You are on page 1of 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN SYNCOPE


DI RSSA MALANG
RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT

DEPARTEMEN EMERGENCY

OLEH:
PUPUT AYU KRISTINAWATI
0910720071

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014

A. DEFINISI
1. Syncope atau yang biasa dikenal dengan istilah pingsan merupakan kondisi
dimana terjadi penurunan bahkan kehilangan kesadaran yang terjadi secara
tiba-tiba dan bersifat sementara yang disebabkan oleh aliran darah di otak
yang tidak tercukupi. Hal ini disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan
bradikardi secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi.Onset dari
syncope ini cepat, durasi singkat, dan pemulihan terjadi secara spontan dan
sempurna. Penyebab lain kehilangan kesadaran yang perlu dibedakan dari
syncope yaitu kejang, iskemik vertebrobasilar, hipoksemia, dan hipoglikemia.

(Longo, 2012)
Syncopal prodrome (presyncope) merupakan suatu kondisi yang umum
terjadi dimana penurunan kesadaran mungkin terjadi tanpa ada gejala
peringatan apapun. Gejala khas dari presyncope yaitu pusing, pingsan,

lemah, lelah serta gangguan penglihatan dan pendengaran.


2. Syncope merupakan suatu mekanisme tubuh dalam

mengantisipasi

perubahan suplai darah ke otak dan biasanya terjadi secara mendadak dan
sebentar atau kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh serta
kemampuan untuk berdiri karena pengurangan aliran darah ke otak. Pingsan,
"blacking out", atau syncope juga bisa diartikan sebagai kehilangan
kesadaran sementara yang diikuti oleh kembalinya kesiagaan penuh.
Pingsan

merupakan

suatu

bentuk

usaha

terakhir

tubuh

dalam

mempertahankan kekurangan zat-zat penting untuk di suplai ke otak seperti


oksigen dan substansi-substansi lain (glukosa) dari kerusakan yang bisa
permanen.
B. ETIOLOGI
Penyebab syncope dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) Syncope yang
dimediasi oleh syaraf (2) Syncope akibat hipotensi ortostatik dan (3) Syncope
Kardiovaskular. (Longo, 2012)
1. Syncope yang dimediasi oleh syaraf terdiri dari sekelompok heterogen
gangguan fungsional yang ditandai oleh perubahan sementara pada refleks
yang

bertanggung

jawab

untuk

mempertahankan

homeostasis

kardiovaskular. Kegagalan sementara dalam pengontrolan tekanan darah


disebabkan oleh vasodilatasi episodik dan bradikardi yang terjadi pada
berbagai kombinasi.
2. Adapun pada pasien dengan hipotensi ortostatik, homeostasis kardiovaskular
kronik terganggu karena kegagalan kontrol otonom.
3. Sedangkan pada syncope kardiovaskular mungkin disebabkan oleh aritmia
atau penyakit jantung struktural yang dapat menyebabkan penurunan curah
jantung. Terdapat perbedaan yang sangat jelas pada gambaran klinis, dasar

