Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.
Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan luas kawasan 107.489 ha dan
dikelola dengan sistem zonasi.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) merupakan salah satu
kawasan pelestarian alam di Indonesia terletak di utara Jakarta yang secara
administratif berada di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan TNLKpS meliputi tiga
kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Keluahan Pulau Kelapa dan
Kelurahan Pulau Harapan.
Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dalam gugusan pulau
Kepulauan seribu. Pulau ini merupakan pusat administrasi dan pemerintahan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pulau pramuka termasuk kedalam
Kelurahan Pulau Panggang. Pulau Pramuka memiliki biodiversitas biota laut yang
cukup tinggi, hal ini menimbulkan banyaknya penelitian dilakukan di pulau ini.
Bulu babi menjadi salah satu objek penelitian yang dilakukan di pulau tersebut, di
mana kepadatan Bulu babi dapat dilihat ketika kita memasuki dermaga Pulau
Pramuka. Peninjauan tentang sebaran dan populasi Bulu babi sangat diperlukan
untuk mengetahui seberapa luas persebaran Bulu babi di pulau tersebut dan berapa
banyak populasinya, serta pola penyebarannya.
Di Kepulauan Seribu juga terdapat pusat rehabilitasi Elang bondol
(Haliastur indus) tepatnya di Pulau Kotok Besar yaitu pulau paling barat dari
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) wilayah 3. Elang bondol yang
merupakan maskot dari ibukota negara populasinya sangat menurun, bahkan
hampir mustahil melihatnya terbang bebas di langit ibukota. Karena itu diperlukan
perhatian khusus terhadap populasi Elang bondol di Kepulauan Seribu yang masih
merupakan bagian dari ibukota.
1.2.
1.3.
BAB II
GAMBARAN UMUM
Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan luas kawasan 107.489 ha dan
dikelola dengan sistem zonasi (BTNKpS, 2010).
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem PulauPulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir
karang pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha
dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun
bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar
20-40 m. Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNKpS yang
berjumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai
hunian penduduk dan sisanya dikelola perorangan atau badan usaha (BTNKpS,
2010).
Dalam pengelolaannya kawasan TNKpS dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu : SPTN Wilayah I Pulau
Kelapa, SPTN Wilayah II Pulau Harapan dan SPTN Wilayah III Pulau Pramuka.
Sebagai Taman Nasional Model pengelolaan TNKpS menuju pengelolaan berbasis
Resort. Pembentukan resort direncanakan pada tahun 2011.
Tabel 1. Pembagian Luas Wilayah Kerja SPTN Wilayah Lingkup BTNKpS
Luas
(Ha)
39.932
45.128
41,98%
22.429
20,87%
Total
107.489
100,00%
No.
SPTN Wilayah
Persentase
(%)
37,15%
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta
Nomor
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta
Nomor
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta
Nomor
Daerah
Khusus
Ibukota
Jakarta
Nomor
Persyaratan
Pemberian
Izin
Penunjukkan
Penggunaan
Tanah
Untuk
Terwujudnya
1.
2.
3.
4.
tugas teknis.
2.4. Kondisi Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Saat Ini
2.4.1. Potensi Pariwisata
Kawasan TNKpS berpotensi besar untuk pengembangan wisata bahari,
mengingat letaknya yang dekat dengan ibu kota negara (Jakarta), sehingga
menjadikan kawasan ini mempunyai peluang pengembangan yang baik. Sejalan
dengan perkembangan kota-kota besar, maka semakin banyak orang yang
menginginkan kembali ke alam. Kegiatan-kegiatan wisata bahari yang dapat
dilakukan di dalam kawasan taman nasional antara lain menyelam (scuba diving)
pada beberapa spot selam (terdapat 26 spot selam), snorkeling, memancing, wisata
pendidikan (penanaman lamun, mangrove, serta rehabilitasi karang, penyu sisik,
elang bondol), berjemur di pantai, berkemah, dan lain-lain. Panorama laut di
wilayah ini menjadi daya tarik alamiah bagi wisatawan. Panorama seperti pada
saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa
pulau di dalam kawasan Taman Nasional telah dikembangkan menjadi resortresort wisata, dengan sarana pariwisata antara lain dengan dibangunnya dermaga,
anjungan pengunjung, restoran dan pondok-pondok inap oleh pihak swasta.
