pemanfaatan Obat Anti Psikotik
Injeksi Long Acting kepada Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dan Dinas kesehatan Provinsi (setiap
bulan).
KEEMPAT

: Dalam mendistribusikan Obat Anti Psikotik Injeksi Long


Acting, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertugas:
1. menjamin ketersediaan obat Anti Psikotik Injeksi Long
Acting yang secara langsung didistribusikan oleh
Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur
khusus yang berlaku;
2. mendistribusikan obat Anti Psikotik Injeksi Long Acting
kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di
bawah koordinasinya;
3. meminta laporan penggunaan obat Anti Psikotik injeksi
Long Acting dari fasilitas pelayanan kesehatan yang
berada di bawah koordinasinya;
4. menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang
sesuai dengan pedoman;
5. menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter
spesialis, dokter, perawat, apoteker, analis kesehatan,
konselor dan manajer khusus;
7. membentuk tim kelompok kerja khusus penanganan
penderita psikotik yang mengalami pemasungan dan
penelantaran, dan
8. melaporkan pelaksanaan pelayanan bagi penderita
psikotik
yang
mengalami
pemasungan
dan
penelantaran, dan pemanfaatan Obat Anti Psikotik
Injeksi Long Acting kepada Direktur Jenderal Bina

KEMENTERIAIV KESEHATAIV RI
DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4-9 Kotak ?os 3097, 1196 Jakarta 12950
Telepon : (021) 5201590 (Hunting) Faksimile : (021) 5261814, 5203872
Surat Elektronik: yanmed@depkes.go,id, seyanmed@depkes.go.id, mailing list: buk3@yahoogroups.com

Upaya Kesehatari dan Dinas Kesehatan Provinsi (setiap


bulan).
KELIMA

Dalam Pemanfaatan Obat Anti Psikotik Injeksi Long Acting


Rumah Sakit Jiwa serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
memperhatikan Petunjuk Teknis Pemanfaatan Obat Anti
Psikotik Injeksi Long Acting sebagaimana terlampir.

KEENAM

Seluruh Rumah Sakit Jiwa . serta Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota Penerima Obat Anti Psikotik Injeksi Long
Acting bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan.

KETUJUH

Monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan


yang diberikan oleh Rumah Sakit Jiwa serta Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota Penerima, Obat Anti Psikotik
Injeksi Long Acting dilakukan oleh Tim yang terdiri dari
unsur unit kerja Direktorat Bina Kesehatan Jiwa dan
Sekretariat Jenderal Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan.

KEDELAPAN

Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam


Diktum Ketujuh dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.

KESEMBILAN;

Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kepala Dinas


Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

KESEPULUH

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Agustvs 201J
DIREKTUR JENDERAL,

AKMAL TAKER

Lamp Iran
Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Nomor
: t\t

Tanggal

: 3O

PETUNJUK TEKNIS
PEMANFAATAN OBAT ANTIPSIKOTIK IN JEKSI LONG ACTING

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Terdapat berbagai macam alasan yang menjadi latar belakang


mengapa masalah kesehatan jiwa masih sering termarginalkan,
Kurangnya pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa, pandangan
yang salah, sikap negatif seperti stigma dan diskriminasi dianggap
menjadi alasan terjadinya kondisi tersebut Hal yang patut disayangkan
adalah pemahaman, pendapat yang salah, serta stigma tersebut ternyata
tidak hanya bersumber dari masyarakat saja, nanrun juga dari para
penyedia layanan kesehatan dan pengambil kebijakan di bidang
kesehatan maupun sektor lainnya. Akibatnya masalah kesehatan jiwa
tidak dapat diselesaikan dengan baik, bahkan mengakibatkan timbulnya
perlakuan salah bagi penderita gangguan jiwa. Di tingkat kebijakan
misalnya, orang dengan gangguan jiwa sering menjadi korban
penanganan salah dengan alasan penertiban kota. Bukti nyata lainnya
tentang kasus penanganan salah adalah pemasungan hingga tindak
kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Masalah ini tidak
hanya terjadi di tingkat keluarga dan masyarakat namun juga di institusiinstitusii penyedia layanan kesehatan baik yang berasal dari sektor
formal maupun informal.
Dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 ditemukan bahwa terdapat
sekitar satu juta orang (0.46%) yang mengalami gangguan jiwa berat
(psikotik). Penelitian di Kecamatan Leuwiliang Jawa Barat menemukan
kesenjangan terapi yang besar, hanya 3% pasien psikotik yang diterapi
oleh petugas puskesmas. Dengan kata lain, hanya sedikit yang
mendapatkan perawatan, yang lainnya terabaikan, menggelandang atau
dipasung. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal
Bina Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan pada
tahun 2011

memperkirakan ada sekitar 18.000 orang yang mengalami pemasungan.


Dengan adanya Gerakan Indonesia Menuju Bebas Pasung diharapkan
tahun 2019 jumlah kasus pasung akan sangat berkurang penemuannya.
Gerakan ini membutuhkan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di rumah
sakit umum dan puskesmas serta mengembangkan pelayanan berbasis
masyarakat.
Pemberian antipsikotika depo adalah salah satu strategi untuk
mendukung Gerakan Bebas Pasung tersebut. Penelitian membuktikan
bahwa antipsikotika depo menghasilkan efek terbaik jika dikombinasikan
dengan layanan pasca rawat (after care] medis dan sosial, peninjauan
dosis secara teratur, pemberian obat dan layanan yang menyeruruh.
Tujuan pemberian antipsikotika depo adalah pencegahan kekambuhan
dan membantu kualitas hidup seoptimal mungkin. Selain itu, dari aspek
terapi pemberian obat juga memungkinkan terapi psikologis dan sosial
lainnya berlangsung efektif.
Tahun 2011 Kementerian Kesehatan telah mendistribusikan kepada
30 dinas kesehatan provinsi sejumlah 60.000 (enam puluh ribu) ampul
obat antipsikotik depo haloperidol dekanoas (Cidol la Injeksi) dan di tahun
2013 telah menyediakan lebih dari 300.000 ampul obat antipsikotik depo.
Obat ini diharapkan selain mampu mendukung program bebas pasung
juga mampu digunakan untuk penderita gangguan jiwa berat lainnya
yang memerrukan antara lain penderita gangguan jiwa yang sering
mengalami kekambuhan karena jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan
serta kurang mendapat dukungan keluarga.
Petunjuk teknis ini akan mengatur tata cara pemberian, pelaporan
dan monitoring dan evaluasi obat antipsikotik depo.

