You are on page 1of 26

UPAYA MEMBANGUN KREDIBILITAS BPJS DALAM

PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL MELALUI


PARTISIPASI AKTIF MASYARAKAT DI INDONESIA
(Berbasis Living Law)

Karya Tulis Ilmiah

Oleh

Henggar Budi Prasetyo 8111411122 (2011)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


SEMARANG
2014

LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul karya tulis
BPJS

DALAM

: UPAYA MEMBANGUN KREDIBILITAS


PENYELENGGARAAN

NASIONAL MELALUI

PARTISIPASI

JAMINAN

KESEHATAN

AKTIF MASYARAKAT

DI

INDONESIA (Berbasis Living Law)


2. Identitas
a. Nama Lengkap
b. NIM
c. Fakultas/Jurusan
d. Nama Perguruan Tinggi
3. Dosen Pembimbing
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. NIP

: Henggar Budi Prasetyo


: 8111411122
: Ilmu Hukum
: Universitas Negeri Semarang
: Dr. Fini Fidiyani S.H.,M.Hum
: 197011022009122001

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Semarang, 04 April 2014


Ketua Tim Penulis

Dr. Fini Fidiyani S.H.,M.Hum


NIP. 197011022009122001

Henggar Budi Prasetyo


NIM. 8111411122

Mengetahui
Pembantu atau Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan

Ubadilah Kamah, S.Pd, M.H.


NIP. 197505041999031001

ii

ABSTRAKSI

Sistem terdiri atas aturan main (regulasi) dan manusia (subjek) yang
berinteraksi secara timbal balik menciptakan pola-pola tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu. Demikian juga dengan SJSN (Sitem Jaminan Sosial
Nasional) terdiri atas aturan main dan manusia yang bertujuan
terselenggara jaminan sosial nasional. Dintaranya adalah jaminan
kesehatan nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dibentuk 2011.
Pemerintah telah melakukan sebuah terobosan pada tahun 2014 dengan
penyelenggaran jaminan kesehatan BPJS tunggal. Hal ini didasari prinsip
portabilitas dan ekuitas. Jadi asuransi JKN bersifat melekat pada peserta
kemanapun peserta berpergian, bekerja, atau bertempat tinggal, JKN tetap
dapat di akses selama masuh berada dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Sebuah terobosan yang dilakukan pemerintah melalui BPJS tunggal dalam
penyelenggaraan JKN selain di dorong oleh optimesme pemangku
kepentingan, juga di dorong kritik yang bertujuan peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan, semisal : sosialisasi yang kurang, kover pembiayaan
kesehatan yang terbatas, dll. Untuk itu kehadiran BPJS harus didukung dan
didorong lewat semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang telah hidup
di masyarakat. Praktik KKN telah menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada negara. Untuk itu BPJS harus dimiliki bersama, untuk menumbuhkan
semangat tersebut. Perlu pendayagunaan tokoh masyarakat, sebagai tokoh
yang lebih dekat dan dipercaya masyarakat.
Kata kunci :

Regulasi, SDM, dan Tokoh Masyarakat

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaiakan karya
tulis ilmiah dengan judul UPAYA MEMBANGUN

KREDIBILITAS BPJS

DALAM PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL


MELALUI PARTISIPASI AKTIF MASYARAKAT DI INDONESIA
Penulisan karya ilmiah ini selesai atas bimbingan, bantuan dan arahan dari
berbagai pihak, maka penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada yang
terhormat :
1. Bapak Badhowi, selaku akademisi di Universitas Negeri Semarang
2. Ibu Rini Fidiyani, selaku akademisi di Universitas Negeri Semarang
3. Semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian maupun
penyusunan karya ilmiah.
Akhirnya semoga karya ilmiah ini berguna bagi penulis sendiri maupun pihak yang
berkepentingan dengan penelitian ini.
Ambarawa, 29 Maret 2014
Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman judul ................................................................................

Halaman pengesahan ......................................................................

ii

Abstraksi ........................................................................................

iii

Kata Pengantar ................................................................................

iv

Daftar Isi.........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................

B. Rumusan Masalah ...............................................................

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .............................................

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN


A. Kajian Teoritis.....................................................................

B. Kerangka Berfikir ................................................................

C. Metodologi Penulisan ..........................................................

11

BAB III PEMBAHASAN


A. Studi Kasus .........................................................................

13

B. Analisa Kasus ......................................................................

16

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................

20

B. Saran ...................................................................................

20

Daftar Pustaka ................................................................................

xxi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasosinal (SJSN) merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam
penyelenggaraan jaminan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Selain itu dalam
pasal 167 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan tentang tugas
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Semangat dalam
UU SJSN adalah penyelenggaraan jaminan sosial secara gotong-royong
(asuransi sosial). Oleh karena jaminan sosial nasional berorientasi nirlaba (not
for profits). Selain itu dalam pelakasanaan UU SJSN harus dilakukan oleh
BPJS dengan bentuk badan hukum publik khusus. Selama ini asuransi
kesehatan di Indonesia berbentuk PT ataupun BUMN. Hal ini dipandang
pemerintah tidak dapat memberikan jaminan yang optimal, jika BPJS tetap
berbentuk PT /BUMN.
Pemberlakuan UU SJSN mengubah bentuk hukum penyelenggara
jaminan sosial yang telah ada di Indonesia, yaitu : PT. ASKES, PT. TASPEN,
PT. ASABRI, dan PT. JAMSOSTEK menjadi BPJS. Dikarenakan mayoritas
penduduk Indonesia bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak
menentu, berimplikasi pada tingkat penduduk tidak mampu (miskin) tinggi.
Dilatar belakangi hal tersebut tahun 2005 dikeluarkan ASKESKIN (Asuransi
Kesehatan Keluarga Miskin) oleh BPJS ASKES. ASKESKIN berubah nama
menjadi JAMKESMAS pada tahun 2008 (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
Warga negara yang dapat terkover JAMKESMAS tahun 2008 mencapai 76 juta
warga miskin (BPS, 2008).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS merupakan
realisasi amanat UU SJSN. Dikarenakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh
BPJS yang ada, belum terdapat payung hukum sebagai pedoman dan
pengaturan. Berdasarkan UU BPJS pemerintah melakukan terobosan

