Professional Documents
Culture Documents
Pemilu calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) akan
diselenggarakan hanya dalam beberapa bulan lagi. Dan para caleg akhir-akhir ini bertarung
tingkat pusat maupun daerah. Berbagai macam jurus, manuver, dan trik politik mulai
dikeluarkan oleh para kontestan - dari yang halus, samar-samar, tersembunyi sampai kepada
yang terang-terangan. Tujuannya tak lain untuk mengambil hati konstituen agar mau
memberikan suaranya.
Salah satu cara yang cukup efektif mencapai kelompok massa yang besar adalah
dengan memanfaatkan jaringan sosial dan agama. Kegiatan sosial dan agama seringkali
“dimanfaatkan” sebagai ajang kampanye oleh para caleg dan tampaknya cukup efektif dalam
meraup suara, seperti operasi pasar murah, gerak jalan santai berhadiah, konser artis, fogging
Ada lagi trik yang hampir tidak pernah dilupakan oleh para caleg yaitu ajang tebar
pesona melalui obral janji manis di poster, spanduk, bendera, baliho, stiker, kalender, iklan
politik di media cetak dan elektronik, dan sebagainya. Dan yang tak kurang pentingnya
adalah kampanye seperti dialog, debat terbuka, pembentangan visi dan misi dari masing-
masing caleg. Cara ini tampaknya jauh lebih mendidik dan mencerdaskan masyarakat
ketimbang cara-cara lain, meskipun kenyataannya janji-janji tersebut tak lebih dari retorika
Rupanya, paradigma kampanye para politikus kita, dari masa ke masa tetaplah sama.
Tetap tidak berubah dari pola lama, yakni suka membual dan obral janji manis. Para calon
1
pemimpin, elit politik, dan tim sukses dengan asyiknya menebar ribuan janji dan harapan
baru. Malangnya, konstituen di Indonesia tetap lugu dan mudah percaya. Ditambah lagi
mereka mulai terjangkit penyakit lupa. Mesti sudah ditipu mentah-mentah dengan janji palsu,
tetap masih terlena dan terpesona oleh berbagai macam janji manis lainnya.
Itulah sikap aji mumpung yang diperagakan para elit politik saat ini. Di tengah
perhelatan pilcaleg dan pilpres 2009 dijadikan ajang tipu-daya, adu kekuatan, bersekongkol
untuk mengambil keuntungan dari kebodohan dan kemiskinan rakyat. Para caleg seyogyanya
melakukan pencerdasan politik, dan bukan justru melakukan pembodohan dan kebohongan
publik. Menjadi wakil rakyat adalah wahana berkhidmat demi kesejahteraan umat. Bukan
Motivasi caleg
Sulit menghilangkan kesan bahwa motif ekonomi menjadi alasan utama bagi sebagian
(besar) caleg untuk duduk di kursi dewan yang terhormat. Sebut saja misalnya seorang caleg
dengan terus terang mengatakan bahwa ia menjadi caleg karena belum mendapat pekerjaan,
coba-coba keberuntungan, dan sebagainya. Dan bukan hal aneh jika dewasa ini para caleg
bisa berasal dari berbagai macam latar belakang yang dulu tak pernah terbayangkan. Dari
tukang ojek, juru parkir, peternak, pedagang, lurah, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Memang
tidak ada satu ketentuanpun yang mengatur tentang asal/latar belakang sosial ekonomi caleg,
dari kalangan manapun bebas mencalonkan dirinya asalkan sesuai prosedur dan mengikuti
Coba amati wajah-wajah para caleg yang terpampang di baliho, spanduk, poster,
stiker, dan lain-lainnya, mana diantara mereka yang lebih banyak dikenal ketimbang yang
tidak dikenal. Tentunya lebih banyak golongan yang terakhir ini. Jadi sah-sah saja kalau ada
2
ungkapan yang berbunyi, “Baru kenalnyapun dari baliho, spanduk ..., bagaimana kita tahu
kwalitas dan prestasinya, apa pantas dia dipilih, dan seterusnya .....”.
