You are on page 1of 41

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN PURA KHAYANGAN TIGA


1. Pura untuk tempat pemujaan warga sedesa yang lerdiri dari beberapa banjar
disebut Kahyangan Tiga, tiga unit pura yang merupakan bagian dari desa. Dalam pengertian desa adat di Bali, Tri Hita Karana perwujudan suatu desa. Tri
Hita Kharana tiga unsur yang menjadikan adanya Desa, masing-rnasing
Kahyangan Tiga sebagai jiwanya Desa, Desa Pakraman teritorial Desa sebagai
fisik Desa dan Sima Krama atau warga Desa sebagai tenaga Desa. Dengan
adanya ketiga unsur jiwa, fisik dan tenaga, sempurnalah suatu kehidupan
manusia, ke]uarga, desa atau wiIayah. Kahyangan Tiga, masing-masing Pura
Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dengan fungsinya masing-masing sebagai
tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai
Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Desa dan Pura Puseh terletak di pusat Desa di
bagian zoning utama, kaja kangin dari perempatan pusat desa. Pura Dalem
terletak di dekat kuburan di bagian teben Desa pada arah kelod atau kelod
kauh.
PURA DESA
Tempatnya di pusat desa di bagian kaja kangin dari perempatan desa
dalam

pekarangan

yang

dibatasi

tembok

penyengker.

Tata

zoning

pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bagian
utamanya adalah Bale Agung sehingga ada juga yang menyebutnya Pura Bale
Agung. bangunan Bale Kulkul merupakan bangunan yang menempati sudutsudut depan pekarangan Pura. Bangunan wantilan dengan luas yang cukup
besar dibangun di jaba sisi untuk kegiatan bersama pada upacara di Pura Desa.
Pintu masuk memakai Candi Bentar dari Jaba sisi ke Jaba tengah dan Kori
Agung dari Jaba tengah ke Jeroan. Ada pula yang dilengkapi pintu betelan kea
rah samping untuk hubungan dengan bangunan bangunan samping.
PURA PUSEH
Tempatnya di pusat Desa berdekatan atau menjadi satu bersebelahan dengan
Pura Desa. Tata zoning pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba
1

tengah dan jeroan. Pekarangannya ada yang merupakan area tersendiri.


Umumnya Pura Desa (Bale Agung) di tempatkan di bagian depan dari Pura
Puseh, ada pula yang bersisian kea rah samping. Di beberapa Desa ada yang
menata kahyangan tiganya dengan pola pola khusus di luar ketentuan
tradisional yang berlaku umum
PURA DALEM
Tempatnya di dekat kuburan di tepi Desa atau di luar Desa. Pekarangan pura
dibatasi tembok penyengker sekelilingnya dengan candi bentar di depan dan
kori agung di jeroan. Bangunan pemujaan lainnya yang merupakan hulu
juburan adalah praja pati. Kahyangan tiga masing masing Pura Desa untuk
pemujaan dewa Brahma, Pura Puseh untuk pemujaan Dewa Wisnu dan Pura
Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa.
Bangunan bangunan utama seperti Bale agung, Pelinggih Puseh,
Pelinggih Dalem, dan beberapa pelinggih lainnya ada di semua Khayangan
Tiga.
Bangunan bangunan tambahan atau pelengkap lainya disesuaikan
dengan keadaan masing masing Desa yang merupakan bagian dari
Khayangan Tiga. 1
2. Temples and other places of worship are always build in a special direction:
sea direction (South) means kelod, and Gunung Agung direction (North)
means kaja. Even the place of the bed in the bedroom is stipulated by this axis.
The head shall be lead down in the kaja direction.
Every villages have at least three temples:
- Pura Dalem, the temple of the dead, at Kelod direction outside the village.
- Pura Desa, the village temple, in the middle of the village. Dedicated to god
Wishnu.
- Pura Puseh, the temple of origin, dedicated to the ancestors and the gods, at
Kaja direction. 2

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
2
Artikel Balinese Hinduism Temple

3. Village temples: Kahyangan Tiga 3


There are the following three temples in nearly every village. They are called
the Kahyangan Tiga, the Three Great Temples, and are said to have been
initiated by Empu Kuturan, the legendary Javanese priest in the 11th century:
Pura Puseh
in the mountainward kaja area devoted to the founders of the village and
dedicated to Wisnu, god of water, called the Origin or Navel Temple.
Pura Desa
in the centre of the village, at the village courtyard or main crossroads,
devoted to the affairs of the village, men in other words, where the banjar
meets and dedicated to Brahma.
Pura Dalem
in the seaward kelod area, devoted to the souls of the dead but not yet
cremated, and dedicated to Siwa or his wife, Durga, called the Death or the
Underworld Temple.

B. JENIS BANGUNAN DAN FUNGSINYA 4


1. CANDI BENTAR
Merupakan

pintu

masuk,

batas

wilayah antara jaba sisi/luar (Nista


Mandala) dengan areal luar. Juga
merupakan

pintu

masuk,

yang

menentukan batas wilayah antara


jaba sisi (Nista Mandala) dengan
Jaba

Tengah

(Madya

Mandala).

Ruangan/pintu candi bentar dibuat


CandiBentar Pura Melanting,Buleleng
Sumber Observasi lapangan Oktober
2007

agak lebar, dimaksudkan agar umat


dapat lebih banyak masuk ke jaba
3

Sumber : www.murni'sinbalionlineshop.com

Artikel struktur Bangunan : sumber Internet

tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk
dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya.

2. KORI AGUNG (CANDI KURUNG)


Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara Jaba Tengah (Madya Mandala)
dengan Jeroan (Utama Mandala).
Ruang/pintu tempat masuknya sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu
orang, di atasnya terdapat ukiran berbentuk Kala (Boma), di jaga oleh dua buah
patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian bahwa untuk masuk ke Utama
Mandala tidak setiap orang bebas dengan leluasa melainkan hanya satu persatu,
maksudnya agar mereka yang hendak masuk ke Utama Mandala supaya benarbenar orang yang sudah satu antara Bayu (tenaganya), Sabda (perkataanya), Idep
(pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.
Kala berarti waktu, maksudnya hanya dalam keadaan dan waktu tertentu
seseorang yang telah satu Bayu, Sabda dan Idepnya dapat masuk ke Utama
Mandala, misalnya tidak dalam keadaan cuntaka. Hanya dalam keadaan suci,
bersih lahir batin orang boleh masuk Utama ke Mandala.
Boma merupakan simbul hutan belantara di lereng gunung dan puncak gunungnya
adalah puncak Padmasana (Mandara Giri) sebagai tempat stana Tuhan. Dalam
Lontar Awig-awig Krama Desa dijelaskan bahwa orang yang telah masuk ke
Utama

Mandala

dilarang

untuk

berbicara,

bercakap-cakap,

lebih-lebih

mengucapkan kata-kata kasar, dilarang bercanda dan dianJurkan hanyalah


mengumandangkan lagu-lagu keagamaan seperti kidung Wargasari atau mantram
suci. Kalau tidak bisa melagukan kidung sebaiknya diam diiringi dengan
peranayama.
Jika masih ingin berbicara, bercakap-cakap, berdiskusi sudah disiapkan tempat
istirahat di Jaba Tengah atau Jaba Sisi untuk berdharma tula.

