You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hamil adalah suatu masa dari mulai terjadinya pembuahan dalam
rahim seorang wanita sampai bayinya dilahirkan. Kehamilan terjadi ketika
seorang wanita melakukan hubungan seksual pada masa ovulasi atau masa
subur (keadaan ketika rahim melepaskan sel telur matang), dan sperma (air
mani) pria pasanganya akan membuahi sel telur sel telur matang wanita
tersebut. Telur yang telah dibuahi sperma kemudian akan menempel pada
dinding rahim, lalu tumbuh dan berkembang selama kirakira 40 minggu (280
hari) dalam rahim pada kehamilan normal (Suririnah, 2008).
Kehamilan ektopik masih menjadi penyebab kematian utama pada ibu
hamil di Kanada yaitu berkisar 4% dari 20 kematian ibu pertahun (Murray et
al, 2005). Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam
satu konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka
kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran
hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian
kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Diantara faktorfaktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam
rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba,
dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi (Prawirohardjo,
2007)
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat
dalam dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun
1970menjadi 19,7 per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan
ektopik masih menjadi penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada
yaitu berkisar 4% dari 20 kematian ibu pertahun (Murray et al, 2005). Pada
tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari

kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika


Serikat (Murray et al, 2005).
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan
ektopik pada tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 diantara
26 persalinan.1,5 Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik
berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.
Sekurangnya 95 % implantasi ektopik terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri,
tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada
pars ismika, infundibulum dan fimbria , dan pars intersisialis (Prawirohardjo,
2005).

B. Tujuan
1. Mengetahui faktor risiko terhadap kehamilan ektopik
2. Mengetahui dan menelaah isi jurnal dalam pengembangan pengetahuan
tentang kehamilan ektopik dan faktor risikonya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kehamilan Ektopik


Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus. Termasuk dalam
kehamilan ektopik ialah kehamilan tuba, ovarial, kehamilan intra ligamenter,
kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal (Prawirohardjo, 2005).

Gambar. Lokasi Kehamilan Ektopik


B. Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian
alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut,
pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi
superovulasi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat dalam
dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun 1970 menjadi 19,7
per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan ektopik masih menjadi
penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada yaitu berkisar 4% dari 20
kematian ibu pertahun (Murray et al, 2005). Pada tahun 1980-an, kehamilan

ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11%
kematian maternal terjadi di Amerika Serikat (digilib.unsri.ac.id, 2009).
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan ektopik
pada tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 di antara 26
persalinan (Prawirohardjo, 2005).
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara
20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.1 Sekurangnya 95 % implantasi
ektopik terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah
pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars isthmic, infundibulum dan
fimbria, dan pars intersisialis. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks atau
cavum peritonealis jarang ditemukan (digilib.unsri.ac.id, 2009).
C. Faktor Risiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Namun
kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.1 Lebih dari
setengah kehamilan ektopik yang berhasil diidentifikasi ditemukan pada wanita
tanpa ada faktor resiko (Murray et al, 2005).
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah (Prawirohardjo, 2005):
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat
sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua (Murray et al, 2005).
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan
kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi ke dalam rahim (Murray et al, 2005).
3. Kerusakan dari saluran tuba
Faktor dalam lumen tuba (Prawirohardjo, 2005):
a. Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau
membentuk kantong buntu akibat perlekatan endosalping.

b. Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini
disertai gangguan fungsi silia endosalping.
c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi
sebab lumen tuba menyempit.
Faktor pada dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
a. Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba.
b. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan
telur yang dibuahi di tempat itu.
Faktor di luar dinding tuba (Prawirohardjo, 2005):
a. Perlekatan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba
4. Faktor lain (Prawirohardjo, 2005):
a. Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi
ke uterus, pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan
implantasi prematur.
b. Fertilisasi in vitro.
D. Patogenesis
Setelah sel telur dibuahi di bagian ampula tuba, maka setiap hambatan
perjalanan sel telur ke dalam rongga lahir memungkinkan kehamilan tuba.
Kelainan pada ovum juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya kehamilan
ektopik, akan tetapi hal ini jarang terjadi (Prawirohardjo, 2005).
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga tidak
mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu
(Prawirohardjo, 2005):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk
beberapa hari (Prawirohardjo, 2005)

2. Abortus ke dalam lumen tuba


Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah

dari

dinding

tersebut

bersama-sama

dengan

robeknya

pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya.


Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba
abdominal. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba
membesar dan kebiru-biruan (hematosalping) dan selanjutnya darah
mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba, berkumpul di kavum
douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina (Prawirohardjo,
2005).
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium
tuba abdominal. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.
Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah
karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan
ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi kehamilan
intraligamenter (Prawirohardjo, 2005).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh

kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan


ektpik lanjut atau kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi
kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian uterus,
ligamentum latum, dasar panggul dan usus (Prawirohardjo, 2005).
E. Tanda dan Gejala
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas (Basuki dan
Saifuddin, 1999).
1. Anamnesis : haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan kadangkadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda. Nyeri abdominal terutama
bagian bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan
merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan
ektopik. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak
terlalu spesifik atau juga sensitif (Basuki dan Saifuddin, 1999).
2. Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada perdarahan
di dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Kehamilan ektopik
yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas
adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik (Basuki dan Saifuddin,
1999).
3. Pemeriksaan ginekologi : tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan.
Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka
akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping
uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol
dan nyeri-raba menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadangkadang naik sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvic (Basuki
dan Saifuddin, 1999). Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara
kehamilan 5 dan 12 minggu. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan
ektopik telah memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya

ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan intrauterin yang normal
telah mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan
ektopik (Basuki dan Saifuddin, 1999).
4. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah
merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus
tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa
penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit
secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat
(leukositosis). Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik
dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang lebih dari 20.000
biasanya menunjukkan infeksi pelvic (Basuki dan Saifuddin, 1999).
5. Kuldosentesis : ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu :
a. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
b. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptic
c. Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian

dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior

ditampakkan
d. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan. Hasil positif bila dikeluarkan darah
berwarna coklat sampai hitam yang tdak membeku atau berupa bekuanbekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa :
e. Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau
kista ovarium yang pecah.
f. Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
g. Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
6. Ultrasonografi : cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya
kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauterin. Cara

yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauterin adalah


dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari
diagnosis kehamilan intrauterin dengan menggunakan modalitas ini
mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi
kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan
kurang spesifik (digilib.unsri.ac.id, 2009).
7. Laparoskopi : hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam
dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
Douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis
mempersulit visualisasi alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk
dilakukan laparotomi (digilib.unsri.ac.id, 2009).
F. Diagnosis Banding
1. Salfingitis
2. Abortus imminens atau abortus incompletus
3. Corpus luteum atau kista folikel yang pecah
4. Torsi kistoma ovarii
5. Appendisitis
6. Gastroentritis (Murray et al, 2005).
G. Tatalaksana
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu
(Prawirohardjo, 2005) :
1. kondisi penderita saat itu
2. keinginan penderita akan fungsi reproduksinya
3. lokasi kehamilan ektopik
4. kondisi anatomik organ pelvis
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi
pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif yaitu hanya

dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita


buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi
(digilib.unsri.ac.id, 2009).
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba.
Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan
konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada
kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Pendekatan dengan
pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan
ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba
(digilib.unsri.ac.id, 2009).
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal
dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena
lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba.
Prosedur

ini

dimulai

dengan

menampakkan,

mengangkat,

dan

menstabilisasi tuba. Satu insisi linier dibuat diatas segmen tuba yang
meregang. Hasil konsepsi dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen.
Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan
irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat
untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa. Hemostasis yang
komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada
tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan
membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian
ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya
dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak
ada tegangan yang berlebihan (digilib.unsri.ac.id, 2009).
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan
sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan

mengangkat bagian implantasi. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi


arsitektur normal tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit
dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang
berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hati-hati untuk
menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan
seromuskuler

dilakukan

dengan

menggunakan

mikroskop/loupe

(digilib.unsri.ac.id, 2009).
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba
mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan
harus segera diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan
pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi
suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang
diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat
mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan
kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu
dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang
absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji.
Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan
benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk
mencegah

terjadinya

hematom

pada

ligamentum

latum

(digilib.unsri.ac.id, 2009).
2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan
ektopik secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan
ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat
dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang
invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan

fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu


penyembuhan (Murray et al, 2005).
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
pernah dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk menghindari
tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah
(Murray et al, 2005) :
1.
2.
3.
4.

Kehamian di pars ampularis tuba belum pecah


Diameter kantong gestasi 4cm
Perdarahan dalam rongga perut 100 ml
Tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v. dan

faktor sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari selama 8 hari.
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis
DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim
Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas.
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im atau injeksi local. Selain
dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis
atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. Kontraindikasi pemberian
MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif.
Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen (Murray et al, 2005).
H. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup tetapi bila pertolongan terlambat
angka kematian dapat meningkat. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan
kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah
mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada
tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 014,6%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup sebaiknya pada operasi

dilakukan salfingektomi bilateral. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui untuk
suami istri sebelumnya (Basuki dan Saifuddin, 1999).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Metode Penelitian
Metodologi penelitian ini menggunakan desain kasus-kontral dalam
skala besar dengan pencatatan kelompok kasus dan kontrol. Pencatatan dimulai
pada Januari 1992 di wilayah Auvergne di pusat kota Perancis (sekitar 1.1 juta
penduduk). Semua wanita antara usia 15-44 tahun yang hidup di wilayah ini dan
mendapat terapi kehamilan ektopik telah dicatat. Pada setiap pusat pelayanan
kesehatan (15 rumah sakit maternal dan 12 unit pembedahan, baik negeri
maupun swasta), seorang investigator yang terlatih (seorang bidan atau seorang
dokter) bertanggung jawab untuk mengidentifiksi kasus dan mengumpulkan data,
dan investigator ini mengecek pencatatan kasus secara lengkap pada akhir tahun.
Informasi ini dikumpulkan dari setiap wanita (dari tanya jawab dan rekam medis)
termasuk karakteristik sosiodemografi; ginekologi, reproduksi, riwayat operasi,
kondisi pada saat konsepsi (penggunaan kontrasepsi, induksi ovulasi); kebiasaan
merokok; hasil tes serologi untuk Chlamydia trachomatis; karakteristik
kehamilan ektopik; dan prosedur terapi yang digunakan.
Setiap kasus kehamilan ektopik pada seorang wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi dihubungkan dengan dua kontrol: wanita yang
melahirkan di pusat pelayanan dimana kasus diterapi dan wanita yang proses
melahirkannya terjadi segera setelah terapi pada kasus.
Antara September 1993 (awal perekrutan kontrol) dan Desember
2000, dikumpulkan 1, 065 kasus dan 1,881 kontrol. Wanita yang mengalami
abortus yang diinduksi tidak termasuk dalam kelompok kontrol karena di
Perancis wanita-wanita ini dirujuk ke pusat spesialistik yang tidak berhubungan
dengan rumah sakit bersalin. Didapatkan sampel kasus dan kontrol sejumlah 803
kasus dan 1,683 konrol.

B. Hasil Penelitian
Kami menggunakan analisis dua tingkat pada faktor risiko potensial yang
diteliti. Pertama, kami membagi faktor risiko menjadi empat kelompok: 1)
karakteristik sosiodemografi, 2) riwayat operasi, ginekologi, dan obstetri, 3)
paparan potensial pada faktor infeksi, dan 4) riwayat kontrasepsi dan penanda
fertilitas. Analisi univariat dilakukan untuk menghasilkan perkiraan odds rasio.
Kemudian, regresi logistik dilakukan pada setiap kelompok, termasuk variabel
dengan nilai p 0.2 pada analisis univariat. Terakhir, variabel dengan nilai p 0.2
pada empat analisis parsial ini dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik
menyeluruh.
Tabel 5. Faktor Risiko Utama Kehamilan Ektopik dengan Analisis Regresi
Logistik Akhir (Model Efek Acak)
Variabel