B. TUJUAN
B.I Tujuan Umum
Petunjuk teknis (Juknis) ini diharapkan dapat meningkatkan kwalitas
dan kwantitas pelayanan kesehatan jiwa kepada penderita gangguan jiwa
yang mengalami pemasungan oleh Puskesmas dan RSU Kab/kota melalui
managemen pelayanan yang bermutu.

B.2 Tujuan khusus


1. Menjadi acuan penatalaksanaan pelayanan kesehatan jiwa untuk
penderita gangguan jiwa dipasung di Puskesesmas dan RSU
Kab/Kota.
2. Menjadi acuan pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan jiwa
pada penderita gangguan jiwa dipasung di Puskesemas dan RSU
Kab/Kota.
3. Memberikan acuan pengorganisasian pelayanan kesehatan jiwa pada
penderita gangguan jiwa dipasung di Puskesmas dan RSU Kab/Kota.

C. SASARAN
Petunjuk teknis (Juknis) ini diharapkan diketahui dan dipergunakan oleh:
1. Tenaga kesehatan di puskesmas, dan Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten/Kota;
2. Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan pemberi pelayanan; dan
3. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

D. PENGERTIAN
Kesehatan jiwa adalah
suatu
kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, mental, spiritual dan sosial seseorang secara optimal
dan selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang
tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Gangguan jiwa adalah kelompok gejala atau perilaku yang ditemukan
secara klinis yang disertai dengan penderitaan (distress) dan
terganggunya fungsi sosial dan aktivitas sehari-hari (disabilitas). Individu
yang mengalami gangguan jiwa disebut sebagai orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ).
Pemasungan adalah segala bentuk tindakan yang menghalangi setiap
orang dengan ganguan jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya
sebagai warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh
pengobatan, hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh kehidupan
sosial. Pemasungan dilakukan dengan cara menggunakan cara
pengikatan, pengisolasian atau penelantaran. Pengikatan merupakan
semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang
dipasang atau ditempelkan pada tubuh dan membuat tidak dapat
bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasan dalam

menggerakan tangan, kaki atau kepala. Pengisolasian merupakan


tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa,
dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar
atau meninggalkan ruangan/area tersebut. Penelantaran adalah bentuk
pengabaian secara fisik dan emosional yang mengakibatkan gangguan
nyata dan potensial terhadap perkembangan, kesehatan dan
kelangsungan hidup atau martabatnya. Bentuk penelantaran dan
dampak penelantaran pada orang dengan gangguan jiwa misalnya tidak
diberikan pengobatan yang layak, tidak dipenuhi kebutuhan dasar
hidupnya seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta merniliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.

II.

TATACARA PEMBERIAN OBAT ANTIPSIKOTIK DEPO


Target utama terapi antipsikotika adalah pencegahan kekambuhan.
Definisi kekambuhan berbeda-beda di setiap penelitian. Sebagai contoh,
kekambuhan dideflnisikan sebagai rawat inap karena adanya
peningkatan gejala positif (Tran dkk, 1998); (tiga atau lebih butir Brief
Psychiatric Rating Scale] yang tidak berespon dengan peningkatan dosis
(Speller dkk, 1997). Kriteria lainnya yaitu rawat inap kembali,
peningkatan 20% skor total PANNS, melukai diri sendiri, percobaan
bunuh diri atau melukai orang lain, serta CGI > 6 (Csernansky dkk,
2002). Mayoritas pasien yang tidak mendapat pengobatan akan
mengalami kekambuhan dalam waktu 3-5 tahun.
Agar efektivitas optimal tercapai, dalam pencegahan kekambuhan,
antipsikotika depo harus diresepkan sesuai dosis standar dan berada di
rentang interval yang direkomendasikan.
Pemberian obat antipsikotik depo secara umum diharapkan
memenuhi beberapa persyaratan yaitu;

a. orang dengan gangguan jiwa berat (psikotik) yang sedang dipasung


atau pernah mengalami pemasungan, berupa pasien gangguan jiwa
berat (psikotik) yang mengalami pengikatan, pengisolasian,
penelantaran atau menggelandang;
b. orang dengan gangguan jiwa berat (psikotik) yang sering mengalami
kekambuhan akibat sulit mendapat pengobatan, jauh dari fasyankes
dan rendahnya dukungan keluarga.
Secara khusus obat antipsikotik depo diberikan kepada orang dengan
gangguan jiwa berat (psikotik) yang telah mendapat informasi dan
menyetujui pengobatan, tidak mengalami gangguan medik umum yang
mengancam jiwa serta tidak memiliki riwayat alergi terhadap komponen
obat antipsikotik depo. Pemberian obat antipsikotik depo tidak di
rekomendasikan pada kasus akut.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemberian obat
antipsikotik depo adalah:
1. Pemberian Informasi untuk ODGJ dan Keluarga
1. ODGJ dan keluarga harus diberikan informasi mengenai obatobatan yang akan mereka terima dari dokter atau fasilitas layanan
kesehatan.
2. ODGJ harus mengerti alasan mereka menerima suntikan, dan
diberikan edukasi untuk mengenali, memantau dan melaporkan
setiap efek samping yang terjadi.
3. ODGJ harus menerima informasi secara tertulis tentang
penggunaan dan efek samping obat antipsikotika depo. Informasi
atau leaflet ini harus tersedia di semua fasilitas layanan kesehatan
dan diberikan satu paket dengan program pemberian antipsikotika
depo.
2. Persetujuan Tindakan Medis
1. Persetujuan tindakan medis adalah pernyataan setuju atau izin
dari seseorang (ODGJ) atau yang mewakilinya (keluarga/pihak
pengampu) yang diberikan dengan jelas, rasional, tanpa paksaan
tentang tindakan medis pemberian terapi suntikan/injeksi depo
antipsikotik
yang akan
dilakukan
terhadapnya
setelah
mendapatkan informasi cukup tentang tindakan medis yang
dimaksud.

