You are on page 1of 20

Jakarta - Para pelaku usaha siap-siap saja untuk mengganti nama merek

dagangnya jika menggunakan bahasa asing. Sebentar lagi, pemerintah akan


melarang penggunaan bahasa asing di ruang publik. Baik itu nama kompleks
perumahan, iklan, nama gedung atau bangunan, petunjuk penggunaan barang,
merek dagang dan lain-lain. Pelarangan ini tertuang dalam draf RUU Bahasa yang
kini tengah dibahas oleh Balitbang Depdiknas. Dalam waktu dekat, draf RUU ini
akan didiskusikan antardepartemen dan ditargetkan segera dibawa ke DPR dan
disahkan tahun 2007 mendatang. Dari draf yang diterima detikcom, Jumat
(6/1/2006), RUU ini terdiri dari 10 bab dan 22 pasal. Disebutkan, a (jon/)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser


ponsel anda!

Ini serius apa enggak sih ya?


Rrrr, MUI bakalan protes ngga kira-kira? Itu stempel halal sama tulisan
kaligrafi di masjid pegimana nasibnya?
Pastor bakalan kelimpungan ngga? Itu di gereja khan banyak bahasa latinnya, di
kaca lagi! Itu tulisan INRI diatas salib diganti jadi apa dong?
Atau, kali tempat ibadah tidak termasuk tempat publik ya. Lha restoran halal
pegimana?
Lha itu BCA ganti nama jadi apa dong, Bang Samiun kali ya, kyahahaha. Adooh
reseh dah!
===
===
Dilarang, Penggunaaan Bahasa Asing di Ruang Publik
Penulis: Iis Zatnika
JAKARTA--MIOL:
Pemerintah akan melarang penggunaan bahasa asing dalam
ruang publik, baik itu dalam reklame, nama gedung,
merek dagang maupun media massa. Pelanggaran akan
beresiko pada pencabutan izin usaha. Kepala Pusat
Bahasa Depdiknas Dendy Sugono mengungkapkan hal itu
kepada Media di Jakarta, Kamis (5/1).
Dendy menuturkan, aturan itu termuat dalam draft
akademik RUU Bahasa yang kini telah diserahkan Pusat
Bahasa ke Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Selanjutnya, akan
didiskusikan antar departemen, termasuk ahli hukum dan ekonomi. RUU itu
ditargetkan akan disahkan pada 2007 mendatang.
"UU ini nantinya akan sangat berpengaruh pada pelaku
usaha. Catatan terpenting pada UU ini adalah
penggantian semua bahasa asing yang digunakan dalam
ruang publik, termasuk nama gedung, reklame dan media
luar ruang lainnya," kata Dendy.
Istilah bahasa asing, lanjut Dendy, tetap dapat
digunakan. Namun, terjemahan Bahasa Indonesianya harus

ditulis dengan ukuran huruf yang lebih besar.


Sedangkan istilah bahasa asing ditulis di bawah,
dengan ukuran lebih kecil. Langkah itu dipandang
sebagai solusi yang paling tepat untuk mengatasi
penggunaan bahasa asing yang terlanjur marak.
Dendy menjelaskan, nantinya seluruh reklame, nama
gedung, iklan di media massa yang sebelumnya terlanjur
dalam bahasa asing akan ditulis dalam dua bahasa.
Pusat Bahasa Depdiknas, yang memiliki kantor di tiap
propinsi akan menyediakan layanan pencarian padanan
kata yang tepat.
"Ini adalah jalan tengah untuk mereka yang mengatakan
bahwa bahasa asing, terutama bahasa Inggris
mencerminkan globalisasi. Jadi nantinya yang ada
adalah Istilah Kawasan Perdagangan A atau B, bukan
square atau trade centre," ujar Dendy.
Bahasa Indonesia, kata Dendy, tidak hanya wajib
digunakan oleh kalangan pengusaha, namun juga di dunia pendidikan,
pemerintahan dan media massa. Bahasa Indonesia harus menjadi prioritas atau
arus utama. "Yang harus dilakukan adalah pengarusutamaan, bagaimana
Bahasa Indonesia menjadi prioritas dan juga kebanggaan kita. Seperti yang
terjadi di Jepang dan Korea, kita lihat jarang sekali ada reklame berbahasa
asing," kata Dendy.
Kendati begitu, lanjut Dendy, aturan itu tidak akan
menghalangi penguasaan bahasa asing, termasuk Bahasa
Inggris sebagai kunci sukses untuk memasuki
globalisasi. Pemerintah tidak akan pernah melarang
pengajaran bahasa asing. Namun, diharapkan sekolah
juga menempatkan penguasaan dan penggunaan Bahasa
Indonesia sama pentingnya dengan bahasa asing.
Dendy juga mengingatkan, kerancuan bahasa juga telah
memasuki kalangan pers. Sejumlah media massa, baik itu
cetak maupun elektronik, telah mengabaikan kaidah
bahasa. Dendy mencontohkan, sebuah stasiun televisi
swasta yang menamakan semua mata acaranya dengan
Bahasa Inggris, padahal programnya dibawakan dalam
Bahasa Indonesia.
"Ini menceminkan minimnya kepercayaan diri kita pada
jati diri bangsa. Padahal, bahasa adalah salah satu
penghalang dari rembesan pengaruh budaya global pada nilai-nilai lokal.
Kita akan atur dengan tegas masalah ini," kata Dendy.
Dendy juga menjelaskan, merek dagang internasional,
tidak akan dikenai aturan ini. Mereka yang berafiliasi
dengan asing, tetap berhak menggunakan merek dagangnya
yang memang bersifat global. Namun, pengecualian ini
tak berlaku untuk merek lokal yang sengaja dinamai
asing hanya karena alasan komersil.
Pemerintah, lanjut Dendy, akan memberikan masa
transisi selama dua tahun setelah UU itu ditetapkan.
Tujuannya, meminimalisir resistensi serta beban
ekonomi bagi pengusaha.