Yang juga tak kalah menarik adalah fenomena artis beramai-ramai menjadi caleg baik
atas keinginan sendiri maupun dicalonkan oleh partai politik. Logikanya tentu mudah
ditebak, yaitu memanfaatkan kepopuleran untuk mendulang suara. Mekanisme politik seperti
ini tentu kurang sehat, karena dari sisi pengetahuan dan pengalaman politik mereka masih
mentah. Dibutuhkan waktu, proses dan prosedur tertentu agar sampai kepada tahap dimana
seseorang sudah siap untuk terjun ke dunia politik atau menjadi caleg. Hal ini berbeda
misalnya dengan artis yang memang semenjak awal sudah terjun ke dunia politik. Dan
terbukti beberapa orang diantaranya memenangkan pilkada ataupun terpilih manjadi anggota
dewan.
Karena itu wajar apabila timbul beberapa sikap dan respon pemilih yang berbeda-
beda terhadap pesta demokrasi yang hanya terjadi sekali dalam lima tahun tersebut. Secara
garis besarnya sikap tersebut dibagi kepada tiga pola, yaitu: (1). Bersikap positif terhadap
pemilu dan sudah menetapkan siapa dan partai apa pilihannya. Biasanya mereka ini adalah
pengikut fanatis suatu partai. (2). Kurang bersikap positif terhadap pemilu karena masih ragu
terhadap pilihannya, namun tetap beriktikad baik dengan tidak menyia-nyiakan suaranya. (3).
Bersikap negatif, skeptis, dan apatis terhadap pemilu (golput), karena siapapun yang terpilih
dan partai apapun yang menang tidak akan banyak membawa kesejahteraan rakyat.
Ketiga sikap di atas yaitu sebagai pemilih fanatis, masih ragu-ragu menetapkan
rakyat secara aktif dan cerdas akan menentukan siapa yang pantas memimpin dan
memberikan legitimasi atas kepemimpinan tersebut. Apalagi dalam sebuah negara, legitimasi
dari rakyat sangat diperlukan pemerintah agar bisa menyelenggarakan negara dengan baik.
3
Konsep Agama tentang pemerintahan
Dalam literatur agama selalu ditekankan tentang pentingnya berjamaah dan memilih
pemimpin. Misalnya sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Tidak halal bagi tiga orang walau
bepergian di padang pasir, kecuali mengangkat seorang diantara mereka sebagai pemimpin”.
(H.R. Ahmad). Berbicara mengenai agama dan kepemimpinan, perlu diingatkan bahwa
masyarakat, bahkan demi terlaksananya ajaran agama itu sendiri. Begitu pentingnya masalah
ini, sehingga Ibn Taimiyah dalam bukunya Al-Siyasah al-syar’iyyah, menulis suatu riwayat
yang berbunyi, “Enam puluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim lebih baik dari
semalam tanpa pemerintahan”. Karena tanpa adanya pemerintahan akan terjadi kekacauan.
Kemudian sabda Nabi saw, “Pemerintah yang aniaya lebih baik dari terjadinya kekacauan
(karena tidak ada pemerintahan). Memang keduanya tidak baik, tetapi dalam sekian banyak
mempunyai dua sifat utama, yaitu kekuatan dan kepercayaan. Kedua sifat tersebut memang
tidak mudah berhimpun pada diri seseorang. Oleh sebab itu, bila sulit ditemukan, maka
alternatifnya adalah memilih yang lebih kuat walau beberagamaannya kurang. Sebab
merugikan dirinya sendiri. Ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang dua orang yang
dicalonkan untuk memimpin satu pasukan, dimana yang pertama kuat tetapi bergelimang
dosa sedangkan yang kedua baik keberagamaannya, tetapi lemah. Beliau menjawab, “Orang
Adapun orang kedua kesalihannya hanya untuk diri sendiri sedangkan kelemahannya menjadi
petaka bagi yang dipimpin. Inilah pertimbangan dalam menetapkan pilihan. (Shihab, 2002).
4
Meskipun demikian, para pemilih harus benar-benar cerdas memilih wakil-wakilnya
dan ekstra hati-hati agar tidak salah pilih. Jika memilih wakil yang tepat maka wakil rakyat
tersebut akan mewujudkan harapan kita tetapi sebaliknya jika memilih wakil rakyat yang
salah maka dipastikan harapan itu akan sia-sia. Bertindak bijaklah karena nasib kita rakyat
Indonesia dalam jangka waktu lima tahun ke depan dipertaruhkan dalam waktu kurang dari
Ada beberapa kriteria caleg yang harus dihindarkan/tak layak untuk dipilih, antara
lain: (1). Caleg yang mempunyai track record jelek. Seperti mereka yang terjerat kasus
hukum, tindakan asusila, kriminal, penyalahgunaan jabatan, korupsi, suap, dan sebagainya.