2. Sebehim melakukan persetujuan tindakan medis dokter atau


petugas kesehatan hams menjelaskan secara rinci mengenai
diagnosis atau, tujuan tindakan medis, dan risiko-risiko yang
mungkin terjadi, prognosis tindakan.
3. Setelah mendapat penjelasan, ODGJ atau keluarga atau yang
mewakilinya dapat menyetujui atau menolak tindakan medis
tersebut
4. Persetujuan tindakan medis dilakukan secara tertulis ditanda
tangani oleh ODGJ atau keluarga, dokter atau perawat dan saksi.
(Lampiran 1).
3. Tenaga dan Tim Kesehatan
1. Tenaga atau tim kesehatan yang terlibat dalam pemberian
antipsikotika depo adalah dokter, perawat, petugas farmasi dan
kader kesehatan.
2. S emu a ODGJ yang menerima antip sikotika depo haru s
mempunyai kemudahan akses kepada tenaga dan tim kesehatan
yang bertanggungjawab terhadapnya. Tim kesehatan tersebut
adalah dokter umum, perawat atau kader kesehatan di areanya.
3. Kader kesehatan bertanggungjawab untuk melaporkan kepada
perawat dan dokter atau pimpinan di fasilitas layanan kesehatan
areanya bila ternyata ODGJ tidak patuh terhadap pengobatan.
4. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan bersama petugas farmasi
bertanggungjawab terhadap pendataan pasien, perencanaan
pengadaan depo, penyimpanan, pemakaian dan pelaporannya
yang dilakukan setiap bulan dengan menggunakan formulir
laporan bulanan puskesmas.
5. Audit penggunaan antipsikotika depo menggunakan formulir yang
terlampir sesuai dengan formulir puskesmas.
4. Pelatihan Petugas
1. Tim kesehatan yang terlibat dalam program ini harus mendapat
pelatihan mengenai pemberian antipsikotika depo.
2. Materi pelatihan meliputi:
a.

Diagnosis skizofrenia;

b. Terapi, antara lain pemberian obat antipsikotika oral dan


injeksi regular maupun depo long acting;
c. Cara pemberian injeksi;
d. Kontra indikasi obat antipsikotika atau antipsikotika depo
khususnya;

e. Efek samping yang mungkin ditimbulkan dan cara


penatalaksanaannya;
f. Tanda-tanda kekambuhan yang timbul;
g. Pencegahan terhadap kekarabuhan;
h. Edukasi terhadap keluarga;
i. Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan; dan
j. Sistim pelaporan.
3. Petugas kesehatan yang terlibat adalah dokter umum, perawat,
dan petugas kesehatan lainnya pada fasilitas pelayanan dasar
yang dianggap terlibat dalam program ini.
4. Kader kesehatan juga dapat dilakukan pelatihan dengan
memberikan materi yang sesuai dengan tugas mereka sebagai
kader di masyarakat.
5. Pemberian Antipsikotika Depo
Antipsikotika depo harus diberikan oleh perawat terlatih atau
dokter yang berkompeten dalam pemberian obat antipsikotika depo.
Sebelum pemberian obat, perawat harus memastikan identitas
penerima obat dan mengevaluasi riwayat alergi obat pada ODGJ,
meskipun reaksi anafilaksis pada obat ini sangat jarang terjadi.
Perawat juga harus memastikan bahwa pasien telah menerima
seluruh informasi berkaitan dengan risiko dan manfaat terapi,
termasuk informasi tertulis tentang penggunaan dan efek samping
antipsikotika depo. Harus ada bukti tertulis mengenai persetujuan
tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien (informed consent).
Peresepan harus tercatat pada kartu resep antipsikotika depo dan
kartu rekam medis dan lengkap dengan data pribadi pasien termasuk
nomor register pasien. Sangat penting bagi dokter untuk membuat
catatan obat untuk menghindari kesalahan pemberian. Data-data
dalam kartu/rekam medis harus selalu diperbaharui dan ditanda
tangani oleh petugas medis. (Lampiran 2).
Sebelum memberikan antipsikotika depo, perawat yang bertugas
(idealnya merupakan petugas medis tetap yang mengevaluasi pasien)
memberikan catatan yang sesuai. Hal-hal yang perlu dievaluasi yaitu
kondisi kesehatan fisik dan mental pasien; obat-obatan saat ini; efek
samping obat; harapan, perasaan dan hak yang berhubungan dengan
pengobatan; dan jadwal konsultasi dengan dokter bila dibutuhkan.
Bila pemberian obat ditolak atau tidak sesuai jadwal, perawat
harus memastikan hal ini tercatat, dilaporkan dan didiskusikan
dengan dokter dan petugas yang bertanggung jawab/koordinator

program. Lalu diputuskan tindakan apa yang akan dilakukan untuk


mengatasi hal tersebut.
Antipsikotika depo diberikan intramuskular, sesuai dengan
petunjuk pemberian obat.
Perawat yang bertugas memberikan obat wajib memastikan:
1. Pengobatan secara akurat tercatat pada kartu antipsikotika depo
(rekam medis), termasuk tanggal pemberian, nama dan dosis obat,
nomor seri, serta tanggal kadaluarsa. Harus ditanda tangani
dengan nama lengkap, status dan catatan tentang daerah
pemberian obat.
2. Alat medis yang akan digunakan
3. Privasi pasien yang dilayani
4. Perawat yang bertugas melakukan prosedur harus membuat data
bahwa depo telah diberikan dan mencatat evaluasi keperawatan
sudah dilakukan.
5. Memastikan bahwa obat pertama kali diberikan di area
klinik/tempat yang alat/dukungan medis kondisi emergensi
tersedia.
6. Bila pasien telah berobat sebelumnya, perawat wajib meminta
konfirmasii hasil konsultasi secara tertulis tentang perubahan
resep.
Pemeriksaan dengan penggunaan instrumen dapat dilakukan
untuk mengetahui respons pasien terhadap medikasi dan
perkembangan pasien secara umum, secara sistematis dan lebih
objektif. Menjadi tanggung jawab Pimpinan fasyankes meninjau dan
mengevaluasi pemberian antipsikotika depo (bagian dari supervisi)
terhadap semua pasien, secara berkala.