Adjusted

95% CI

OR
Usia wanita (th)
< 20
20-24
25-29
30-34
35-39
40
Merokok
Tidak pernah
Mantan perokok
1-9 batang/hari
10-19 batang/hari
20 batang/hari
Aborsi spontan sebelumnya
Tidak ada
1-2
3
Aborsi diinduksi sebelumnya
Tidak ada
Hanya Operasi
Hanya medis (atau keduanya)
Apendektomi
Tidak, atau apendiks yang tidak

0.6
0.9
1
1.3
1.4
2.9

0.2, 2.1
0.7, 1.3
0.01
1.0, 1.7
1.0, 2.0
1.4, 6.1

1
1.5
1.7
3.1
3.9

1.1, 2.2
1.2, 2.4
2.2, 4.3
2.6, 5.9

1
1.2
3.0

0.9, 1.6
1.3, 6.9

1
1.1
2.8

0.8, 1.6
1.1, 7.2

<0.001

0.02

0.05

0.20

ruptur
Ya, apendiks yang ruptur
Penyakit menular seks sebelumnya
Tidak ada
Ya, tanpa salpingitis
Ya, dengan kemungkinan penyakit
inflamasi pelvis
Ya, dengan penyakit inflamasi pelvis
yang terkonfirmasi $
Operasi tuba sebelumnya
Tidak
Ya
Penggunaan
kontrasepsi
sebelumnya
Tidak
Ya
Penggunaan

alat

1.4

0.8, 2.4

1
1.0
2.1

0.8, 1.3
0.8, 5.4

3.4

2.4, 5.0

1
4.0

2.6, 6.1

1
0.7

0.5, 1.0

< 0.001

< 0.001

oral
0.03

intrauterin

sebelumnya
Tidak
1
0.10
Ya
1.3
1.0, 1.8
Riwayat infertil
Tidak
1
< 0.001
<1 tahun
2.1
1.2, 3.6
1-2 tahun
2.6
1.6, 4.2
>2 tahun
2.7
1.8, 4.2
kemungkinan penyakit inflamasi pelvis, hubungan antara demam, nyeri abdomen, dan
discharge vagina
$ Penyakit inflemasi pelvis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi dan/atau hasil tes serologis
yang positif untuk Chlamydia trachomatis

C. Pembahasan
Penelitian ini menghubungkan beberapa faktor risiko terhadap kejadian
kehamilan ektopik. Faktor risiko yang dihubungkan yaitu, karakteristik
sosiodemografi (umur dan kebiasaan merokok), riwayat operasi ginekologi dan
obstetri, paparan potensial pada faktor infeksi (infeksi genital sebelumnya), serta
riwayat kontrasepsi dan infertilitas. Penelitian ini dilakukan di kota Auvergne,
Prancis dari tahun 1993-2000. Hampir semua wanita yang tinggal di wilayah
Auvergne yang diterapi kehamilan ektopik selama periode penelitian dimasukkan
ke dalam penelitian ini. Kontrol dipilih dari populasi dengan karakteristik

geografi yang sama dengan kasus. Jumlah kasus dan kontrol yaitu 803 kasus dan
1,683 konrol.
Infeksi genital sebelumnya dan operasi tuba
Terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi genital sebelumnya dan
operasi tuba dengan kehamilan ektopik (Tabel 7).
Tabel 7. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Infeksi Genital
sebelumnya dan Operasi tuba sebelumnya
Faktor Risiko

OR

Infeksi Genital sebelumnya


Tidak ada
Ya, tanpa salpingitis
Ya, dengan kemungkinan penyakit inflamasi

1
1.0
2.1

pelvis
Ya, dengan penyakit inflamasi pelvis yang

3.4

terkonfirmasi $
Operasi tuba sebelumnya
Tidak
Ya

1
4.0

AR

P Value

0,33

<0,001

Merokok
Hubungan yang kuat antara penggunaan tembakau dan kehamilan
ektopik telah diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Tay et al. dan Jullie et al. Penelitian ini mengkonfirmasi hubungan merokok
dengan kehamilan ektopik yaitu memperlihatkan pengaruh nicotinin terhadap
tuba fallopi. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara
merokok dengan kehamilan ektopik (Tabel 8).