mekanisme patofisiologi, intervensi terapi dan prognosis pada ketiga


penyebab syncope ini.
C. PATOFISIOLOGI
Syncope merupakan konsekuensi dari hipopefusi serebral secara global dan
dengan demikian merupakan suatu kegagalan mekanisme autoregulasi aliran darah
otak. Adapun faktor yang bertanggung jawab atau autoregulasi dari aliran darah otak
antara lain faktor myogenik, metabolit lokal, serta kontrol neurovaskular otonom.
Dalam keadaan normal, rentang aliran darah otak sekitar 50-60 ml/menit per 100
gram jaringan otak dan tetap relatif konstan selama tekanan perfusi mmulai 50-150
mmHg. Jika terjadi penghentian aliran darah selama 6-8 menit maka akan
menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan penurunan kesadaran akan terjadi
saat aliran darah menurun sampai 25 ml/menit per 100 gram jaringan otak.
Dari sudut pandang klinis, penurunan tekanan darah sistolik sistemik dibawah
50 mmHg akan menyebabkan syncope. Penurunan kardiak output dan atau
resistansi vaskuar sistemik (faktor penentu tekanan darah) merupaka hal yang
mendasarai patofisiologi dari syncope. Beberapa penyebab umum terjadinya
gangguan curah jantung yaitu penurunan efektif volum darah yang bersirkulasi,
peningkatan tekanan dada, emboli paru masif, bradikardi dan tachyaritmia, penyakit
katup jantung, dan disfungsi miokardia.
Dalam posisi berdiri memberikan beban stres fisiologis yang unik pada
manusia. Posisi ini dapat dikatakan membebankan karena pada posisi berdiri akan
terjadi penumpukan sekitar 500-1000 ml darah pada ekstremitas bawah dan sirkulasi
splanknikus. Oleh karena hal inilah, umumnya periode syncope sering terjadi pada
saat berdiri. Pada saat terjadi penumpukan aliran darah pada ekstremitas bawah,
akan terjadi penurunan aliran balik vena ke jantung dan mengurangi pula pengisian
ventrikel sehingga menyebabkan curah jantung dan tekanan darah berkurang.
Perubahan hemodinamik yang terjadi dapat memicu refleks kompensasi yang
diprakarsai oleh baroreseptor di sinus karotis dan arkus aorta, sehingga
menghasilkan peningkatan aliran simpatis dan penurunan aktivitas nervus vagus.
Refleks kompensasi ini membuat peningkatan resistensi perifer, aliran darah dari
vena kembali ke jantung dan kardiak output, sehingga dapat membatasi penurunan
tekanan darah. Namun, jika respon kompensasi ini gagal maka hipoperfusi serebral
akan terjadi, seperti pada neurally mediated syncope dan orthostatic hypotension.
(Morag, 2013)

D. KLASIFIKASI
1. Syncope di Mediasi Saraf (Neurally Mediated Syncope)
Syncope dimediasi saraf merupakan syncope tersering yang ada
pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Syncope yang
dimediasi oleh saraf ini merupakan jalur terakhir yang ditempuh dari refleks
sistem saraf sentral dan perifer. Terdapat perubahan yang bersifat cepat dan
sementara pada aktivitas autonom eferen yang ditandai dengan peningkatan
aliran parasimpatik sehingga menyebabkan bradikardi dan simpatoinhibition
sehingga menyebabkan vasodilatasi. Perubahan pada aktivitas autonom
eferen menyebabkan penurunan tekanan darah dan penurunan aliran darah
otak dibawah kemampuan autoregulasi. (Longo, 2012)
Terkadang neurally mediated syncope disebut juga vasovagal
syncope dan atau situational refleks syncope. neurally mediated syncope
disebut syncope situasional pada beberapa kondisi yaitu pada saat pungsi
vena, berkemih, batu, menelan, defekasi, dan neuralgia glosofaringeal.
(Morag, 2013)
Gejala yang timbul pada syncope yang dimediasi saraf antara lain
pusing, lelah, pucat, jantung berdebar, mual, hiperventilasi, dan menguap.
Sementara beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan syncope

