You are on page 1of 67

Evaluasi Program

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN DIARE


DI PUSKESMAS KELURAHAN KAYU PUTIH
PERIODE JANUARI 2008 DESEMBER 2008

Oleh :
Daruqutni, S.Ked
Dinda Diafiri, S Ked
Donny Albertha, S Ked
Pembimbing :
Dr. Setyawati
KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA, NOVEMBER 2009

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar
3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5 episode per anak
per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan.
Penyakit diare menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah perinatal (23%) dan
infeksi saluran pernafasan akut (18%). Kematian akibat diare mengalami peningkatan pada tahun
2002 sebanyak 15% (8,4/1.000 balita meninggal) dibandingkan tahun 2000 dan 2001 yang
hanya 13%. (WHO, 2004)
Hasil survei oleh Depkes. diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per
1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000
penduduk.(Depkes 2000) Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, angka
kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita.
Di DKI Jakarta kepadatan penduduk cenderung tinggi sehingga penyakit diare masih
merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare.
Terdapat sekitar rata-rata 150.000 kasus diare terjadi setiap tahunnya di Pusat Kesehatan
Masyarakat (Dinkes 2002).
Puskesmas memegang peranan penting sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan dalam
upaya pemberantasan penyakit menular yang salah satunya adalah pencegahan dan
penanggulangan diare. Puskesmas diharapkan dapat melakukan pencegahan penularan penyakit
serta mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat diare baik dengan penanganan aktif
maupun dengan penyuluhan.
II. Perumusan Masalah

Tingginya angka kesakitan diare terutama pada balita di Puskesmas

Kelurahan Kayu Putih


Belum diketahuinya pelaksanaan program penanggulangan diare pada balita
di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari November 2008

Belum diketahui keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan diare


pada balita di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember
2008

III Tujuan
III.1 Tujuan Umum
Dipahaminya program pencegahan dan penanggulangan Diare di puskesmas secara
menyeluruh.
III.2 Tujuan khusus
1. Diketahuinya pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas
Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008.
2. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan
Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008.
3. Diketahuinya kemungkinan penyebab masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan
dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari Desember 2008.
4. Dirumuskannya alternatif penyelesaian masalah bagi pelaksanaan Program Pencegahan
dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari Desember 2008.
IV Manfaat
IV.1 Manfaat bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa sebagai sarana pembelajaran mengenai cara melakukan evaluasi
program puskesmas. Selain itu melatih kemampuan dalam menilai suatu pelaksanaan program,
menambah kemampuan dan kecermatan dalam mengindentifikasi, menganalisa dan menetapkan
prioritas permasalahan, mencari alternatif penyelesaian dari suatu masalah dan memutuskan
penyelesaiannya.
IV.2 Manfaat bagi Puskesmas

Sebagai suatu bahan evaluasi program pencegahan dan penanggulangan diare yang telah
berlangsung, sehingga dapat mengefektifkan dan memberi alternatif penyelesaian masalah
pelaksanaan program dan juga dapat memandu dalam meningkatkan pencapaian program.
IV.3 Manfaat bagi Universitas
Merealisasikan tridharma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Diare
II.1.1. Definisi Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) yang mengalami perubahan pada konsistensi dan atau
frekuensi. Perubahan konsistensi yang dimaksud adalah peningkatan kandungan air dalam feses,
yaitu lebih dari 10 ml/kgBB/hari2 (pada anak) atau lebih dari 200 ml/hari 1 (pada dewasa).
Perubahan frekuensi yang dimaksud adalah lebih dari tiga kali sehari. Pada bayi yang masih
mendapat ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari. 3 keadaan ini tidak
dapat disebut diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal.
II.1.2. Klasifikasi Diare 4
Berdasarkan batasan waktu, diare diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) diare akut, apabila
berlangsung kurang dari 14 hari, (2) diare persisten, yaitu diare akut yang melanjut menjadi lebih
dari 14 hari hingga 30 hari, dan (3) diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 30
hari.1,3 Pada literatur lain, diare persisten disamakan dengan diare kronik, yaitu diare yang
berlangsung lebih dari 14 hari. Pengertian ini juga berlaku di Indonesia agar para tenaga
kesehatan tidak lengah dan dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat.
Berdasarkan mekanisme patofisiologis yang terjadi, diare diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
(1) diare sekretorik, yang biasanya disebabkan oleh infeksi, misalnya infeksi Rotavirus, dan (2)
diare osmotik, yang biasanya disebabkan oleh malabsorbsi laktosa.
Berdasarkan penyebab, diare diklasifikasikan menjadi (1) diare organik, yaitu bila ditemukan
penyebab yang bersifat anatomik, bakteriologik, hormonal, atau toksikologik, dan (2) diare
fungsional, yaitu bila tidak ditemukan penyebab organik. Di dalam kelompok diare organik juga
terdapat diare infektif, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi.
Selain itu, dikenal pula istilah disentri, yaitu kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari
diare disertai darah, lendir, dan tenesmus ani.

II.1.3. Epidemiologi
Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. 1 Pada
tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta anak dibawah usia 5 tahun meninggal karena diare. Hal ini
menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab kematian kedua tersering setelah infeksi
pernapasan. Delapan dari sepuluh kematian akibat diare berlangsung pada dua tahun pertama
kehidupan. Rata-rata anak berusia dibawah 3 tahun di negara berkembang mengalami 3 episode
diare setiap tahunnya.4 Angka kejadian diare di Indonesia hingga saat ini masih tinggi, yaitu 423
per 1000 penduduk untuk semua umur pada tahun 2006 (hasil Subdit Diare, Ditjen PP-PL,
Depkes RI), dimana angka ini meningkat dari tahun ke tahun.6
II.1.3.a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare1
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fekal oral, yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya
diare. Perilaku tersebut antara lain:
-

Tidak memberikan air susu ibu (ASI) secara penuh pada 4 hingga 6 bulan pertama
kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI terjadi peningkatan risiko menderita diare
dan kemungkinan menderita dehidrasi yang lebih berat.

Menggunakan botol susu yang higienenya kurang terjaga.

Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, sehingga dalam beberapa jam akan
tercemar oleh kuman yang mudah berkembang biak.

Menggunakan air minum yang tercemar.

Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum makan, dan sebelum menyuapi anak.

Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi dan tinja binatang) dengan benar.

II.1.3.b. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare1


Faktor-faktor tersebut adalah:
-

Tidak memberikan ASI sampai 2 tahun, sehingga anak kekurangan antibodi yang
penting untuk melindungi tubuh dari berbagai bakteri, misalnya Shigella sp. atau V.
cholera.

Status gizi kurang dan gizi buruk.

Campak, di mana terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga lebih rentan


terhadap diare dan disentri.

Kondisi imunodefisiensi atau imunosupresi, misalnya pada pasien dengan AIDS


(Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Secara proporsional, diare lebih banyak (55%) terjadi pada golongan balita.

II.1.3.c. Faktor lingkungan1


Dua faktor yang dominan adalah tidak cukup tersedianya sarana air bersih dan tidak
ada/kurangnya sarana MCK (mandi,cuci,kakus). Kedua faktor ini saling berinteraksi dengan
perilaku manusia.
II.1.4. Etiopatogenesis
Penggolongan penyebab diare2
II.1.4.a. Infeksi
II.1.4.a.i. Enteral
Dari golongan bakteri dapat disebabkan oleh Shigella sp, E. coli patogen, Salmonella sp,
Klebsiella, Proteus sp, Pseudomonas aeruginosa. Dari golongan virus dapat disebabkan oleh
Rotavirus, Norwalk virus, HIV, Cytomegalovirus, dll. Parasit yang dapat menyebabkan diare
adalah Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Ballantidium coli, Cryptosporum parvum.
Cacing seperti Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Tricuris trichiura, S. Stercoralis. Jamur
yang dapat menyebabkan diare adalah Candida sp.
Tabel 2.1. Jasad patogen yang paling sering ditemukan pada anak diare di negara berkembang5
Jenis Patogen

Spesies Patogen

Persentase Kasus

Virus

Rotavirus

15-25

Bakteri

Eschericia coli enterotoksigenik

10-20

Shigella

5-15

Campylobacter jejuni

10-15

Vibrio cholerae 01

5-10

Salmonella (non-typhi)

1-5

Escherichia coli enteropatogenik

1-5

Protozoa

Cryptosporidium

5-15

Tidak terdapat patogen

20-30

(Sumber: Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

1999)

II.1.4.a.ii. Parenteral
Disebabkan oleh Otitis media akut, pneumonia, travelers diarrhea, E. coli, Giardia lamblia,
Shigella sp, Entamoeba hystolitica, dan intoksikasi makanan. Intoksikasi tersebut dapat berupa
makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung toksin Clostridium
perfringens, Bacillus cereus, dll. Dapat pula karena intleransi laktosa, malabsorbsi atau
maldigesti karbohidrat, lemak trigliserida rantai panjang, asam amino tertentu, malabsorbsi
gluten.
II.1.4.b. Imunodefisiensi
Contoh kondisi ini adalah Hipogammaglobulinemia, panipoglobulinemia, defisiensi Ig A.
II.1.4.c. Terapi obat
Obat yang menyebabkan diare dapat berupa antbiotik, kemoterapi, antasida.

II.1.4.d. Tindakan Tertentu


Gastrektomi, gastroenterostomi, radiasi terapi tinggi.
II.1.5.e Lain-lain
Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik, faktor psikologis adalah contoh kondisi lain
yang juga dapat menyebabkan diare.
Secara umum diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi seperti dibawah ini.9
1.

Peningkatan osmolaritas intra lumen usus. Hal ini menyebabkan masa intra lumen
menarik atau menahan cairan intra lumen dan terjadi diare. Penyebab diare osmotik di

antaranya adalah MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum dan defek absorbsi mukosa usus
seperti defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa.
2.

Sekresi cairan dan elektrolit terganggu. Pada keadaan ini sekresi air dan elektrolit
meningkat, reabsorbsi menurun. Sehingga masa dalam lumen akan menjadi lebih cair,
dan terjadi diare. Ciri dari diare tipe ini adalah jumlahnya yang banyak sekali. Diare tipe
ini tetap berlangsung walaupun pasien puasa. Penyebabnya umumnya toksin bakteri
seperti Vibrio cholerae, E. coli, reseksi ileum.

3.

Malabsorbsi asam empedu dan lemak. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi hepatobilier. Lemak yang tetap berada dalam lumen usus akan
meningkatkan tekanan osmotik intra lumen.

4.

Defek pertukaran atau transport ion elektrolit aktif pada enterosit. Terganggunya
pomapa Na+ K+ATP-ase di enterosit menyebabkan absorbsi Na+ abnormal. Na+ tetap
berada dalam lumen usus dan menahan cairan.

5.

Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal. Terlalu tingginya motilitas usus,
motilitas iregular, dan singkatnya waktu transit dalam usus menyebabkan pencernaan
belum sempurna dan banyak cairan yang tidak sempat direabsorbsi. Kondisi ini
ditemukan pada pasien diabetes melitus, hipertiroid, dan pasien pasca vagotomi.

6.

Gangguan permeabilitas usus. Terdapat kelainan morfologi sel enterosit. Hal ini
menyebabkan penyerapan zat makanan teganggu.

7.

Inflamasi dinding usus. Terdapat kerusakan mukosa usus sehingga terjadi proses
inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan produksi mukus berlebihan dan eksudasi air
dan elektrolit ke dalam lumen usus, disertai gangguan absorbsi. Keadaan ini
menyebabkan diare inflamatorik, seperti pada diare Shigella, kolitis ulseratif, dan
penyakit Crohn.

8.

Infeksi dinding usus. Merupakan keadaan yang mendasari diare infektif. Tipe
diere ini adalah tipe yang paling sering terjadi. Infeksi mikroorganisme tersebut secara
garis besar dibedakan menjadi dua, non invasif dan invasif. Pada tipe non invasif,
mikroorganisme tersebut mngeluarkan toksin yang menyebabkan diare, sehingga diare
yang timbul disebut diare toksikogenik. Contohnya pada diare yang disebabkan Vibrio
cholerae, kuman meproduksi toksin yang meningkatkan produksi cAMP. Tingginya

cAMP akan menyebabkan sekresi aktif ion klorida yang diikuti air, Na+, K+, dan
bikarbonat. Toksin kolera ini tidak mempengaruhi absorbsi natrium.
Patogenesis diare akibat infeksi bakteri atau parasit.2
1.

Diare karena bakteri non invasif (enterotoksikogenik)


Bakteri yang tidak merusak mukosa usus seperti V. Cholerae eltor, Enterotoksigenik
E.colli (ETEC), dan E. perfringen, V. cholerae eltor mengeluarkan toksin kolera dengan
efek yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.

Diare karena bakteri atau parasit invasif (enteroinvasif)


Contoh bakteri golongan ini adalah Enteroinvasif E. colli (EIEC), Salmonella, Shigella,
Yersinia, dan Clostridium perfringens tipe C. Parasit yang sering menye babkan diare tipe
ini adalah E. hystolitica dan Giardia lamblia. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding
usus, nekrosis dan ulserasi. Diare bersifat eksudatif, dapat bercampur lendir maupun
darah.

Patogenesis diare akibat virus adalah seperti di bawah ini.5


1.

Virus merusak vili usus secara langsung, menurunkan luas permukaan usus
sehingga sekresi cairan tidak dapat terimbangi.

2.

Rotavirus kemudian memperoduksi enterotoxin yang meningkatkan sekresi cairan


usus. Kedua mekanisme ini menyebabkan terjadinya diare pada infeksi virus.

