Professional Documents
Culture Documents
Oleh
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul karya tulis
BPJS
DALAM
NASIONAL MELALUI
PARTISIPASI
JAMINAN
KESEHATAN
AKTIF MASYARAKAT
DI
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui
Pembantu atau Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
ii
ABSTRAKSI
Sistem terdiri atas aturan main (regulasi) dan manusia (subjek) yang
berinteraksi secara timbal balik menciptakan pola-pola tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu. Demikian juga dengan SJSN (Sitem Jaminan Sosial
Nasional) terdiri atas aturan main dan manusia yang bertujuan
terselenggara jaminan sosial nasional. Dintaranya adalah jaminan
kesehatan nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dibentuk 2011.
Pemerintah telah melakukan sebuah terobosan pada tahun 2014 dengan
penyelenggaran jaminan kesehatan BPJS tunggal. Hal ini didasari prinsip
portabilitas dan ekuitas. Jadi asuransi JKN bersifat melekat pada peserta
kemanapun peserta berpergian, bekerja, atau bertempat tinggal, JKN tetap
dapat di akses selama masuh berada dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Sebuah terobosan yang dilakukan pemerintah melalui BPJS tunggal dalam
penyelenggaraan JKN selain di dorong oleh optimesme pemangku
kepentingan, juga di dorong kritik yang bertujuan peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan, semisal : sosialisasi yang kurang, kover pembiayaan
kesehatan yang terbatas, dll. Untuk itu kehadiran BPJS harus didukung dan
didorong lewat semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang telah hidup
di masyarakat. Praktik KKN telah menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada negara. Untuk itu BPJS harus dimiliki bersama, untuk menumbuhkan
semangat tersebut. Perlu pendayagunaan tokoh masyarakat, sebagai tokoh
yang lebih dekat dan dipercaya masyarakat.
Kata kunci :
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaiakan karya
tulis ilmiah dengan judul UPAYA MEMBANGUN
KREDIBILITAS BPJS
iv
DAFTAR ISI
ii
Abstraksi ........................................................................................
iii
iv
Daftar Isi.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................
11
13
16
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
20
B. Saran ...................................................................................
20
xxi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasosinal (SJSN) merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam
penyelenggaraan jaminan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Selain itu dalam
pasal 167 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan tentang tugas
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Semangat dalam
UU SJSN adalah penyelenggaraan jaminan sosial secara gotong-royong
(asuransi sosial). Oleh karena jaminan sosial nasional berorientasi nirlaba (not
for profits). Selain itu dalam pelakasanaan UU SJSN harus dilakukan oleh
BPJS dengan bentuk badan hukum publik khusus. Selama ini asuransi
kesehatan di Indonesia berbentuk PT ataupun BUMN. Hal ini dipandang
pemerintah tidak dapat memberikan jaminan yang optimal, jika BPJS tetap
berbentuk PT /BUMN.
Pemberlakuan UU SJSN mengubah bentuk hukum penyelenggara
jaminan sosial yang telah ada di Indonesia, yaitu : PT. ASKES, PT. TASPEN,
PT. ASABRI, dan PT. JAMSOSTEK menjadi BPJS. Dikarenakan mayoritas
penduduk Indonesia bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak
menentu, berimplikasi pada tingkat penduduk tidak mampu (miskin) tinggi.
Dilatar belakangi hal tersebut tahun 2005 dikeluarkan ASKESKIN (Asuransi
Kesehatan Keluarga Miskin) oleh BPJS ASKES. ASKESKIN berubah nama
menjadi JAMKESMAS pada tahun 2008 (Jaminan Kesehatan Masyarakat).
Warga negara yang dapat terkover JAMKESMAS tahun 2008 mencapai 76 juta
warga miskin (BPS, 2008).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS merupakan
realisasi amanat UU SJSN. Dikarenakan penyelenggaraan jaminan sosial oleh
BPJS yang ada, belum terdapat payung hukum sebagai pedoman dan
pengaturan. Berdasarkan UU BPJS pemerintah melakukan terobosan
semangat
gotong-royong
dan
kekeluargaan
dalam
dengan pasti dan dalam proses penyembuhan harus dilakukan dengan tuntas.
Diperlukan aturan main yang memberikan pedoman ketika terjadi surplus
ataupun defisit. Ketika terjadi surplus, dana amanat dapat diinvestasikan untuk
peningkatan fasilitas kesehatan baik secara preventif ataupun kuratif.
Sedangkan ketika defisit negara dapat memberikan dukungan pembiayaan
yang diperoleh melalui pajak ataupun CSR (Corporate Sosial Responsibility).