kontrovensial tentang pembentukan BPJS Tunggal, melalui peleburan : BPJS


ASKES, TASPEN, JAMSOSTEK, DAN ASABRI yang akan diterapkan 1
Januari 2014 untuk BPJS Kesehatan dan 1 Juli 2015 untuk BPJS
Ketenagakerjaan. Pembentukan BPJS tunggal dilatar belakangi oleh prinsip
portabilitas dan ekuitas. Praktik di beberapa negara semisal Korea, Amerika,
dan German membuktikan bahwa pembentukan BPJS tunggal dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan.
Namun, implementasi BPJS tunggal kesehatan hingga akhir maret 2014
masih terdapat potensi permasalahan dikarenakan belum tersedianya aturan
main dari pemerintah dan kurangnya sosialisasi tentang mekanisme BPJS
kepada masyarakat. Dari tataran politik nasional masih terjadi perdebatan
antara pemerintah dengan kelompok oposisi, dikarenakan tidak terbukanya
dalam proses pembentukan dan penyelenggaraan jaminan tunggal. Audit
terhadap aset BPJS sebelum peluburan dan Dana Amanat (iuran peserta) belum
dipublikasi. Hal ini menimbulkan opini publik yang menghambat proses
sosialisasi.
Landasan dari penyelenggaraan sistem asuransi adalah kepercayaan
dan kemampuan (kredibilitas). Jika pemerintah tidak segera menetapkan
peraturan perundang-undangan dapat menggagalkan tujuan BPJS Kesehatan
dalam penyelenggaraan jaminan. Untuk dapat mendorong keberhasilan BPJS
kesehatan harus terbentuk konvergensiegerensi politik, sosial, dan ekonomi
dari pemangku kepentingan. Di tingkat makro dilakukan dengan pembentukan
aturan main yang berdasar aspirasi masyarakat. Dan ditingkat mikro, dilakukan
dengan pendayagunaan tokoh masyarakat sebagai pioner. Perlu ada
konvergensiegerensi kepentingan baik ditingkat makro maupun mikro untuk
menciptakan

semangat

gotong-royong

dan

kekeluargaan

dalam

penyelenggaraan jamninan sosial kesehatan.


Dalam Pembiyaan pelayanan kesehatan oleh BPJS kesehatan
digunakan mekanisme tanggung-renteng (gotong-royong). Jadi bagi peserta
yang sakit, ditanggung oleh peserta yang sehat. Kesehatan merupakan kondisi
yang tidak pasti, besaran biaya pelayanan kesehatan tidak dapat ditentukan

dengan pasti dan dalam proses penyembuhan harus dilakukan dengan tuntas.
Diperlukan aturan main yang memberikan pedoman ketika terjadi surplus
ataupun defisit. Ketika terjadi surplus, dana amanat dapat diinvestasikan untuk
peningkatan fasilitas kesehatan baik secara preventif ataupun kuratif.
Sedangkan ketika defisit negara dapat memberikan dukungan pembiayaan
yang diperoleh melalui pajak ataupun CSR (Corporate Sosial Responsibility).
Untuk diperlukan sebuah aturan main dan sumber daya manusia (SDM)
yang memiliki kapasitas dan integritas dalam penyelenggaraan jaminan sosial
yang disusun secara berkala dan berkelanjutan. Selain itu perlu sosialisasi
terhadap masyarakat melalui tokoh masyarakat. Sosialisasi bertujuan
menyebarluaskan semangat dan tujuan dari BPJS Kesehatan (Kegotongroyongan). Perencanaan dan penyelenggaraan progam harus didukung
konvergensiegerensi kepentingan di tingkat makro dan mikro, karena pada
dasarnya fasilitas dan pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi. Kesehatan akan mendorong peningkatan produktivitas di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana upaya penemerintah dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan
nasional melalui BPJS 2014 ?
2. Bagaimana upaya mengisi kekurangan fungsi jaminan pemerintah dengan
kebutuhan dalam masyarakat ?
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
a. Menjelaskan upaya penemerintah dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan nasional melalui BPJS 2014.
b. Menjelaskan upaya mengisi kekurangan penyelenggaran jaminan
pemerintah dengan kebutuhan dalam masyarakat.
2. Manfaat
a. Bagi masyarakat pedesaan, penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan pengetahuan dalam perencanaan dan penyelenggaraan
b. pembangunan.

c. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan


pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan pedesaan
yang berbasis pemberdayaan masyarakat.
d. Bagi akademisi berguna untuk menambah pengetahuan di bidang
praktik perbankan syariah, khususnya di daerah pedesaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODOLOGI PENULISAN