II.1.5. Tanda dan Gejala Klinis Diare


Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada diare terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi lebih
cair dan terjadi peningkatan frekuensi buang air. Pada bayi dan neonatus, diare didefinisikan
sebagai keluarnya massa tinja lebih dari 10 ml/kgBB/24 jam dan pada anak dan dewasa berarti
keluarnya massa tinja lebih dari 200 g.2,4 Karakteristik dari diare, meliputi konsistensi, warna,
volume dan frekuensi buang air, dapat menjadi petunjuk berharga dalam menentukan sumber
diare.6 Secara ringkas, karakteristik ini diperlihatkan pada Tabel 2.2 :
Tabel 2.2. Hubungan Karakteristik Tinja dengan Sumber Diare12
Karakter Feses
Keadaan umum
Volume

Usus Halus
Cair
Besar

Usus Besar
Berdarah/ mukoid
Kecil

Darah

Biasanya positif tapi tak

Biasanya terlihat secara kasat mata

Keasaman
Tes reduksi
Sel darah putih
Sel darah putih

kasat mata
<5,5
Dapat positif
<5/lapang pandang besar
Normal

>5,5
Negatif
>10/ lapang pandang besar
Dapat leukositosis

Serum
Organisme

Virus:

Bakteri Invasif:

Rotavirus

E.Coli(enteroinvasif,enterohemorrhagi

Adenovirus

c)

Calicivirus

Shigella

species

Astrovirus

Salmonella

species

Norwalk virus

Campylobacter

species

Yersinia

species

Bakteri Enterotoksik:

Aeromonas species

E.coli

Bakteri Toksik:

Clostridium

perfringens

Clostridium difficile

Cholera
Vibrio
Parasit:
Giardia

Parasit:
Entamoeba organisms

Cryptosporidium
(Sumber : Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 6 September 2009)

Pemeriksaan fisik harus memperhatikan : keadaan umum dan aktivitas pasien, tanda -tanda
vital (nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah), berat badan aktual, tanda-tanda dehidrasi, terutama
pada anak: rewel (restlessness or irritability), letargi/penurunan kesadaran, Sunken eyes (mata
cekung secara mendadak), ubun-ubun besar cekung (sunken fontanel), mukosa bibir dan
orofaring kering, penurunan turgor kulit , terlihat kehausan atau sulit minum atau tidak bisa
minum, anoreksia, takikardia (fast weak pulse), oliguria, darah dalam tinja, tanda-tanda
malnutrisi berat, massa abdominal, distensi abdomen.4
II.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,4
Untuk diare yang berlangsung lebih dari beberapa hari atau diare dengan dehidrasi perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti dibawah ini.

1.

Pameriksaan darah tepi: kadar hemoglobin, hematokrit, hitung leukosit, hitung


diferensial leukosit. Penting untuk mengetahui berat ringannya hemokonsentrasi darah,
dan respon leukosit. Contohnya pada diare karena Salmonella dapat terjadi neutropenia.
Pada diare karena kuman yang bersifat invasif dapat terjadi shift to the left leukosit.

2.

Elektrolit darah. Diperlukan untuk mengobservasi dampak diare terhadap kadar


elektrolit darah.

3.

Ureum dan kreatinin. Diperlukan untuk memonitor adanya gagal ginjal akut.

4.

Pemeriksaan tinja untuk mencari penyebab diare. Pada infeksi bakteri, ditemukan
leukosit pada tinja. Dapat pula ditemukan telur cacing maupun parasit dewasa. Dapat
pula dilakukan pengukuran toksin Closstridium difficile pada pasien yang telah
mendapatkan terapi antibiotik dalam jangka waktu tiga bulan terakhir. Tinja dengan pH
5,5 menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat yang umumnya terjadi sekunder akibat
infeksi virus. Pada infeksi oleh organisme enteroinvasif, leukosit feses yang ditemukan
umumnya berupa neutrofil. Tidak ditemukannya netrofil tidak mengeliminasi
kemungkinan infeksi enteroinvasif, tetapi ditemukannya neutrofil feses mengeliminasi
kemungkinan infeksi organisme enterotoksin dan virus.

5.

Apabila ditemukan leukosit pada feses, lakukan kultur feses untuk menentukan
apakah penyebab diare adalah Salmonella, Shigella, Campylobacter, atau Yersenia.

6.

Pemeriksaan serologis untuk mencari amoeba.

7.

Foto roentgen abdomen. Untuk melihat morfologi usus yang dapat membantu
diagnosis.

8.

Rektoskopi, sigmoideoskopi, dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diare


berdarah, pasien diare akut persisten. Pada pasien AIDS, kolonoskopi dipertimbangkan
karena ada kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi atau limfoma di area kolon kanan.
Biopsy mukosa sebaiknya dilakukan bila dalam pemeriksaan tampak inflamasi berat pada
mukosa.

9.

Biopsi usus. Dilakukan pada diare kronik, atau untuk mencari etiologi diare pada
AIDS.

II.1.7. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada diare akut adalah dehidrasi (dengan berbagai
derajat dari ringan hingga berat / syok), asidosis metabolik, hipokalemia, hiponatermia, dan
hipoglikemia.4
Derajat dehidrasi dapat dinilai berdasarkan beberapa tanda dan gejala, seperti ditampilkan pada
Tabel 2.3 :
Tabel 2.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO (1980)
Tanda dan Gejala
Keadaan umum dan

Dehidrasi Ringan
Haus, sadar, gelisah

Dehidrasi Sedang
Haus, gelisah, atau

Dehidrasi Berat
Mengantuk,

lemas,

kondisi: bayi dan anak

letargi

ekstremitas

dingin,

kecil

iritabel

tetapi

berkeringat, sianotik, mungkin


koma

Haus, sadar, gelisah


Anak lebih besar dan

Haus,

sadar,

Biasanya

dewasa

merasa pusing pada

ekstremitas dingin, berkeringat

perubahan posisi

dan sianotik kulit dan jari


tangan

sadar,

dan

kaki

gelisah,

keriput,

kejang otot.

Nadi radialis (1)

Frekuensi dan isi

Cepat dan lemah

Cepat, halus, kadang-kadang

Pernafasan

nadi normal
Normal

Dalam,

tak teraba
Dalam dan cepat

Ubun-ubun besar* (2)


Elastisitas kulit* (3)

Normal
Kembali

cepat
Cekung
Lambat

Sangat cekung
Sangat lambat (>2 detik)

Mata*
Air mata
Selaput lendir (4)
Pengeluaran
urin

pada pencubitan
Normal
Ada
Lembab
Normal

Cekung
Kering
Kering
Berkurang

Sangat cekung
Sangat kering
Sangat kering
Tidak ada urin untuk beberapa

(5)
Tekanan darah sistolik

Normal

warna tua
Normal-rendah

jam, kandung kencing kosong.


<80 mmHg, mungkin tak

(6)
Persentase kehilangan

4-5%

6-9%

terukur
10% atau lebih

BB
Perkiraan kehilangan

40-50mL/kg

60-90mL/kg

100-110mL/kg

segera

mungkin

dan

cairan
(World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management on acute diarrhoea.
Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement; 2007. Diunduh dari :
http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14 Novemeber 2009)

Keterangan tabel 2.3 :

terutama berguna pada bayi-bayi untuk menilai dehidrasi dan memantau rehidrasi

1. Bila nadi radialis tidak teraba, dicatat frekuensi denyut jantung dengan stetoskop
2. Berguna pada bayi-bayi sampai ubun-ubun menutup pada 6-18 bulan. Setelah penutupan,
pada beberapa anak terdapat sedikit penekanan.
3. Tidak berguna pada malnutrisi marasmik atau obesitas.
4. Kekeringan mulut dapat diraba dengan jari yang bersih. Mulut dapat kering pada anak
yang bernafas dengan mulut. Mulut dapat basah pada pasien rehidrasi karena muntah atau
minum.
5. Bayi yang marasmik atau mendapat cairan hipotonik mengeluarkan jumlah urin yang
cukup pada keadaan dehidrasi
6. Sukar dinilai pada bayi-bayi
Untuk dehidrasi ringan atau sedang biasanya anak kehilangan cairan 50-100mL/kgBB

II.1.8. Prinsip Tatalaksana Diare


Prinsip tatalaksana diare akut terdiri atas 4 hal, yaitu2:
II.1.8.a. Mencegah terjadinya dehidrasi
Mencegah dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan lebih banyak cairan
(minum). Macam cairan yang diberikan tergantung pada kebiasaan setempat dalam mengobati
diare, tersedianya cairan sari makanan yang cocok, jangkauan pelayanan kesehatan, dan
tersedianya oralit.
II.1.8.b. Mengatasi dehidrasi
Pengobatan diare dilakukan melalui beberapa langkah yang disebutkan satu persatu
dibawah ini.1
a. Tetapkan derajat dehidrasi penderita, apakah tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi
sedang, atau dehidrasi berat. Klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
b. Tetapkan rencana pengobatan sesuai derajat dehidrasi penderita :
i.
Rencana terapi A untuk pasien tanpa dehidrasi
ii.
Rencana terapi B untuk pasien dengan dehidrasi ringan dan dehidrasi sedang
iii.
Rencana terapi C untuk pasien dengan dehidrasi berat.
Tabel 2.4. Penentuan Derajat Dehidrasi berdasarkan Tanda dan Gejala1

Klasifikasi
Dehidrasi berat

Gejala/Tanda
Dua atau lebih tanda-tanda berikut:
Letargi/tidak sadar
Sunken eyes
Tidak dapat minum atau sulit minum

Skin pinch sangat lambat kembali (>2 detik)


Dehidrasi sedang

Dua atau lebih tanda-tanda berikut:


Rewel
Sunken eyes
Terlihat kehausan

Dehidrasi ringan

Skin pinch lambat kembali


Tidak cukup tanda-tanda untuk mengklasifikasikannya sebagai

dehidrasi sedang atau berat


(Sumber : Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999)

Pada rencana terapi A, pemberian oralit hanya pada saat setiap kali pasien buang air besar
saja. Banyaknya pemberian cairan setiap buang air besar dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Rencana Terapi A untuk Diare Tanpa Dehidrasi
Usia

Jumlah Cairan yang Diberikan Setiap Buang Air Besar

< 1 tahun

50-100 ml

1-5 tahun

100-200 ml

> 5 tahun

200-300 ml

Dewasa

300-400 ml

(Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)

Pada rencana terapi B, jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama disesuaikan dengan
berat badan. Oralit yang diberikan dihitung dengan mengalikan berat badan pasien (kg) dengan
75 ml. Bila berat badan tidak diketahui dan atau memudahkan penggunaan di lapangan, maka
banyaknya pemberian oralit dapat dilihat pada Tabel 2.6.5
Tabel 2.6. Rencana Terapi B untuk Penderita Diare Ringan dan Diare Sedang
Usia
< 1 tahun
1-5 tahun
> 5 tahun
Dewasa

Jumlah Oralit
300 ml
600 ml
1200 ml
2400 ml

Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999

Untuk rencana terapi C, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah menentukan
bagaimana cairan akan diberikan, yaitu dengan jalur oral atau dengan jalur intravena. Jalur
pilihan pada pasien dengan dehidrasi berat sebenarnya adalah jalur intravena, karena
membutuhkan waktu rehidrasi yang cepat. Cairan yang paling baik adalah Ringer Laktat
(Hartmanns Solution for Injection). Jika tidak ada, maka dapat digantikan dengan NaCl 0,9%.
Larutan dekstrosa 5% tunggal tidak efektif dan tidak boleh digunakan. Bila pada pasien tidak
bisa diberikan cairan secara intravena, segera berikan per oral dengan pipa nasogastrik sejumlah
20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Jumlah dan lama cairan yang diberikan pada pasien dengan
dehidrasi berat dapat dilihat pada Tabel 2.7.1
Tabel 2.7. Rencana Terapi C untuk Penderita Diare dengan Dehidrasi Berat.
Umur
Pemberian 30 ml/kgBB dalam
Pemberian 70 ml/kg BB dalam
Bayi < 12 bulan
1 jam
5 jam
Anak > 1 tahun
1 jam
3 jam
(Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)

Jika pasien bisa minum, boleh diberikan cairan rehidrasi oral (CRO) sebanyak 5 ml/kgBB/
jam sambil diberikan cairan secara intravena selama 3-4 jam. Setelah 6 jam, pasang pipa
nasogastrik dan berikan cairan sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Setelah itu dilakukan
penilaian ulang derajat dehidrasi.1
Cairan rehidrasi oral yang tersedia di pasaran tersedia dalam bentuk oralit dan dikemas
dalam bentuk serbuk. Terdapat dua jenis kemasan serbuk oralit, yaitu serbuk yang membutuhkan
pengenceran dengan larutan 200 cc dan yang lainnya dengan 1 liter. Apabila cairan oralit tidak
tersedia, dapat diberikan pengganti oralit yang dikenal dengan nama cairan rumah tangga. Cairan
rumah tangga dapat berupa air tajin, sup, dan larutan gula dan garam. Namun, takaran yang
diberikan harus sesuai agar tidak menyebabkan keadaan hiperosmolar plasma yang
memperburuk dehidrasi.1
Prinsip pemberian CRO.7
a. Untuk rehidrasi: mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang terjadi.
b. Untuk maintenance: menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit yang masih terjadi.
c. Menyediakan kebutuhan cairan elektrolit selama fase rehidrasi dan maintenance.

d. Melanjutkan pemberian nutrisi yang sesuai selama terapi rehidrasi.


WHO mengeluarkan jenis CRO terbaru yang komposisinya berbeda dengan oralit yang
selama ini dikenal. CRO ini memiliki kandungan glukosa dan garam yang lebih rendah dari
oralit biasa. Gabungan antara CRO baru ini dan suplementasi zinc yang adekuat terbukti
menurunkan mortalitas bayi akibat diare, dan komposisinya dapat dilihat di Tabel 2.8.7
Tabel 2.8. Komposisi CRO WHO 2006 7
Kandungan
Sodium Klorida
Glukosa
Potasium Klorida
Trisodium
sitrat

Gram/ liter
2,6
13,5
1,5
2,9

%
12,683
65,854
7,317
14,146

Kandungan
Sodium
Klorida
Glukosa
Potasium

Mmol/liter
75
65
75
20

dihidrat
Sitrat
10
Total
20,5
100,00
Osmolaritas total
245
(Sumber : WHO and Unicef. . Clinical management on acute diarrhoea; 2007. Diunduh dari :
http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 7 September 2009).