Untuk diperlukan sebuah aturan main dan sumber daya manusia (SDM)
yang memiliki kapasitas dan integritas dalam penyelenggaraan jaminan sosial
yang disusun secara berkala dan berkelanjutan. Selain itu perlu sosialisasi
terhadap masyarakat melalui tokoh masyarakat. Sosialisasi bertujuan
menyebarluaskan semangat dan tujuan dari BPJS Kesehatan (Kegotongroyongan). Perencanaan dan penyelenggaraan progam harus didukung
konvergensiegerensi kepentingan di tingkat makro dan mikro, karena pada
dasarnya fasilitas dan pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi. Kesehatan akan mendorong peningkatan produktivitas di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana upaya penemerintah dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan
nasional melalui BPJS 2014 ?
2. Bagaimana upaya mengisi kekurangan fungsi jaminan pemerintah dengan
kebutuhan dalam masyarakat ?
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
a. Menjelaskan upaya penemerintah dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan nasional melalui BPJS 2014.
b. Menjelaskan upaya mengisi kekurangan penyelenggaran jaminan
pemerintah dengan kebutuhan dalam masyarakat.
2. Manfaat
a. Bagi masyarakat pedesaan, penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan pengetahuan dalam perencanaan dan penyelenggaraan
b. pembangunan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODOLOGI PENULISAN
A. Tinjaun Pustaka
Pada masyarakat tradisional alam berfungsi sebagai penjamin
(asuradur), dikarenakan kebutuhan dapat dipenuhi dari hasil alam. Dalam
masyarkat modern orang menggunakan uang sebagai alat tukar barang ataupun
jasa, asuradur alamiah tidak bisa diandalkan ketika cacad, sakit, atau pensiun.
Orang diharuskan memiliki asuransi untuk memperoleh jaminan, namun tidak
semua orang bisa membeli. Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, maka
kebutuhan dasar setiap orang tidak akan terpenuhi (kegagalan pasar).
Layanan langsung pemerintah umumnya dinilai kurang mampu
memberikan layanan berkualitas menurut presepsi masyarakat kelas menengah
keatas. Layanan yang disediakan pemerintah seringkali juga dinilai tidak
efisien dan korup karena tidak ada insentif bagi pegawai negeri untuk
memberikan layanan yang terbaik bagi rakyat. Ketika dibentuk BUMN (unit
khusus) kinerja korporat masih bersifat birokratis, sehingga lazim disebut
korporate plat merah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Asuransi
mengharuskan pengelolaan asuransi sosial oleh BUMN. Namun, BUMN yang
melaksanakan jaminan sosial diperlakukan sama seperti BUMN pada
umumnya berkaitan dengan kinerja finansial. Akibatnya tujuan, filosofi, jenis
produk, dan struktur manajemen BUMN tidak sesuai dengan prinsip jaminan
sosial sebagai kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga
negara.
Pelaksanaan jaminan sosial seharusnya dilakukan oleh badan khusus
bentukan pemerintahan. Dikarenakan jaminan sosial dari badan yang
berbentuk PT Persero, memberikan kesan kepemilikan eklusif, sehingga tidak
terdapat kewajiban untuk melakakukan disclosure informasi pada aspek
pelayanan.
Keterbukaan
merupakan
bentuk
pertanggung
jawaban
yang menjadi hak peserta. Portabel artinya selalu dibawa, selalu mengikuti
peserta. Karena prinsipnya peserta harus selalu aman kapan dan dimanapun dia
berada di dalam wilayah hukum Indonesia.
Prinsip kepersetaan yang bersifat wajib. Kepersetaan wajib merupakan
prasyarat agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta, walaupun dalam
penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan progam.
Kewajiban menjadi peserta dimulai dari pekerja sektor formal karena secara
teknis pengumpulan iuran mudah dilakukan dengan mewajibkan pemberi kerja
(majikan) memungut iuran. Baru dikemudian hari pekerja dari sektor informal
dapat menjadi peserta secara sukarela.
Prinsip dana amanat. Dana amanat diartikan hasil pengelolaan dana
jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan progam dan
untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Pasal 4 UU SJSN merupakan
optimal untuk menjelaskan apa yang dimaksud nirlaba. Dalam penjelasan
dirumuskan dengan kalimat bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang
saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Pengelolaan suatu badan secara nasional memnungkinkan efesiensi,
menjamin keadilan yang maksimal, menjamin portabilitas lintah daerah, lintah
sektor, lintas pekerjaan, lintas waktu, serta memberikan identitas nasional.
