You are on page 1of 5

1

Waspada Gunung Api


Farisa Humairoh, Winda Eky Susanti, Fitri Ayu Setiawan, Dafit Apria W, Amilatuth Toyyiba, Lathifatur
Rosidah
Jurusan Fisika, FMIPA, Unesa
F.humairoh99@gmail.com

Abstrak Indonesia berada pada jalur cincin api Pasifik yang merupakan rangkaian gunung api aktif di dunia, sehingga
melalui kesuburan tanahnya serta potensi alamnya, aspek sosial, ekonomi dan wisata alam dapat ditingkatkan dengan baik
oleh masyarakat di sekitarnya. Meski demikian,, bencana erupsi gunung berpotensi besar terjadi di Indonesia. Penelitian
menyebutkan tiga ciri utama erupsi gunung api adalah kegempaan, deformasi tanah pada kawah dan pembentukan kubah,
serta fluks gas SO2 yang dapat dipantau menggunakan EDM (Electronic Distance Measurement), tiltmeter, seismograf dan
GPS (Global Position System). Indonesia sudah menggunakan alat pendeteksi erupsi yang memadai sehingga dapat
meminimalisir korban erupsi gunung api. Hal ini terlihat dari status gunung api yang selalu bisa dipantau. Sedangkan
indikator erupsi gunung api yang dapat diamati dari setiap gunung berbeda tergantung pada kandungan gunung api tersebut.
Kata kunci: Cincin Api Pasik, kegempaan, deformasi tanah, fluks SO2,
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terletak di antara
pertemuan tiga lempeng besar tektonik, yaitu: Lempeng
Euro-Asia, Lempeng Australia, dan Lempeng India
sehingga berpotensi besar mengakibatkan bencana
kebumian, seperti gempa bumi tektonik, letusan gunung
berapi, tanah longsor, banjir, dan tsunami (Aiydan, 2008;
Brune et al., 2010; Baeda, 2011; Madlazim, 2011; Safitri,
2014). Senada dengan hal tersebut, Indonesia berada pada
jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) yaitu
jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Sehingga
bencana erupsi gunung api berpotensi besar terjadi pada
negara Indonesia.
Meski demikian suatu gunung api memiliki aspek sosial
dan ekonomis yang penting bagi kemajuan wilayah
sekitarnya. Misal material erupsi Merapi seperti pasir dan
batu yang menjadi penunjang pembangunan di Yogyakarta
dan Jawa Tengah demikian juga halnya dengan produk
pertanian yang dihasilkan di lereng Merapi dan majunya
perkembangan wisata yang mendukung tumbuhnya
ekonomi setempat. Begitu juga dengan manfaat Gunung
Kelud bagi daerah sekitarnya dapat ditinjau dari beberapa
aspek, antara lain aspek wisata dan ekonomi. Aspek wisata
berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan nilainilai alam, misalnya wisata alam dan agrowisata yang
mengembangkan kawasan perkebunan di sekitar Kelud
dan hutan di sepanjang jalan menuju kawah serta wisata
alam di daerah sekitar kawah. Aspek ekonomi dapat
dilihat dari material pasri dan batu hasil letusan dan lahar
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitarnya
sebagai bahan galian golongan C untuk bahan bangunan
(Badan Geologi, 2014).
Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang tinggal di
daerah rawan bencana tersebut seharusnya mempersiapkan
diri untuk menghadapi bencana tersebut sehingga lebih
meminimalisir korban jiwa. Hasil studi dampak bencana
kebumian yang terjadi di beberapa negara oleh Building
Research Institute and National Graduate Institute for
Policy Studies
(BRI dan NGIPS, 2007 dalam
Herlambang, 2014) menyebutkan bahwa korban jiwa
dapat ditekan
seminimal mungkin bila tingkat
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
bencana kebumian yang tinggal di sekitar daerah rawan