Program pemberian oralit pada pasien diare 9. Pemerintah menyediakan dua macam kemasan
oralit yaitu:
a.

bungkusan 1 liter (20% dari sediaan) digunakan untuk rumah-sakit atau kejadian luar
biasa (KLB) dan diberikan atau dilarutkan di sarana kesehatan

b.

bungkusan 200 ml (80% dari sediaan) tersedia di Posyandu yang dapat diberikan atau
dibawa pulang oleh masyarakat

Dosis oralit disesuaikan dengan umur dan keadaan diare atau dehidrasinya. Dosis acuan yang
harus diingat oleh petugas kesehatan dapat dilihat di Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Dosis acuan oralit sesuai umur 9


No. Umur
Dosis Acuan
1.
Di bawah 1 tahun 3 jam pertama 1,5 gelas kemudian 0,5 gelas setiap mencret
2.
Antara 1-5 tahun
3 jam pertama 3 gelas kemudian 1 gelas setiap mencret
3.
Antara 5-12 tahun 3 jam pertama 6 gelas kemudian 1,5 gelas setiap mencret
4.
Di atas 12 tahun
3 jam pertama 12 gelas kemudian 2 gelas setiap mencret
Sumber : Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan Diare (PMPD).
Jakarta:Depkes RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14

II.1.8.c. Memberi makanan atau ASI9

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan nutrisi yang cukup pada
penderita sehingga status gizi dapat dipertahankan baik, menstimulasi perbaikan usus, serta
mengurangi derajat dan lamanya penyakit. Pada bayi dan anak, rekomendasi ini dikenal sebagai
pemberian makanan secepatnya (early refeeding) dan terutama menekankan pada meneruskan
pemberian ASI dan makanan sehari-hari. Pemberian ASI dilakukan sejak awal terapi dan
diberikan sesuai keinginan bayi.
II.1.8.d. Mengobati penyebab atau masalah lain yang menyertai
Pemberian obat yang rasional pada penderita diare meliputi pengobatan simptomatik dan kausal.
Pengobatan simptomatik yang biasa diberikan adalah anti diare, anti emetik, dan anti piretik.
Penggunaanya masing-masing harus mempertimbangkan risk and benefit secara matang, karena
penggunaan obat simtomatik seringkali mempengaruhi lama dan perjalanan penyakit. Bahkan,
saat ini pengobatan simtomatik seringkali tidak digunakan karena manfaatnya diragukan. Obatobat ini tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun.1
Obat simtomatik anti diare yang masih dianjurkan pada orang dewasa adalah derifat opioid
berupa loperamid, difenoksilat-atropin, dan tinktur atropine. Loperamid dipilih karena tidak
menyebabkan adiksi dan efek samping minimal. Bismuth subsalisilat dapat dipilih, tetapi pada
pasien AIDS penggunaannya dapat menyebabkan ensefalopati bismuth. Pemberian obat anti
diare pada pasien yang panas harus berhati-hati, karena bila tidak diikuti pemberian anti mikroba
maka penyembuhan penyakit menjadi terlambat. Selain derifat opioid, obat yang mengeraskan
konsistensi tinja dapat dipilih. Attapulgite diberikan 4 kali sehari, masing-masing dua tablet.
Smectite diberikan tiga kali sehari, masing-masing satu sachet setiap pasien diare sampai diare
berhenti. Satu lagi golongan obat yang dapat dipilih adalah anti sekretorik atau anti
enkephalinase berupa hidrasec tiga kali sehari, masing-masing satu tablet.2
Pengobatan kausal dapat diberikan dengan pertimbangan 50-70% pasien diare di Indonesia
diakibatkan oleh infeksi. Pemeriksaan leukosit tinja secara praktis dapat digunakan untuk melihat
kemungkinan infeksi enteral sebagai penyebab diare. Jika pemeriksaan leukosit tinja
menunjukkan jumlah leukosit > 10 / lapang pandang, dapat dianggap penyebab diare adalah
infeksi enteral. Untuk itu, terapi antibiotika dapat dilakukan. Mempertimbangkan hal ini, maka
antibiotik hanya dapat diberikan apabila : ditemukan darah pada tinja, secara klinis terdapat

tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi enteral, pada pasien di daerah endemik kolera, serta
pada pasien neonatus dengan dugaan terjadi infeksi nosokomial.6
Siprofloksasin sangat efektif untuk mengatasi infeksi Campilobacter, Shigella, Salmonella,
Yersinia, dan Aeromonas. Siprofloksasin 500 mg diberikan dua kali sehari selama lima sampai
tujuh hariSebagai alternatif dapat diberikan kotrimoksazol (trimetoprim 160 mg dan
sulfametoksazol 800 mg) dua kali sehari. Dapat pula diberikan eritromisin 250-500mg empat
kali sehari. Pemberian metronidazol 250mg tiga kali sehari selama tujuh hari dilakukan bila ada
kecurigaan infeksi Giardia. Patogen spesifik yang harus diterapi dengan antibiotik adalah Vibrio
cholerae dan Clostridium difficile. Untuk mengobati Clostridium difficile diberikan metronidazol
per oral 250-500 mg empat kali sehari selama tujuh sampai sepuluh hari. Sebagai alternatif dapat
diberikan vankomisin, tetapi lebih mahal.2
II.1.9. Diare Bermasalah
II.1.9.a. Disentri Berat
Disentri adalah suatu sindrom yang terdiri atas diare dengan feses bercampur darah dan lendir
mukopurulen, serta adanya kram usus, demam, tenesmus ani.2 Sindrom ini dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab, seperti infeksi (tersering) baik oleh virus, bakteri, maupun parasit, intoleransi
laktosa, dan alergi protein susu sapi. Penularannya terjadi secara fekal oral, kontak dari orang
ke orang, atau kontak dengan alat rumah tangga. Infeksi menyebar melalui makanan dan air yang
terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan higiene perorangan yang
buruk. Di Indonesia, disentri terutama disebabkan oleh Shigella, Salmonella, Campylobacter
jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh
Shigella dysenteriae, dan kadang disebabkan pula oleh Shigella flexneri, Salmonella, dan
Esherichia coli yang enteroinvasif (EIEC).2
Angka kejadian disentri di Indonesia berdasarkan hasil survei evaluasi tahun 1989 1990
adalah sebesar 15%. Dari laporan surveilans terpadu tahun 1989 didapatkan jumlah kasus
disentri di Puskesmas sebesar 13,3%, di bagian rawat inap rumah sakit sebesar 0,45%, dan
bagian rawat jalan rumah sakit sebesar 0,05%. Proporsi penderita diare dengan disentri di
seluruh Indonesia yang dilaporkan berkisar antara 5 15%. Proporsi disentri yang menjadi
disentri berat belum jelas.10

Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi beratnya disentri, antara lain (1) faktor pejamu, yaitu
kurangnya imunitas akibat gizi kurang, usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita
campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi, atau kelompok sosial ekonomi rendah, (2)
faktor agen, yaitu infeksi bakteri, misalnya Shigella, dan (3) faktor lingkungan, yaitu lingkungan
dengan higiene yang buruk.2
Diare pada disentri umumnya diawali oleh diare cair, lalu pada hari kedua dan ketiga muncul
darah, dengan atau tanpa lendir, sakit perut, tenesmus ani, hilangnya nafsu makan, dan badan
terasa lemah. Sebagian besar penderita mengalami penurunan volume diare saat timbul
tenesmus. Gejala infeksi saluran napas akut dapat menyertai disentri.
Komplikasi yang dapat timbul dari disentri dapat bersifat lokal atau sistemik. Komplikasi lokal,
antara lain perforasi, prolaps rektum, dan megakolon toksik. Komplikasi sistemik dapat berupa
hipoglikemia, hiponatremia, sepsis, kejang, ensefalopati, sindrom uremik hemolitik, pneumonia,
dan kurang energi protein (KEP).4
Secara umum, penatalaksanaan disentri hampir sama dengan kasus diare lain sesuai dengan
acuan tatalaksana diare akut. Aspek khusus dari tatalaksana disentri adalah:2

Semua kasus disentri pada tahap awal diberi antibiotik.

Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika:


-

Tidak membaik atau bertambah berat pada hari ketiga setelah pengobatan.

Tidak sembuh pada hari kelima setelah pengobatan.

Muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan


kesadaran, tidak mau makan, dan menjadi lemah.

Pada kunjungan ulang, penderita yang tidak membaik pada hari ketiga atau belum sembuh
pada hari kelima setelah pengobatan awal, dinilai kembali apakah disentri betul-betul disebabkan
oleh Shigella atau bakteri sejenis yang invasif.7
II.1.9.b. Diare Persisten
Diare persisten adalah diare akut yang melanjut hingga 14 hari atau lebih. 4 Faktor risiko
berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten adalah (1) usia bayi kurang dari empat bulan, (2)
tidak mendapat ASI, (3) kurang energi protein, (4) diare akut dengan etiologi bakteri invasif, (5)
tatalaksana diare akut yang tidak tepat, seperti pemakaian antibiotik yang tidak rasional dan
pemuasaan penderita.

Titik sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa yang diawali oleh etiologi
diare akut. Berbagai faktor menyebabkan kerusakan mukosa yang lebih berat atau hambatan
rehabilitasi mukosa yang rusak, antara lain (1) berlanjutnya paparan etiologi infeksi, (2) infeksi
intestinal sekunder, (3) infeksi parenteral, (4) pertumbuhan bakteri yang berlebihan (overgrowth)
di usus halus, (5) gangguan gizi yang terjadi sebelum sakit, (6) kondisi imunitas yang menurun,
(7) malabsorbsi, dan (8) alergi.2
Langkah diagnosis diare persisten meliputi (1) menetapkan derajat dehidrasi, (2) menetapkan
status nutrisi, (3) menentukan penyebab infeksi, dan (4) menentukan penyakit penyerta. Indikasi
rawat inap pada diare persisten meliputi berumur kurang dari 4 bulan, mengalami dehidrasi,
menderita kurang energi protein sedang dan berat, menderita infeksi berat, indikasi berdasarkan
penyakit penyerta lain, dan penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan
sesuai dengan jenis dan jumlah yang direkomendasikan.
Tatalaksana diare persisten meliputi (1) rehidrasi, (2) nutrisi enteral dan parenteral, (3) terapi
medikamentosa, yaitu obat antidiare dan antibiotik, (4) terapi zinc untuk pencegahan, (5)
mengatasi penyakit penyerta.
II.1.9.c. Kurang Energi Protein (KEP) Berat
Pada penderita KEP, diare yang terjadi dapat berupa diare akut, diare persisten, maupun disentri.
Diare yang terjadi pada KEP cenderung lebih berat, lebih lama, dan menyebabkan angka
kematian yang lebih tinggi daripada anak dengan gizi baik. Pada dasarnya, tatalaksana diare pada
pasien dengan KEP sama dengan tatalaksana diare secara umum. Walaupun demikian, tetap ada
hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya adalah patogenesis, patofisiologi, dan perubahan
morfologi yang terjadi pada pasien dengan KEP.2
Patogenesis diare pada KEP mirip dengan diare persisten, yaitu berkaitan dengan kerusakan
mukosa. Kerusakan mukosa pada KEP terjadi pada mukosa yang sebelumnya telah rusak, yaitu
telah atrofik dan mengalami metaplasi
II.1.9.d. Diare Dengan Penyakit Penyerta
Diare akut atau diare persisten dapat terjadi bersamaan dengan penyakit penyerta lain. Penyakit
yang sering terjadi bersamaan dengan diare, antara lain infeksi saluran napas (bronkopneumonia,
bronkiolitis), infeksi saluran kemih, infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis), infeksi

sistemik lain (sepsis, campak, dll), dan gizi kurang atau gizi buruk. Tatalaksana yang dilakukan
harus mempertimbangkan (1) kemampuan untuk makan dan minum per oral, (2) fungsi dan
kemampuan sistem sirkulasi, (3) stroke volume yang rendah, (4) penyakit atau keadaan yang
memerlukan restriksi cairan, (5) fungsi ginjal, dan (6) interaksi perjalanan penyakit.2
II.1.10. Pencegahan Diare
Tujuan pencegahan adalah tercapainya penurunan angka kesakitan. Hasil penelitian terakhir
menunjukkan bahwa cara pencegahan yang benar dan efektif yang dapat dilakukan meliputi
tujuh langkah yaitu (1) pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 4 hingga 6 bulan, (2)
memperbaiki makanan pendamping ASI, (3) menggunakan air bersih yang cukup, (4) kebiasaan
mencuci tangan, (5) menggunakan jamban, (6) membuang tinja bayi dengan benar, dan (7)
memberikan imunisasi campak.2
II.2 Program Pemberantasan Penyakit Diare (P2D)
Program Pemberantasan Penyakit Diare adalah salah satu usaha pokok di Puskesmas.
Kebijaksanaan Program P2D ini adalah menurunkan angka kesakitan, kematian, dan
penanggulangan KLB karena diare yang akan terus dilaksanakan dengan mengintensifkan
peningkatan mutu pelayanan (quality assurance), meningkatkan kerja sama lintas program dan
sektoral terkait serta mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat secara luas, antara lain
dengan organisasi profesi dan LSM di pusat maupun daerah.1
Target atau cakupan yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan dalam pemberantasan
penyakit diare di propinsi DKI Jakarta meliputi:

100% Rumah Sakit, Puskesmas, dan swasta melaporkan kasus diare tepat waktu (tanggal 10
setiap bulannya),

Angka kematian 0%,

Kejadian luar biasa (KLB) diare 0%,

100% masyarakat terlayani air bersih,

100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mampu melakukan rehidrasi


intravena,

Angka kesakitan < 1% (50 / 1000 penduduk tahun 2005),

100% kader terlatih tentang penanganan penderita diare,

100% penderita diare tertangani,

100% oralit tersedia di kader minimal 10 sacchet (@ 200 ml),

100% tenaga medis dan paramedis melakukan tatalaksana diare (MTBS),

100% ketepatan diagnosis,

100% cakupan imunisasi campak,

100% Puskesmas mempunyai protap tatalaksana diare,

100% penderita diare diobati dan mendapat oralit,

100% PDAM bebas kuman,

100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mempunyai pojok oralit,

100% Puskesmas Kecamatan mempunyai klinik sanitasi, dan

100% masyarakat menggunakan jamban pada daerah kumuh.


Program P2D dilakukan dengan berfokus pada pelanggan, yaitu menjalankan segala kegiatan

yang dapat memuaskan pelanggan dengan pelayanan yang profesional, sarana dan prasaran yang
memadai, dan informasi yang mudah didapat. Hal ini meliputi:

Semua penderita diare didiagnosis dan diberikan pengobatan sesuai dengan tatalaksana atau
dengan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

Pengambilan anal swab dilakukan bila penderita dicurigai kolera dan bila terjadi kejadian
luar biasa.

Pengobatan penderita dengan memberikan oralit tanpa obat anti diare atau antibiotik, kecuali
pada kasus disentri atau kolera.

Pelayanan prima bagi penderita diare meliputi:


-

Waktu tunggu 5 menit

Waktu tunggu gawat darurat 1 menit

Petugas harus ramah

Petugas menguasai standar operasional prosedur pelayanan

Lokasi pelayanan mudah dijangkau.

Informasi tentang diare mudah dimengerti oleh masyarakat.

Penderita diare mendapatkan pelayanan yang sama di semua unit pelayanan kesehatan, baik
Puskesmas maupun Rumah Sakit.

Masyarakat menginginkan pelayanan cepat, tepat / akurat, murah, mudah dijangkau, dilayani
secara manusiawi dengan pengobatan sesuai standar dan mendapat informasi yang jelas
tentang cara-cara penanggulangan diare.

Pelatihan bagi kader untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dilengkapi buku
pedoman penanggulangan diare.

Pelatihan bagi petugas kesehatan untuk peningkatan ketrampilan.

