You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi


atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi

dan

akal.

Dalam

bahasa

Inggris,

kebudayaan

disebut

culture, yang berasal dari bahasa Latin Colere, yaitu mengolah


atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur"

dalam

kebudayaan

bahasa

mengandung

Indonesia.

Menurut

keseluruhan

Andreas

pengertian,

Eppink,

nilai,

norma,

ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,


religius, dan lain-lain. Kebudayaan juga merupakan pernyataan
intelektual

dan

artistik

yang

menjadi

ciri

khas

suatu

masyarakat.
Dalam komunitas masyarakat Hindu di Bali, terdapat pola-pola
kebudayaan yang sangat unik dan tetap dijaga kelestariannya,
sehingga
dalam

unsur-unsur

lingkungan

kebudayaan

hidup

lokal

sangat

masyarakatnya

lekat

sampai

terasa

sekarang.

Pelestarian kebudayaan ini tidak terlepas dari masih kentalnya


unsur-unsur agama yang menjiwai kebudayaan tersebut.
Sebagai contohnya adalah Pura Kahyangan Tiga, yaitu Pura
Desa,

Pura

Puseh,

dan

Pura

Dalem

yang

telah

membudaya

di

masing-masing desa adat di Bali yang masih dapat kita jumpai


keberadaannya sampai sekarang. Pura Kahyangan Tiga yang ada di
masing-masing

desa

di

Bali

memiliki

berbeda-beda,

yang

disesuaikan

oleh

karakteristik
desa,

kala,

yang
patra

setempat.

Salah satu Pura Kahyangan Tiga di Kabupaten Badung yang


memiliki

karakteristik

yang

unik

dan

menarik

adalah

Pura

Kahyangan Tiga di Desa Adat Dalung. Maka daripada itu, kami


tertarik
yang

untuk

dimiliki

membahas
oleh

dan

Pura

mengungkapkan

Kahyangan

Tiga

keunikan-keunikan
di

Desa

Dalung

tersebut.
1.2

Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana sejarah atau riwayat Desa Adat Dalung ?


1.2.2. Bagaimana keadaan Geografi Desa Adat Dalung ?
1.2.3. Apa saja potensi-potensi yang dimiliki oleh Desa Adat
Dalung?
1.2.4. Bagaimana keberadaan Pura Kahyangan Tiga di Desa Adat
Dalung?
1.2.5. Apa saja

keunikan-keunikan

yang

dimiliki

oleh

Pura

Kahyangan Tiga di Desa Adat Dalung?


1.3

Tujuan Penulisan

1.3.1. Untuk mengetahui sejarah atau riwayat Desa Adat Dalung.


1.3.2. Untuk mengetahui keadaan Geografi Desa Adat Dalung.
1.3.3. Untuk

mengetahui

potensi-potensi

yang

dimiliki

oleh

Desa Adat Dalung.


1.3.4. Untuk mengetahui keberadaan Pura Kahyangan Tiga di Desa
Adat Dalung.
1.3.5. Untuk mengetahui keunikan-keunikan yang dimiliki oleh
Pura Kahyangan Tiga di Desa Adat Dalung.

1.4

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan paper ini adalah


sebagai berikut :
1.4.1 Bagi
bahan

ilmu

pengetahuan

acuan,

diharapkan

menambah

kajian

dapat

ilmu

dan

menjadi

suatu

sebagai

bahan

perbandingan bagi tugas-tugas yang bersangkutan


1.4.2 Bagi masyarakat, lembaga terkait dan pemerintah
diharapkan dapat memberikan suatu gambaran umum tentang
apa itu Khayangan Tiga dan bagaimana Pura Khayangan Tiga
di Desa adat Dalung.
1.5

Metode Penulisan
1.5.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam

penyusunan

data

yang

dapat

mendukung

penulisan

digunakan beberapa metode antara lain :


a. Data Primer merupakan data yang didapatkan langsung dari
obyek :
Observasi
Pengumpulan data dengan meneliti dan mengamati obyek
secara langsung. Perolehannya merupakan data fisik yang
meliputi lokasi, lingkungan fisik, dan non fisik tapak
(site) yang mencakup tinjauan historis.
Survey
Dilakukan untuk mendapatkan data internal yang terkait
dengan keberadaan Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Dalung,
dimana data ini merupakan data yang tidak dapat diamati
secara langsung.
Interview
Masukan yang berupa informasi yang berkaitan dengan
keberadaan Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Dalung.
b. Data Sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak
langsung yang memiliki relevansi dengan kajian, yaitu :
Studi Kepustakaan
3

Suatu

cara

mencari

data

dan

teori

yang

memiliki

keterkaitan serta relevansi dengan masalah geografis


dan budaya. Untuk mendukung data yang telah diperoleh,
informasi dari sumber-sumber yang memiliki otoritas,
seperti hasil penelitian, buku-buku, maupun opini yang
berasal
mengenai

dari

individu

masalah

yang

yang

memiliki

berhubungan

pengetahuan

dengan

obyek

penelitian tugas ini.