A. Tinjaun Pustaka
Pada masyarakat tradisional alam berfungsi sebagai penjamin
(asuradur), dikarenakan kebutuhan dapat dipenuhi dari hasil alam. Dalam
masyarkat modern orang menggunakan uang sebagai alat tukar barang ataupun
jasa, asuradur alamiah tidak bisa diandalkan ketika cacad, sakit, atau pensiun.
Orang diharuskan memiliki asuransi untuk memperoleh jaminan, namun tidak
semua orang bisa membeli. Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, maka
kebutuhan dasar setiap orang tidak akan terpenuhi (kegagalan pasar).
Layanan langsung pemerintah umumnya dinilai kurang mampu
memberikan layanan berkualitas menurut presepsi masyarakat kelas menengah
keatas. Layanan yang disediakan pemerintah seringkali juga dinilai tidak
efisien dan korup karena tidak ada insentif bagi pegawai negeri untuk
memberikan layanan yang terbaik bagi rakyat. Ketika dibentuk BUMN (unit
khusus) kinerja korporat masih bersifat birokratis, sehingga lazim disebut
korporate plat merah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Asuransi
mengharuskan pengelolaan asuransi sosial oleh BUMN. Namun, BUMN yang
melaksanakan jaminan sosial diperlakukan sama seperti BUMN pada
umumnya berkaitan dengan kinerja finansial. Akibatnya tujuan, filosofi, jenis
produk, dan struktur manajemen BUMN tidak sesuai dengan prinsip jaminan
sosial sebagai kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga
negara.
Pelaksanaan jaminan sosial seharusnya dilakukan oleh badan khusus
bentukan pemerintahan. Dikarenakan jaminan sosial dari badan yang
berbentuk PT Persero, memberikan kesan kepemilikan eklusif, sehingga tidak
terdapat kewajiban untuk melakakukan disclosure informasi pada aspek
pelayanan.

Tidak banyak pejabat, intelektual, politisi, dan tokoh masyarakat yang


memahami berbagai aspek jaminan sosial dan yang diadopsi dalam UU SJSN.
Pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia juga jarang sekali membahas
secara mendalam berbagai progam jaminan sosial. Kekeliruan yang masuk
dalam UU Asuransi dan UU Jamsostek sangat sulit diubah karena pola pikir
(mindset) pejabat terkait yang tidak mudah menerima perubahan.
Diperlukan orang yang kuat yang memahami dan menghayati konsep
BPJS agar jaminan sosial dapat menjadi tulang punggung kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip kegotong royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme
gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu,
yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, dan yang sehat
membantu yang sakit. Transaksi jaminan sosial haruslah bersifat memaksa atau
wajib dikarenakan transaksi yang didasari transaksi sukarela (free choices) tiap
orang, tidak mungkin mewujudkan kegotong royongan.
Prinsip nirlaba. Istilah nirlaba masih banyak disalah tafsirkan sebagai
tidak boleh ada surplus. Pengertian dari nirlaba yang benar adalah bukan untuk
memberi keuntungan kepada sebagaian orang. Dalam UU SJSN, dana yang
terkumpul dari transaksi wajib disebut dana amanat yang akan digunakan di
masa depan dengan tujuan utama memenuhi sebesar-besarnya kepentingan
peserta, indikator kinerja bukan laba sebagaimana indikator perusahaan yang
harus selalu diumumkan.
Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektifitas.

Keterbukaan

merupakan

bentuk

pertanggung

jawaban

(akuntabilitas) atas pengelolaan dana amanat yang meliputi : iuran, investasi,


dan penggunaan dana. Untuk meningkatkan dan menjamin ketersedian dana,
maka dalam investasi keamanan dana harus diutaman daripada imbal hasil
(yield).
Prinsip potabilitas. Prinsip ini berlaku bagi jaminan, manfaat (benefit)
jasa keuangan (jaminan uang, atau layanan yang dibebankan dari dana amanat)

yang menjadi hak peserta. Portabel artinya selalu dibawa, selalu mengikuti
peserta. Karena prinsipnya peserta harus selalu aman kapan dan dimanapun dia
berada di dalam wilayah hukum Indonesia.
Prinsip kepersetaan yang bersifat wajib. Kepersetaan wajib merupakan
prasyarat agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta, walaupun dalam
penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan progam.
Kewajiban menjadi peserta dimulai dari pekerja sektor formal karena secara
teknis pengumpulan iuran mudah dilakukan dengan mewajibkan pemberi kerja
(majikan) memungut iuran. Baru dikemudian hari pekerja dari sektor informal
dapat menjadi peserta secara sukarela.
Prinsip dana amanat. Dana amanat diartikan hasil pengelolaan dana
jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan progam dan
untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Pasal 4 UU SJSN merupakan
optimal untuk menjelaskan apa yang dimaksud nirlaba. Dalam penjelasan
dirumuskan dengan kalimat bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang
saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Pengelolaan suatu badan secara nasional memnungkinkan efesiensi,
menjamin keadilan yang maksimal, menjamin portabilitas lintah daerah, lintah
sektor, lintas pekerjaan, lintas waktu, serta memberikan identitas nasional.
Kinerja suatu badan hukum (Pemerintah, Bank Sentral, DPR, BPJS,
atau yayasan sekalipun) adalah aturan main (peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, standar prosedur, dll) dan manusia
yang mengurus badan hukum itu (pengawas, pembina, komisaris, direksi,
pimpinan, dsb).
Dalam JKN/ SJSN, BPJS hanya menerima uang masuk dari iuran wajib
dan

hasil

pengembangannya.