Jumlah pulau yang wilayah perairannya berada di kawasan TNKpS berjumlah 76
buah dimana dari jumlah tersebut tercatat 20 buah yang telah dikembangkan
sebagai pulau wisata, 6 buah pulau yang dihuni penduduk dan sisanya dikuasai
perorangan atau badan usaha.
Dinamika kehidupan masyarakat setempat sebagai masyarakat bahari
sesungguhnya dapat menjadi daya tarik wisata. Kegiatan masyarakat sebagai
nelayan dapat menjadi daya tarik tersendiri, khususnya di pulau-pulau
permukiman. Berbagai jenis ikan dan hasil laut bisa menjadi komoditi yang
memiliki nilai jual untuk ditawarkan kepada para wisatawan. Sementara itu, alat
perlengkapan
penangkapan
ikan
dapat
diperkenalkan
kepada
para
10
Tahun
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jumlah Pengunjung
1.000
915
1.739
712
2.127
7.527
14.300
11
seperti karang batu (massive coral) misalnya Montastrea dan Labophyllia, karang
meja (table coral), karang kipas (Gorgonia), karang daun (leaf coral), karang
jamur (mushroom coral), dan jenis karang lunak (soft coral) sebanyak 29 marga
dengan kelimpahan 62.985 individu/ha. Beberapa tipe koloni karang yang ada
antara lain Acropora tabulate, Acropora branching, Acropora digitate, Acropora
submassive, branching, massive, encrusting, submassive, foliose dan soft coral.
Beberapa jenis karang yang telah menjadi komoditi komersial antara lain
Acropora sp., Porites sp., Favia sp., Gorgonian sp., dan Akar Bahar atau Black
Coral (Antiphates sp.) yang merupakan salah satu jenis biota laut yang masih
dalam Appendix 2 CITES. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
kondisi rata-rata tutupan karang di TNKpS mengalami peningkatan. Adapun
perkembangan tutupan karang padatan pada tahun 2003 sampai dengan 2009,
yaitu 33,00% (2003), 31,98% (2005), 33,44% (2007) dan 34,60% (2009). Kondisi
tutupan karang di Zona Pemanfaatan Wisata adalah 30,67% (2003), 40,05%
(2005), 31,50% (2007) dan 38,6% (2009). Adapun kondisi tutupan karang di
Zona Permukiman adalah 40,63% (2003), 31,98% (2005), 33,44% (2007) dan
34,1% (2009) (BTNKpS, 2010).
Kawasan TNKpS merupakan habitat bagi penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) yang dilindungi, dan keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam
upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat-tempat
penelurannya seperti Pulau Peteloran Timur, Penjaliran Barat, Penjaliran Timur
dan Pulau Belanda, telah dilakukan juga pengembangan pusat penetasan,
pembesaran dan pelepasliaran penyu sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa.
12
Kegiatan di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa tersebut dilakukan dengan cara
mengambil telur dari pulau-pulau tempat bertelur untuk ditetaskan secara semi
alami. Anak penyu (tukik) hasil penetasan tersebut kemudian sebagian dilepaskan
kembali ke alam, dan sisanya dipelihara untuk dilepaskan secara bertahap
(BTNKpS, 2010).
