You are on page 1of 7

MENYIASATI MANUVER CALEG

Oleh: Agus Saputera

Pemilu calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) akan

diselenggarakan hanya dalam beberapa bulan lagi. Dan para caleg akhir-akhir ini bertarung

“habis-habisan” untuk memperebutkan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik di

tingkat pusat maupun daerah. Berbagai macam jurus, manuver, dan trik politik mulai

dikeluarkan oleh para kontestan - dari yang halus, samar-samar, tersembunyi sampai kepada

yang terang-terangan. Tujuannya tak lain untuk mengambil hati konstituen agar mau

memberikan suaranya.

Salah satu cara yang cukup efektif mencapai kelompok massa yang besar adalah

dengan memanfaatkan jaringan sosial dan agama. Kegiatan sosial dan agama seringkali

“dimanfaatkan” sebagai ajang kampanye oleh para caleg dan tampaknya cukup efektif dalam

meraup suara, seperti operasi pasar murah, gerak jalan santai berhadiah, konser artis, fogging

ke rumah-rumah penduduk, layanan kesehatan gratis, pemberian sembako, bantuan sosial

anak yatim, dan sebagainya.

Ada lagi trik yang hampir tidak pernah dilupakan oleh para caleg yaitu ajang tebar

pesona melalui obral janji manis di poster, spanduk, bendera, baliho, stiker, kalender, iklan

politik di media cetak dan elektronik, dan sebagainya. Dan yang tak kurang pentingnya

adalah kampanye seperti dialog, debat terbuka, pembentangan visi dan misi dari masing-

masing caleg. Cara ini tampaknya jauh lebih mendidik dan mencerdaskan masyarakat

ketimbang cara-cara lain, meskipun kenyataannya janji-janji tersebut tak lebih dari retorika

belaka, banyak yang tidak ditepati.

Rupanya, paradigma kampanye para politikus kita, dari masa ke masa tetaplah sama.

Tetap tidak berubah dari pola lama, yakni suka membual dan obral janji manis. Para calon
1
pemimpin, elit politik, dan tim sukses dengan asyiknya menebar ribuan janji dan harapan

baru. Malangnya, konstituen di Indonesia tetap lugu dan mudah percaya. Ditambah lagi

mereka mulai terjangkit penyakit lupa. Mesti sudah ditipu mentah-mentah dengan janji palsu,

tetap masih terlena dan terpesona oleh berbagai macam janji manis lainnya.

Itulah sikap aji mumpung yang diperagakan para elit politik saat ini. Di tengah

himpitan kesulitan ekonomi dan menguatnya kompleksitas persoalan hidup masyarakat,

perhelatan pilcaleg dan pilpres 2009 dijadikan ajang tipu-daya, adu kekuatan, bersekongkol

untuk mengambil keuntungan dari kebodohan dan kemiskinan rakyat. Para caleg seyogyanya

melakukan pencerdasan politik, dan bukan justru melakukan pembodohan dan kebohongan

publik. Menjadi wakil rakyat adalah wahana berkhidmat demi kesejahteraan umat. Bukan

peluang mendapatkan imbalan material untuk memperkaya diri dan golongan.

Motivasi caleg

Sulit menghilangkan kesan bahwa motif ekonomi menjadi alasan utama bagi sebagian

(besar) caleg untuk duduk di kursi dewan yang terhormat. Sebut saja misalnya seorang caleg

dengan terus terang mengatakan bahwa ia menjadi caleg karena belum mendapat pekerjaan,

coba-coba keberuntungan, dan sebagainya. Dan bukan hal aneh jika dewasa ini para caleg

bisa berasal dari berbagai macam latar belakang yang dulu tak pernah terbayangkan. Dari

tukang ojek, juru parkir, peternak, pedagang, lurah, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Memang

tidak ada satu ketentuanpun yang mengatur tentang asal/latar belakang sosial ekonomi caleg,

dari kalangan manapun bebas mencalonkan dirinya asalkan sesuai prosedur dan mengikuti

mekanisma yang ditentukan.

Coba amati wajah-wajah para caleg yang terpampang di baliho, spanduk, poster,

stiker, dan lain-lainnya, mana diantara mereka yang lebih banyak dikenal ketimbang yang

tidak dikenal. Tentunya lebih banyak golongan yang terakhir ini. Jadi sah-sah saja kalau ada

2
ungkapan yang berbunyi, “Baru kenalnyapun dari baliho, spanduk ..., bagaimana kita tahu

kwalitas dan prestasinya, apa pantas dia dipilih, dan seterusnya .....”.

Yang juga tak kalah menarik adalah fenomena artis beramai-ramai menjadi caleg baik

atas keinginan sendiri maupun dicalonkan oleh partai politik. Logikanya tentu mudah

ditebak, yaitu memanfaatkan kepopuleran untuk mendulang suara. Mekanisme politik seperti

ini tentu kurang sehat, karena dari sisi pengetahuan dan pengalaman politik mereka masih

mentah. Dibutuhkan waktu, proses dan prosedur tertentu agar sampai kepada tahap dimana

seseorang sudah siap untuk terjun ke dunia politik atau menjadi caleg. Hal ini berbeda

misalnya dengan artis yang memang semenjak awal sudah terjun ke dunia politik. Dan

terbukti beberapa orang diantaranya memenangkan pilkada ataupun terpilih manjadi anggota

dewan.