Prestasi direksi

hanya

dari

efisiensi

penyelenggaraan dan tingginya hasil pengembangan, itupun diatur ketat.


Dengan struktur pemasukan dana yang tidak banyak berbeda dengan
penerimaan pajak, dan pengelolaan dana amanat yang bukan milik pemegang

saham, maka transparasi dalam BPJS harus sangat berbeda dari transparasi dan
akuntabilitas badan hukum PT. Dalam konsep BPJS, semua peserta
sesungguhnya menjadi pemilik dana, mirip konsep asuransi komersial yang
dikelola badan hukum Usaha Bersama (mutual). Oleh karenanya, semua
keputusan strategis harus disetujui pemilik (peserta) melalui sistem perwakilan
terpercaya (bord of trustee). Sistem perwakilan terpercaya di Indonesia
dijalankan oleh wali amanat. Pengambilan keputusan harus didasarkan kepada
manfaat yang diperoleh peserta. Untuk itu keterbukaan informasi harus
maksimal.
Bahkan di banyak negara, berbagai asuransi kesehatan sukarelapun,
baik sebagai suplemen atau komplemen (pelengkap) asuransi wajib dikelola
secara nirlaba. Coheur (2008) menjelaskan bahwa penyelenggaraan skema
tersebut mempunyai karakter (1) solidaritas sosial dengan membayar
kontribusi/ iuran, (2) tidak ada pemegang saham dan tidak ada laba yang
dibagikan sebagai deviden. Seluruh dana yang terkumpul dikelola dan
diinvestasi tetapi seluruh hasil investasi digunakan untuk melayani peserta atau
diinvestasikan kembali. (3) manajemen yang bebas dari keterikatan dengan
lembaga lain, demokratik, dan participatory. Pengambilan keputusan
dilakukan melalui perwakilan (di Indonesia disebut Wali Amanat) peserta
berdasar one man, one vote tidak berdasarkan besaran iuran. (4) otonomi
manajemen. Bentuk organisasi ini sudah lama dikenal di Eropa sejak abad
pertengahan dengan istilah mutual benefit societies. Organisasi nirlaba ini
dapat dibentuk berdasarkan ikatan persaudaraan keagamaan (brotherhoods/
ikhwan), ekonomi (guilds, corporations) atau sosial (trade guilds).
Sesungguhnya prinsip yang sama juga dikenal di Indonesia seperti arisan,
jumputan, subak (bali), dll. Hanya saja, bentuk organisasi tradisional
berlandaskan prinsip yang sama dengan yang ada di eropa, tidak pernah di akui
dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam asuransi sosial, prinsip utamanya bukan full-risk transfer dalam
setting bisnis spekulasi bagi pemegang saham atau pengusaha tetapi solidaritas
sosial (gotong royong) menyediakan manfaat maksimal bagi peserta.
Manajemen menggunakan prinsip asuransi. Karena tujuan utamanya

solidaritas sosial, maka mekanisme ini disebut asuransi sosial. Dikarenakan ciri
asuransi sosial adalah kewajiban berkontribusi bagi yang memiliki penghasilan
diatas batas tertentu (dalam perpajakan dikenal PTKP), maka pengelolaannya
tidak bisa disamakan dengan asuransi komersial yang bersifat sukarela.
Di banyak negara pemerintah membayar, menanggung sebagian dana
(misalnya di Taiwan seluruh biaya operasional dibebankan kepada anggaran
negara, bukan pengelola JKN), atau memberi subsidi (jika BPJS merupakan
badan hukum terpisah dari pemerintah). Single payer bertujuan untuk
meminimalkan biaya administrasi, biaya transaksi iuran maupun pembayaran,
mempunyai kekuatan monopsoni, memaksimalkan subsidi silang antar
penduduk di seluruh negari, dan memenuhi amanat konstitusi untuk memenuhi
hak sehat seluruh rakyat terpenuhi. Kekuatan monopsoni adalah kekuatan
badan JKN sebagai pembayar tunggal menetapkan tarif yang untuk fasilitas
kesehatan publik maupun swasta sehingga dengan sendirinya pembayar
tunggal akan mampu mengendalikan biaya kesehatan.
B. Kerangka Berfikir
Dalam sistem terdiri dari aturan main (rule of game) dan orang (man).
Demikian juga dengan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) di Indonesia.
Dalam UU SJSN dijelaskan bahwa penyelenggaraan jaminan nasional
diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dalam
UU BPJS dijelaskan terdapat 2 jenis BPJS, yaitu : kesehatan dan
ketenagakerjaan.
Dalam karya ilmiah ini akan melakukan kajian ilmiah tentang BPJS
Kesehatan. Kajian melingkupi mekanisme sistem jaminan dan POAC
(Planing, Organizing, Actuating, dan Controling) dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan nasional (JKN). Penyelenggaraan suatu kebijakan tentu
tidak dapat dipandang adil oleh seluruh pemangku kepentingan. Hal ini
menjadi potensi timbulnya benturan kepentingan yang menghambat
penyelenggaraan progam JKN.

