You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya nekrosis, pembentukan jaringan ikat/fibrosis disertai nodul.1 Istilah sirosis
diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. diambil dari bahasa
Yunani Scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan pada permukaan hati yang
tampak pada otopsi.2
Sedangkan yang dimaksud dengan fibrosis sendiri adalah penumpukan
berlebihan matriks ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam
hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversible. Namun pada
sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya irreversible.2,3
Sekitar 35.000 kematian per tahun terjadi di Amerika Serikat akibat dari
sirosis dan penyakit hati kronis. Sirosis merupakan penyebab kematian utama
kesembilan di Amerika Serikat. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang
disebabkan karena gagal hati fulminan (fulminant hepatic failure).4,5 Penyakit ini
dapat disebabkan oleh hepatitis virus (A dan B), obat (asetaminofen), toksin, hepatitis
autoimun, penyakit Wilson, dan berbagai macam penyebab lain yang jarang
ditemukan.
Di Indonesia belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatis. Beberapa
laporan rumah sakit umum pemerintah Indonesia dapat dilihat prevalensi sirosis
hepatis di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar 3,6%-8,4% di Jawa dan
Sumatera hanya berdasarkan dari diagnosis klinis saja, sedang di Sulawesi dan
Kalimantan di bawah 1%.6
Salah satu komplikasi pada sirosis hepatis yang sering terjadi adalah
ensefalopati hepatik, yang merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapattimbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.

Maka dapat disimpulkan bahwa sirosis hati merupakan penyakit kronik


progresif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas jika tidak
ditindaklanjuti secara profesional. Alasan kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk
pengenalan lebih jauh serta tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat
mengenali penyakit ini lebih rinci sebelum dilakukan penatalaksanaan yang rasional.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien
-

Nama

: Tn. E

Umur

: 62 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Pekerjaan

:-

Alamat

: Danau Sipin RT. 23 Legok

Ruangan / Kelas

: Interne B3 / Kelas III

Tanggal MRS

: 02 Februari 2015

Tanggal Pemeriksaan : 03 Februari 2015

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak + 1 hari SMRS.
2. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Seminggu SMRS, pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama. Setelah 3
hari dirawat, pasien pulang ke rumah dengan keluhan yang sudah berkurang.
Dan + 1 hari SMRS, pasien mengalami penurunan kesadaran dan menjadi
seperti orang bingung, sulit berkomunikasi dengan keluarga, tampak gelisah,
lemas, mual, nafsu makan tidak ada sejak pulang dari rumah sakit, tidur malam
kurang nyenyak.
3. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat sirosis hepatis dan pernah dirawat dengan keluhan yang sama pada

tanggal 26 Januari 2015.


Riwayat sakit ginjal disangkal
Riwayat sakit paru-paru disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat minum alkohol sejak 40 tahun yang lalu.

4. Riwayat penyakit dalam keluarga


Riwayat sakit yang sama dalam keluarga tidak ada.
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat sakit paru-paru disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Keadaan sakit
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Tinggi/BB

: Sedang
: Tampak sakit sedang
: Delirium, GCS 12 (E3, M5, V4)
: 90/70 mmHg
: 103 x/menit
: 26 x/menit
: 37 C
: TB : 165 cm, BB : 60 kg
Status gizi

(normal)
Sianosis (-), dispeneu (-), dehidrasi (-), edema umum (-),
Cara berbaring
: normal.
Kulit

Warna
Efloresensi
Pigmentasi
Jaringan parut
Pertumbuhan Rambut
Pertumbuhan darah

: Sawo matang
: tidak ada
: Hipo/hiperpigmentasi (-)
: tidak ada
: normal
: normal

: IMT 22,04

Submandibula
Submental
Jugularis Superior
Jugularis Interna

: normal
: normal
: normal
: normal

Kepala

: 37 0C
: lembab
: cukup
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Kelenjar

Suhu
Lembab kering
Turgor
Ikterus
Edema
Lain-lain

Bentuk
Ekspresi
Simetris muka
Rambut
Deformitas
Perdarahan temporal
Nyeri tekan saraf
Lain-lain

: normochepal
: normal
: simetris
: normal
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Mata

Exopthalmus/ennopthalmus
Palpepbra
Kelopak
Conjungtiva
Sklera
Kornea
Pupil
Lensa
Visus
Gerakan kedua belah mata
Lap. Pandang

: tidak ada
: normal
: normal
: tidak anemis
: sklera ikterik (+)
: normal
: isokor, refleks cahaya +/+
: tidak keruh
: normal
: simetris
: normal

: tidak ada
: normal
: tidak ada
: tidak ada
: normal
: normal
: tidak ada

Bagian luar
Septum
Ingus
Selaput lendir
Sumbatan
Perdarahan
Lain-lain

: normal
: normal
: tidak ada
: normal
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Mulut

Tophi
Lubang
Cairan
Nyeri tekan
Selaput lendir
Pendengaran
Lain-lain

Hidung

: tidak ada

Telinga

Lain lain

Bibir
Gigi geligi
Gusi
Lidah
Selaput lendir
Bau pernafasan
Lain lain

Faring
Tonsil
Lain-lain

: Tidak sianosis
: normal
: normal
: kotor
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

: T1-T1
: tidak ada

Leher :

Kelenjar getah bening


Kelenjar gondok
Tekanan Vena Jugularis
Kaku kuduk
Tumor
Lain-lain

: normal
: normal
: 5-2 CmH20
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Dada

Bentuk
Spider nevi
Buah dada

: normal
: tidak ada
: normal

Paru-paru
Anterior
Dextra

Inspeksi :
Palpasi :

Sinistra

simetris
vokal fremitus simetris
Nyeri tekan (-)

Perkusi :

sonor
batas paru hati ICS VI

Auskultasi :

Vesikuler, W(-), R(-)

simetris
vokal fremitus simetris
nyeri tekan (-)
sonor
batas paru lambung
ICS VII
Vesikuler, W(-), R(-)

Posterior
Dextra

Inspeksi :
Palpasi :

Sinistra

simetris
vokal fremitus simetris
Nyeri tekan (-)

Perkusi :
sonor
Auskultasi :
Vesikuler, W(-), R(-)

simetris
vokal fremitus simetris,
nyeri tekan (-)
sonor
Vesikuler, W(-), R(-)