(2). Caleg yang memberikan uang. Sekarang ini seakan menjadi budaya pemberian uang
untuk pemilih dari partai politik atau caleg. Budaya ini semakin kental ketika banyak pemilih
berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Sangat logis ketika orang mengeluarkan banyak
uang maka dia akan berusaha untuk mengembalikan modal/menutup kerugian tersebut
dengan mengambil dana rakyat yang jauh lebih besar. (3). Caleg yang tidak dikenal. Memilih
caleg yang tidak dikenal sama saja seperti membeli kucing dalam karung. Jika nanti
dikenal baik reputasi maupun kinerjanya. Apalagi sistem sekarang mengharuskan kita
memilih orang (caleg) bukan hanya partai. Kredibilitas dan kemampuan caleg menjadi syarat
utama. (4). Penjahat dan pencemar lingkungan, pelaku dan pelindung illegal loging. Karena
negara sudah dirugikan trilyunan rupiah setiap tahun akibat ulah tersebut, sehingga rakyat
menjadi miskin. (5). Pelaku kekerasan HAM atau yang memberikan perlindungan bagi
pelanggar HAM, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan terhadap anak-anak, diskriminasi
terhadap hak-hak perempuan, dan pelaku perdagangan manusia. (6). Pemakai narkoba dan
pelindung bisnis narkoba. Banyak generasi muda yang suram hidupnya, rusak masa
5
depannya gara-gara terlibat narkoba. (7). Pelaku penggusuran dan tindakan yang melanggar
hak-hak ekonomi, sosial dan politik kaum petani, buruh, serta rakyat miskin kota.
Bijak menyiasati
harus berani dan adalah hak mereka untuk memaksa elit politik agar patuh pada konstituen,
sebab merekalah yang memilihnya. Nasib dan masa depan mereka sudah dipertaruhkan di
tangan caleg tersebut paling tidak untuk masa lima tahun ke depan. Sehingga setidaknya ada
tiga hal yang harus benar-benar diperhatikan pemilih agar suara yang diberikan tidak
Pertama, menjadi pemilih yang cerdas. Ukuran kecerdasan pemilih bukan merujuk
kepada kualifikasi pendidikan, melainkan bertumpu pada sejauh mana pemilih memahami
visi-misi, tujuan, dan rencana strategik calon pemimpin. Tipologi pemilih semacam ini, biasa
disebut dengan istilah pemilih visioner. Dengan kata lain, pemilih yang mengetahui secara
jelas akan kematangan calon pasangan tertentu. Minimal mengetahui rencana apa yang akan
dilaksanakan, jika nantinya ia terpilih. Ini dapat diukur dari seberapa besar keberpihakannya
pemimpin terhadap rakyat, maka semakin tinggi pula kepercayaan rakyat kepadanya.
menjatuhkan pilihannya. Sudah saatnya, pemilih rasional melakukan kontrak sosial. Kontrak
tersebut, diajukan kepada calon pemimpin dan caleg yang akan dipilihnya. Persoalannya, jika
kontrak sosial tersebut terlaksana, apakah ia mempunyai payung hukum yang kuat? Bisakah
6
Untuk itu perlu ada undang-undang berkekuatan hukum yang berpihak kepada konstituen
Ketiga, pemilih jangan mudah lupa. Wabah penyakit pelupa yang menular di
kalangan pemilih, terutama golongan pemilih kelas menengah ke bawah harus segera diobati.
Pasalnya, jika dibiarkan justru akan semakin menyuburkan benih-benih kedustaan para
penguasa terpilih. Di sisi yang sama, komitmen pemilih untuk tak mudah melupakan
pengingkaran janji rezim terpilih, bermanfaat sebagai senjata terakhir dari buah
ketidakpercayaan pemilih terhadap figur atau mesin politik partai yang mengusungnya.
Yang penting sekali disadari bagi pemilih di akar rumput (grass root) yaitu jangan
mudah terperdaya menyikapi fenomena politik tebar pesona para elit partai saat ini. Tetaplah
teguh memegang sikap selektif, cerdas, bijak dan rasional. Bukankah itu merupakan salah-
satu sikap terbaik yang bisa dilakukan. Semoga elit politik kita mempunyai kemauan
mengubah tabiat buruknya untuk tidak membodohi dan mendustai rakyat, berkuasa tanpa
mampu melakukan perubahan signifikan. Apabila hal itu tidak dilakukan lebih baik golput