1.5.2. Teknik Pembahasan Data
a. Teknik
data

Analisis,
yang

yaitu

dimiliki

mengadakan

menjadi

analisis

unsur-unsur

penguraian
yang

lebih

mengkhusus sehingga mudah dipelajari dan dikembangkan ke


arah

pemecahan

permasalahan

sesuai

dengan

konteks

dan

sintesis terhadap hal-hal yang dipermasalahkan sehingga


mendapat suatu kesimpulan.
b. Teknik

Kompilasi,

yaitu

menginventarisasikan

data

kemudian dipilih dan disusun sesuai dengan kegunaan dalam


menunjang analisis.
c. Teknik

Sintesis,

analisis

untuk

yaitu

dengan

mendapatkan

menggabungkan

rumusan

sebagai

hasil
dasar

keputusan.
Dari berbagai metode pembahasan data yang ada di
atas, kami menggunakan ketiga metode tersebut di dalam
penyusunan laporan tugas ini.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1.

Pengertian Pura Khayangan Tiga


Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dan dua kata

yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dan kata hyang


yang

berarti

suci

mendapat

awalan

ka

dan

akhiran

an,an

menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya


adalah tiga buah tempat suci, yaltu Pura Desa atau disebut
pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura
Dalem.
Pura Kahyangan Tiga merupakan pura untuk tempat pemujaan
warga sedesa

yang terdiri dan beberapa banjar kepada dewa

dewa Tri Murti. Dalam pengertian Desa-desa adat di Bali, Tri


Hita Kharana merupakan perwujudan suatu Desa. Tri Hita Kharana
tiga

unsur,

yang

menjadikan

adanya

Desa,

masing-masing

Kahyangan Tiga sebagai jiwanya Desa, Desa Pakraman teritorial


Desa sebagai fisik Desa dan Sima Krama atau warga Desa sebagai
tenaga

Desa.

Dengan

adanya

ketiga

unsur

jiwa,

fisik

dan

tenaga, sempurnalah suatu kehidupan manusia, keluarga, desa


atau wilayah.
Kahyangan Tiga, masing-masing Pura Desa, Pura Puseh dan Pura
Dalem dengan fungsinya masing-masing sebagai tempat pemujaan
Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu
dan Siwa. Pura Desa dan Pura Puseh terletak di pusat Desa di
bagian zoning utama, kaja kangin dan perempatan pusat desa.
Pura Dalem terletak di dekat kuburan di bagian teben Desa pada
arah kelod atau kelod kauh.
Upacara pemujaan di Pura-pura disebut odalan, pujawali atau
patirtan. Di Pura-pura Kahyangan Tiga pujawali umumnya sekali
setahun di masing-masing Kahyangan Tiga. Dibeberapa Desa ada
pula yang melakukan pujawali dua kali setahun dan kebanyakan
pula sudah diubah menjadi sekali dalam setahun. Hari-hari baik
atau hari-hari suci melakukan upacara pujawali umumnya dipilih
Purnama

pada

Purnama

sasih

bulan
Kapat

atau

sasih

sekitar

kadasa

bulan

sekitar

Oktober.

bulan
Purnama

April.
Sasih
5

kelima

sekitar

bulan

Nopember.

Untuk

upacara

pecaruan

dilakukan pada bulan, atau sasih kepitu atau kasangan. Upacara


melasti dan pecaruan Desa pada pergantiani tahun baru Iaka
sekitar bulan Maret dilakukan di pantai laut, sungai, atau
danau dan Kahyangan Tiga yang dipusatkan di Pura Desa. Upcaraupacara pujawali,

melasti, ngusaba Desa dan hari-hari raya

tertentu

Galungan

seperti

dan

Kuningan,

Kahyangan

Tiga

merupakan tempat pemujaan sembahyangan bersama umat sedesa.Di


Pura-pura Kahyangan Tiga wanga sedesa dan semua kasta dapat
melakukan persembahyangan, berbeda dengan Pura keluarga hanya
untuk keluarga seketurunan.
2.2. Sejarah Kahyangan Tiga
Membicarakan masalah sejarah pendinian Kahyangan Tiga pada
setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena
sumber

tertulis

yang

menycbutkan

secara

jelas

belum

diketemukan. Tetapi kemungkinan sekali pada zaman Bali Kuno


ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat
Bali

karena

tersebut.

dipakai

Di

dalam

kata

Kahyangan

untuk

prasasti-prasasti

menyebut

Bali

Kuna

pura
belum

diketemukan kata Pura untuk rnenyebut tempat suci tetapi yang


dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemenintahan raja suami-istni
Gunapriyadharmapatni
banyak

sekta-sekta

Wesnawa,

Boddha,

tahun

989-1011

keagamaan
Brahmana,

sepenti
Rsi,

.di

Udayana

Bali

dan

berkembang

Pasupata,

Bhairawa,

Sora,

Canapatya

dan

Siwa

Siddhanta. Di antara penasehat pemenintahan Udayana, tersebut


nama Senapati Kuturandi samping sebagai ketua Majelis Pusat
Pemerintahan yang disebut Pakiran-kiran ijro makabehan.
Empu Kuturan sebagai seorang senapati dan ahli dalam masalah
keagamaafl

berhasil

dalam

menanamkan

pengertian

dibidang

keagamaan dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali.


Dalam

karangannya

Purana

Tattwa,

Dewa

Tattwa,

Widisastra,
6

memberjl(an pelajaran tentang sejarah para Pendeta, Dewa-dewa


dan bagaimana Caranva memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun
pura dengan pedagingannya. Seorang Sarjana Belanda yang lama
tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Empu
Kuturan

sebagai

seorang

filosof

besar

dan

negarawan

yang

bijaksana.
Dan uraia di atasdapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat
ketika itu disebut dcsa pakraman dan dalam perkembangannya
mengala ml peruba han yang akhirnya disebut desa adat yang
dilengkapi dengan peraturafleraturafl yang disebut Awig-awig:
Awig-awig mi - mempunyaj kedudukan sebagai stabilisator yang
mengatur kegiatan
dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana
kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan
harmonis dengan ketertiban yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan kehidupan
diukur

dengan

sistem

cara

berpikir

masyarakat

yang

luas

dapat

dan

tidak

mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara


berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib
sepenanggungan

yang

cbih

dikenal

dengan

istilah

suka

duka

scbagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.


