You are on page 1of 10

Konservasi Laut Dalam Konteks Hukum

Ahdiat

Makalah Dipresentasikan Pada Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Kelautan


PPs PPW/Manajemen Kelautan Universitas Hasanuddin - 2012

Pendahuluan
Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam tulisan ini, ialah: hukum, peraturan, dan
kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masing-masing ahli hukum
mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini dibuat melalui sintesis
berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi. Hukum didefinisikan
sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan, ditetapkan oleh
lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman tindakan seluruh masyarakat Indonesia,
mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran sistem aturan ialah berbagai komponen
peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan,
petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat untuk mencapai sasaran (goal) dari pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa
dikatakan sebagai himpunan seluruh peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang
pengelolaan kawasan.
Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol dia
menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol
mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk
mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan
sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen untuk melakukan tindakan yang
dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kawasan Konservasi Perairan
Perkembangan hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat
terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional
tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi beberapa prinsip Standar Tingkah
Laku Internasional (global) tanpa mengesampingkan identitas bangsa dan ketentuan hukum dan
kebijakan di Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan kebijakan secara internasional
dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia global serta adopsi kode etik yang
sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di wilayah perairan Indonesia.
Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional
Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan
Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia membahas
kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai. Hak Indonesia
sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun 1982. Namun pada saat
yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah nyata terkait dengan
konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam Wilayah Perairan Nasional.
Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang mendorong berkembangnya
Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut:
1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958
2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982;
3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development);
4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992;
5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992;
6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995;
Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah:
1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007;
2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF).

Konvensi Jenewa, 1958


Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional
tentang hukum laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa Swiss. Indonesia berhasil mengirim
delegasi untuk ikut dalam koferensi. Pertemuan memutuskan 3 (tiga) konvensi sebagai berikut:
a. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas,
b. Convention on the Continental Shelf, dan
c. Convention of the High Seas.
Ketiga konvensi ditanda tangani pada tanggal 29 April 1958 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 20
Maret 1966. Indonesia, secara formal menyetujui (ratifikasi) ketiga konvensi Jenewa melalui UndangUndang No. 19 tahun 1961. Ketentuan tentang Kawasan Konservasi Perairan terutama tercantum pada
konvensi pertama, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas,
antara lain ialah:
Setiap negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk menangkap ikan di wilayah perairan
nasionalnya. Namun pada saat yang sama, setiap negara pantai berkewajiban mengadopsi atau
bekerja sama dengan negara lain dalam melakukan langkah-langkah nyata terkait dengan
konservasi di wilayah perairan nasionalnya untuk kepentingan konservasi sumber daya hayati di
lepas pantai (high seas);
Ekspresi dari konservasi sumber daya hayati lepas pantai merupakan ukuran agregat dari hasil
tangkap optimal yang diperbolehkan bagi masing-masing negara pantai;
Setiap negara pantai harus melaksanakan program konservasi dengan mengutamakan
ketahanan pangan dan penyediaan ikan bagi konsumsi masyarakat global.
Teks pada konvensi, menyebutkan kata konservasi sampai 20 kali dalam 22 pasal di dalam konvensi.
Konservasi dinyatakan sebagai salah satu alat pemanfaatan sumber daya hayati laut secara
berkelanjutan. Kata konservasi, di Indonesia didefinisikan melalui tiga kata kunci, ialah perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dari sumber daya atau keanekaragaman hayati.
Sedangkan tingkatan konservasi dibedakan menjadi kategori: konservasi kawasan (in-situ), konservasi
spesies dan konservasi genetik.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982
Draft final United Nations Convention on the Law of the Sea diselesaikan pada sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) ke-tiga di New York, tertanggal 30 April 1982. UNCLOS ditanda tangani oleh 118
negara (termasuk Indonesia) pada tanggal 9 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Mulai saat itu,
UNCLOS dinyatakan mulai berlaku dan mengikat semua negara anggota PBB. Selain ikut menjadi pelaku
dalam menanda tangani perjanjian tersebut, secara resmi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi
melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Beberapa ketentuan yang mengatur konservasi di wilayah
laut negara pantai ialah sebagai berikut:
Setiap negara pantai (coastal state), berdasarkan informasi terbaik yang tersedia, harus
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam konservasi dan perlindungan sumber daya
hayati untuk mencegah penangkapan (pengambilan) berlebih dari sumber daya di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif masing-masing negara pantai;
Setiap negara pantai diharuskan bekerja sama dengan organisasi internasional, baik pada tingkat
subregional, regional maupun pada tingkat global dalam menjamin kelangsungan atau
konservasi sumber daya hayati laut di wilayah negaranya;
Setiap negara pantai yang menangkap ikan di wilayah perairannya harus mengikuti ketentuan
konservasi yang berkalu. Setiap negara pantai harus menyampaikan tata waktu terkait dengan
penyelesaian peraturan konservasi dan pengelolaan sumber daya di wilayah nasionalnya;
Teks pada UNCLOS menyebutkan kata konservasi sampai 34 kali, sebagai alat untuk mempertahakan
perikanan secara berkelanjutan.