yaitu berdiri tegak dalam waktu yang lama, suhu lingkungan yang hangat,
penurunan volume intravaskular, konsumsi alkohol, hipoksemia, anemia serta
faktor emosi. (Morag, 2013)
2. Syncope Hipotensi Orthostatik
Hipotensi orthostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah
sistolik paling sedikit 20 mmHg atau tekanan darah diastolik minimal 10
mmHg dalam waktu 3 menit saat berdiri. Kondisi ini merupakan suatu
manifestasi yang muncul akibat disfungsi sistem saraf otonom pusat maupun
perifer sehingga menyebabkan kegagalan vasokonstriksor simpatis (saraf
otonom). Dalam beberapa kasus, tidak terjadi kompensasi pada denyut
jantung meskipun terjadi hipotensi, sedangkan pada kegagalan parsial
otonom, denyut jantung dapat meningkat sampai batas tertentu, tetapi tidak
mampu untuk mempertahankan curah jantung. Syncope hipotensi orthostatis
merupakan penyebab tersering syncope pada orang usia lanjut. (Morag,
2013)
Gejala khas yang muncul pada syncope hipotensi ortostatik antara
lain pusing, presyncope yang terjadi jika terdapat perubahan postural yang
mendadak. Ada juga gejala non spesifik lainnya seperti kelelahan,
perlambatan kognitif, atau sakit kepala. Penglihatan juga mungkin kabur
karena retina atau lobus oksipital mengalami iskemi. Selain itu juga mungkin
terjadi dyspnea ortostatik yang diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi karena tidak adekuatnya perfusi dari apeks paru. Gejala
pada syncope hipotensi orthostatik dapat diperparah jika beraktivitas terlalu
berat, berdiri terlalu lama, peningkatan suhu lingkungan.
3. Syncope Kardiovaskular
Syncope kardiovaskular disebabkan oleh aritmia dan penyakit
struktural jantung. Kondisi ini dapat terjadi dalam kombinasi karena penyakit
struktural jantung membuat jantung lebih rentan terhadap aktivitas listrik
abnormal.
Aritmia merupakan penyebab utama dari bradikardi dan takikardi.
Bradiaritmia dapat menyebabkan syncope karena terjadi disfungsi nodus
sinus yang parah dan atrioventrikular block. Bradiaritmia karena disfungsi
nodus sinus sering dikaitkan dengan takiaritmia atrium, yang dikenal sebagai
kelainan sindrom takikardi-bradikardia. Penyebab tersering syncope pada
sindrom takikardia-bradikardia adalah jeda yang berkepanjangan setelah
penghentian episode takikardi.Takiaritmia ventrikel merupakan salah satu
penyebab tersering syncope. Kemungkinan syncope dengan takikardi
ventrikular tergantung pada ventricular rate. Jika ventricular rate dibawah 200
denyut permenit, kondisi ini cenderung tidak menyebabkan syncope.

Terganggunya fungsi hemodinamik selama takikardi ventrikular disebabkan


oleh kontraksi ventrikular yang tidak efektif, menurunnya pengisian diastolik
karena waktu pengisian ventrikel yang singkat, kehilangan sinkronisasi
arterioventrikular dan terjadinya iskemi miokard secara bersamaan.
Syncope dapat disebabkan oleh kelainan struktural jantung dengan
cara mengganggu volum curah jantung. Beberapa contoh penyakit jantung
struktural yang menyebabkan syncope yaitu penyakit katup, iskemia miokard,
hipertropi, masa jantung dan efusi perikardial. Selain mengganggu curah
jantung, penyakit struktural jantung ini juga dapat menyababkan syncope
melalui mekanisme patofisiologis lainnya. Sebagai contoh yaitu, gangguan
struktural seperti stenosis aorta dan kardiomiopati dapat menyebabkan
terjadinya refleks vasodilatasi sehingga memicu syncope, contoh lainnya
yaitu pada pengobatan agresif gagal jantung dengan menggunakan diuretik
dan atau vasodilator dapat menyebabkan hipotensi orthostatik yang dapat
menyebabkan syncope.
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda gejala syncope bisa dilihat dalam 3 fase yaitu fase pre syncope, fase syncope
dan fase post syncope.
1. Fase pre syncope
Pasien mungkin merasa mual, perasaan tidak nyaman, berkeringat dingin
dan lemah. Mungkin ada perasaan dizziness (kepeningan) atau vertigo
(dengan kamar yang berputar), hyperpnea (kedalaman nafas meningkat)
penglihatan mungkin memudar atau kabur, dan mungkin ada pendengaran
yang meredam dan sensasi-sensasi kesemutan dalam tubuh. Fase presyncope atau hampir pingsan, gejala-gejala yang sama akan terjadi, namun
pada fase ini tekanan darah dan nadi turun dan pasien tidak sungguh
kehilangan kesadaran.
2. Fase syncope
Fase syncope ditandai dengan hilangnya kesadaran pasien dengan gejala
klinis berupa:
a. Pernapasan pendek, dangkal, dan tidak teratur
b. Bradikardi dan hipotensi berlanjut
c. Nadi teraba lemah dan gerakan konvulsif pada otot lengan, tungkai
dan wajah. Pada fase ini pasien rentan mengalami obstruksi jalan
napas karena terjadinya relaksasi otot akibat hilangnya kesadaran.
3. Fase post syncope
Fase terakhir adalah fase post syncope yaitu periode pemulihan dimana
pasien kembali pada kesadarannya. Pada fase awal postsyncope pasien
dapat mengalami disorientasi, mual, dan berkeringat. Pada pemeriksaan
klinis didapatkan nadi mulai meningkat dan teraba lebih kuat dan tekanan
darah mulai naik. Setelah episode pingsan, pasien harus kembali ke fungsi