bencana cukup tinggi. Masyarakat seharusnya paham


dengan indikator terkait aktivitas magmatik gunung
berapi.
USGS, Al Saafin, Fitriani (2014) menyebutkan bahwa
tanda-tanda suatu erupsi gunung gunung api adalah
kegempaan, deformasi tanah pada kawah dan
pembentukan kubah, serta fluks gas SO2. Selain itu juga
terdapat ciri lain seperti perubahan medan magnet,
perubahan hambatan listrik, perubahan temperatur kawah,
dan perubahan kandungan mata air gunung tersebut.
Pengamatan ketiga ciri utama digunakan untuk
memprediksi erupsi suatu gunung api. Seperti Gunung
Merapi, Gunung Slamet, dan Gunung Sinabung yang
dipantau secara instrumental baik dengan menggunakan
EDM (Electronic Distance Measurement), tiltmeter dan
GPS (Global Position System) untuk memantau deformasi
tanah. Dari paparan di atas, penulis tertarik mengangkat
tema Waspada Gunung Api yang lebih menekankan
pada ciri utama peningkatan aktivitas magmatik.
II. Ciri-Ciri Erupsi Gunung Api
Pergerakan magma dalam erupsi gunung api akan
menyebabkan peningkatan tekanan udara yang disebabkan
oleh peningkatan volume, peningkatan temperatur sumber
air, dan pengeluaran gas. Hal tersebut akan menyebabkan
gempa bumi, deformasi tanah, dan pengeluaran gas (SO2).

Gambar 2.1 Erupsi Gunung Api ( www.usgs.gov)

Pemantauan gunung api sendiri dilakukan secara terus


menerus untuk mengetahui tingkat aktivitas gunung api
sebagai dasar peringatan dini bencana gunung api, dalam

2
upaya meminimalkan jumlah korban jiwa dan kerugian harta
benda. Pada saat memberikan peringatan dini bencana
gunung api, disampaikan pula tingkat aktivitas gunung api
sebagai berikut :
a. Normal
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual dan/atau
instrumental dapat teramati f1uktuasi, tetapi tidak
memperlihatkan peningkatan kegiatan berdasarkan
karakteristik masing-masing gunung api. Ancaman bahaya
berupa gas beracun dapat terjadi di pusat erupsi
berdasarkan karakteristik masing-masing gunungapi.
b. Waspada
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual dan/atau
instrumental mulai teramati atau terekam gejala
peningkatan aktivitas gunungapi. Pada beberapa gunung
api dapat terjadi erupsi, tetapi hanya menimbulkan
ancaman bahaya di sekitar pusat erupsi berdasarkan
karakteristik masing-masing gunungapi.
c. Siaga
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual dan/atau
instrumental teramati peningkatan kegiatan yang semakin
nyata atau dapat berupa erupsi yang mengancam daerah
sekitar pusat erupsi, tetapi tidak mengancam pemukiman
di sekitar gunung api berdasarkan karakteristik masingmasing gunungapi.
d. Awas
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual dan/atau
instrumental teramati peningkatan kegiatan yang semakin
nyata atau dapat berupa erupsi yang mengancam
pemukiman di sekitar gunungapi berdasarkan karakteristik
masing-masing gunungapi. Peringatan dini terhadap
tingkat aktivitas gunungapi kepada masyarakat
dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, disampaikan melalui pemerintah daerah sesuai
dengan prosedur tetap yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Geologi.
Berikut tiga ciri utama erupsi suatu gunung api:
A. Deformasi Tanah
Peristiwa perubahan bentuk (deformasi fisis), baik
bersifat sementara maupun permanen yaitu perubahan fisik
batuan dan lapisan tanah dari kondisi elastik menjadi plastik
(deformasi) sebagai akibat tambahan beban yang berasal
dari energi seismik disebut sebagai deformasi tanah. Bila
tambahan beban energi seismik yang cukup besar tersebut
berlangsung terus menerus (kontinu) atau terakumulasi pada
lokasi tertentu pada selang waktu yang singkat, maka batuan
bisa mengalami retakan dan lapisan tanah bisa mengalami
rekahan atau deformasi permanen (Herlambang, 2014).
Rekahan lapisan tanah bisa terjadi karena ada perambatan
gelombang seismik baik primer maupun sekunder. Saat
merambat melewati medium elastik (batuan dan lapisan
tanah), gelombang seismik membawa energi yang cukup
besar. Energi gelombang seismik ini memberikan tambahan
beban pada batuan dan lapisan tanah yang dilaluinya, di
mana batuan dan lapisan tanah tersebut sebetulnya sudah
mengalami tekanan dari batuan dan lapisan tanah di sekitar
dalam bentuk stres normal dan stres geser.
Nilai modulus elastisitas suatu bahan juga dapat
mempengaruhi seberapa mudah bahan tersebut mengalami
deformasi. Berikut merupakan nilai modulus elastisitas
beberapa bahan yang berkaitan dengan gunung berapi.