Tabel 8. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Merokok


Merokok
Tidak pernah

OR
1

AR
0,35

P Value
<0.001

Mantan perokok
1-9 batang/hari
10-19 batang/hari
20 batang/hari

1.5
1.7
3.1
3.9

Usia
Usia sudah lama dicurigai berperan dalam risiko kehamilan ektopik,
tetapi penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Egger et al
memperlihatkan hasil yang bertentangan. Dalam penelitian ini, setelah
penyesuaian dengan hati-hati, peneliti menemukan suatu hubungan yang
signifikan

antara

usia

dan

kehamilan

ektopik.

Dalam

penelitian

ini

menyimpulkan bahwa pada wanita yang lebih tua umurnya memiliki risiko yang
lebih tinggi pada kehamilan ektopik. Hal ini mungkin melibatkan perubahan
yang berhubungan dengan usia pada penurunan fungsi tuba sehingga
menghambat transportasi ovum dan hasil pada implantasi tuba. Tetapi, hipotesis
ini harus diuji. (Tabel 8)
Tabel 9. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Usia
Usia
< 20
20-24
25-29
30-34
35-39
40

OR
0.6
0.9
1
1.3
1.4
2.9

AR

P Value

0,14

0.01

Abortus spontan sebelumnya


Hasil terkait abortus spontan berbeda antar penelitian sebelumnya oleh
Chow et al, 1987, peneliti menemukan suatu hubungan dosis-efek dengan
abortus spontan sebelumnya, risiko yang disesuaikan pada kehamilan ektopik
terlihat tinggi pada wanita dengan tiga atau lebih abortus spontan sebelumnya.
Abortus spontan mungkin memiliki suatu sebab akibat, kemungkinan
diperantarai oleh infeksi. Tetapi, kemungkinan terdapat adanya faktor risiko yang

sama pada kehamilan ektopik dan abortus spontan, seperti abnormalitas


kromosom atau faktor hormonal.
Tabel 10. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Abortus Spontan
Sebelumnya
Abortus Spontan Sebelumnya
None
1-2
3

OR
1
1.2
3.0

AR

P Value

0,07

0,02

Penggunaan alat intrauterin sebelumnya


Di penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kalandidi et al 1991,
menemukan odds rasio yang lebih besar dari 1 pada penggunaan alat intrauterine
masa sekarang, tetapi odds rasio umumnya tidak signifikan pada penggunaan alat
intrauterin masa lampau. Suatu meta analisis menghasilkan odds rasio yang
sedikit lebih besar dari 1, tetapi penyesuaian untuk perancunya tidak sempurna.
Pada penelitian ini, signifikansi odds rasio dari penggunaan alat intrauterin
sebelumnya yaitu sebesar 1,3, hal ini menegaskan bahwa penggunaan alat
intrauterin sebelumnya memiliki peran etiologi dalam kehamilan ektopik, tidak
hanya melalui hubungan infeksi seperti yang dinyatakakan sebelumnya. Hal ini
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bouyer et al, 200 yang menyatakan
bahwa pemakaian kontrasepsi intra uterin dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
Tabel 11. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Penggunaan alat
intrauterin sebelumnya
Penggunaan
sebelumnya
Tidak
Ya