Dendy menjamin, aturan itu tidak akan mengulang


kebijakan penerjemahan bahasa asing ke dalam Bahasa
Indonesia seperti yang pernah terjadi pada masa Orde
Baru 1995 hingga 1997. Pasalnya, aturan itu hanya
berupa himbauan dari Presiden. Sehingga ketika rezim
Orba lengser, himbauan itu tak lagi dipatuhi.
"Sekarang ini kan dasarnya jelas, pasal 32 UUD kita.
Aturannya juga berbentuk UU. Sanksinya juga jelas,
hingga pencabutan izin usaha, yang tentunya akan kita
awali dengan surat teguran dahulu," kata Dendy.
Selain mengajukan inisiatif RUU Bahasa, Dendy juga
menuturkan pihaknya tengah mempersiapkan deklarasi
cinta Bahasa Indonesia. Acara itu akan digelar pada 1
Mei mendatang, bertepatan dengan Hari Pendidikan
Nasional. Deklarasi itu akan dihadiri seluruh pejabat
tinggi negara, termasuk Presiden. Mereka akan
mendeklarasikan komitmen seluruh jajaran pemerintah
untuk mengarusutamakan Bahasa Indonesia di lingkungan
birokrat.
Komitmen itu, kata Dendy, menjadi langkah paling
strategis untuk menyelamatkan kondisi Bahasa Indonesia
yang kian memprihatinkan. Selain tata bahasa tak lagi diindahkan, serbuan
bahasa asing pun kian memperlemah eksistensi Bahasa Indonesia.
Praktisi periklanan Tsu Beni, secara terpisah,
mengungkapkan dalam jangka pendek aturan ini memang
akan menimbulkan biaya tambahan bagi para pengusaha.
Mereka harus mengganti seluruh perangkat promosi
termasuk media luar ruang, yang nilainya jelas tak
sedikit. Namun, dalam jangka panjang, langkah ini akan menimbulkan dampak
posisif pada citra bangsa Indonesia.
"Ada TV bermerek dagang flatron, di Korea diadaptasi
jadi platon, pasar disana fanatik dengan lafal bahasa
mereka. Dunia internasional pun respek pada
konsistensi pasar di sana, citra bangsa mereka pun
terangkat, mereka punya martabat, akhirnya produk
mereka juga," kata Tsu. (OL-1)

Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tandatanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai.
Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya
pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan
kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang,
bisa mati kutu. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan
gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.
Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan
menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha
yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa kena
batu-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini konon disebutkan pula

pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan
diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.
Berikut ini adalah beberapa pasal dalam RUU Bahasa yang dinilai menjadi biang penyebab
alotnya pengesahan UU Bahasa.

Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri
maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal
9 ayat 2)

Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan.
(pasal 11)

Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk


penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)

Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa


Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)

Menyikapi pasal-pasal dalam RUU Bahasa yang demikian krusial, reaksi yang keras justru
muncul dari kalangan linguis. Jos Daniel Parera, mantan dosen IKIP Jakarta, misalnya, menilai
RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa
dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam. Oleh karena itu, tidak ada seorang
manusia pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa. Pakar linguistik yang selalu
kritis terhadap keberadaan Pusat Bahasa ini justru mengusulkan agar Pusat Bahasa dibubarkan
dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen.
Sainul Hermawan, pengajar Ilmu Budaya Dasar FKIP UNLAM, Banjarmasin, menilai bahwa
UU Bahasa akan senasib dengan UU yang lain, seperti UU Kekerasan dalam Rumah Tangga
yang berbenturan dengan kultur keluarga di Indonesia yang malu menceritakan aib dalam
keluarga. Atau, juga tak jauh berbeda dengan nasib UU Lalu Lintas dan UU Hak Cipta yang
tidak lebih dari sebuah pajangan. Yang bermain adalah tangan-tangan kekuasaan tunggal dan
tradisi bungkam serta saling memanfaatkan.
Sementara itu, Ariel Heryanto, menyatakan kalau RUU Bahasa lebih didorong oleh keprihatinan
atas jumlah dan cara pemakaian istilah-istilah Inggris secara obral dan serampangan, UU Bahasa
agaknya bisa diterima sebagai perwujudan sikap nasionalis. Namun, kalau motifnya sebagai
media pengekangan terhadap kebebasan seseorang dalam berekspresi, yak, tunggu dulu! Bisa
jadi masih banyak pendapat lain yang tidak setuju apabila UU Bahasa disahkan. *Aduh, repot
juga, nih!*
Menyikapi berbagai reaksi yang muncul, guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, Harimurti
Kridalaksana, mengatakan, undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa
dalam tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif

karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, pernyataan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mustakim, Kepala Bidang
Pembinaan Pusat Bahasa Depdiknas. Dia mengatakan bahwa nantinya akan ada sanksi bagi
penggunaan bahasa asing di tempat umum dan sekolah standar internasional yang menggunaan
bahasa asing sebagai bahasa pengantar. *Walah, makin repot dan mana nih pernyataan yang
benar? *
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang
dalam berekspresi. Ekspresi inheren dengan gaya dan
kepribadian seseorang yang sangat personal sifatnya. Kalau
kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu lantas diatur
dan dibatasi oleh UU, lantas di mana lagi hakikat manusia
sebagai makhluk sosial mesti diposisikan? Bukankah (hampir)
setiap ruang dan waktu kita butuh berkomunikasi dengan
sesama? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur
dan kebiasaan seseorang. Jangan-jangan, rakyat Indonesia
nanti kehilangan sikap ramah dan cenderung menjadi pendiam
setelah UU Bahasa disahkan. Daripada terkena sanksi?
Okelah, kalau memang sikap nasionalisme kita akan lebih dipertajam lewat UU Bahasa.
Agaknya anak-anak bangsa negeri ini memang perlu diingatkan bahwa sejarah kita telah
mencatat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sejak 79 tahun yang silam. Kecintaan dan
kebanggaan terhadap bahasa nasional perlu terus dibangkitkan dan dihidupkan dari generasi ke
generasi. Meskipun demikian, tidak lantas berarti kita kehilangan kearifan dengan menghalanghalangi seseorang untuk bebas berekspresi dan bertutur sesuai dengan kultur mereka.
UU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal yang lebih
khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di lingkungan elite pejabat, atau di
tempat dan ruang tertentu yang bisa melunturkan kecintaan dan kebanggaan seseorang terhadap
bahasa Indonesia apabila bertutur dengan bahasa gado-gado. Selebihnya, berikan kebebasan
kepada siapa pun yang menjadi penghuni negeri ini untuk bertutur sesuai dengan kebiasaan dan
kultur mereka masing-masing.
Kalau setiap berbahasa di ruang publik mesti dikontrol, lantas siapakah nanti yang akan menjadi
pengawasnya? Kalau memang ada, siapkah mereka bertugas 24 jam non-stop untuk mengontrol
dan mengawasi setiap tuturan yang meluncur di ruang publik?
Pengalaman selama rezim Orde Baru berkuasa menunjukkan, justru yang miskin memberikan
keteladanan dalam berbahasa di ruang publik adalah para elite pejabat. Mereka yang seharusnya
menjadi patron teladan bagi rakyat dalam berbahasa justru terkesan seenaknya dalam
berbahasa. Ironisnya, hal itu ditiru dengan sikap latah oleh bawahannya sebagai bentuk
penghormatan kepada atasan. Sebuah contoh sikap yang masih menggejala di tengah-tengah
lingkungan masyarakat paternalistis.