Petugas kesehatan menginginkan prosedur kerja sederhana, tersedianya sarana pengobatan


yang memadai, serta website diare.
Pengorganisasian program P2D di Puskesmas kelurahan meliputi (1) penyediaan pelayanan

pemeriksaan, pengobatan, dan rujukan ke Puskesmas kecamatan dan rumah sakit serta (2)
koordinasi dengan Puskesmas kecamatan bila terjadi peningkatan kasus di wilayah kerjanya.
Sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan program P2D di Puskesmas kelurahan
adalah dokter umum sebagai pemeriksa dan perawat sebagai wasor program diare dan petugas
perawatan kesehatan masyarakat. Dokter umum harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan
penanggulangan diare sesuai dengan standar. Perawat / wasor harus mampu menganalisis data
dalam rangka sistem kewaspadaan dini serta mampu memberikan penyuluhan (KIE
komunikasi, informasi, dan edukasi) dan pemeriksaan di Posyandu. Selain itu, pada kegiatan
Posyandu diperlukan kader / toma yang membantu perawat atau bidan dalam memberikan
penyuluhan. Untuk memperlengkapi petugas dengan kompetensi dan ketrampilan tersebut,
dibutuhkan beberapa pelatihan tentang (1) program pemberantasan diare (P2D) yang meliputi
aspek manajemen, aspek klinik, aspek epidemiologi, dan aspek laboratorium, (2) peningkatan
peran serta masyarakat bagi kader kesehatan di Posyandu, (3) tatalaksana diare bagi petugas
Puskesmas, dan (4) tatalaksana diare dengan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
bagi petugas kesehatan di Puskesmas. Selain kompetensi tersebut, petugas juga perlu memiliki
sikap dan perilaku tertentu, yaitu dokter umum harus memiliki sikap peduli, cepat, dan tanggap
dalam menangani penderita diare, perawat / wasor harus mempunyai sikap peduli, cepat, dan
tanggap dalam melaksanakan perawatan kesehatan masyarakat, dan kader harus mampu
memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.

Secara umum, pembiayaan program P2D bersumber dari APBN, APBD tingkat I dan II, BLN,
LSM, dan swadana masyarakat. Pembiayaan ini digunakan untuk pengadaan sarana dan
prasarana, dan menunjang kegiatan operasional. Ketentuan yang berlaku adalah (1) 100%
sumber anggaran pengadaan obat dan oralit bersifat swadaya Puskesmas, (2) 100% pembiayaan
operasional manajemen P2D di Sudinkesmas berasal dari anggaran APBD tingkat II, dan (3)
biaya operasional pengobatan berasal swadana Puskesmas.
Sarana dan prasarana yang diperlukan di Puskesmas kelurahan untuk mendukung
terlaksananya program P2D adalah (1) ruang periksa dengan ukuran 4 x 5 m 2, cukup
pencahayaan dan ventilasi, dan bertemperatur maksimum 23o Celcius, (2) ruang tunggu pasien
yang terbuka dan cukup pencahayaan, serta (3) pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang
diare. Pada Posyandu, sarana dan prasarana yang diperlukan adalah (1) oralit untuk rehidrasi oral
bagi penderita diare dan (2) lembar penyuluhan.
Secara umum, program P2D meliputi:
II.2.1. Penemuan kasus dini
Proses inti dari program pemberantasan diare adalah penemuan kasus diare secara dini baik oleh
petugas ataupun masyarakat. Penemuan kasus ini dilakukan secara pasif, yaitu kasus ditemukan
saat penderita datang berobat ke Puskesmas, Posyandu, atau rumah sakit. Tujuan dari penemuan
kasus dini adalah untuk mengobati penderita diare sedini mungkin untuk mencegah penularan,
menurunkan angka kesakitan dan kematian terutama pada balita, serta mencegah terjadinya
KLB.

II.2.2 Diagnosis
Penemuan kasus diare dilanjutkan dengan diagnosis yang tepat kemudian tatalaksana yang cepat
dan akurat. Diagnosis diare dan penilaian tingkat dehidrasi penderita dapat dilakukan oleh
dokter, paramedis, dan kader yang sudah terlatih tentang diare.
II.2.3. Pengobatan

Pengobatan yang dimaksud adalah statu proses penanganan penderita diare sedini mungkin dari
masyarakat sampai sarana kesehatan sesuai dengan tatalaksana penderita dan sistem rujukan
sejak diagnosis ditegakkan.
Tatalaksana pasien diare di sarana kesehatan
a.
b.

rehidrasi oral dengan oralit


pemberian cairan intravena dengan ringer laktat untuk pasien diare dehidrasi berat dan

c.
d.

tidak bisa minum


penggunaan antibiotika secara rasional
nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan, dan pencegahan

II.2.4. Surveilans
Surveilans adalah suatu proses pengamatan penyakit diare dalam rangka kewaspadaan terhadap
timbulnya KLB dan penyebaran penyakit diare serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada
masyarakat yang kegiatannya dilakukan secara terus menerus, cepat dan tepat, melalui pemetaan
data epidemiologi. Penerapan dari hal ini adalah dilakukannya pengumpulan data epidemiologi
diare secara terus menerus dan analisis secara langsung untuk menemukan cara penyelesaian
secara tepat dan cepat. Puskesmas harus membuat laboran rutin mingguan (W2) yang berisi
pencatatan harian penderita diare yang datang ke saran kesehatan, posyandu, atau kader. Selain
itu, terdapat pula laporan KLB / wabah (W1) yang harus dibuat dalam periode 24 jam.
II.2.5. Penyediaan air bersih
Penyediaan air bersih yang dimaksud adalah proses penyediaan air yang memenuhi syarat
kesehatan baik fisik, nimia, bakteriologis, maupun radioaktif di masyarakat. Penerapan dari hal
ini adalah inspeksi sarana penyediaan air bersih, pemeriksaan contoh air dan analisis
laboratorium (bakteri dan kimia), rehabilitasi sarana yang telah rusak, dan pemberian bahan
kimia (kaporisasi).
II.2.6. Distribusi logistik
Distribusi logistik adalah suatu rangkaian kegiatan pendistribusian oralit dan ringer laktat (RL)
dalam rangka penyediaan cairan rehidrasi di unit pelayanan kesehatan. Penerapan dari hal ini
adalah tersedianya oralit di kader-kader kesehatan, Posyandu, dan Puskesmas, serta tersedianya
antibiotik dan ringer laktat (RL) di Puskesmas. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencegah

kematian pada balita dan dehidrasi berat pada semua golongan umur penderita diare. Ketentuan
yang ditetapkan adalah terpenuhinya kebutuhan oralit pada setiap penderita sebanyak 6 bungkus
oralit 200 ml serta pengadaan oralit / RL oleh Puskesmas dan didistribusikan ke Puskesmas
kelurahan dan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
II.2.7. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
KIE meliputi serangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan masyarakat mendapat informasi dengan cepat dan
benar tentang penanggulangan penyakit diare. Penerapan dari hal ini adalah penyuluhan baik
perorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan
pelatihan petugas serta kader. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan, kesadaran, kemauan, dan praktik mengenai penanggulangan penyakit diare.
Sasaran utama KIE adalah masyarakat.
e.

Tatalaksana pasien diare di rumah


i.
Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, air tajin,
ii.

larutan gula garam, atau oralit terutama untuk dehidrasi


Meneruskan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang serta

iii.

makanan ekstra sesudah diare


Membawa pasien diare ke sarana kesehatan, bila dalam 3 hari tidak membaik
atau ada salah-satu tanda berikut: berak cair berkali-kali, muntah berulang-ulang,

f.

rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah
Pencegahan penyakit
i.

Meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI)

ii.

Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI

iii.

Menggunakan air bersih yang cukup

iv.

Mencuci tangan dengan sabun

v.

Menggunakan jamban dan membuang tinja bayi dengan benar

vi.

Imunisasi campak

II.2.8. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui jenis diare yang terjadi di masyarakat
dan hanya dilakukan pada kasus-kasus diare yang dicurigai kolera atau apabila terjadi
peningkatan kasus 3 kali lebih besar daripada waktu sebelumnya.
II.2.9 Kemitraan
Kemitraan yang dimaksud adalah proses kerjasama yang melibatkan berbagai pihak dan sektor
dalam masyarakat, termasuk kalangan swasta, organisasi profesi, dan organisasi sosial
masyarakat, serta LSM, dalam rangka sosialisasi dan advokasi program untuk memperoleh
dukungan dalam rangka penanggulangan penyakit diare. Kemitraan dilaksanakan secara setara,
sukarela, terbuka, dan saling menguntungkan. Tujuan dari hal ini adalah meningkatkan kesadaran
masyarakat dan atau instansi / sektor lain bahwa penanggulangan penyakit, khususnya diare,
tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja serta meningkatkan kinerja, efisiensi,
dan efektivitas pemberantasan diare.
II.2.10. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan merupakan elemen yang sangat penting dalam sistem pemberantasan
diare. Pencatatan dan pelaporan dilakukan berdasarkan golongan umur dan dilakukan berjenjang
dalam kurun waktu harian, bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk mencatat, menilai, dan melaporkan hasil kegiatan penanggulangan diare yang
telah dilakukan serta sebagai acuan dalam penyusunan rencana kegiatan tahun berikutnya.
Form laporan program P2D adalah formulir pencatatan pelaporan diare yang diisi oleh
koordinator diare di Puskesmas dan direkapitulasi di Sudinkesmas dan kemudian dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Propinsi. Form ini meliputi jumlah penderita di Puskesmas dan Posyandu
menurut kelompok umur, jumlah penderita yang diberi oralit, jumlah oralit yang diberikan, dan
pemeriksaan laboratorium bagi yang tersangka kolera.
Form laporan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas adalah formulir pencatatan
dan pelaporan yang diisi oleh satuan kerja Puskesmas yang mencatat seluruh jenis penyakit yang
diobati di Puskesmas.
II.3. Sistem

Evaluasi program Pemberantasan dan Pencegahan Diare di Puskesmas Kecamatan


Pulogadung menggunakan pendekatan sistem, yaitu merupakan suatu penerapan dari cara berpikir
yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari suatu masalah atau keadaan
yang dihadapi. Dalam hal ini program atau organisasi dipandang menjadi suatu sistem yang terdiri
dari komponen-komponen sistem. 11
II.3.1. Pengertian Sistem
Sistem dapat memiliki beberapa makna.11
1. Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses atau
struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya menghasilkan sesuatu
yang telah ditetapkan (Ryans)
2. Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling
berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk mencapai keluaran yang
diinginkan secara efektif dan efisien (John McManama)
3. Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan membentuk satu kesatuan
yang majemuk, dimana masing-masing bagian bekerja sama secara bebas dan terkait untuk
mencapai sasaran kesatuan dalam suatu situasi yang majemuk pula
4. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen yang berhubungan
serta saling mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan
Jika diperhatikan dalam keempat pengertian sistem ini, tertihat bahwa pengertian sistem
secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sebagai suatu wujud dan sebagai suatu
metoda.11
1. Sistem sebagai suatu wujud
Suatu sistem disebut sebagai suatu wujud, apabila bagian-bagian atau elemen-elemen yang
terhimpun dalam sistem tersebut memberikan suatu wujud yang ciri-cirinya dapat
dideskripsikan dengan jelas.
2. Sistem sebagai suatu metoda
Suatu sistem disebut sebagai suatu metoda, apabila bagian atau elemen-elemen yang terhimpun
dalam sistem tersebut membentuk suatu metoda yang dapat dipakai sebagai alat dalam
melakukan pekerjaan administrasi. Pemahaman sistem sebagai suatu metoda berperanan besar
dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu sistem. Populer

dengan sebutan pendekatan sistem (system approach) yang pada akhir-akhir ini banyak
dimanfaatkan pada pekerjaan administrasi.
II.3.2. Unsur Sistem
Unsur-unsur sistem terdiri dari:11
1.

Masukan (input)
Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan
diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari tenaga (man), dana (money),
metode (method), sarana/material (material).
Proses (process)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang
berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pelaksanaan (actuating), dan penilaian (evaluating).

3.

Keluaran (output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya
proses dalam sistem.
Keluaran dari suatu sistem kesehatan adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan.

4.

Umpan Balik (feed back)


Umpan balik adalah kumpulan dari bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari
sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut.

5.

Dampak (impact)
Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
Dampak yang diinginkan dari suatu sistem kesehatan adalah meningkatnya derajat
kesehatan dengan memenuhi need dan demand.

6.

Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah dunia di luar sistem yang tidak dikelola oleh sistem tetapi mempunyai
pengaruh besar terhadap sistem.

Lingkungan
Keenam unsur sistem ini saling berhubungan
dan mempengaruhi.
Masukan

Proses
Umpan Balik

Keluaran

Dampak

Gambar.2.1 Enam unsur sistem yang saling mempengaruhi

II.3.3. Pendekatan Sistem


Suatu sistem pada dasarnya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Untuk terbentuknya sistem tersebut, perlu dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa
sehingga secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi
untuk mencapai tujuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem ini diterapkan ketika
menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan
nama pendekatan sistem (sistem approach).11
Terdapat beberapa definisi dari pendekatan sistem, antara lain:11
a. Penerapan suatu prosedur yang logis dan rasional dalam merancang suatu rangkaian
komponen-komponen yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai satu-kesatuan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (L. James Harvey).
b. Strategi yang menggunakan metode analisa, desain dan manajemen untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
c. Penerapan dari cara berpikir yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari
pemecahan dari suatu masalah atau keadaan yang dihadapi.
Dalam suatu pendekatan sistem, dua proses utama yang dikerjakan adalah (1) menguraikan
sesuatu untuk mencari masalah dan (2) membentuk sesuatu untuk menyusun jalan keluar.11
Keuntungan dari pendekatan sistem adalah dapat menilai masukan secara efisien, menilai
proses secara efektif, menilai keluaran secara optimal, dan menilai umpan balik secara adekuat.
Akan tetapi, pendekatan sistem memiliki kelemahan, yaitu terjebak pada detail sehingga sulit
menarik kesimpulan.11
II.4. Evaluasi Program

Definisi evaluasi menurut The American Public Association adalah suatu proses untuk
menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut The Internacional Clearing House on
Adolescent Fertility Control for Population Options, evaluasi adalah suatu proses yang teratur
dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang
telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-saran,
yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan program.12
Berdasarkan tujuannya, evaluasi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:12
a. Evaluasi formatif
Ini merupakan jenis evaluasi yang dilakukan pada tahap awal program. Tujuan dari
evaluasi formatif adalah untuk meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benarbenar telah sesuai dengan masalah yang ditemukan, sehingga nantinya dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
b. Evaluasi promotif
Ini merupakan jenis evaluasi yang dilakukan pada saat program sedang dilaksanakan.
Tujuan dari evaluasi promotif adalah untuk mengukur apakah program yang sedang
dilaksanakan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan tujuan program.
c. Evaluasi sumatif
Ini merupakan jenis evaluasi yang dilaksanakan pada saat program telah selesai.
Tujuannya adalah untuk mengukur keluaran (output) atau dampak (impact) bila
memungkinkan. Jenis evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini.
Secara umum, langkah-langkah membuat evaluasi program meliputi (1) penetapan indikator
dari unsur keluaran, (2) penetapan tolak ukur dari tiap indikator keluaran, (3) perbandingan
pencapaian masing-masing indikator keluaran program dengan tolak ukurnya, (4) penetapan
prioritas masalah, (5) pembuatan kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan, (6)
pengidentifikasian penyebab masalah, (7) pembuatan alternatif pemecahan masalah, (8)
penentuan prioritas cara pemecahan masalah yang dirangkum dalam kesimpulan dan saran.12

BAB III
BAHAN DAN METODE EVALUASI
III.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan :
1. Data primer
Data primer dikumpulkan dengan wawancara pada penanggung jawab program Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit Diare di Puskesmas kelurahan Kayu Putih.
2. Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan dengan mempelajari dokumentasi Puskesmas yaitu laporan
program Pencegahan dan Pemberantasan Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode
Januari 2008 Desember 2008.
III.2. Indikator dan Tolok Ukur Penilaian
Evaluasi dilakukan pada laporan program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas
kelurahan Kayu Putih. Rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan adalah :
1. Buku Pedoman Kerja Puskesmas Jilid 2 tahun 1999
2. Standar Penanggulangan Penyakit Diare Volume 7 Edisi 1, tahun 20021.
3. Keputusan

Menteri

Kesehatan

Pemberantasan Penyakit Diare12.