Jantung

Inspeksi

: Ictus Cordis : tidak terlihat

Tempat

:-

Luas

:-

Lain-lain :

Palpasi

: Ictus Cordis : teraba


Tempat

: 1 jari linea axillaris anterior sinistra ICS IV

Luas

: 1 jari

Kuat angkat : tidak kuat angkat


Lain-lain

Perkusi

: tidak ada

: Batas-batas Jantung
Kiri

: ICS V Linea axillaris anterior sinistra

Kanan

: ICS V Linea parasternalis dextra

Atas

: ICS II parasternalis sinistra

Pinggang

: ICS III parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I dan BJ II Reguler


Irama jantung

: reguler

Frekuensi

: normal

Bising Jantung

: Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen

Inspeksi
Palpasi

teraba
Perkusi
: shiffting dullness (+), asites (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung
Inspeksi

: perut tidak membuncit, sikatrik (-), vena kolateral (-)


: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), hati limpa ginjal : tidak

: simetris

: vocal fremitus normal kanan dan kiri


: sonor kanan dan kiri
: simetris
: tidak ada

Genitalia

Palpasi
Perkusi
Gerakan
Lain-lain

Laki-Laki : tidak diperiksa

Ekstremitas

Superior

: deformitas (-), sianosis (-), edem (-), palmar eritem (-), ujung

jari pucat (-), flapping tremor (+), reflex fisiologis normal, reflex
patologis tidak ada.

Inferior

: deformitas (-), sianosis (-), pucat (-), nyeri (-), edema (+/+),

gerakan keduanya aktif, reflex fisiologis normal, reflex patologis tidak ada.
2.3

Hasil Laboratorium Sederhana

Berikut hasil pemeriksaan yang telah dilakukan di RSUD Raden Mattaher Jambi :
1 Pemeriksaan Darah Rutin pada tanggal 2 Februari 2015
WBC

: 9,1 103/mm3

(3,5-10,0 103/mm3)

RBC

: 2,67 106/mm3

(3,80-5,80 106/mm3)

HGB

: 10,1 g/dl

(11,0-16,5 g/dl)

HCT

: 27,8 %

(35,0-50%)

PLT

: 372 103/mm3

(150-390 103/mm3)

PCT

: .242 %

(0,100-0,500 %)

MCV

: 104 m3

(80-97 m3)

MCH

: 38,0 pg

(26,5-33,5 pg)

MCHC

: 36,4 g/dl

(31,5-35,0 g/dl)

RDW

: 16,8 %

(10,0-15,0 %)

MPV

: 6,5 m3

(6,5-11,0 m3)

PDW

: 9,1 %

(10,0-18,0 %)

2 Pemeriksaan Urine Rutin


Belum dilakukan.
3 Pemeriksaan Feses Rutin

Belum dilakukan.
2.4 Diagnosis Kerja
Prekoma Hepatikum ec Sirosis Hepatis Dekompensata dengan pre shock.
2.5 Diagnosis Banding
- Pre Shock
- Koma Hepatikum ec sirosis hepatis
- Koma Uremikum
- Koma Hiperglikemi
- Koma Hiponatremia
2.6 Pemeriksaan yang Dianjurkan
- Faal ginjal : ureum, kreatinin
- Faal Hati : bilirubin, protein total, albumin, globulin, SGOT,SGPT, alkali
-

fosfatase
Elektrolit : Natrium, Kalium, Chlorida, Kalsium
Serologi: HBsAg, Anti HBsAg
Gula Darah
USG Abdomen

2.7 Pemeriksaan Penunjang yang telah dilakukan


1. Pemeriksaan Elektrolit pada tanggal 2 Februari 2015
Na
: 143,08 mmol/L
(135-148 mmol/L)
K
: 4,66
mmol/L
(3,5-5,3 mmol/L)
Cl
: 107,13 mmol/L
(98-110 mmol/L)
Ca
: 1,31 mmol/L
(1,12-1,23 mmol/L)
2. Kimia Darah pada tanggal 2 Februari 2015
Total protein
: 5,9 g/dl (6,4 - 8,4)
Albumin
: 2,1g/dl (3,5 - 5,0)
Globulin
: 3,8 g/dl (3,0 - 3,6)
SGOT
: 66 U/L (<40)
SGPT
: 64 U/L (<41)

10

Ureum
Kreatinin

: 33,9 mg/dl (15 - 39)


: 1,3 mg/dl (L : 0,9 - 1,3 ; P : 0,6 - 1,1)

3. Pemeriksaan Patologi Klinik pada tanggal 3 Februari 2015


DDR
: (-) negatif
2.8 Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
- Bed rest
- Diet hati lunak
- NGT
2. Medikamentosa
- Aminoleban 500 cc/24 jam
- Inj. Omeprazole 1x1gr iv
- Inj. Cefotaxime 3x1gr iv

PO :
-

Mucogard syrup 3x10cc


Laxadin syrup 1x10cc
Curcuma tablet 3x1

2.9 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam

: dubia ad bonam
: dubia ad malam

2.10 Follow Up
Tanggal / Jam
3 Februari 2015

Perjalanan Penyakit
Pengobatan / Tindakan
S : tampak gelisah, kesadaran - Aminoleban 500 cc/24 jam
lemah, sakit perut
- Inj. Omeprazole 1x1gr iv
GCS: 12 E3 M5 V4
- Mucogard syrup 3x10cc
- Inj. Cefotaxime 3x1gr iv
O:
- Laxadin syrup 1x10cc
- TD = 90/70mmHg
- NGT (keluarga menolak)
- N = 103 x/mnt
- Diet hati lunak
- RR = 26x/mnt
- T = 37C
Hasil DDR:
- Akral dingin
(-) negatif
A: Prekoma Hepatikum ec sirosis GDS: 140

11

hepatis dekompensata
preshock.