Tabel 2.1 Nilai Modulus elastisitas Bahan (Giancoli, 2009)

Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa tanah memiliki


nilai modulus elastisitas yang kecil sehingga mudah
mengalami deformasi. Sebagian besar deformasi tanah
gunung api dapat dideteksi dan diukur dengan menggunakan
metode pengukuran yang presisi, misal menggunakan GPS
dan Tiltmeters.
1. GPS (Global Position System)
The current constellation of satellites menyediakan GPS
(Global Position System) yang digunakan pada lima hingga
delapan satelit yang mengkontrol bumi dalam berbagai sisi.
Melalui GPS, pengamat gunung berapi dapat mengetahui
posisi suatu benda secepat mungkin. Akurasi pengukuran
hingga kurang dari 1 cm yang diberikan GPS sangat penting
dalam mendeteksi peningkatan tegangan dan tekanan yang
disebabkan naiknya magma pada permukaan tanah.
2. Tiltmeter
Tiltmeters pada kawah gunung St. Helens digunakan
untuk memprediksi sembilan erupsi effusif mulai dari Juni
1981 hingga Agustus 1982. (U.S.G.S dalam vulcano
monitoring, ______). Senada dengan hal tersebut, Gunung
berapi di Indonesia juga menggunakan Tiltmeter dan EDM
dalam pengamatan deformasi tanah (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2014).
Deformasi permukaan kawah terjadi mulai beberapa
minggu sebelum erupsi. Semakin tajam pada beberapa hari
kemudian hingga tekanan terjadi. Peningkatan aktivitas
gunung berapi disebabkan oleh pergerakan magma dari
dapur magma menuju kubah lava. Pergerakan tersebut
menyebabkan peningkatan ketinggian kubah lava.
Pergerakan magma dari sumber yang dangkal menyebabkan
kubah mengembang dan akhirnya pecah. Pelepasan tekanan
magma dan bertambahnya ketinggian kubah terjadi hingga
erupsi terjadi.
Pengukuran deformasi tanah dengan tiltmeter sangat
penting dilakukan dalam memprediksi erupsi suatu gunung
berapi. Hal ini dikarenakan tiltmeter dapat menjelaskan
proses magma baru masuk ke dalam dapur magma pada
suatu gunung. Dari gambar 2.2 dapat diamati bahwa
tiltmeter yang dipasang di samping gunung berapi pada
kondisi normal, didapat bahwa sudut kemiringan lereng
dalam kondisi kecil. Sedangkan, ketika magma baru masuk
ke dalam dapur magma, dapur magma mengembung untuk
menyediakan ruang yang lebih besar bagi kumpulan magma
yang baru. Hal ini menyebabkan sisi gunung berapi
menonjol keluar. Kondisi tersebut dapat dianalogikan
dengan proses meledakkan balon, semakin banyak udara
yang dimasukkan semakin besar balon tersebut. Pada
kondisi tersebut, tiltmeter akan terus mencatat sudut
kemiringan lereng gunung tersebut. Hal ini dapat dilihat
pada gambar 2.3.

3
getaran terus menerus terjadi secara beraturan dengan
kedalaman sumber gempa sekitar belasan kilometer; dan (2)
tremor anharmonik, bila getaran terus menerus terjadi secara
tidak beraturan dengan kedalaman sumber gempa bisa
mencapai puluhan kilometer.

Gambar 2.2 Kondisi Normal suatu gunung api

Gambar 2.3 Kondisi gunung api sebelum erupsi

B. Gempa Vulkanik
Aktivitas gempa bumi di bawah gunung berapi hampir
selalu meningkat sebelum letusan. Hal ini dikarenakan jika
magma segar masuk dalam dapur magma, magma baru
akan meningkatkan tekanan di dalam dapur magma
sehingga menyebabkan patahan atau pun getaran batuan di
sekitarnya (proses ini akan menghasilkan gempa bumi) dan
berpotensi membentuk saluran ke permukaan. Berikut
gambar yang dapat menjelaskan proses terjadinya gempa
bumi pada suatu erupsi.