United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992


UNCBD ialah salah satu hasil konvensi pada Agenda 21 yang dicetuskan oleh PBB di Rio de Jeneiro Brasil,
pada tanggal 13 Juni tahun 1992. Agenda 21 menghasilkan 40 konvensi yang tersusun dalam 4 (empat)
bagian besar. Salah satu konvensi yang dihasilkan ialah UNCBD, terkait dengan kawasan konservasi (insitu conservation). Tujuan utama dari aturan dalam teks UNCBD ialah: mencapai konservasi
keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, dan pembagian
secara adil terhadap keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya hayati. Secara
keseluruhan, tujuan konvensi ialah untuk mendorong kegiatan aksi yang mengarah pada usaha
pemanfaatan berkelanjutan. Beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut ialah:
Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional, setiap
negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan
kebijakan pembangunan nasional negara tersebut. Namun setiap negara juga harus mengemban
tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau
kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya;
Setiap negara, dengan kondisi dan kemampuan khususnya, wajib mengembangkan strategi,
rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada
untuk maksud tersebut, yang harus mencerminkan, diantaranya, upaya yang dirumuskan dalam
konvensi ini yang berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing;
Setiap negara wajib memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral atau lintas sektoral
yang berkaitan, sejauh yang mungkin dilakukan;
Setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan konservasi atau kawasan yang
memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati;
Setiap negara wajib mengembangkan pedoman untuk penyelesaian, pendirian dan pengelolaan
kawasan konservasi atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya khusus untuk
konservasi keanekaragaman hayati;
Setiap negara wajib mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan
antara pemanfaatan kini dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara
berkelanjutan komponen komponennya;
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
UNFCCC juga merupakan bagian dari Agenda 21, termasuk dalam 40 konvensi yang dihasilkan dari
pertemuan tersebut. Konvensi ditanda tangani di Rio de Jeneiro pada tanggal 16 Juni 1992, oleh 178
negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang perlu dan meratifikasi UNFCCC melalui
Undang-Undang No. 6 tahun 1994.
Teks yang tertuang dalam konvensi tidak secara khusus membahas kepentingan kawasan konservasi. Hal
ini disebabkan karena materi pembahasan utama terkait dengan perubahan iklim global. Namun peran
Kawasan Konservasi Perairan (MPA) selalu dibahas pada setiap pertemuan IPCC (Inter-Governmental
Parties on Climate Change).
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995
Untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan
suatu kode etik perikanan yang bertanggung jawab, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Dalam kode etik, ditentukan prinsip-prinsip standar tingkah laku internasional tentang praktek-praktek
yang bertanggung jawab terkait dengan (termasuk) usaha penangkapan ikan. Walaupun bersifat
sukarela, ketentuan dalam kode etik bersifat global, ditujukan bagi negara, pemerintah maupun nonpemerintah dan seluruh pihak swasta perikanan baik yang menjadi anggota maupun bukan anggota

