You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Praktek Kerja Lapangan


Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) merupakan Unit

Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perlindungan Hutan


dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan. Balai TNKpS merupakan
salah satu dari 6 (enam) taman nasional laut di seluruh Indonesia dan merupakan
satu-satunya kawasan pelestarian alam taman nasional yang terletak di ibukota
negara. Secara administrasi TNKpS berada dalam wilayah

Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan luas kawasan 107.489 ha dan
dikelola dengan sistem zonasi.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) merupakan salah satu
kawasan pelestarian alam di Indonesia terletak di utara Jakarta yang secara
administratif berada di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan TNLKpS meliputi tiga
kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Keluahan Pulau Kelapa dan
Kelurahan Pulau Harapan.
Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dalam gugusan pulau
Kepulauan seribu. Pulau ini merupakan pusat administrasi dan pemerintahan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pulau pramuka termasuk kedalam
Kelurahan Pulau Panggang. Pulau Pramuka memiliki biodiversitas biota laut yang
cukup tinggi, hal ini menimbulkan banyaknya penelitian dilakukan di pulau ini.

Bulu babi menjadi salah satu objek penelitian yang dilakukan di pulau tersebut, di
mana kepadatan Bulu babi dapat dilihat ketika kita memasuki dermaga Pulau
Pramuka. Peninjauan tentang sebaran dan populasi Bulu babi sangat diperlukan
untuk mengetahui seberapa luas persebaran Bulu babi di pulau tersebut dan berapa
banyak populasinya, serta pola penyebarannya.
Di Kepulauan Seribu juga terdapat pusat rehabilitasi Elang bondol
(Haliastur indus) tepatnya di Pulau Kotok Besar yaitu pulau paling barat dari
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) wilayah 3. Elang bondol yang
merupakan maskot dari ibukota negara populasinya sangat menurun, bahkan
hampir mustahil melihatnya terbang bebas di langit ibukota. Karena itu diperlukan
perhatian khusus terhadap populasi Elang bondol di Kepulauan Seribu yang masih
merupakan bagian dari ibukota.
1.2.

Tujuan Praktek Kerja Lapangan


1. Mengamati pola sebaran dan populasi Bulu babi di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu.
2. Memahami tentang rehabilitasi Elang bondol di Pulau Kotok Besar
Kepulauan Seribu.
3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program strata-1
program studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

1.3.

Manfaat Praktek Kerja Lapangan


2

Praktek Kerja Lapangan ini diharapkan bisa membantu Balai Taman


Nasional Kepulauan Seribu dalam menganalisa data sebaran dan populasi Bulu
babi di Pulau Pramuka. Serta lebih memahami tentang rehabilitasi Elang bondol
di Pulau Kotok Besar Kepulauan Seribu.

BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1. Deskripsi Umum


Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) merupakan salah satu
kawasan pelestarian alam di Indonesia terletak di utara Jakarta yang secara
administratif berada di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kawasan ini terbentang seluas
107.489 ha (SK. Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002). Pengelolaan
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 03/Menhut-II/2007
tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana teknis
Taman Nasional). Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar,
merupakan kawasan perairan laut sampai batas pasang tertinggi, pada posisi
geografis antara 524' - 545' LS dan 10625' - 10640' BT, termasuk kawasan
darat Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur seluas 39,50 hektar
(BTNKpS, 2010).
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) merupakan Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan. Balai TNKpS merupakan
salah satu dari 6 (enam) taman nasional laut di seluruh Indonesia dan merupakan
satu-satunya kawasan pelestarian alam taman nasional yang terletak di ibukota
negara. Secara administrasi TNKpS berada dalam wilayah

Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu DKI Jakarta dengan luas kawasan 107.489 ha dan
dikelola dengan sistem zonasi (BTNKpS, 2010).
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem PulauPulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir
karang pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha
dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun
bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar
20-40 m. Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNKpS yang
berjumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai
hunian penduduk dan sisanya dikelola perorangan atau badan usaha (BTNKpS,
2010).
Dalam pengelolaannya kawasan TNKpS dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu : SPTN Wilayah I Pulau
Kelapa, SPTN Wilayah II Pulau Harapan dan SPTN Wilayah III Pulau Pramuka.
Sebagai Taman Nasional Model pengelolaan TNKpS menuju pengelolaan berbasis
Resort. Pembentukan resort direncanakan pada tahun 2011.
Tabel 1. Pembagian Luas Wilayah Kerja SPTN Wilayah Lingkup BTNKpS

SPTN Wilayah I Pulau Kelapa

Luas
(Ha)
39.932

SPTN Wilayah II Pulau Harapan

45.128

41,98%

SPTN Wilayah III Pramuka

22.429

20,87%

Total

107.489

100,00%

No.

SPTN Wilayah

Persentase
(%)
37,15%

2.2. Sejarah Penunjukan dan Penetapan Kawasan Taman nasional


Kepulauan Seribu
Untuk Kepulauan Seribu, usaha pengaturan wilayah perairan laut-nya sudah
cukup lama dilakukan, baik melalui peraturan daerah maupun melalui peraturan
pusat. Pengaturan pemanfaatan wilayah Kepulauan Seribu dari pemanfaatan SDA
yang berlebihan dimulai oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, antara
lain sebagai berikut :
1. PERDA Kotapraja Jakarta Raya Nomor 7 tahun 1962 tanggal 30 Maret 1962
tentang Pelarangan Pengambilan Batu Barang, Basir, Batu dan Kerikil dari
Pulau-Pulau dan Beting-Beting Karang dalam Wilayah Lautan Kotapraja
Jakarta Raya.
2. Keputusan Gubernur/Kepala