10

Gambar 1. Model Pembangunan Kredibilitas Konstruktif (Henggar)


Aturan Main
(Regulasi)

Manusia
(Orang)

Sistem

UUD 1945
Pasal 34 (1) (2)

Pemerintah
DPR

Per-UU SJSN
dan
Per-UU BPJS

BPJS
Kesehatan

Industri dan
jasa

Konvergensie
rgensi
Kepentingan

Investasi
Layanan Kesehatan
(dasar)

Iuran

Promotif

Preventif

Kuratif

CSR

Ekternalitas
Perusahaan

Layanan Kesehatan
(Komplemen)
Peserta

Tokoh
Masyarakat

Semesta = Rakyat

Pemerintah
Daerah

Implementasi Hukum
Manfaat yang diterima rakyat
Manfaat yang diterima peserta
Sumber dana komplemen (pelengkap)
Living law
Kewajiban peserta

Untuk itu dalam karya ilmiah ini akan menjelaskan fakta-fakta dan teori-teori
tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (JKN). Analisa
dilakukan dengan analisa SWOT untuk dapat disimpukan derajat realitas
penyelenggaraan JKN. Kemudian dari hasil analisa SWOT akan dilengkapi
dengan gagasan yang dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengingkatan

11

kinerja penyelenggaraan JKN. Dalam penentuan kriteria (ukuran) terhadap


derajat realitas dilakukan dengan perbandingan (komparasi) dengan
penyelenggaraan JKN di berbagai negara di dunia.
Kesehatan merupakan suatu hal yang tidak pasti. Dan untuk beberapa
jenis penyakit dapat dicegah secara preventif. Hal ini tentu harus dijadikan
pertimbangan dalam penyelenggaraan JKN, dikarenakan amanat SJSN dalam
penyelenggaraan jaminan kesehatan, meliputi : upaya promotif, preventif,
dan kuratif. Usaha preventif dalam pelayanan kesehatan tentu dapat
meningkatkan ketahan fiskal BPJS, dikarenakan pada umumnya biaya
pencegahan manfaatnya dirasakan masyarakat luas dan berbiaya murah,
seperti : iklan televis tentang kesehatan, imunasi, sosialisasi hidup sehat.
C. Metodologi Penulisan
1. Jenis Metode
Jenis penulisan karya tulis ilmiah ini adalah deskripsi. Penelitian
deskripsi berusaha memberikan dengan sistematis dan cermat faktafakta aktual dengan sifat populasi tertentu. Metode penulisan deskriptif
dipergunakan untuk menggambarkan berbagai gejala dan fakta yang
terdapat dalam kehidupan sosial secara mendalam. Metode ini
bertujuan melukiskan dan memahami model suatu masyarakat secara
fenomenologis dan apa adanya dalam konteks satu kesatuan integral
(Arifin Tajul, 2008).
Penelitian ini berusaha menjelaskan penyelenggaraan jaminan sosial
oleh BPJS Kesehatan di tahun 2014. Dari fakta-fakta yang diambil dari
sumber data sekunder yang telah dilakukan triangulasi untuk menguji
kebenaran

dan

validitas

data.

Disertai

dengan

komparasi

penyelenggaraan BPJS tunggal di negara Jerman, Korea, dan Malasyia.


2. Teknik pengumpulan data :
Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip
dokumen, catatan, majalah, foto dan sebagainya yang dapat dipertanggung

12

jawabkan serta menjadi bukti resmi. Dalam penelitian ini peneliti


menggunakan alat pengumpulan data berupa dokumen seperti Undangundang, buku ataupun literatur maupun dokumen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan oleh BPJS tunggal.
3. Teknik analisis data
Metode analisis data adalah suatu metode yang digunakan untuk mengolah
hasil penelitian guna memperoleh suatu kesimpulan. Adapun metode yang
digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik analisis data diskriptif, dengan tujuan untuk
mendiskripsikan atau menggambarkan keadaan atau suatu fenomena.
Analisis data diskriptif dimaksudkan bahwa peneliti ingin mengetahui
kondisi-kondisi aturan main (regulasi) dan ketersedian SDM di tingkat
makro maupun mikro. Disertai benturan kepentingan yang dimungkinkan
terjadi yang berpotensi menghambat penyelenggaraan progam.
Analisa pertama akan mengkaji penyelenggaraan JKN dilihat dari sisi
POAC (Planing, Organizing, Actuating, and Controling). Analisa lanjutan
dilakukan dengan metode SWOT (Strenght, Weaknes, Oppurtunity, and
Threads).dengan kriteria yang berasal dari komparasi praktik di negara
yang telah melaksanakan JKN tungal. Hal ini bertujuan untuk melihat
derajat realitas penyelenggaraan JKN di Indonesia.

