Professional Documents
Culture Documents
Pura Kahyangan Tiga
Pura Kahyangan Tiga
pekarangan
yang
dibatasi
tembok
penyengker.
Tata
zoning
pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bagian
utamanya adalah Bale Agung sehingga ada juga yang menyebutnya Pura Bale
Agung. bangunan Bale Kulkul merupakan bangunan yang menempati sudutsudut depan pekarangan Pura. Bangunan wantilan dengan luas yang cukup
besar dibangun di jaba sisi untuk kegiatan bersama pada upacara di Pura Desa.
Pintu masuk memakai Candi Bentar dari Jaba sisi ke Jaba tengah dan Kori
Agung dari Jaba tengah ke Jeroan. Ada pula yang dilengkapi pintu betelan kea
rah samping untuk hubungan dengan bangunan bangunan samping.
PURA PUSEH
Tempatnya di pusat Desa berdekatan atau menjadi satu bersebelahan dengan
Pura Desa. Tata zoning pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba
1
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
2
Artikel Balinese Hinduism Temple
pintu
masuk,
batas
pintu
masuk,
yang
Tengah
(Madya
Mandala).
Sumber : www.murni'sinbalionlineshop.com
tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk
dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya.
Mandala
dilarang
untuk
berbicara,
bercakap-cakap,
lebih-lebih
Demikian
pula
Dwara
Pala
(Penjaga
Pintu)
berfungsi
untuk
3. PADMASANA
Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga teratai; dan Asana
berarti sikap dalam yoga atau sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma
adalah salah satu simbul kesucian dalam agama Hindu, karena teratai ini
walaupun hidup dalam lumpur namun tak sedikitpun lumpur dapat menempel
pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbul
bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan (noda).
Teratai ini berhelai mahkota bunga delapan buah (asta dala), dijadikan simbul
stana Asta Dewata (delapan manifestasi Prabhawa Hyang Widhi). Bunga Padma
(8 helai) dengan sarinya menunjukkan sembilan arah yang dikaitkan dengan
Dewata Nawa Sangga dengan wijaksaranya Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-NangMang-Sing-Wang-Yang. Atau di suarakan pula dengan: Sa-Ba-Ta-A-I-Na-Ma-SiWa-Ya.
Bangunan suci ini disebut Padmasana karena memang pada bagian atas (tempat
duduk) bangunan terdapat lambang Padma.
BENTUK
BANGUNAN
PADMASANA:
(Bedawang
Nala)
kemudian
dibelit/dipegang
oleh
Naga
Anantabhoga dan Naga Basuki. Di atasnya, pepalihan dasar, madya dan puncak
yang penuh dengan ornamen seperti karang asti/gajah, karang paksi/goak, pai dan
bermacam-macam patra.
Paling atas berbentuk kursi (tempat duduk) Asana dan pada bagian belakang
bangunan terdapat patung Garuda dan Angsa.
Bila dikaitkan dengan Upa Weda yaitu Itihasa, maka bangunan Padmasana adalah
lambang gunung dalam usaha Dewa dan Raksasa untuk mendapatkan tirta amerta
yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal.
Pemutaran Mandara Giri di Ksira Arnawa, oleh para Dewa dan Yaksa di mana
Dewa Wisnu berawatara menjadi Kunna (empas) untuk menyangga agar Gunung
Mandara tidak tenggelam, dan agar gunung tidak lepas/pecah, maka Basuki dan
Anantabhoga yang membelitnya. Anantabhoga sebagai simbul pangan (makanan
yang tak terhingga) dan Basuki sebagai simbul air yang mengalir dari gunung.
Terdapat berbagai jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan yang dilukiskan dengan
karang asti, pai, dan patra. Garuda sebagai lambang pembebasan dari keterikatan,
diambil dari metologi Garuda mencari tirta amertha ke sorga untuk membebaskan
ibunya dari perbudakan dengan jalan Garuda siap menjadi wahana Dewa Wisnu.
Pada bagian atas dibuatlah seperti tempat duduk (asana) yang tidak beratap
sebagai simbul bahwa kekuasaan Hyang Widhi tidak terbatas.