6. Kandungan Bahan Kimia Antipsikotika Depo


a. Haloperidol Decanoas
Merek dagang
:
;
Isi
Indikasi
Dosis

Kontraindikasi

Kewaspadaan Khusus
Efek Samping Obat

Interaksi Obat

Haldol decanoas, Cidol-la injection


Haloperidol
Pemeliharaan pengobatan psikosis.
Awalnya 25-75 mg per hari. Max: 100 mg
sehari. Lansia 85 pasien yang lemah 12,5-25
mg setiap 4 minggu.
Gangguan
neurologis
dengan
gejala
piramidal atau ekstrapiramidal,
kondisi
koma, depresi berat SSP.
Anak-anak, hipertiroidisme, disfungsi hati,
gangguan cardiovascular.
Gejala ekstrapiramidal, tardive dyskinesia,
sindrom neuroleptik ganas, gejala GI, SSP,
endokrin,
CV & resp
efek,
reaksi
dermatologis.
Lithium, metildopa, antikonvulsan, alkohol,
depresi SSP, opiat.

b. Fluphenazine decanoate

Merek dagang
Sikzonoate
Isi
fluphenazine decanoate
Managemen jangka panjang
gangguan
Indikasi
psikotik, misalnya kronis, skizofrenia.
IM / SC gangguan psikotik. Orang Dewasa &
Dosis
pasien sangat gelisah dosis awalnya 12,5-25
mg (0,5-1 mL) kemudian menyesuaikan
sesuai dengan respon pasien.
Dosis
Pemeliharaan:
Sebaiknya
tidak
melebih: 100 mg. Jika> 50 mg diperlukan,
meningkatkan dosis berikutnya & berhasil
dalam 12,5 mg-bertahap.
Dosis untuk Anak : 1A -1/3 orang dewasa.
Koma 85 keadaan depresi parah, ditandai
Kontraindikasi
kerusakan otak &, hati, sakit kuning,
aterosklerosis, feokromositoma, diskrasia
darah yang ada, insufisiensi ginjal & jantung.

Tindakan khusus

Adverse Drug Reaksi

Interaksi Obat

Monitor EKG 65 tingkat K pada pasien


dengan faktor risiko aritmia ventrikel
misalnya penyakit jantung, perdarahan
subarachnoid,
kelainan
metabolik
(hipokalemia,
hipokalsemia
atau
hypomagnesemia), kelaparan, penyalahguna
an alkohol 8s bersamaan dengan obat yang
memperpanjang
interval
QT. Epilepsi,
riwayat
gangguan
kejang,
penyakit
parkinson, tirotoksikosis, hipotiroidisme, hati
atau penyakit resp parah, riwayat pribadi
atau keluarga glaukoma sudut sempit,
hipertrofi prostat, myasthenia gravis atau
temp ambient tinggi, operasi, fenotiazin
hipersensitivitas.
Dapat
mempengaruhi
kemampuan
untuk
mengemudi
atau
mengoperasikan mesin. Kehamilan 85 laktasi.
Lansia esp lemah atau beresiko hipotermia.
Reaksi Akut dystonic, status parkinsonian,
tardive
dyskinesia,
mengantuk,
lesu,
penglihatan kabur, mulut kering, sembelit,
keraguan
kemih
atau
inkontinensia,
hipotensi ringan, penilaian terganggu &
keterampilan mental, serangan epileptiform,
pigmentasi kulit normal & kekeruhan lensa.
EKG
perubahan dengan
interval QT
berkepanjangan 8&
T-gelombang
perubahan,
aritmia
serius
termasuk
takikardia ventrikel flbrilasi & hipotermia,
sindrom
neuroleptik
maligna,
hiperprolaktinemia,
gangguan
fungsi
seksual, edema.
Alkohol, anestesi umum, hipnotik, sedatif,
analgesik
yang
kuat,
simpatomimetik
adrenalin 86 lainnya, adrenergic blocker, Ldopa, antikonvulsan, TCA, antikoagulan,
antidepresan,
lithium,
antiparkinson,
antikolinergik lainnya.

7. Memulai Pengobatan dengan Antipsikotika Depo


Mulai dengan pemberian antipsikotika depo flufenazin dekanoat
atau haloperidol dekanoat intramuskular setiap 2-4 minggu.
Catatan:
Bila ODGJ sudah stabil dan patuh dalam minum obat per oral,
maka sebaiknya tidak menggunakan obat injeksi kecuali ODGJ
menghendakinya.
Bagi ODGJ yang agitasi (agresif/gaduh gelisah) dapat diberikan
juga obat antipsikotika oral, misalnya haloperidol tablet 2 x 5 mg
per hari sampai dosis optimal flufenazin dalam tubuh tercapai.

8. Mengganti Sediaan Antipsikotika Depo ke Oral


Bila kondisi ODGJ sudah stabil, kooperatif dan menginginkan
pemberian obat secara oral maka sediaan obat injeksi depo dapat
diganti dengan sediaan obat oral yang tersedia. Pemberian jenis dan
dosis obat oral disesuaikan dengan kondisi klinis ODGJ.

9. Dosis Anjuran
Tabel Dosis Rekomendasi Antipsikotika Injeksi Depo
Interval Dosis Pasien Episode
Pasien Episode
Anti Psikotik
Pertama (mg)
Bemlang (mg)
(minggu)
Haloperidol
4
50 - 100
100-200
dekanoat
Flufenazin
2 -4
6.25-37.5
12.5-50
dekanoat
Pada ODGJ yang diberikan antipsikotika oral sebelumnya maka
pemberian antipsikotika oral tersebut dapat diberikan selama tiga
minggu sampai lima minggu setelah penyuntikan pertama injeksi long
acting sambil dilakukan tapering off.

lO.Pemantauan Kepatuhan dan Keefektifan


Audit klinik merupakan bagian dari proses penatalaksanaan risiko
yang terjadi akibat praktik klinik. Sernua insiden yang terjadi akibat
alur perawatan harus terdokumentasi. Insiden tersebut, secara
individual dan kolektif, harus ditelaah. Hal ini berguna untuk
memperbaiki praktik klinik melalui pembelajaran dari hasil
pengobatan. Selain itu, berguna untuk memberikan pengetahuan dan
penyegaran ilmu kembali bila diperlukan. Audit harus meliputi semua
aspek klinis dan data keamanan ODGJ untuk obat injeksi. Untuk
menilai kemanfaatan klinis pemberian Obat antipsikotik depo
digunakan instrumen PANNS-EC (Lampiran 3). Sedangkan untuk
menilai resiko efek samping obat menggunakan instrumen LUNSERS
(Lampiran 4).

ll.Dokumentasi Terkait
Tuntunan ini harus dibaca dalam kaitan dengan Kebijakan
Kepercayaan dan Tuntunan Kepercayaan:
1. Pencegahan dan Kebijakan Kontrol Infeksi
a. Kebersihan tangan
b. Jejas karena inokulasi
c. Keamanan Pembuangan Benda/Alat Tajam
2. Prosedur Manajemen obat
3. Panduan Keamanan dan Penyimpanan Obat
12.Panduan penyuntikan

1. Persiapan umum
a. Pastikan ODGJ merasa nyaman dan rileks
b. Jelaskan alasan penyuntikan yang akan dilakukan
c. Jelaskan prosedur penyuntikan

d. Tanyakan riwayat alergi


e.
f.
g.
h.