Daerah

Khusus

Ibukota

Jakarta

Nomor

Ib.3/3/26/1969 tanggal 3 Desember 1969 tentang Pengamanan Penggunaan


Tanah di Kepulauan Seribu.
3. Keputusan Gubernur/Kepala

Daerah

Khusus

Ibukota

Jakarta

Nomor

Ca.19/1/44/1970 tanggal 6 Nopember 1970 tentang Penutupan Perairan di


Sekeliling Taman-Taman Karang di Gugusan Kepulauan Seribu untuk
Penangkapan Ikan Oleh Nelayan-Nelayan Sebagai Mata Pencaharian
(Profesional).
4. Keputusan Gubernur/Kepala

Daerah

Khusus

Ibukota

Jakarta

Nomor

Ea.6/1/36/1970 tanggal 31 Desember 1970 tentang Larangan Penangkapan


Ikan dengan Mempergunakan Alat Bagan di Lautan/Perairan Dalam Wilayah
Daerah Ibukota Jakarta.
5. Keputusan Gubernur/Kepala

Daerah

Khusus

Ibukota

Jakarta

Nomor

Da.11/24/44/1972 tanggal 27 September 1972 tentang Ketentuan dan

Persyaratan

Pemberian

Izin

Penunjukkan

Penggunaan

Tanah

Untuk

Mengusahakan/ Menempati Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu, Daerah Khusus


Ibukota Jakarta.
6. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan
Kepulauan Seribu Kotamadya Jakarta Utara.

Dengan memperhatikan adanya indikasi potensi kawasan dan pemanfaatan


SDA laut di wilayah Kepulauan Seribu yang tinggi, Pemerintah Pusat melakukan
beberapa pengaturan antara lain sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli
1982, yang menunjukkan wilayah seluas 108.000 hektar Kepulauan Seribu
sebagai Cagar Alam dengan nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu.
2. SK Menteri Kehutanan Ab 161/Kpts-II/95, tentang Perubahan Fungsi Cagar
Alam Laut Kepulauan Seribu Seluas 108 ha menjadi Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu.
3. Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Nomor
02/VI/TN-2/SK/1986 tanggal 19 April 1986 tentang Pembagian Zona di
Kawasan TNKpS.
4. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995
tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu yang Terletak di
Kotamadya Daerah Tingkat II Jakarta Utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Seluas +/- 108.000 (Seratus Delapan Ribu) Hektar Menjadi Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu.

5. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 220/Kpts-II/2000


tanggal 2 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di
Wilayah Propinsi Daerah Ibukota Jakarta Seluas 108.475,45 Hektar.
6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002
tentang Penetapan KPA Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
seluas 107.489 (Seratus tujuh empat ratus delapan puluh sembilan) hektar di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Didasarkan atas berita acara tata batas KPA perairan Taman Nasional
Kepulauan Seribu oleh Bupati Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun
2001.
7. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor
: SK.05/IV-KK/2004 tentang Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu.
8. Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan
kekhasannya maka Direktorat Jenderal Perlindungan dan Kawasan Alam
menetapkan di Taman Nasional model, melalui Keputusan Direktur Jenderal
Nomor SK. 69/IV-Set/HO/2006 dan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
merupakan salah satu Taman Nasional Model.
2.3. Visi dan Misi
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pemangku kawasan, Balai
Taman Nasional Kepulauan Seribu mempunyai visi :

Terwujudnya

Kelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan


Berkeadilan di Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Misi Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah :

1.

Melindungi dan mengamankan ekosistem Taman Nasional Kepulauan


Seribu. Misi ini bertujuan untuk menurunkan gangguan keamanan yang
dilakukan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan maupun oleh
pihak-pihak lain terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan
hutan pantai yang tumbuh dan terdapat dalam kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu serta menimbulkan efek jera dan mengoptimalkan

2.

penegakan hukum dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.


Mengawetkan dan memelihara keanekaragaman hayati dan ekosistem
Taman Nasional Kepulauan Seribu. Misi ini bertujuan untuk menjaga
keberadaan suatu jenis tertentu yang menjadi kekhasan dan keunikan dalam

3.

kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.


Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bagi
kesejahteraan masyarakat. Misi ini bertujuan untuk mengendalikan
pemanfaatan sumberdaya alam dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan
Seribu oleh masyarakat lokal dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan

4.

hidup dengan memperhatikan aspek-aspek konservasi sebagai pilar utama.


Menguatkan kelembagaan dan tata kelola yang baik dan berkeadilan. Misi
ini bertujuan untuk Meningkatkan dukungan manajemen dan pelaksanaan

tugas teknis.
2.4. Kondisi Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Saat Ini
2.4.1. Potensi Pariwisata
Kawasan TNKpS berpotensi besar untuk pengembangan wisata bahari,
mengingat letaknya yang dekat dengan ibu kota negara (Jakarta), sehingga
menjadikan kawasan ini mempunyai peluang pengembangan yang baik. Sejalan
dengan perkembangan kota-kota besar, maka semakin banyak orang yang
menginginkan kembali ke alam. Kegiatan-kegiatan wisata bahari yang dapat