Sebelum disahkan, sebaiknya RUU Bahasa dikaji lebih cermat. Jika perlu, lakukan uji publik
dengan melibatkan berbagai komponen bangsa agar kelak UU Bahasa benar-benar menjadi milik
bangsa. Nah, bagaimana? ***

by Gumono in Sosiolinguistik

Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara. Dengan kedudukan itu,


maka bahasa Indonesia digunakan pada administrasi kenegaraan, pidato resmi kenegaraan,
peraturan perundang-undangan, dokumen kenegaraan, piagam kerjasama, nama intansi/lembaga,
merek dagang, pelayanan kepada masyarakat, pertemuan, rapat, sidang, konferensi, dan
sebagainya.
Bahasa Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, yang dibuktikan dengan
pemberian ruang khusus bagi bahasa Indonesia, terutama pada ruang publik, dengan cara
memberi tempat istimewa untuk bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lainnya.
Terpaan gelombang besar globalisasi mempengaruhi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Bahasa asing misalnya bahasa inggris secara bebas mewarnai setiap satu kata bahkan kalimat
pada setiap reklame yang ditempatkan dijalan-jalan pada negeri ini. Kita seakan membiarkan
kondisi ini berlanjut begitu saja, kalaupun sudah ada upaya dari Pusat Bahasa Depdiknas untuk
membuat RUU Kebahasaan, hal itu masih terkendala sebut saja oleh kebijakan.
Pemerintah seakan enggan meligitimasi kehadiran RUU kebahasaan, kengganan itu berimbas
terhadap lahirnya asumsi di tengah masyarakat bahwa UU Bahasa itu tidak penting, menghambat
kreativitas, dan serentetetan kata lain yang pada akhirnya menyebar menjadi sebuah ungkapan
menolak lahirnya UU Kebahasaan.
Para linguis pun menyingkapi pasal-pasal dalam RUU Bahasa dengan tanggapan yang hampir
sama dengan masyarakat biasa. Jos Daniel Parera, mantan dosen IKIP Jakarta, misalnya, menilai
RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa
dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam, oleh karena itu tidak ada manusia
pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa.

Harimurti Kridalaksana, mengatakan, undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur


penggunaan bahasa dalam tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak
akan berlaku efektif karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini memberi syarat bahwa, bahasa Indonesia di ruang publik akan kita nikmati apa
adanya, jika masyarakat tidak di beri pemahaman tentang begitu pentingnya mempertahankan
keutuhan bahasa Indonesia. Tiga jenis bahasa yang ada di Indonesia, yaitu bahasa Indonesia,
bahasa daerah dan bahasa asing saling memberi warna. Bahasa daerah mewarnai penggunaan
bahasa Indonesia dalam aspek budaya atau nilai rasa, sedangkan bahasa asing mewarnai
penggunaan bahasa Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta di bidang
Ekonomi khususnya Perniagaan. Akan tetapi yang patut dipertegas lagi adalah bagaimana setiap
warna yang hadir itu tidak menenggelamkan eksistensi bahasa Indonesia.
Pemerintah daerah sebagai perpanjangantangan pemerintah pusat, harus turut serta dalam
menyosialisasikan bahasa Indonesia. Peran serta itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata,
misalnya dengan menumbuhkan kesadaran aparatur untuk senantiasa menggunakan bahasa
Indonesia yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Baik dalam naskah dinas, maupun

komunikasi lisan selama berada di lingkungan kantor tempat ia bekerja.


Naskah dinas yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusar atau daerah menjadi cerminan bagi
masyarakat, karena dari naskah dinas itulah pemahaman awal tentang standarisasi penggunaan
bahasa Indonesia di pemerintahan daerah setempat dapat diukur. Selain itu, pada ruang publik
pun diperlukan langkah kongkrit pemegang kebijakan di daerah untuk menindak tegas pelaku
kesalahan berbahasa. Terutama bahasa Indonesia yang digunakan pada merek toko, pusat
berbelanjaan, dan kantor.
Penertiban kesalahan berbahasa di ruang publik menjadi tugas pemerintah. Pemerintah pusat
dalam hal ini Pusat Bahasa telah berupaya untuk membuat RUU kebahasaan, kehadiran RUU
Kebahasaan itu, harus didukung pula oleh pemerintah daerah. Dukungan nyata terhadap RUU
Kebahasaan itu harus diperkuat dengan membuat RAPERDA (Rancangan Peraturan Daerah)
Kebahasaan yang mengatur tentang penggunaan bahasa di ruang Publik. Dua mata rantai yang
saling berhubungan, yang menuntut upaya keras untuk menjadikan RUU Kebahasaan menjadi
UU Kebahasaan, dan diikuti setelah itu dengan diterbitkan peraturan daerah tentang kebahasaan.

Keprihatinan kita ketika melihat merek toko, kantor, dan hotel yang lebih cenderung
menggunakan bahasa asing, padahal padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Istilah
bahasa asing tetap dapat digunakan, namun, terjemahan Bahasa Indonesianya harus ditulis
dengan ukuran huruf yang lebih besar. Sedangkan istilah bahasa asing ditulis di bawahya dengan
ukuran yang lebih kecil.
RUU Kebahasaan dan jika ada RAPERDA Kebahasaan harus memiliki ketegasan dalam
pemberian saksi terhadap pelanggaran penggunaan bahasa. Menurut Prof. Dr. Melani Budianta
dari segi pengawasan, pengaturan dan pemberian sanksi RUU Bahasa membangun suasana
represif. Sebaliknya, ketidakmampuan mengimplementasikan aturan akan membuat sia-sia. Jika
RUU Bahasa menjadi pilihan, orientasi sebaiknya pada pengembangan bahasa secara positif dan
proaktif (dari pada penekanan pada pemagaran). Pemberlakuan Undang-Undang Bahasa juga
perlu dibarengi pendidikan bahasa Indonesia yang lebih baik.
Dengan mengambil langkah strategik dalam penyelamatan bahasa, secara langsung kita juga
telah membantu meminimalisasi terjadinya pergeseran bahasa. Pergeseran yang disebabkan oleh
mulai ditinggalkannya bahasa oleh para anggota suatu masyarakat. Bukan tidak mungkin bahasa
Indonesia akan ditinggalkan penuturnya, jika tidak ada upaya penyelamatan. Bangsa ini adalah
bangsa yang cerdas, karena bangsa ini memiliki bahasa pemersatuan yaitu Bahasa Indonesia.
(Artikel ini ditulis dan disajikan oleh H. Hasan Kasyim, S.H. Asisten II Setda Provinsi Jambi
pada Kongres Bahasa 2008 di Hotel Bidakara Jakarta)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR...... TAHUN....
TENTANG
KEBAHASAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang:
a. bahwa keberagaman bahasa di Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sehingga
perlu dijaga kedinamisan dan kelestariannya, serta keharmonisan hubungan antar penggunanya
untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi jiwa Sumpah Pemuda dan

Pembukaan UUD 1945;


b. bahwa pengembangan dan pemanfaatan potensi keanekaragaman bahasa perlu dimaksimalkan
untuk mempertinggi daya serap dan daya ungkap bangsa terhadap nilai luhur budaya bangsa,
ilmu pengetahuan. teknologi, dan seni dalam upaya membentuk watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kebahasaan.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 32 ayat (2), Pasal 36, Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEBAHASAAN

[sunting] BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang yang dimaksud dengan:
1. Kebahasaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Bahasa negara adalah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam
penyelenggaraan negara, interaksi sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
3. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi intradaerah dan atau
intrakelompok masyarakat di samping bahasa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 4. Bahasa asing adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
5. Media massa adalah sarana informasi dan komunikasi untuk umum dalam bentuk cetak,
elektronik, atau bentuk lain.
6. Masyarakat adalah warga negara Indonesia, baik orang perseorangan maupun kelompok
orang, serta badan hukum yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan/atau bahasa
asing.
7. Forum resmi adalah sidang atau pertemuan formal yang melibatkan khalayak untuk bertukar
pikiran.
8. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
9. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota.
Pasal 2
(1) Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.