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Keadaan Umum Pulau Pramuka
Pulau pramuka terletak diantara gugusan Kepulauan Seribu di teluk
Jakarta yang merupakan bagian dari Provinsi DKI Jakarta. Pulau Pramuka
memiliki luas karang lebih dari 10 Ha dan memiliki pesisir pantai yang umumnya
berpasir. Secara geografis, Pulau pramuka berada pada posisi 5 04419-504505
LS dan 10603635-10603707 BT dan berbatasan dengan beberapa Pulau di
sekitarnya seperti Pulau Panggang, Pulau Sekati dan Gosong Air.
Pulau Pramuka memiliki iklim yang mirip dengan iklim yang terdapat di
sekitar teluk banten. Dimana iklim yang dimiliki Pulau Pramuka di pengaruhi oleh
keadaan angin. Jika angin bertiup dari samudera hindia, maka menandakan musim
hujan. Jika angin bertiup dari laut jawa, maka menandakan musim kemarau.
Di Pulau Pramuka, beberapa kegiatan ekonomi perairan masih sering
dilakukan, seperti karamba jaring apung, penangkapan ikan oleh nelayan
menggunakan jala dan kail atau peralatan sederhana hingga menggunakan pukat
atau peledak, serta banyaknya transportasi laut. Di Pulau Pramuka juga terdapat
penangkaran penyu, kolam ikan buatan (miniatur laut), dan lainnya.
3.1.1. Topografi Pulau Pramuka
Kawasan Kepulauan Seribu termasuk pulau pramuka memiliki topografi
datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0-2 meter d.p.l. Luas daratan dapat
berubah oleh pasang surut dengan ketinggian 1-1,5 meter. Morfologi Kepulauan
14
15
gerakan air, suhu, salinitas, dan cahaya turut mempengaruhi kehidupan di laut
(Romimohtarto dan Sri, 2001).
3.1.2. Faktor Fisik (Zonasi) Ekosistem Pesisir di Pulau Pramuka
Menurut Aziz (1996), fauna Echinodermata dapat tersebar di berbagai
ekosistem terumbu karang dan perairan lepas pantai. Kondisi substrat, habitat dan
mikrohabitat ikut menentukan sebaran local fauna Echinodermata.
Tipe ekosistem terumbu karang terdiri dari beberapa zona, yaitu zona
rataan terumbu yang terdiri dari zona rataan pasir, zona lamun dan zona
pertumbuhan algae (Thalamita-flat) dan zona moats. Zona tubir terdiri dari
benting karang (Rubble rampart) dan acropora rampart. Kemudian diikuti oleh
zona lereng terumbu, yang ditempati oleh berbagai koloni karang hidup, karang
lunak, gorgonian, spons dan antipatharian (Azis, 1996). Berikut adalah Pembagian
zona pada kawasan intertidal :
a. Lereng Terumbu
Lereng terumbu merupakan zona yang ditempati oleh berbagai koloni
karang hidup, karang lunak, gorgonian, spons dan antiphatirian yang
berada pada zona kemiringan terumbu.
b. Zona Tubir (Puncak terumbu)
Merupakan zona yang terdapat formasi karang hidup yang disebut
Acropora rampart. Disini didapatkan koloni karang bercabang yang sangat
rapuh dan mudah rusak jika terinjak.
16
17
g. Pantai
Pantai merupakan zona yang terdiri dari rataan pasir yang terkena sebagian
pasang surut air laut. Di wilayah ini banyak ditemui Echinodermata
terutama Bulu babi.
3.2. Bulu babi Diadema setosum
Bulu babi memiliki duri terpanjang dari filum Echinodermata. Tidak
seperti bintang laut, Bulu babi memiliki duri pada seluruh bagian tubuh mereka.
Duri pada Bulu babi terdapat di segala bagian tubuhnya dan menyebar ke segala
arah dan duri tersebut memiliki racun, namun tidak mematikan dan hanya
mengakibatkan nyeri pada bagian tubuh yang terkena duri tersebut (Hughes,
1985).