dilakukan di dalam kawasan taman nasional antara lain menyelam (scuba diving)
pada beberapa spot selam (terdapat 26 spot selam), snorkeling, memancing, wisata
pendidikan (penanaman lamun, mangrove, serta rehabilitasi karang, penyu sisik,
elang bondol), berjemur di pantai, berkemah, dan lain-lain. Panorama laut di
wilayah ini menjadi daya tarik alamiah bagi wisatawan. Panorama seperti pada
saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa
pulau di dalam kawasan Taman Nasional telah dikembangkan menjadi resortresort wisata, dengan sarana pariwisata antara lain dengan dibangunnya dermaga,
anjungan pengunjung, restoran dan pondok-pondok inap oleh pihak swasta.
Jumlah pulau yang wilayah perairannya berada di kawasan TNKpS berjumlah 76
buah dimana dari jumlah tersebut tercatat 20 buah yang telah dikembangkan
sebagai pulau wisata, 6 buah pulau yang dihuni penduduk dan sisanya dikuasai
perorangan atau badan usaha.
Dinamika kehidupan masyarakat setempat sebagai masyarakat bahari
sesungguhnya dapat menjadi daya tarik wisata. Kegiatan masyarakat sebagai
nelayan dapat menjadi daya tarik tersendiri, khususnya di pulau-pulau
permukiman. Berbagai jenis ikan dan hasil laut bisa menjadi komoditi yang
memiliki nilai jual untuk ditawarkan kepada para wisatawan. Sementara itu, alat
perlengkapan

penangkapan

ikan

dapat

diperkenalkan

kepada

para

pendatang/wisatawan, seperti, karamba jaring apung, bagan, alat pancing serta


perahu. Perkembangan jumlah wisatawan yang datang ke Kepulauan Seribu dari
tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada Tabel 2 diperlihatkan bahwa jumlah
wisatawan dari tahun 2003 sampai 2009 mengalami peningkatan.

10

Tabel 2. Kunjungan wisatawan ke Kepulauan Seribu tahun 2003 2009.


No.

Tahun

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009

Jumlah Pengunjung
1.000
915
1.739
712
2.127
7.527
14.300

2.4.2. Flora Fauna


Kawasan TNKpS termasuk wilayah perairan Laut Jawa di bagian utara
Teluk Jakarta. Karena termasuk dalam Paparan Sunda, maka perairan laut di
kawasan ini merupakan perairan laut dangkal dengan pulau-pulau karang dan
paparan karang serta terumbu karang (reef flat dan coral reef). Taman Nasional ini
mempunyai SDA yang khas yaitu keindahan alam laut dengan ekosistem karang
yang unik seperti terumbu karang, ikan hias dan ikan konsumsi, echinodermata,
crustacea, molusca, penyu, tumbuhan laut dan darat, mangrove, padang lamun,
dan lain-lain (BTNKpS, 2010).
Ekosistem terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu pada umumnya
berbentuk fringing reef (karang tepian) dengan kedalaman 1 - 20 meter. Bentukan
terumbu karang seperti ini secara tidak langsung dapat mengurangi deburan
ombak yang dapat mengikis bagian pantai pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang
termasuk dalam kategori pulau-pulau sangat kecil. Jumlah jenis karang keras
(hard coral) yang ditemukan di perairan TNKpS adalah sebanyak 62 marga
dengan kelimpahan 46.015 individu/ha (pada tahun 2005) dan 61 marga dengan
kelimpahan 35.878 individu/ha. Jenis-jenis karang keras yang dapat ditemukan

11

seperti karang batu (massive coral) misalnya Montastrea dan Labophyllia, karang
meja (table coral), karang kipas (Gorgonia), karang daun (leaf coral), karang
jamur (mushroom coral), dan jenis karang lunak (soft coral) sebanyak 29 marga
dengan kelimpahan 62.985 individu/ha. Beberapa tipe koloni karang yang ada
antara lain Acropora tabulate, Acropora branching, Acropora digitate, Acropora
submassive, branching, massive, encrusting, submassive, foliose dan soft coral.
Beberapa jenis karang yang telah menjadi komoditi komersial antara lain
Acropora sp., Porites sp., Favia sp., Gorgonian sp., dan Akar Bahar atau Black
Coral (Antiphates sp.) yang merupakan salah satu jenis biota laut yang masih
dalam Appendix 2 CITES. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
kondisi rata-rata tutupan karang di TNKpS mengalami peningkatan. Adapun
perkembangan tutupan karang padatan pada tahun 2003 sampai dengan 2009,
yaitu 33,00% (2003), 31,98% (2005), 33,44% (2007) dan 34,60% (2009). Kondisi
tutupan karang di Zona Pemanfaatan Wisata adalah 30,67% (2003), 40,05%
(2005), 31,50% (2007) dan 38,6% (2009). Adapun kondisi tutupan karang di
Zona Permukiman adalah 40,63% (2003), 31,98% (2005), 33,44% (2007) dan
34,1% (2009) (BTNKpS, 2010).
Kawasan TNKpS merupakan habitat bagi penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) yang dilindungi, dan keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam
upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat-tempat
penelurannya seperti Pulau Peteloran Timur, Penjaliran Barat, Penjaliran Timur
dan Pulau Belanda, telah dilakukan juga pengembangan pusat penetasan,
pembesaran dan pelepasliaran penyu sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa.

12

Kegiatan di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa tersebut dilakukan dengan cara
mengambil telur dari pulau-pulau tempat bertelur untuk ditetaskan secara semi
alami. Anak penyu (tukik) hasil penetasan tersebut kemudian sebagian dilepaskan
kembali ke alam, dan sisanya dipelihara untuk dilepaskan secara bertahap
(BTNKpS, 2010).