dengan

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ENSEFALOPATI HEPATIKUM
2.1 PENGERTIAN
Ensefalopati adalah keadaan kebingungan akut yang berhubungan dengan
perubahan tingkat kesadaran (dari mengantuk, stupor atau koma) 1 Sering dikelirukan
dengan delirium yang merupakan keadaan kebingungan fluktuatif yang diakibatkan
disfungsi serebral yang difus atau multifokal dengan ciri gangguan atensi,
konsentrasi, orientasi dan memori, kesadaran berfluktuasi, gangguan berfikir,
halusinasi, pembicaraan yang inkoheren dan agitasi.1
Ensefalopati dapat disebabkan berbagai faktor,diantaranya : penyakit sistemik
berat terutama pada pasien berusia tua dan demensia; zat toksik baik yang sistemik
seperti benzodiazepine, propofol, steroid, dan sebagainya, maupun zat industri seperti
organofosfat dan toksin dari lingkungan. Sering juga timbul akibat gejala withdrawal
zat tertentu seperti : alkohol, yang dikenal dengan delirium tremens dan bentuk lain
ensefalopati yang terkenal dengan istilah ensefalopati Wernicke. Penyebab metabolik
diantaranya berupa : gangguan elektrolit seperti hiponatremia, gangguan kadar
glukosa baik hipoglikemia maupun hiperglikemia (ketotik atau non-ketotik) dan
gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Sedangkan
ensefalopati septik dapat disebabkan berbagai infeksi diluar SSP, diantaranya :

12

bakteremia/sepsis, infeksi saluran kemih/urosepsis, pneumonia, peritonitis, bacterial


endocarditis,

dan

infeksi

gastrointestinal.

Ensefalopati

akibat

gangguan

gastrointestinal yang tersering adalah ensefalopati hepatikum.1


Ensefalopati

hepatikum

menurut

The

Working

Party

on

Hepatic

Encephalopathy pada kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998)


adalah suatu spektrum kelainan neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hepar,
sesudah mengekslusikan adanya penyakit otak lain. 3 Sedangkan dibeberapa literatur
disebutkan bahwa ensefalopati hepatikum (EH) adalah suatu sindrom neuropsikiatri
kompleks, berupa gangguan kesadaran, perilaku, perubahan kepribadian, gangguan
kognitif, akibat komplikasi penyakit hati akut atau kronik yang berhubungan dengan
gangguan fungsi hepatoseluler atau akibat pintasan portosistemik atau kombinasi
keduanya.
Sebagaimana diketahui, hati adalah salah satu organ yang berperan penting
dalam mengatur proses metabolisme tubuh (anabolisme dan katabolisme),
menyimpan

bahan-bahan

seperti

glikogen

dan

vitamin,serta

memelihara

keseimbangan aliran darah splanknikus. Apabila terjadi kerusakan hati, maka fungsifungsi tersebut akan terganggu sehingga menyebabkan terjadinya gangguan sistem
saraf otak akibat akumulasi zat-zat toksik. Gambaran klinis gangguan sistem saraf
otak pada penyakit hati ini bermanifestasi dalam bentuk gangguan neuropsikiatri
yang dikenal sebagai koma hepatikum atau EH.
Gangguan pada otak yang diakibatkan oleh penyakit hati terjadi melalui
beberapa cara. Gagal hati akut akan menyebabkan evolusi cepat menjadi koma,
kejang dan tingginya angka mortalitas akibat herniasi serebral yang berkaitan dengan
hipertensi intrakranial dan hipoksia. Bentuk kedua EH tampil dengan onset yang
lebih lambat dan gejala yang lebih ringan dan dapat pulih. Bentuk ketiga EH
memperlihatkan evolusi kronis dengan gejala neuropsikiatrik yang persisten.
2.2 KLASIFIKASI
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas:9,10

13

1. EH akut (fulminant hepatic failure), akibat kerusakan parenkim hati yang


fulminan karena infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati akut
pada kehamilan. Perjalanan penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor pencetus.
2. EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal
dengan konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan
berkurangnya fungsi proteksi dan bersihan dari hati terhadap zat toksik.
Gejalanya tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi secara perlahanlahan dan biasanya dicetuskan oleh faktor pencetus.
Klasifikasi lain membagi EH menjadi ensefalopati primer dan sekunder,
yaitu:10
1. EH primer (endogen), disebabkan langsung oleh kerusakan hati yang difus atau
nekrosis hati yang meluas.
2. EH sekunder (eksogen), disebabkan bukan karena kerusakan hati secara
langsung, tetapi disebabkan oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi seperti
perdarahan saluran cerna dan gangguan elektrolit.
Klasifikasi EH menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada
kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) dapat dilihat pada gambar
1.10
2.3 FAKTOR PENCETUS
Beberapa faktor pencetus terjadinya EH dapat dibagi atas 4 kelompok:9,10,12,13

Kelompok produk nitrogen :


perdarahan gastrointestinal, hiperazoemia, konstipasi, diet tinggi protein,
h.pylori, uremia

Kelompok obat : opiat, benzodiazepin, diuretik, sedatif, fenol

Kelompok ketidakseimbangan metabolik :


hipokalemia, alkalosis, hipoksia, hiponatremia, hiperkalemia, dehidrasi

Lain-lain :

14

infeksi (peritonitis bakterial spontan, sepsis), operasi/pembedahan, hepatopati,


gagal ginjal, asam amino rantai pendek

Gambar 1. Klasifikasi ensefalopati hepatikum


Episodic HE (precipitated, spontaneous, recurrent); persistent HE
(mild,severe,,treatment dependent); minimal HE

2.4 PATOGENESIS
Patogenesis EH belum diketahui secara pasti. Sebagai konsep umum,
dikemukakan EH terjadi akibat akumulasi sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan
komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik. Saat ini telah dipastikan
bahwa terdapat perubahan multi organ perifer seiring perubahan komunikasi intrasel

15

otak yang dihasilkan oleh perubahan dalam astrosit. Perubahan perifer, diantaranya
terdapat pada:9
a. Usus halus
Terdapat kontroversi tentang peranan Helycobacter pylori, yang menghasilkan
amonium

di

lambung

dalam

patogenesis

EH.