3.2.1. Sistematika Diadema setosum
: Animalia
Filum
: Echinodermata
Subfilum
: Echinozoa
Kelas
: Echinoidae
18
Genus
: Diadema
Spesies
: Diadema setosum
Bulu babi merupakan hewan Penjelajah, walaupun daerah jelajahnya
rendah, namun Bulu babi juga dapat mengakibatkan kerusakan dalam suatu
ekosistem laut akibat pergerakannya. Akibat pergerakannya, Bulu babi dapat juga
merubah suatu Pola Substansial dari suatu ekosistem dalam perairan yang
mengakibatkan peningkatan
19
lubang persembunyian pada karang atau koral. Selain itu dibeberapa daerah,
gonad Bulu babi merupakan bahan makanan (Konar dan Brenda, 2000).
Pakan utama Bulu babi merupakan karang-karang lunak, serpihanserpihan karang, dan makro alga serta plankton (Wassilieff dan Maggy, 2009).
Namun, akibat perubahan lingkungan serta habitat yang memaksa Bulu babi
untuk merubah pola prilaku terutama pakan mereka dan membuat Bulu babi untuk
mengkonsumsi segala yang ada disekitar mulut nya (Konar dan Brenda, 2000).
3.2.4. Reproduksi Bulu Babi
Reproduksi Bulu babi trmasuk kedalam kategori fertilisasi eksternal.
Dimana Bulu babi melepas jutaan sel telur seperti jelly berlapis pada musim
kawinnya. Lalu sperma dilepaskan oleh jantan melalui genosper dan mulai terjadi
fertilisasi. Telur yang sudah dibuahi akan menjadi larva kecil yang termasik
kedalam zooplankton yang terdapat di laut dan dibutuhkan 2 hingga 5 tahun untuk
menjadi dewasa dan siap menjalani pembuahan kembali (Nybakken, 1992).
3.3. Elang Bondol (Haliastur indus)
3.3.1. Sistematika Haliastur indus
: Animalia
20
Filum
: Echinodermata
Subfilum
: Echinozoa
Kelas
: Echinoidae
Genus
: Diadema
Spesies
: Diadema setosum
21
22
BAB IV
METODOLOGI
4.1
pengukur faktor fisik (Thermometer, secchi disk, pengukur kecepatan arus), GPS,
kamera bawah air, alat tulis bawah air. Sementara bahan yang digunakan antara
lain alkohol 70 %, dan akuades.
4.3
4.3.1
pengamatan di sekeliling Pulau Pramuka menurut empat arah mata angin. Titik
pertama di sebelah Selatan, titik kedua sebelah Timur, titik ketiga sebelah Utara,
titik empat sebelah Barat Pulau Pramuka.
23
Titik 3
Titik 4
Titik 2
Titik 1
Gambar 3. Peta titik pengamatan Diadema setosum Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Google map, 2011).
dan kimia di setiap titik dilakukan 3 kali pengulangan. Parameter yang diukur
meliputi suhu, dan kecepatan arus. Pengukuran langsung dilakukan di titik
pengamatan.
24
Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer air raksa dengan cara
ujung timah dicelupkan kedalam air selama beberapa menit dan dilihat angka
yang terdapat di thermometer tersebut.
Kecepatan arus air diukur menggunakan bola arus dengan cara melepaskan
bola arus di air dan dibiarkan berjalan sejauh 1 meter lalu waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai jarak 1 meter dicatat. Jarak 1 meter dibagi dengan waktu yang
diperlukan dicatat sebagai kecepatan arus air dalam satuan meter per detik (m/s).
4.3.3
belt transect. Transek sepanjang 70 meter dibuat sejajar garis pantai ( tubir ),
dengan jarak pengamatan 1 meter kiri dan kanan ( lebar daerah pengamatan 2 m ),
sehingga luas daerah pengamatan setiap titik pengamatan adalah 140 m2 (2x70m).
Pengukuran ini dilakukan dengan tiga zona tiap titik sampling dengan jarak 20
meter setiap zonanya dan jarak antar zona sejauh 5 meter.