Demikian

pula

Dwara

Pala

(Penjaga

Pintu)

berfungsi

untuk

membatasi/menentukan spiritual umat yang masuk ke Utarm Mandala, apakah


mereka sudah siap atau belum untuk menyembah Tuhan/Yang Widhi secara bulat.

Kori Agung Pura Puseh Desa Ungasan,


Kuta Selatan
Sumber : Observasi lapangan November
2006

3. PADMASANA
Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga teratai; dan Asana
berarti sikap dalam yoga atau sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma
adalah salah satu simbul kesucian dalam agama Hindu, karena teratai ini
walaupun hidup dalam lumpur namun tak sedikitpun lumpur dapat menempel
pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbul
bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan (noda).
Teratai ini berhelai mahkota bunga delapan buah (asta dala), dijadikan simbul
stana Asta Dewata (delapan manifestasi Prabhawa Hyang Widhi). Bunga Padma
(8 helai) dengan sarinya menunjukkan sembilan arah yang dikaitkan dengan
Dewata Nawa Sangga dengan wijaksaranya Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-NangMang-Sing-Wang-Yang. Atau di suarakan pula dengan: Sa-Ba-Ta-A-I-Na-Ma-SiWa-Ya.
Bangunan suci ini disebut Padmasana karena memang pada bagian atas (tempat
duduk) bangunan terdapat lambang Padma.

BENTUK

BANGUNAN

PADMASANA:

Sebagai dasar adalah bunga teratai (Padma), di atasnya disangga oleh


empas/kurma

(Bedawang

Nala)

kemudian

dibelit/dipegang

oleh

Naga

Anantabhoga dan Naga Basuki. Di atasnya, pepalihan dasar, madya dan puncak
yang penuh dengan ornamen seperti karang asti/gajah, karang paksi/goak, pai dan
bermacam-macam patra.
Paling atas berbentuk kursi (tempat duduk) Asana dan pada bagian belakang
bangunan terdapat patung Garuda dan Angsa.
Bila dikaitkan dengan Upa Weda yaitu Itihasa, maka bangunan Padmasana adalah
lambang gunung dalam usaha Dewa dan Raksasa untuk mendapatkan tirta amerta
yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal.
Pemutaran Mandara Giri di Ksira Arnawa, oleh para Dewa dan Yaksa di mana
Dewa Wisnu berawatara menjadi Kunna (empas) untuk menyangga agar Gunung
Mandara tidak tenggelam, dan agar gunung tidak lepas/pecah, maka Basuki dan
Anantabhoga yang membelitnya. Anantabhoga sebagai simbul pangan (makanan
yang tak terhingga) dan Basuki sebagai simbul air yang mengalir dari gunung.
Terdapat berbagai jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan yang dilukiskan dengan
karang asti, pai, dan patra. Garuda sebagai lambang pembebasan dari keterikatan,
diambil dari metologi Garuda mencari tirta amertha ke sorga untuk membebaskan
ibunya dari perbudakan dengan jalan Garuda siap menjadi wahana Dewa Wisnu.
Pada bagian atas dibuatlah seperti tempat duduk (asana) yang tidak beratap
sebagai simbul bahwa kekuasaan Hyang Widhi tidak terbatas.
Lambang Acintya adalah sebagai simbul Hyang Widhi yang tidak terpikirkan.
Acintya berbentuk seperti manusia yang luar biasa, setiap ruasnya memakai
senjata (bunga api) dan berdiri di atas kaki kiri. Kiri sebagai simbul pradana atau
sakti sehingga lis sebelum dipakai diberi kekuatan dengan tangan kiri.
Dengan demikian bentuk Padmasana adalah simbul pemutaran Mandara Giri
untuk mendapatkan tirta amertha atau air suci (hidup kekal abadi) bagi siapa saja
yang meminumnya.

Jadi hidup abadi adalah bersatu dengan Sang Pencipta, maka hendaklah manusia
mencari dan memuja Tuhan melalui Padmasana.
FUNGSI

PADMASANA:

Padmasana

berfungsi

sebagai:

1)

Stana

Hyang

Widhi

dalam

segala

manifestasinya. 2) Tempat memuja Hyang Widhi dalam berbagai fungsi-Nya,


dalam wujud Ista Dewata atau dalam wujud Sadha Siwa dengan segala
manifestasiNya dan sakti beliau.
Dalam Lontar Wrespati Tatwa disebutkan: "Sawyaparah:
Bhatara Sadasiwa sira, hana Padmasana pinaka palungguhan
ira, aparan ikang Padmasana ngaranya: sakti nira, sakti
ngaranya, wibhusakti, prabhusakti, jnana sakti, kriya sakti,
nahan yang cadu sakti, ngaranya. Nahan yang cadu sakti
ngaranya padmakara, ri madyan ika, mangkana ta
palungguhan Bhalara, kalan ira masarira, matratma ta sira,
mantra pinaka sariranira, Isana murdhanya, Tat purusa
waktraya, Aghora hrdayaya, Bamadewa guhyaya, Sadyojata
murti ya, AUM, nahan pinaka sarira Bhatara." (13- 14)

Maksudnya:
Tuhan Sadasiwa ialah sawyaparah (bersenyawa
dengan

hukum

kemahakuasaan-Nya).

Ada

Padmasana sebagai singgasanaNya. Apakah yang


dimaksud

Padmasana?

(kemahakuasaan)Nya

meliputi

Yaitu

sakti

Wibhusakti,

Prabhusakti, Jenyanasakti, Kriyasakti. Itulah yang


disebut Cadu Sakti. Cadu Sakti inilah yang
disimbulkan berbentuk seroja, di tengahnya itulah
singgasana Tuhan Sadasiwa pada waktu Beliau
mengambil wu*jd. Mantratmalah Beliau, yakni
mantra sebagai badanNya, Isana sebagai kepala,
Tatpurusa sebagal muka, Aghora sebagal hati,

Padmasana Pura Gelap,


Besakih
Sumber : Data Pribadi

Bhamadewa sebagai anggota rahasia dan Sadhyajata sebagal bentukNya, itulah


yang

menjadi

wujud

Beliau.

4. PANGLURAH/PENGRURAH
Bangunan Anglurah/Pengrurah

ini

berbentuk

Tugu. Dibuat dari batu cadas dan bata merah.