Sebagian

penelitian

memperlihatkan prevalensi tinggi infeksi pada individu dengan hepatitis


alkoholik yang mengalami EH sebagaimana individu dengan serosis dan
ensefalopati kronik. Tetapi eradikasi H.pylori ini tidak mempengaruhi kadar
amonium pada kelompok pasien ini dan berperan pada perkembangan EH.
b. Komunikasi sistemik portal
Diperlihatkan bahwa sebagian kelainan kongenital yang menyebabkan shunt
portal-sistemik pada anak dapat muncul sebagai ensefalopati hepatik episodik,
bahkan tanpa kelainan hepar sebelumnya. Pasien serosis dengan shunt portalsistemik mudah berkembang menjadi EH dibandingkan pasien tanpa shunt
portal-sistemik
c. Gagal hepar
Terdapat berbagai penelitian yang melaporkan bahwa gagal hepar merupakan
penyebab utama EH, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsi hepar yang
berguna untuk detoksifikasi amonium, sehingga meningkatkan kadar plasma
amoniak dan memberikan gejala klinis.
d. Otot
Penurunan masa otot pasien serosis dapat mencetuskan terjadinya EH. Atrofi
otot tidak hanya disebabkan kelainan hepar dan status nutrisi pasien, tetapi
juga akibat peningkatan sebagian sitokin seperti TNF- yang akan
mengaktifkan faktor transkripsi seperti NK-a yang mengakibatkan penurunan
sintesis miosin. Atrofi otot ini berhubungan dengan rendahnya kapasitas
metabolik untuk mendetoksifikasi amonium dan glutamin, dan menyebabkan
perkembangan kearah EH.
Perubahan di otak, diantaranya :5
a. Osmotik

16

Sebagian penelitian memperlihatkan adanya perubahan osmotik pada pasien


dengan edem serebri dan insufisiensi hepar. Otak yang edem, akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menyebabkan herniasi yang dapat
menyebabkan kematian. Glutamin dihasilkan dari detoksifikasi amonium
dalam astrosit, sebagai osmol organik yang dapat menyebabkan edem dalam
astrosit. Diamati bahwa saluran air aquaphorin-4 mengendalikan air ke dalam
sel. Terdapat juga bukti bahwa otak beradaptasi terhadap perubahan selama
kelainan hepar kronik. Determinasi langsung dan tak langsung osmol organik
dengan memakai spektroskopi pada pencitraan resonansi memperlihatkan
kehilangan myo-inositol, taurin, dan gliseril-fosfokolin, yang osmol-nya
dipakai oleh astrosit untuk pengaturan osmolalitas intrasel. Perubahan ini
membuat otak lebih rentan terhadap perubahan osmotik kedua.
b. Komunikasi aksonal
Terdapat bukti, pentingnya astrosit dalam mempertahankan fungsi neuron
normal. Pada EH tidak ada perubahan morfologi di neuron. Sedangkan, sel
Alzheimer tipe II (astrosit) memperlihatkan kelainan : dimana terjadi
penurunan aktifitas transporter (glutamat), meningkatkan ekspresi reseptor
benzodiazepin dan meningkatkan aktifitas monoamin oksidase (MAO).
Sebagai akibatnya terjadi perubahan dalam komunikasi metabolik antara
astrosit dan sel lain. Sebagai contoh, astrosit menghasilkan neurosteroid yang
mengaktifkan reseptor GABA dan reseptor benzodiazepin endogen.
c. Komunikasi endotel dengan astrosit : aliran darah otak dan EH
Pasien dengan EH memiliki fluktuasi dalam perfusi serebral. Sebagian hewan
eksperimental memperlihatkan peningkatan perfusi serebral pada keadaan
tingginya kadar amonium. Hal ini diaktifkan oleh sinyal intraserebral yang
dibangkitkan sesudah sintesis glutamin dalam astrosit. Hipotermia dan edem
serebri dapat juga memiliki peranan penting dalam rendahnya perfusi serebral
yang diperlihatkan pada hewan coba
d. Hipotesis lain : 2,5,7,9
(1) Amonium

17

Sesudah detoksifikasi amonium oleh astrosit sebagian perubahan neurokimia


terjadi. Terdapat berbagai faktor yang berinteraksi dengan amonium,
menyebabkan perubahan dalam astrosit (hiponatremia, peningkatan sitokin,
perubahan dalam ligand astrosit), yang menghasilkan substrat anatomi dan
sinergisme neurokimia yang dapat meningkatkan perkembagan EH. Tetapi,
tingginya kadar amonium tidak berhubungan dengan beratnya ensefalopati. Di
otak, amoniak dimetabolisme oleh astrosit menjadi glutamin. Glutamin
kemudian disimpan dalam sel, menyebabkan pembengkakan sel. Amoniak
secara in vitro dapat mengubah loncatan perpindahan pada membran sel saraf
dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Terjadi
peningkatan permeabilitas sawar darah otak tanpa rusaknya tight junction,
mengakibatkan edema serebri yang bisa berlanjut ke peningkatan TIK.
(2) Toksisitas sinergisme
Menurut hipotesis ini terdapat neurotoksin yang bersinergi dengan amoniak
seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain.
Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus, akan menghambat
pompa Na-K ATPase. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilamin
dapat menekan aktivitas otak dan enzim monoamin oksidase, laktatdehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan prolin oksidase yang berpotensiasi
dengan zat toksik lain seperti amoniak, mengakibatkan terjadinya koma
hepatikum.
(3) Neurotransmiter palsu
Penurunan asam amino rantai cabang dapat merubah masuknya asam amino
ke dalam otak, yang menjadi prekursor neurotransmiter palsu yang merubah
sintesis glutamin, seperti oktapamin dan feletanolamin yang lebih lemah dari
dopamin dan norepinefrin . Pengalaman klinis dengan menambahkan asam
amino merupakan terapi

yang baik karena asam amino memiliki efek

langsung ke otot, meningkatkan detoksifikasi amonium. Jalur neurotransmisi


lain terlibat dalam perkembangan EH adalah serotonin (5-HT), opiat dan

18

katekolamin. Faktor tambahan lain yang dapat menyebabkan episode EH


rekuren adalah status nutrisi khususnya pada penderita alkoholik yang
mengalami defisiensi vitamin dan mikronutrien, seperti kekurangan Zinc yang
merupakan kofaktor dalam siklus urea. Isu lain adalah kolonisasi H.pylori di
lambung yang menghasilkan urease.
(4) Benzodiazepin endogen
Amoniak yang meningkat akan menghambat aktivitas otak menyebabkan
meningkatnya

efek GABA yang menghambat transmisi impuls disertai

dengan adanya suatu substansi yang menyerupai benzodiazepin.