BAB V
HASIL
5.1
26
Stasiun
Suhu (C)
Arus(m/s)
Kecerahan(%)
Titik Barat
29c
0,104
100%
Titik Utara
29c
0,092
100%
Titik Timur
29c
0,103
100%
28c
0,250
100%
4
Titik Selatan
Suhu
Suhu pada keempat titik pengamatan menunjukkan nilai yang sama yaitu
29oC kecuali pada titik Selatan yaitu sebesar 28 oC. Suhu diukur dengan kedalam
yang sama yaitu antara 1-2 meter.
Kecepatan arus
Kecepatan arus yang diukur merupakan kecepatan arus pada permukaan
laut. Perairan disekitar Pulau Air memiliki kecepatan arus yang cukup tinggi yaitu
berkisar antara 0,09 0,25 m/s. Kecepatan arus tertinggi didapat pada titik selatan
dengan kecepatan 0,25 m/s dan terendah terdapat pada titik utara dengan
kecepatan 0,092 m/s. Kecepatan arus sangat mempengaruhi nutrient yang terdapat
pada suatu perairan.
Kecerahan
Kecerahan yang terdapat pada semua titik pengamatan yaitu 100%. Hasil
ini menyimpulkan bahwa cahaya matahari pada perairan disekitar Pulau Pramuka
masih memungkinkan untuk dapat menembus dengan sempurna hingga
kedalaman 10 meter. Tingkat kecerahan yang tinggi pada suatu perairan
27
disebabkan oleh perairan yang jernih dan sedikit terjadi nya sedimentasi dan kuat
arus yang tidak terlalu tinggi.
5.1.2. Pengamatan Diadema setosum
Tabel 4. Jumlah individu Diadema setosum pada tiap titik pengamatan
No.
Titik Pengamatan
1
2
3
4
Selatan
Timur
Utara
Barat
Jumlah individu D.
setosum
347
0
0
895
28
Titik terakhir yang diamati adalah sebelah barat Pulau Pramuka dekat
dermaga pelelangan ikan. Lokasinya pada titik koordinat S 05 o 44.511 ; E 106o
36.828. Sisi barat pulau Pramuka merupakan tempat ditemukannya populasi
Diadema setosum paling banyak. Pada titik ini ditemukan sebanyak 895 individu
Diadema setosum dengan rincian 241 individu pada plot 20 m 2 pertama, 395
individu pada plot kedua, dan 259 individu pada plot ketiga. Populasi Diadema
setosum yang tinggi pada sisi barat pulau pramuka disebabkan karena pada sisi ini
memiliki banyak karang-karang mati yang merupakan tempat hidupnya bulu babi
dalam hal ini Diadema setosum.
5.2
indus) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dan
Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Pulau Kotok Besar menjadi tempat
didirikannya Pusat Rehabilitasi Elang Bondol di Kepulauan Seribu.
Elang Bondol yang terdapat di pusat rehabilitasi ini merupakan hewanhewan rampasan atau sitaan dari tempat-tempat penjualan hewan atau bisa juga
sitaan dari peliharaan individu. Di tempat penjualan hewan seperti pasar burung,
Elang Bondol diperjual-belikan secara bebas dan ilegal. Selain itu, Elang Bondol
juga sering dijadikan hewan peliharaan bagi beberapa orang yang mengoleksi
hewan langka. Hal tersebut jelas sebuah kesalahan karena Elang Bondol
merupakan hewan yang dilindungi oleh Undang-Undang, yaitu Undang-Undang
nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem.
29
Di pusat rehabilitasi ini, elang yang tidak memiliki cacat fisik akan dilatih
untuk terbiasa dengan keadaan sebagaimana yang ada di alam liar. Kemampuan
berburu mangsa merupakan yang paling penting bagi satwa liar seperti elang
bondol untuk dapat bertahan hidup di alam liar.