Kinerja suatu badan hukum (Pemerintah, Bank Sentral, DPR, BPJS,
atau yayasan sekalipun) adalah aturan main (peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar/ anggaran rumah tangga, standar prosedur, dll) dan manusia
yang mengurus badan hukum itu (pengawas, pembina, komisaris, direksi,
pimpinan, dsb).
Dalam JKN/ SJSN, BPJS hanya menerima uang masuk dari iuran wajib
dan
hasil
pengembangannya.
Prestasi direksi
hanya
dari
efisiensi
saham, maka transparasi dalam BPJS harus sangat berbeda dari transparasi dan
akuntabilitas badan hukum PT. Dalam konsep BPJS, semua peserta
sesungguhnya menjadi pemilik dana, mirip konsep asuransi komersial yang
dikelola badan hukum Usaha Bersama (mutual). Oleh karenanya, semua
keputusan strategis harus disetujui pemilik (peserta) melalui sistem perwakilan
terpercaya (bord of trustee). Sistem perwakilan terpercaya di Indonesia
dijalankan oleh wali amanat. Pengambilan keputusan harus didasarkan kepada
manfaat yang diperoleh peserta. Untuk itu keterbukaan informasi harus
maksimal.
Bahkan di banyak negara, berbagai asuransi kesehatan sukarelapun,
baik sebagai suplemen atau komplemen (pelengkap) asuransi wajib dikelola
secara nirlaba. Coheur (2008) menjelaskan bahwa penyelenggaraan skema
tersebut mempunyai karakter (1) solidaritas sosial dengan membayar
kontribusi/ iuran, (2) tidak ada pemegang saham dan tidak ada laba yang
dibagikan sebagai deviden. Seluruh dana yang terkumpul dikelola dan
diinvestasi tetapi seluruh hasil investasi digunakan untuk melayani peserta atau
diinvestasikan kembali. (3) manajemen yang bebas dari keterikatan dengan
lembaga lain, demokratik, dan participatory. Pengambilan keputusan
dilakukan melalui perwakilan (di Indonesia disebut Wali Amanat) peserta
berdasar one man, one vote tidak berdasarkan besaran iuran. (4) otonomi
manajemen. Bentuk organisasi ini sudah lama dikenal di Eropa sejak abad
pertengahan dengan istilah mutual benefit societies. Organisasi nirlaba ini
dapat dibentuk berdasarkan ikatan persaudaraan keagamaan (brotherhoods/
ikhwan), ekonomi (guilds, corporations) atau sosial (trade guilds).
Sesungguhnya prinsip yang sama juga dikenal di Indonesia seperti arisan,
jumputan, subak (bali), dll. Hanya saja, bentuk organisasi tradisional
berlandaskan prinsip yang sama dengan yang ada di eropa, tidak pernah di akui
dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam asuransi sosial, prinsip utamanya bukan full-risk transfer dalam
setting bisnis spekulasi bagi pemegang saham atau pengusaha tetapi solidaritas
sosial (gotong royong) menyediakan manfaat maksimal bagi peserta.
Manajemen menggunakan prinsip asuransi. Karena tujuan utamanya
solidaritas sosial, maka mekanisme ini disebut asuransi sosial. Dikarenakan ciri
asuransi sosial adalah kewajiban berkontribusi bagi yang memiliki penghasilan
diatas batas tertentu (dalam perpajakan dikenal PTKP), maka pengelolaannya
tidak bisa disamakan dengan asuransi komersial yang bersifat sukarela.
Di banyak negara pemerintah membayar, menanggung sebagian dana
(misalnya di Taiwan seluruh biaya operasional dibebankan kepada anggaran
negara, bukan pengelola JKN), atau memberi subsidi (jika BPJS merupakan
badan hukum terpisah dari pemerintah). Single payer bertujuan untuk
meminimalkan biaya administrasi, biaya transaksi iuran maupun pembayaran,
mempunyai kekuatan monopsoni, memaksimalkan subsidi silang antar
penduduk di seluruh negari, dan memenuhi amanat konstitusi untuk memenuhi
hak sehat seluruh rakyat terpenuhi. Kekuatan monopsoni adalah kekuatan
badan JKN sebagai pembayar tunggal menetapkan tarif yang untuk fasilitas
kesehatan publik maupun swasta sehingga dengan sendirinya pembayar
tunggal akan mampu mengendalikan biaya kesehatan.
B. Kerangka Berfikir
Dalam sistem terdiri dari aturan main (rule of game) dan orang (man).