2.5 GAMBARAN KLINIS
Dari perspektif neurologi, terdapat beberapa gejala dan tanda EH, yaitu:10,12
1. Perubahan status mental.
Pasien memperlihatkan perubahan perilaku ringan (stadium I) yang kadang teramati
oleh anggota keluarga. Misalnya pasien kesulitan dalam melakukan perhitungan
matematis yang sederhana, perubahan siklus bangun-tidur yang ditandai dengan
kesulitan memulai tidur di malam hari dan mengantuk di siang hari. Bila ensefalopati
berlanjut, pasien akan terlihat letargi dan cenderung somnolen (stadium II). Pada
stadium III, kesadaran pasien stupor dan menjadi koma pada stadium IV dengan
derajat respon yang bervariasi terhadap rangsangan nyeri. Klasifikasi ini dikenal
dengan West Haven Classification.
2. Kelainan pada neuromuskular
a) Asterixis
Asteriksis adalah tanda klasik dari EH, meskipun bisa juga terlihat pada
ensefalopati

metabolik

lainnya

(seperti

pada

uremia,

retensi

CO2

dan

hipomagnesia). Pada mulanya digambarkan sebagai gerakan palmar flapping yang


terjadi tiba-tiba saat tangan

dikembangkan

19

pada

posisi

dorsofleksi

pada

pergelangan tangan. Asterixis juga sering

terjadi pada otot-otot kaki, lidah, dagu.

Patogenesis asterixis ini belum diketahui secara

pasti, diduga disebabkan oleh

gangguan fungsi ganglia basal dan talamus.


b) Gangguan traktus kortikospinal
Pada pasien EH stadium yang berat, dapat dijumpai reflek babinski bilateral
dan klonus.
c) Edema serebri
Seperti pada kelainan neurologi lainnya, edema serebri dapat tidak terdeteksi
hingga terjadi suatu peningkatan TIK yang jelas. Oleh karena itu penting untuk
memantau

reflek pupil dan reflek okulovestibuler pada gagal hati akut. Pada

sirosis hepatis, edema serebri ringan tidak terdiagnosis secara klinis.


d) Gejala ekstrapiramidal
Pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, dapat mengalami hipokinesia,
rigiditas dan tremor postural seperti pada penyakit Parkinson.
e) Degenerasi hepatoserebral.
Pada pasien dengan pintasan portosistemik yang berlangsung lama, dapat
mengalami

degenerasi

hepatoserebral

degeneration. Gejala ekstrapiramidal

dan

berupa
serebelar

acquired
yang

hepatolenticular
terutama

terlihat,

bersamaan dengan gejala


paraparesis spastis, perubahan mood dan demensia.
f) Gangguan respirasi.
Merkaptan, suatu produk dari metabolisme bakteri usus dihubungkan dengan
bau

nafas yang busuk (fetor hepatikus). Bisa juga dijumpai hiperventilasi akibat

stimulasi pusat

pernafasan yang diinduksi oleh glutamat.

Selain klasifikasi menurut West Haven Classification diatas, klasifikasi yang


dibuat oleh Trey et al (1966) juga sering digunakan. Trey et al memasukan hasil
rekaman elektroensefalografi (EEG) sebagai salah satu kriteria. Klasifikasi tersebut
adalah :14

1. Stadium 1 (prodromal)
a. Terjadi perubahan mental, berupa (1) kepandaian menurun, (2) tidur
terganggu atau tidak teratur, (3) euforia dan kadangkala depresi, (4)

20

kebingungan yang ringan dan berfluktuasi, (5) bereaksi lambat, (6) bicara
tidak jelas, dan (7) suara monoton.
b. Tremor ada, tapi sedikit
c. Tidak ada perubahan pada rekaman EEG
2. Stadium 2 (impending koma atau prekoma)
a. Perubahan mental sama dengan stadium 1, tapi lebih nyata
b. Terdapat flapping tremor. Kadang dapat terjadi tremor pada kelopak mata
yang tertutup, pada bibir yang dikatupkan dan pada lidah yang dijulurkan.
c. Pada EEG terlihat kelainan berupa perlambatan gelombang otak
3. Stadium 3 (stupor)
a. Mulai tampak seperti tidur, tetapi kadang masih ada reaksi. Berbicara
inkoheren dan kekacauan pikiran makin nyata.
b. Flapping tremor biasanya ada bila pasien masih bisa kooperatif
c. EEG abnormal
4. Stadium 4 (koma dalam)
a. Terlihat seperti orang tidur yang dalam dan nyenyak. Bisa atau tidak bereaksi
terhadap rangsangan
b. Tremor tidak ada
c. EEG abnormal
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang:5,12,13
1. Tentukan stadium dari EH, yang merupakan kombinasi dari penilaian perubahan
derajat kesadaran, perubahan perilaku dan gangguan neuromuskular
2. Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien dengan
gagal hati akut. Kadar > 200g/dL mengindikasikan risiko tinggi terjadinya
herniasi serebral

21

3. Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan


gangguan kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor ensefalopati
hepatik psikometri (PHES) seperti Number Connection test A dan B, line
drawing, digital symbols

dan points following dapat digunakan untuk

mengidentifikasi gangguan tersebut, terutama fokus pada waktu untuk bereaksi


dan ketepatan, konstruksi visual, konsentrasi, atensi dan memori.
4. Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan yang
progresif berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead frontal dan
menyebar ke posterior sesuai dengan makin dalamnya penurunan kesadaran.
Perubahan

ini

khas

namun

tidak

spesifik,

dapat

membantu

dalam

mengidentifikasi kelainan difus namun tidak cukup dalam mendiagnosis gagal


hati
5. Pemeriksaan imajing otak. CT scan atau MRI kepala hanya membantu dalam
menyingkirkan lesi struktural. Namun pada EH stadium lanjut, pemeriksaan ini
penting untuk mengetahui adanya edema serebri.
2.7 PENATALAKSANAAN
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan EH adalah: 10,11
1. Mengobati penyakit dasar
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus
3. Mengurangi dan mencegah pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak
dengan cara mengurangi asupan protein, pemberian asam amino rantai cabang,
pemberian laktulosa dan antibiotika dan pembersihan saluran cerna bagian bawah
4. Upaya suportif jka ditemukan komplikasi seperti hipoglikemia, perdarahan
saluran cerna dan gangguan keseimbangan elektrolit
5. Memperbaiki eliminasi amoniak. Zink adalah kofaktor semua reaksi pada siklus
urea. Pasien dengan sirosis dan defisiensi zink mengalami perbaikan dalam
mensintesis urea setelah suplementasi zink. Pemberian suplemen jangka panjang
sangat bermanfaat pada pasien dengan ensefalopati kronik ringan