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Keadaan Umum Pulau Pramuka
Pulau pramuka terletak diantara gugusan Kepulauan Seribu di teluk
Jakarta yang merupakan bagian dari Provinsi DKI Jakarta. Pulau Pramuka
memiliki luas karang lebih dari 10 Ha dan memiliki pesisir pantai yang umumnya
berpasir. Secara geografis, Pulau pramuka berada pada posisi 5 04419-504505
LS dan 10603635-10603707 BT dan berbatasan dengan beberapa Pulau di
sekitarnya seperti Pulau Panggang, Pulau Sekati dan Gosong Air.
Pulau Pramuka memiliki iklim yang mirip dengan iklim yang terdapat di
sekitar teluk banten. Dimana iklim yang dimiliki Pulau Pramuka di pengaruhi oleh
keadaan angin. Jika angin bertiup dari samudera hindia, maka menandakan musim
hujan. Jika angin bertiup dari laut jawa, maka menandakan musim kemarau.
Di Pulau Pramuka, beberapa kegiatan ekonomi perairan masih sering
dilakukan, seperti karamba jaring apung, penangkapan ikan oleh nelayan
menggunakan jala dan kail atau peralatan sederhana hingga menggunakan pukat
atau peledak, serta banyaknya transportasi laut. Di Pulau Pramuka juga terdapat
penangkaran penyu, kolam ikan buatan (miniatur laut), dan lainnya.
3.1.1. Topografi Pulau Pramuka
Kawasan Kepulauan Seribu termasuk pulau pramuka memiliki topografi
datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0-2 meter d.p.l. Luas daratan dapat
berubah oleh pasang surut dengan ketinggian 1-1,5 meter. Morfologi Kepulauan

14

seribu termasuk Pulau Pramuka merupakan dataran rendah pantai, dengan


perairan laut yang ditumbuhi karang yang membentuk atol atau yang disebut
karang penghalang (Barrier reef). Atol di jumpai atau di temukan disetiap Pulau
di wilayah Kepulauan Seribu termasuk Pulau Pramuka, kecuali Pulau Pari, Pulau
Kotok, dan Pulau Tikus yang memiliki bentuk coral Fringing reef atau yang
terpisah-pisah.
Keadaan laut di sekitar Pulau Pramuka memiliki kedalaman yang
bervariasi. Seperti pada bagian utara yang topografi pantai nya berupa hutan
mangrove sepanjang 5-10 meter dari bibir pantai dengan kedalaman rata-rata 1-3
meter. Sedangkan di wilayah selatan merupakan pantai berpasir dengan gosong
sepanjang 100-200 meter dari bibir pantai dengan kedalaman 1-3 meter
tergantung pasang surut. Pada bagian timur merupakan daerah Barrier Coral pada
Pulau tersebut dengan kedalaman pada jarak 200 meter dari bibir pantai sekitar 110 meter. Sedangkan pada bagian barat, memiliki kedalaman 1-20 meter dari bibir
pantai sepanjang 50-100 meter.
Pulau Pramuka juga memiliki pesisir yang sangat di pengaruhi oleh tinggi
rendahnya pasang surut. Luas daerah pasang surut sangat tergantung dari wilayah
topografi perairan serta pasang surutnya air laut. Menurut Odum (1998), luas
daerah pasang surut sangat terbatas, namun terdapat variasi akibat faktor
lingkungan dibandingkan dengan daerah lainnya.
Selain pasang surut, pembagian zona ataupun pada dasar perairan yang
dapat mempengaruhi kepadatan hewan yang ada di ekosistem tersebut.Factor

15

gerakan air, suhu, salinitas, dan cahaya turut mempengaruhi kehidupan di laut
(Romimohtarto dan Sri, 2001).
3.1.2. Faktor Fisik (Zonasi) Ekosistem Pesisir di Pulau Pramuka
Menurut Aziz (1996), fauna Echinodermata dapat tersebar di berbagai
ekosistem terumbu karang dan perairan lepas pantai. Kondisi substrat, habitat dan
mikrohabitat ikut menentukan sebaran local fauna Echinodermata.
Tipe ekosistem terumbu karang terdiri dari beberapa zona, yaitu zona
rataan terumbu yang terdiri dari zona rataan pasir, zona lamun dan zona
pertumbuhan algae (Thalamita-flat) dan zona moats. Zona tubir terdiri dari
benting karang (Rubble rampart) dan acropora rampart. Kemudian diikuti oleh
zona lereng terumbu, yang ditempati oleh berbagai koloni karang hidup, karang
lunak, gorgonian, spons dan antipatharian (Azis, 1996). Berikut adalah Pembagian
zona pada kawasan intertidal :
a. Lereng Terumbu
Lereng terumbu merupakan zona yang ditempati oleh berbagai koloni
karang hidup, karang lunak, gorgonian, spons dan antiphatirian yang
berada pada zona kemiringan terumbu.
b. Zona Tubir (Puncak terumbu)
Merupakan zona yang terdapat formasi karang hidup yang disebut
Acropora rampart. Disini didapatkan koloni karang bercabang yang sangat
rapuh dan mudah rusak jika terinjak.

16

c. Zona Moats dan Goba


Zona ini selalu tergenang air yang kadang-kadang mencapai kedalaman
lebih dari 5 meter. Moats dan Goba mempunyai substrat bervariasi dari
lumpur sampai pecahan karang.
d. Zona Beting Karang
Merupakan suatu daerah yang dibangun oleh bongkahan Karang dan
Pecahan karang atau Rubbles. Sebagian besar zona ini mengalami
kekeringan pada saat surut.
e. Zona Lamun
Menurut Sheppard et al., 1996 dalam Wimbaningrum, 2002 dalam
Mardiyansyah, 2008, Zona lamun adalah ekosistem pesisir yang ditumbuhi
oleh Tumbuhan Lamun sebagai vegetasi yang mendominasi. Lamun
adalah kelompok Tumbuhan berbiji tertutup dan berkeping tunggal yang
mampu hidup secara permanen dibawah permukaan air laut.Daerah ini
pada saat surut terendah biasanya tersisa genangan air setinggi 20-50 cm
yang terletak di bagian utara dan timur laut Pulau Pramuka.
f. Zona Rapatan Pasir
Merupakan daerah yang ada pada tempat-tempat tertentu yang berisi
pecahan karang mati (Rubbles), dan pada beberapa tempat ditumbuhi
enhalus. Sebagian besar dari daerah rataan pasir ini mengalami kekeringan
pada saat air surut besar.