Demikian juga dengan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) di Indonesia.
Dalam UU SJSN dijelaskan bahwa penyelenggaraan jaminan nasional
diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dalam
UU BPJS dijelaskan terdapat 2 jenis BPJS, yaitu : kesehatan dan
ketenagakerjaan.
Dalam karya ilmiah ini akan melakukan kajian ilmiah tentang BPJS
Kesehatan. Kajian melingkupi mekanisme sistem jaminan dan POAC
(Planing, Organizing, Actuating, dan Controling) dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan nasional (JKN). Penyelenggaraan suatu kebijakan tentu
tidak dapat dipandang adil oleh seluruh pemangku kepentingan. Hal ini
menjadi potensi timbulnya benturan kepentingan yang menghambat
penyelenggaraan progam JKN.
10
Manusia
(Orang)
Sistem
UUD 1945
Pasal 34 (1) (2)
Pemerintah
DPR
Per-UU SJSN
dan
Per-UU BPJS
BPJS
Kesehatan
Industri dan
jasa
Konvergensie
rgensi
Kepentingan
Investasi
Layanan Kesehatan
(dasar)
Iuran
Promotif
Preventif
Kuratif
CSR
Ekternalitas
Perusahaan
Layanan Kesehatan
(Komplemen)
Peserta
Tokoh
Masyarakat
Semesta = Rakyat
Pemerintah
Daerah
Implementasi Hukum
Manfaat yang diterima rakyat
Manfaat yang diterima peserta
Sumber dana komplemen (pelengkap)
Living law
Kewajiban peserta
Untuk itu dalam karya ilmiah ini akan menjelaskan fakta-fakta dan teori-teori
tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (JKN). Analisa
dilakukan dengan analisa SWOT untuk dapat disimpukan derajat realitas
penyelenggaraan JKN. Kemudian dari hasil analisa SWOT akan dilengkapi
dengan gagasan yang dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengingkatan
11
dan
validitas
data.
Disertai
dengan
komparasi
12
13
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Gambar 1. Implementasi Jaminan Sosial Kesehatan (Indonesia)
UUD 1945
Pasal 34 (1)(2)
Pemerintah
DPR
UU SJSN
(2004)
UU BPJS
(2011)
BPJS Ketenagakerjaan
BPJS Kesehatan
Fasilitas Kesehatan
Pelayanan Kesehatan
Iuran
Peserta
14
15
16
Tiga bulan pasca penerapan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, telah
timbul permasalahan dilapangan. Pada umumnya permasalahan terjadi
karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS kepada para
pemangku kepentingan. Permasalahan yang terjadi, diantaranya :
pertama, masalah pengadaan obat-obatan, sebelum BPJS kesehatan
diberlakukan pasien dapat mengajukan obat untuk jangka waktu 30 hari
namun setelah BPJS kesehatan diberlakukan pasien hanya diberikan obat
dalam jangka waktu 7 hari. Hal ini menimbulkan permasalahan bagi
daerah yang akses pelayanan kesehatan jauh. Kedua, masih banyak
rumah sakit swasta yang belum tergabung dalam BPJS Kesehatan
dikarenakan kurangnya sosialisasi. (investor.co.id, 2014).
Hingga pelaksanaan BPJS 2014 peraturan perundang-undangan terkait
belum disosialisasikan pada masyarakat. Hal ini tentu akan menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaan. Konvergensiegerensi kepentingan dalam
masyarakat akan sulit dicapai. Mekanisme asuransi sosial menimbulkan
konsekuensi prinsip tanggung-menanggun (gotong-royong). Hal ini berarti
bagi peserta yang sehat menanggung peserta yang sakit. Permasalahan terjadi
ketika rasio keseimbangan tidak tercapai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
defisit anggaran. Dalam peraturan perundang-undangan terkait belum terdapat
mekanisme kover (back-up) dana pemerintah atas defisit anggaran BPJS.
Kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik alam ataupun
perbuatan manusia. Untuk faktor perbuatan manusia, permasalahan kesehatan
terkadang disebabkan oleh ekternalitas (dampak) negatif. Hal ini tentu akan
menimbulkan permasalahan bagi ketahan fiskal BPJS.
B. Analisa Kasus
Permasalahan penyelenggaraan jaminan sosial kesehahtan oleh BPJS
berawal dari konvergensiegerensi kepentingan pemangku kepentingan yang
belum terjadi. Hal ini berawal dari perdebatan panjang pada masa awal
pembentukan UU SJSN. Namun dikarenakan political will yang kuat dari
pemerintah. UU SJSN akhirnya dapat disahkan 1 (satu) hari sebelum habisnya
masa Jabatan Presiden Megawati tahun 2004.