Gambar 2.4 Proses terjadinya Gempa Vulkanik

Peningkatan aktivitas magmatik terjadi karena tekanan dan


temperatur yang sangat tinggi dalam dapur magma menjadi
driving force bagi fluida magma baik dalam bentuk cairan
kental dengan viskositas tinggi maupun gas vulkanik berbagai
jenis. Proses hidrodinamik termal ini serupa dengan gangguan
awal yang diteruskan ke permukaan bumi dalam bentuk
perambatan gelombang seismik melalui lapisan batuan dan
tanah yang dikenal sebagai peningkatan aktivitas magmatik
dan terdeteksi sebagai gempa vulkanik (Nurfitriani, 2014).
Gempa vulkanik sendiri memiliki magnitudo 2 hingga 3
dengan pusat gempa kurang dari 10 km di bawah gunung api.
Sedangkan, Gempa tremor merupakan gempa bumi yang
terus menerus terjadi dalam skala kecil, baik dalam pengertian
skala energi atau kekuatan gempa maupun skala cakupan
wilayah terdampak. Gempa vulkanik jenis ini lebih sering
dikaitkan dengan aktivitas gunung berapi. Gempa tremor
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tremor harmonik, bila

C. Peningkatan Fluks SO2


Magma baik dalam bentuk cairan dengan berbagai
kekentalan dan gas dengan berbagai jenis berada pada lapisan
litosfer dan menempati kantong yang biasa disebut dapur
magma. Dapur magma inilah yang merupakan sumber utama
aktivitas gunung berapi dengan lama aktivitas vulkanik
ditentukan oleh volume magma (cairan dan gas) dalam dapur
magma. Magma dapat bergerak naik mencapai kubah lava dan
permukaan bumi karena tekanan dan temperatur sangat tinggi
dapur magma yang memberikan dorongan yang cukup untuk
melawan gaya berat gravitasi batuan di lapisan atas. Pada
umumnya, kedalaman dapur magma merupakan penyebab
perbedaan kekuatan letusan gunung berapi. Semakin dalam
dapur magma dari permukaan bumi, maka semakin besar
tekanan hidrostatis dapur magma dan semakin kuat pula
letusan yang dihasilkan. Tabel 2.2 berisi klasifikasi letusan
gunung berapi berdasarkan kekuatan letusan yang diukur
melalui Volcanic Explosivity Index (VEI).
Tabel 2.2 Volcanic Explosivity Index

(http://en.wikipedia.org).

Dapur magma sebagai sumber aktivitas magmatik gunung


berapi memberikan kontribusi signifikan, mulai dari proses
pembentukan gunung berapi hingga dampak aktivitas
magmatik. Mekanisme fisis-geologis yang bertanggung jawab
terhadap proses pembentukan gunung berapi adalah sangat
kompleks, namun ujung proses pembentukan gunung berapi
melahirkan tipe gunung berapi: shield volcano, cinder
volcano, dan composite volcano. Setiap tipe gunung berapi
memiliki aktivitas berbeda bergantung pada komposisi dan
temperatur magma, serta kandungan gas terlarut dalam
magma. Ketiga faktor tersebut mempengaruhi mobilitas
magma yang biasa diukur melalui besaran kekentalan
(viscosity). Semakin kental fluida magma, maka magma
semakin sulit mengalir sehingga dibutuhkan energi yang
sangat besar untuk melawan gaya berat gravitasi batuan pada
lapisan permukaan bagian atas. Selain temperatur, kandungan
senyawa silikat (SiO) berperan besar dalam menentukan
kekentalan magma. Proporsi (SiO2) dan gas terlarut terlarut
yang semakin besar akan memberikan efek kekentalan lebih
besar pada magma cair.
Tabel 2.3 memberikan klasifikasi gunung api berdasarkan
kandungan silikat, kandungan gas terlarut, dan kekentalan
magma. Composite volcanoes cenderung memiliki magma