17

g. Pantai
Pantai merupakan zona yang terdiri dari rataan pasir yang terkena sebagian
pasang surut air laut. Di wilayah ini banyak ditemui Echinodermata
terutama Bulu babi.
3.2. Bulu babi Diadema setosum
Bulu babi memiliki duri terpanjang dari filum Echinodermata. Tidak
seperti bintang laut, Bulu babi memiliki duri pada seluruh bagian tubuh mereka.
Duri pada Bulu babi terdapat di segala bagian tubuhnya dan menyebar ke segala
arah dan duri tersebut memiliki racun, namun tidak mematikan dan hanya
mengakibatkan nyeri pada bagian tubuh yang terkena duri tersebut (Hughes,
1985).
3.2.1. Sistematika Diadema setosum

Gambar 1. Diadema setosum (Pribadi)


Kingdom

: Animalia

Filum

: Echinodermata

Subfilum

: Echinozoa

Kelas

: Echinoidae

18

Genus

: Diadema

Spesies

: Diadema setosum
Bulu babi merupakan hewan Penjelajah, walaupun daerah jelajahnya

rendah, namun Bulu babi juga dapat mengakibatkan kerusakan dalam suatu
ekosistem laut akibat pergerakannya. Akibat pergerakannya, Bulu babi dapat juga
merubah suatu Pola Substansial dari suatu ekosistem dalam perairan yang
mengakibatkan peningkatan

jumlah spesies dalam porsi yang besar disuatu

daerah (Robert T, 2005).


3.2.2. Habitat Bulu Babi
Bulu babi biasa hidup didaerah berkarang, namun ada juga yang hidup di
lingkungan yang berpasir maupun padang lamun, bahkan ada juga yang hidup di
hutan mangrove (Birkeland, 1998). Hewan air ini aktif pada malam hari atau
nocturnal dan pada siang hari biasanya bersembunyi di celah-celah karang untuk
menghidari predator seperti ikan-ikan karang (Birkeland, 1998). Dalam kondisi
penuh pencemaran, Bulu babi banyak pula yang hidup di tumpukan sampah yang
terbenam didasar laut.
3.2.3. Pakan Bulu Babi
Bulu babi biasanya memakan serpihan karang, bekas cangkang moluska,
dan alga dengan menggunakan mulut tabungnya. Tetapi, pada musim sulit Bulu
babi dapat juga memakan apa saja. Mulutnya yang terletak pada bagian bawah
tubuhnya mempunyai gigi yang dapat dicuatkan untuk memperoleh ganggang dan
makanan lain yang terdapat pada karang. Bahkan dapat digunakan untuk menggali

19

lubang persembunyian pada karang atau koral. Selain itu dibeberapa daerah,
gonad Bulu babi merupakan bahan makanan (Konar dan Brenda, 2000).
Pakan utama Bulu babi merupakan karang-karang lunak, serpihanserpihan karang, dan makro alga serta plankton (Wassilieff dan Maggy, 2009).
Namun, akibat perubahan lingkungan serta habitat yang memaksa Bulu babi
untuk merubah pola prilaku terutama pakan mereka dan membuat Bulu babi untuk
mengkonsumsi segala yang ada disekitar mulut nya (Konar dan Brenda, 2000).
3.2.4. Reproduksi Bulu Babi
Reproduksi Bulu babi trmasuk kedalam kategori fertilisasi eksternal.
Dimana Bulu babi melepas jutaan sel telur seperti jelly berlapis pada musim
kawinnya. Lalu sperma dilepaskan oleh jantan melalui genosper dan mulai terjadi
fertilisasi. Telur yang sudah dibuahi akan menjadi larva kecil yang termasik
kedalam zooplankton yang terdapat di laut dan dibutuhkan 2 hingga 5 tahun untuk
menjadi dewasa dan siap menjalani pembuahan kembali (Nybakken, 1992).
3.3. Elang Bondol (Haliastur indus)
3.3.1. Sistematika Haliastur indus

Gambar 2. Haliastur indus (Pribadi)


Kingdom

: Animalia
20

Filum

: Echinodermata

Subfilum

: Echinozoa

Kelas

: Echinoidae

Genus

: Diadema

Spesies

: Diadema setosum

Elang Bondol (Haliastur indus) berukuran sekitar 45 cm, mempunyai sikap


yang gagah, sayap panjang clan lebar, kaki kuat, jari kaki dilengkapi cakar.. Elang
bondol (Haliastur indus) memiliki warna putih dengan coretan hitam vertikal dari
kepala, leher sampai perut dan coklat kepirangan pada bagian punggung sayap
sampai ekor. Warna bulu burung remaja kecoklatan dengan coretan pada dada.
Warna berubah menjadi putih keabu-abuan pada tahun kedua dan mencapai bulu
dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga (KSDASulSel, 2012).
Jenis satwa ini termasuk satwa yang dilindungi, jadi tidak bisa
diperjualbelikan dan dipelihara secara bebas mengingat secara keseluruhan di
wilayah Indonesia populasi dan habitatnya sudah sangat berkurang. Berdasarkan
IUCN Red List, Elang Bondol mempunyai status konservasi Least Concern
(Resiko Rendah) sejak tahun 2004 dan CITES (Convention on International Trade
of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International
Satwa dan Tumbuhan) memasukkannya dalam daftar Apendiks II. Mengingat
kondisinya saat ini yang sudah berkurang, perlakuan untuk mengembalikan
populasi dan habitat jenis burung ini sangat dianjurkan sebelum kondisinya berada
pada tahap bahaya yang nantinya akan punah (KSDASulSel, 2012) .
3.3.2. Pakan Elang Bondol