Periksa obat dan identitas ODGJ


Periksa data kadaluarsa obat (expired date)
Hindari pemaparan berlebihan pada ODGJ
Posisikan ODGJ untuk penyuntikan

2. Penyuntikan
a. Pastikan identitas ODGJ dan obat yang akan diberikan
b. Pastikan tempat pembuangan alat medis tajam
c. Pastikan privasi dan martabat ODGJ dihargai

d. Perawat yang melakukan penyuntikan membuat catatan


bagian sisi sebelah mana yang disuntik
e. Penyuntikan harus mendapat konfirmasi dari dokter
f. Penyuntikan intramuskular sebisa mungkin di daerah
ventrogluteal
g. Penyuntikan dilakukan dengan jarum yang cukup panjang
untuk menjangkau otot
h. Pada orang dewasa rata-rata panjang jarum 4 cm (1,5 inci),
pada anak-anak atau dewasa yang kurus digunakan panjang
jarum 2,54 c, (1 inci), dan pada dewasa yang lebih besar
digunakan panjang jarum yang lebih dari 4 cm
i. Pastikan sudut penyuntikan ventrogluteal adalah 90 derajat
j. Dilakukan rotasi penyuntikan dari kiri dan kanan pada setiap
penyuntikan dan dilakukan pencatatan
k. Posisikan ODGJ pada posisi yang otot yang rileks. Apabila
penyuntikan akan dilakukan pada regio dorsogluteal, ventro
gluteal, vastus lateralis atau rectus femoris pada posisi berdiri,
minta ODGJ untuk menaikkan kaki di bagian yang akan
disuntik untuk membuat ototnya rileks. Apabila penyuntikan
dilakukan di regio deltoid, minta ODGJ untuk duduk dan
menempatkan tangannya menyilang ke pinggang
1. Tempatkan tangan yang tidak dominan (bukan tangan yang
dipakai untuk menyuntik) di bagian luar daerah yang akan
disuntik
m. Tarik kulit ke bawah atau ke salah satu sisi dari daerah yang
akan disuntik
n. Pegang jarum suntik dengan sudut 90 derajat terhadap kulit
o. Masukkan jarum dengan cepat, penetrasi ke dalam otot dan
meninggalkan 1/3 dari jarum yang terlihat
p. Lakukan aspirasi darah, apabila ada darah yang teraspirasi,
prosedur tidak dilanjutkan dan pindah ke bagian yang lain.
Apabila tidak ada darah yang teraspirasi, lanjutkan secara
perlahan proses penyuntikan selama 10 detik. Setelah 10 detik
tarik jarum pada sudut yang sama dengan ketika
me masukkan nya.
q. Lepaskan tekanan pada kulit, efek ini akan membuat saluran
tempat penusukan tertutup oleh kulit dan lapisan subkutan
yang menutup kulit sehingga obat terkunci di dalam.

Penyuntikan di daerah Mid deltoid

Penyuntikan
gluteal

di

daerah

Dorso

Posterior
superior
iliac spine
Oaveie
Acromfon process
Scapula
Deltoid muscle

injection
site
Greater
trochanier
SciaEic
ncrvo

Deep brachi-a!
artery
Radial nervs

Penyuntikan di daerah Rectus femoris

Penyuntikan
di
Ventro gluteal

daerah

Anterior superior
iliac spine
Greater trochantsr
of femur

Vasius
(middle third)

Lateral (smora!
condyte

Greater trochanter
ol lerrxir

13.Penatalaksanaan Efek Samping


Bila terjadi efek samping, ODGJ sebaiknya dirujuk ke fasyankes
(Puskesmas atau RSU/RSJ) untuk mendapat pemeriksaan medik. Bila
terjadi sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau parkinsonisme),
langkah pertama yaitu mermrunkan dosis antipsikotika. Bila tidak
dapat ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi
IM atau IV.
NAMA OBAT
ANTI
KOLINERGIK
Triheksilfenidil

Dosis
(mg/hari)

Waktu paruh
eliminasi (jam)

1-15

100-300

10-14

Prop ran olol


Lorazepam
Difenhidramin

30-90
1-6
25-50

3-4

Sulfas Atropin

0.5-0.75

12-24

Amantadin

12
4-8

Target efek samping


ekstrapiramidal
Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Akatisia,
parkinsonisme
Akatisia
Akatisia
Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Distonia akut

Untuk efek
samping tardif diskinesia, turunkan dosis
antipsikotika. Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan
dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti
dengan golongan antispikotika generasi kedua terutama klozapin.
Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan
penatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM
merupakan kondisi akut yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi
ini semua penggunaan antipsikotika harus dihentikan. Lakukan
terapi simtomatik, perhatikan keseimbangan cairan dan observasi
tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur, pernafasan dan kesadaran).
Obat yang perlu diberikan dalam kondisi kritis adalah : dantrolen 0.8
- 2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4
dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran, segera dirujuk untuk
perawatan intensif (ICU).
Penilaian Efek samping dapat mempergunakan instrument
Liverpool University Neuroleptic Side Effect Rating Scale (LUNSERS).
(Lampiran 4).

III. PENCATATAN DAN PELAPORAN


Pencatatan dan pelaporan merupakan dokumentasi kegiatan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa.
Kegiatan pelaporan
dilakukan untuk memberikan data/ informasi yang cepat, tepat dan
akurat kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pengambilan
keputusan, sesuai dengan kondisi yang terjadi serta penentuan kebijakan
yang relevan. Didalam pelaksanaannya, pelaporan dilakukan secara
berkala dan berjenjang. Pencatatan dan pelaporan kegiatan penanganan
pemasung dilaksanakan dengan mempergunakan format pelaporan
puskesmas (Lampiran 3). Data temuan dan tindakan medik pasein
gangguan jiwa dipasung yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan diolah
menjadi laporan bulanan puskesmas selanjutnya dikirim setiap bulan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan format
pelaporan Puskesmas (Lampiran 5). Data yang diterima diolah Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan dikirim kepada Dinas Kesehatan Provinsi
setiap triwulan (3 bulan) dengan mempergunakan format laporan
sebagaimana pada lampiran 6. Data yang diterima oleh Dinas Kesehatan
Provinsi selanjutnya diolah dan dikirim kepada Direktorat Bina Kesehatan
Jiwa setiap triwulan dengan mempergunakan format laporan
sebagaimana dalam lampiran 7.