4. Stratifikasi Puskesmas Tahun 200313.

1216/Menkes/SK/XI/2001

Tentang

Pedoman

Tabel 3.1. Tolok ukur program pencegahan dan pemberantasan diare


No Variabel
Tolok Ukur keberhasilan
Angka
cakupan
pelayanan:
menggambarkan
pencapaian
pelayanan
1.
atau realisasi pelayanan
100% 1

a. Proporsi penderita diare semua umur yang diobati =


Jumlah penderita diare yang dilayani x 100%
Target penderita diare di wilayah kerja
*Target = 6,7% x angka kesakitan x jumlah penduduk
*Angka kesakitan (semua umur) = 432/1000 penduduk (angka
kejadian diare nasional 2006 survei Subdit Diare, Ditjen PP&PL
Depkes)
*Jumlah penduduk = 53.487(data kelurahan kayu putih, 2006)

100%1

b. Proporsi penderita diare balita yang diobati


Jumlah penderita diare <5 tahun yang dilayani x 100%
Jumlah balita x 1,7 x 10%
*1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun (sratifikasi)

2.

Kualitas pelayanan:
a. Angka penggunaan oralit =

Jumlah penderita x 6 bungkus

Jumlah oralit yang diberikan pada penderita diare semua umur


b. Angka penggunaan ringer laktat =
<5%1

Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100%


Jumlah penderita diare yang dilayani

3.

Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh

4.

Angka fatalitas kasus =

100% 1

penderita

0% 1

Jumlah penderita yang mati karena diare x 100%


Jumlah penderita diare yang dilayani

5.

Angka

pelayanan

oleh

kader:

menggambarkan

peran

serta

masyarakat dalam P2Diare =


a.

Jumlah penderita yang dilayani oleh kader x 100%


Jumlah penderita diare yang dilayani

40%13

b.

Penyuluhan kesehatan

minimal 12x /tahun1

c.

Pelatihan kader

1x /tahun1

III.3. Cara Analisis


III.3.1 Menetapkan masalah
Masalah dalam pendekatan sistem adalah kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil pencapaian
pada unsur keluaran. Adanya masalah diidentifikasi dengan membandingkan keluaran pada
program dengan tolok ukur. Tolok ukur program P2Diare dapat dilihat pada Tabel 3.1.
III.3.2 Menetapkan prioritas masalah
Jika terdapat lebih dari satu masalah, maka harus ditentukan prioritas masalah. Hal ini
disebabkan oleh adanya keterbatasan dan dan sumber daya, serta kemungkinan masalah-masalah
tersebut berkaitan saling berkaitan. Masalah yang menjadi prioritas adalah masalah yang
dianggap paling besar, mudah diintervensi, dan paling penting, dimana jika masalah tersebut
diatasi maka masalah-masalah lain juga dapat teratasi. Penentuan prioritas masalah dilakukan
menggunakan teknik kriteria matriks (criteria matrix technique). Kriteria ini terdiri dari 3
komponen.12
1. Pentingnya masalah (Importancy = I ) yang terdiri dari :
a. Besarnya masalah (Prevalence = P)
b. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (Severity = S)
c. Kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase = RI)
d. Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of unmeet need = DU)
e. Keuntungan sosial karena selesainya masalah (Social Benefit = SB)
f. Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (Public Concern = PO)
g. Suasana politik (Political Climate = PC)
2. Kelayakan teknologi (Technology = T)
Makin layak teknologi yang tersedia dan dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin
diprioritaskan masalah tersebut.
3. Sumber daya yang tersedia (Resources = R)
Terdiri dari tenaga (man), dana (money), dan sarana (material). Makin tersedia sumber daya
yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah makin diprioritaskan masalah tersebut.

Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting) pada tiap kotak dalam
matriks sesuai dengan jenis masalah masing-masing. Masalah yang dipilih sebagai prioritas
adalah yang memiliki nilai I x T x R tertinggi.14
II.3.3 Penentuan Penyebab Masalah
Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan membandingkan antara tolok ukur/standar
komponen-komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik dengan pencapaian di
lapangan. Bila terdapat kesenjangan maka ditetapkan sebagai penyebab masalah yang
diprioritaskan tadi.12
III.3.3.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dibuat untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan. Hal ini
bertujuan untuk menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang telah diprioritaskan tadi yang
berasal dari komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan
umpan balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan semua faktor penyebab
masalah dapat diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang tertinggal.14
III.3.3.2 Identifikasi Penyebab Masalah
Selanjutnya berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep diidentifikasikan.
Identifikasi dilakukan dengan mengelompokkan faktor-faktor dalam unsur masukan, proses,
umpan balik, dan lingkungan yang diperkirakan berpengaruh terhadap prioritas masalah.
Masing-masing faktor ditentukan indikator serta tolok ukur kemudian membandingkannya.
Suatu faktor ditetapkan menjadi penyebab masalah jika ada kesenjangan antara pencapaian
indikator dengan tolok ukur. Diperlukan pengumpulan data baik data berupa dokumentasi
puskesmas, maupun data dari wawancara atau kuesioner untuk mengatahui pencapaian di
lapangan 14 Tolok ukur pada komponen masukan, proses, lingkungan, dan umpan balik dapat
dilahat pada Tabel 3.2, Tabel 3.3 dan Tabel 3.4.
Tabel 3.2. Tolok ukur pada komponen masukan
No

Variabel

Tolok Ukur

1.

Tenaga

Tenaga pelaksana minimal : 1 dokter, 1 perawat, 1 petugas


administrasi,1 analis laboratorium

2.

Dana

Tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan program yang berasal dari


APBD dan APBN

3.

Sarana

Tersedianya sarana:
a.

Sarana medis : alat-alat pemeriksaan seperti stetoskop, senter,


timbangan, tensimeter, dan termometer

b.

Sarana non medis: ruangan dilengkapi dengan tempat tidur,


status, alat tulis, buku catatan

c.

Sarana penyuluhan: leaflet, brosur, poster

d.

Sarana khusus untuk pojok oralit: meja, kursi, oralit minimal


200 bungkus, gelas, sendok, pipet, baskom, media penyuluhan

4.

Metode

Pengobatan penderita diare sesuai dengan pedoman pemberantasan


penyakit diare
a. Pendekatan MTBS untuk penderita balita
b. Pengobatan penderita diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi
secara oral (oralit sebanyak 1500 ml atau 6 bungkus) atau
intravena sesuai standar penanggulangan penyakit diare
Penyuluhan kesehatan
a. Penyuluhan kepada penderita dan keluarga
b. Penyuluhan ke masyarakat
c. Pojok oralit sebagai sarana konsultasi diare tentang penyakit diare
Pembinaan dan pelatihan kader
Pencatatan dan pelaporan kasus diare

Tabel 3.3. Tolok ukur pada komponen proses


No
1.

Variabel
Perencanaan

Tolok ukur
Adanya perencanaan operasional (plan of action) yang jelas:
Jenis kegiatan, target kegiatan, waktu kegiatan.

2.

Pengorganisasian a.
b.

Adanya struktur pelaksana program


Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas

3.

Pelaksanaan

Pengobatan penderita

a.

i.

Pengobatan diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi


secara oral (oralit sebanyak 200 ml atau 6 bungkus)
atau intravena sesuai standar penanggulangan penyakit
diare.

ii.

Pendekatan MTBS

iii.

Perujukan untuk kasus-kasus berat

b. Penyuluhan

c.

i.

Penyuluhan kepada penderita dan kelurga

ii.

Pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang diare

iii.

Penyuluhan ke masyarakat minimal 4x/tahun

Penyuluhan kelompok di puskesmas

Penyuluhan di luar puskesmas

Pelatihan Kader
i.

Materi pelatihan:
Kemampuan melarutkan oralit dan memberikannya
Pemberian penyuluhan kesehatan
Perujukan
ii. Pelatihan dilakukan minimal 1x dalam setahun
d. Pelayanan penderita diare oleh kader
4.

Pencatatan
pelaporan

dan a. Penilaian kegiatan dalam bentuk laporan tertulis secara


periodik (bulanan, triwulan, semester, tahunan)
b. Pengisian laporan tertulis yang lengkap
c. Penyimpanan laporan tertulis yang benar

5.

Pengawasan

Adanya pengawasan eksternal maupun internal

Tabel 3.4. Tolok ukur komponen lingkungan dan umpan balik


No
1.

Variabel
Lingkungan

Tolok Ukur
a. Tingkat pendidikan menengah atau tinggi menunjang
keberhasilan pemberian oralit kepada penderita diare
b. Tingkat sosial ekonomi menengah atau tinggi menunjang

2.

Umpan balik

keberhasilan pemberian oralit kepada penderita diare


Masukan hasil pencatatan dan pelaporan untuk perbaikan

program selanjutnya.
Penyebab masalah bisa lebih dari satu. Namun tidak semua penyebab dapat diselesaikan
karena mungkin ada masalah yang saling berkaitan dan adanya keterbatasan kemampuan dalam
menyelesaikan semua penyebab masalah.14
III.3.4. Alternatif Pemecahan Masalah dan Pemecahan Masalah Terpilih
III.3.4.1. Alternatif Pemecahan Masalah
Setelah mengetahui penyebab masalah, tindakan selanjutnya adalah membuat beberapa alternatif
pemecahan masalah. Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan
kemampuan serta situasi dan kondisi Puskesmas. Alternaif pemecahan masalah dibuat secara
rinci, meliputi tujuan, sasaran, target, metode, jadwal kegiatan, serta rincian dananya.14
III.3.4.2. Pemecahan Masalah Terpilih
Berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih satu cara pemecahan
masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemilihan prioritas cara pemecahan
masalah ini dengan memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah
efektivitas dan efisiensi jalan keluar.14
1.

Efektivitas jalan keluar


Tetapkan nilai efektifitas untuk setiap alternatif jalan keluar dengan memberikan angka 1
(paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah
yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektifitas jalan keluar digunakan
kriteria tambahan yand dapat dilihat di bawah ini.14
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude)
Makin besar masalah yang dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
b. Pentingnya jalan keluar (Importancy)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin lama masa
bebas masalahnya, makin penting jalan keluar tersebut.
c. Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability)
Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat
masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut.

MANA TOLOK UKUR DAMAPAK??


2. Efisiensi jalan keluar

Tetapkan nilai efisiensi untuk setiap alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya
dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar
biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya
paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar ditentukan dengan membagi nilai hasil
perkalian M x I x V dengan C. Alternatif jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas
jalan keluar yang terpilih. Lebih jelas rumus untuk menghitung prioritas jalan keluar dapat
dilihat di bawah ini:
P = MxIxV
C
Keterangan :

P = Priority; M = Magnitude; I= Importancy; V= Vulnerability; C = Cost

BAB IV
PENYAJIAN DATA
IV. 1 Data Umum
IV.1.1. Data Geografis
Kelurahan Kayu Putih merupakan salah satu kelurahan dari 65 kelurahan di wilayah kotamadya
Jakarta Timur yang mempunyai luas wilayah 437,15 Ha. Terdiri atas 17 Rukun Warga (RW),
181 Rukun Tetangga (RT) dan terdiri dari 97.192 KK.
Adapun batas wilayah Kelurahan Kayu Putih adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara terdapat Jl. Perintis Kemerdekaan atau Kelurahan Kelapa Gading
Jakarta Utara.

Sebelah Barat terdapat Jl. Ahmad Yani atau Kelurahan Cempaka Putih Jakarta Pusat.

Sebelah Timur terdapat Jl. Kayu Putih Raya atau Kelurahan Pulogadung

Sebelah Selatan terdapat Jl. H.Ten, Jl. Bangunan Timur, dan Jl. Bangunan Barat atau
Kelurahan Rawamangun.

IV.1.2 Data Demografis


Dari Data tahun 2006 didapatkan jumlah penduduk wilayah Kelurahan Kayu Putih sebesar
53.487 jiwa.
Adapun gambaran karakteristik penduduk Kelurahan Kayu Putih dapat dilihat pada tabel berikut
ini15
Tabel 4.1 Data jumlah penduduk di Kelurahan Kayu Putih tahun 200815
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

USIA
0-5
6-10
11-17
18-24
25-30
31-40
41-50
51-60
61-70
70 keatas
JUMLAH

LAKI-LAKI
2334
3225
3633
5864
2383
2683
3359
2344
1480
696
28001

PEREMPUAN
2201
3553
3353
3256
2223
2813
3476
2558
1567
486
25486

Sumber: Hasil pendataan kelurahan Kayu Putih tahun 2008.