Adanya banyak sekta-sekta di Bali menimbulkan perbedaan
kepercayaan

di

masyarakat

sehingga

sering

menimbulkan

pertentangan dan perbedaan pendapat di antara sekta yang satu


dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan mi membawa
pengarub buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan
dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Meriyadari keadaan yang demikian

itu

maka

raja

Udayana

menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pesamuhan (pertemuan)


para tokoh-tokoh agama di Bah. Pesamuan para tokoh agama itu
bertempat di Desa Bedaulu Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar.
Pertemuan para tokoh-tokoh agama dan berbagai sekta yang ada
di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tn
Murti yang berarti tiga perwujudan dan Hyang Widhi yaitu Dewa
7

Brahma,

Dewa

Wisnu

dan

Dewa

Siwa.

Tempat

pesamuan

yang

menghasilkan dasar keagamaan Tn Murti disebut Samuan Tiga di


mana sekarangberdmn Pura SamuanTiga di Desa Bedaulu. Pada pura
mi

tersimpan

banyak

peninggalan

purbakala

seperti

lingga,

ArcaGanesa, Arca Durga, arca perwujudan bhatara-bhatari.


Tiga kekuatan di aLas yang merupakan prabawa Hyang Widhi
dapat

dirasakan

dan

dialami

dalam

kehidupan

di

dunia

mi

sebagai suatu siklusyaitu : lahir, hidup dan mati. Demikian


seterusnya
terputus

berputar

sepanjang

sebagai

zaman,

suatu

karena

lingkaran

ia

kodrat

yang

alam

dan

tiada
hukum

Tuhan. Ketiga kodrat alam mi disebut tn kona (segi tiga).


Kesaktiari untuk menciptakan (Utpati), kesaktian untuk
memelihara (stiti) dan kesaktian untuk TTlengembalikan kepada
asalnya

(pralip.a)

diwujudkan
berarti

dengan

tiga

Dewa

merupakan
dewa
yaitu

Tn
:

tiga

silat

Murti.
Dewa

Di

yang

dabm

Brahma,

absolut

Weda.

Wisnu

Tn

dan

dan

Murti
Jswara

(Siwa), yang diwujudkan dengan aksara Ang melambangkan Dewa


Brahma

dengan

warna

merah

dan

senjata

Gada.

Aksara

Un

melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra,


dan aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan
senjatar.ya Padma.
Ketiga aksara Arig Ung Mang jika disatukan menjadi A U M.
Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0
sehingga AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widhi.
Dan uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa
Kahyangar. Tiga pada setiap L)esa Adat di Bali dirintis oleh
Mpu Kuturan ketika pemenintahan raja suami istri Udayana dan
Gunapriyadharmapatni pada abad 10 M.
2.3. Bagian Bagian dari Pura Khayangan Tiga
Pura Khayangan Tiga diBali pada umumnya terdiri dari tiga
pura dimana ketiga pura ini ditujukan untuk pemujaan terhadap
ketiga dewa Tri Murti, dimana Ketiga Pura Tersebut adalah:
8

2.3.1. Pura Desa


Tempatnya
perempatan
penyengker.

di

Pusat

desa

Desa

dalam

pekarangan

Tata

zoning

di

bagian

kaja

yang

pekarangannya

kangin

dibatasi
dibagi

dan

tembok

dua

atau

tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan.


Pintu masuk memakai candi bentar dari jaba sisi ke jaba
tengah dan kori agung dan jaba tengah ke jeroan. Ada pula
yang

dilengkapi

pintu

betelan

ke

arah

samping

hubungan dengan bangunan-bangunan samping.

Bangunan-bangunan minimal yang ada

pada

untuk

halaman

pertama adalah sebagai berikut:


a. Candi Bentar.
Bentuknya belah dua yang berfungsi untuk pintu
masuk ke halaman pertama dari pura. Untuk memasuki
halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau
kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan
hiasannya.
b. Bale Kulkul.
Letaknya

di

sudut

depan

dan

halaman

pertama.

Bentuk bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan


kulkul

atau

kentongan

yang

Fungsi

dari

kentongan

berkaitan

dengan

nedunang

bhatara

upacara

seperti

ketika

bergantung

di

atasnya.

pelaksanaan
dan

ketika

nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa


pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang
membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti :
persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lainlainnya.
c. Bale Agung.
Bangunan
bangunannya

berbentuk

yang

agak

bale
tinggi

panjang
dan

dengan

atapnya

dasar

disangga

beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi sebagai


9

tempat

pesamuan

berlangsung

(pertemuan)

upacara

para

Ngusabha

bhatara

dan

setelah

ketika
upacara

mekiis (upacara penyucian pratima dan batara).


d. Bale Gong.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat gambelan,
yang ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk
menunjang jalannya upacara di pura.

Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan)


dan Pura Desa adalah:
a. Sanggar Agung.
Bangunan

ini

disebut

pula

dengan

nama

Sanggar

Surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dan denah


jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka,
yang

berfungsi

sebagai

stana

Hyang

Raditya/Hyang

Widhi.
b. Gedong Agung.
Bangunannya

berbentuk

gegedongan

yang

di

bagi

atas tiga bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong


dengan

tembok

keliling

pada

keempat

sisi,

sehingga

pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan


ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan
dan gedong. Bagian atap dan gedong dibuat bersusun
dengan atap dari daun ijuk. Bangunan ini berfungsi
sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan
tidak

memakai

laksana

(ciri)

Dewa

Brahma

sebagai

lazimnya dalam seni arca.


Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan,
berkepala

empat

yang

menghadap

ke

semua

arah

mata

angin, bertangan empat yang masing-rnasing memegang


tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat.
10

Sakti dan Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan


wahana angsa.
c. Ratu Ketut Petung
Bangunan berbentuk gedong befungsi sebagai tempat
pepatih atau pendamping dan Dewa yang berstana di pura
tersebut.
d. Ratu Ngerurah
Bagunan

dibuat

berbentuk

tugu

yang

berfungsi

sebagai penjaga dan bertanggung jawab atas keamanan


dari pura.

2.3.2. Pura Puseh


Tempatnya di

pusat

satu/bersebelahan
pekarangannya

Desa

dengan

dibagi

dua

berdekatan

pura
atau

Desa.
tiga,

atau

menjadi

Tata

zoning

jaba

sisi,

jaba

tengah dan jeroan. Pekarangannya ada yang merupakan area


tersendiri

ada

dengan

Desa.

Pura

pula

yang

Umumnya

menjadi
Pura

satu/

Desa

atau

bersebelahan
Bale

Agung

ditempatkan di bagian depan dan Pura Puseh, ada pula yang


bersisian ke arah samping. Di beberapa desa, ada pula
yang menata kahyangan tiganya dengan pola-pola khusus di
luar ketentuan tradisional yang berlaku umum.
Mengenai denah dan Pura Puseh dapat dibagi atas dua
bagian sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas
dua bagian tersebut adalah : halaman pertama atau disebut
dengan jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan
dari pura. Pada halaman pertama terdapat beberapa buah
bangunan, seperti candi bentar, bale kulkul, pawaregan,
11

bale gong, apit lawang dan candi kurung. Mengenai fungsi


dan bangunan-bangunan tersebut di atas adalah sama dengan
bangunan-bangunan

yang

terdapat

pada

halaman

pertama

dariPura Desa.

Pada halaman kedua atau jeroan pura terdapat pula


beberapa

buah

bangunan

dengan

fungsinya

masing-masing

seperti:

a.Sanggar Agung
Bangunan suci ini pada bagian puncaknya terbuka
yang

berfungsi

sebagai

tempat

memuja

Hyang

Raditya/Hyang Widhi Wasa. Pada bagian puncaknya dibuat


terbuka. karena Hyang Widhi tidak terbatas, memenuhi
alam semesta.

b.Meru Tumpang Lima atau Tujuh atau Sebelas


Bangunan meru ini berfungsi sebagai stana Dewa
Wisnu yang dipuja di Puseh. Di sini menjadi tanda
tanya kenapa meru dipakai sebagai stana Dewa Wisnu dan
kenapa

tidak

bangunan

Gedong

sebagai

Stananya.

Mengenai hal ini belum diketahui dengan pasti tetapi


kemungkinan karena Meru adalah lambang gunung yaitu
Gunung Mahameru sebagai stana para Dewa. Gunung dengan
hutannya

adalah

merupakan

sumber

mata

air

yang

nantinya mengalir menjadi sungai-sungai. Air inilah


yang memberikan kesejahteraan atau amerta kepada umat
manusia.

c.Ratu Made Jelawung


Bangunannya berbentuk gedong, berfungsi sebagai
tempat pepatih (pendamping) dan Dewa yang berstana di
Meru.

d.Sedahan Pengrurah
12

Bangunan ini berbentuk tugu dengan fungsi sebagai


penjaga keselamatan dan keamanan dan pura.

e.Gedong Pertiwi
Bangunan

ini

berfungsi

sebagal

stana

dari

Ibu

Pertiwi.

f.Batur Sari
Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Dewi
Danuh yang berkaitan dengan kesuburan.

2.3.3. Pura Dalem


Pura Dalem pada umumnya bertempat di dekat kuburan,
tepatnya ditepi Desa atau di luar Desa. Pekarangan Pura
dibatasi
bentar

tembok
didepan

penyengker
dan

Kori

sekelilingnya
Agung

di

dengan

jeroan.

candi

Bangunan

pemujaan lainnya yang merupakan hulu kuburan adalah praja


pati.
Kata

dalam

secara

harfiah

berarti

jauh

atau

sulit

dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa


Siwa

adalah

adalah

sulit

niskala,

dicapai

oleh

wyapi-wyapaka.

manusia
Sakti

karena

dari

Dewa

beliau
Siwa

adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan


mendekat,

sebagai

wujud

kroda

dan

Dewa

Siwa

yang

berfungsi mapralina alam ciptaan Tuhan.


Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai
bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai
Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru, Siwa sebagai Mahakala
dan saktinya adalah Dewi Durga.