Bangunan ini berfungsi untuk pelinggih (stana)
Pangelurah, iringan, atau pengawal para Dewa,
yang dipuja pada hari raya seperti pada PuJawali,
Purnama, Tilem dan hari raya lainnya.
Pelinggih ini selalu ada di setiap Pura, karena
Dewa-dewa yang dihadirkan, di puja dalam setiap
pemujaan/hari raya selalu disertai oleh iringan,
pengawal, dan Pangrencang.

Panglurah Pura Desa Ungasan,


Kuta Selatan
Sumber Observasi Lapangan
November 2006

5. BALE PAPELIK/PENGARUMAN
Pepelik/Pengaruman ini berbentuk seperti rumah beratapkan ijuk. Bangunan ini
berfungsi untuk menstanakan para dewa yang dimohon/dipuja untuk hadir pada
waktu upacara Pitiawali atau pada hari raya lainnya seperti hari raya Galungan,
Kuningan, Saraswati dan sebagainya.
Pada upacara Pujjawali, Bale Pepelik/Pengaruman ini di pergunakan untuk
menempatkan pratima/tapakan/pelinggih Bhatara dari Pura-pura lain yang hadir
pada

waktu

upacara

Pujawali.

6. TAMAN SARI
Taman sari merupakan salah satu pelinggih yang menjadi bagian dari bangunan
Pura. Pelinggih Taman Sari ini terletak di areal jeroan.
Dilihat dari nama Pelinggih ini terdiri dari dua suku kata yaitu Taman berarti
tempat yang indah di mana terdapat sari yang berarti bunga atau kembang.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat PemuJaan Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirta. Di tempat inijuga memohon

Tirta Amartha atau air suci yang dapat memberikan sumber kehidupan dari segala
yang hidup di dunia ini. Air suci dari Taman Sari ini dialirkan ke dalam telaga atau
kolam melalui pancoran yang disebut Beji
7. PELINGGIH BEJI
Beji adalah tempat pensucian pratima. Pelinggih Beji ini berbentuk tugu atau
Padmasari, tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Sang
Hyang Taya. Yang mempunyai fungsi sebagai pembersih, penyuci segala leteh
(kotoran), mala petaka, sebel (kotor) dan lain-lain.
Tirtha yang diambil (dimohon) dari Beji pada umumnya dipergunakan sebagai
penglukatan, pembersihan untuk melukat (pembersihan) banten (sajen) dan juga
sebagai pamarisuda umat yang hendak melaksanakan persembahyangan di Pura.
Bale
Each courtyard may have several little pavillions called
bale. These bale may be as simple as a roofed structure
supported by four pillars with cement or stone floors.
For a village temple, the orchestra will be housed in
one of these bale.5
8. BALE PAWEDAN
Bale Pawedan merupakan bagian bangunan suci yang ada di Pura (Jeroan). Bale
artinya tempat atau bangunan, Pawedan artinya pemujaan.
Fungsi Bale Pawedan dilihat dari artinya adalah sebagai tempat pemujaan oleh
Pandita, Pinandita atau Sulinggih pada saat Pujawali atau pada hari-hari suci
lainnya.
Bale Pawedan sering ditafsirkan hanya semata-mata tempat duduk Pandita,
Pinandita atau Sulinggih dalam pengertian orang. Padahal yang berstana di Bale
Pawedan adalah Dewa Siwa, pada waktu Pandita, atau Sulingglh
memula/maweda, karena Pandita saat memuja Beliau menstanakan Dewa Siwa
dalam dirinya.

Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : www.indo.com

Dari sisi lain peralatan yang digunakan Pandita, atau Sulinggih disebut Siwa
Karana, itu sebagai pertanda/simbul bahwa yang berstana disana adalah Siwa.

Bale Pawedan pura Gelap Besakih


Sumber : Data Pribadi

Kulkul
Kulkul is a hollow log that functions similar to a
church bell; it is used to call together the village
community. In a village temple, it is usually housed in a
tower whose base is elaborately decorated with
carvings. Sounding the kulkul has its own language;
different rhythms of hitting the kulkul will communicate
different reasons for the gathering of the village.6

9. BALE KULKUL
Secara umum kulkul (kentongan) mempunyai fungsi untuk memberikan isyarat
tertentu kepada masyarakat. Misalnya: Kulkul Desa (Banjar) berfungsi sebagai
syarat atas kejadian tertentu di desa tersebut sesuai dengan irarna suara kulkul itu,
seperti irama (suara) sebagai tanda untuk kerja bakti, irama sebagai tanda terjadi
kebakaran dan sebagainya. Sedangkan untuk di Pura bunyi kulkul berfungsi
sebagai isyarat:

umat/warga pengempon siap untuk ngayah/kerja bakti,

pada hari Pujawali, upacara melis/mesucian slap dilakukan tepat waktu,


sehingga umat yang hendak ikut melis bisa segera bergabung.

Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : www.indo.com

10

upacara Pujawali mulai, agar masyarakat/umat siap sedia baik yang masih di
luar agar segera masuk ke Pura untuk ikut ambil bagian dalam upacara
Pujawali.

ada Pratima yang rawuh/datang agar para petugas (tukang banten, pemangku)
yang memendak segera melaksanakan tugasnya.

pratima dari suatu Pura meninggalkan Pura tersebut dan pengiring yang masih
ada di sekitar Pura agar segera bersiap/ bergabung untuk mepamit (pulang).

upacara Piodalan telah berakhir atau Nyimpen/Ngeluhur/ Pralina.

Bale Kulkul Pura Jagatnatha


Singaraja
Sumber Observasi lapangan
Oktober 2006

10. TUGU
Bentuk bangunan denah bujursangkar dengan luas sekitar 0,6 m x 0,6 m, tinggi
sekitas 2, terdiri dari 3 bagian yaitu kepala / tepas batur tenggek, badan dan kak.
Dari bawah mengecil kearah atas dengan hiasan hiasan yang serasi. Bagian
kepala bidang bidang parangan membentuk ruang tempat sesajen. Bahan
bangunan umumnya batu alam yang banyak dipakai batu padas, batu karang laut,
batu bata atau jenis jensi batu lainnya sejenis atau campuran. Konstruksi

11

keseluruhan bagian dari karangan rapi dengan perekat alus. Bentuk hiasan ukiran
berupa pepalihan dan lelengisan.
Fungsi bangunan untuk pelinggih atau menstanakan sarwa bhuta khala, dengan
atau roh-roh halus lainnya. Letakk bangunan lainnya di bagian depan atau di
bagian teben kelod atau kauh.7