Lambang Acintya adalah sebagai simbul Hyang Widhi yang tidak terpikirkan.
Acintya berbentuk seperti manusia yang luar biasa, setiap ruasnya memakai
senjata (bunga api) dan berdiri di atas kaki kiri. Kiri sebagai simbul pradana atau
sakti sehingga lis sebelum dipakai diberi kekuatan dengan tangan kiri.
Dengan demikian bentuk Padmasana adalah simbul pemutaran Mandara Giri
untuk mendapatkan tirta amertha atau air suci (hidup kekal abadi) bagi siapa saja
yang meminumnya.
Jadi hidup abadi adalah bersatu dengan Sang Pencipta, maka hendaklah manusia
mencari dan memuja Tuhan melalui Padmasana.
FUNGSI
PADMASANA:
Padmasana
berfungsi
sebagai:
1)
Stana
Hyang
Widhi
dalam
segala
Maksudnya:
Tuhan Sadasiwa ialah sawyaparah (bersenyawa
dengan
hukum
kemahakuasaan-Nya).
Ada
Padmasana?
(kemahakuasaan)Nya
meliputi
Yaitu
sakti
Wibhusakti,
menjadi
wujud
Beliau.
4. PANGLURAH/PENGRURAH
Bangunan Anglurah/Pengrurah
ini
berbentuk
5. BALE PAPELIK/PENGARUMAN
Pepelik/Pengaruman ini berbentuk seperti rumah beratapkan ijuk. Bangunan ini
berfungsi untuk menstanakan para dewa yang dimohon/dipuja untuk hadir pada
waktu upacara Pitiawali atau pada hari raya lainnya seperti hari raya Galungan,
Kuningan, Saraswati dan sebagainya.
Pada upacara Pujjawali, Bale Pepelik/Pengaruman ini di pergunakan untuk
menempatkan pratima/tapakan/pelinggih Bhatara dari Pura-pura lain yang hadir
pada
waktu
upacara
Pujawali.
6. TAMAN SARI
Taman sari merupakan salah satu pelinggih yang menjadi bagian dari bangunan
Pura. Pelinggih Taman Sari ini terletak di areal jeroan.
Dilihat dari nama Pelinggih ini terdiri dari dua suku kata yaitu Taman berarti
tempat yang indah di mana terdapat sari yang berarti bunga atau kembang.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat PemuJaan Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirta. Di tempat inijuga memohon
Tirta Amartha atau air suci yang dapat memberikan sumber kehidupan dari segala
yang hidup di dunia ini. Air suci dari Taman Sari ini dialirkan ke dalam telaga atau
kolam melalui pancoran yang disebut Beji
7. PELINGGIH BEJI
Beji adalah tempat pensucian pratima. Pelinggih Beji ini berbentuk tugu atau
Padmasari, tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Sang
Hyang Taya. Yang mempunyai fungsi sebagai pembersih, penyuci segala leteh
(kotoran), mala petaka, sebel (kotor) dan lain-lain.
Tirtha yang diambil (dimohon) dari Beji pada umumnya dipergunakan sebagai
penglukatan, pembersihan untuk melukat (pembersihan) banten (sajen) dan juga
sebagai pamarisuda umat yang hendak melaksanakan persembahyangan di Pura.
Bale
Each courtyard may have several little pavillions called
bale. These bale may be as simple as a roofed structure
supported by four pillars with cement or stone floors.
For a village temple, the orchestra will be housed in
one of these bale.5
8. BALE PAWEDAN
Bale Pawedan merupakan bagian bangunan suci yang ada di Pura (Jeroan). Bale
artinya tempat atau bangunan, Pawedan artinya pemujaan.
Fungsi Bale Pawedan dilihat dari artinya adalah sebagai tempat pemujaan oleh
Pandita, Pinandita atau Sulinggih pada saat Pujawali atau pada hari-hari suci
lainnya.
Bale Pawedan sering ditafsirkan hanya semata-mata tempat duduk Pandita,
Pinandita atau Sulinggih dalam pengertian orang. Padahal yang berstana di Bale
Pawedan adalah Dewa Siwa, pada waktu Pandita, atau Sulingglh
memula/maweda, karena Pandita saat memuja Beliau menstanakan Dewa Siwa
dalam dirinya.
Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : www.indo.com
Dari sisi lain peralatan yang digunakan Pandita, atau Sulinggih disebut Siwa
Karana, itu sebagai pertanda/simbul bahwa yang berstana disana adalah Siwa.
Kulkul
Kulkul is a hollow log that functions similar to a
church bell; it is used to call together the village
community. In a village temple, it is usually housed in a
tower whose base is elaborately decorated with
carvings. Sounding the kulkul has its own language;
different rhythms of hitting the kulkul will communicate
different reasons for the gathering of the village.6
9. BALE KULKUL
Secara umum kulkul (kentongan) mempunyai fungsi untuk memberikan isyarat
tertentu kepada masyarakat. Misalnya: Kulkul Desa (Banjar) berfungsi sebagai
syarat atas kejadian tertentu di desa tersebut sesuai dengan irarna suara kulkul itu,
seperti irama (suara) sebagai tanda untuk kerja bakti, irama sebagai tanda terjadi
kebakaran dan sebagainya. Sedangkan untuk di Pura bunyi kulkul berfungsi
sebagai isyarat:
Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : www.indo.com
10
upacara Pujawali mulai, agar masyarakat/umat siap sedia baik yang masih di
luar agar segera masuk ke Pura untuk ikut ambil bagian dalam upacara
Pujawali.
ada Pratima yang rawuh/datang agar para petugas (tukang banten, pemangku)
yang memendak segera melaksanakan tugasnya.
pratima dari suatu Pura meninggalkan Pura tersebut dan pengiring yang masih
ada di sekitar Pura agar segera bersiap/ bergabung untuk mepamit (pulang).
10. TUGU
Bentuk bangunan denah bujursangkar dengan luas sekitar 0,6 m x 0,6 m, tinggi
sekitas 2, terdiri dari 3 bagian yaitu kepala / tepas batur tenggek, badan dan kak.
Dari bawah mengecil kearah atas dengan hiasan hiasan yang serasi. Bagian
kepala bidang bidang parangan membentuk ruang tempat sesajen. Bahan
bangunan umumnya batu alam yang banyak dipakai batu padas, batu karang laut,
batu bata atau jenis jensi batu lainnya sejenis atau campuran. Konstruksi
11
keseluruhan bagian dari karangan rapi dengan perekat alus. Bentuk hiasan ukiran
berupa pepalihan dan lelengisan.
Fungsi bangunan untuk pelinggih atau menstanakan sarwa bhuta khala, dengan
atau roh-roh halus lainnya. Letakk bangunan lainnya di bagian depan atau di
bagian teben kelod atau kauh.7
11. GEDONG
Bentuknya serupa dengan tugu, hanya bagian kepala terbaut dari konstruksi kayu,
atapnya alang-alang, ijuk atau bahan bahan penutup atap lainnya yang
disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.bagian badan dan kaki atau batur dan
tepas, pasangan batu harus rapi tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan.
Fungsi bangunan gedong ada berbagai macam sesuai dengan tempatnya di
pamrajan, di pura, di khayangan atau tempat tempat tertentu.tata letak gedong,
bentuk konstruksi atap dan ketentuan ketentuan lain menentukan atau sesuai
dengan fungsi Gedong atau yang dipuja pad agedong tersebut. Pemakaian bahan,
penyelesaian konstruksi danhiasannya sesuai tingkatan utama, madia dan
7
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
12
sederhana suatu pura yang ditempatinnya. Selain gedong dalam bentuknya yang
umum ada pula gedong dalam bentuknya yang umum ada pula gedong dengan
bentuk dan fungsi tertentu. Gedong dengan dua ruangan atau gedong kembar.
Komposisi orientasi dan tata letak gedong disesuaikan dengan yang dipuja.
Umumnya bangunan gedong sebagia tempat pemujaan menghadap ke barat dari
jajaran kaja kelod atau utara selatan.
Dasar dasar ukuran gedong, proporsi bebaturan dan rangka ruangnya didasarkan
pada ketentuan tradisional.