(2) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain bahasa Indonesia dan bahasa asing, berkedudukan sebagai
bahasa daerah.
(3) Bahasa-bahasa di Indonesia, selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah, berkedudukan
sebagai bahasa asing.
Pasal 3
(1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional,
jati diri bangsa, sarana pemersatu berbagai kelompok etnik, dan sarana komunikasi antardaerah
dan antar budaya daerah.
(2) Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan dan
pemerintahan, lembaga pendidikan, pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta seni, dan bahasa resmi media massa.
(3) Bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai sarana pengungkapan sastra Indonesia serta
pemerkaya bahasa dan sastra daerah.
Pasal 4
(1) Bahasa daerah berfungsi sebagai jati diri daerah, kebanggaan daerah, dan sarana
pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah.
(2) Bahasa daerah dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat
daerah serta bahasa media massa lokal, sarana pendukung bahasa Indonesia, dan sumber
pengembangan bahasa Indonesia.
Pasal 5
Bahasa asing dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi antarbangsa, sarana penguasaan
teknologi dan seni, sarana pendukung bahasa Indonesia, dan sumber pengembangan bahasa
Indonesia.

[sunting] BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 6
Masyarakat berhak:
a. memperoleh layanan publik dalam bahasa Indonesia dari instansi pemerintah dan/atau
nonpemerintah;
b. memilih bahasa sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5; dan
c. memberikan masukan kepada Pemerintah dan atau pemerintah daerah dalam upaya
menentukan kebijakan tentang bahasa.
Pasal 7 (1) Masyarakat berkewajiban:
a. menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sesuai dengan kedudukan dan fungsi bahasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5; dan


b. memberikan dukungan untuk pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa
daerah.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa sikap positif dan sumber
daya.
Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 8
(1) Pemerintah berhak mengatur penggunaan bahasa-bahasa di Indonesia sesuai dengan
kedudukan dan fungsi bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal
5.
(2) Pemerintah daerah. sesuai dengan kewenangannya, berhak mengatur penggunaan.
pengembangan, dan pembinaan bahasa daerah di wilayahnya, sesuai dengan kedudukan dan
fungsi bahasa daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4.
Pasal 9
(1) Pemerintah berkewajiban:
a. mengembangkan bahasa Indonesia; dan
b. membina masyarakat agar mampu dan bangga berbahasa Indonesia.
(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban:
a. memberi dukungan kepada Pemerintah dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. membina masyarakat di wilayahnya agar mampu dan bangga berbahasa Indonesia; dan
c. melestarikan bahasa daerah di wilayahnya.
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban: a. memajukan
pengajaran bahasa Indonesia dalam upaya meningkatkan kemampuan daya ungkap dan
memperkukuh jati diri bangsa;
b. mengembangkan dan membina bahasa daerah;
c. memelihara bahasa daerah yang hampir punah sebagai kekayaan budaya nasional dan sumber
pengembangan bahasa Indonesia;
d. memajukan pengajaran bahasa daerah dalam upaya melestarikan nilai-nilai budaya bangsa;
e. memajukan pengajaran bahasa asing dalam upaya meningkatkan penguasaan Ilmu
pengetahuan, teknologi,dan seni serta meningkatkan daya saing bangsa.

[sunting] BAB III


PENGGUNAAN BAHASA
Pasal 11
Bahasa Indonesia digunakan dalam dokumen resmi, pidato kenegaraan, forum resmi, komunikasi
resmi, penulisan dan publikasi karya ilmiah, proses pendidikan, media massa, serta dalam

penamaan bangunan, kompleks, jalan, lembaga, merek dagang, dan tempat layanan umum. Pasal
12 Dokumen resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 merupakan dokumen yang
dikeluarkan oleh lembaga Pemerintah dan tembaga berbadan hukum Indonesia. Pasal 13 (1)
Pidato kenegaraan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang disampaikan di dalam negeri atau di
luar negeri wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Pidato pejabat pemerintah yang
disampaikan di dalam negeri wajib menggunakan bahasa Indonesia. (3) Pidato sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) yang disampaikan dalam forum internasional wajib disertai
dengan terjemahan dalam bahasa asing.
Pasal 14 (1) Forum resmi yang bersifat nasional di Indonesia wajib menggunakan bahasa
Indonesia. (2) Forum resmi yang bersifat kedaerahan di Indonesia dapat menggunakan bahasa
daerah. (3) Forum resmi yang bersifat internasional di Indonesia dapat menggunakan bahasa
asing. (4) Forum resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak
termasuk kegiatan ibadah keagamaan, adat-istiadat, dan/atau kesenian yang ada di Indonesia.
Pasal 15 (1) Komunikasi resmi di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan lembaga
nonpemerintah wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Komunikasi resmi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan lembaga internasional, lembaga pemerintahan asing, dan tamu
dari negara lain dapat menggunakan bahasa asing. Pasal 16 (1) Penulisan dan publikasi karya
ilmiah di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Penulisan dan publikasi karya
ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan dan kajian khusus dapat menggunakan
bahasa daerah dan/atau bahasa asing. (3) Publikasi karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk tujuan penyebarluasan ke luar Indonesia dapat menggunakan bahasa asing. (4)
Publikasi karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. (5) Publikasi karya ilmiah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh diumumkan. Pasal 17 (1)
Setiap tulisan yang ditampilkan dan/atau suara yang diperdengarkan di tempat umum untuk
keperluan informasi dan/atau layanan umum wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Tulisan
dan/atau suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai terjemahannya dalam bahasa
daerah dan/atau bahasa asing dengan tetap mengutamakan bahasa Indonesia. (3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam kegiatan keagamaan, adat istiadat,
dan/atau kesenian. Pasal 18 (1) Proses pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. (2) Proses pendidikan pada tahap awal
pendidikan dasar dapat menggunakan bahasa daerah, untuk menyampaikan pengetahuan
dan/atau keterampilan tertentu. (3) Proses pendidikan dapat menggunakan bahasa daerah atau
bahasa asing sebagai bahasa pengantar untuk pelajaran bahasa daerah atau bahasa asing. (4)
Proses pendidikan dapat menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada satuan
pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Pasal 19 (1)
Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa utama media massa. (2) Bahasa daerah dapat
digunakan sebagai bahasa utama media massa dalam segmen kedaerahan dan/atau untuk
keperluan tertentu. (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa utama media massa dalam
segmen internasional dan/atau untuk keperluan tertentu. (4) Film, sinema elektronik, dan produk
multimedia lain yang disiarkan menggunakan bahasa asing wajib diberi teks bahasa Indonesia
atau disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia. Pasal 20 (1) Penamaan bangunan, kompleks,
jalan, lembaga, merek dagang, dan tempat pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
wajib menggunakan bahasa Indonesia. (2) Informasi yang berfungsi menjelaskan nama dan
merek dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan bahasa Indonesia. (3)