Tugu Linggih panglurah Ratu


Puseh
Sumber : Observasi Lapangan
November 2006

11. GEDONG
Bentuknya serupa dengan tugu, hanya bagian kepala terbaut dari konstruksi kayu,
atapnya alang-alang, ijuk atau bahan bahan penutup atap lainnya yang
disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.bagian badan dan kaki atau batur dan
tepas, pasangan batu harus rapi tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan.
Fungsi bangunan gedong ada berbagai macam sesuai dengan tempatnya di
pamrajan, di pura, di khayangan atau tempat tempat tertentu.tata letak gedong,
bentuk konstruksi atap dan ketentuan ketentuan lain menentukan atau sesuai
dengan fungsi Gedong atau yang dipuja pad agedong tersebut. Pemakaian bahan,
penyelesaian konstruksi danhiasannya sesuai tingkatan utama, madia dan
7

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

12

sederhana suatu pura yang ditempatinnya. Selain gedong dalam bentuknya yang
umum ada pula gedong dalam bentuknya yang umum ada pula gedong dengan
bentuk dan fungsi tertentu. Gedong dengan dua ruangan atau gedong kembar.
Komposisi orientasi dan tata letak gedong disesuaikan dengan yang dipuja.
Umumnya bangunan gedong sebagia tempat pemujaan menghadap ke barat dari
jajaran kaja kelod atau utara selatan.
Dasar dasar ukuran gedong, proporsi bebaturan dan rangka ruangnya didasarkan
pada ketentuan tradisional.

Gedong Linggih Sanghyang


Ganapati
Sumber : Observasi Lapangan
November 2006

11. MERU
Bentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat tingkat yang disebut atap
tumpang, jumlah tumpang atap selalu ganjil, meru tumpang 3, 5 ,7, 9 dan 11
sebagai tingkat tertinggi.
Bagian bagian meru yatiu terdiri dari bagian kepala, badan, kaki masing
masing atap, ruang pemujaan dan bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat
pemujaan Tuhan Yangm Maha Esa, Dewa-dewa dan Leluhur. Bentuk bentuk
meru konstruksi rangka di atas bebaturan merupakan konstruksi tahan gempa yang
lebih tahan dibandingkan dengan candi atau bentuk bentuk lain bangunan
pemujaan yang tinggi. Variasi meru pada bebaturan, rangka ruang pemujaan
bentuk bentuk atap dan bidang bidang antara tumpang tumpang atap.
13

Keindahan bangunan Meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik teknik


konstruksi dan hiasannya.
Tata letak Meru di suatu pura tempat pemujaan adalah di halaman jeroan bagian
utara. Meru umumnya menghadap ke barat di sisi timur sebagai tempat pemujaan
utama. Deretan bangunan pelinggih Meru, Padma, gedong dan pelinggih
pelinggih lainnya berderet kaja kelod di sisi timur menghadap ke barat.
Persembahyangan pemujaan menghadap ke arah timur (matahari terbit).

Contoh Meru Tumpang


Sumber Data Pribadi

12. TAJUK / PEPELIK

Meru di Pura Penataran,


Klungkung

Bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong terbuka tiga sisi kedepan dan
sisi sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.

14

13. BANGUNAN dan PALIANGAN


Bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, sedikit lebih besar dan ada yang
memakai tiang jajar. Terbuka pada tiga sisi fungsinya untuk menstanakan simbol
simbol, dan sarana upacara. Letak tajuk atau pepelik, pangaruman atau peliangan
di bagian samping depan di sisi halaman pelinggih pelinggih utama.
14. GEDONG MAS CATU dan MAS SARI
Bentuk dan konstruksinya sama dengan gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul
dan Mas Sari puncak atapnya perucut lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan
Sri Sedana, harta kekayaan untuk kesejahteraan.
15. MANJANGAN SALU WANG
Bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, terbuka tiga sis, didepan
memakai tiang tengah dengan kepala manjangan. Fungsi untuk tempat pemujaan
Empu Kuturan penyebar Agama Hindu dan pembinanya.
16. GEDONG AGUNG
Disebut pula dengan Gedong Ibu atau Gedong Batu merupakan bangunan besar
dengan dinding tembok batu berhias ornamen pepalihan. Fungsinya untuk tempat
pemujaan baik di Pura Desa, pura Puseh dan Pura Dalem.
17. BALE PIYASAN
Merupakan
sakepat,

bangunan

sakenem

tipe

astasari

atau sakaroras sesuai dengan


besarnya

tingkatan

pura

tempat pemujaan. Fungsinya


untuk

temapt

penyajian

sarana - sarana upacara atau


keaktifan
upacara.

serangkaian
Bangunan

Bale

Bale Piyasan Ratu Puseh Desa Ungasan, Kuta


Selatan
Sumber Observasi Lapangan November 2006

15

Piyasan terbuka tiga atau keempat sisi, letaknya disisi barat halaman atau sisi lain
menghadap kearah tempat pemujaan Meru, Gedong atau Padmasana. Atap
bangunan dari alang alang, bahan- bahan bangunan lainnya dari klas khusus
untuk bangunan bangunan pemujaan.

18. PEWAREGAN SUCI


Letaknya di jaba tengaha tau di
jaba

sisi.

Bentuk

bangunan

memanjang deretan tiang dua-dua,


luas

bangunan

keperluan
Pura.

dari

Fungsi

tergantung

besarnya

suatu

bangunan

untuk

dapur mempersiapkan keperluan


sajian

upacara

dipersiapkan

di

yang

perlu

Pura

yang

Contoh Gambar Pewaregan Suci


Sumber : Data Pribadi

umumnya jauh dari Desa tempat


pemukiman.
19. BALE GONG
Terletak di jaba tengah atau
di jaba sisi. Bentuk bangunan
tanpa balai-balai jajaran tiang
tepi tanpa tiang tengah. Luas
bangunan

sekitar

20

m2,

terbuka keempat sisinya atau


ke

belakang

berbatasan

dengan tembok penyengker.


Fungsi

bangunan

untuk

tempat

adalah
menabuh

gamelan gong atau gamelan

Contoh Gambar Bale Gong Pura Gelap,


Besakih
Sumber : Data Pribadi

lainnya.