13

Siwa

sebagai

Mahadewa

ardhacandrakapala

laksana

yaitu

bulan

atau

sabit

cirinya

adalah

bawah

sebuah

di

tengkorak, yang terdapatkan pada mahkota, mata ketiga di


dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing
memegang cemara, aksamala kamandalu dan trisula.
Siwa sebagai guru atau di Bali disebut Bhatara Guru
laksananya
berkumis

adalah
dan

Mahakala

kemandalu,

berjanggut

rupanya

Trisula,

panjang.

perutnya

Sedangkan

menakutkan

seperti

gendut
sebagai

raksasa,

bersenjatakan gada.
Durga

sebagai

saktinya

Siwa

dilukiskan

sebagai

Mahisasuramardini ini. Ia berdiri di atas seekor lembu


yang

ditaklukkan.

Lembu

mi

adalah

penjelmaan

raksasa

(asura) yang menyerang Kahyangan dan dibasmi oleh Durga,


Durga digambarkan bertangan 8,lO atau 12, masing-masing
tangannya memegang senjata.
Arca

Durga

yang

terkenal

dan

Bali

adalah

Durgamahisasuramardini dari Pura Bukit Dharma Desa kutri


Gianyar.

Arca

ini

adalah

arca

perwujudan

dan

Gunapriyadharmapatni Ibunda dan Airlangga. Laksana dari


arca ini adalah bertangan delapan tetapi yang tinggal
utuh hanya enam buah, tangan kanan masing-sing memegang
cakra, anak panah, kapak, sedangkan tangan kirinya masing
- masing memegang kerang bersayap, busur dan tameng.
Putra

dari

Dewa

Siwa

adalah

Ganesa

yang

digambarkan

berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masingmasing

memegang

kapak.

Ganesa

mangkok,
disembah

pecahan
sebagai

taring,
Dewa

aksamala

penyelamat

dan
dari

segala rintangan dan juga sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan.


Mengenai Denah dari Pura Dalem pada garis besarnya dapat
dibagi atas dua bagian yaitu : Jabaan (halaman pertama)
dan

Jeroan

(halaman

kedua).

Masing-masing

halaman
14

tersebut

disertai

dengan

bangunan-bangunan

dengan

fungsinya masing-masing. Bangunan-bangunan yang didirikan


di halaman pertama adalah hampir sama dengan bangunanbangunan yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman
pertama Pura Dalem tidak terdapat Bale Agung. Beberapa
bangunan di halaman pertama adalah candi bentar, bale
kulkul, bale gong, pawargan, apit lawang, candi kurung
(paduraksa).

Pada
tersuci,

halaman

kedua

terdapat

yang

beberapa

merupakan
jenis

halaman

bangunan

yang

dengan

fungsinya masing-masing, seperti:

a. Sanggar Agung
Bangunan suci ini ditempatkan pada bagian arah
Timur Laut (kaja kangin) dari denah halaman kedua.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang
Raditya (Tuhan Yang Maha Esa).

b. Gedong Agung
Bangunan ini berbentuk gegedongan dengan memakai
atap dari ijuk. Pada bagian badan dari gedong terdapat
ruangan yang berfungsi sebagai tempat pratima (Arca)
dari

Dewa.

pemujaan

Gedong

Dewa

Siwa

Agung

berfungsi

dalam

wujud

sebagai

sebagai

Dewa

tempat
Durga

yaitu sakti dari Dewa Siwa.

c. Ratu Ketut Petung


Bangunannya

berbentuk

gedong

tetapi

ukurannya

lebih kecil dari gedong bata. Bangunan ini mempunyai


15

fungsi sebagai tempat dari pepatih (pendamping) dari


Dewa.

d. Ratu Ngerurah
Bangunannya

berbentuk

tugu,

hanya

bagian

atas

terbuat dari konstruksi batu padas, sedangkan kalau


gedong

bagian

konstruksi

kepala

kayu

dari

bangunan

atap

alang-alang

dengan

terbuat
atau

dari
ijuk.

Bangunan ini berfungsi sebagai penjaga dan bertanggung


jawab atas keamanan dari pura.

BAB III
Study Kasus
Pura Khayangan Tiga di Desa Adat Dalung

Gambar 1:
Pura Desa lan Puseh

Gambar 2:
Pura Dalem

3.1. Sejarah Desa Adat Dalung


Sejarah atau babad desa dalung tidak dapat terlepas
dari sejarah padang luwih, yang berasal dari induknya
yaitu

sejarah

menwi.

Sejak

kerajaan

oleh ida I gusti agung nyoman

mengwi

diperintah

alangkajeng yang diberi

gelar ida cokorda nunggu, dan setelah mangkat digelari


16

Bhatara

Andewata

Ring

Sor

Ing

Belimbing,

memberikan

kekuasaan kepada salah seorang putranya yang bernama I


Gusti Gede Meliling yang membangun Jero di Tibubeneng dan
berkuasa sampai ke Padang Luwih. Salah seorang putra I
Gusti Gede Meliling bernama I Gusti Ngurah Gede Tegeh
diberi tempat tinggal di Padang Luwih. I Gusti Ngurah
Gede Tegeh yang memulai membangun tempat yang baru di
sebelah barat sungai yeh poh, yang disebut Banjar Tegeh
sekarang.