Informasi tentang produk dalam negeri wajib menggunakan bahasa Indonesia. (4) Informasi
tentang produk luar negeri yang dipasarkan di Indonesia wajib diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. (5) Informasi layanan umum dan/atau layanan niaga yang berupa rambu, penunjuk
jalan, spanduk, papan iklan, brosur, katalog, dan sejenisnya wajib menggunakan bahasa
Indonesia. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk nama
perusahaan asing termasuk produknya, lembaga asing, tempat ibadah, satuan pendidikan dan
organisasi keagamaan, tempat bersejarah, serta tempat atau bangunan yang berciri kedaerahan.
(7) Tempat atau bangunan yang berciri kedaerahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selain
menggunakan bahasa Indonesia dapat menggunakan bahasa daerah. (8) Penggunaan bahasa
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat disertai nama dan
informasi dalam bahasa daerah dan/atau bahasa asing. Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 sampai dengan Pasal 20
diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN
PELESTARIAN Bagian Kesatu Pengembangan Bahasa Pasal 22
(1) Pengembangan bahasa Indonesia dilakukan untuk memantapkan dan meningkatkan
fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Pengembangan bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. penelitian berbagai aspek kebahasaan;
b. pengembangan bahasa sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; dan c.
pemantapan dan pembakuan kaidah bahasa. Pasal 23 (1) Pengembangan bahasa daerah dilakukan
untuk memantapkan dan meningkatkan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2)
Pengembangan bahasa daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.
penelitian berbagai aspek kebahasaan; b. pengembangan bahasa sesuai dengan tuntutan
perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta c. pemantapan dan pembakuan
kaidah bahasa. Bagian kedua Pembinaan Pasal 24 (1) Pembinaan terhadap masyarakat pengguna
bahasa harus dilakukan untuk: a. Meningkatkan sikap positif agar masyarakat memiliki
kesetiaan. kebanggaan, dan kesadaran akan adanya norma berbahasa. b. meningkatkan
kedisiplinan dan keteladanan dalam penggunaan bahasa. c. meningkatkan mutu penggunaan
bahasa, dan d. meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penggunaan bahasa. (2)
Peningkatan mutu dan kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan pemasyarakatan bahasa. (3) Lembaga pemerintah
dan lembaga non pemerintah wajib meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia bagi
pegawai yang belum mampu berbahasa Indonesia sesuai dengan standar kemahiran berbahasa
Indonesia. Pasal 25 (1) Bahasa Indonesia wajib diajarkan pada pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi, serta program pendidikan kesetaraan pada pendidikan non
formal. (2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan akses mempelajari bahasa
Indonesia bagi setiap warga negara Indonesia yang belum pernah memperoleh kesempatan
mempelajarinya atau belum pernah menjadi penutur bahasa Indonesia.
Pasal 26 (1) Kemampuan berbahasa Indonesia mengacu pada standar kemahiran berbahasa
Indonesia. (2) Standar kemahiran berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan di Indonesia. (3) Standar
kemahiran berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) meliputi standar
kemahiran berbahasa Indonesia bagi para pejabat publik, pejabat negara, serta warga negara
asing, baik yang akan bekerja dan/atau mengikuti pendidikan di Indonesia maupun yang akan
menjadi warga negara Indonesia. (4) Tingkat kemahiran berbahasa Indonesia para pejabat

negara, pejabat publik, serta warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan
dalam sertifikat kemahiran berbahasa Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar,
sarana pengukur, dan sertifikat kemahiran berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat(3),ayat (2),ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 27 (1)
Pembinaan bahasa daerah dilakukan melalui: a. pengajaran bahasa daerah di wilayah masingmasing daerah pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah; b. pengajaran bahasa daerah di
wilayah masing-masing daerah pada pendidikan nonformal program kesetaraan; c. penggunaan
bahasa daerah di ranah keluarga; dan d. revitalisasi ranah penggunaan bahasa daerah di
masyarakat. (2) Pengajaran bahasa daerah di wilayah masing-masing daerah meliputi: a. bahasa
asli daerah yang bersangkutan; b. bahasa daerah dan daerah lain yang penuturnya lebih dari 50%
(lima puluh persen) penduduk di wilayah tersebut. (3) Dalam hal bahasa daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) lebih dan satu bahasa, peserta didik berkewajiban mempelajari)
sekurang-kurangnya satu bahasa daerah. (4) Pemerintah daerah memfasilitasi pemakaian bahasa
daerah di wilayah masing-masing daerah,antara lain melalui: a. penerbitan buku-buku berbahasa
daerah; b. penyelenggaraan pekan seni dan budaya daerah; c. pembentukan dan/atau
pemberdayaan lembaga adat daerah; dan d. penyelenggaraan pertemuan dalam rangka
pelestarian bahasa daerah. Pasal 28 (1) Pembinaan bahasa asing dilakukan melalui pengajaran
bahasa asing di jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. (2)
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pembinaan bahasa asing, antara lain, melalui: a.
peningkatan mutu pengajaran bahasa asing, dan b. pengadaan bahan ajar. Bagian ketiga
Pelestarian Pasal 29 (1) Pelestarian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c
dilakukan terhadap bahasa daerah yang hampir punah. (2) Pelestarian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui antara lain: a. perlindungan terhadap penuturnya yang masih
tersisa; b. penulisan kajian ilmiah kebahasaan; c. penggalian atas potensi bahasa berdasarkan
asas manfaat; dan/atau d. pendokumentasian. BAB V PENGAWASAN Pasal 30 (1) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap penggunaan bahasa-bahasa
di Indonesia dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. (2) Pengawasan terhadap
penggunaan bahasa-bahasa di Indonesia oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan masing-masing. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) berkoordinasi dengan instansi pemerintah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kebahasaan. (4) Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui asosiasi di bidang kebahasaan di Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
mekanisme dan prosedur pengawasan penggunaan bahasa di Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI SANKSI Pasal 31 (1) Masyarakat
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
Pasal 15 ayat 116 dan Pasal 18 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud Dada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis, b. penundaan atau
penghentian layanan publik,dan/atau c. pencabutan izin. (3) Menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pendidikan nasional, menteri gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif terhadap setiap orang, kelompok orang,
atau badan yang melakukan pelanggaran. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan setelah berkoordinasi dengan lembaga terkait dan mendapat rekomendasi dari
lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan di Indonesia. (5) Tata cara pemberian sanksi
administratif dan besaran denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 Setiap orang yang melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat
(1), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan Pasal 24 ayat (3) diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Pasal 33
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun, serta denda paling sedikit Rp.5.000.000,- (lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.- (lima puluh juta rupiah). BAB VII KETENTUAN
PERALIHAN Pasal 34 Nama dan informasi yang berfungsi menjelaskan bangunan/gedung,
jalan, kompleks permukiman, kompleks perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang,
lembaga pendidikan, perusahaan Indonesia, dan sejenisnya, serta informasi tentang produk
dalam negeri dan luar negeri yang dipasarkan di Indonesia yang belum sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan setiap tulisan yang ditampilkan atau suara yang
diperdengarkan di tempat umum yang belum sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 20
ayat (1) dan ayat (2) wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama empat
tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang
harus diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang diundangkan. Pasal
36 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Presiden memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal............. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal........... MENTERI HUKUM DAN
HAM, Ttd. ANDI MATTALATA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN....
NOMOR..............
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...... TAHUN....
TENTANG KEBAHASAAN I. UMUM Bahasa Indonesia adalah bahasa yang diikrarkannya
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan, dan yang dinyatakan
dalam undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XV, Pasal 36 sebagai
bahasa negara, dan yang terus berkembang. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bahasa
Indonesia telah terbukti berhasil mengikat keragaman bangsa Indonesia dalam satu semangat
nasionalisme. Hal itu terbukti dan hasil perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, mereka
berasal dari berbagai penjuru tanah air, kemudian berkumpul dan menyatakan ikrar yang dikenal
dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk mengakui bertanah air satu ialah Tanah air
Indonesia, berbangsa satu ialah bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan ialah bahasa
Indonesia. Kemudian mereka mengambil manfaat dari ikatan persatuan itu melalui pilar bahasa
persatuan, di samping pilar kebangsaan dan tanah air, hingga terwujud Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Selain bahasa Indonesia, di Indonesia juga digunakan bahasa daerah dan
bahasa asing. Ketiga bahasa tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi yang berbeda,
sebagaimana telah dirumuskan dalam Politik Bahasa Nasional. Bahasa-bahasa itu sangat
diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang cerdas, kompetitif, berprestasi, dan tetap
berpihak pada akar budaya bangsa sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian,
pengembangan, pembinaan, dan perlindungan atau pelestarian terhadap bahasa-bahasa di
Indonesia. Akibat adanya kontak bahasa, penggunaan bahasa tertentu seringkali merambah ranah