Pada tahun 2005 sebagai amanat dari UU SJSN, BPJS ASKES
mengeluarkan layanan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin dalam produk
ASKESKIN yang kemudian berubah nama menjadi JAMKESMAS pada tahun
17
2008, dengan peserta 76 juta jiwa. Namun masih terdapat sekitar 16 juta rakyat
miskin yang belum terkover, atas data rakyat miskin Indonesia pada tahun yang
sama mencapai 94 juta jiwa (BPS, 2008).
Pembentukan UU BPJS tahun 2011 telah memunculkan gagasan dari
pemerintah untuk meluncurkan progam BPJS Kesehatan tunggal. BPJS
tunggal merupakan sebuah terobosan di karenakan terdapat berbagai manfaat
seperti portabilitas dan ekuitas. Namun, permasalahan sosialiasi, kesiapan
teknis, dan sumber daya manusia. Masih menimbulkan pesimistis.
Dikarenakan hanya dalam waktu 2 tahun, BPJS diharapkan meyeiapkan segala
unsur pendukung. Dibandingkan dengan Jerman, pelaksanaan BPJS
membutuhkan waktu lebih dari 4 tahun. Hal tersebutpun masih diwarnai
praktik TRY and ERROR.
Namun, optimisme juga perlu didorong akses informasi dan teknologi
pada jaman dahulu. Berbeda dengan jaman sekarang. Dimana kuantitas dan
kualitas persebaran data telah optimal (BPJS, 2014). Optimisme ini perlu
mendapat pertentangan. Untuk membuktikan derajat realitas. Secara teknis dan
infrastruktur tentu dapat dengan mudah dipenuhi. Tetapi permasalahan nonteknis seperti political will dari pemangku kepentingan dan ketersedian sumber
daya yang capable menjadi PR atas optimisme BPJS.
Dikarenakan SJSN dan BPJS telah terimplementasi pilihan yang
tersedia ialah terus maju dan melakukan perbaikan dalam proses (TRY and
ERROR!). Dalam hal ini ditawarkan model pembangunan kredibilitas
kontruktif (Henggar, 2014). Model ini disusun atas dasar teori hukum
konstruktif. Mekanisme sosial tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien.
Jika unsur dari sistem yaitu aturan main dan manusia. Tidak terjadi
konvergensiegerensi tujuan ditingkat makro (nasional) ataupun mikro
(lapangan).
Hal inilah yang dilihat sebagai akar permasalahan penyelenggaraan
BPJS di Indonesia. Konvergensiegerensi kepentingan masih belum terjadi. Hal
inialah yang harus dikembangakan. Dari sektor mikro, partisipasi tokoh
masyarakat dalam persebaran (sosialisasi) BPJS akan lebih mudah diterima
18
menggunakan prinsip
kehati-hatian.
Rendahnya
infrastruktur
19
20
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Pemerintah telah melakukan sebuah terobosan pada tahun 2014 dengan
penyelenggaran jaminan kesehatan BPJS tunggal. Hal ini didasari prinsip
portabilitas dan ekuitas. Jadi asuransi JKN bersifat melekat pada peserta
kemanapun peserta berpergian, bekerja, atau bertempat tinggal, JKN tetap
dapat di akses selama masuh berada dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
2. Sebuah terobosan yang dilakukan pemerintah melalui BPJS tunggal dalam
penyelenggaraan JKN selain di dorong oleh optimesme pemangku
kepentingan, juga di dorong kritik yang bertujuan peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan, semisal : sosialisasi yang kurang, kover pembiayaan
kesehatan yang terbatas, dll. Untuk itu kehadiran BPJS harus didukung dan
didorong lewat semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang telah hidup
di masyarakat. Praktik KKN telah menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada negara. Untuk itu BPJS harus dimiliki bersama, untuk
menumbuhkan semangat tersebut. Perlu pendayagunaan tokoh masyarakat,
sebagai tokoh yang lebih dekat dan dipercaya masyarakat.
2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang responsi masyarakat terhadap
masyarakat. Responsi bertujuan untuk menggali bahan pengawasan dan
evaluasi yang bertujuan peningkatan kinerja BPJS Kesehatan.
2. Perlu dilakukan tentang pengaruh ekternalitas perusahaan (dampak negatif)
dari aktifitas produksi terhadap kesehatan, hal ini ditujukan untuk menggali
bahan dalam perumusan kebijakan pemerintah.
21
Daftar Pustaka