You are on page 1of 37

0

Laporan Kasus
Ilmu Penyakit Bedah
Periappendicular Infiltrate

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Bedah RSUD dr. Soebandi

Oleh :
Caesar Ayudi
042010101018

SMF Ilmu Penyakit Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Jember
2009

TINJAUAN PUSTAKA
I.

DEFINISI
Massa appendiks yang timbul bila mikro perforasi ditutupi perdindingan oleh

omentum dan/atau lengkung usus halus. Pada massa periapendikuler yang perdindingannya
belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata.
II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Apendiks yang disebut juga umbai cacing merupakan organ yang berbentuk tabung

panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar dan pangkalnya akan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden V pada usia tersebut. Pada 65%
kasus apendiks terletak intraperitonisl. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan
ruang gerakannya tergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a. apendikularis, sedangkan persyarafan simpatis berasal dari n.torakalis X.
karena itu nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Perdarahan apendiks
berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral sehingga bila terdapat
sumbatan maka apendiks akan mengalami gangrene.
Istilah usus buntu yang sering dipakai orang awam sebenarnya kurang tepat karena
usus buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir
itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya
hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya
appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat
pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang
banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan
terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan

2
limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada
saluran cerna lain.

III.

EPIDEMIOLOGI
Insiden di negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang.

Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga
karena meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insidensi pada
laki-laki dan perempuan umumnya sebanding. Kecuali pada umur 20-30 tahun insidensi pada
laki-laki lebih tinggi.
IV.

ETIOLOGI dan PATOGENESIS

A. Peranan Lingkungan: diet dan higiene


Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

3
pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada
pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang,
dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis
dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat
dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras
B. Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan
apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi
meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur
terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%. Jaringan
limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai
respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan
menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon
bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu
alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di
apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk
menimbulkan risiko terjadinya perforasi. Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya
apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit.
Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan
distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai
akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi
ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi
perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam
submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus,
keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan
tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan

4
bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula
akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri,
akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi
gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami
perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya
peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat
tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika
infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum
belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal
ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi.
C. Peranan Flora bakterial
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan
penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia
coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,
Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling
banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .
V.

PATOFISIOLOGI
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh

lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir)
setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke
sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas
dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe,
sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus.

5
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum
setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks
yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti
apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus,
sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat
apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
VI.

GAMBARAN KLINIK
Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut

dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan terus
menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium,
kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan
bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan
atau batuk.Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan
fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis
acute. Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur
serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk
menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic
pain).
Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila
penderita disuruh batuk. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba
defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah

6
mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus
masih dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira
37,8 der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium
kadang merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk
appendix yang terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak
ada nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada
lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan
hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti
gastroenteritis acut .
Untuk appendicitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi,
peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).
1. Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dahsyat dan
mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 derajat celcius). Jumlah lekosit yang
meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.
2. Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah
mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada
peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi
abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam
makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.
3. Abses / infiltrat :
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah.
Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan dinding) oleh
omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan
bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi
rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa
atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian
dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi

7
A. Anamnesis
1. Nyeri / Sakit perut
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh
saluran cerna , sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula2
daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi ( > 6
jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap orang dengan gejala
nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita
apendisitis. Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama
makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks,
distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami
peradangan. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul
seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal
tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka
nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara
klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan
menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang
berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih
tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
2.

Muntah (rangsangan viseral)


Muntah ini terjadi akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia, nausea dan vomitus yang

timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila
hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan
vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks
dekat dengan vesika urinaria

3.

Obstipasi

8
Obstipasi terjadi karena penderita takut mengejan. Penderita apendisitis akut juga
mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare,
hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rectum.
4. Panas (infeksi akut)
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 - 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di
kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi
pada arteri spermatika dan ureter
B. Pemeriksaan Fisik
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat
yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang diagnosis salah
pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak karakteristik dan sekaligus
sulit diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan tidak kooperatif.
1. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+)
bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.
2.