16

20. PENGGUNAAN
Merupakan bangunan tiang empat dengan atap pelana balai balai tinggi luasnya
sekitar 2m2. letaknya di bagian selatan menghadap ke utara atau ke jabaan.bentuk
bangunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten upacara.
Bangunaan Penggunaan di bangun di beberapa pura yang tergolong besar dan
sering melakukan pemujaan utama.
21. WANTILAN
Wantilan sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai
atau bale bale yang ditempatkan. Dalam perkembangannya wantilan juga
dilengkapi dengan kursi sebagai temapt duduk untuk bermusyawarah atau
fungsinya yang lain.
Letak wantilan dalam suatu pekarangan di tengah agak ke tepi dengan ruang luar
sekitarnya dapat merupakan perluasan dari keterbukaannya pada keempat
sisi.dalam fungsi fungsi tertentu wantilan juga dilengkapi dengan ruang ruang
pentas dan ruang ruang lainnya.8

Wantilan Pura Gelap Besakih


Sumber : Data Pribadi

C. BENTUK BAGIAN BAGIAN9


8

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
9
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

17

Bangunan tempat pemujaan terdiri dari tiga unsur Tri Hita Karana yang dipuja
di suatu pura sebagai jiwa yang dijadikan tempat pemujaan sebagai fisik yang
melaksanakan pemujaan sebagai tenaga. Untuk suatu kehidupan diperukan adanya
jiwa fisik dan tenaga.
Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian bagian kepala, badan
dan kaki atau atap, rangka ruang dan bebaturan masing masing dengan bentuk
bentuk yang sesuai dengan fungsinya.
Bebaturan
Bentuknya sederhana berupa pasangan batu alam atau batu dasar segi
empat tinggi disesuaikan, dengan macam dan fungsi bangunan nya.
Untuk yang madia tepas di bagian bawah bebaturan dan sari di
banguan atas bebaturan. Bentuknya yang utama bagian bagian
bebaturan tepas batur dan sarinya bertumpang diulang beberapa kali
sesuai dengan tingkat keutamaannya. Bebaturan utama terlihat jelas
pada bagian Candi, Padmasana, Bale Kulkul dan Bade Wadah.bentuk
bentuk pepalihan dan hiasan juga menentukan keutamaan bebaturan.
Tepas atau repas ujan merupakan bidang dasar bangunan antara
pondasi dan pasangan bebaturan. Bahan bangunan untuk bebaturan
adalah bata pasangan telanjang siar rapi atau batu batu alam jenisjenis pada atau buntek laut. Jenis jensi hiasan memakai pepelok
penyu kambang, lamak, pepalihan dan pepateran kekarangan. Bagian
sari dia tas batur dengan bidang taled antara bebaturan dan sari. Untuk
bebaturan tinggi utama sari berulang tumpang dua tatu tiga kali
mengecil pada setiap tumpang. Hiasan sari dnegan bentuk cakep sari
atau gula sari pada sudut sudut tepi bidang bidang slimar denga
kekarangan. Karang asti dan karang batu di bawah, karang simbar dan
karang bunga di tengah dan karang goak atau karang manuk di bagian
atas. Pepalihan dan pepateran timbul dari kreasi kreatifitas perancang,
undafi atau sangging yang mengerjakannya.
Rangka Ruang

18

Sebagian badan bangunan tempat pemujaan adalah rangka yang


membentuk ruang tempat pemujaa, konstruksi kayu pada Meru dan
Gedong dengan berbagai macamnya.
Empat tiang merupakan pokok konstruksi dengan lambang dan sineb
ikatan atas dan sunduk waton ikatan bwah, kaki tiang di bawah waton.
Untuk Meru dan Gedong, tiga sisi tertutup ke arah depan dengan pintu
Tajuk dan yang semacam terbuka pada tiga sisi.Meru dan gedong
dengan berbagai jenisnya yang tergolong agungatau utama dilengkapi
dengan tiang tiang jajar dedepan atau pada tempat sisi-sisinya.
Hiasan ukiran pada pintu, dantiang tiang sejajar sendi a;as tiang
hiasnya singa bersayap, karang tapel atau kera penyangga tiang. Untuk
kerangka ruang pemujaan dipakai kayu kayu khas khusus untuk
parhyang, kayu cendana menengan, majagau, cempaka dan beberapa
jenis khusus lainnya.
Atap
Bagian kepala adalah struktur atap dengan bentuk bentuk pelana
kampyah atau limasan. Kayu kayu bahan kerangka atap dari kaui
klas khusus seperti kerangka ruang badan. Betaka sebagai konstruksi
pengikat puncak atap bahannya kayu cendana atau jenis kayu utama
lainnnya.
Bahanpenutup atap dipakai ijuk, alang alang atau sirep bambu di
pegunungan yang mudah mendapatkan atau menghasilkan bambu.
Penyelesaian konsturksi rangka atap serupa dengan atap bangunan
rumah, ukuran ukuran batang konstruksi dan jarak jarak lebih keci
sesuai dengan besar bangunan. Susunan rangka, pemade, pemucu, igaiga

dedalas, kolong dedeleg atau betaga dan tugeh bila

diperlukan.alang-alang sebagai penutup diikat dalam bentuk bidang


bidang ingketan angndiikatkan pada iga-iga.ujung atap dipotong rapi.
Atap ijuk bisa dengan sistem ingketan atau dengan sisitem jepit pada
bilah bilah jepitan. Atap bagian bawah pada dedalas dengan lekesan
ijuk yang dipotong dengan paso atau murdha berornamen.

19

Kepala
Kepala
(Utama Angga)
(Utama Angga)

Badan
Badan
(Madya Angga)
(Madya Angga)

Kaki
Kaki
(Kanista Angga)
(Kanista Angga)
Nama Gbr : Konsep Tri Angga
Sbr : Bali Trevel

D. ASTA KOSALA KOSALI dan ASTA BUMI10

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa
(symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan
hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura,
pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan
Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.
Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan
pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai
berikut :
1) Tujuan Asta Bumi adalah :
a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi.b)
Mendapat vibrasi kesucian.
c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi.
2) Luas halaman :
a) Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran
10

Media Anak Muda Bali, sumber : www.iloveblue.com

20

"depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku
atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa :
1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5,
7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran
yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa
: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6x5, 13x6, 18x13. Jika halaman sangat luas,
misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura
Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan
itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang
dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19x15),
5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke
Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18x13), 5x(18x13),
7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

Cara Pengukuran Arsitektur Tradisional bali

21

HULU-TEBEN.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan
dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu
yaitu
1) Arah Timur, dan
2) Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah
menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar
benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika
memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas.
Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai
kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian
seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan
memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara
dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi
sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat
misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk
halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan
pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul,
penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu :
1) Utama Mandala,
22

2) Madya Mandala, dan


3) Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap
berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat,
tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain. Utama mandala adalah
bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama
dengan utama Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan
ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman
tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya
mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur
suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk
rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih "Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna,
dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual
makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi
Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung
Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung
berhadapan dengan jalan.