22

6. Memperbaiki abnormalitas dari neurotransmiter.


2.8 Prognosis
Prognosis tergantung pada keparahan EH/gagal hati dan lamanya /waktu. Pasien
dengan gagal hati berat 30% meninggal karena EH. Ensefalopati hepatikum akut
dengan koma atau gagal hati fulminan, 80% akan berakhir dengan kematian.14

SIROSIS HEPATIS
2.2 DEFINISI
Sirosis adalah suatu keadaan patologi yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoseluler. 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang
berusia 4546 tahun (setelah penyakit jantung dan kanker) di negara maju. Sirosis
menempati urutan ke tujuh penyebab kematian di seluruh dunia di mana sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang
sering ditemukan dalam ruang perawatan bagian penyakit dalam. Perawatan di rumah
sakit sebagian besar terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang
ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, sindrom
hepatorenal, asites, spontaneous bacterial peritonitis serta karsinoma hepatosellular.1,2
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Keseluruhan insidensi sirosis di
Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat
penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Di Indonesia, data prevalensi
sirosis hati belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS
Dr.SardjitoYogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1 % dari pasien yang

23

dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan
dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien
dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.1
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1, dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun.
2.3 ETIOLOGI3,4
Sebagian besar dari sirosis hati dapat diklasifikasikan secara etiologis dan
morfologis menjadi:
a. Alkohol
Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme kronis dan merupakan
tipe sirosis yang paling sering ditemukan di negara Barat. Sirosis yang disebabkan
oleh alkohol juga disebut sirosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana
jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Ingesti alkohol yang kronik
dapat menyebabkan terjadinya sirosis hati. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari
penyakit-penyakit hati; dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis),
ke hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic
hepatitis), ke sirosis. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keteraturan
dari konsumsi alkohol. Konsumi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis
melukai sel-sel hati. 30% dari individu yang meminum setiap harinya paling sedikit 8
-16 ounces minuman keras (hard liquor) atau yang sama dengannya untuk 15 tahun
atau lebih akan mengembangkan sirosis.
b. Post Hepatitis dan kriptogenik
Penyebab sirosis yang dikelompokkan termasuk penderita post hepatitis
(terutama hepatitis B dan C) dan yang penyebab terjadinya sirosis yang tidak
teridentifikasi, misalnya untuk pencangkokan hati). Mayoritas dari pasien-pasien
yang terinfeksi dengan hepatitis A sembuh secara penuh dalam waktu berminggu-

24

minggu, tanpa mengembangkan infeksi yang kronis. Berlawanan dengannya,


beberapa pasien-pasien yang terinfeksi dengan virus hepatitis B dan kebanyakan
pasien-pasien terinfeksi dengan virus hepatitis C mengembangkan hepatitis yang
kronis, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan
menjurus pada sirosis, dan adakalanya kanker-kanker hati. Gambaran patologi
biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus sel hati yang
dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Ukuran nodulus sangat bervariasi ,
dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang
susunannya tidak teratur.
c. Biliaris
Cedera atau adanya obstruksi berpanjangan sistim bilier intra atau
ekstrahepatik dapat menyebabkan terjadinya sirosis.Kerusakan sel hati yang dimulai
di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola sirosis yang dikenal sebagai sirosis
biliaris. Penyebab tersering adalah obstruksi biliaris pasca hepatik. Sirosis biliaris di
bagi menjadi dua yaitu

Primary Biliary Cirrhosis (PBC)


Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan peradangan dan kerusakan yang

kronis dari pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hati, bersifat intrahepatik.


Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam hati yang dilalui empedu
menuju ke usus.

Secondary Biliary Cirrhosis (SBC)


Pada (SBC) terdapatnya obstruksi total atau parsial yang berkepanjangan pada

duktus ekstrahepatik yaitu COMMON BILE DUCT atau cabangnya.Dapat


disebabkan oleh adanya batu empedu ataupun pada pasca operasi striktura kandung
d. Kardiak

25

Sirosis dapat terjadi akibat daripada gagal jantung kongestif kanan yang
berpanjangan, Ini terjadi disebabkan adanya perubahan fibrotik dalam hati yang
terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis sentrilibuler.
e. Metabolik, keturunan dan terkait obat
Penyakit metabolik dan keturunan :

Sindrom Fanconi

Defisiensi 1-antitripsin

Galaktosemia

Penyakit Gaucher

Penyakit simpanan Glikogen

Hemokromatosis

Intoleransi fruktosa herediter

Tirosinemia Herediter

Penyakit Wilsona.

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi sirosis dikelompokkan secara konvensional sebagai, yaitu :
1. Mikronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh lobus.
Pada sirosis mikronodular, besar nodulnya tidak melebihi 3 mm. Tipe ini
biasanya disebabkan alkohol atau penyakit saluran empedu.1,2,5

26

2. Makronodular ditandai

dengan

terbentuknya

septa

dengan

ketebalan

bervariasi, mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar
didalamnya, ada daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi
regenerasi parenkim. Ti p e i n i biasanya tampak pada perkembangan
hepatitis seperti infeksi virus hepatitis B.1,2,5

3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular).1,2,3

27

Sedangkan secara klinis, sirosis hepatis dibagi menjadi kompensata dan


dekompensata.
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan sirosis hati laten atau dini. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini
ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.1,2,5
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ascites, edema dan ikterus.1,2,5
Berdasarkan stadium menurut consensus Baveno IV
a. Stadium 1 : tidak ada varises , tidak ada asites
b. Stadium 2 : varises , tanpa asites
c. Stadium 3 : asites dengan atau tanpa varises
d. Stadium 4 : perdarahan atau tanpa varises
Stadium 1 dan 2 : kompensata
Stadium 3 dan 4 : dekompensata
2.5 PATOFISIOLOGI
Sirosis hati ditandai dengan hilangnya arsitektur lobular hepatik normal dengan
pembentukan fibrosis dan destruksi sel parenkim beserta regenerasinya membentuk
nodul-nodul.
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut
dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau
perlukaan hati yangterus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati
kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks
yang mengandung kolagen,glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan
dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata
membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan

28

pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata
menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh
hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera
berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth
factor beta 1 ( TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan
pasien sirosis.TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi
kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut.
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari
fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel
kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi
yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan
kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di
hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati
mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya
fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari
vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan
utama penyebab terjadinya manifestasi klinis. 3,4
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala
awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki
dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, serta menurunnya
dorongan seksualitas.2
Manifestasi klinis dari sirosis hati yang lanjut terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis: kegagalan parenkim hati dan hipertensi portal. Kegagalan perenkim hati
memperlihatkan gejala klinis berupa :
Ikterus

29

1. Asites
2. Edema perifer
3. Kecenderungan perdarahan
4. Eritema Palmaris
5. Spider nevi
6. Fetor hepatikum
7. Ensefalopati hepatik 2,6
Sedangkan gambaran klinis yang berkaitan dengan hipertensi portal antara
lain:
1. Varises oesophagus dan lambung
2. Splenomegali
3. Perubahan sum-sum tulang
4. Caput medusa
5. Asites
6. Collateral vein hemorrhoid
7. Kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)2,6
2.7 DIAGNOSIS
Pada saat ini, penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis,
laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau
peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan
sirosis hati dini.1
Temuan Klinis pada Pemeriksaan Fisik
1. Hati : perkiraan besar hati, biasa hati membesar pada awal sirosis, bila hati
mengecil artinya, prognosis kurang baik. Pada sirosis hati, konsistensi hati
biasanya kenyal, pinggir hati biasanya tumpul dan ada nyeri tekan pada
perabaan hati.
2. Limpa : pembesaran limpa/splenomegali.

30

3. Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena kolateral dan ascites.
4. Manifestasi diluar perut : perhatikan adanya spider navy pada tubuh bagian
atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae, dan tubuh bagian bawah.
Perlu diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia, dan atrofi testis
pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.1
Laboratorium
1. Aminotransferases - AST dan ALT meningkat cukup tinggi, dengan
AST>ALT. Namun, aminotransferase normal tidak menyingkirkan sirosis.
2. Fosfatase alkali - biasanya sedikit lebih tinggi.
3. GGT - berkorelasi dengan tingkat AP. Biasanya jauh lebih tinggi pada
penyakithati kronis karena alkohol.
4. Bilirubin - dapat meningkat sebagai tanda sirosis sedang berlangsung.
5. Albumin - rendah akibat dari menurunnya fungsi sintetis
o l e h h a t i d e n g a n sirosis yang semakin memburuk.
6. Waktu prothrombin - meningkat sejak hati mensintesis faktor pembekuan.
7. Globulin - meningkat karena shunting antigen bakteri jauh dari hati ke
jaringan limfoid.
8. Serum natrium - hiponatremia karena ketidakmampuan untuk mengeluarkan
air bebas akibat dari tingginya ADH dan aldosteron.
9. Trombositopenia - karena splenomegali kongestif dan menurunnya sintesis
thrombopoietin

dari

hati. Namun, ini

jarang

menyebabkan jumlah

platelet<50.000/ mL.
10. Leukopenia dan neutropenia - karena splenomegali dengan marginasi limpa.
11. Defek koagulasi - hati memproduksi sebagian besar faktor-faktor
koagulasidan dengan demikian koagulopati berkorelasi dengan memburuknya
penyakit hati.2

Pemeriksaan Penunjang Lainnya


1. Radiologi: dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus
untuk konfirmasi hepertensi portal.

31

2. Esofagoskopi: dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis


hati/hipertensi portal.
3. Ultrasonografi: pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai
alat pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Yang dilihat pinggir hati,
pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran vena
hepatika, venaporta, pelebaran saluran empedu/HBD, daerah hipo atau
hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion). Sonografi bisa
mendukung

diagnosis

sirosis

hati

terutama

stadium dekompensata,

hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran


empedu, dan lain lain.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan
melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis
bakterial

spontan),

sel

tumor,

perdarahan

dan

eksudat,

dilakukan

pemeriksaanmikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein,


amilase dan lipase.
2.8 KOMPLIKASI
Morbiditas

dan

mortalitas

sirosis

sangat

tinggi

akibat

komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan


penanganan komplikasinya.1,2

Peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien
ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.1,2

Sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa


oligouri, peningkatan ureum damn kreatinin tanpa adanya kelaianan
organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi
ginjal yang berakibat pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).1,2

Varises esofagus. 20-40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah


yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi,
sebanyak dua per tiganya akan meninggal dalam waktu 1 tahun walaupun

32

dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa


cara.1,2

Ensefalopati hepatik, merupakan kelaianan

neuropsikiatrik akibat

disfungsi

tidur

hati.

Mula-mula

ada

gangguan

(insomnia

dan

hipersomnia), selanjutnya dapattimbul gangguan kesadaran yang berlanjut


sampai koma.1,2

Sindrom

hepatopulmonal,

terdapat

hidrothoraks

dan

hipertensi

portopulmonal.1
2.9 PENATALAKSANAAN
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Tetapi ditujukan
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana
tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB
dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.1
Tatalaksana pasien sirosis kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien
ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya:

Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat
herbal bisa menghambat kolagenik.

Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.

Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi


besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan akan mencegah


terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, IFN alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan


terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg

33

secara oral setiap hari selama 1 tahun. Namun pemberian lamivudin


setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi
resistensi obat. IFN Alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3
kali seminggu selama 4-6 bulan.

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin


merupakanterapi standar. Interferon diberikan secara suntikan 5 MIU 3
kali seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mg/ hari
selama 6 bulan.1

Tatalaksana pasien sirosis dekompensata


1. Asites:
- Tirah baring
- Diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/ hari.
- Diuretik, awalnya dengan pemberian spironolakton dengan
dosis 200-200 mg 1x/hari. Respons diuretik bisa dimonitor
dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila
asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 L dan
dilindungi dengan pemberian albumin.
2. Ensefalopati hepatik
- Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
- Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
amonia, diet rendah protein dikurangi sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari,
terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
3. Varises esophagus
- Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propranolol).

34

Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin


atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.