Palpasi
Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen

dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari
lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan mendekati
daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari
tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot
atau adanya tumor yang superfisial.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis abdomen kuadran kanan bawah dapat ditemukan:

9
1. Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney
dan ini merupakan tanda kunci diagnosis
2. Nyeri lepas (+) (rangsangan peritoneum)
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan
melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.
3. Massa di titik Mc Burney.
4. Defens musculer (+) (rangsangan m.Rektus abdominis)
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
5. Rovsing sign (+)
Penekanan perut sebelah kiri, akan timbul nyeri sebelah kanan, karena tekanan
merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik
yang meradang (somatik pain). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh
adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan
6. Psoas sign (+)
Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum. Psoas sign terjadi
karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Ada 2 cara memeriksa :
A. Aktif :

Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan

pemeriksa, pasien

memfleksikan articulatio coxae kanan, maka akan timbul nyeri perut kanan
bawah.
B. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, akan
timbul nyeri perut kanan bawah

6. Obturator Sign (+)

10
Dengan gerakan fleksi & endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang, akan
terasa nyeri (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium
3. Perkusi
Nyeri ketok (+)
4. Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus
5. Rectal Toucher / Colok dubur
Saat dilakukan colok dubur akan terasa nyeri tekan pada jam 9-12. Colok dubur juga
tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada anak kecil karena
biasanya menangis terus menerus.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejalagejala sebagai berikut:
a.

Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

b.

Demam tinggi lebih dari 38,50C

c.

Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

d.

Dehidrasi dan asidosis

e.

Distensi

f.

Menghilangnya bising usus

g.

Nyeri tekan kuadran kanan bawah

h.

Rebound tenderness sign

i.

Rovsing sign

j.

Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal


Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini

berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang
berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar. Dalam penelitiannya

11
Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi
dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi
perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks
paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium
(Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya
massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya
inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi
(Lally, 2001).
Riwayat klasik apendicitis akut, diikuti adanya massa di regio iliaka kanan yang nyeri
disertai demam mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikular.
Gejala klasik apendicitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan
terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa
jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa
lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya
karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal

keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada
pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan
meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis
terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit
dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu
diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap
suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi
inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka
pada tempat yang terkena jejas dengan cara:

12
A. Mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag)
pada tempat tersebut.
B. Pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
C. Menetralisir dan mencairkan iritan.
D. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya
dinding jaringan granulasi.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut,
akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih
dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990).
Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.00020.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm 3.
Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit
dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut.
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga
kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk
appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70%
netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa
penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts
et al, 1986).
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah
C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan
menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits
CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap
Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan
keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika
urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang
(Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).

13

2. Foto Polos abdomen


Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu.
Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi
apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).
Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan
bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan
bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses
peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis
ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah
terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.
Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus,
maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan
mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas
shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya
permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger,
1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang
mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan
appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos
abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid
level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar
perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu
diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasuskasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain
yang menyertai apendisitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair
dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan
keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon.
Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium
memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda
appendisitis akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten

14
menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan
ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya
appendik tanda abses appendik Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah
intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chrons, inverted appendicel
stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun
apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut diperlukan keahlian,
ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang
tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler,
diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran
target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai
dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm.
Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan
dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan
tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau
multipel (Gustavo GR, 1995).
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 94%, dengan nilai sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada
apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm,
penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila
apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup
udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.
Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan
gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat
mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat
dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya
apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna
pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba
falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi
normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil

15
usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan
kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di
daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di konfermasikan dengan gejala klinik dimana
kecurigaan appendisitis.
3. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening
ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,
mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi 94 100%. CT-Scan sangat baik untuk
mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon
Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:
Ultrasonografi
CT-Scan
Sensitivitas
85%
90 - 100%
Spesifisitas
92%
95 - 97%
Akurasi
90 - 94%
94 - 100%
Keuntungan
Aman
Lebih akurat
relatif tidak mahal
Mengidentifikasi abses
dan flegmon lebih baik
Dapat mendignosis kelainan
Mengidentifikasi
lain pada wanita

apendiks normal lebih


baik

Kerugian

Baik untuk anak-anak


Tergantung operator
Sulit secara tehnik
Nyeri
Sulit di RS daerah

Mahal
Radiasi ion
Kontras
Sulit di RS daerah

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk
mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya
penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis.
4.

Laparoskopi (Laparoscopy)
Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun penggunaanya untuk

kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi
dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis
secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan untuk melihat keadaan organ
intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada

16
apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi
laparoskopi
5. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi apendisitis
akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis
akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis
histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan
antara ahli patologi dengan ahli bedahnya. Tidak ditemukan keadaan patologis di dalam ileum,
caecum atau visera yang berdekatan. Tidak ditemukan lymphadenopathy. Permukaan external
appendik menunjukkan adhesi fibrous dan kongesti serta jaringan periappendicular fibro-fatty
menunjukkan beberapa area caseous necrosis. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
granuloma yang dibentuk dari sel epitheloid, limfosit, sel Langhans dan sel giant foreign body di
lapisan otot luar dan lapisan serosal. Granulomas ini dikelilingi oleh dense lymphoplasmacyte
cells infiltrate dan fibrosis.