11. MERU
Bentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat tingkat yang disebut atap
tumpang, jumlah tumpang atap selalu ganjil, meru tumpang 3, 5 ,7, 9 dan 11
sebagai tingkat tertinggi.
Bagian bagian meru yatiu terdiri dari bagian kepala, badan, kaki masing
masing atap, ruang pemujaan dan bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat
pemujaan Tuhan Yangm Maha Esa, Dewa-dewa dan Leluhur. Bentuk bentuk
meru konstruksi rangka di atas bebaturan merupakan konstruksi tahan gempa yang
lebih tahan dibandingkan dengan candi atau bentuk bentuk lain bangunan
pemujaan yang tinggi. Variasi meru pada bebaturan, rangka ruang pemujaan
bentuk bentuk atap dan bidang bidang antara tumpang tumpang atap.
13
Bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong terbuka tiga sisi kedepan dan
sisi sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.
14
bangunan
sakenem
tipe
astasari
tingkatan
pura
temapt
penyajian
serangkaian
Bangunan
Bale
15
Piyasan terbuka tiga atau keempat sisi, letaknya disisi barat halaman atau sisi lain
menghadap kearah tempat pemujaan Meru, Gedong atau Padmasana. Atap
bangunan dari alang alang, bahan- bahan bangunan lainnya dari klas khusus
untuk bangunan bangunan pemujaan.
sisi.
Bentuk
bangunan
bangunan
keperluan
Pura.
dari
Fungsi
tergantung
besarnya
suatu
bangunan
untuk
upacara
dipersiapkan
di
yang
perlu
Pura
yang
sekitar
20
m2,
belakang
berbatasan
bangunan
untuk
tempat
adalah
menabuh
lainnya.
16
20. PENGGUNAAN
Merupakan bangunan tiang empat dengan atap pelana balai balai tinggi luasnya
sekitar 2m2. letaknya di bagian selatan menghadap ke utara atau ke jabaan.bentuk
bangunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten upacara.
Bangunaan Penggunaan di bangun di beberapa pura yang tergolong besar dan
sering melakukan pemujaan utama.
21. WANTILAN
Wantilan sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai
atau bale bale yang ditempatkan. Dalam perkembangannya wantilan juga
dilengkapi dengan kursi sebagai temapt duduk untuk bermusyawarah atau
fungsinya yang lain.
Letak wantilan dalam suatu pekarangan di tengah agak ke tepi dengan ruang luar
sekitarnya dapat merupakan perluasan dari keterbukaannya pada keempat
sisi.dalam fungsi fungsi tertentu wantilan juga dilengkapi dengan ruang ruang
pentas dan ruang ruang lainnya.8
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
9
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
17
Bangunan tempat pemujaan terdiri dari tiga unsur Tri Hita Karana yang dipuja
di suatu pura sebagai jiwa yang dijadikan tempat pemujaan sebagai fisik yang
melaksanakan pemujaan sebagai tenaga. Untuk suatu kehidupan diperukan adanya
jiwa fisik dan tenaga.
Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian bagian kepala, badan
dan kaki atau atap, rangka ruang dan bebaturan masing masing dengan bentuk
bentuk yang sesuai dengan fungsinya.
Bebaturan
Bentuknya sederhana berupa pasangan batu alam atau batu dasar segi
empat tinggi disesuaikan, dengan macam dan fungsi bangunan nya.
Untuk yang madia tepas di bagian bawah bebaturan dan sari di
banguan atas bebaturan. Bentuknya yang utama bagian bagian
bebaturan tepas batur dan sarinya bertumpang diulang beberapa kali
sesuai dengan tingkat keutamaannya. Bebaturan utama terlihat jelas
pada bagian Candi, Padmasana, Bale Kulkul dan Bade Wadah.bentuk
bentuk pepalihan dan hiasan juga menentukan keutamaan bebaturan.