penggunaan bahasa yang lain. Di dalam dokumen resmi, bahkan juga dalam peristiwa
kenegaraan, penggunaan bahasa Indonesia sering dicampur dengan penggunaan bahasa asing.
Dalam produk perfilman, persinetronan, dan periklanan, bahasa daerah tertentu juga senang
masuk ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah lain. Penggunaan bahasa
Indonesia di ruang-ruang publik juga tidak teratur rapi karena banyaknya penggunaan bahasa
asing sehingga bagian-bagian tertentu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
lebih tampak seperti di negeri asing. Sejauh yang menyangkut bahasa Indonesia, garis kebijakan
itu haruslah didasarkan pada semangat dan jiwa yang dipancarkan oleh dua peristiwa besar yang
secara politis telah amat berperan di dalam sejarah bangsa Indonesia dan merupakan dua tonggak
utama di dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia baik sebelum maupun
setelah Indonesia merdeka. Kedua peristiwa besar itu adalah Sumpah Pemuda 1928 dan
tersusunnya Undang-Undang Dasar 1945. Ketika batas-batas wilayah negara tidak lagi menjadi
batas wilayah kebahasaan yang tegas, penguasaan bahasa asing dapat dipastikan menjadi sarana
yang penting untuk memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya atas kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kenyataan bahwa sebagai warga dunia global, bangsa Indonesia harus dapat
terlibat dalam percaturan kehidupan global. Dalam konteks semacam itu, yang menjadi masalah
bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa daerah, dan bahasa asing dalam
posisi yang paling menguntungkan. Undang-Undang Kebahasaan merupakan pengaturan secara
lebih rinci Pasal 32 dan 36, serta merupakan amanat pasal 36c Undang-Undang Dasar 1945.
Mengingat kehadiran bahasa daerah dan bahasa asing di Indonesia berdampak terhadap
pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia, undang-undang ini juga disusun untuk
mengatur pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa lain yang hidup dan berkembang di Indonesia
agar manfaat serta fungsi masing-masing bahasa dapat dimaksimalkan. Perlunya pengaturan
masalah kebahasaan dalam bentuk undang-undang juga telah diamanatkan oleh masyarakat
melalui Kongres Bahasa Indonesia. Sejak Kongres Bahasa Indonesia VIII, para pakar, praktisi,
pengajar, mahasiswa, dan pengguna bahasa Indonesia mengamanatkan perlunya pengaturan
masalah kebahasaan di Indonesia dalam bentuk undang-undang.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Jelas Pasal 2 Jelas Pasal 3 Huruf a. Jelas Huruf
b. Jelas Huruf c. Jelas Huruf d. Jelas Huruf e. Jelas Huruf f. Jelas Huruf g. Jelas Huruf h. Jelas
Huruf i. Jelas Huruf j. Jelas
Huruf k. Jelas Huruf l. Jelas Pasal 4 Ayat (2) Huruf a. Media massa lokal adalah media massa
cetak. elektronik, atau media sejenis yang bersifat kedaerahan dan berlokasi di daerah tertentu.
Huruf b. Sebagai pendukung bahasa Indonesia, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar pada komunikasi masyarakat yang belum mampu berbahasa Indonesia. Huruf c Jelas
Pasal 5 Jelas Pasal 6 Jelas Pasal 7 Ayat (1) Huruf a. Jelas Huruf b. Yang dimaksud dengan
pengembangan bahasan adalah pemodernan korpus bahasa Indonesia dan bahasa daerah melalui
pemerkayaan kosakata. pemantapan dan pembakuan sistem bahasa secara umum. Pengembangan
bahasa Indonesia juga dilakukan melalui pengupayaan penggunaan bahasa Indonesia sebagai
sarana komunikasi luas antarbangsa. Yang dimaksud dengan pembinaan bahasa adalah
peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia dan bahasa daerah melalui penyelenggaraan
pemelajaran bahasa di semua jenjang pendidikan, pelatihan, dan pemasyarakatan bahasa,
peningkatkan mutu pemakaian bahasa itu juga dimaksudkan untuk mempertinggi sikap positif
masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Ayat (2) Jelas