Difinisi histopatologi apendisitis akut:


Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di
1
2

lapisan epitel.
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam

lapisan epitel.
Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses

apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses

mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
periapendisitis.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)

17
Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi
(innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive
immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat
berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk
melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang
rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan
oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker,
arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.
Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang
berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem immun
dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive immune)
Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja
tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan
memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan,
tetapi juga sistem immun yang didapat.
VIII.

DIAGNOSIS
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis

akut.
Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan
pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Palpasi pada daerah perut kanan bawah apabila
ditekan akan terasa nyeri Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan
apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).Rectal toucher pada appendicitis bisa
menyebabkan nyeri pada arah jam 9-12.
Pemeriksaan tambahan hanya

dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk

menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaann laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap


dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit

18
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki,
perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam
kasus apendektomi, Primatesta (1994) melaporkan bahwa perempuan tiga kali lebih banyak
dibanding laki-laki dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari
mengingat perempuan yang masih sangat muda sering timbul gejala mirip apendisitis akut
terutama penyakit ginekologis. Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis
apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat.
Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita
biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis
dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit.
IX.

PENATALAKSANAAN
Pada massa periapendikuler yang perdindingannya belum sempurna, dapat terjadi

penyebarran pus ke seluruh rongga peritoneum, jika perforasi, diikuti peritonitis purulenta
generalisata. Oleh karena itu disarankan massa periapendikuler yang masih mobile segera
dioperasi.
Pada massa periapendikuler yang terfiksir dan perdindngan sempurna, pada dewasa
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa dan luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang dan leukosit normal,
(yang disebut stadium afroid) penderita dapat dioperasi elektif 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri dan pembengkakan massa dan kenaikan leukosit.
Apendektomi direncanakan pada infiltrat apendikuler tanpa pus yang ditenangkan.
Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan
anaerob. Baru setelah keadaan tenang yaitu sekitar 6-8 minggu, dilakukan apendektomi. Jika
sudah jadi abses dianjurkan drainase saja. Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika tidak ada keluhan apapun, dan pemerikasaan fisik maupun laboratorium tidak
ada radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

19
Terapi konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat):

Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)

Diet rendah serat

Antibiotika spektrum luas

Metronidazol

Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam,

LED, AL bila baik mobilisasi pulang

Indikasi dilakukan terapi konservatif:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peningkatan nadi pada tahap awal


Demam yang menetap lebih dari 36 jam
Nyeri yang menetap
Peningkatan ukuran massa pada area yang mengalami nyeri tekan
Adanya fluktuasi, atau oedema (namun jarang) dan kemerahan pada kulit
Adanya obstruksi usus yang berat.
Pasien ini dilakukan terapi konservatif dan baru dilakukan appendiktomi setelah 6

minggu. Appendik ditemukan menebal, inflamasi dengan mengalami perlengketan dalam


jaringan peri-appendicular.
Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun
umur). Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi
diindikasikan untuk mengontrol demam.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan apendisitis,
antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian
antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas
diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi
anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan
selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum
dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan
klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol
sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap

20
bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini
lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin
Keputusan pembedahan mudah diambil saat pasien dalam waktu 8-10 hari dengan
nyeri, pembengkakan naik-turun di fossa iliaka kanan, bisa juga terdapat pus dan dapat
dikeluarkan melalui insisi kecil pada tempat yang utama. Masalah pembedahan yang utama
timbul pada pasien pada hari ketiga hingga kedelapan saat appendik telah melekat ke
jaringan sekitarnya yang dapat rusak selama proses appendiktomi yang sulit dengan adanya
kemungkinan perluasan sepsis intraperitoneal. Terapi lain yang dapat diajukan adalah terapi
konservatif atau non-operatif. Idealnya dilakukan saat pasien punya riwayat appendicitis akut
selama tiga hari atau lebih, saat tidak adanya gannguan sistemik dan saat massa local dengan
nyeri tekan terbatas pada fossa iliaka kanan dan saat obstruksi usus tidak ada. Jika tidak ada
indikasi pengobatan konservatif maka dapat dikontrol dengan pemberian cairan intravena dan
gastric suction.
Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc
Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis
akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi
(Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1.

Cutis

6.