IV. MONITORING DAN EVALUASI


Monitoring dan evaluasi adalah aspek penting dari seluruh bentuk
penyediaan pelayanan kesehatan dan kunci untuk mempertahankan
layanan berkualitas dan tingkat kepuasan terhadap layanan.
Tujuan evaluasi dan monitoring adalah menilai kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman pemberian obat antipsikotik depo, hasilnya
digunakan untuk memperbaiki mutu layanan sesuai standar/pedoman.
Kegiatan evaluasi dapat terdiri dari;
1. Rapat berupa pertemuan tim kesehatan jiwa yang menangani
pemasungan
2. Rapat koordinasi dengan struktur sistem diatasnya ataupun dengan
unit layanan lain di Puskesmas dan RSU Kabupaten /Kota, RSJ dan
Dinas kesehatan.

V.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Upaya pembinaan dilakukan dalam rangka memberikan arahan dan


kebijakan terhadap penyelenggaran pelayanan kesehatan jiwa, khususnya
penanganan penderita gangguan jiwa dipasumg oleh puskesmas, RSU
Kabupaten/kota dan RSJ Bentuk pembinaan yang bisa dilakukan
adalah memberikan kemampuan kepada tenaga kesehatan khususnya
terhadap tenaga
kesehatan jiwa
dalam rangka peningkatan
kemampuannya dalam melakukan pelayanan dengan memberikan
pendidikan dan pelatihan kesehatan jiwa. Demikian pula pembinaan
dilakukan kepada kader kesehatan dalam upaya penanggulangan
masalah pemasungan di masyarakat. Pengawasan adalah kegiatan
memantau secara berkelanjutan kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di
Puskesmas, RSU Kabupaten/Kota, RSJ sehingga dapat diketahui setiap
kegiatan yang dilaksanakan.
Pembinaan, pengawasan dan monitoring dalam kegiatan penanganan
masalah pemasungan di Puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit Jiwa dilakukan oleh :
a. Pimpinan Puskesmas, RSU Kabupaten/kota dan Rumah Sakit Jiwa
(Pembinaan dan Pengawasan Internal).
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, Provinsi dan Pemerintah
pusat.

VI. PENUTUP
Petunjuk teknis ini diharapkan dapat membantu setiap tenaga
kesehatan dan tim kesehatan lainnya dalam melakukan penanganan
pada pasien gangguan jiwa dipasung. Demikian pula pimpinan setiap
fasyankes dapat memakai juknis ini sebagai pedoman dalam melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap penanganan masalah pemasungan.

Lampiran 1. Persetujuan Tindakan Medik


FORMULIR ISIAN
INFORMED CONSENT
(SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN TINDAKAN/RAWAT)
Saya yang bertandatangan di bawah ini ;
Nama
: Tn/Ny/Nn *
Umur
:
tahun
Status
: menikah/tidak menikah *
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
Setelah mendengar penjelasan perihal penyakit yang diderita, pengobatan dan
tindakan medik yang harus dijalani yang telah disampaikan oleh
dokter/bidan/perawat, menyatakan setuju untuk mendapat tindakan medik
penyuntikan obat antipsikoentik depo.
Demikian surat ini dibuat tanpa paksaan.

Tempat, tgl/bln/thn
Keluarga

Saksi:
l.Nama dan tanda tangan

)
Nama ODGJ/Wali

Coret yang tidak perlu

2.Nama dan tanda tangan


Tenaga Kesehatan

Lampiran 2. Kartu Pelayanan Medik ODGJ


KARTU PELAYANAN MEDIK

No
Nama
Alamat
Puskesmas
No Tanggal Keluhan Tanda LUNSERS
Vital

PANSS EC

Tindakan

Lampiran 3. Instrumen PANNS EC

No
Nama
Alamat
Puskesmas

:
:
:
:

The Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component


(PANSS-EC)
TANGGAL
GEJALA
TANGGAL
TANGGAL
TANGGAL
Skor
Skor
Skor
Skor
pengendalian
impuls yang buruk,
ketegangan,

permusuhan,
ketidakkooperatifan

gaduh gelisah.

Total Skor

The Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component (PANSS-EC)/


PANSS komponen gaduh gelisah merupakan sub skala yang telah divalidasi
dari PANSS yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala agitasi, dan menilai
5 gejala, yaitu: pengendalian impuls yang buruk, ketegangan, permusuhan,
ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah. (Lampiran 3).
1. Pengendalian impuls yang buruk
Gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan
pelepasan ketegangan dan emosi yang tiba-tiba, tidak teratur, sewenangwenang, atau tidak terarah tanpa merisaukan konsekuensinya.
Dasar penilaian : perilaku selama wawancara dan yang dilaporkan oleh
perawat atau keluarganya.
1) Tidak ada - Definisi tidak dipenuhi.
2) Minimal - Patologi diragukan, mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal.
3) Ringan - Pasien cenderung marah dan frustasi bila menghadapi stres
atau pemuasannya ditolak tetapi jarang bertindak impulsif.
4) Sedang - Dengan provokasi yang minimal pasien menjadi sangat
marah dan mencaci maki. Mungkin sekali-sekali mengancam,
merusak atau terdapat satu atau dua episode yang melibatkan
konfrontasi fisik atau perselisihan ringan.
5) Agak berat - Pasien memperlihatkan episode impulsif yang berulangulang, termasuk mencaci maki, pengrusakan harta benda atau
ancaman fisik. Mungkin ada satu atau dua episode yang melibatkan
serangan serius, sehingga pasien perlu diisolasi, difiksasi dan bila
perlu diberi sedasi.
6) Berat - Pasien sering agresif secara impulsif, mengancam, menuntut
dan merusak,
tanpa pertimbangan yang nyata tentang
konsekuensinya. Menunjukkan perilaku menyerang dan mungkin
juga serangan seksual, dan kemungkinan berperilaku yang
merupakan respons terhadap perintah-perintah yang bersifat
halusinasi.
7) Sangat berat - Pasien memperlihatkan serangan yang dapat
membunuh orang, penyerangan seksual, kebrutalan yang berulang,
atau perilaku merusak diri sendiri. Membutuhkan pengawasan
langsung yang terus menerus atau flksasi karena ketidakmampuan
mengendalikan impuls yang berbahaya.