13

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus
Gambar 1. Implementasi Jaminan Sosial Kesehatan (Indonesia)
UUD 1945
Pasal 34 (1)(2)
Pemerintah

DPR

UU SJSN
(2004)

UU BPJS
(2011)
BPJS Ketenagakerjaan

BPJS Kesehatan

Fasilitas Kesehatan

Pelayanan Kesehatan

Iuran

Peserta

Di Indonesia reformasi jaminan sosial dan transformasi PT/ BUMN


menjadi BPJS menjadi ajang politik, tanpa ada indikator keberhasilan objektif
yang dituju. Semua argumen dan ukuran yang dijadikan bahan perdebatan
bersifat subjektif dan keberpihakan kepada kepentingan pejabat publik atau
yang ingin menguasai badan penyelenggara. Berbagai bantahan dalam
pelaksanaan BPJS di Indonesia. Bantahan tersebtu diantaranya :
No shoes fit all! Terdapat pepatah tidak ada satu sepatu yang sesuai/
cocok untuk semua. Ya. Betul tidak ada satu pasangan sepatu yang pas
untuk semua orang. Tetapi semua orang perlu sepatu. Analog dengan itu,
JKN bukanlah sebuah sistem yang menjamin semua orang dengan

14

pelayanan sama! Karena penyakit setiap orang berbeda-beda. Tetapi setiap


orang harus dijamin mendapat layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Keunikan daerah! Badan penyelenggara jaminan Sosial di tingkat
nasional menjamin progam dasar yang setara untuk seluruh rakyat, yang
merupakan kebutuhan dasar minimum layak. Pemerintah daerah maupun
swasta dapat membentuk BPJSD/S yang memberikan jaminan bersifat
komplemen (yang tidak dijamin nasional) maupun yang bersifat suplement
(menambah manfaat atau kualitas manfaat) yang dijamin progam nasional.
Negara kita besar, tidak seperti Korea! BPJS secara wilayah tugas
dibagi menjadi tingkat nasional, regional, kantor cabang, dan kantor
pembantu. Perkembangan teknologi dan informasi telah memudahkan
proses administrasi, seperti : pendaftaran, pelayanan, dan penagihan.
Penggunaan sistem informasi berbasis teknologi terbukti telah mendorong
keberhasilan pelaksanaan JKN di Mungthai, Korea, dll.
Mengapa harus BPJS Nasional! Pelaksanaan jaminan secara sosial oleh
daerah, seperti yang diamanatkan oleh UU PD diajukan sebagai dalil
pengujian UU SJSN. Mahkamah konstitusi tidak sependapat dengan dalil
tersebut, sebab jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak,
besar kemungkinan terjadi keadaan di mana hayan daerah-daerah tertentu
saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan itu pun
tidak menjamin bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup
memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah satu dengan
daerah lain, serta di lain pihak, jika karena alasan tertentu seorang terpaksa
harus pindah ke lain daerah, tidak terdapat jaminan akan keberlanjutan
penikmatan hak atas jaminan sosial orang yang bersangkutan setelah
berada di daerah lain. Keadaan demikian akan bertetangan dengan maksud
pasal 34 (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas jaminan sosial itu
harus dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat.
Pemerintah daerah! Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang
masih seumur jagung, berimplikasi pada masih terjadi intensitas tarik ulur
kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Kesulitan ini terjadi
karena banyak pihak memandang ini punya saya dan itu punya kamu.
Padahal semuanya salah. Semuanya milik rakyat, milik negara, milik
bersama. Yang sering dilupakan adalah UUD 1945, dan juga di negara
manapun di dunia, perintah jaminan sosial (termasuk JKN) untuk seluruh
rakyat. Artinya harus progam nasional. Progam daerah bersifat suplemen
atau komplemen untuk progam nasional yang setara untuk seluruh rakyat.
Portabilitas, harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat ke daerah
manapun ia bekerja, tinggal, atau berkujuan untuk jangka pendek. Ekuitas,
Selain itu jaminan yang diberikan haruslah sesuai dengan kebutuhan medis,
meskipun di suatu daerah belum tersedia suatu pelayanan medis tertentu itu
dapat dirujuk ke daerah lain, tanpa harus mengalami kesulitan administratif
karena badan penyelenggara tidak memiliki kerjasama dengan rumah sakit di

15

daerah lainnya. Jadi perebutan dan pertentangan antara UU SJSN dengan UU


32/2004 tentang pembagian kewenangan pemerintah sama sekali tidak relevan.
Yang diatur UU SJSN bukanlah urusan pemerintah seperti yang diatur UU
Otonomi Daerah. Tetapi, karena ada kepentingan beberapa orang di daerah,
maka kedua UU ini sering diadu. Sesungguhnya keduanya berbeda dan
karenanya tidak perlu dipertentangkan.
BPJS bukan pemerintah! Pengelolaan jaminan kesehatan secara
nasional pada hakikatnya tidak banyak berbeda dengan pengelolaan kartu
kredit, visa atau mastercard (kecuali bahwa dana tidak dibatasi dan kartu
jaminan hanya dapat digunakan untuk belanja pelayanan kesehatan.
Para pihak yang tidak setuju dengan Penyatuan PT. Askes, PT.
Jamsostek, PT. Taspen, dan PT. Asabri menjadi BPJS tunggal beranggapan
bahwa jika keempat BUMN dilebur akan terjadi PHK, Pemerintah harus bayar
pesangon yang besar sekali, Uang jaminan yang ada di Jamsostek akan hilang,
pegawai negeri akan kehilangan pensiun, dan banyak lagi. UU SJSN mengatur
bahwa penyelenggara jaminan sosial dikelola oleh karyawan dari kempat
badan hukum, Tetapi depkes dan beberapa orang di daerah menginginkan
dikelola sendiri.
Kinerja dan keterbukaan ke-empat BUMN yang ditugasi untuk
memperluas jaminan sosial kepada seluruh rakyat banyak diragukan pejabat
publik, pengusaha, akademisi, dan masyarakat. BPJS sebagai badan hukum
yang dibentuk dengan Undang-Undang bertujuan utama memaksimalkan
kesejahteraan rakyat (langsung) dan menyelenggarakan SJSN yang merupakan
progam negara sebagai pelaksanaan amanat pasal 28H (1),(2),dan (3), serta
pasal 34 (1) dan (2) UUD 1945. BPJS sebagai progam negara, modal kerja
tidak terbagi atas saham-saham, seperti halnya Badan Hukum pemerintah dan
bank Indonesia. Tujuan BPJS adalah pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi seluruh rakyat (dimulai dari peserta yang membayar iuran atau
iuranya dibayarkan oleh pemerintah). BPJS mengelola dana jaminan sosial
(dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran wajib
(pajak khusus), beserta hasil pengembangannya.