Infertilitas

alat

intrauterin

OR

AR

P Value

1
1.3

0,05

0,10

Peneliti menemukan bahwa risiko yang disesuaikan pada kehamilan


ektopik meningkat bersama dengan durasi infertilitas, dan hubungan ini tetap ada
jika analisis terbatas pada wanita yang kehamilannya tidak diinduksi. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sohinee et al, 2012. Oleh karena
itu kemungkinan riwayat infertilitas (terlepas dari penggunaan obat infertilitas)
berhubungan dengan risiko kehamilan ektopik. Tetapi, kehamilan ektopik
diketahui menjadi faktor risiko infertilitas selanjutnya. Hubungan antara
kehamilan ektopik dan infertilitas sepertinya adalah faktor risiko yang saling
timbal balik dan terlihat rumit.
Tabel 12. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Riwayat infertil
Riwayat infertil
Tidak
<1 tahun
1-2 tahun
>2 tahun

OR
1
2.1
2.6
2.7

AR

P Value

0,18

<0,001

Abortus yang diinduksi sebelumnya


Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilaporkan pada
penelitian sebelumnya oleh Holt et al, 1989. Pada penelitian ini, termasuk
sejumlah besar kasus dan kontrol, menemukan hubungan antara abortus yang
diinduksi sebelumnya dan kehamilan ektopik, dengan odds rasio 1.9 (tingkat
kepercayaan 95%: 1.0, 3.8) untuk wanita dengan dua atau lebih abortus yang
diinduksi sebelumnya.
Tabel 13. P value, Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Tabel 11. P value,
Attributable Risk dan OR Faktor Risiko Riwayat infertil
Aborsi diinduksi sebelumnya
Tidak ada
Hanya Operasi
Hanya medis (atau keduanya)

OR
1
1.1
2.8

AR

P Value

0,03

0,05

BAB IV
KESIMPULAN
1. Faktor risiko yang dihubungkan dengan kehamilan ektopik dalam penelitian
ini yaitu karakteristik sosiodemografi (umur dan kebiasaan merokok), riwayat
operasi ginekologi dan obstetri, paparan potensial pada faktor infeksi (infeksi
genital sebelumnya), serta riwayat kontrasepsi dan infertilitas yang memiliki
hubungan signifikan terhadap kehamilan ektopik.
2. Meskipun beberapa faktor risiko kehamilan ektopik telah diketahui, penyebab
sebagian besar kehamilan ektopik masih belum diketahui.
3. Pada sisi lain, kehamilan ektopik dan infertilitas atau abortus spontan telah
ditemukan terkait erat, penelitian lebih lanjut dapat memperhatikan baik pada
epidemiologi kehamilan ektopik dan infertilitas pada bidang yang lebih luas.
4. Dalam hal kesehatan masyarakat, peningkatkan kesadaran akan peran
merokok mungkin berguna dalam perumusan kebijakan pencegahan
kehamilan ektopik. Hal ini untuk mengevaluasi efek pada insidensi
kehamilan ektopik dan infertilitas dari peningkatan insidensi penyakit
menular seks yang diamati dalam beberapa bulan atau tahun terakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Bouyer, J., Jol Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Herv Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira. 2003. Risk Factors for Ectopic
Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a Large Case-Control,
Population-based

Study

in

France.

American

Journal

of

Epidemiology;157:185194
Bouyer J, Rachou E, Germain E, et al. 2000. Risk factors for extrauterine
pregnancy in women using an intrauterine device. Fertil Steril;74:899
908.
Egger M, Low N, Smith GD, et al. 1998. Screening for chlamydial
infections and the risk of ectopic pregnancy in a county
in Sweden: ecological analysis. BMJ;316:177680.
Tay JI, Moore J, Walker JJ. 2000. Ectopic pregnancy. BMJ;320:916
19.
Coste J, Fernandez H, Joye N, et al. 2000. Role of chromosome
abnormalities in ectopic pregnancy. Fertil Steril;74:1259
60.
Holt VL, Daling JR, Voigt LF, et al. 1989. Induced abortion and the risk of
subsequent ectopic pregnancy. Am J Public Health;79:12348.
Prawirohardjo, S., 2005. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kandungan. Jakarta
Pusat : Yayasan Bina Pustaka.

Digilib.unsri.ac.id.

2009.

Kehamilan

Ektopik.