2. Ketegangan
Manifestasi fisik yang jelas tentang ketakutan, ansietas, dan agitasi,
seperti kekakuan, tremor, keringat berlebihan dan ketidaktenangan.
Dasar penilaian : laporan lisan membuktikan adanya ansietas dan
karenanya derajat keparahan manifestasi fisik ketegangan dapat dilihat
selama wawancara.
1) Tidak ada - Definisi tidak dipenuhi.
2) Minimal - Patologi diragukan, mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal.
3) Ringan - Postur dan gerakan - gerakan menunjukkan kekhawatiran
ringan seperti rigiditas yang ringan, ketidaktenangan yang sekalisekali, perubahan posisi, atau tremor tangan yang halus dan cepat.
4) Sedang - Suatu penampilan yang nyata-nyata gelisah yang terbukti
dari adanya pelbagai manifestasi, seperti perilaku tidak tenang,
tremor tangan yang nyata, keringat berlebihan atau manerisme
karena gugup.
5) Agak berat - Ketegangan yang berat yang dibuktikan oleh pelbagai
manifestasi seperti gemetar karena gugup, keringat sangat
berlebihan dan ketidaktenangan, tetapi perilaku selama wawancara
tidak terpengaruh secara bermakna.
6) Berat - Ketegangan berat sedemikian rupa sehingga taraf interaksi
interpersonal terganggu. Misalnya pasien mungkin terus menerus
bergerak seperti cacing kepanasan, tidak dapat duduk untuk waktu
lama, atau menunjukkan hiperventilasi.
7) Sangat berat - Ketegangaji sangat mencolok yang dimanifestasikan
oleh tanda-tanda panik atau percepatan gerakan motorik kasar,
seperti langkah cepat yang gelisah dan ketidakmampuan tetap
duduk untuk waktu lebih lama dari semenit, yang menyebabkan
percakapan tidak mungkin diteruskan.
3. Permusuhan
Ekspresi verbal dan nonverbal tentang kemarahan dan kebencian,
termasuk sarkasme, perilaku pasif agresif, caci maki dan penyerangan.
Dasar penilaian: perilaku interpersonal yang diamati selama wawancara
dan laporan oleh perawat atau keluarga.
1) Tidak ada - Definisi tidak dipenuhi.
2) Minimal - Patologis diragukan, mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal.

3) Ringan - melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau


ditahan, seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi permusuhan,
dan kadang-kadang -kadang iritabilitas.
4) Sedang - Adanya sikap bermusuhan yang nyata, sering
memperlihatkan iritabilitas dan ekspresi kemarahan atau kebencian
yang langsung.
5) Agak berat - pasien sangat mudah marah dan kadang-kadang
memaki dengan kata-kata kasar atau mengancam.
6) Berat - Tidak kooperatif dan mencaci maki dengan kasar atau
mengancam khususnya mempengaruhi wawancara, dan berdampak
serius terhadap relasi sosial. Pasien dapat beringas dan merusak
tetapi tidak menyerang orang lain secara fisik.
7) Sangat berat - kemarahan yang hebat berakibat sangat tidak
kooperatif, menghalangi interaksi, atau secara episodik melakukan
penyerangan fisik terhadap orang lain.
4.

Ketidakkooperatifan

Aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna


termasuk pewawancara, staf rumah sakit , atau keluarga, yang
mungkin disertai dengan rasa tidak percaya, defensif, keras kepala,
negativistik, penolakan terhadap otoritas, hostilitas, atau suka
membangkang.

Dasar penilaian : Perilaku interpersonal yang diobservasi selama


wawancara, dan juga dilaporkan oleh perawat atau keluarga.
1) Tidak ada - Definisi tidak dipenuhi.
2) Minimal - Patologi meragukan, mungkin pada ujung ekstrim dari
batas-batas normal.
3} Ringan - Patuh tetapi disertai sikap marah, tidak sabar, atau
sarkasme. Mungkin ada penolakan yang tidak mengganggu
terhadap penyelidikan yang sensitif selama wawancara.
4) Sedang - Kadang-kadang terdapat penolakan langsung untuk
patuh terhadap tuntutan-tuntutan sosial yang normal seperti
merapihkan tempat tidur, mengikuti acara yang telah dijadwalkan
dsb. Pasien mungkin memproyeksikan hostilitas, defensif, atau
bersikap negatif, tetapi biasanya masih dapat diatasi.
5) Agak berat - Pasien seringkali tidak patuh terhadap tuntutan
lingkungannya dan mungkin dijuluki orang sebagai 'orang
buangan' atau 'orang yang mempunyai problem sikap yang serius'.
Ketidakkooperatifan tercermin dalam jelas-jelas defensif, atau