Tepas atau repas ujan merupakan bidang dasar bangunan antara
pondasi dan pasangan bebaturan. Bahan bangunan untuk bebaturan
adalah bata pasangan telanjang siar rapi atau batu batu alam jenisjenis pada atau buntek laut. Jenis jensi hiasan memakai pepelok
penyu kambang, lamak, pepalihan dan pepateran kekarangan. Bagian
sari dia tas batur dengan bidang taled antara bebaturan dan sari. Untuk
bebaturan tinggi utama sari berulang tumpang dua tatu tiga kali
mengecil pada setiap tumpang. Hiasan sari dnegan bentuk cakep sari
atau gula sari pada sudut sudut tepi bidang bidang slimar denga
kekarangan. Karang asti dan karang batu di bawah, karang simbar dan
karang bunga di tengah dan karang goak atau karang manuk di bagian
atas. Pepalihan dan pepateran timbul dari kreasi kreatifitas perancang,
undafi atau sangging yang mengerjakannya.
Rangka Ruang
18
19
Kepala
Kepala
(Utama Angga)
(Utama Angga)
Badan
Badan
(Madya Angga)
(Madya Angga)
Kaki
Kaki
(Kanista Angga)
(Kanista Angga)
Nama Gbr : Konsep Tri Angga
Sbr : Bali Trevel
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa
(symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan
hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura,
pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan
Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan.
Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan
pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai
berikut :
1) Tujuan Asta Bumi adalah :
a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi.b)
Mendapat vibrasi kesucian.
c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi.
2) Luas halaman :
a) Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran
10
20
"depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku
atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa :
1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5,
7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran
yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa
: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6x5, 13x6, 18x13. Jika halaman sangat luas,
misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura
Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan
itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang
dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19x15),
5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke
Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18x13), 5x(18x13),
7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).
21
HULU-TEBEN.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan
dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu
yaitu
1) Arah Timur, dan
2) Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah
menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar
benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika
memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas.
Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai
kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian
seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan
memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara
dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi
sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat
misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk
halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan
pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul,
penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu :
1) Utama Mandala,
22
23
A. TRI MANDALA
Pengertian kata Tri Mandala berasal dari kata Tri yang berarti tiga dan Mandala berarti wilayah.
Jadi, Tri Mandala adalah 3 (tiga) wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap Pura dan antara mandala
yang satu dengan yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang has.
Sebagai mana Pura pada umumnya, areal Pura Adhitya Jaya juga tediri atas Tri Mandala.
1. NISTA MANDALA/JABA SISI
Nista Mandala ialah areal Pura paling luar yang masih meqjadi satu kesatuan dengan Pura.
Mencari Nista, Mandala Pura Adhitya Jaya bisa masuk dari Jalan Daksinapati atau dari Jalan DI.
Panjaitan (bypass) dengan melewati Candi Bentar.
Pada Nista Mandala ini ada bangunan Pasraman tempat pembinaan umat, seperti Sekolah Minggu
Agama Hindu (untuk SD sampai SMU), dan juga untuk kuliah Sekolah Tinggi Agama Hindu
(STAH) Jakarta. Selain itu terdapat kantin untuk menikmati berbagai makanan khas Bali dan jugar
menjual buku-buku agama Hindu, bangunan untuk pelaksanaan manusa yadnya berupa Bale Gede,
dapur, dan rumah tunggu. Di sudut barat laut dan di depan jalan keluar Pura bagian timur terdapat
Bedogol.
2. MADYA MANDALA/JABA TENGAH
Masuk ke Madya Mandala dapat dari arah barat (pintu utama) atau timur dengan melalui Candi
Bentar.
Pada Madya Mandala terdapat bangunan Perantenan serta Balai Wantilan yang berfungsi sebagai
tempat menyiapkan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (Pujawali).
Wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan berbagai tari baik tari sakral yang berkaitan
dengan upacara atau tari profan yang relevan dengan upacara Pujawali yang bersifat hiburan.
Kadangkala
di
Wantilan
ini
juga
diselenggarakan
dharma
tula.
3. UTAMA MANDALA
Untuk masuk ke Utama Mandala melewati Kori Agung dengan 3 pintu yaitu pintu utama dan 2
pintu lagi di kanan kirinya. Pada Utama Mandala terdapat bangunan antara lain, Padmasana,
Pengrurah, Pelinggih Taman Sari, Pelinggih Beji Bale Pepelik, Pemujaan/Pemiosan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
24
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara
menetapkan pemedal sebagai berikut :
1) Ukur lebar halaman dengan tali.