Karena itu wajar apabila timbul beberapa sikap dan respon pemilih yang berbeda-

beda terhadap pesta demokrasi yang hanya terjadi sekali dalam lima tahun tersebut. Secara

garis besarnya sikap tersebut dibagi kepada tiga pola, yaitu: (1). Bersikap positif terhadap

pemilu dan sudah menetapkan siapa dan partai apa pilihannya. Biasanya mereka ini adalah

pengikut fanatis suatu partai. (2). Kurang bersikap positif terhadap pemilu karena masih ragu

terhadap pilihannya, namun tetap beriktikad baik dengan tidak menyia-nyiakan suaranya. (3).

Bersikap negatif, skeptis, dan apatis terhadap pemilu (golput), karena siapapun yang terpilih

dan partai apapun yang menang tidak akan banyak membawa kesejahteraan rakyat.

Ketiga sikap di atas yaitu sebagai pemilih fanatis, masih ragu-ragu menetapkan

pilihan, ataupun golput tentunya sama-sama kurang/tidak diharapkan. Sebab partisipasi

rakyat secara aktif dan cerdas akan menentukan siapa yang pantas memimpin dan

memberikan legitimasi atas kepemimpinan tersebut. Apalagi dalam sebuah negara, legitimasi

dari rakyat sangat diperlukan pemerintah agar bisa menyelenggarakan negara dengan baik.

3
Konsep Agama tentang pemerintahan

Dalam literatur agama selalu ditekankan tentang pentingnya berjamaah dan memilih

pemimpin. Misalnya sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Tidak halal bagi tiga orang walau

bepergian di padang pasir, kecuali mengangkat seorang diantara mereka sebagai pemimpin”.

(H.R. Ahmad). Berbicara mengenai agama dan kepemimpinan, perlu diingatkan bahwa

agama sangat menekankan perlunya kehadiran pemerintah demi menata kehidupan

masyarakat, bahkan demi terlaksananya ajaran agama itu sendiri. Begitu pentingnya masalah

ini, sehingga Ibn Taimiyah dalam bukunya Al-Siyasah al-syar’iyyah, menulis suatu riwayat

yang berbunyi, “Enam puluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim lebih baik dari

semalam tanpa pemerintahan”. Karena tanpa adanya pemerintahan akan terjadi kekacauan.

Kemudian sabda Nabi saw, “Pemerintah yang aniaya lebih baik dari terjadinya kekacauan

(karena tidak ada pemerintahan). Memang keduanya tidak baik, tetapi dalam sekian banyak

keburukan harus ada pilihan”.

Al-Qur’an dan Hadits mengisyaratkan agar orang yang memimpin hendaknya

mempunyai dua sifat utama, yaitu kekuatan dan kepercayaan. Kedua sifat tersebut memang

tidak mudah berhimpun pada diri seseorang. Oleh sebab itu, bila sulit ditemukan, maka

alternatifnya adalah memilih yang lebih kuat walau beberagamaannya kurang. Sebab

kekuatan akan memperkukuh masyarakat, sedangkan kelemahan di bidang agama hanya

merugikan dirinya sendiri. Ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang dua orang yang

dicalonkan untuk memimpin satu pasukan, dimana yang pertama kuat tetapi bergelimang

dosa sedangkan yang kedua baik keberagamaannya, tetapi lemah. Beliau menjawab, “Orang

pertama dosanya dipikul sendiri sedangkan kekuataannya mendukung kepentingan umat.

Adapun orang kedua kesalihannya hanya untuk diri sendiri sedangkan kelemahannya menjadi

petaka bagi yang dipimpin. Inilah pertimbangan dalam menetapkan pilihan. (Shihab, 2002).

4
Meskipun demikian, para pemilih harus benar-benar cerdas memilih wakil-wakilnya

dan ekstra hati-hati agar tidak salah pilih. Jika memilih wakil yang tepat maka wakil rakyat

tersebut akan mewujudkan harapan kita tetapi sebaliknya jika memilih wakil rakyat yang

salah maka dipastikan harapan itu akan sia-sia. Bertindak bijaklah karena nasib kita rakyat

Indonesia dalam jangka waktu lima tahun ke depan dipertaruhkan dalam waktu kurang dari

lima menit di bilik suara.

Caleg tak layak pilih

Ada beberapa kriteria caleg yang harus dihindarkan/tak layak untuk dipilih, antara

lain: (1). Caleg yang mempunyai track record jelek. Seperti mereka yang terjerat kasus

hukum, tindakan asusila, kriminal, penyalahgunaan jabatan, korupsi, suap, dan sebagainya.