MOI

2.

Sub cutis

7.

M. Transversus

3.

Fascia Scarfa

8.

Fascia transversalis

4.

Fascia Camfer

9.

Pre Peritoneum

5.

Aponeurosis MOE

10. Peritoneum

Tekhnik pemasangan drain pada abses appendik pada fossa iliaka kanan:
Adanya pembengkakan terutama disebelah lateral daripada di sisi medial. Lalu dilakukan
insisi kecil. Kemudian melintang jaringan subkutan dan menunjukkan eksternal oblique.
Massa tersebut dipalpasi dengan jari dan area lateral dari pusat pembengkakan tersebut.
Eksternal oblique terbagi langsung dalam seratnya. Internal oblique terbagi melalui seratnya.
Ada dua keuntungan yang bisa didapat dari membelah otot. Pertama, insisi sebesar 4
sentimeter akan dapat adekuat. Kedua, drainase dapat dilakukan secara langsung. Tidak ada

21
aksi katup dari otot untuk bercampur dengan keluarnya pus. Retractors di insersikan dibawah
otot, dan peritoneum, yang sering menebal. Dengan tujuan untuk membuka abses secara
ekstraperitoneal. Jari dapat dimasukkan ke dalam luka dan secara lembut menelusuri ke
lateral dan posterior. Dalam kasus abses yang besar, akan sangat susah melakukannya
sebelum jari kita merasa masuk ke dalam rongga tersebut. Pus dapat dikeluarkan dan
dipasang drain untuk mengeluarkannya melelui lukanya. Jika rongga peritoneum
terbuka,maka harus diperhatikan untuk mencegah pemecahan adhesi yang tidak diperlukan,
terutama pada sisi media.
X.

DIAGNOSA BANDING
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis, ileitis
terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi.
Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista
ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran
kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak.
A. Kelainan Gastrointestinal
1. Cholecystitis akut
2. Divertikel Mackelli, Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus
yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan appendik. Divertikulum dapat
mengalami inflamasi dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau
perforasi, harus ditangani dengan pembedahan.
3. Enterirtis regional
4. Pankreatitis
B. Kelainan Urologi
1. Batu ureter
2. Cystitis
C. Kelainan Obs-gyn
1. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
2. Salphingitis akut (adneksitis), keputihan (+). Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi
kanan dan ovarium terletak dekat appendik. Wanita yang aktif secara seksual dapat
mengalami infeksi yang melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik
sudah cukup, dan pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

22
Periapendikular infiltrat dapat di diagnosis banding dengan carsinoma sekum, dan
pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester 1, gejala berupa nyeri perut, mual,
muntah, dan teraba massa dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada
kehamilan usia ini.
XI.

PROGNOSIS
Prognosis baik jika gejala dapat diketahui secara dini dan gejala segera diatasi.

23

KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. Anindya Bilqis

Umur

: 6 tahun

Alamat

: Karang Anyar Ambulu

Status

: Belum menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

No RM

: 61521

Tgl MRS

: 14-01-2015

Tgl KRS

: 26-01-2015

II. Anamnesa
A. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
B. RPS : Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari yang lalu. Pasien merasa
perutnya nyeri (seperti disayat-sayat), perih, panas terutama di daerah epigastrium, nafsu
makan menurun, mual, muntah, tidak bisa BAB selama 4 hari. Pasien juga mengalami
demam sejak 3 hari yang lalu. Lalu pasien dibawa ke puskesmas, dan diberi obat, namun
tidak merasakan adanya perbaikan dan semakin bertambah rasa sakitnya. Kemudian rasa
sakit tersebut menjalar ke seluruh perut hingga pasien tidak mampu untuk berdiri.
Sejak 2 hari yang lalu pasien merasa sakitnya berpindah terutama di bagian kanan bawah dan
pasien merasa di perut bagian kanan bahwa teraba benjolan keras. Pasien juga merasa mual,
muntah (berwarna kecoklatan), kembung (+), kentut (-) lalu pasien berobat ke RSU
dr.Soebandi.
3 bulan yang lalu pasien pernah dirawat di puskesmas karena keluhan demam dan nyeri
perut.
C. RPD : D. RPO : E. RPK : F. Riwayat Sosio Ekonomi
24

25
Tempat tinggalnya berukuran <50 m2, terdapat 3 kamar tidur, dinding rumah tembok,
lantai keramik. Terdapat kamar mandi. Penghasilan orang tua sebulan kira-kira <
Rp3.000.000. Pekerjaan ayah adalah pegawai negeri dan ibu adalah ibu rumah tangga.
Setiap hari pasien mengkonsumsi makanan yang dimasak oleh ibunya sendiri, makanan
sehari- hari nasi, tahu, tempe, dan lauk pauk lainnya seperti ikan, ayam, daging, telur. Pasien
jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Dalam memasak makanan sehari-hari pasien sering
memakai minyak goreng untuk menggoreng lebih dari satu kali. Pasien juga terkadang jajan
makanan diluar.
G. Anamnesis Sistem
1. Sistem Serebrospinal

III.