2) Panjang tali itu dibagi tiga.
3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan
lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan
tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam
ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan
gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan,
demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting
untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
25
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali,
maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih:
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang
memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan,
dan
PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang
bersifat sebagai penunjang adalah :
PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari
piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun
BALE GONG, tempat gambelan,
BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten
sebelum masuk ke Utama Mandala.
BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat
kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada
dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah".
Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti :
Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya
masing-masing.
Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan"
yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan
Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung
Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan
"Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan,
siang dan malam, dharma dan adharma, dll.
Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan
Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa
inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan
Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa
mempertahankan Agama Hindu di Bali.
26
Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong
Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang
mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita
(istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben,
dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang
diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan
di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak
bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan ke teben
kanan.
Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986. Hal 331
27
28
Simbar
Patra Wangga
Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan
kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut
bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.
Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam
bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk
lain dipakai singa bersayap atau garuda. Karangan suring yang diukir dalamdalam, memungkinkan karena tiang tugeh bebas beban.
Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atu
jenis fauna yang dikarang keindahannya.
3. Pepatraan
Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalm patern-patern yang
disebut patra atau pepatraan. Pepatraan yang juga banyak didasrkan pada bentukbentuk keindahan flora menamai pepatraan dengan jenis flora yang diwujudkan.
Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan negara asalnya
ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu.Ragam hias yang
tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat juga diwujudkan
dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang kuat untuk
29
Patra Wangga
Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi
lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur
di sela-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong
keketusan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan
penampilan bagian bagian keindahannya.
Patra Sari
Bentuknya menyerupai flora dan jenis berbatang jalar melingkarlingkar timbal balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan
identitas pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bungabunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra Sari
dapat digunakan pada bidang bidang lebar (gb. 1770 atas, dan
umumnya
Patra Bun-bunan
30
Patra Pidpid
Juga melukiskan flora dari sejenis daun bertulang tengah dengan daundaun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang
dilukiskan penempatannnya pada bidang-bidang sempit.
Patra Punggel
Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkunglengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada yang disebut
batun poh, kuping guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola
patern Patra Punggel merupakan pengulangan dengan lengkung timbal
balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atau bangunan.
Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-bidang lebar atau
bervariasi/kombinasi dengan patra lainnya.
Patra Samblung
31
Patra pae
Mengambil
bentuk
tumbuh-tumbuhan
sejenis
kapu-kapu
yang
Patra Ganggong
Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan
dalam bentuk berulang berjajar memanjang.
32
Patra Sulur
Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur
bercabang-cabang tersusun berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam
bentuk tiga jalur batang jalar teranyam nerulang.
Bentuk.
Ragam hias yang digunakan dalam bangunan-bangunan tradisional
diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, pepulasan,pepalihan dan lelengisan.
Beberapa bangunan ada pula yang menterapkan beberapa bentuk dalam satu
bangunan.
1. Ukiran
Elemen-elemen bangunan, bebeturan, tiang-tiang dan kerangka atap yang
dihias dengan jenis-jenis flora diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran. Bidangbidang datar dengan ukuran relief, bidang-bidang tepi, batas dan sudut-sudut
diukir dengan bentuk-bentuk ukiran timbul. Massa-massa terlepas seperti
patung-patung topeng dan massa-massa lainnya juga dihias dengan bentuk-
33
bentuk ukiran. Bahan-bahan kayu dan batu merupakan bahan ukuran untuk
hiasan-hiasan bangunan.
2. Tatahan
Untuk hiasan-hiasan pada bidang-bidang lembaran logam atau kertas
dipakai bentuk-bentuk tatahan. Tatahan pada kertas umumnya tembus seperti
pepatraan hiasan pada bangunan bade atau bukur. Pada lembar-lembar logam
seperti hiasan pada emas, perak, tembaga atau perunggu ditatah timbul
tenggelam tanpa atau sebagian tembusan. Untuk tatahan logam umumnya
dikerjakan pada landasan-landasan pembentuk.