21

Elang Bondol (Haliastur indus) bersifat karnivora (pemakan daging) dan


dalam hal mencari makan bukan hanya buruan yang masih segar. Tapi juga akan
menangkap mangsa yang sudah menjadi bangkai yang biasanya adalah ikan-ikan
yang mati dan mengambang di permukaan air. Selain memakan ikan, Elang
bondol (Haliastur indus) juga biasa memakan ular, tikus, burung air, bangkai, dan
Mamalia air (KSDASulSel, 2012).
3.3.3. Habitat Elang Bondol
Daerah yang biasa di kunjungi Elang Bondol (Haliastur indus) adalah
daerah rawa, sungai, muara, pantai, sawah, daerah aliran air dan kepulauan sampai
dangan daerah yang ketinggianya sampai 2800 m di atas permukaan laut.
Habitatnya di daerah hutan lembab hingga daerah padang rumput. Penyebararmya
meliputi India, Ceylon, Asia Tropis dan Cina Selatan sampai ke bagian Utara
Australia. Di Indonesia sendiri Elang Bondol (Haliastur indus) tersebar di
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali.

22

BAB IV
METODOLOGI
4.1

Waktu dan Tempat


Praktek Kerja Lapangan dilakukan selama dua minggu mulai tanggal 1

sampai 14 Februari 2013. Lokasi praktek kerja lapangan dilakukan di Pulau


Pramuka, dan di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
4.2

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan antara lain : alat dasar selam,roll meter, lalu alat-alat

pengukur faktor fisik (Thermometer, secchi disk, pengukur kecepatan arus), GPS,
kamera bawah air, alat tulis bawah air. Sementara bahan yang digunakan antara
lain alkohol 70 %, dan akuades.
4.3

Metode Pengambilan Data

4.3.1

Penentuan Titik pengamatan


Praktek kerja lapangan yang dilakukan ini ditempatkan pada empat titik

pengamatan di sekeliling Pulau Pramuka menurut empat arah mata angin. Titik
pertama di sebelah Selatan, titik kedua sebelah Timur, titik ketiga sebelah Utara,
titik empat sebelah Barat Pulau Pramuka.

23

Titik 3

Titik 4
Titik 2

Titik 1

Gambar 3. Peta titik pengamatan Diadema setosum Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Google map, 2011).

Penentuan titik pengamatan Diadema setosum pada penelitian ini


berdasarkan dimana ditemukannya kemunculan Diadema setosum terbanyak.
Kemunculan Diadema setosum terbanyak ditemukan di sekitar dermaga (Titik 1).
Ketiga titik lain ditentukan untuk melihat populasi Diadema setosum di sekeliling
Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.
4.3.2

Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan


Pengukuran yang akan dilakukan dengan cara mengukur parameter fisik

dan kimia di setiap titik dilakukan 3 kali pengulangan. Parameter yang diukur
meliputi suhu, dan kecepatan arus. Pengukuran langsung dilakukan di titik
pengamatan.

24

Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer air raksa dengan cara
ujung timah dicelupkan kedalam air selama beberapa menit dan dilihat angka
yang terdapat di thermometer tersebut.
Kecepatan arus air diukur menggunakan bola arus dengan cara melepaskan
bola arus di air dan dibiarkan berjalan sejauh 1 meter lalu waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai jarak 1 meter dicatat. Jarak 1 meter dibagi dengan waktu yang
diperlukan dicatat sebagai kecepatan arus air dalam satuan meter per detik (m/s).
4.3.3

Metode Pengumpulan Data


Metode yang akan digunakan dalam pengumpulan data adalah metode

belt transect. Transek sepanjang 70 meter dibuat sejajar garis pantai ( tubir ),
dengan jarak pengamatan 1 meter kiri dan kanan ( lebar daerah pengamatan 2 m ),
sehingga luas daerah pengamatan setiap titik pengamatan adalah 140 m2 (2x70m).
Pengukuran ini dilakukan dengan tiga zona tiap titik sampling dengan jarak 20
meter setiap zonanya dan jarak antar zona sejauh 5 meter.

Gambar 4. Metode Belt Transect dilihat dari atas

Pengambilan data dilakukan dengan cara berenang dan menyelam


sepanjang garis transek yang dibuat serta mencatat berapa banyak jumlah populasi
Diadema setosum pada setiap titik untuk dapat mengetahui pola persebarannya di
Pulau Pramuka.
25

BAB V
HASIL

5.1

Pengamatan Populasi dan Pola Sebaran Diadema setosum

5.1.1 Parameter Fisik Perairan


Pengambilan data untuk Parameter Fisik Perairan dilakukan sebelum
pengambilan data jumlah populasi Diadema setosum Di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Data yang diambil untuk pengukuran Parameter
Fisik Perairan antara lain yaitu, : Suhu, kecepatan arus, kecerahan Data tersebut
diambil untuk mengetahui perbedaan kondisi lingkungan antara titik satu dengan
titik yang lainnya.
Tabel 3. Data Parameter Fisika-Kimia Perairan di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.

