You are on page 1of 2

Artikel Khusus

Peran Pencitraan Resonansi Magnetik


sebagai Alat Diagnosis Penyakit Alzheimer

Adhy Tjahyanto, Yanto Budiman


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Abstrak: Diagnosis pasti Penyakit Alzheimer masih menjadi kendala utama bagi dokter dalam
pengambilan keputusan tindakan terapeutik lebih lanjut. Saat ini pencitraan resonansi magnetik
(magnetic resonance imaging; MRI) menjadi pemeriksaan penunjang yang penting untuk diagnosis Alzheimer. Volume korteks entorhinal dan hipokampus menjadi fokus pada pemeriksaan
MRI. Pemeriksaan dengan MRI tidak hanya mencitra perubahan morfologi regio otak tetapi
juga dapat dilakukan perhitungan volume, laju penyusutan, pengukuran konsentrasi metabolit
sel otak, serta pemeriksaan biokimiawi seperti kadar feritin. Setiap jenis alat pencitraan
resonansi magnetik memiliki spesifisitas dan sensitivitas beragam.
Kata kunci: Penyakit Alzheimer, ragam jenis pencitraan resonansi magnetik

Role of Magnetic Resonance Imaging As a


Diagnostic Tool for Alzheimers Disease
Adhy Tjahyanto, Yanto Budiman
Atma Catholic University Jayaf Atma Jaya, Jakarta

Abstract: Definite diagnosis of Alzheimers Disease is still the main problem faced by medical
clinicians. Nowadays, Magnetic Resonance Imaging has become an important diagnostic tool for
Alzheimer. Entorhinal cortex and hippocampal volume are the principle focus while using Magnetic Resonance Imaging. However, Magnetic Resonance Imaging not only can measure morphological brain region, but also volume, atrophic rate, concentration of brain metabolites and
ferritin. Each type of MRI technique has its own specificity and sensitivity in diagnosing Alzheimers.
Key words: Alzheimers Disease, varieties of Magnetic Resonance Imaging.

218

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 5, Mei 2011

Peran Pencitraan Resonansi Magnetik sebagai Alat Diagnosis Penyakit Alzheimer


Pendahuluan
Penyakit Alzheimer (yang selanjutnya disebut Alzheimer saja) merupakan penyakit neurodegeneratif progresif dan
berdampak pada fungsi kognitif. Sebanyak 50-60% dari total
kasus demensia merupakan Alzheimer. Sekitar 15-30% adalah
demensia vaskular sedangkan demensia jenis lain menempati
urutan ketiga1.
Hingga saat ini, penegakan diagnosis pasti (definite)
Alzheimer masih mengandalkan pemeriksaan histologi
jaringan otak yang hanya dapat dilakukan setelah pasien
meninggal. Meskipun demikian, Alzheimer masih dapat
ditegakan secara klinis sebagai kasus probable atau possible.2
Braak et al.3,4 memiliki hipotesis adanya timbunan
sejumlah puntiran neurofibril (neurofibrillary tangles/NFTs)
dan plak senilis (senile plaques/SPs) yang lebih banyak pada
pasien Alzheimer dibandingkan otak orang seusianya.
Berdasarkan hal tersebut, mereka mengelompokkan derajat
Alzheimer mulai dari yang teringan, yaitu terjadi pada korteks
entorhinal, hingga terberat yang melibatkan struktur
hipokampus dan amigdala,3,4 semua struktur tersebut termasuk dalam bagian lobus temporal-sisi-media (medial temporal lobe/MTL) korteks serebrum.
Penyakit Alzheimer
Penyebab utama Alzheimer pada tingkat molekuler
memang belum dipahami sepenuhnya. Ada tiga gen yang
berhubungan dengan 90% kasus awitan dini (gejala timbul
sebelum usia 65 tahun) 5, yaitu gen presenilin-1 pada
kromosom 14, gen presenilin-2 pada kromosom 1, dan gen
protein pembentuk amiloid pada kromosom 21. Gen apolipoprotein E (APOE) 4 pada kromosom 19 lebih berperan
sebagai faktor risiko dibandingkan dalam diagnosis. 6
Terdapat tiga teori pendukung insidensi Alzheimer secara
mendetail yaitu teori amiloid, kolinergik, dan hipotesis protein (tau).7,8
Berdasarkan kriteria DSM-IV5 dan/atau kriteria yang
dikembangkan oleh National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke and Alzheimers Disease and Related Disorders Association (NINCDSADRDA),2 diagnosis klinis Alzheimer sudah dapat tegak
meski diagnosis pasti belum diperoleh. Bahkan, Clinical
Dementia Rating (CDR) menglasifikasikan derajat keparahan
Alzheimer: sangat ringan, CDR 0,5; ringan, CDR 1;
sedang, CDR 2; dan berat/parah, CDR 39.
Berikut adalah kriteria diagnosis Alzheimer, yang
diadopsi dari NINCDS-ADRDA, yaitu2:
1. Demensia berdasarkan pada pemeriksaan klinis dan uji
Mini-Mental (Mini-Mental test), skala demensia
(Blessed Dementia scale) atau uji lain yang serupa, serta
dikonfimasi dengan pemeriksaan neuropsikologis;
terdapat dua atau lebih gangguan atau defisit fungsi
kognitif; fungsi daya ingat dan kognitif lainnya memburuk secara progresif:
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 5, Mei 2011