3. Pepulasan
Bentuk-bentuk hiasan yang diterapkan pada bidang-bidang kayu yang
dihaluskan atua kain-kain hias dibentuk dengan pepulasan. Untuk bahan
pepulasan digunakan jenis-jenis cat minyak perada cat mas atau ramuan
pewarna tradisional. Untuk pepulasan umumnya dipakai warna-warna polos.
4. Pepalihan
Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan, batu
untuk pelinggih-pelinggih pemujaan atau Bale Kulkul, pepalihan dengan berbagi
macam variasi yang berpedoman pada pakem-pakem dasar pepalihan. Macammacam pepalihan ada yang disebut palih begenda, palih wayah, palih bacean,
palih taman sari, bagian-bagian sesuatu pepalihan yang disebut cakep gula,
cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung, ringring, bogem, bunga tuwung
dengan berbagai kombinasi dan variasi.
Bentuk-bentuk pepalihan umumnya tanpa ukiran. Keindahan bentuk pada
variasi permainan garis-garis pepalihan.
5. Lelengisan
Bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentuk-bentuk hiasan dengan
permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang hiasan dan penonjolan
bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk hiasan lelengisan umumnya disatukan
dengan hiasan pepalihan.
34
Warna
Ragam hias pada bangunan-bangunan tradisional umumnya menampakkan
warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam merupakan penonjolan
keindahan hiasan.
Kelembutan atau keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung oleh
kelembutan atau keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau
jenis-jenis kayu yang diukir.
Cara Membuat
Untuk membuat ragam hias flora atau jenis lainnya umumnya dibuat
dengan cara pahatan. Untuk fungsi-fungsi tertentu dibuat dengan cara tatahan
yang ditempelkan, pewarnaan, tempelan atau akit-akitan.
1. Pahatan
Bahan dasar dari batu alam atau batu buatan dalam bentuk tunggal atau
susunan pasangan, juga dari jenis-jenis kayu tertentu untuk bahan ukiran
diukir dengan pahat pengukir. Pahat pengukir dalam satu set ada sekitar 35
buah dengan berbagai ukuran lebar mata, lengkung dan atau rata atau
beberapa buah. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sulit seperti liku-liku dasr,
rongga-ruang, serat-serat beralur dibuatkan pahat-pahat khusus. Pahatan
pembentukan topeng atau patung pahatt dilengkapi dengan pisau lancip yang
disebut pengutik dan pisau lancip lengkung yang disebut pangot. Palu
pemukul pahat dibuat dari kayu keras disebut pangotok atau semeti.
Bahan ukiran dirancang sesuai dengan hiasan flora atau jenis lainnya yang
akan dipahat. Pekerjaan bakalan dikerjakan dengan pahat pembakal,
dibentuk dihaluskan dan diselesaikan.
2. Tatahan yang ditempel / diwarna
Untuk tatahan ada yang ditatah timbul tenggelam pada lembaran atau
bentuk dari logam dan ada yang ditatah tembus pada hiasan-hiasan yang
bahannya dari kertas atu kulit sapi yang dihaluskan. Tatahan melukiskan
bentuk-bentuk hiasan dengan menenggelamkan atau melubangi bagianbagian yang bukan merupakan satu jenis flora yang ditimbulkan. Tatahna
pada kulit keras yang dihaluskan seperti pada pembuatan wayang,
35
pembuatan hiasan busana seni tari tradisional tatahan tembus diberi warna
pulasan atau warna perada kuning emas. Tatahan pada kulit pada umumnya
dengan pepatraan yang kebanyakan menterapkan patra punggel dengan
berbagi variasinya sesuai dengan bentuk lembar hiasan yang ditatah.
3. Pasangan Batu
Hiasan pepalihan atau lelengisan pad bebaturan bangunan dengan
pasangan batu atau batu buatan disusun dengan pasangan batu. Propil-propil
batu yang telah dibentuk sesuai dengan pola-pola hiasan dipasang dalam
susunan yang membentuk bentuk hiasan bebaturan.