(2). Caleg yang memberikan uang. Sekarang ini seakan menjadi budaya pemberian uang

untuk pemilih dari partai politik atau caleg. Budaya ini semakin kental ketika banyak pemilih

berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Sangat logis ketika orang mengeluarkan banyak

uang maka dia akan berusaha untuk mengembalikan modal/menutup kerugian tersebut

dengan mengambil dana rakyat yang jauh lebih besar. (3). Caleg yang tidak dikenal. Memilih

caleg yang tidak dikenal sama saja seperti membeli kucing dalam karung. Jika nanti

mencoblos/mencontreng maka pilihlan calon anggota legislatif yang memang betul-betul

dikenal baik reputasi maupun kinerjanya. Apalagi sistem sekarang mengharuskan kita

memilih orang (caleg) bukan hanya partai. Kredibilitas dan kemampuan caleg menjadi syarat

utama. (4). Penjahat dan pencemar lingkungan, pelaku dan pelindung illegal loging. Karena

negara sudah dirugikan trilyunan rupiah setiap tahun akibat ulah tersebut, sehingga rakyat

menjadi miskin. (5). Pelaku kekerasan HAM atau yang memberikan perlindungan bagi

pelanggar HAM, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan terhadap anak-anak, diskriminasi

terhadap hak-hak perempuan, dan pelaku perdagangan manusia. (6). Pemakai narkoba dan

pelindung bisnis narkoba. Banyak generasi muda yang suram hidupnya, rusak masa
5
depannya gara-gara terlibat narkoba. (7). Pelaku penggusuran dan tindakan yang melanggar

hak-hak ekonomi, sosial dan politik kaum petani, buruh, serta rakyat miskin kota.

Bijak menyiasati

Prinsip demokrasi menyatakan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat. Rakyat

harus berani dan adalah hak mereka untuk memaksa elit politik agar patuh pada konstituen,

sebab merekalah yang memilihnya. Nasib dan masa depan mereka sudah dipertaruhkan di

tangan caleg tersebut paling tidak untuk masa lima tahun ke depan. Sehingga setidaknya ada

tiga hal yang harus benar-benar diperhatikan pemilih agar suara yang diberikan tidak

terbuang sia-sia. (Mukodi, 2009).

Pertama, menjadi pemilih yang cerdas. Ukuran kecerdasan pemilih bukan merujuk

kepada kualifikasi pendidikan, melainkan bertumpu pada sejauh mana pemilih memahami

visi-misi, tujuan, dan rencana strategik calon pemimpin. Tipologi pemilih semacam ini, biasa

disebut dengan istilah pemilih visioner. Dengan kata lain, pemilih yang mengetahui secara

jelas akan kematangan calon pasangan tertentu. Minimal mengetahui rencana apa yang akan

dilaksanakan, jika nantinya ia terpilih. Ini dapat diukur dari seberapa besar keberpihakannya

kepada masyarakat dalam memimpin. Sehingga semakin tinggi keberpihakan calon

pemimpin terhadap rakyat, maka semakin tinggi pula kepercayaan rakyat kepadanya.

Sebaliknya, semakin rendah keberpihakan calon pemimpin terhadap kepentingan rakyat,

dipastikan ia akan ditinggalkan konstituennya.

Kedua, membuat kontrak sosial. Hendaknya pemilih mulai selektif dalam

menjatuhkan pilihannya. Sudah saatnya, pemilih rasional melakukan kontrak sosial. Kontrak

tersebut, diajukan kepada calon pemimpin dan caleg yang akan dipilihnya. Persoalannya, jika

kontrak sosial tersebut terlaksana, apakah ia mempunyai payung hukum yang kuat? Bisakah

digunakan konstituen untuk meng-impeachment sang pemimpin, ketika ia mengingkari janji?

6
Untuk itu perlu ada undang-undang berkekuatan hukum yang berpihak kepada konstituen

bukan kepada caleg.

Ketiga, pemilih jangan mudah lupa. Wabah penyakit pelupa yang menular di

kalangan pemilih, terutama golongan pemilih kelas menengah ke bawah harus segera diobati.

Pasalnya, jika dibiarkan justru akan semakin menyuburkan benih-benih kedustaan para

penguasa terpilih. Di sisi yang sama, komitmen pemilih untuk tak mudah melupakan

pengingkaran janji rezim terpilih, bermanfaat sebagai senjata terakhir dari buah

ketidakpercayaan pemilih terhadap figur atau mesin politik partai yang mengusungnya.

Yang penting sekali disadari bagi pemilih di akar rumput (grass root) yaitu jangan

mudah terperdaya menyikapi fenomena politik tebar pesona para elit partai saat ini. Tetaplah

teguh memegang sikap selektif, cerdas, bijak dan rasional. Bukankah itu merupakan salah-

satu sikap terbaik yang bisa dilakukan. Semoga elit politik kita mempunyai kemauan

mengubah tabiat buruknya untuk tidak membodohi dan mendustai rakyat, berkuasa tanpa

mampu melakukan perubahan signifikan. Apabila hal itu tidak dilakukan lebih baik golput

saja daripada salah pilih.

You might also like