Pasal 8 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan bahasa daerah di wilayahnya adalah
bahasa yang tumbuh dan berkembang di daerah yang bersangkutan dan bukan berasal dan
wilayah lain. Contoh: pemerintah daerah Bali mengembangkan dan membina bahasa Bali. Pasal
9 Ayat (1) Huruf a. Yang dimaksud dengan mengembangkan bahasa adalah memodernkan korpus
bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa secara umum
serta mengupayakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi antarbangsa.
Huruf b. Yang dimaksud dengan membina masyarakat adalah meningkatkan mutu penggunaan
bahasa melalui penyelenggaraan pemelajaran bahasa di semua jenjang pendidikan dan
pemasyarakatan bahasa. Peningkatkan mutu pemakaian bahasa itu juga dimaksudkan untuk
mempertinggi sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Ayat (2) Huruf a. Dukungan
dapat berupa: a. sikap positif. b. bantuan sumber daya. Pasal 10 Huruf a. Yang dimaksud dengan
daya ungkap adalah kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lugas dan
sistematis. Huruf b. Jelas Huruf c. Pengertian berkewajiban memelihara bahasa daerah yang
hampir punah antara lain mencakup upaya pengembangan bahasa daerah, pengajaran bahasa
daerah dan pemeliharaan aksara daerah. Hampir punah ditandai dengan keadaan bahasa yang
penuturnya makin lama makin berkurang atau tinggal sedikit. Huruf d. Jelas Huruf e.
Jelas Pasal 11 Huruf a. Jelas Huruf b. Jelas Huruf c. Jelas Huruf d. Jelas Huruf e. Jelas Huruf f.
Bahasa dalam proses pendidikan meliputi bahasa pengantar dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional pada semua jalur,jenjang, jenis, dan satuan pendidikan. Huruf g. Jelas Huruf h.
Kompleks meliputi, antara lain, perkantoran, pertokoan, permukiman, dan perdagangan. Pasal 12
Dokumen resmi antara lain: a. peraturan perundang-undangan; b. surat keputusan; c. surat izin;
d. surat berharga; e. surat keterangan; f. identitas diri; g. akta jual beli; h. surat perjanjian. Pasal
13 Jelas Pasal 14
Ayat (1) Yang dimaksud dengan bersifat nasional adalah corak kegiatan di mana pun yang
dihadiri oleh wakil lebih dari satu daerah dan memiliki topik, tema. atau substansi yang
berdampak nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan bersifat kedaerahan adalah corak kegiatan
di mana pun yang dihadiri oleh kelompok masyarakat tertentu dan memiliki topik, tema, atau
substansi yang berdampak kedaerahan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan bersifat Internasional
adalah corak kegiatan di mama pun yang dihadiri oleh wakil lebih dari satu negara dan memiliki
topik, tema, atau substansi yang berdampak internasional. Pasal 15 Ayat (1) Lembaga pemerintah
mencakup lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga nonpemerintah mencakup,
antara lain, organisasi profesi organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat
perusahaan nasional, dan perusahaan asing. Ayat (2) Jelas Pasal 16 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas
Ayat (3) Yang dimaksud dengan keperluan tertentu adalah keperluan komunikasi yang
membahas bidang tertentu, seperti pengajaran bahasa asing melalui media massa. Ayat (4) Yang
dimaksud dengan produk multimedia lain adalah produk audio-visual yang menggunakan media
elektronis yang berfungsi untuk mempublikasikan atau melakukan komunikasi jarak jauh.
Produk multimedia lain yang disiarkan menggunakan bahasa asing yang disulihsuarakan ke
dalam bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen) dan jumlah mata acara
berbahasa asing yang disiarkan, sisanya (70%) diberi teks dalam bahasa Indonesia. Pasal 17 Ayat
(1) Contoh suara yang diperdengarkan di tempat umum yang merupakan layanan umum seperti
mesin jawab otomatis telefon. Ayat (2) Jelas Ayat (3) Jelas Pasal 18 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas
Ayat (3) Jelas Ayat (4) Contoh satuan pendidikan tertentu adalah sekolah/madrasah bertaraf
internasional dan sekolah/madrasah yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing. Pasal

19 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan keperluan tertentu adalah kajian yang relevan
dengan kebahasaan ataupun bidang kajian lain dengan segmen dan/atau sebaran. Ayat (3) Yang
dimaksud dengan keperluan tertentu adalah kajian yang relevan dengan kebahasaan ataupun
bidang kajian lain dengan segmen dan/atau sebaran internasional. Ayat (4) Jelas Pasal 20 Ayat (1)
Penamaan kompleks termasuk untuk perkantoran, pertokoan, permukiman, dan perdagangan.
Penamaan bangunan misalnya "Menara Mulia" bukan "Mulia Tower", penamaan perkantoran
misalnya "Pusat Perkantoran" bukan "Office Center", penamaan permukiman misalnya
"Perumahan Tepian Danau Bojong" bukan "Bojong Lake Side", penamaan perniagaan misalnya
"Pusat Niaga/Perdagangan Internasional" bukan "Internasional Trade Centre (ITC)". Ayat (2)
Jelas Ayat (3) Jelas Ayat (4) Jelas Ayat (5) Jelas Ayat (6) Jelas Ayat (7) Tempat atau bangunan
yang berciri kedaerahan adalah tempat atau bangunan yang berfungsi menunjukkan jati diri
masyarakat atau daerah. Ayat (8) Bahasa daerah dapat ditulis dalam aksara daerah yang
bersangkutan. Pasal 21 Jelas Pasal 22 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas Pasal 23 Ayat (1) Jelas Ayat
(2) Jelas Pasal 24 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas Ayat (3) Jelas Pasal 25 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas
Pasal 26 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan lembaga pemerintah yang membidangi
kebahasaan adalah lembaga milik pemerintah yang menentukan kebijakan kebahasaan di
Indonesia. Ayat(3) Pejabat publik meliputi pejabat legislatif, pejabat eksekutif, dan pejabat
yudikatif. Pejabat negara adalah orang yang secara sah dipilih atau diangkat/ditunjuk untuk suatu
jabatan dan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Ayat (4) Jelas Ayat (5) Jelas Pasal 27 Ayat
(1) Huruf a. Jelas Huruf b. Jelas Huruf c. Jelas Huruf d. Revitalisasi meliputi, antara lain, ranah
penggunaan bahasa daerah dalam upacara adat kelahiran, kematian, perkawinan, khitanan
pembelajaran pada tingkat awal pendidikan, penceritaan dongeng, permainan daerah, pergelaran
seni, dan pergaulan intradaerah dan/atau intrakelompok. Ayat (2) Huruf a. Jelas Huruf b. Jelas
Ayat (3) Jelas Ayat (4) Huruf a. Jelas Huruf b. Jelas Huruf c. Jelas Huruf d. Jelas Pasal 28 Ayat
(1) Jelas Ayat (2) Huruf a. Jelas Huruf b. Jelas Pasal 29 Ayat (1) Pelestarian bahasa daerah
termasuk pembelajaran antara daerah dan produk berbahasa daerah. Ayat(2) Huruf a. Jelas Huruf
b. Jelas Huruf c. Jelas Huruf d. Jelas Pasal 30 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Jelas Ayat (3) Jelas Ayat (4)
Jelas Ayat (5) Jelas Pasal 31 Ayat (1) Jelas Ayat (2) Huruf a Sanksi berupa teguran tertulis
diberikan oleh lembaga pemerintah yang membidangi kebahasaan dengan tembusan kepada
lembaga yang memberikan pelayanan kepada pihak pelanggar. Huruf b. Sanksi berupa
penundaan atau penghentian layanan dilakukan oleh tembaga pemerintah yang
menyelenggarakan pelayanan publik sesuai kewenangannya. Sanksi berupa penundaan
pelayanan bagi pelanggar perseorangan diberikan melalui lembaga pemberi pelayanan kepada
pelanggar sesuai dengan kepentingannya, dengan mengikuti prosedur serupa sebagaimana
dilakukan kepada pelanggar berupa lembaga. Penundaan layanan bagi pelanggar yang berbentuk
badan dilakukan pada jangka waktu yang ditentukan oleh lembaga yang memberikan pelayanan
kepada pelanggar sesuai dengan tingkat pelanggarannya. penundaan pemberian layanan ini dapat
ditingkatkan menjadi pencabutan izin jika pelanggar mengabaikannya setelah diperingatkan
secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali. Huruf c. Pencabutan izin dilakukan setelah diberi teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dan tetap tidak diindahkan. Ayat (3) Jelas Ayat (4) Jelas Ayat (5)
Jelas Pasal 32 Jelas
Pasal 33 Jelas Pasal 34 Jelas Pasal 35 Jelas Pasal 36 Jelas
Diperoleh dari "http://id.wikisource.org/wiki/Rancangan_UndangUndang_Republik_Indonesia_tentang_Kebahasaan_(Agustus_2008)"