mental yang normal, meskipun mungkin ada tanda-tanda dan gejala-gejala


lain tergantung pada penyebab yang mendasari pingsan. Contohnya, jika
pasien ada ditengah-tengah serangan jantung, ia mungkin mengeluh nyeri
dada atau tekanan dada.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC
Selain pemeriksaan fisik, tanda vital dan anamnase, klien syncope juga memerlukan
beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnose dan penyebab syncope
diantaranya yaitu:
1. EKG
Untuk mengetahui adanya gangguan listrik jantung dan sumbatan pada
jantung
2. Holter monitor
Untuk mengetahui perubahan dan fluktuasi kondisi jantung serta mengetahui
irama dan denyut jantung yang abnormal yang mungkin terungkap sebagai
penyebab yang potensial dari pingsan atau syncope.
3. Tilt Table Test
4. Merupakan pemeriksaan untuk mendiagnosa

ortostatic

hypotensi.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menempatkan pasien diatas meja,


kemudian meja dimiringkan secara bertahap dari posisi horisontal hingga
posisi vertikal. Selama pemeriksaan tekanan darah dan nadi terus dipantau
sesuai dengan posisi-posisi yang berbeda.
5. Masase Carotis
Masase carotis dapat mendeteksi penyebab syncope, salah satu dugaannya
yaitu aritmia (takikardi). Masase carotis dapat dilakukan untuk menurunkan
heart rate. Pemijatan dilakukan di salah satu arteri carotis selama 10 menit
dengan maksud untuk merangsang system parasympatis sehingga dapat
memperlambat denyut jantung.
6. CT Scan
Untuk mengetahui adanya lesi dalam otak dan sebagai pencitraan otak
7. Tes Laboratorium diantaranya: Complete Blood Count, tes elektrolit, glukosa
darah, tes fungsi ginjal
G. TATA LAKSANA
Tatalaksana yang perlu dilakukan pada syncope yaitu pemeriksaan dan
penanganan cepat terhadap airway (jalur napas), breathing (pernapasan), circulation
(sirkulasi), dan status kesadaran. Pada syncope yang tidak berhubungan dengan
kelainan kardiovaskular, penanganannya dapat dilakukan dengan meletakan pasien
dalam posisi berbaring. Pada posisi ini dapat memperbaiki venous return ke jantung
dan kemudian dapat meningkatkan aliran darah otak. Jika pasien sudah tersadar,
diharapkan untuk tidak terburu-buru mendudukan posisi pasien, karena dapat
menyebabkan syncope yang berulang. Adapun terapi lainnya yang dibutuhkan jika
pasien syncope tidak segera sadar yaitu akses intravena, administrasi oksigen,