Menurut Fauzi (penjaga pusat rehabilitasi elang bondol) perlu waktu yang
bervariasi bagi elang untuk siap kembali ke alam liar. Ada yang hanya
memerlukan
hitungan
minggu bahkan
tahun,
tergantung
dari
kondisi
elang
dibawa
ke
pusat
rehabilitasi.
Sementara untuk elang yang datang ke pusat rehabilitasi dengan memiliki cacat
fisik butuh waktu lebih lama untuk pemuliahannya. Namun apabila cacat fisik
yang dimiliki sudah permanen maka elang tersebut menjadi penghuni tetap dari
pusat rehabilitasi tersebut.
Gambar 5. Fauzi (kanan) saat menjelaskan tentang pusat rehabilitasi elang bondol
30
Cacat fisik yang ada pun beragam, yang paling sering dijumpai adalah
cacat fisik yang disengaja seperti mematahkan sayap elang agar elang tidak dapat
terbang lagi. Hal ini biasa dijumpai pada elang yang disita dari peliharaan
individu. Pemiliknya biasanya menginginkan agar elang tidak kabur dari
tempatnya. Selain itu ada juga elang yang telah dicabuti bulu-bulunya sehingga
menyebabkan elang tidak dapat terbang. Bulu-bulu lang yang telah dicabuti akan
sulit untuk tumbuh lagi, dan kalau pun tumbuh, maka bulu tersebut tidak akan
kembali ke bentuk yang sempurna.
31
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Populasi terbanyak Diadema setosum terdapat pada sisi barat pulau
Pramuka
2. Pola sebaran Diadema setosum di Pulau Pramuka adalah mengelompok
3. Pusat rehabilitasi elang bondol merawat elang yang cacat sampai bisa
kembali ke alam liar
4. Elang-elang yang ada di pusat rehabilitasi merupakan hewan ilegal
sitaan
6.2. Saran
Melihat banyaknya populasi bulu babi Diadema setosum, penulis
menyarankan untuk memanfaatkan hewan tersebut. Diadema setosum merupakan
bulu babi yang dapat dikonsumsi, mungkin dapat dimanfaatkan untuk konsumsi
masyarakat sekitar.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Krebs. C. J. 1995. Ecology. Third edition. New York: Harper & Row Publisher.
Hlm 532 Patrick L. Collin & Charles Armeson. 1995. Tropical Fasific
Invertebrate. California : Coral Reef Press
Mardiansyah. 2008. Keanekaragaman, Populasi dan DIstribusi Aseteroidea Di
Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. Jakarta. UIN : Press.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT.
Gramedia. Hlm: 198
Odum, E.P. 1971. Fundamental Of Ecology. W.B Souders Company. Philadelphia
London Toronto.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi edisi : edisi ke 3. Gajahmada University
Press. Yogyakarta. 694 hlm.
Radjab, A.W. 2000. Sebaran dan Kepadatan Bulu Babi Di Perairan Kepulauan
Padaido, Biak, Irian Jaya Bidang Sumber Daya Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. LIPI Press
Robert T. Paine, & Robert L. Vadas. 2005. The Effects Of Grazing By Sea
Urchins, Strongylochentrotus. SPP., On Benthic Alga Populations.
Departement of Zoology & Departement of Botany, University of
Washington. Seattle.
Safran, Y. Rini, E.S. Muhammad, S. dan Budi, S. 2009. Sekilas tentang Kepulauan
Seribu: Kondisi Sosial Ekonomi, Potensi dan Ancaman Sumberdaya
Alam , dan Upaya Konservasi laut dalam
34
Jakarta.
Avaible
online
at
http://www.teara.govt.nz/en/starfish-sea-urchins-and-other-
echinoderms/2.
http://www.ksdasulsel.org/artikel/fauna/333-elang-bondol-burung-kebudayaan
35
LAMPIRAN
36
37