Contoh Penerapan Tri Mandala pada Adhitya Jaya


Sumber Internet

23

A. TRI MANDALA
Pengertian kata Tri Mandala berasal dari kata Tri yang berarti tiga dan Mandala berarti wilayah.
Jadi, Tri Mandala adalah 3 (tiga) wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap Pura dan antara mandala
yang satu dengan yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang has.
Sebagai mana Pura pada umumnya, areal Pura Adhitya Jaya juga tediri atas Tri Mandala.
1. NISTA MANDALA/JABA SISI
Nista Mandala ialah areal Pura paling luar yang masih meqjadi satu kesatuan dengan Pura.
Mencari Nista, Mandala Pura Adhitya Jaya bisa masuk dari Jalan Daksinapati atau dari Jalan DI.
Panjaitan (bypass) dengan melewati Candi Bentar.
Pada Nista Mandala ini ada bangunan Pasraman tempat pembinaan umat, seperti Sekolah Minggu
Agama Hindu (untuk SD sampai SMU), dan juga untuk kuliah Sekolah Tinggi Agama Hindu
(STAH) Jakarta. Selain itu terdapat kantin untuk menikmati berbagai makanan khas Bali dan jugar
menjual buku-buku agama Hindu, bangunan untuk pelaksanaan manusa yadnya berupa Bale Gede,
dapur, dan rumah tunggu. Di sudut barat laut dan di depan jalan keluar Pura bagian timur terdapat
Bedogol.
2. MADYA MANDALA/JABA TENGAH
Masuk ke Madya Mandala dapat dari arah barat (pintu utama) atau timur dengan melalui Candi
Bentar.
Pada Madya Mandala terdapat bangunan Perantenan serta Balai Wantilan yang berfungsi sebagai
tempat menyiapkan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (Pujawali).
Wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan berbagai tari baik tari sakral yang berkaitan
dengan upacara atau tari profan yang relevan dengan upacara Pujawali yang bersifat hiburan.
Kadangkala
di
Wantilan
ini
juga
diselenggarakan
dharma
tula.
3. UTAMA MANDALA
Untuk masuk ke Utama Mandala melewati Kori Agung dengan 3 pintu yaitu pintu utama dan 2
pintu lagi di kanan kirinya. Pada Utama Mandala terdapat bangunan antara lain, Padmasana,
Pengrurah, Pelinggih Taman Sari, Pelinggih Beji Bale Pepelik, Pemujaan/Pemiosan.

MENETAPKAN PEMEDAL.

24

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara
menetapkan pemedal sebagai berikut :
1) Ukur lebar halaman dengan tali.
2) Panjang tali itu dibagi tiga.
3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan
lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan
tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam
ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan
gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan,
demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting
untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH.


Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu
"depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak
nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan
tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud
dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan
dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi
melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan
dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga
menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak
pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak
dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak
selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak
ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku
bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.

25

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali,
maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih:
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang
memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan,
dan
PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang
bersifat sebagai penunjang adalah :
PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari
piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun
BALE GONG, tempat gambelan,
BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten
sebelum masuk ke Utama Mandala.
BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat
kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada
dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah".
Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti :
Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya
masing-masing.
Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan"
yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan
Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung
Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan
"Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan,
siang dan malam, dharma dan adharma, dll.
Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan
Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa
inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan
Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa
mempertahankan Agama Hindu di Bali.
26

Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong
Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang
mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita
(istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben,
dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang
diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan
di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak
bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan ke teben
kanan.

E. ARTI DAN MAKSUD RAGAM HIAS11


Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti
dan maksud-maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol
dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada
bangunan-bangunan, peralatan dan perlengkapan.
1 Ragam Hias Untuk Keindahan
Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan
suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat
mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu
bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.
2 Ragam Hias Sebagai Simbolis
Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat
mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna
juga merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning
untuk warna kauh atau Barat, putih untuk warna kangin atau Timur,
hitam untuk warna kaja dan penyatuan dua bersisian untuk warna sudut.
Bentuk-bentuk hiasan pepalihan menyimbulkan pula tingkat ketinggian
bangunan yang dihias.
11

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986. Hal 331

27

3 Ragam Hias Sebagai Alat Komunikasi


Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunanbangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan
yang dikenakan. Hiasan serba putih pada Wade wadah yang berbentuk
padma, menunjukkan fungsinya untuk Pedanda. Jumlah tumpang atap
Bade, Wadah atau Meru juga menunjukkan fungsinya. Hiasan peralatan
dan perlengkapan upacara juga sebagai alat komunikasi.
FLORA
Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar
belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Cerita-cerita
pewayangan, legenda dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan atau
pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagi macam tumbuhtumbuhan yang menunjang penampilannya.
Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis
atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk
pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing.
Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan
perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.
1. Keketusan
Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang
dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya.
Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun
lebar dengan lengkung-lengkung keindahan. Keketusan wangga umumnya
ditatahkan pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisancat perada warna
emas pada lembar-lembar kain hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola
bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau
bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan
berpola tumbuh-tumbuhan jalar ataujalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar
jalaran dan sulur-sulur di sel-sel bunga-bunga dan dedaunan.
2. Kekarangan

28

Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan


yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada
bagian-bagian keindahan.
Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa
dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya
simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan
dibagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan bade wadah,
bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya.

Simbar
Patra Wangga
Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan
kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut
bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.
Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam
bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk
lain dipakai singa bersayap atau garuda. Karangan suring yang diukir dalamdalam, memungkinkan karena tiang tugeh bebas beban.
Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atu
jenis fauna yang dikarang keindahannya.
3. Pepatraan
Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalm patern-patern yang
disebut patra atau pepatraan. Pepatraan yang juga banyak didasrkan pada bentukbentuk keindahan flora menamai pepatraan dengan jenis flora yang diwujudkan.
Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan negara asalnya
ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu.Ragam hias yang
tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat juga diwujudkan
dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang kuat untuk

29

penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam penterapannya dapat bervariasi


sesuai kreasi masing-masing seniman. Sangging yang merancang tanpa
meninggalkan pakem-pakem identitasnya.
-

Patra Wangga
Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi
lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur
di sela-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong
keketusan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan
penampilan bagian bagian keindahannya.

Patra Sari
Bentuknya menyerupai flora dan jenis berbatang jalar melingkarlingkar timbal balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan
identitas pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bungabunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra Sari
dapat digunakan pada bidang bidang lebar (gb. 1770 atas, dan
umumnya

untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat variasi

karena lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun


bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

Patra Bun-bunan

30

Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-bunan


(tumbuh-tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun
dan bunga dirangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan julurjulur dari batang-batang jalar.

Patra Pidpid
Juga melukiskan flora dari sejenis daun bertulang tengah dengan daundaun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang
dilukiskan penempatannnya pada bidang-bidang sempit.

Patra Punggel
Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkunglengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada yang disebut
batun poh, kuping guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola
patern Patra Punggel merupakan pengulangan dengan lengkung timbal
balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atau bangunan.
Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-bidang lebar atau
bervariasi/kombinasi dengan patra lainnya.

Patra Samblung

31

Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern


yang disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung
dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung harmonis.
Serupa dengan Patra Samblung ada patra olanda. Patra
cina,patra bali, masing masing dengan nama kemungkinan negara
asalnya. Ada pula patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra
yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan
identitas baru.