4
yang sangat kental dan oleh karena itu membutuhkan energi
dorong yang lebih besar untuk melepaskan sebagian besar
material vulkanik dari dalam magma saat letusan terjadi.
Tabel 2.3 Nilai Kandungan silikat pada gunung berapi

dapat
dibedakan
berdasarkan
kandungan
SO2,
mengakibatkan tidak semua erupsi gunung api memberikan
indikator pengingkatan SO2 yang menonjol.
Selain ketiga faktor tersebut salah satu faktor penentu
atifitas gunung berapi ditentukan oleh suhu kawah, dimana
bedasarkan suku tersebut dapat di tentukan status gunung.
Adapun batasan suhu untuk menentukan status adalah
sebagai berikut
Tabel 2.4 Data Suhu Sebagai Penentu Status Gunung

( Sumber data : Pusat Vulacanologi Dan Mitigasi Bencana


Geologi Badan Geologi Departemen Energi Dan Sumber Daya
Mineral Gunung Kelud.
Website:http://portal.vsi.esdm.go.id)

Gambar 2.5 Jenis Gunung Berapi berdasarkan nilai VEI

Skala gunung berapi pada gambar di atas, menunjukkan


bahwa kekuatan erupsi suatu gunung api dipengaruhi oleh
nilai VEI. Sedangkan nilai VEI juga dipengaruhi oleh
kandungan magma dalam gunung berapi tersebut. Gunung
berapi tipe composite volcano dipengaruhi oleh karakteristik
magma dengan kekentalan tinggi dan banyak mengandung
senyawa silikat dan gas terlarut (uap air, CO2 dan SO2).
Dengan letusan sangat eksplosif dan plume yang mencapai
ketinggian lebih dari 50 km, maka peluang emisi gas
vulkanik khususnya gas beracun SO2 untuk mencapai
lapisan atmosfer bagian atas menjadi terbuka. Cakupan luas
wilayah terdampak bencana letusan gunung berapi juga
akan semakin luas, karena distribusi gas beracun SO 2
menjadi lebih mudah. Efek berantai akibat peningkatan
kadar gas sulfur di atmosfer lokal maupun regional menjadi
sesuatu yang tidak bisa dihindari, dan kondisi iklim baik
dalam skala lokal, regional, maupun global akan
terpengaruh. Situasi seperti itu sering dikenal sebagai
disaster-induced global climate. Jenis gunung api yang

III. STUDI KASUS PREKURSOR GUNUNG BERAPI


A. Gunung Sinabung
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2014)
menyatakan bahwa jumlah harian kegempaan selama
periode 12 19 September 2014. Gempa yang terekam
adalah Gempa Guguran, Vulkanik Dalam (VA), Low
Frequency (LF), Tektonik Lokal (TL), Tektonik Jauh (TJ),
dan Getaran Tremor Gempa Guguran yang berkaitan dengan
ketidakstabilan kubah lava-lidah lava rata-rata terekam
sebanyak 110 kejadian/hari, meningkat dari periode 5 11
September 2014 yang rata-rata terekam 96 kejadian/hari.
Gempa Vulkanik Dalam (VA), yang mengindikasikan
adanya tekanan akibat intrusi magma, rata-rata terekam
sebanyak 1 kejadian/hari, menurun dari periode sebelumnya.
Gempa Low Frequency (LF), yang mengindikasikan adanya
aliran fluida, rata-rata terekam sebanyak 75 kejadian/hari,
hampir sama dengan periode sebelumnya. Tremor menerus
masih terekam dengan amplituda bervariasi antara 1 - 88
mm (rata-rata dominan 2 mm).
Hasil pengamatan deformasi dengan tiltmeter kontinyu di
stasiun Sukanalu, pada periode 12 20 September 2014
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Setelah
terjadinya erupsi dengan durasi yang cukup lama pada
tanggal 11 - 18 Januari 2014, fluks SO2 cukup tinggi dan
berfluktuasi sedikit yaitu berkisar 1.234 3.796 ton/hari,
setelah itu menurun hingga 1.234 ton/hari. Pada periode 12
19 September 2014 fluks SO2 tidak dapat diukur karena
kendala cuaca.
Jadi dari studi kasus prekursor gunung Sinabung di dapat
indikator proses erupsi gunung api yang paling utama adalah
gempa vulkanik dan fluks SO2, sedangkan indikator
deformasi tanah relatif konstan.
B. Gunung Kelud
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(2014) menyatakan bahwa peningkatan jumlah kegempaan
yang terjadi di gunung Kelud teramati sejak bulan Januari
2014, yang didominasi oleh Gempa Vulkanik Dangkal
(VB) dan Vulkanik Dalam (VA). Berdasarkan peningkatan
kegempaan vulkanik yang cukup signifikan tersebut, status
G. Kelud dinaikkan dari Normal (Level I) menjadi
Waspada (Level II) pada tanggal 2 Februari 2014. Pada
tanggal 10 Februari 2014, status aktivitas dinaikkan
menjadi Siaga (Level III). Pada tanggal 13 Februari 2014