JUMLAH
4353
6778
6986
9120
4606
5496
6835
4902
3047
1182
53487

IV.1.3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Fasilitas pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah Kelurahan Kayu Putih adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.2. Sebaran Sarana Kesehatan di Kelurahan Kayu Putih15
No
1

SARANA
Milik Pemerintah
Puskesmas Kelurahan
Poliklinik
2
Milik Swasta
Rumah sakit umum
Rumah bersalin
Praktek dokter umum
Praktek dokter gigi
Praktek dokter ahli penyakit dalam
Praktek dokter ahli penyakit saraf
Praktek dokter anak
Prakter dokter hewan
Praktek bidan
Apotik
Laboratorium
3
Swadana Masyarakat
Posyandu
(Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Kayu Putih 2008)

JUMLAH
1
1
2
1
9
3
1
2
2
1
3
5
0
16

IV.1.4 Tingkat Pendidikan Masyarakat


Dari data yang didapat diketahui bahwa mayoritas penduduk kelurahan kayu putih tidak tamat
SD.
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan15
TINGKAT PENDIDIKAN
Tidak tamat SD
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi

JUMLAH / JIWA
16238
8527
11274
14386
3415

Sumber: Laporan statistik penduduk Kelurahan Kayu Putih Desember 2008

IV.1.5 Status Pekerjaan Masyarakat


Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
MATA PENCAHARIAN
Pegawai Negeri / BUMN

JUMLAH / JIWA
2214

Karyawan / Swasta
Pedagang
TNI / Polri
Buruh
Pensiunan
Pengangguran
JUMLAH

7346
7729
142
6277
661
3632
28001

Sumber: Laporan statistik penduduk Kelurahan Kayu Putih Desember 2008

IV.1.6 Gambaran Mengenai Puskesmas


Wilayah Kelurahan Kayu Putih memiliki 1 buah Puskesmas Kelurahan, Sumber daya tenaga
Puskesmas adalah sebagai berikut :
Tabel 4.5 Sumber Daya Tenaga Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15
TANGGUNG JAWAB
JUMLAH
Kepala Puskesmas dan BP gigi
1 orang dokter gigi
Wakil Kepala dan BP balai Pengobatan
1 orang dokter umum
KIA-KB
1 orang bidan
Tuberkulosis-DOTS
1 orang perawat
Gizi dan Posyandu
1 orang perawat
UKS dan JPKMM
1 orang perawat
Usila dan Kesling
1 orang perawat
P2M dan Pengadaan obat
1 orang perawat
Loket dan Tindakan
1 orang perawat
Petugas Kebersihan
1 orang
(Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Kayu Putih 2008)

IV.1.7 Struktur Organisasi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih


Kepala Puskesmas
drg. Erni Romaria

Pelayanan Kesehatan Gigi


drg. Erni Romaria

KIA, KB dan Imunisasi


Bd. Fatmaini

Gizi
Ibu Akna Sitorus

P2P
Zr. Rosdiana

Usaha Kesehatan Sekolah dan


JPKMM
Zr. Sri Rulina

Kesehatan
Lingkungan,
PTM, lansia
Bapak Slamet

Apotik
Ibu Ida Parida

Administrasi
Ibu Nana

Pembantu
Umum
Ibu Nana

Keamanan
Bapak Ari

Gambar 6.1 Struktur Organisasi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15.


IV.1.8 Struktur Organisasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare
Kepala Puskesmas Kelurahan Kayu Putih
(drg. Erni Romaria)
Penanggung Jawab
(Ibu Rosdiana)
Pelaksana
(Semua tenaga kesehatan Puskesmas)
Gambar 6.1 Struktur Organisasi program P2D Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15.
IV.2 Data Khusus
Penanggulangan diare periode Januari 2008 Desember 2008 dilaksanakan pada semua pasien
yang datang ke Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Berikut adalah data-data hasil pencapaian
program Pencegahan dan Penanggulangan Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Tidak ada
pasien yang meninggal dari semua kelompok umur. Tidak didapatkan data pasien yang sembuh.
Tidak ada data pasien yang ditangani dari Posyandu.
Tabel 4.6. Jumlah pasien diare dan oralit yang diberikan di Puskesmas kelurahan Kayu Putih
periode Januari 2008 Desember 200816

BULAN
<1 TAHUN
JANUARI
FEBUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
JUMLAH

KELOMPOK USIA
1-4 TAHUN
>5 TAHUN

14
12
6
0
0
0
0
0
0
2
1
0
35

18
18
11
0
0
0
8
2
1
6
2
0
66

35
41
37
34
26
23
22
27
38
51
45
34
413

JUMLAH

JUMLAH

PASIEN
67
71
54
34
26
23
30
29
39
59
48
34
514

ORALIT
174
184
200
150
100
115
125
145
175
200
210
145
1923

Penanggulangan diare periode Januari 2008 Desember 2008, dilaksanakan pada semua
penderita yang datang ke Puskesmas dengan segala variasi usia. Untuk memudahkan maka
penderita dikelompokkan menjadi penderita kurang dari 1 tahun, 1-4 tahun, dan lebih dari 5
tahun. Jumlah penderita diare selama periode tersebut berjumlah 514 orang. Selama periode itu
tercatat penderita diare berusia kurang dari 1 tahun sebanyak 35 orang, penderita diare berusia 14 tahun sebanyak 66 orang, dan penderita diare berusia lebih dari 5 tahun sebanyak 413 orang.
Jumlah pemakaian oralit untuk semua penderita diare selama periode Januari 2008 Desember
2008 adalah 1923 bungkus. Tidak ada penderita diare yang ditangani oleh kader pada periode
Januari 2008 Desember 2008.16
Tidak terdapat penyuluhan kesehatan dan pelatihan kader terutama mengenai diare sejak
digalakkannya gebyar posyandu pada bulan Desember 2005 dan tidak didapatkan data mengenai
penderita yang sembuh.
Tabel 4.7 Pencapaian program P2D Kelurahan Kayu Putih
No
1.

Variabel
Jumlah penderita diare yang dilayani x 100%

Tolak ukur
100%

Target penderita diare di wilayah kerja


2.

Proporsi penderita diare balita yang diobati

Pencapaian
514 x 100%
6,7% x 432/1000 x 53.487

100%

= 35%
101x 100%

Jumlah penderita diare <5 tahun dilayani x 100%

4.353x1,7x10%

Jumlah balita x 1,7 x 10%

= 13,65%

3.

*1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun


Angka penggunaan oralit = Jumlah penderita x 6

514 x 6 =

3.084

4.

bungkus
Angka penggunaan ringer laktat =

<5%

Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100%


5.

Jumlah penderita diare yang dilayani


Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh

100%

Tidak ada data

6.

penderita
Angka fatalitas kasus =

0%

40%

Tidak ada pelayanan oleh kader

Jumlah penderita mati karena diare x 100%


Jumlah penderita diare yang dilayani
7.

Angka pelayanan oleh kader =


Jumlah penderita dilayani oleh kader x 100%
Jumlah penderita diare yang dilayani

8.

Penyuluhan

Tidak dilakukan

9.

Pelatihan kader

Tidak dilakukan

BAB V
ANALISA DAN PENYELESAIAN MASALAH
V.1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Komponen Keluaran
Identifikasi masalah yang ada pada program pencegahan dan penanggulangan penyakit diare
dilakukan dengan membandingkan pencapaian keluaran dengan tolak ukur.
Tabel 5.1 Identifikasi masalah pencegahan dan pemberantasan diare di kelurahan Kayu Putih
No
1.

Variabel
Jumlah penderita diare yang dilayani x 100%

Tolak ukur
100%

Target penderita diare di wilayah kerja


2.

3.

Proporsi penderita diare balita yang diobati

Pencapaian
514 x 100%
6,7% x 432/1000 x 53.487

100%

= 35%
101x 100%

Jumlah penderita diare <5 tahun dilayani x 100%

4.353x1,7x10%

Jumlah balita x 1,7 x 10%

= 13,65%

*1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun


Angka penggunaan oralit = Jumlah penderita x 6

Masalah
(+)

514 x 6 =

3.084

(+)

(+)

4.

bungkus
Angka penggunaan ringer laktat =

<5%

(-)

Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100%


5.

Jumlah penderita diare yang dilayani


Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh

100%

Tidak ada data

(+)

6.

penderita
Angka fatalitas kasus =

0%

(-)

40%

Tidak ada pelayanan oleh

(+)

Jumlah penderita mati karena diare x 100%


Jumlah penderita diare yang dilayani
7.

Angka pelayanan oleh kader =


Jumlah penderita dilayani oleh kader x 100%

kader

Jumlah penderita diare yang dilayani


8.

Penyuluhan

tidak

dilakukan

(+)

penyuluhan
9.

Pelatihan kader

tidak dilakukan

(+)

Dari data diatas dapat diidentifikasi sejumlah masalah dalam Program pencegahan dan
penanggulangan diare di puskesmas kelurahan Kayu Putih yaitu :
1. Cakupan pelayanan tidak memadai di segala usia
2. Kualitas pelayanan yang masih kurang, yakni jumlah pemeberian oralit tidak sesuai target, dan
tidak adanya data mengenai jumlah penderita yang sembuh
3. Peran serta masyarakat dalam Program P2D masih belum optimal, yaitu tidak adanya kegiatan
penyuluhan, pembinaan kader dan pelayanan diare oleh kader
V.2. Penetapan Prioritas Masalah
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan beberapa masalah pada program

P2Diare yang harus

diselesaikan. Ditemukannya lebih dari satu masalah maka harus ditentukan prioritas masalah
karena adanya keterbatasan dana dan sumber daya. Penetapan prioritas masalah dilakukan
dengan menggunakan kriteria matriks seperti pada Tabel 5.2.
Prioritas masalah ditetapkan dengan sistem skoring dan akan dinilai beberapa kriteria:
a) Pentingnya masalah (importancy) yang terdiri dari:
Besarnya masalah (Prevalence = P)
Akibat yang ditimbulkan masalah (severity) = S
Kenaikan besarnya masalah (rate of increase) = RI

Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit) = SB


Derajat keinginan masyarakat tidak terpenuhi (degree of unmeet needs) = DU
Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern) = PB
Suasana politik (political climate) = PC
c) Kelayakan teknologi (technilcal feasibility) = T
d) Sumber daya yang tersedia (Resources availability) = R
Untuk setiap kriteria diberikan nilai dalam rentang 1 (tidak penting) hingga 5 (sangat penting).
Masalah yang menjadi prioritas utama ialah masalah dengan nilai tertinggi.

Tabel 5.2 Penetapan Prioritas Masalah


No

Daftar Masalah

Importance
P
S
RI

DU

SB

PB

PC

Jumlah

1.

Cakupan pelayanan diare tidak

P=I x T x R
174

2.

memadai di segala usia


Kurangnya jumlah oralit yang

156

3.

diberikan pada penderita diare


Tidak adanya pelayanan oleh

150

4.

kader
Tidak ada data mengenai jumlah

70

penderita yang sembuh

Dari penetapan prioritas berdasarkan teknik kriteria matriks diatas maka prioritas masalah yang
dipilih adalah Kurangnya cakupan penderita diare yang diobati. Adapun urutan prioritas masalah
yang berhasil ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. Rendahnya cakupan pelayanan diare di segala usia
2. Kurangnya jumlah oralit yang diberikan pada penderita diare
3. Tidak ada pelayanan oleh kader
4. Tidak ada data menegenai jumlah penderita yang sembuh
Rendahnya angka cakupan pelayanan diare di segala usia merupakan masalah yang menjadi
prioritas. Angka cakupan pelayanan menggambarkan jumlah penderita diare yang menggunakan

pelayanan di Puskesmas dibandingkan dengan target di wilayah kerja Puskesmas. Rendahnya


angka cakupan pelayanan berarti masih banyak penderita diare yang tidak datang berobat ke
puskesmas dan tidak adanya lagi pelayanan pengobatan di posyandu (seperti program puskesmas
keliling), atau porsi pengobatan diambil oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan yang lain
seperti praktik dokter umum serta yang lainnya.
Puskesmas sebagai sentra layanan kesehatan primer seharusnya menjadi lini pertama
penanganan diare. Diharapkan kasus-kasus diare yang ada mendapatkan penanganan awal diare
yang tepat sehingga tidak sampai terjadi komplikasi.
Selain memberikan pelayanan diare berupa pengobatan, puskesmas juga diharapkan mampu
melakukan pencegahan diare, salah satunya dengan mengadakan penyuluhan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Rendahnya angka kunjungan
penderita diare ke puskesmas, dapat diartikan masih banyak yang kasus diare yang tidak
teridentifikasi sehingga tindak lanjut berupa penyuluhan pencegahan diare tidak sampai pada
penderita dan keluarga. Kurangnya pengetahuan penderita dan keluarga mengenai pencegahan
diare dapat meningkatkan risiko penularan ke keluarga dan bahkan ke masyarakat sekitar,
terlebih lagi jika kegiatan penyuluhan ke masyarakat tidak berjalan. Atas alasan-alasan diatas,
akibat yang ditimbulkan (severity) oleh rendahnya cakupan pelayanan diare diberikan nilai
paling besar.
Jumlah pemberian oralit yang lebih kecil dari standar untuk tiap penderita dapat
mengakibatkan kesembuhan diare menjadi lebih lama. Hal ini dapat memunculkan anggapan
buruk pada masyarakat tentang penanganan di Puskesmas yang akan semakin membuat angka
kunjungan pasien ke Puskesmas berkurang. Tidak adanya kader mencerminkan kurangnya
perhatian dan peran serta masyarakat terhadap penanggulangan diare. Kader yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat sebenarnya diharapkan mampu memperluas daya jangkau program
penanggulangan diare di puskesmas. Karena itulah kedua masalah tersebut sama-sama diberikan
nilai severity menengah
Kenaikan besar masalah (Rate of Increase) untuk angka cakupan pelayanan mencapai 35%
dari nilai idealnya 100%. Ini berarti terdapat kesenjangan sebesar 65%. Akan tetapi dari
penelitian terdahulu pada tahun 2006, angka pencapaian hanya mencapai 12,86% dengan tolok
ukur sebesar 80%. Jika data tersebut menggunakan hitungan 100%, maka pencapaian hanya
sebesar 15% dengan kesenjangan pencapaian sebesar 85%. Jika dikaitkan dengan penelitian ini,

hal tersebut menunjukan terdapat perbaikan dalam program pencegahan diare dan meningkat
sebesar 20% sehingga Rate of Increase cakupan pelayanan diberikan nilai yang lebih rendah dari
masalah yang lain. Masalah kurangnya pemberian oralit pada penderita diare dan masalah tidak
adanya pelayanan oleh kader sama-sama mempunyai nilai yang sama besar. Dipikirkan akibat
kecenderungan tidak ada perbaikan masalah dari tahun ke tahun.
Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of unmeet need) untuk masalah
rendahnya angka cakupan pelayanan, kurangnya pemberian oralit, dan tidak adanya pelayanan
oleh kader, diberikan nilai yang sama. Kesembuhan merupakan harapan utama dari seorang
penderita, oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat untuk setiap kasus diare yang
sesuai dengan standar, termasuk pemberian oralit. Masyarakat juga menginginkan penularan
diare dapat diminimalisasi. Untuk mewujudkannya, tidak cukup dengan pelayanan diare dalam
puskesmas saja, tetapi juga dibutuhkan peran serta masyarakat baik dalam berbagai aspek
(pelayanan, penyuluhan, dan pencegahan), dengan salah satu bentuk nyatanya adalah pelayanan
oleh kader.
Keuntungan sosial (social benefit) yang diperoleh jika masalah rendahnya angka cakupan
pelayanan dan pelayanan oleh kader dapat diselesaikan mendapat nilai terbesar. Adanya
penyelesaian terhadap kedua masalah tersebut diharapkan dapat memutus rantai penularan diare
karena kasus-kasus diare yang ada dapat teridentifikasi dan mendapat penanganan yang tepat dan
tindak lanjut berupa penyuluhan tentang pencegahan diare.
Perhatian masyarakat (public concern) terhadap permasalahan diare secara umum masih
kurang baik. Pasien masih banyak yang tidak berobat ke puskesmas pada saat terjadi diare.
Cakupan pelayanan yang kurang baik, tidak adanya pelayanan oleh kader, serta jumlah
pemberian oralit yang tidak sesuai diberikan nilai yang sama, karena ketiga hal ini adalah
keadaan yang dilihat masyarakat secara langsung dan mempengaruhi penilaian masyarakat
terhadap kinerja puskesmas. Ketiadaan data mengenai pasien yang sembuh diberikan nilai yang
lebih rendah, karena bentuk pencatatan ini tidak secara langsung dilihat oleh masyarakat manfaat
dan pelaksanaannya.
Pemerintah memang telah membentuk program P2D, namun belum ada upaya intensif dalam
pemberantasan diare. Dikarenakan hal tersebut maka keempat masalah mendapat nilai PC
(political climate) yang sama, sebagai bagian dari P2D.