pembukaan jalan napas, pemberian glukosa, Pharmacologic circulatory support, dan


Pharmacologic or mechanical restraints. (McPhee, 2010)
Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu memastikan
sirkulasi udara di sekitarnya baik selanjutnya menempatkan pasien pada posisi
supine atau posisi shock ( shock position). Kedua posisi ini bisa memperbaiki venous
return ke jantung dan selanjutnya meningkat cerebral blood flow. Selain intervensi
tersebut pasien dapat diberikan oksigen murni 100% melalui face mask dengan
kecepatan aliran 6-8 liter per menit dan minuman manis. Bila intervensi dapat
dilakukan segera maka biasanya kesadaran pasien akan kembali dalam waktu relatif
cepat. Pada pasien gangguan irama jantung bisa diberikan obat-obatan arytmia
seperti golongan beta blocker. Untuk gangguan listrik jantung dan sumbatan bisa
diberikan obat-obatan pacemaker (pacu jantung).Tatalaksana kegawatdaruratan
medis dilakukan yaitu penilaian tentang jalan napas (airway), pernapasan
(breathing), sirkulasi( circulation), kesadaran (disability). Pada pasien yang
mengalami syncope, perlu dimonitor kesadarannya secara berkala dengan
melakukan komunikasi verbal dengan pasien. Apabila pasien dapat merespon baik
secara verbal maupun non verbal berarti aspek airway dan breathing baik. Aspek
circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan pengukuran
tekanan darah.
Adapun pencegahan yang bisa dilakukan pada pasien syncope bergantung
pada penyebabnya, mungkin ada kesempatan untuk mencegah serangan-serangan
pingsan seperti:
a. Pasien-pasien yang telah mempunyai episode vasovagal mungkin sadar atas
tanda-tanda peringatan dan mampu untuk duduk atau berbaring sebelum
pingsan dan mencegah episode pingsan.
b. Untuk pasien-pasien yang lebih tua dengan orthostatic hypotension,
menunggu satu detik setelah merubah posisi-posisi mungkin adalah
segalanya yang diperlukan untuk mengizinkan refleks-refleks tubuh untuk
bereaksi.
c. Pemasukan cairan yang memadai mungkin cukup untuk mencegah dehidrasi
sebagai penyebab untuk pingsan atau syncope.
Penatalaksanaan sinkope menurut Kamadjaya, 2009
1. Tatalaksana kegawatdaruratan medis :
a. Pada penderita yang mengalami syncope

perlu

dimonitor

kesadarannya secara berkala dengan melakukan komunikasi verbal


dengan penderita. Apabila penderita dapat merespon baik secara
verbal maupun non-verbal berarti airway & breathing penderita baik.
b. Circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan
pengukuran tekanan darah. Tekanan darah sistolik, meskipun turun,
pada umumnya masih berada di atas 70 mmHg. Sebaliknya, pada

penderita yang mengalami syok tekanan darah dapat menurun secara


drastis sampai di bawah 60 mmHg. Pada hipotensi berat semacam itu
dapat terjadi hilangnya kesadaran dimana pnderita tidak memberikan
respon

dengan

rangsang

verbal.

Hilangnya

kesadaran

dapat

dipastikan dengan tidak adanya respon motorik terhadap rangsang


nyeri, misalnya dengan cubitan, pada ekstremitas atas penderita.
c. Apabila terjadi penurunan atau kehilangan kesadaran yang disertai
hipotensi maka segera lakukan posisi supine, dimana kepala dan
tungkai diletakkan lebih tinggi daripada kepala.
d. Pada penderita yang hilang kesadarannya perlu dilakukan intervensi
untuk membebaskan jalan nafas yaitu dengan chin lift dan head tilt
yang bertujuan untuk mengangkat pangkal lidah ke anterior untuk
membebaskan orofaring dan mengevaluasi fungsi pernafasan dengan
look-feel-listen. Diberikan oksigen tambahan dengan sarana face
mask dengan tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas.
2. Penanganan syncope sebenarnya cukup sederhana yaitu :
a. Menempatkan penderita pada posisi supine atau shock position.
Kedua manufer ini akan memperbaiki venous return ke jantung dan
selanjutnya meningkatkan cerebral blood flow. Selain intervensi tsb
penderita dapat diberikan oksigen murni 100% melalui face mask
dengan kecepatan aliran 6-8 liter per menit. Bila intervensi dapat
dilakukan segeran maka biasanya kesadaran penderita akan kembali
dalam waktu relatif cepat.
b. Setelah kesadaran pulih tetap pertahankan penderita pada posisi
supine, jangan tergesa-gesa mendudukkan penderita pada posisi
tegak karena hal ini dapat menyebabkan terulangnya kejadian
syncope yang dapat berlangsung lebih berat dan membutuhkan waktu
pemulihan lebih lama.

ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Riwayat penyakit sebelumnya
Pemeriksaan fisik
-

Aktivitas dan istirahat: kelemahan


Sirkulasi: Riwayat penyakit jantung, penyakit katup jantung, aritmia, gagal jantung dll
Eliminasi: Inkontinensia urin / alvi, Anuria
Nutrisi: Nausea, vomitus, disfagia
Sensori neural: Kesemutan/kebas, penglihatan berkurang, reaksi dan ukuran pupil
Nyeri / kenyamanan: Gelisah, pusing
Respirasi: Hyperpnea
Interaksi social: kelemahan dalam berkomunikasi
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan aliran darah ke otot jantung
b. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian
aliran arteri-vena
c. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran oksigen ke serebral
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan aliran darah ke otot jantung
Tujuan : aliran darah jantung adekuat
Kriteria hasil : perabaan nadi kuat, tekanan darah normal
Intervensi:
1)

Periksa ABC dan jika diperlukan bebaskan jalan nafas dan pijat jantung

2)

Pantau frekuensi nadi, RR, TD secara teraturRasional: mengatasi kondisi gawat

pasien lebih awal dapat memperbaiki prognosis.


3)

Rasional: Tanda vital sebagai acuan kondisi sirkulasi pasien.


Periksa keadaan jantung klien dg pemeriksaan EKG
Rasional: Pemeriksaan EKG memberikan gambaran kondisi jantung dan membantu

4)

menentukan alternatif pengobatan selanjutnya.


Kaji perubahan warna kulit terhadap sianosis dan pucat.
Rasional: Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya

5)

curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
Pantau intake dan output setiap 24 jam.
Rasional: Ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung dengan menahan produksi

6)

cairan dan natrium.


Batasi aktifitas secara adekuat.
Rasional: Istirahat memadai diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan

menurunkan komsumsi O2 dan kerja berlebihan.


2 Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan sirkulasi darah perifer; penghentian aliran
arteri-vena
Tujuan: pemenuhan oksigen dan darah pada jaringan terpenuhi.
Kriteria hasil: Tidak terdapat tanda sianosis dan hipoksia jaringan.
Intervensi:
1)
Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/lembab, catat kekuatan nadi perifer.
Rasional: Vasokonstriksi sistemik yang diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin
2)

dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.


Dorong latihan kaki aktif/pasif.
Rasional: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko

3)

tromboplebitis.
Pantau pernafasan
Rasional: Pompa jantung

yang

Tujuan:

oksigen

kebutuhan

darah,

gagal
di

dapat
otak

mencetuskan
terpenuhi,

distres

perfusi

pernafasan.

jaringan

efektif.

3.
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran oksigen ke serebral.
Kriteria hasil: TTV stabil, pasien berkomunikasi dan berorientasi dengan baik.
Intervensi:
1)
Pantau tanda-tanda vital
Rasional: Tanda vital merupakan salah satu indikator keadaan umum dan sirkulasi pasien
2)
Posisikan pasien dg posisi syok kaki diangkat 45 derajat
Rasional: Membantu memperbaiki venous return ke jantung dan selanjutnya meningkat
cerebral blood flow.
Pantau tingkat kesadaran
Rasional: Tingkat kesadaran seseorang juga dipengaruhi oleh perfusi oksigen ke otak
4)
Berikan terapi O2 yang adekuat
Rasional: mencegah hipoksia otak lebih berat
3)

DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS. 2012. Harrisons Principles of
Internal Medicine. Edisi ke-18. United States: McGraw-Hill Professional.
2. Morag

R,

Brown

FM.

2013.

Syncope.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/811669-overview
3. McPhee SJ, Hammer GD. 2010. Pathophysiology of Disease: An Introduction to
Clinical Medicine. Edisi ke-6. United States: McGraw-Hill.
4. Toivonen L. 2009. Arrhythmic Syncope. European Heart Journal.
5. Lynda Juall Carpenito. 2001. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta :
EGC ; 2001

You might also like