: sadar

2. Sistem Kardiovaskular

: tidak ada keluhan

3. Sistem Pernafasan

: tidak ada keluhan

4. Sistem Gastrointestinal

: tidak bisa BAB dan kentut.

5. Sistem Urogenital

:tidak ada keluhan

6. Sistem Integumen

: tidak ada keluhan

7. Sistem Muskuloskeletal

: tidak ada keluhan

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: sedang
Kesadaran

: alert

Status Gizi

BB : 19 kg
TB : 100 cm
BMI:

19

x 100% = 19%

(1,00)2
Status Gizi: Cukup

Vital Sign

26
Tensi : 90/50 mmHg

Kulit

Nadi

96 x/menit

RR

20 x/menit

Suhu :

37,0 0 C

: turgor DBN, ikterik (-)

Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-)

Otot

: dalam batas normal

Tulang

: tidak ada deformitas

Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
o Bentuk: bulat oval, simetris
o Rambut: hitam, lurus
o Mata: konjungtiva anemis -/Sklera ikterik -/Reflek cahaya +/+
o Hidung: sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
o Telinga: sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
o Mulut: sianosis (-), mucosa kering (-)
o Lidah: DBN, lidah kotor (-)
2. Leher
o KGB: pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
o JVP: tidak meningkat
3. Thorax
o Cor: I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak teraba
P: redup di ICS IV PSL dextra ICS V MCL sinistra
A: S1S2 tunggal

27
o Pulmo:
Ventral
I: Simetris, retraksi -/-

Dorsal
I: Simetris, retraksi -/-

P: Fremitus raba +/+

P: Fremitus raba +/+

P: Sonor +/+

P: Sonor +/+

A: Ves +/+, Rh -/-,

A:Ves +/+, Rh -/-,

Wh -/-

Wh -/-

4. Abdomen: I: Cembung
A: BU(-)
P: Nyeri tekan (-), H/L/R tidak teraba, slight distended (+)
P: Tympani , pekak hepar (+)
RT : TSA (+), mukosa licin, feses (-), darah (-), Terasa nyeri di arah jam 9-12
5. Extrimitas
Akral hangat +

Edema

Rovsing sign (+), psoas sign (-), obturator sign (-)


St. Lokalis : R. abdomen:

I : cembung
P : Soepel, nyeri tekan (+) dan teraba massa (+) di titik
Mc.Burney, defans muskular (-)
P : pekak-tympani
A : BU (+) menurun

R. Iliaca (D) : teraba massa padat, kenyal, mobile

A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI

DD: Ca. Caecum

28
P : Infus RL:D5 2:2

NGT :250 cc/7 jam

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

UP : 200 cc/6 jam

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul


Observasi tanda-tanda akut abdomen
Laboratorium:
Hb

: 14,9 gr/dl

Na : 137,2 mmol/L

Lekosit

: 17,7x10/L

K : 3,9 mmol/L

HCT

: 44%

Cl : 101,9 mmol/L

Trombosit : 316x10/L

Ca : 2,53 mmol/L

SGOT

: 13 U/L

Kretinin serum : 1,9 mg/dl

SGPT

: 12 U/L

BUN : 50 mg/dl

GDA

: 210 mg/dl

Asam Urat : 6,9 mg/dl

V. SOAP harian selama MRS


Tanggal 11 juli 2009
S) Nyeri perut, kembung (+), kentut (+)
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi

92 x/menit

RR

24 x/menit

Suhu :

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :

36 0 C

29
COR

I : Iktus cordis tidak tampak


P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal

Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (-)
P: Timpani-pekak, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+)

A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI

DD: Ca. Caecum

P : Infus RL:D5 2:2

NGT :25 cc/ 6 jam, hijau pekat

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

UP : 200 cc/6 jam

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul

evaluasi produksi urin

Laboratorium :
PPT Pasien

: 18 detik

Kontrol

: 12,4 detik

APTT Pasien : 26,1 detik


Kontrol

: 30 detik

GDS

: 159 mg/dl

Tanggal 12 juli 2009


S) Nyeri perut
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang

30
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 120/70 mmHg
Nadi

88 x/menit

RR

24 x/menit

Suhu :