26

Parameter Fisika Kimia Perairan


NO

Stasiun

Suhu (C)

Arus(m/s)

Kecerahan(%)

Titik Barat

29c

0,104

100%

Titik Utara

29c

0,092

100%

Titik Timur

29c

0,103

100%

28c

0,250

100%

4
Titik Selatan
Suhu

Suhu pada keempat titik pengamatan menunjukkan nilai yang sama yaitu
29oC kecuali pada titik Selatan yaitu sebesar 28 oC. Suhu diukur dengan kedalam
yang sama yaitu antara 1-2 meter.

Kecepatan arus
Kecepatan arus yang diukur merupakan kecepatan arus pada permukaan
laut. Perairan disekitar Pulau Air memiliki kecepatan arus yang cukup tinggi yaitu
berkisar antara 0,09 0,25 m/s. Kecepatan arus tertinggi didapat pada titik selatan
dengan kecepatan 0,25 m/s dan terendah terdapat pada titik utara dengan
kecepatan 0,092 m/s. Kecepatan arus sangat mempengaruhi nutrient yang terdapat
pada suatu perairan.
Kecerahan
Kecerahan yang terdapat pada semua titik pengamatan yaitu 100%. Hasil
ini menyimpulkan bahwa cahaya matahari pada perairan disekitar Pulau Pramuka
masih memungkinkan untuk dapat menembus dengan sempurna hingga
kedalaman 10 meter. Tingkat kecerahan yang tinggi pada suatu perairan

27

disebabkan oleh perairan yang jernih dan sedikit terjadi nya sedimentasi dan kuat
arus yang tidak terlalu tinggi.
5.1.2. Pengamatan Diadema setosum
Tabel 4. Jumlah individu Diadema setosum pada tiap titik pengamatan

No.

Titik Pengamatan

1
2
3
4

Selatan
Timur
Utara
Barat

Jumlah individu D.
setosum
347
0
0
895

Titik pertama yang diamati adalah sebelah selatan Pulau Pramuka.


Koordinat dari titik ini adalah S 05o 44.511 ; E 1106o 36.678. Pada titik ini
didapat jumlah Diadema setosum sebanyak 347 individu dengan rincian 273
individu pada plot 20 m2 pertama, dan 74 individu pada plot 20 m2 ketiga
sementara pada plot kedua tidak ditemukan individu dari Diadema setosum.
Titik selanjutnya yang diamati adalah sebelah timur Pulau Pramuka.
Tepatnya pada titik koordinat S 05o 44.704 ; E 106o 37.214.Titik sebelah timur
dari pulau pramuka tidak ditemukan satu pun individu pada transek yang dibuat.
Hal ini mungkin disebabkan karena substrat yang terdapat pada titik ini adalah
pasir dan tidak terdapat karang.
Titik ketiga yang diamati adalah sebelah utara Pulau Pramuka yaitu pada
titik koordinat S 05o 45.074 ; E 106o 37.002. Pada titik ini juga tidak ditemukan
individu Diadema setosum sepanjang transek yang dibuat. Titik sebelah utara ini
juga memiliki substrat berpasir namun terdapat karang. Karang yang terdapat pada
titik ini merupakan karang yang hidup. Oleh karena itu, titik ini tidak ditemukan
Diadema setosum yang merupakan indikator dari karang-karang mati.

28

Titik terakhir yang diamati adalah sebelah barat Pulau Pramuka dekat
dermaga pelelangan ikan. Lokasinya pada titik koordinat S 05 o 44.511 ; E 106o
36.828. Sisi barat pulau Pramuka merupakan tempat ditemukannya populasi
Diadema setosum paling banyak. Pada titik ini ditemukan sebanyak 895 individu
Diadema setosum dengan rincian 241 individu pada plot 20 m 2 pertama, 395
individu pada plot kedua, dan 259 individu pada plot ketiga. Populasi Diadema
setosum yang tinggi pada sisi barat pulau pramuka disebabkan karena pada sisi ini
memiliki banyak karang-karang mati yang merupakan tempat hidupnya bulu babi
dalam hal ini Diadema setosum.

5.2

Monitoring Pusat Rehabilitasi Elang Bondol


Di Kepulauan Seribu, terdapat pusat rehabilitasi Elang Bondol (Haliastur

indus) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dan
Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Pulau Kotok Besar menjadi tempat
didirikannya Pusat Rehabilitasi Elang Bondol di Kepulauan Seribu.
Elang Bondol yang terdapat di pusat rehabilitasi ini merupakan hewanhewan rampasan atau sitaan dari tempat-tempat penjualan hewan atau bisa juga
sitaan dari peliharaan individu. Di tempat penjualan hewan seperti pasar burung,
Elang Bondol diperjual-belikan secara bebas dan ilegal. Selain itu, Elang Bondol
juga sering dijadikan hewan peliharaan bagi beberapa orang yang mengoleksi
hewan langka. Hal tersebut jelas sebuah kesalahan karena Elang Bondol
merupakan hewan yang dilindungi oleh Undang-Undang, yaitu Undang-Undang
nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem.

29

Di pusat rehabilitasi ini, elang yang tidak memiliki cacat fisik akan dilatih
untuk terbiasa dengan keadaan sebagaimana yang ada di alam liar. Kemampuan
berburu mangsa merupakan yang paling penting bagi satwa liar seperti elang
bondol untuk dapat bertahan hidup di alam liar.
Menurut Fauzi (penjaga pusat rehabilitasi elang bondol) perlu waktu yang
bervariasi bagi elang untuk siap kembali ke alam liar. Ada yang hanya
memerlukan

hitungan

minggu bahkan

ada juga yang

lebih dari satu

tahun,

tergantung

dari

kondisi

elang

itu sendiri saat

dibawa

ke

pusat

rehabilitasi.