Dari penilaian teknis (technical feasibility), tidak adanya data mengenai jumlah pasien yang
sembuh mendapatkan nilai yang paling tinggi, karena pada saat ini, pencatatan di puskesmas
sebenarnya tidak sulit secara teknis karena penggunaan komputer telah memudahkan pencatatan
dan pelaporan.
Untuk ketersediaan sumber daya (resources availability), maka tidak adanya pelayanan oleh
kader mendapatkan nilai menengah, karena puskesmas sebenarnya memiliki kader, namun tidak
melakukan pelayanan diare karena tugas promosi kesehatan lainnya juga banyak, sementara
tidak ada penambahan jumlah kader khusus untuk diare. Jumlah oralit yang diberikan juga belum
memadai, meskipun jumlah yang diterima sudah cukup. Hal ini berhubungan dengan peranan
kader yang belum optimal dalam pelayanan diare.

V.3. Identifikasi Penyebab Masalah


V.3.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dibuat dengan menggunakan pendekatan analisis, hal ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor penyebab masalah rendahnya angka cakupan pelayanan diare program
P2Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Kerangka konsep yang telah dipikirkan untuk
masalah tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Cakupan
Pelayanan
Diare

Gambar 5.1 Kerangka konsep


V.3.2. Estimasi Penyebab Masalah
Masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Diare akan dibahas sesuai
dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan seluruh faktor baik dari unsur masukan,
proses, umpan balik, dan lingkungan.
Pada komponen masukan, yang berpotensi menjadi penyebab masalah adalah sumber daya
manusia termasuk di dalamnya adalah dokter, perawat, tenaga administrasi dan kader, dana yang
tersedia, sarana medis dan non medis, sarana penyuluhan, sarana pojok oralit dan metode yang
digunakan. Kuranganya jumlah sumber daya manusia, pengetahuan tenaga kesehatan dan tenaga
pendukung dapat mengakibatkan metode yang digunakan dalam P2D menjadi kurang optimal,
meliputi pengobatan, penyuluhan dan pelatihan kader. Sehingga partisipasi masyarakat menjadi
lebih rendah dari yang diharapkan. Selain SDM yang kurang faktor dana dan sarana medis serta
non medis juga memegang peranan yang penting. Oleh sebab itu bila kurang memadai juga dapat
menyulitkan pelaksanaan program ini.

Komponen proses terdiri dari: perencanaan dan pengorganisasian, pelaksanaan, pencatatan


dan pelaporan, serta pengawasan. Setiap program memiliki perencanaan target dan waktu
pelaksanaan program, sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Organisasi juga perlu
direncanakan dengan baik, agar terdapat staffing dan pembagian tugas yang jelas sehingga
masing-masing pelaksana dalam organisasi dapat bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing
sehingga tercipta kerjasama yang baik. Pelaksanaan program, meliputi: pengobatan diare,
penyuluhan, dan pelatihan serta pembinaan kader, merupakan faktor penentu keberhasilan
program. Pengobatan diare yang kurang memenuhi standar pelayanan dapat mengakibatkan
munculnya stigma yang buruk mengenai pelayanan diare di puskesmas sehingga masyarakat
enggan berkunjung ke Puskesmas. Hal ini berimbas pada rendahnya angka cakupan pelayanan
diare. Tidak adanya penyuluhan kesehatan mengenai diare juga berdampak pada kurangnya
pengetahuan masyarakat terhadap pencegahan, penanganan diare di rumah, serta kapan waktu
yang tepat untuk berobat. Kurangnya kader yang terlatih menyulitkan pelaksanaan program
terutama dalam melakukan tugas eksternal seperti penyuluhan di masyarakat dan penanganan
awal diare. Pengawasan juga merupakan hal yang penting karena apabila tidak terlaksana dengan
baik, dapat menyebabkan tidak adanya laporan tertulis, penyimpanan laporan yang tidak
tersistematisasi dengan baik, dan pelaporan yang terlambat atau tidak lengkap kepada
puskesmas. Hal-hal diatas pada akhirnya dapat mengakibatkan target pencapaian program yang
telah ditentukan tidak tercapai.
Komponen lingkungan juga berperan dalam keberhasilan program. Komponen lingkungan ini
meliputi: tingkat pendidikan masyarakat,tingkat sosial ekonomi, dan akses. Tingginya tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam menerima dan memahami
informasi mengenai diare. Sementara tingginya tingkat sosial ekonomi dapat mempengaruhi
kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan. Sementara akses ke
tempat layanan kesehatan juga dapat menjadi masalah apabila pusat layanan kesehatan terletak di
lokasi yang sulit dijangkau.
Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan setelah dilaksanakannya
Program Pencegahan dan Pemberantasan Diare selama satu periode. Hasil pelaporan ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas untuk menyusun rencana program
pada periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya perbaikan dari yang sebelumnya.

V.3.3 Konfirmasi Penyebab Masalah


Dilakukan wawancara dengan pihak yang terlibat (penanggung jawab program P2Diare
Puskesmas Kelurahan Kayu Putih) dan membandingkasn hasil dan tolok ukur dilakukan untuk
mengkonfirmasi penyebab masalah. Identifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab
masalah tersebut dapat dilihat pada beberapa tabel berikut ini.
Tabel 5.3 Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen masukan
No
1.

Variabel
Tenaga

Tolok Ukur

Pencapaian

Penyebab

Tenaga pelaksana minimal : 1 dokter, 1 perawat,

Masalah
Di balai pengobatan umum terdapat (+)

1 petugas administrasi, dan 1 analis sebagai

1dokter, 1 perawat yang merangkap

pemeriksa laboratorium

administrasi. Sedangkan di P2M


terdapat 1 perawat, dan 1 orang
tenaga administrasi. Tidak terdapat

2.

Dana

laboratorium
Tersedianya dana yang cukup lancer

Tersedianya dana dari APBN, APBD

(-)

hanya dari APBD dan APBN


3.

Sarana

Tersedianya sarana:
a.

Sarana medis : alat-alat pemeriksaan

a.

tersedia

(-)

b.

tersedia

(-)

c.

tersedia,

seperti stetoskop, senter, timbangan,


tensimeter, dan termometer
b.

Sarana non medis: ruangan dilengkapi


dengan tempat tidur, status, alat tulis,
buku catatan

c.

Sarana penyuluhan: leaflet, brosur,


poster

d.

dalam

(+)

jumlah terbatas (hanya ada 1

Sarana khusus untuk pojok oralit:


meja,

namun

kursi,

oralit

minimal

d.

poster,1 leaflet)
tidak ada pojok oralit

e.

tidak tersedia

(+)

200

bungkus, gelas, sendok, pipet, baskom,


media penyuluhan
e.
4.

Metode

laboratorium

(+)

Pengobatan penderita diare


a. Pendekatan MTBS untuk penderita balita
b. Pengobatan penderita diare baik kausal,

a.
b.

Pendekatan MTBS
Pengobatan dilakukan pada

simtomatik dan rehidrasi secara oral

semua penderita diare yang

(oralit sebanyak 1500 ml atau 6 bungkus)

berobat

meliputi

terapi

(-)
(-)

atau

intravena

sesuai

standar

rehidrasi

penanggulangan penyakit diare

sesuai

derajat

dehidrasi,

terapi

simtomatik, dan bila perlu


terapi

etiologi

secara

empiris untuk disentri


Penyuluhan kesehatan

a.

Dilakukan

a. Penyuluhan kepada penderita dan keluarga


b. Penyuluhan ke masyarakat
c. Pojok oralit sebagai sarana konsultasi

penyuluhan

kepada penderita diare dan


keluarga yang datang ke

diaretentang penyakit diare

puskesmas
Tidak dilakukan
Tidak ada pojok oralit

b.
c.

(+)

Tidak dilakukan pembinaan maupun


Pembinaan dan pelatihan kader

pelatihan kader
harian,

(+)
(+)

Dilakukan laporan tertulis kasus diare


Pencatatan dan pelaporan kasus diare

(-)

mingguan,

bulanan,

dan

(-)
(-)

tahunan

Tabel 5.4 Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen proses
No
1.

Variabel
Perencanaan

Tolok ukur

Pencapaian

Adanya perencanaan operasional (plan

Penyebab

Planning of action sudah dibuat

Masalah
(-)

of action) yang jelas: Jenis kegiatan,


target kegiatan, waktu kegiatan.
2.

Pengorganisasian

a.

Adanya

struktur

organisasi

a.

pelaksana program
b.

Terdapat

struktur

organisasi

Adanya pembagian tugas dan


tanggung jawab yang jelas

(-)

pelaksanan

program

b. Petugas

kesehatan

merangkap

(+)

sebagai

penanggungjawab
3.

Pelaksanaan

a.

beberapa program
Pengobatan diare

Pengobatan penderita
i.

Pengobatan diare baik kausal,


simtomatik

dan

rehidrasi

i.

Tata laksana kasus diare


dengan pemberian oralit

secara oral (oralit sebanyak

sudah

1500 ml atau 6 bungkus) atau

jumlah tidak sesuai

intravena
penanggulangan
diare.

sesuaistandar
penyakit

dilakukan,tetapi

(+)

ii.

Pendekatan MTBS

ii.

dilakukan

iii.

Perujukan untuk kasus-kasus

iii.

terdapat sistem perujukan

berat
b.

(-)

Penyuluhan

Penyuluhan

i. Penyuluhan kepada penderita

i.

Dilakukan

dan kelurga

kepada

ii. Pojok oralit sebagai tempat

penderita
yang

dan

(-)

datang

berobat

Penyuluhan ke masyarakat

ii.

Tidak ada pojok oralit

(+)

minimal 4x/tahun

iii.

Tidak

(+)

dilakukan

Penyuluhan kelompok di

penyuluhan kelompok di

puskesmas

dalam

Penyuluhan

di

puskesmas,

maupun

luar

penyuluhan

di

luar puskesmas

puskesmas
c.

penyuluhan

keluarga

konsultasi tentang diare


iii.

(-)

Pembinaan dan pelatihan Kader

Tidak

dilaksanakan

pembinaan

maupun pelatihan kader

(+)

kader

Tidak ada pelayanan diare oleh

(+)

Koordinasi puskesmas kecamatan

kader

i.

Materi pelatihan:
Kemampuan melarutkan
oralit

ii.

dan

memberikannya
Pemberian penyuluhan

kesehatan
Perujukan
Pelatihan dilakukan minimal
1x dalam setahun

d.
e.

Pelayanan penderita diare oleh

dengan kelurahan

4.

Pencatatan

dan

a.

pelaporan

b.

Penilaian kegiatan dalam bentuk

a. Laporan tertulis dilakukan secara

laporan tertulis secara periodik

periodik bulanan, dan tahunan,

(bulanan,

namun tidak dilakukan laporan

triwulan,

semester,

tahunan)

triwulan dan semesteran

Pengisian laporan tertulis yang

b.

lengkap

pelaporan yang ada

c. Penyimpanan laporan tertulis yang c.


benar

laporan diisi sesuai format


Laporan

disimpan

koordinator program

(+)

(-)
(-)

oleh

5.

Pengawasan

Adanya pengawasan eksternal dan

Pengawasan

program

internal

oleh

Kesehatan

Dinas

dilakukan

(-)

Jakarta

Timur dan secara internal oleh


kepala puskesmas

Tabel 5.5. Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen lingkungan dan
umpan balik
No

Variabel

Tolok Ukur

1.

Lingkungan

a. Tingkat pendidikan menengah atau


tinggi

Pencapaian

menunjang

keberhasilan

Umpan balik

Tingkat

pendidikan

Kayu

pencegahan diare

tingkat rendah-menengah
b.

Tingkat

Putih
sosial

umumnya
ekonomi

atau tinggi menunjang keberhasilan

masyarakat di Kelurahan

pengobatan penderita diare dan

Kayu

putih

pencegahan diare
Masukan hasil pencatatan dan

Tidak

pelaporan

perbaikan program

untuk

perbaikan

Masalah
(+)

masyarakat di Kelurahan

pengobatan penderita diare dan


b. Tingkat sosial ekonomi menengah

2.

a.

Penyebab

(+)

umumnya

tingkat rendah-menengah
ada
masukan
untuk

(+)

program selanjutnya.