Patra pae
Mengambil

bentuk

tumbuh-tumbuhan

sejenis

kapu-kapu

yang

dipolakan berulang dalam deretan memanjang.

Patra Ganggong
Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan
dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Patra Batun Timun

32

Bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan


diagonal dalam susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias
dengan bentuk-bentuk patra mas-masan setengah bidang.

Patra Sulur
Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur
bercabang-cabang tersusun berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam
bentuk tiga jalur batang jalar teranyam nerulang.

Patra bun dengan motif


Mengambil bentuk dasar yang menyerupai patra wangga patra
punggel, patra sari, patra samblung. Bentuk-bentuk dasar divariasi
dengan motif-motif cerita pewayangan, cerita rakyat, cerita dari dunia
fauna atau dengan gabungan beberapa patra yang disesuaikan.

Bentuk.
Ragam hias yang digunakan dalam bangunan-bangunan tradisional
diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, pepulasan,pepalihan dan lelengisan.
Beberapa bangunan ada pula yang menterapkan beberapa bentuk dalam satu
bangunan.
1. Ukiran
Elemen-elemen bangunan, bebeturan, tiang-tiang dan kerangka atap yang
dihias dengan jenis-jenis flora diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran. Bidangbidang datar dengan ukuran relief, bidang-bidang tepi, batas dan sudut-sudut
diukir dengan bentuk-bentuk ukiran timbul. Massa-massa terlepas seperti
patung-patung topeng dan massa-massa lainnya juga dihias dengan bentuk-

33

bentuk ukiran. Bahan-bahan kayu dan batu merupakan bahan ukuran untuk
hiasan-hiasan bangunan.
2. Tatahan
Untuk hiasan-hiasan pada bidang-bidang lembaran logam atau kertas
dipakai bentuk-bentuk tatahan. Tatahan pada kertas umumnya tembus seperti
pepatraan hiasan pada bangunan bade atau bukur. Pada lembar-lembar logam
seperti hiasan pada emas, perak, tembaga atau perunggu ditatah timbul
tenggelam tanpa atau sebagian tembusan. Untuk tatahan logam umumnya
dikerjakan pada landasan-landasan pembentuk.
3. Pepulasan
Bentuk-bentuk hiasan yang diterapkan pada bidang-bidang kayu yang
dihaluskan atua kain-kain hias dibentuk dengan pepulasan. Untuk bahan
pepulasan digunakan jenis-jenis cat minyak perada cat mas atau ramuan
pewarna tradisional. Untuk pepulasan umumnya dipakai warna-warna polos.
4. Pepalihan
Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan, batu
untuk pelinggih-pelinggih pemujaan atau Bale Kulkul, pepalihan dengan berbagi
macam variasi yang berpedoman pada pakem-pakem dasar pepalihan. Macammacam pepalihan ada yang disebut palih begenda, palih wayah, palih bacean,
palih taman sari, bagian-bagian sesuatu pepalihan yang disebut cakep gula,
cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung, ringring, bogem, bunga tuwung
dengan berbagai kombinasi dan variasi.
Bentuk-bentuk pepalihan umumnya tanpa ukiran. Keindahan bentuk pada
variasi permainan garis-garis pepalihan.
5. Lelengisan
Bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentuk-bentuk hiasan dengan
permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang hiasan dan penonjolan
bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk hiasan lelengisan umumnya disatukan
dengan hiasan pepalihan.

34

Warna
Ragam hias pada bangunan-bangunan tradisional umumnya menampakkan
warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam merupakan penonjolan
keindahan hiasan.
Kelembutan atau keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung oleh
kelembutan atau keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau
jenis-jenis kayu yang diukir.

Cara Membuat
Untuk membuat ragam hias flora atau jenis lainnya umumnya dibuat
dengan cara pahatan. Untuk fungsi-fungsi tertentu dibuat dengan cara tatahan
yang ditempelkan, pewarnaan, tempelan atau akit-akitan.
1. Pahatan
Bahan dasar dari batu alam atau batu buatan dalam bentuk tunggal atau
susunan pasangan, juga dari jenis-jenis kayu tertentu untuk bahan ukiran
diukir dengan pahat pengukir. Pahat pengukir dalam satu set ada sekitar 35
buah dengan berbagai ukuran lebar mata, lengkung dan atau rata atau
beberapa buah. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sulit seperti liku-liku dasr,
rongga-ruang, serat-serat beralur dibuatkan pahat-pahat khusus. Pahatan
pembentukan topeng atau patung pahatt dilengkapi dengan pisau lancip yang
disebut pengutik dan pisau lancip lengkung yang disebut pangot. Palu
pemukul pahat dibuat dari kayu keras disebut pangotok atau semeti.
Bahan ukiran dirancang sesuai dengan hiasan flora atau jenis lainnya yang
akan dipahat. Pekerjaan bakalan dikerjakan dengan pahat pembakal,
dibentuk dihaluskan dan diselesaikan.
2. Tatahan yang ditempel / diwarna
Untuk tatahan ada yang ditatah timbul tenggelam pada lembaran atau
bentuk dari logam dan ada yang ditatah tembus pada hiasan-hiasan yang
bahannya dari kertas atu kulit sapi yang dihaluskan. Tatahan melukiskan
bentuk-bentuk hiasan dengan menenggelamkan atau melubangi bagianbagian yang bukan merupakan satu jenis flora yang ditimbulkan. Tatahna
pada kulit keras yang dihaluskan seperti pada pembuatan wayang,

35

pembuatan hiasan busana seni tari tradisional tatahan tembus diberi warna
pulasan atau warna perada kuning emas. Tatahan pada kulit pada umumnya
dengan pepatraan yang kebanyakan menterapkan patra punggel dengan
berbagi variasinya sesuai dengan bentuk lembar hiasan yang ditatah.
3. Pasangan Batu
Hiasan pepalihan atau lelengisan pad bebaturan bangunan dengan
pasangan batu atau batu buatan disusun dengan pasangan batu. Propil-propil
batu yang telah dibentuk sesuai dengan pola-pola hiasan dipasang dalam
susunan yang membentuk bentuk hiasan bebaturan.
4. Akit-akitan
Bangunan tradisional yang bersifat sementara dan memerlukan hiasan,
umumnya dihias dengan akit-akitan atau elemen-elemen keranggka yang
diakit. Contohnya Bade Wadah unutuk ngaben. Dengan kontryuksi akitakitan bangunan sementara dapat dikerjakan dnegan cepat, indah dan cukup
ringan. Untuk hiasan penutup rangka ditempelkan kertas-kertas berwarna
dengan tatahan tembus dipasang diatas kertas dasar. Pada beberapa bagian
dipakai pula kapas berwarna yang dilekatkan membentuk patra-patra hiasan.
5. Pewarna
Hiasan tradisional pada bangunan sarana upacara dan ruang dalam atau
bagian-bagian di dalam ruang umumnya memakai hiasan pewarnaan.
Hiasan-hiasan bersama kain-kain penghias ruangan juga dibuat dari
pewarnaan dalam bentuk-bentuk patraan flora atau fauna.
Penempatan
Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya ditempatkan
sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dari pepatraan, patra wangga, patra
sari, patra punggel, dan patra bun-bunan penempatannya pada bidang yang cukup
luas. Pepatraan patra samblung, patra pae, patra ganggeng dan yang merupakan polapola yang berulang memanjang penempatannya pada bidang-bidang panjang seperti
pada hiasan- hiasan bingkai.