Perpindahan
antara

putra

tinggal

di

sengketa

ini
I

disebabkan

Gusti

Gede

Tibubeneng

ini

adalah

oleh

Meliling

dengan
berasak

terjadinya

di
dari

yang

Padang

sengketa
bertempat

Luwih.

masalah

Awal

pelebon

pengabenan almarhum I Gusti Gede Meliling oleh putranya


yang

bertempat

memberitahukan

tinggal
akan

di

upacara

Tibubeneng,
tersebut

yang

kepada

tidak
Gusti

Ngurah Gede Tegeh. Tibubeneng diserang dan dihancurkan


oleh putra Padang Luwih. Dengan peristiwa ini terjadi
penyesalan
Padang

dari

Luwih.

putra-putra
Sehingga

almarhum
Gusti

yang

Ngurah

tinggal
Gede

di

Tegeh

meninggalkan Padang Luwih pindah ke sebelah barat sungai


yeh poh, yaitu Banjar Tegeh sekarang. Tempat yang baru
ini menjadi tempat tinggal beliau, dan putra yang lain
yaitu I Gusti Ngurah Gede Tibung pindah ke sebelah timur
tukad mati, Kwanji Sempidi sekarang.
Berbicara masalah nama dan pembentukan Desa Dalung,
sampai kini belum ada yang menemukan secara tertulis.
Berdasarkan

petunjuk

dan

cerita-cerita

orang

tua

yang

dapat dipercaya bahwa kata Dalung berasal dari kata EDA


Lung (Bahasa Bali) yang dalam bahasa Indonesia diartikan
17

dengan Jangan Patah, lama kelamaan kata Edalung menjadi


DALUNG.
Pembentukan Desa Dalung maupun yang memerintah pertama
kali, berdasarkan dokumen yang ada baru tercatat sejak
tahun 1955 pada saat itu desa Dalung diperintah oleh I
Gusti

Putu

Naya

sampai

dengan

tahun

1963.

Pada

masa

pemerintahannya tercatat penggabungan dua desa yaitu Desa


Dalung dan Desa Gaji menjadi satu desa dengan nama Desa
Dalung. Demikian juga di
menampakan

suatu

bidang pembangunan desa belum

kemajuan

yang

dirasakan

oleh

masyarakat, hal ini disebabkan baru merupakan rintisan


dan

pembenahan-pembenahan

terhadap

desa

dan

masyarakatnya.

3.2. Keadaan Geografi Desa Adat Dalung

3.3. Pura Khayangan Tiga di Desa Adat Dalung


3.3.1. Pura Desa lan Puseh Desa Adat Dalung
Di desa adat dalung, pura puseh dan pura desanya
berlokasi pada satu areal yang belokasi didesa dalung ,
kecamatan kuta utara. Dimana pura ini dijadikan satu
yaitu Pura Desa lan Puseh Desa Adat Dalung. Pura Desa
lan Puseh ini

diusung oleh warga dari 10 banjar yang


18

ada

di

desa

dalung,

yaitu

kurang

lebih

600

kepala

keluarga. Menurut nara sumber I Made Parmita S.Ag yang


menjabat sebagai bendesa adat setempat, pura ini telah
mengalami kurang lebih lima kali renovasi, dan sekarang
ini

juga

masih

dalam

tahap

renovasi

pada

beberapa

bangunan didalam pura ini.


Pada awalnya pura ini memiliki orientasi menghadap
kejalan, karena memperhitungkan banyaknya warga yang
bersembahyang di pura ini, disamping mengingat letak
dari pura puseh dan pura desa ini di pinggir jalan,
unutk

mengurangi

kemacetan

pada

saat

karya

ataupun

odalan, maka orientasi maupun letak dari pemedal atau


pintu
Odalan

masuk

utamanya

dipura

ini

dipindahkan

dilaksanakan

ke

pada

sebelah
hari

barat.

Pemacekan

Agung atau tepatnya 5 hari setelah hari raya Galungan.

19

Gambar3:

Denah Pura Desa


lan Puseh
setelah
perubahan Orientasi
Di dalam
pura
ini
terdapat
beberapa pelinggih

dan bangunan yang menunjang kegiatan dalam pura ini


sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut :
Bale Gong

20

Bale gong, terletak di jaba tengah atau di jaba


sisi, bangunan ini tanpa balai balai jajaran
tiang tepi tanpa tiang tengah. Bangunan ini terbuka
keempat sisi atau ke belakang perbatasan dengan
tembok penyengker.
Fungsi
Bale ini difungsikan untuk tempat memainkan gong
pada saat upacara di pura ini.
Material
Material yang digunakan pada Bale Gong ini adalah
atap ( genteng ), kayu, batu bata, paras.
Ornamen
Adapun ornament yang terdapat pada Bale Gong adalah
Karang Gajah yang terdapat pada bataran bale,
pepatraan.
Orientasi

Bale Agung

Bale agung,
Fungsi

21

Bale yang terdapat di jaba tengah dari


berfungsi untuk tempat parum ida batara
seluruh pura yang ada di desa adat dalung

pura
dari

Material
Bale Agung yang ada di Pura ini menggunakan
material genteng pada atap, kayu, batu bata, paras.
Ornamen
Ornament yang teradpat pada Bale Agung adalah
Karang Gajah yang terdapat pada bataran bale,
pepatraan.
Orientasi

Bale Piyasan

Bale Piyasan,terletak disisi barat halaman atau


sisi lain menghadap kearah tempat pemujuaan meru,
gedong , padmasana. Bale ini terbuka pada ketiga
sisinya.
Fungsi
Bale piyasan di pura ini memiliki dua fungsi yaitu
sebagai tempat pendeta atau pedanda memuput upacara
pada
saat
odalan,
dan
juga
sebagai
tempat
meletakkan wangi atau banten pujawali.
Material
Material yang terdapat pada bale ini adalah genteng
pada atap, kayu pada saka, dan tegel pada
lantainya.
Ornamen
Pada Bale Piyasan tidak terlalu banyak
ornament, hanya terdapat pepatraan.