Available

at

http://digilib.unsri.ac.id/download/Kehamilan%20Ektopik.pdf.
Murray, H., Baakdah, H., Bardell, T., Tulandi, T. 2005. Diagnosis and Treatment
of Ectopic Pregnancy, CMA Media Inc. Canadian Medical Association
Journal (CMAJ);173(8), Available at http://www.cmaj.ca.full.pdf+html.
Basuki B, Saifuddin AB. 1999. Ectopic pregnancy and estimated subsquent
fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia;23:212-218
Chow WH, Daling JR, Cates W Jr, et al. 1987. Epidemiology of ectopic
pregnancy. Epidemiol Rev;9:7094.
Kalandidi A, Doulgerakis M, Tzonou A, et al. 1991. Induced abortions,
contraceptive practices, and tobacco smoking as risk factors for ectopic
pregnancy in Athens, Greece. Br J Obstet Gynecol;98:20713.
Julie L.V. Shaw, Elizabeth Oliver, Kai-Fai Lee et al. 2010. Cotinine Exposure
Increases Fallopian Tube PROKR1 Expression via Nicotinic AChR_-7:
Metabolic, Endocrine and Genitourinary Pathobiology. The American
Journal of Pathology, Vol. 177, No. 5:25092515
Sohinee

Bhattacharya, David

McLernon, Amanda

Lee, and Siladitya

Bhattacharya. 2012. Reproductive Outcomes Following Ectopic


Pregnancy: Register-Based Retrospective Cohort Study. Obstetric
Epidemiology: PLoS Medicine vol. 9

Risk Factors for Ectopic Pregnancy: A Comprehensive Analysis Based on a


Large Case-Control, Population-based Study in France
Jean Bouyer, Jol Coste1, Taraneh Shojaei, Jean-Luc Pouly, Herv Fernandez,
Laurent Gerbaud, and Nadine Job-Spira
Abstrak
Penelitian kasus kontrol ini berhubungan dengan pencatatan regional dari
kehamilan ektopik antara tahun 1993 sampai 2000 di Perancis. Penelitian ini
memasukkan 803 kasus kehamilan ektopik dan 1683 persalinan dan cukup
kuat untuk meneliti tentang semua faktor risiko kehamilan ektopik. Faktor
risiko utama adalah riwayat infeksi (adjusted attributable risk = 0.33;
adjusted odds rasio untuk penyakit infeksi pelvis sebelumnya = 3.4, tingkat
kepercayaan 95%: 2.4, 5.0) dan merokok (adjusted attributable risk = 0.35;
adjusted odds rasio = 3.9, tingkat kepercayaan 95%: 2.6, 5.9 untuk >20 batang
rokok/hari vs. wanita yang tidak pernah merokok). Faktor risiko lainnya
adalah usia (berhubungan dengan risiko kehamilan ektopik), abortus spontan
sebelumnya, riwayat infertil, dan penggunaan alat intrauterin sebelumnya.
Abortus yang diinduksi secara medis sebelumnya berhubungan dengan risiko
kehamilan ektopik (adjusted odds rasio = 2.8, tingkat kepercayaan 95%: 1.1,
7.2); tidak ada hubungan yang diamati untuk abortus karena pembedahan
(adjusted odds rasio = 1.1, tingkat kepercayaan 95%: 0.8, 1.6). Total dari

attributable risk untuk semua faktor yang diteliti adalah 0.76. Hubungan yang
paling erat ditemukan antara kehamilan ektopik dengan infertilitas dan
kehamilan ektopik dengan abortus spontan, penelitian lebih lanjut tentang
kehamilan ektopik seharusnya fokus pada faktor risiko yang sama dengan
kondisi ini. Dalam bidang kesehatan masyarakat, peningkatan kewaspadaan
dari efek merokok mungkin berguna untuk pencegahan kehamilan ektopik.
Kata kunci: abortion, induced; case-control studies; infertility, female; pregnancy,
ectopic; registries; risk factors; sexually transmitted diseases; tobacco.

You might also like