Sementara untuk elang yang datang ke pusat rehabilitasi dengan memiliki cacat
fisik butuh waktu lebih lama untuk pemuliahannya. Namun apabila cacat fisik
yang dimiliki sudah permanen maka elang tersebut menjadi penghuni tetap dari
pusat rehabilitasi tersebut.

Gambar 5. Fauzi (kanan) saat menjelaskan tentang pusat rehabilitasi elang bondol

30

Cacat fisik yang ada pun beragam, yang paling sering dijumpai adalah
cacat fisik yang disengaja seperti mematahkan sayap elang agar elang tidak dapat
terbang lagi. Hal ini biasa dijumpai pada elang yang disita dari peliharaan
individu. Pemiliknya biasanya menginginkan agar elang tidak kabur dari
tempatnya. Selain itu ada juga elang yang telah dicabuti bulu-bulunya sehingga
menyebabkan elang tidak dapat terbang. Bulu-bulu lang yang telah dicabuti akan
sulit untuk tumbuh lagi, dan kalau pun tumbuh, maka bulu tersebut tidak akan
kembali ke bentuk yang sempurna.

31

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Populasi terbanyak Diadema setosum terdapat pada sisi barat pulau
Pramuka
2. Pola sebaran Diadema setosum di Pulau Pramuka adalah mengelompok
3. Pusat rehabilitasi elang bondol merawat elang yang cacat sampai bisa
kembali ke alam liar
4. Elang-elang yang ada di pusat rehabilitasi merupakan hewan ilegal
sitaan
6.2. Saran
Melihat banyaknya populasi bulu babi Diadema setosum, penulis
menyarankan untuk memanfaatkan hewan tersebut. Diadema setosum merupakan
bulu babi yang dapat dikonsumsi, mungkin dapat dimanfaatkan untuk konsumsi
masyarakat sekitar.

32

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 1996. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulu Babi. Pusat


Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta :
LIPI Press
Aziz, A. 1996. Habitat dan Zonasi Fauna Echinodermata Di Ekosistem Terumbu
Karang. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta : LIPI Press
Aziz, A. 2008. Sumberdaya Laut Di Perairan Laut Cina Selatan Dan
Sekitarnya. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta : LIPI Press
Birkeland, C. 1999. The Influence of Echinoderm on Coral Reef Communities in:
Echinoderm Studies M.Jangoux & J.M. Lawrence, (eds) Vol. 3. A.A.
Berkerna. Roterdam, Netherland: 79pp.
Carpenter, R.C . 1988. Misa kematian dari Landak Laut di Pulau Karibia :
langsung efek pada metabolisme masyarakat dan lainnya herbi- vores.
Proc Natl Acad Sci USA 85: 511-514
Carpenter, D. R. 2001. Invertebrate Predators and Grazers. Dalam : Birkland, C.
(ed.) 2002. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York :
298-229
Irawan, Z.D. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem,
Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta. Bumi Aksara hal 103.

33

Krebs. C. J. 1995. Ecology. Third edition. New York: Harper & Row Publisher.
Hlm 532 Patrick L. Collin & Charles Armeson. 1995. Tropical Fasific
Invertebrate. California : Coral Reef Press
Mardiansyah. 2008. Keanekaragaman, Populasi dan DIstribusi Aseteroidea Di
Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. Jakarta. UIN : Press.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT.
Gramedia. Hlm: 198
Odum, E.P. 1971. Fundamental Of Ecology. W.B Souders Company. Philadelphia
London Toronto.
Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi edisi : edisi ke 3. Gajahmada University
Press. Yogyakarta. 694 hlm.
Radjab, A.W. 2000. Sebaran dan Kepadatan Bulu Babi Di Perairan Kepulauan
Padaido, Biak, Irian Jaya Bidang Sumber Daya Laut, Pusat Penelitian
Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. LIPI Press
Robert T. Paine, & Robert L. Vadas. 2005. The Effects Of Grazing By Sea
Urchins, Strongylochentrotus. SPP., On Benthic Alga Populations.
Departement of Zoology & Departement of Botany, University of
Washington. Seattle.
Safran, Y. Rini, E.S. Muhammad, S. dan Budi, S. 2009. Sekilas tentang Kepulauan
Seribu: Kondisi Sosial Ekonomi, Potensi dan Ancaman Sumberdaya
Alam , dan Upaya Konservasi laut dalam

34

Sugiarto, H dan Supardi. 1995.Beberapa Catatan Tentang Bulu Babi Marga


Diadema Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta : LIPI Press
Sumich, J.L. 1999. an Introduction to The Biology of Marine Life. WCB
McGraw-Hill Publication.:484
TNLKpS. 2011. Demografi dan Potensi Makro. Balai Taman Nasional Kepulauan
Seribu.

Jakarta.

Avaible

online

at

http://tnlkepulauanseribu.net/index.php?which=42 (diakses pada 29 April


2013)
Wassilieff, Maggy (March 2, 2009). "sea urchins". Te Ara Encyclopedia of New
Zealand.

http://www.teara.govt.nz/en/starfish-sea-urchins-and-other-

echinoderms/2.
http://www.ksdasulsel.org/artikel/fauna/333-elang-bondol-burung-kebudayaan

35

LAMPIRAN

Gambar 6. Alat-alat yang digunakan

Gambar 7. Pembuatan transek belt

Gambar 8. Kondisi karang dan bulu babi Pulau Pramuka

36

Gambar 9. Kondisi Pusat Rehabilitasi Elang Bondol Pulau Kotok Besar

37

You might also like