PBB. CCRF diadopsi sejak tanggal 31 Oktober 1995, dan termasuk kategori soft law. Dengan demikian
Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu untuk menetapkan peraturan khusus dalam meratifikasi CCRF.
Seluruh aturan dalam CCRF ditujukan untuk membantu negara-negara pantai di dunia dalam
membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari sumber
daya perikanan. CCRF menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan
bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan nasional masing-masing
negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara khusus, CCRF memandang
konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan. CCRF
menyebutkan kata konservasi sampai 70 kali, dalam pendekatan pemanfaatan sumber daya perikanan
berkelanjutan. Beberapa ketentuan konservasi tersebut antara lain, ialah:
Para pihak dan pengguna sumber daya ikan harus melakukan tindakan konservasi terhadap
ekosistem perairan (laut). Hak menangkap ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk
melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan secara efektif
Pengelolaan perikanan harus mampu mempertahankan kualitas, diversitas dan ketersediaan
sumber daya ikan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Langkah-langkah
pengelolaan tidak hanya ditujukan pada konservasi ikan-ikan yang menjadi target
penangkapan, tapi juga spesies lain yang menempati ekosistem yang sama dan ikan lain
yang tergantung dari keberadaan ikan target;
Setiap negara yang terlibat dalam penangkapan ikan di laut harus melakukan prinsip atau
pendekatan kehati-hatian dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan
sumber daya ikan sesuai dengan informasi terbaik yang tersedia saat itu. Namun kurangnya
informasi ilmiah ini tidak dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah konservasi
terhadap spesies target.
Semua jenis habitat penting untuk perikanan, seperti lahan basah, bakau, terumbu karang,
tempat pembesaran dan pemijahan ikan harus dilindungi dan direhabilitasi. Pengelola
perikanan harus mengambil langkah-langkah yang penting untuk melindungi habitat
tersebut dari perusakan, degradasi, polusi dan dampak lain yang disebabkan oleh aktifitas
manusia, yang bisa menurunkan kesehatan (viabilitas) sumber daya ikan.
Setiap negara, harus mengintegrasikan kepentingan perikanan tangkap, termasuk
kebutuhan untuk konservasi sumber daya perikanan, dalam rencana pengelolaan wilayah
pesisir terpadu;
Keragaman hayati pada habitat dan ekosistem perairan harus dikonservasi, ikan yang
terancam punah harus dilindungi;
Coral Triangle Ini tiative (CTI), 2007
Pada sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2007 di Australia, Presiden Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk melindungi terumbu karang di Indonesia bagi
kepentingan perikanan dan ketahanan pangan. Presiden menyatakan komitmen untuk mencapai
pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif, seluas 20 juta ha pada tahun 2020. Pada saat
yang sama, Presiden meminta 5 (lima) negara tetangga untuk mendukung komitmen tersebut. Gagasan
ini selanjutnya dikenal dengan istilah Coral Triangle Initiative (CTI), suatu gagasan yang secara formal
dicetuskan bersama oleh 6 (enam) negara, ialah: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New
Guinea dan kepulauan Solomon. Tujuan dan sasaran dari CTI ialah: pengelolaan wilayah bentang laut
(sea scape) secara efektif, pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem, pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan atau Marine Protected Areas (MPA) secara efektif, langkah-langkah adaptasi
terhadap perubahan iklim, dan peningkatan status dari spesies yang terancam mengalami kepunahan.
Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kawasan Konservasi
Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk
menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan ikan

di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam konvensi
Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu. Salah satu
naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah melalui UU No. 19
tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state) untuk melakukan
langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan
nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah satu alat ukur (tool) tidak
disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi Naskah konvensi Jenewa bisa dikatakan sebagai
peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis UNCLOS
merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat, termasuk Indonesia.
Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah Indonesia pada tahun
1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab untuk bekerja sama dengan
negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Konservasi ialah
pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai (kata konservasi disebut 34 kali
pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan secara tertulis sehingga UNCLOS
bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung mempengaruhi kebijakan Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia.
Indonesia ialah peserta konferensi UNCED (United Nations Conference on Environment and
Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40
konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention on
Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5 tahun
1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda tangani
naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang kawasan
konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan
dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi genetik.
Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ.
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI) ialah dua jenis
kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan.
Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi semua ketentuan yang tertuang dalam
naskah CCRF dan CTI. Naskah CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk mengitegrasikan
perencanaan pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir. Walaupun tidak
disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang Kawasan Konservasi Perairan yang
terintegrasi di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI sudah secara tegas menyebutkan (tiga
dari lima sasaran CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan.
Sebagai ringkasan, Indonesia paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional terkait
dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) diantaranya ialah dalam bentuk hukum
internasional yang mengikat Indonesia Convention on Fishing and Conservation of the Living
Resources of the High Seas (1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satu-satunya
ketentuan internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan Konservasi
Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological diversity). CCRF dan CTI
ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi. CCRF
menyebutkan integrasi rencana pengelolaan perikanan ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir.
Sedangkan CTI secara tegas menyebutkan tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.

Kebijakan dan Hukum Tentang Kawasan Konservasi di Indonesia


Tata urutan (hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat jelas, dimulai
dari:
Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan/Keputusan Presiden; dan
Peraturan Daerah.
Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi Tata urutan peraturan terkait
dengan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia ialah sebagai berikut:
Konstitusi/UUD 1945;
Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN 1993 1998;
Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN 1998 2003;
UU No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958;
UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (diganti dengan UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan);
UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup);
UU No. 5 tahun 1985 tentang Perikanan;
UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS;
UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
UU No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang;
UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai keanekaragaman hayati);
UU No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa
mengenai Perubahan Iklim);
UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
UU No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protocol Cartagena;
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan;
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;