iritabilitas terhadap pewawancara dan mungkin tidak bersedia


menghadapi banyak pertanyaan.
6) Berat - Pasien sangat tidak kooperatif, negativistik, dan mungkin
juga suka membangkang. Menolak untuk patuh terhadap sebagian
besar tuntutan sosial dan mungkin tidak mau memulai atau
mengikuti wawancara sepenuhnya.
7) Sangat berat - Resistensi aktif yang jelas berdampak serius
terhadap benar-benar seluruh bidang fungsi utama. Pasien
mungkin menolak untuk ikut dalam aktivitas sosial apapun,
mengurus kebersihan diri, bercakap-cakap dengan keluarga atau
staf, dan bahkan untuk berpartisipasi singkat sekalipun.
5. Gaduh gelisah
Hiperaktivitas yang ditampilkan dalam bentuk percepatan perilaku
motorik, peningkatan respons terhadap stimuli, waspada berlebihan
(hypervigilance) atau labilitas alam perasaan (mood) yang berlebihan.
Dasar penilaian: Manifestasi perilaku selama wawancara dan juga
laporan perawat atau keluarga tentang perilaku.
1) Tidak ada - defmisi tidak dipenuhi.
2) Minimal - patologis diragukan, mungkin suatu ujung ekstrim dari
batasan normal.
3) Ringan - Cenderung sedikit agitatif, waspada berlebihan, atau sedikit
mudah terangsang (overaroused) selama wawancara, tetapi tanpa
episode yang jelas dari gaduh gelisah atau labilitas alam perasaan
yang mencolok. Pembicaraan mungkin sedikit mendesak.
4) Sedang - Agitasi atau mudah terangsang yang jelas terbukti selama
wawancara, mempengaruhi pembicaraan dan mobilitas umum atau
ledakan-ledakan episodik yang terjadi secara sporadik.
5) Agak berat - Tampak hiperaktivitas yang bermakna, atau sering
terjadi ledakan-ledakan atau aktivitas motorik, yang menyebabkan
kesulitan bagi pasien tetap duduk untuk waktu yang lebih lama dari
beberapa menit dalam setiap kesempatan.
6) Berat - gaduh gelisah yang mencolok mendominasi wawancara,
membatasi perhatian, sedemikian rupasehingga mempengaruhi
fungsi sehari-hari seperti makan dan tidur.
7) Sangat berat - Gaduh gelisah yang mencolok, secara serius
mempengaruhi kegiatan makan dan tidur, serta jelas tidak
memungkinkan interaksi interpersonal. Percepatan pembicaraan dan
aktivitas motorik dapat menimbulkan inkoherensi dan kelelahan.

Penilaian :
Agitasi
Tidak agitasi

: Skor total > 15 dan minimal satu item skornya > 5 atau 2
item skornya > 4
: Skor total < 15

Lampiran 4. Instrumen LUNSERS


Liverpool University Neuroleptic Side Effect Rating Scale adalah intrumen
untuk melihat efek samping penggunaan obat antipsikotika. Skor penilaian :
0 : tidak ada
1 : sangat sedikit
2 : sedikit

3 : banyak
4 : sangat banyak
LUNSERS
Pemantauan Efek Samping Obat
(dievaluasi setiap bulan)
Silanglah kotak di Tidak Sangat Ringan Cukup
sebelah ini sesuai
ringan
ada
berat
dengan beratnya
gejala yang Anda
rasakan dalam
satu bulan
0
1
2
3
terakhir
Merah di kulit
Sulit tetap terjaga
di siang hari
Hidung
tersumbat/ berair
Sering bermimpi
Sakit kepala
Payudara bengkak
atau nyeri
Mulut kering
Sulit konsentrasi
Daya ingat
berkurang
Sulit buang air
besar
Rambut rontok
Tegang
Fusing
Merasa letih
Dorongan seks

Sangat
berat

meningkat
Otot kaku
Otot kram
Gerakan lambat
Berdebar-debar
Berat badan
menurun
Perasaan tumpul
Gangguan fungsi
seksual
Depresi
Banyak keringat
Banyak tidur
Muka merah
Sensitif terhadap
cahaya
Diare
Mulut bergerakgerak

Mata kabur
Gelisah
Sulit tidur
Nyeri sendi
Gairah seks
berkurang
Bagian tubuh
bergerak-gerak
sendiri
Penilaian :
Sangat Ringan
Ringan
Cukup berat
Berat

Nilai 00-40
Nilai 41-80
Nilai 81-100
Nilai lebih dari 100

Lampiran 5. Format Pelaporan Puskesmas


FORM PELAPORAN PENANGANGAN PEMASUNGAN
DI PUSKESMAS/RUMAH SAKIT
BULAN.
TAHUN.

No

Kama Desa

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Total

Jumlah
Penduduk

ODGJ diPasung
Yang
Yang Rujuk
Dilaporkan/Dian
ditatemukan
ngani

Efek
Samping
Obat

OAP/DEPO
Stok Penggunaan
Obat

Keterangan
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan

Lampiran 6 : Format pelaporan Dinas Kesehatan Kabupaten


FORM PELAPORAN PENANGANGAN PEMASUNGAN
DI KABUPATEN/KOTA
Triwulan 1.2.3.4
TAHUN .,
ODGJ diPasung

Nama
Puskesmas

No

1 .
2 _
3
4 .

5 6 _
7 _
8

9
10

Total

Jumlah
Penduduk

Yang
Dilaporkan/Ditemukan

Yang
ditangani

Rujukan

Efek
Samping
Obat

GAP DEPO
Stok Penggunaan
Obat

Keterangan

Perda

Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan

Lampiran 6 : Format pelaporan Dinas Kesehatan Kabupaten


FORM PELAPORAN PENANGANGAN PEMASUNGAN
DI PROVINSI
Triwulan 1.2.3.4
TAHUN .,

No

Nama
Puskesmas

1
2
3
4

5
6
7
8

9
10

Total

Jumlah
Penduduk

ODGJ diPasung
Yang
Yang Rujukan
Dilapor- ditakan/Di- ngani
temukan

Efek
Samping
Obat

GAP DEPO
Stok
Penggu-

naan
Obat

Keterangan
Perda

Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan

Keterangan:
1. Pemasungan adalah segala bentuk tindakan yang menghalangi setiap penderita gangguan jiwa memperoleh dan
melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh pengobatan, hak
memperoleh penghasilan, hak memperoleh kehidupan sosial. Pemasungan dilakukan dengan cara menggunakan
cara pengikatan, pengisolasian atau penelantaran.
2. Kasus pasung yang dilaporkan/ditemukan adalah seseorang yang mengalami pemasungan yang ditemukan oleh
masyarakat dan dilaporkan kepada ketua RT, RW ataupun ke Kepala Desa/ Lurah serta Kepala Puskesmas.
3. Yang ditangani adalah orang dengan gangguan jiwa dipasung yang mendapat GAP Depo berkelanjutan.
4. Rujukan adalah seseorang yang telah ditangani oleh tenaga kesehatan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer akan tetapi perlu ditangani lebih serius dirujuk ke Rumah Sakit Umum atau ke Rumah Sakit Jiwa.
5. Efek samping obat adalah akibat dari pemberian obat mengalami ketidak cocokan terhadap obat
6. Stok obat adalah persediaan obat di pelayanan kesehatan
7. Penggunaan obat adalah obat yang digunakan untuk pengobatan seseorang yang mengalami pemasungan dan
penelantaran
8. Perda adalah peraturan daerah yang disahkakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
9. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik upaya
10. promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau
masyarakat.

You might also like