Berdasarkan tabel diatas maka ditetapkan penyebab masalah belum optimalnya program
P2Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih untuk periode Januari-Desember 2008 berdasarkan
komponen masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan.
1. Masukan
Pada komponen masukan, sumber daya manusia termasuk di dalamnya adalah dokter, perawat,
tenaga administrasi dan kader, dana yang tersedia, sarana medis dan non medis, sarana
penyuluhan, sarana pojok oralit dan metode yang digunakan dapat menjadi penyebab masalah.
Agar program P2D ini dapat berfungsi dan berjalan secara optimal maka dibutuhkan tenaga kerja
minimal seorang dokter, seorang perawat dan seorang petugas administrasi. Hal ini memang
terpenuhi secara kuantitas, namun adanya tenaga kerja yang merangkap program puskesmas
lainnya menjadikan pelaksanaan program P2D belum dapat terlaksana secara meyeluruh dan
optimal. Sarana medis yang tersedia sudah sesuai dengan standar, sehingga tidak menjadi
masalah sedangkan sarana non-medis seperti media penyuluhan masih tidak memadai
jumlahnya. Demikian juga dengan tidak adanya sarana khusus pojok oralit. Dari segi metode,

tidak ada penyuluhan ke masyarakat, menjadikan perhatian masyarakat terhadap diare menjadi
tidak berkembang. sehingga Hal ini juga dapat dikarenakan tidak adanya kegiatan pembinaan
kader. Semua hal diatas juga harus ditunjang oleh dana yang memadai. Tidak adanya dana
khusus juga merupakan masalah yang mendasar. Sedangkan pencatatan dan pelaporan sudah
dilakukan terlihat dari adanya laporan dari harian hingga tahunan.
2. Proses
Salah satu komponen proses yaitu pengorganisasian, masih didapatkan masalah berupa petugas
pelaksana program yang masih merangkap program yang lain sehingga tidak optimal dalam
melaksanakan tugasnya. Pada pelaksanaan terdapat beberapa masalah, yakni pemberian jumlah
oralit yang tidak sesuai dengan standart yang telah ditentukan, tidak adanya penyuluhan ke
masyarakat, tidak adanya pembinaan,pelatihan,dan pelayanan kader.
Pencatatan dan pelaporan terhadap program yang sedang berjalan juga dirasa kurang optimal.
Pencatatan dilakukan secara periodik setiap bulan dan tahunan. Dengan adanya pencatatan dan
pelaporan pada tiap-tiap periode diharapkan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang
muncul saat berjalannya program agar dapat segera ditindak lanjuti.
3. Lingkungan
Tingkat pendidikan sosial ekonomi dan akses berpotensi menjadi penyebab masalah.tingkat
pendidikan masyarakat kelurahan Kayu putih yang sebagian besar rendah-menengah mempunyai
peran terhadap kurangnya pengetahuan mengenai diare, oleh karena itu dibutuhkan penyuluhan
yang dilakukan terus-menerus agar pemahaman dan perhatian masyarakat terhadap
permasalahan diare ini dapat meningkat sehingga tujuan dari program P2Diare ini dapat tercapai.
Demikian halnya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas berpendapatan
rendah-menengah juga dapat mempengaruhi kemauan masyarakat untuk mendapatkan layanan
kesehatan kurang.
4. Umpan balik
Puskesmas ini telah melakukan pencatatan dan pelaporan sudah dilakukan secara periodik. Datadata tersebut dapat digunakan sebagai masukan untuk menyusun program di periode selanjutnya
sehingga diharapkan adanya perbaikan dari masalah-masalah yang ditemukan sebelumnya.
V.3.4 Alternatif Penyelesaian Masalah

Tabel V.6 Alternatif Penyelesaian Masalah


No.
1.

Penyebab Masalah
Masukan
Tenaga :
-

Jumlah
pelaksana program yang

Alternatif Penyelesaian Masalah

Prioritas
Menambah tenaga

- Menambah tenaga pelaksana program


yang tidak merangkap program lain

pelaksana program
yang tidak

tidak memadai karena

- Mengadakan pelatihan bagi kader

merangkap program

sebagian merangkap

- Pembagian tugas yang jelas

lain (kader/petugas

beberapa program

kesehatan)

Sarana:
-

Tersedianya sarana
Media

komunikasi (-)
-

Persediaan
oralit kurang

- Melengkapi sarana yang kurang,

dan prasarana untuk

- Dana penyediaan sarana diambil dari

melakukan

dana retribusi puskesmas, ditambah

penyuluhan dan

dengan usulan anggaran

tersedianya jumlah
oralit yang memadai
Pelatihan para kader

Metode:
-

Penyuluhan
kelompok tidak

- Pelatihan kader untuk melakukan


penyuluhan rutin

untuk melakukan
penyuluhan
kelompok pada

dilaksanakan

masyarakat
2.

Proses
Perencanaan:
-

Jumlah obat
diare dan oralit kurang

Tidak ada

- Melakukan pencatatan dan pelaporan

Melakukan

yang baik agar perencanaan

pencatatan dan

penyediaan obat diare dan oralit sesuai

pelaporan yang

- Menentukan kelompok target utama

lengkap termasuk

kelompok target utama

dalam penanganan diare berdasarkan

data kasus dari

penanganan diare

data tahun sebelumnya

kesehatan lain di luar


Puskesmas

Organisasi:
-

Petugas
yang masih merangkap

yang tidak merangkap program lain


- Mensosialisaikan kepada sentra

program lain
-

- Menambah tenaga pelaksana program

Kerjasama

kesehatan lain untuk melakukan

dengan petugas kesehatan

pencatatan dan pelaporan kasus diare

lain kurang

yang ditangani

Pelaksanaan:
-

Tidak ada
penyuluhan kelompok dan
penyuluhan secara nasional

- Melakukan pelatihan penyuluhan pada


kader secara berkala
- Memaksimalkan peran mahasiswa

Pencatatan

kedokteran dalam pembuatan sarana

dan pelaporan yang masih

dan melakukan penyuluhan kepada

kurang baik

kader dan masyarakat

Ketidakters

- Melakukan pencatan dan pelaporan

ediaan oralit di

kasus diare yang ditangani dengan

posyandu/kader

baik
- Menyediakan oralit dan memberikan
penyuluhan tentang pemakaian oralit

Penilaian:
- Monitoring cakupan
pelayanan kurang baik
- Daire bersifat akut dan self
limiting disease

- Evaluasi berkala setiap bulan, dan


setiap tahun
- Membuat formulir pencatatan yang
baku yang dapat digunakan seluruh
tenaga pelaksana kesehatan
- Pelatihan kader agar mampu
menjaring kasus diare

3.

Lingkungan
- Tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat
yang masih rendah
- Tingkat sosio-ekonomi
masyarakat yang rendah

- Penyuluhan kelompok oleh kader


- Memperbanyak akses kesehatan
dengan memperbanyak kader
kesehatan sebagai perpenjangan
tangan Puskesmas

- Akses pelayanan kesehatan


yang kurang
4.

Umpan Balik
- Pencatatan dan pelaporan
belum dapat dimanfaatkan
dengan baik
- Data surveilance tidak ada
- Program jaminan mutu
tidak ada

- Melakukan pencatatan dan pelaporan


yang lengkap
- Formulir pencatatan sebaiknya dibuat
baku
- Evaluasi program P2D secara berkala
- Diadakan pertemuan berkala (setiap
bulan dan setiap tahun) untuk

Melakukan evaluasi
program P2D secara
berkala

membahas kemajuan yang dicapai


- Menyusun strategi untuk mengatasi
kendala dan kekurangan pada program
sebelumnya
- Melaksanakan program jaminan mutu

V.4. Prioritas Penyelesaian Masalah


Prioritas pemecahan masalah ditetapkan dengan sistem skoring:
a) Efektifitas jalan keluar, yang terdiri dari M, I dan V

Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude) = M

Pentingnya jalan keluar (Importancy) = I

Sensitivitas jalan keluar (Vulnerabillity) = V

b) Biaya jalan keluar (Cost) = C


Terhadap berbagai alternatif jalan keluar yang sudah dikemukan di atas.
Alternatif Jalan Keluar

Prioritas Jalan
Keluar:
P=(MxIxV)/C

Menambah tenaga pelaksana program yang tidak

33,6

merangkap program lain.(kader/petugas kesehatan)


Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan

16

kelompok pada masyarakat


Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap

termasuk data kasus dari kesehatan lain di luar


Puskesmas
Melakukan evaluasi program P2D secara berkala

Berdasarkan uraian di atas, terdapat 4 masalah utama yang menyebabkan masih kurangnya
cakupan penderita diare yang diobati di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Berdasarkan tabel
diatas, didapatkan urutan prioritas jalan keluar sebagai berikut :
1. menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain
(kader/petugas kesehatan)
2. Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat
3. Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari
kesehatan lain di luar Puskesmas

4. melakukan evaluasi program P2D secara berkala


Dari kriteria diatas telah ditetapkan prioritas penyelesaian masalah adalah menambah tenaga
pelaksana program yang tidak merangkap program lain. Karena pada kenyataannya di
Puskesmas Kelurahan Kayu Putih, tiap petugas kesehatan memegang lebih dari 1 program
puskesmas. Hal tersebut harus segera diintervensi lebih lanjut supaya tiap program-program yang
ada di Puskesmas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Setelah menambah jumlah tenaga
kerja untuk bertanggung jawab terhadap program puskesmas, prioritas kedua adalah dengan
melakukan pelatihan kepada para kader. Dengan dilakukannya pelatihan kepada para kader,
diharapkan program P2D dapat terlaksana sebagai tindakan preventif. Tindakan preventif
tersebut antara lain dapat dilakukannya penyuluhan berkala yang dilakukan sebanyak 4x dalam
setahun kemudian dilakukannya pencatatan dan pelaporan yang lengkap. Lalu langkah terakhir
dalam pelaksanaan suatu program adalah melakukan evaluasi program P2D. Dengan evaluasi,
semua kendala-kendala yang ada dapat diperbaiki sehingga pelaksanaan P2D periode selanjutnya
akan lebih baik, sehingga angka kesakitan diare pun dapat berkurang di masyarakat.
COBA ANALISIS SECARA LUAS. Penambahan tenaga kader dan pelatihan apa bisa jadi
satu?? Belum ada rincian solusi yg akan dibuat. Misalnya pelatihan kader : mau dilatih
apa? Perlu kader berapa, dll

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
VI.1. Simpulan
1) Keberhasilan program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas Kelurahan
Kayu Putih periode Januari - Desember 2008 masih belum dapat dievaluasi dengan
baik.KENAPA BELUM BISA DIEVALUASI??
2) Berdasarkan evaluasi program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas
Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008 ini diperoleh masalah-masalah:
a. Cakupan pelayanan tidak memadai di segala usia BERI INFORMASI LEBIH
AKURAT, TIDAK MEMADAI ITU APA YA??
b. Kualitas pelayanan yang masih kurang, yakni jumlah pemberian oralit tidak sesuai
target, dan tidak adanya data mengenai jumlah penderita yang sembuh PENDERITA
YG SEMBUH KAN TIDAK HRS LAPOR?? JADI HARUS ADA CARA UTK
TAHU.
c. Peran serta masyarakat dalam Program P2D masih belum optimal, yaitu tidak adanya
kegiatan penyuluhan, pembinaan kader dan pelayanan diare oleh kader
3) Penyebab masalah yang mungkin antara lain: BUKAN MUNGKIN LAGI, KAN SDH
EVIDENCE BASED
a. Kurangnya tenaga pelaksana program sehingga program P2D kurang dapat berjalan
dengan baik.
b. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai untuk membantu program
P2D.
c. Tidak adanya pelatihan kader setempat dan penyuluhan mengenai program P2D
dimasyarakat maupun puskesmas
4) Prioritas pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan adalah :
a. menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain
(kader/petugas kesehatan)

b. Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat


c. Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari
kesehatan lain di luar Puskesmas
d. melakukan evaluasi program P2D secara berkala

5) VI.2. Saran INI UTK PRIORITAS MASALAH ATAU SEMUANYA???


VI.2.1. Bagi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih
1) Melakukan pelatihan bagi para kader sehingga program pelaksanaan P2D dapat
terlaksana dan kegiatan-kegiatan penyuluhan dapat dilakukan lebih baik
2) Membuat pencatatan dan pelaporan yang baik dan lengkap, sehingga program yang
diusulkan dapat terlaksana dengan baik dan memungkinkan evaluasi setiap tahun.
3) Dengan dilakukannya evaluasi tiap tahun, data tersebut dapat jadikan dasar keberhasilan
suatu program dan digabungkan dengan instasi kesehatan lainnya.
4) Peningkatan pelatihan penyuluhan kader secara berkala yang terintegrasi agar dapat
dilakukan penyampaian informasi secara menarik dan efektif kepada masyarakat.
5) Menambah jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas sehingga seluruh programnya dapat
berjalan dengan baik.
VI.2.2. Bagi Pendidikan

Membantu Puskesmas dalam penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
penyuluhan (misalnya poster, flipchart, leaflet mengenai diare).

Memberi kesempatan pada mahasiswa yang sedang menjalani kepanitraan untuk


berinteraksi dan memberikan penyuluhan ke masyararakat.

Memberi kesempatan pada mahasiswa untuk dapat membatu pelaksanaan evaluasi


program P2D secara berkala.

VI.2.3. Bagi Kader dan Masyarakat

Lebih turut berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan Puskesmas
termasuk penyuluhan diare sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat diare.

Lebih aktif dalam melaporkan kasus diare kepada kader setempat ataupun petugas
Puskesmas.

Fasilitas kesehatan diluar Puskesmas sebaiknya melakukan pelaporan dan pencatatan


kasus diare yang ditangani ke Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku ajar diare. Pendidikan Medik


Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999.
2. Diare akut. Dalam : Sudoyo AW, dkk (ed). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI; 2006.
3. Ghishan FK. Chronic diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors.
Nelson textbook of pediatrics 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p.1276-1281.
4. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children, guidelines for the
management of common illnesses with limited resources. Geneva: World Health
Organization; 2005.
5. Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 13
Novemeber 2009
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Angka kejadian
diare masih tinggi. Diunduh dari :http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 13
November 2009.
7. World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management
on acute diarrhoea. Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement;
2007. Diunduh dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14
Novemeber 2009
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Program pedoman kerja puskesmas jilid II. 1999
9. Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan Diare
(PMPD). Jakarta:Depkes RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14
10. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulangan Penyakit Diare. Volume 7
Edisi 1, Jakarta:Depkes RI,1999. h.1-88.
11. Azwar A. Sistem Kesehatan. Dalam: Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Bina
Rupa Aksara, 1998. h30-34.
12. Departemen Kesehatan RI. Kepmenkes RI No. 1216/ MENKES/ SK/ XI/ 2001 Tentang
Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Edisi ke-4, Jakarta:Depkes RI,2005.
13. Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta. Stratafikasi Puskesmas 2003.Jakarta : 2003
14. Azwar A. Sistem Kesehatan. Dalam: Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Bina
Rupa Aksara, 1998.
15. Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan kayu Putih 2008

16. Laporan Bulanan Penanggung Jawab program P2Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih
periode Januari-Desember 2008

You might also like