5
pukul 21:15 WIB, status aktivitas dinaikkan menjadi Awas
(Level IV). Pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 11.00
WIB, status aktivitas diturunkan menjadi Siaga (Level III).
Setelah terjadi erupsi besar pada 13 Februari 2014, fuks
SO2 relatif kecil. Hasil pengukuran fluks SO2
menggunakan mini DIOS dalam periode 17 26 Februari
2014 dalam kisaran 4,71 89,3 ton/hari. Secara umum
nilai fluks gas SO2 yang keluar dari kawah gunung Keud
hasil erupsi 13 Februari 2014 adalah relatif kecil dan
cenderung menurun.
Deformasi dengan Tiltmeter di gunung Kelud dipasang
kembali tanggal 21 Februari 2014 di stasiun pedot kurang
lebih berjarak 1,5 km dari kawah. Hasil pengamatan
Tiltmeter menunjukkan peningkatan meski dalam skala
kecil.
Jadi dari studi kasus prekursor gunung Kelud di dapat
indikator proses erupsi gunung api yang paling utama
adalah gempa vulkanik. Untuk indikator fluks SO 2
nilainya relatif kecil, sedangkan indikator deformasi tanah
menunjukkan peningkatan meski dalam skala kecil.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tanda erupsi gunung berapi dapat dilihat
dari peningkatan frekuensi gempa vulkanik, deformasi
tanah, dan fluks SO2. Alat pendeteksi erupsi di Indonesia
sudah memadai sehingga dapat meminimalisir korban erupsi
gunung api. Hal ini terlihat dari status gunung api yang
selalu bisa dipantau.

PUSTAKA
Giancoli, D. C., 2009. Physics for Scientists and Engineers with
Modern Physics, 4th ed. Pearson Prentice Hall. New Jersey, US.
Herlambang, Muhammad Andy. 2014. Simulasi Monitoring
Deformasi Tanah Sebagai Indikator Bahaya Letusan Gunung
Api Untuk Pengambiulan Keputusan Darurat Bencana. Skripsi.
Universitas Negeri Surabaya.
Nurfitriani, Dewi Indah. 2014. Animatoring Frekuensi Gempa
Bumi Vulkanik Dengan Memanfaatkan Simulasi Bencana
Letusan Gunung Api Untuk Melatihkan Keterampilan
Mengambil Keputusan Sebagai Basis Tindakan Evakuasi
Penduduk. Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.
Safitri, Aprilian Eka. 2014. Simulasi Monitoring Emisi Gas SO2
Sebagai Indikator Bahaya Letusan Gunung Api Untuk
Melatihkan kemampuan mengambil Keputusan Dalam
merancang Tindakan Evakuasi. Skripsi. Universitas Negeri
Surabaya.
Internet:
[1] Badan Geologi. Data Gunung Api. 2014. Website:
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasargunungapi/538-g-kelud diakses pada tanggal 4 Novemver
2014.
[2] Handout Gunung Api. Malik Yakub. ________. Website:
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.END.GEOGRAFI.Han
doutGunungApi.pdf
[3] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana. Pemantauan
Aktivitas Gunung Sinabung dan Gunung Kelud. 2014. Website:
Geologihttp://mediacenter.or.id/respon2/reports/view/275#.VF
xNDjSUd8M. diakses pada tanggal 6 Novemer 2014.
[4] USGS. Vulcano Monitoring. ______.
Website:
www.usgs.gov. Diakses pada tanggal 1 November 2014.
[5] Volcanic
Explosivity
Index.
______.
Website:
http://en.wikipedia.org.

You might also like