4. Peritonitis bakterial spontan


- Diberikan antibiotika seperti

sefotaksim

IV,

amoksilin, atau

aminoglikosida.
5. Sindrom hepatorenal
- Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan
garam dan air.
6. Transplantasi hati
- Terapi defenitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu.1
2.10 PROGNOSIS
Klasifikasi Child-Pugh juga dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi.1,6
Klasifikasi Child-Pugh Pasien Sirosis Hati 1,6
Derajat Kerusakan
Minimal (1)
Bil. Serum (mg/dL)
< 2,0
Alb. Serum (gr/dL)
> 3,5
Asites
Tidak ada
Ensefalopati
Tidak ada
Nutrisi
Sempurna
Interpretasi:
Grade A: 5-6, prognosis 10-15%
Grade B: 7-9, prognosis 30%
Grade C: 10-15, prognosis > 60%

35

Sedang (2)
2,0-3,0
2,8-3,5
Terkontrol
Minimal
Baik

Berat(3)
> 3,0
< 2,8
Sukar
Koma
Kurang

BAB IV
ANALISIS KASUS
3.1 PEMBAHASAN
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti
belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai
gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat
perbedaannya secara klinis, tetapi dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.1

36

Manifestasi klinis stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga
kadang ditemukan waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau kelainan karena
penyakit lain. Gejala awal biasanya berupa perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual dan berat badan yang menurun,
sedangkan pada keadaan lanjut (dekompensata) gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi berupa kegagalan hati, hipertensi portal, hilangnya rambut
kemaluan, gangguan tidur dan demam yang tidak begitu tinggi. Dapat disertai adanya
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid,
ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan melena serta
perubahan mental meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi sampai
koma.1
Dari hasil anamnesis didapatkan

berupa: sulit berkomunikasi, keluhan mata

kuning, mual, nafsu makan tidak ada, perut semakin membesar, lemas. Pemeriksaan
fisik didapatkan sclera ikterik, nyeri tekan ulu hati, shifting dullness (+) oleh asites,
flapping tremor, edema pada tungkai. Pemeriksaan laboratorium didapatkan
penurunan eritrosit 2,67 106/mm3, hemoglobin 10,1 g/dl, Hematokrit 27,8 %albumin
2,1 g/dl, dan protein total 5,9 g/dl. Selain itu juga terjadi peningkatan globulin 3,8
g/dl, SGOT 66 U/L , SGPT 64 U/L. Disimpulkan pada pasien telah terjadi infeksi
ditandai gangguan fungsi hati dengan peningkatan enzim hati, namun tidak terdapat
infeksi virus hepatitis sebelumnya.
Asites dan edema ditandai dengan adanya keluhan perut membuncit yang
semakin lama semakin membesar hingga ada penonjolan di umbilicus, pada perkusi
abdomen didapatkan adanya tanda shifting dullness yang mana merupakan tanda khas
dari asites. Asites yang terjadi dapat dipikirkan pada kelainan pada organ paru,
jantung, ginjal, hati, dan malnutrisi. Asites bisa terjadi disebabkan penimbunan cairan
dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Dari hasil
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya suara jantung yang menjauh, untuk
membuktikannya disarankan dilakukan foto thorak.

37

Sedangkan edema pada kelainan ginjal seperti pada kondisi gagal ginjal
kronik, edema yang terjadi disebabkan karena adanya penurunan kadar albumin di
dalam darah sehingga mengurangi tekanan onkotik pembuluh darah, akibatnya terjadi
perpindahan cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial. Akan tetapi, pada pasien
ini tidak ada ditemukan tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal, seperti adanya
keluhan buang air kecil menjadi sedikit, adanya pernafasan kusmaul, dan lain
sebagainya. Dari pemeriksaan penunjang juga tidak ditemukan adanya penurunan
dari LFG pasien tersebut. Oleh karena itu, terjadinya asites dan edema lebih
diarahkan kepada kelainan hati yaitu sirosis hepatis.
Pada pasien dengan sirosis hepatis, edema yang pertama akan muncul adalah
pada bagian abdomen. Hal ini dapat dijelaskan karena pada sirosis hepatis terjadi
jaringan fibrosis yang mengakibatkan terjadinya tahanan pada vena porta akibatnya
terjadi peningkatan tekanan dari vena tersebut. Akibat dari peningkatan ini, terjadi
pengalihan aliran darah ke pembuluh darah mesenterika sehingga terjadi filtrasi
bersih cairan keluar dari pembuluh darah ke rongga peritoneum. Cairan tersebut
mengandung albumin yang tinggi sehingga pada darah terjadi penurunan kadar
albumin. Pada keadaan lanjut karena ada kerusakan pada hepatosit yang
menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi hati, salah satunya adalah gagalnya sintesis
dari albumin. Akibat ketidakseimbangan yang terjadi, lama kelamaan asites yang
terjadi akan semakin jelas hingga mendorong ke lokus minorus sehingga terjadi
edema hingga hernia pada skrotum, umbilikus, atau diafragma.1,2,6
Komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan sirosis hepatis antara
lain peritonitis bakrerial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa ada bukti infeksi sekunder intraabdominal. Biasanya tanpa gejala, namun dapat
timbul demam dan nyeri abdomen. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan
fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan
organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus. Salah satu manifestasi hipertensi porta

38

adalah varises esofagus, 20-40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang
menimbulkan perdarahan.1
Pada pasien ini diagnosis differensialnya adalah hepatoma karena mempunyai
gejala yang hampir mirip, dan untuk membedakannya disarankan dilakukan USG
abdomen. Terapi yang diberikan adalah tirah baring karena dapat membantu
memperbaiki efektifitas diuretika, Inj. Omeprazole 1x1gr iv, Inj. Cefotaxime 3x1gr iv,
Mucogard syrup 3x10cc, Laxadin syrup 1x10cc, Curcuma diberikan sebagai
multivitamin untuk hati.
3.2 KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasein dengan diagnosa prekoma hepatikum et causa sirosis
hepatis stadium dekompensata dengan differensial diagnosis suspect hepatoma
dengan anamnesa: keluhan mata kuning, mual, muntah, perut semakin membesar,
nyeri ulu hati dan perut kanan atas, terasa menyesak, lemas. Sedangkan pada
pemeriksaan fisik ditemukan sclera ikterik dan asites. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan peningkatan enzim hati dan hipoalbunimemia.

39

You might also like