terdapat

22

Orientasi

Bale Pesandekan
Bale Pesandekan,
Fungsi
Bale ini difungsikan sebagai tempat peristirahatan
para sulinggih atau pemanggku yang menghadiri
upacara yang dilaksanakan di pura ini
Material
Ornamen
Orientasi

Bale Tarpana

Bale Tarpana,
Fungsi
Bale ini berfungsi sebagai tempat sulinggih atau
pemangku memuput upacara
Material
Material yang ada pada bale ini adalah atap yang
terbuat dari genteng, saka yang terbuat dari kayu,
dan lantainya dari keramik.
23

Ornamen
Ornament yang terdapat
murda pada atap.

pada

Bale

Tarpana

adalah

Orientasi
Bale Tarpana memiliki orientasi kearah timur yang
merupakan arah gunung yang memiliki sifat suci.

Bale Banten / Busana


Bale Banten / Busana,
Fungsi
Bale ini berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan
sarana upacara seperti banten dan juga pakaian
(wastra ) dari pelinggih pelinggih di pura ini.
Material
Ornamen
Orientasi

Bale Paselang
Bale Paselang
Fungsi
Bale ini digunakan sebagai
tempat barong landung
dan menempatkan pratima pratima yang ada dipura
ini.
Material
Ornamen
Orientasi

Bale Pelik Sari

24

Bale Pelik Sari


Fungsi
Digunakan sebagai tempat pesamuhan atau paruman
ida bhatara
Material
Adapun material yang digunakan pada Bale Pelik
Sari adalah atapnya menggunakan ijuk, pada bagian
badan serta bataran menggunakan material yang
berupa batu bata dan batu paras kerobokan. Selain
mempergunakan batu bata dan paras kerobokan, pada
bagian badan bangunan juga mempergunakan material
dari kayu.
Ornamen
Adapun material yang terdapat pada Bale Pelik Sari
adalah
Orientasi

Pelinggih Ratu Made Jelawang


Pelinggih Ratu Made Jelawang
Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

25

Meru Tumpang Kalih


Meru Tumpang Kalih
Fungsi
Adapun fungsi dari Meru Tumpang Kalih adalah
sebagai linggih Sang Hyang Penyarikan
Material
Ornamen
Orientasi

Meru Tumpang Sia / Sembilan yang merupakan cirri


khas dari pura puseh
Meru Tumpang Sia / Sembilan
Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

Gedong Desa

Gedong Desa
Fungsi
26

Material
Ornamen
Orientasi

Penyawangan

Penyawangan
Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

Padmasana

27

Padmasana, Bangunan Padmasana ini merupakan salah


satu bangunan penting yang ada di Pura Desa Lan
Puseh Desa Adat Dalung. Seperti yang telah kita
ketahui,

Padmasana

merupakan

simbol

yang

menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga


teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana
sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi.
Fungsi
Fungsi utama untuk temapat pemujaan tuhan Yang Maha
Esa
Material
Bahan-bahan yang dipergunakan pada pembuatan
Bangunan Padmasana ini sebagian besar adalah Batu
Padas atau Batu Karangasem. Penggunaan material ini
dapat kita lihat mulai dari penggunaan material
pada bentuk Padmasana, ornamen, dll.
Ornamen
Oramen

yang

terdapat

pada

padmasana

ini

adalah bhedawangnala, nagabasuki dan ananta boga,


patung garuda Wisnu, Patung Angsa, Karang Gajah,
Karang Tapel, Karang Goak, Pepatraan, Pepalihan.
Orientasi

28

Bangunan Padmasana ini merupakan salah satu


bangunan yang ada di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat
Dalung yang terdapat pada kawasan Utamaning Utama
yaitu pada bagian Jeroan Pura. Bangunan Padmasana
ini berorientasi ke arah Barat Daya. Hal tersebut
disebabkan oleh posisi Padmasana ini yang berada
di daerah Timur Laut atau Kaja-kangin.

Pelinggih Ida Ratu Nyoman Pengadangan

Pelinggih Ida Ratu Nyoman Pengadangan


Fungsi
Material
Ornamen
Oriantasi

Gedong Puseh

Gedong Puseh

29

Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

Pelinggih Ratu Niang Melanting

Pelinggih Ratu Niang Melanting


Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

Pelinggih Pelik Sari

Pelinggih Pelik Sari


Fungsi
Material
30

Ornamen
Orientasi

Penyawangan Ida Ratu Watu Klotok

Penyawangan Ida Ratu Watu Klotok


Fungsi
Material
Ornamen
Orientasi

3.3.2. Pura Dalem


Pura Dalem

di

Desa

Adat

Dalung

satunya pura yang ada di Bali yang


Khayangan,

Dalem

Meraja

Pati,

merupakan

satu

menggabungkan Dalem
dan

Pura

Penataran

menjadi satu kawasan. Sama seperti Pura Desa lan Pura


Puseh, Pura Dalem juga telah mengalami 5 kali renovasi.
Pura Dalem ini juga telah direncanakan akan mengalami
perluasan dan mengalami pemugaran total yang bertujuan
untuk
pemedek

memperluas
Pura.

arela
Hal

persembahyangan
tersebut

bagi

dikarenakan

para
oleh

perkembangan setiap tahunnya jumlah para pemedek yang


nangkil ke Pura Dalem tersebut.