Posts Tagged Bahasa Asing


Bahasa Inggris Lebih Keren
Posted on 06 Jul 2009 at 12:30pm
Reklame atau iklan Pemda DKI tentang imbauan tidak merokok pernah diprotes masyarakat.
Pasalnya, menurut sang pemrotes, iklan tersebut tidak memberi contoh yang baik soal
penggunaan bahasa Indonesia karena kalimat imbauannya dicampuri bahasa Inggris. Iklan
berupa reklame tersebut berbunyi Mau Denda 50 Juta atau Kurungan Penjara 6 Bulan? STOP
SMOKING NOW!!.
Sang pemrotes tentu warga bangsa Indonesia yang sangat mencintai bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan dan identitas bangsa. Kita juga, secara sadar atau tidak sadar, sering
melakukan kesalahan yang sama dengan Pemda DKI tersebut, yakni mencampuri bahasa
Indonesia yang kita gunakan dengan bahasa asing. Mari kita renungkan, berapa kali dalam
sehari kita menggunakan kata OK (okay) dalam percakapan telepon, saat mengobrol dengan
teman, waktu mengirimkan pesan singkat (SMS), chating, dan sebagainya?
Ada ungkapan, bahasa cermin budaya bangsa atau bahasa merupakan cermin jati diri bangsa.
Merujuk pada ungkapan tersebut, dapat dikatakan, pencampuradukkan bahasa Indonesia
dengan bahasa asing (Inggris) merupakan cermin budaya dan jati diri kita (bangsa Indonesia)
yang kurang bahkan tidak percaya diri sebagai bangsa Indonesia. Kita masih merasa inferior,
rendah diri, dibanding dengan bangsa Inggris. Kita merasa, menggunakan bahasa Inggris lebih
gagah, hebat, atau keren?
Faktanya memang demikian. Sebuah produk pun jika menggunakan nama Indonesia biasanya
tidak laku, berbeda dengan produk berlabel asing meskipun sebenarnya produk bangsa sendiri
(dalam negeri). Lihat saja, sebagai contoh, produk rokok, makanan, minuman, bahkan grup
band/musik, dan sebagainya. Ketimbang memilih nama Lima Menit, mereka lebih memilih
nama Five Minut; Sheila on Seven, The Titans, The Groove, dan banyak lagi.
Lagi-lagi, perilaku konsumen (kita?) yang lebih tertarik pada produk bernama asing ketimbang
bernama Indonesia itu merupakan cermin budaya dan jati diri kita yang masih merasa hal
berbau asing itu hebat. Ada yang berpendapat, inilah mentalitas bangsa terjajah.
Seingat saya, pemerintah pernah mengimbau (atau memerintahkan?) perubahan nama-nama
produk asing ke dalam bahasa Indonesia. Holland Bakery, misalnya, pun berubah menjadi
Bakeri Holan; BRI Tower = Menara BRI, Indomart = Indomaret, dan sebagainya.

Tapi lihatlah sekarang, banyak mal atau pusat perbelanjaan menggunakan nama asing:
Bandung Trade Mall, Bandung Supermall, Bandung Electronik Center, dan banyak lagi.
Bandingkan dengan nama Indonesianya: Mal Pedagangan Bandung, Mal Super Bandung, Pusat
Elektronik Bandung! Ah, kurang keren ya?
Tahun 2006 ada kabar, para pelaku usaha harus siap-siap saja untuk mengganti nama merek
dagangnya jika menggunakan bahasa asing. Kabarnya, pemerintah akan melarang penggunaan
bahasa asing di ruang publik, baik nama kompleks perumahan, iklan, nama gedung, bangunan,
petunjuk penggunaan barang, merek dagang, dan lain-lain. Pelarangan ini tertuang dalam draf
RUU Bahasa. Ada yang tahu, bagaimana perkembangannya kini?
Budaya asing memang masih menggempur bangsa ini, utamanya melalui acara-acara di televisi.
Saya kira, mayoritas acara televisi kita produk asing (luar negeri). Wajar jika invasi dan infiltasi
budaya asing terus melanda bangsa Indonesia. Alih-alih memperkuat budaya nasional, acaraacara televisi kita malah menggerus identitas budaya kita sendiri.
Saya akui, secara pribadi saya juga masih suka menggunakan ungkapan asing. Blog saya,
romeltea.com, saya namai Romeltea Magazine, bukan Majalah Romeltea. Tagline blog ini pun
Just Another Romelteas Blog, bukan Hanya Bloh Romeltea yang Lain. Alasannya, memang
terkesan lebih keren, tapi alasan paling utama karena lebih ringkas dan enak dibaca.
Wah, pihak berwenang soal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar makin berat nih.
Selain harus menertibkan penggunaan kata/istilah baku, mereka juga harus berjuang keras
menumbuhkan budaya bangga berbahasa Indonesia. Kita tunggu saja gebrakannya! Toh
mereka digaji negara untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bukan? Ayo,
bekerja! Wasalam. (www.romeltea.com)

You might also like