16

Tiga bulan pasca penerapan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, telah
timbul permasalahan dilapangan. Pada umumnya permasalahan terjadi
karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS kepada para
pemangku kepentingan. Permasalahan yang terjadi, diantaranya :
pertama, masalah pengadaan obat-obatan, sebelum BPJS kesehatan
diberlakukan pasien dapat mengajukan obat untuk jangka waktu 30 hari
namun setelah BPJS kesehatan diberlakukan pasien hanya diberikan obat
dalam jangka waktu 7 hari. Hal ini menimbulkan permasalahan bagi
daerah yang akses pelayanan kesehatan jauh. Kedua, masih banyak
rumah sakit swasta yang belum tergabung dalam BPJS Kesehatan
dikarenakan kurangnya sosialisasi. (investor.co.id, 2014).
Hingga pelaksanaan BPJS 2014 peraturan perundang-undangan terkait
belum disosialisasikan pada masyarakat. Hal ini tentu akan menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaan. Konvergensiegerensi kepentingan dalam
masyarakat akan sulit dicapai. Mekanisme asuransi sosial menimbulkan
konsekuensi prinsip tanggung-menanggun (gotong-royong). Hal ini berarti
bagi peserta yang sehat menanggung peserta yang sakit. Permasalahan terjadi
ketika rasio keseimbangan tidak tercapai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
defisit anggaran. Dalam peraturan perundang-undangan terkait belum terdapat
mekanisme kover (back-up) dana pemerintah atas defisit anggaran BPJS.
Kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik alam ataupun
perbuatan manusia. Untuk faktor perbuatan manusia, permasalahan kesehatan
terkadang disebabkan oleh ekternalitas (dampak) negatif. Hal ini tentu akan
menimbulkan permasalahan bagi ketahan fiskal BPJS.
B. Analisa Kasus
Permasalahan penyelenggaraan jaminan sosial kesehahtan oleh BPJS
berawal dari konvergensiegerensi kepentingan pemangku kepentingan yang
belum terjadi. Hal ini berawal dari perdebatan panjang pada masa awal
pembentukan UU SJSN. Namun dikarenakan political will yang kuat dari
pemerintah. UU SJSN akhirnya dapat disahkan 1 (satu) hari sebelum habisnya
masa Jabatan Presiden Megawati tahun 2004.
Pada tahun 2005 sebagai amanat dari UU SJSN, BPJS ASKES
mengeluarkan layanan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin dalam produk
ASKESKIN yang kemudian berubah nama menjadi JAMKESMAS pada tahun

17

2008, dengan peserta 76 juta jiwa. Namun masih terdapat sekitar 16 juta rakyat
miskin yang belum terkover, atas data rakyat miskin Indonesia pada tahun yang
sama mencapai 94 juta jiwa (BPS, 2008).
Pembentukan UU BPJS tahun 2011 telah memunculkan gagasan dari
pemerintah untuk meluncurkan progam BPJS Kesehatan tunggal. BPJS
tunggal merupakan sebuah terobosan di karenakan terdapat berbagai manfaat
seperti portabilitas dan ekuitas. Namun, permasalahan sosialiasi, kesiapan
teknis, dan sumber daya manusia. Masih menimbulkan pesimistis.
Dikarenakan hanya dalam waktu 2 tahun, BPJS diharapkan meyeiapkan segala
unsur pendukung. Dibandingkan dengan Jerman, pelaksanaan BPJS
membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun. Hal tersebutpun masih diwarnai
praktik TRY and ERROR.
Namun, optimisme juga perlu didorong akses informasi dan teknologi
pada jaman dahulu. Berbeda dengan jaman sekarang. Dimana kuantitas dan
kualitas persebaran data telah optimal (BPJS, 2014). Optimisme ini perlu
mendapat pertentangan. Untuk membuktikan derajat realitas. Secara teknis dan
infrastruktur tentu dapat dengan mudah dipenuhi. Tetapi permasalahan nonteknis seperti political will dari pemangku kepentingan dan ketersedian sumber
daya yang capable menjadi PR atas optimisme BPJS.
Dikarenakan SJSN dan BPJS telah terimplementasi pilihan yang
tersedia ialah terus maju dan melakukan perbaikan dalam proses (TRY and
ERROR!). Dalam hal ini ditawarkan model pembangunan kredibilitas
kontruktif (Henggar, 2014). Model ini disusun atas dasar teori hukum
konstruktif. Mekanisme sosial tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien.
Jika unsur dari sistem yaitu aturan main dan manusia. Tidak terjadi
konvergensiegerensi tujuan ditingkat makro (nasional) ataupun mikro
(lapangan).
Hal inilah yang dilihat sebagai akar permasalahan penyelenggaraan
BPJS di Indonesia. Konvergensiegerensi kepentingan masih belum terjadi. Hal
inialah yang harus dikembangakan. Dari sektor mikro, partisipasi tokoh
masyarakat dalam persebaran (sosialisasi) BPJS akan lebih mudah diterima