31

Pura Dale mini diusung


Gambar 4: oleh warga dai 10 Banjar di
Denah Pura Dalem

kawasan Dalung yang terdiri dari 600 KK. Piodalan di


Pura Dalam dilaksanakan pada rahina Sukra Pahing wuku
Dungulan. Pura Dalem ini terbagi menjadi 3 mandala (tri
mandala) yaitu :
Utama Mandala
Kawasan utama mandala merupakan areal jeroan dimana
terdapat beberapa bangunan suci didalamnya, antara
lain :
1. Padmasana Penyawangan Gunung Agung
2. Pelinggih Ratu Niang
3. Gedong khayangan yang merupakan stana dari Bhatari
Durga
4. Meru Tumpang Telu yang merupakan linggih Ratu Made
Bima yang mirip dengan Tri Purusa yaitu : Ciwa,
Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa
5. Gedong Gede Ratu Gede Dira
6. Pelinggih Rambut Sedhana
7. Pelinggih Dalem Penataran
8. Bale Pelik Sari
9. Pelinggih Ratu Made Balian
10. Bale Tarpana
11. Bale Paselang
12. Bale pesandekan mangku
13. Padma Merajapati
14. Pelinggih Ratu Made
15. Pelinggih Ratu Ketut
16. Bale Piyasan
Madya mandala
Madya mandala merupakan areal jaba tengah pura.
Adapun bangunan-bangunan yang ada dalam areal ini
adalah:
1. Bale Pengerauhan
2. Bale Gong
32

3. Bale kul-kul
Nista Mandala
Nista mandala merupakan areal terluar dari pura.
Pada areal ini terdapat wantilan yang digunakan
sebagai tempat melaksanakan upacara tabuh rah.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Sarah

KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang
Maha

Esa

karena

atas

berkat

rahmat-Nyalah

penyusun

bisa

menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya. Tentunya penyusun


merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Maka
dari pada itu penyusun mohon maaf apabila di dalam penyusunan
paper ini ada kesalahan-kesalahan yang tentunya penyusun tidak
sengaja.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penyusun haturkan kepada
para

dosen

pembimbing,

karena

tanpa

penyusunan paper ini, mungkin paper


dengan baik. Tidak lupa penyusun

bimbingan

mereka

dalam

ini tidak terselesaikan

ucapkan terima kasih kepada

para informan yang telah membantu dalam memberikan informasinya.


Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih atas
pengarahan,

bimbingan

dan

bantuan

dari

semua

pihak

selama

pembuatan paper ini, terutama kepada :


1. Ibu Ir.Ida Ayu Armeli selaku dosen pembimbing
2. I Made Parmita S.Ag selaku Bendesa Desa Adat Dalung
3. Ary Prajawan atas bantuan pencarian lokasi pura
4. Dan pihak pihak lain yang tidak bisa penyusun sampaikan
satu persatu
33

Penysun sadar bahwa paper ini jauh dari sempurna akibat dari
keterbatasan penyusun. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik
dan

saran

yang

konstruktif

dari

semua

pihak

yang

bersifat

membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga paper memberikan


manfaat bagi pembaca.

Denpasar, Juli 2008


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................i
DAFTAR ISI....................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................1
1.1. Latar Belakang........................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................2
1.3. Tujuan Penulisan......................................2
1.4. Manfaat Penulisan.....................................3
1.5. Metode Penulisan......................................3
BAB II KAJIAN TEORI............................................5
2.1. Pengertian Pura Kahyangan Tiga........................5
2.2. Sejarah Pura Kahyangan Tiga...........................6
2.3. Bagian Bagian Pura Kahyangan Tiga.....................9
2.3.1. Pura Desa.......................................9
2.3.2. Pura Puseh......................................12
2.3.3. Pura Dalem......................................14
BAB III Study Kasus...........................................17
3.1. Sejarah Desa Adat Dalung.............................17
3.2. Keadaan Geografi Desa Adat Dalung....................-3.3. Pura Kahyangan

Tiga di Desa Adat Dalung.............-34

3.3.1. Pura Desa lan Puseh.............................-2.3.2. Pura Dalem......................................-BAB IV PENUTUP................................................-3.1. Kesimpulan...........................................-3.2. Saran saran........................................-DAFTAR PUSTAKA

ii

DAFTAR PUSTAKA

Gelebet, I Nyoman, dkk. 1986. Arsitektur Tradisional


Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.

http://203.130.242.190//artikel/1603.shtml

http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ars4/2004/jiunkpe
-ns-s1-2004-22400095-4833-pakraman.pdf

http://digilib.unmer.net/gdl.php?mod=browse&node=1331

http://indoforum.org/showthread.php?p=798773

http://okanila.brinkster.net/mediaCat.asp?NID=5

http://yanuar.wordpress.com/2008/01/30/sejarah-Bali

Microsoft Encarta 2006. 1993-2005 Microsof


Corporation

Tim Penyusun, Awig Awig Desa Adat dalung, Kecamatan


Kuta Utara, Badung

35

APRESIASI BUDAYA

SURVEY LAPANGAN PURA KHAYANGAN TIGA


DESA ADAT DALUNG, KECAMATAN KUTA UTARA,
KABUPATEN BADUNG

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
36

You might also like