36 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :
COR
I : Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal
Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (-)
P: timpani-pekak, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+)

A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI

DD: Ca. Caecum

P : Infus RL:D5 2:2

NGT :100 cc/6 jam, hijau

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

UP : 800 cc/6 jam

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul


Laboratorium:Albumin : 3,1 gr/dl
Tanggal 13 juli 2009
S) Nyeri perut
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran
Vital Sign

: komposmentis

31
Tensi : 130/80 mmHg
Nadi

88 x/menit

RR

24 x/menit

Suhu :

37 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :
COR
I : Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal
Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (menurun)
P: timpani-pekak, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+)

A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI

DD: Ca. Caecum

P : Puasa
Infus RL:D5 2:2

NGT :25 cc/6 jam, hijau

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

UP : 2400 cc/24 jam

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul


Laporan Operasi Laparotomi dan Appendiktomi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Informed Consent dan Antibiotik Profilaksis


Terlentang dengan General Anasthesia
Desinfeksi dengan Betadine 10%
Incisi Midline
Didapatkan Appendik membubur, pus +/- 250 cc omentum wallinf off ke caecum
Dilakukan appendiktomi dan jahit Tabakzanad
Cuci sampai bersih dengan PZ hangat +/- 5 liter, pasang drain di retrocaecal.

Instruksi Operasi:

32
1.
2.
3.
4.
5.

Infus RL:D5 2:2


Ceftriaxon 2x1 gram
Metronidazol 3x500 mg
Ketorolac 3x30 mg
Ranitidin 2x1 ampul

Laboratorium:
Hb

: 10,9 gr/dl

Na : 139 mmol/L

Lekosit

: 9,9x10/L

: 4,01 mmol/L

HCT

: 33%

Cl

: 110 mmol/L

Trombosit : 269x10/L

Ca

: 2.65 mmol/L

Kreatinin serum : 0,7 mg/dl

Mg : 0,84 mmol/L

Urea

: 53 mg/dl

Asam Urat : 4,6 mg/dl


BUN

: 25 mg/dl

Tanggal 14 juli 2009


S) (-)
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 140/80 mmHg
Nadi

80 x/menit

RR

20 x/menit

Suhu :

36,5 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-

: 1,25 mmol/L

33
Thorak :
COR

I : Iktus cordis tidak tampak


P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal

Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (menurun)
P: Timpani, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-)

Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-)
A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H1
P : Infus RL:D5 2:2

Metronidazol 3x500 mg

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

Minum sedikit2 6x 25 cc

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul

NGT klamp penuh

Injeksi ketorolac 3x30 mg

UP : 1050 cc/12 jam ; drain: 100cc serous

Tanggal 15 juli 2009


S) (-)
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 140/80 mmHg
Nadi

80 x/menit

RR

20 x/menit

Suhu :

37 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :
COR
I : Iktus cordis tidak tampak

34
P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal
Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (+) normal
P: timpani, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-)

Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-)
A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H2
P : Infus RL:D5 2:2

Metronidazol 3x500 mg

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

Aff NGT dan Kateter ; drain: 20cc serous

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul


Injeksi ketorolac 3x30 mg
Tanggal 16 juli 2009
S) (-)
O) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 140/80 mmHg
Nadi

76 x/menit

RR

20 x/menit

Suhu :

36,3 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :
COR
I : Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor

35
A: S1 S2 tunggal
Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak


P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/-

Abdomen :

I: Cembung
A: BU (-)
P: timpani, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-)

Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-)
A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H3
P : Infus RL:D5 2:1

Metronidazol 3x500 mg

Injeksi cefotaxim 3x1 gr

Aff drain

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul


Injeksi ketorolac 3x1 ampul
Tanggal 17 juli 2009
S) (-)
P) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Sedang
Kesadaran

: komposmentis

Vital Sign
Tensi : 140/80 mmHg
Nadi

76 x/menit

RR

22 x/menit

Suhu :

36,3 0 C

Status generalis :
K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :
COR
I : Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
P: Sonor
A: S1 S2 tunggal
Pulmo

I : Tidak ada ketinggalan gerak

36
P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen :

I: Cembung
A: BU (-)
P: timpani, pekak hepar (+)
P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-)

Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-)
A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H4
P : Infus RL:D5 2:1
Injeksi cefotaxim 3x1 gr
Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
Injeksi ketorolac 3x1 ampul

Metronidazol 3x500 mg
Aff hecting selang-seling (+)

You might also like