Analisis Hukum dan Kebijakan Nasional Tentang Kawasan Konservasi


Istilah konservasi secara tersirat terdapat pada semua tata urutan peraturan di Indonesia, dari konstitusi
atau UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang yang pertama kali secara tegas membahas tentang kawasan konservasi ialah UU No. 5
tahun 1990. Kawasan konservasi dibedakan berdasarkan fungsinya, ialah: perlindungan
keanekaragaman hayati, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya hayati.
Kawasan konservasi dibedakan dalam 5 (lima) kategori, ialah: Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM),
Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (TAHURA). Kawasan konservasi
pada aturan ini mencakup wilayah darat maupun wilayah perairan, termasuk di laut.
Pada tahun 1999, Pemerintah menetapkan UUU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai
pengganti dari UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan). Pada UndangUndang ini, pemerintah menetapkan tiga jenis hutan, ialah: Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan
Produksi). Selanjutnya, hutan konservasi dibedakan atas kategori: Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan
Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kedua istilah kawasan tersebut (Suaka Alam dan Pelestarian
Alam) telah digunakan pada UU No. 5 tahun 1990 yang dilengkapi dengan PP No. 68 tahun 1998.
Perbedaan antara Kawasan Suaka Alam, KSA (pada UU No. 5 tahun 1990) dengan Kawasan Hutan Suaka
Alam (pada UU No. 41 tahun 1999) agak sulit untuk dijelaskan, selain kata tambahan, hutan.
Pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah satu
pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi Perairan, KKP. Pengelolaan
Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun 2004 lebih difokuskan pada perikanan yang
berkelanjutan. Sementara pengelolaan kawasan konservasi pada UU No. 5 tahun 1990 juga mempunyai
tujuan yang hampir sama: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya
hayati. Namun masing-masing peraturan menggunakan istilah yang berbeda tentang kawasan
konservasi. Kategori Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari: Suaka Alam Perairan, Taman Nasional
Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan. Untuk kepentingan pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil , Pemerintah juga menetapkan UU No. 27 tahun 2007. Undang-Undang ini
mengadopsi istilah baru tentang kawasan konservasi, terdiri dari: Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan
Sempadan Pantai.
Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah
perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang-Undang ini, konservasi tidak
dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan
kawasan konservasi dengan sebutan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD). Undang-Undang No. 2004 juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan
Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutanDaerah Perlindungan Laut (DPL). Mereka menggunakan
dasar hukum Peraturan Desa.
Dari tinjauan hukum dan peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia, ada
beberapa pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut:
Pengelolaan kawasan konservasi menggunakan beberapa Undang-Undang yang berbeda, namun istilah
yang berbeda. UU No. 5 tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA). Sedangkan UU No. 41 tahun 1999 menggunakan istilah Kawasan Hutan Suaka
Alam (KHSA) dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KHPA). Kedua jenis kawasan bisa berada pada
wilayah yang sama;
Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31 tahun 2004
menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun 2007
menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kategori kawasan dari kedua
Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah
yang saling tumpang tindih;

Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan) ditetapkan melalui
Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal ini bisa dilihat sebagai suatu
kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul beberapa Kawasan Konservasi Perairan baru dengan
sistem penamaan yang berbeda dengan peraturan lainnya.

Daftar Pustaka
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Rome, Italy. Food and Agriculture
Organization of the United Nations (FAO).
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy.
Jepson, P., & R.J. Whittaker (2002). Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist
Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia). Environment and History
PP. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka
Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
132.
PP. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007. Tentang Konservasi Sumber
daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134.
Santosa, A. (Ed) 2008 Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan. Bogor. POKJA
kebijakan Konservasi.
UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva,
Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559,
UNCBD, 1992. United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). New York, US. UN.

UNCLOS, 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Geneva, Switzerland. UN.
UNFCCC, 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change. New York, US. UN.
UU, 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961. Tentang : Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun
1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318
UU, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.
UU. 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun
1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318.
UU. 1967. Undang-undang 5 Tahun 1967. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. LN 1967/8;
TLN NO. 2823.
UU. 1982. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 . Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor
12.
UU. 1985. Undang Undang No. 17 Tahun 1985. Tentang : Pengesahan United Nations Convention On
The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). LN 1985/76;
TLN NO. 3319.
UU. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumber daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49.
UU. 1992. Undang Undang No. 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang. LN 1992/115; TLN NO. 3501.
UU. 1994. Undang Undang No. 6 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai
Perubahan Iklim). LN 1994/42; TLN NO. 3557.
UU. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United
Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai
Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41.
UU. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996. Tentang Perairan Indonesia.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647.
UU. 1997. Undang Undang No. 23 Tahun 1997.Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN 1997/68; TLN
NO.3699.
UU. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004. Tentang Pengesahan Cartagena
Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena
TentangKeamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4414.
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4433.
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.
UU. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil . Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84.
UU. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.

You might also like