18

masyarakat ketimbang melalui media masa. Dikarenakan anggapan apa yang


ada di media masa hanay dapat dinikmati di kota besar. Ditingkat makro perlu
konvergensiegerensi politik kepentingan antara organisasi politik maupun nonpolitik, seperti : organisasi kepartaian, organisasi kemasyarakatan, ikatan
pekerja. Konvergensiegerensi kepentingan ditingkat mikro dan makro akan
menciptakan political will yang kuat. Hal ini akan menjadi semangat nasional
dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Prinsip gotong-royong memberikan konsekuensi bahwa peserta
jaminan kesehatan harus melakukan prinsip tanggung renteng yang berasal dari
dana amanat. Jika jumlah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan
sedikit. Tentu akan terjadi peningkatan jumlah kas dana amanat. Dalam UU
BPJS dana amanat dapat diinvestisikan untuk kepentingan peserta, tentu
dengan

menggunakan prinsip

kehati-hatian.

Rendahnya

infrastruktur

kesehatan di Indonesia tentu dapat ditingkatkan menggunakan dana investasi


yang berasal dari dana amanat. Hal ini akan mempermudah pelayanan
kesehatan dan akses fasilitas kesehatan. Jika infrastruktur fasilitas kesehatan
adalah milik peserta yang diamanatkan kepada BPJS.
Tanggung Jawab Sosial oleh perusahaan sebagai konsekuensi atas
ekternalitas (dampak negatif) kegiatan usaha. Kiranya perlu diberi raung dan
pedoman oleh pemerintah. Dikarenakan memasuki abad informasi, citra
perusahaan menjadi penting dalam peningkatan pertumbuhan perusahaan.
Dana tanggung jawab sosial, kiranya dapat diinvestasikan dalam peningkatan
fasilitas kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.
Dalam pelaksanaan JKN pemerintah berfungsi dalam pembuat dan
penegak aturan main (regulasi). Pemerintah harus bertindak tegas dalam
pengawasan dan pemberian sanksi dalam penyelenggaraan JKN, dikarenakan
potensi besarnya aset yang dikelola meliputi aset BPJS dan Dana amanat.
Pelaksanaan JKN perlu dikawal agar penyelenggaraan dilakukan dengan
keterbukaan informasi dan pertanggung jawaban atas segala tindakan. Hal ini
berkaitan dengan pembentukan kepercayaan (kredibilitas) dalam pengelolaan
dana amanat. Tingginya kepercayaan masyarakat terhadap BPJS akan

19

mendorong antusiasisme masyarakat berpartisipasi dalam penyelenggaraan


JKN.
Dalam UU Pemerintah Daerah diatur tentang tugas daerah dalam
penyelenggaraan jaminan sosial (kesehatan). Dalam pelaksanaan jaminan
sosial daerah, pemerintah daerah kiranya perlu berkomunikasi dengan BPJS
pusat agar tidak terjadi jaminan ganda (inefesiensi). Daerah haruslah
berposisi sebagai pendorong.

20

BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Pemerintah telah melakukan sebuah terobosan pada tahun 2014 dengan
penyelenggaran jaminan kesehatan BPJS tunggal. Hal ini didasari prinsip
portabilitas dan ekuitas. Jadi asuransi JKN bersifat melekat pada peserta
kemanapun peserta berpergian, bekerja, atau bertempat tinggal, JKN tetap
dapat di akses selama masuh berada dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
2. Sebuah terobosan yang dilakukan pemerintah melalui BPJS tunggal dalam
penyelenggaraan JKN selain di dorong oleh optimesme pemangku
kepentingan, juga di dorong kritik yang bertujuan peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan, semisal : sosialisasi yang kurang, kover pembiayaan
kesehatan yang terbatas, dll. Untuk itu kehadiran BPJS harus didukung dan
didorong lewat semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang telah hidup
di masyarakat. Praktik KKN telah menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada negara. Untuk itu BPJS harus dimiliki bersama, untuk
menumbuhkan semangat tersebut. Perlu pendayagunaan tokoh masyarakat,
sebagai tokoh yang lebih dekat dan dipercaya masyarakat.
2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang responsi masyarakat terhadap
masyarakat. Responsi bertujuan untuk menggali bahan pengawasan dan
evaluasi yang bertujuan peningkatan kinerja BPJS Kesehatan.
2. Perlu dilakukan tentang pengaruh ekternalitas perusahaan (dampak negatif)
dari aktifitas produksi terhadap kesehatan, hal ini ditujukan untuk menggali
bahan dalam perumusan kebijakan pemerintah.

21

Daftar Pustaka

Ayuningtyas, Dumilah. Aspek Ideologis Undang-Undang BPJS. Forum Nasional II


: Jaringan Kebijakan Kesehatan : Makasar.
Budi, Andayani. 2014. Pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan. Rakerkesda Dinas
Kesehatan : Jawa Tengah.
Thabrany, Hasbullah. 2009. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional :
Sebuah Policy Paper dalam analisa Kesesuaian Tujuan Struktur BPJS.
Partekelir : Jakarta.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).

You might also like