36

Pembuat.
Ragam hias dalam berbagai macam dan bentuknya dibuat oleh Undagi atau
Sanging sesuai dengan fungsi hiasan atau bangunan yang akan dihias . beberapa
bentuk hiasan tertentuyang mengandung arti magic atau symbol-simbol upacara
dikerjakan oleh Sangging atau Undagi yang telah mampu menguasai mantra dan caracara dalam proses pembuatannya. Tukang, didalam ragam hias fungsinya untuk
membantu Sanging atau Undagi dalam menyelesaikannya. Peranan Undagi adalah
untuk merancang dan melaksanakan bangunan yang dibuat. Rancangan dimensi
disebut gegulak dengan tabikan-tabikan dimensi untuk masing-masing sisi lebar, tebal
panjang

atau tinggi elemen. Sanging fungsinya sebagai pembuat ragam

hias,merancang dan mengenakan hiasan dalam suatu proses yang umumnya disertai
upacara. Undagi atau Sangging umumnya bekerja sama dan masing-masing dibantu
oleh pembantu-pembantunya. Sanging, selain membuat hiasan-hiasan pada bangunanbangunan, juga membuat hiasan-hiasan busana adat dan busana tari, beda-benda
sarana, perlengkapan da peralatan upacara agama umumnya dibuat oleh Sanging.

FAUNA
Dijadikan materi hiasan dalam bentuk ukiran-ukiran, tatahan atau pepulasan.
Penterappannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa
bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk
menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan
yang merupakan pola tetap, relief yang bervariasi dari berbagai macam binatang dan
patung dari beberapa macam jenis binatang. Hiasan faunu pada penempatannya
umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.
Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil beberapa
jenis kera dari cerita Ramayana. Patung-patyung sebagai souvenir biasanya
mengambil bentuk-bentuk garuda, singa, naga, harimau, kera, sapi dan binatang
ternak lainnya.
Ukiran fauna sebagai bidang-bidang relief pada dinding, panil atau bagian
bidang lainnya umumnya menerapkan cerita-cerita rakyat yang melegenda.

37

Penampilan fauna dalam bentuk-bentuk patung bercorak Expresionis pada kekarangan


bercorak abstrak dan realis pada relief.
Fauna sebagai hiasan dan berfungsi sebagai

bentuk-bentuk patung yang

disebut Pratima.Patung berbentuk, patung sebagai bagian bangunan Berbentuk


Bedawang Nala. Fauna sebagai corac magic lengkap dengan hurup-hurup symbol
mantra-mantra. Fauna sebagai elemen bangunan

yang berfungsi juuga sebagai

ragam hias dikenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk garuda, singa, singa
bersayap dan bentuk-bentuk lainnya.
Nama.
Ragam hias dari dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan
dalam

berbagai

macam

dengan

namanya

masing-masing.

Bentk-bentuk

penampilannya berupa patung, kekarangan atau relief-relief yang dilengkapi pepatran


dari berbagai jenis flora.

1. Kekarangan.
Penampilannya ekspresionis, meninggalkan bentuk dasar dari fauna yang
diekspresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk
binatang gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal primitif
lainnya dinamai dengan nama-nama binatang yang dijadikan bentuknya.

Karang Boma
Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap
dengan hiasan dan mahkota,diturunkan dari cerita Boamantaka.
Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan
tangan dari pergelangan kearah jari dengan jari-jari mekar.Karang
Boma biasanya dilengkapi ddengan bun-bunan atau patra punggel.
Ditempatkan sebagai hiasan diatas lubang pintu dari Kori Agung atau
pada Wade wadah dan di beberapa tempat sebagai hiasan elemen lepas
seperti papan nama diatas meja, papan hiasan gamelan dan bentuk
hiasan-hiasan serupa.

Karang Sae

38

Berbentuk kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi


runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan
seperti pada karang boma. Penampilannya dilengkapi dengan hiasan
flora patra punggel dan patra bun-bunan. Hiasan karang sae
ditempatkan diatas pintu kori atau pintu rumah dan beberapa tempat
lainnya.

Karang Sae

Karang Boma

Karang Asti
Disebut juga gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil
bentuk gajah yang diabstrakkan sasuai dengan seni hias yang
diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan
kepala gajah lengkap dengan belalai dan taring gadingnya bermata
bulat. Hiasan flora patra punggel melengkapi kearah pipi asti. Sesuai
kehidupannya di tanah, karang asti ditempatkan sebagai hiasan sudutsudut bebaturan bagian bawah.

Karang Goak
Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula
karang manuk karena serupa dengan kepala ayam dengan penekanan
pada paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dengan gigigigi runcing dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau
gagak yang bersayap, Hiasan Karang Goak atau Karang Manuk
ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas.Karang Goak
sebagai hiasan pada bagian kepala dan pipi dilengkapi dengan hiasan
pattra punggel. Karang Goak biasanya disatukan dengan karang simbar
dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah karang goak.

39

Karang Tapel
Serupa dengan karang boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya
dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung
kedepan lidah terjulur, Tapel adalah topeng, bagian muka yang diambil
dari berbagai jenis muka galak. Hiasan kepala dan pipi menggunakan
patra punggel. Ke arah bawah kepala menggunakan karang simbar dari
jenis flora yang disatukan.Karang tapel ditempatkan sebagai peralihan
bidang di bagian tengah.

Karang Bentulu
Bentuknya serupa dengan karang tapel lebih kecil dan lebih sederhana.
Tempatnya di bagian tengah atau peralihan bidang di bidang tengah.
Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas, gigi datar taring runcing
lidah terjulur. Bermata satu di tengah tanpa hidung.Hiasan kepala dan
pipi Patra punggel yang disatukan. Kearah bawah, karang simbar yang
disatukan merupakan suatu kesatuan Karang Bentulu.

Karang Asti

Karang Goak

Karang Tapel

Bentuk-bentuk karangan lainnya, Karang Simbar dari jenis


flora, Karang Batu dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari jenis flora
40

sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau peralihan bidang yang


berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.

41

You might also like