2.

3.

4.

5.

6.
7.

kesadaran baik; awitan berkisar antara usia 40 hingga 90,


sering setelah usia 65; dan tidak ada gangguan sistemik
atau penyakit otak lain yang dapat mengganggu daya
ingat dan fungsi-fungsi kognitif lainnya.
Diagnosis probable didukung oleh: terdapat perburukan
fungsi kognitif khusus seperti berbahasa (afasia), motorik
(apraksia), dan persepsi (agnosia); aktivitas hidup seharihari dan pola kebiasaan terganggu; riwayat keluarga
positif serta didukung oleh pemeriksaan neuropatologik
serta pemeriksaan penunjang lainnya: punksi lumbal
normal (dievaluasi sesuai standar), EEG normal atau
menunjukkan sedikit kelainan seperti bertambahnya
aktivitas gelombang atrofi otak tampak progresif melalui
pemindai tomografi komputer scan (computed tomography; CT scan) yang dilakukan berulang.
Gambaran klinis berikut mengarah pada diagnosis probable setelah penyebab demensia lain tersingkir, seperti:
progesivitas penyakit berlangsung terus dan bertahan;
terdapat gejala penyerta seperti depresi, insomnia,
inkontinensia, delusi, ilusi, halusinasi, catastrophic verbal, emosi yang meledak-ledak, disfungsi seksual, dan
penurunan berat badan; abnormalitas lain terdapat pada
beberapa pasien terutama pada penyakit tahap lanjut,
yang mencakup fungsi motorik seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, atau gangguan gait; kejang pada
tahap lanjut; hasil CT scan tampak normal.
Gambaran berikut menyebabkan diagnosis probable
menjadi ragu: awitan tiba-tiba atau apoplektik; temuan
lesi neurologik fokal; seperti hemiparesis, kehilangan
fungsi sensorik, penurunan fungsi lapang pandang, dan
inkoordinasi, timbul pada tahap dini penyakit; kejang
atau gangguan gait pada saat awitan atau tahap dini
penyakit.
Diagnosis klinis possible: mungkin ditegakkan berdasarkan temuan sindrom demensia tanpa gangguan
neurologik, psikiatrik, ataupun sistemik lainnya yang
dapat menyebabkan demensia, serta dengan awitan atau
presentasi klinis yang bervariasi; mungkin ditegakkan
ketika terdapat gangguan sekunder sistemik atau otak
yang dapat memicu demensia, meski bukan penyebab;
jika terdapat satu penurunan kognitif yang parah dan
progresif yang tidak disebabkan oleh hal lain sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan lebih lanjut.
Kriteria diagnosis pasti (definite): Memenuhi kriteria
klinis probable dan terbukti melalui biopsi atau otopsi.
Agar dapat membedakankan subtipe gangguan, klasifikasi Alzheimer dalam penelitian harus mencantumkan
hal-hal berikut: riwayat keluarga; awitan sebelum usia 65
tahun; trisomi 21; beberapa kondisi yang dapat muncul
bersamaan seperti penyakit Parkinson.

Menilik kriteria NINCS-ADRDA tersebut, pencitraan


merupakan salah satu komponen penegakan diagnosis klinis.
Oleh sebab itu, pencitraan resonansi magnetik (Magnetic
219

You might also like