4. Akit-akitan
Bangunan tradisional yang bersifat sementara dan memerlukan hiasan,
umumnya dihias dengan akit-akitan atau elemen-elemen keranggka yang
diakit. Contohnya Bade Wadah unutuk ngaben. Dengan kontryuksi akitakitan bangunan sementara dapat dikerjakan dnegan cepat, indah dan cukup
ringan. Untuk hiasan penutup rangka ditempelkan kertas-kertas berwarna
dengan tatahan tembus dipasang diatas kertas dasar. Pada beberapa bagian
dipakai pula kapas berwarna yang dilekatkan membentuk patra-patra hiasan.
5. Pewarna
Hiasan tradisional pada bangunan sarana upacara dan ruang dalam atau
bagian-bagian di dalam ruang umumnya memakai hiasan pewarnaan.
Hiasan-hiasan bersama kain-kain penghias ruangan juga dibuat dari
pewarnaan dalam bentuk-bentuk patraan flora atau fauna.
Penempatan
Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya ditempatkan
sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dari pepatraan, patra wangga, patra
sari, patra punggel, dan patra bun-bunan penempatannya pada bidang yang cukup
luas. Pepatraan patra samblung, patra pae, patra ganggeng dan yang merupakan polapola yang berulang memanjang penempatannya pada bidang-bidang panjang seperti
pada hiasan- hiasan bingkai.
36
Pembuat.
Ragam hias dalam berbagai macam dan bentuknya dibuat oleh Undagi atau
Sanging sesuai dengan fungsi hiasan atau bangunan yang akan dihias . beberapa
bentuk hiasan tertentuyang mengandung arti magic atau symbol-simbol upacara
dikerjakan oleh Sangging atau Undagi yang telah mampu menguasai mantra dan caracara dalam proses pembuatannya. Tukang, didalam ragam hias fungsinya untuk
membantu Sanging atau Undagi dalam menyelesaikannya. Peranan Undagi adalah
untuk merancang dan melaksanakan bangunan yang dibuat. Rancangan dimensi
disebut gegulak dengan tabikan-tabikan dimensi untuk masing-masing sisi lebar, tebal
panjang
hias,merancang dan mengenakan hiasan dalam suatu proses yang umumnya disertai
upacara. Undagi atau Sangging umumnya bekerja sama dan masing-masing dibantu
oleh pembantu-pembantunya. Sanging, selain membuat hiasan-hiasan pada bangunanbangunan, juga membuat hiasan-hiasan busana adat dan busana tari, beda-benda
sarana, perlengkapan da peralatan upacara agama umumnya dibuat oleh Sanging.
FAUNA
Dijadikan materi hiasan dalam bentuk ukiran-ukiran, tatahan atau pepulasan.
Penterappannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa
bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk
menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.
Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan
yang merupakan pola tetap, relief yang bervariasi dari berbagai macam binatang dan
patung dari beberapa macam jenis binatang. Hiasan faunu pada penempatannya
umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.
Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil beberapa
jenis kera dari cerita Ramayana. Patung-patyung sebagai souvenir biasanya
mengambil bentuk-bentuk garuda, singa, naga, harimau, kera, sapi dan binatang
ternak lainnya.
Ukiran fauna sebagai bidang-bidang relief pada dinding, panil atau bagian
bidang lainnya umumnya menerapkan cerita-cerita rakyat yang melegenda.
37
ragam hias dikenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk garuda, singa, singa
bersayap dan bentuk-bentuk lainnya.
Nama.
Ragam hias dari dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan
dalam
berbagai
macam
dengan
namanya
masing-masing.
Bentk-bentuk
1. Kekarangan.
Penampilannya ekspresionis, meninggalkan bentuk dasar dari fauna yang
diekspresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk
binatang gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal primitif
lainnya dinamai dengan nama-nama binatang yang dijadikan bentuknya.
Karang Boma
Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap
dengan hiasan dan mahkota,diturunkan dari cerita Boamantaka.
Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan
tangan dari pergelangan kearah jari dengan jari-jari mekar.Karang
Boma biasanya dilengkapi ddengan bun-bunan atau patra punggel.
Ditempatkan sebagai hiasan diatas lubang pintu dari Kori Agung atau
pada Wade wadah dan di beberapa tempat sebagai hiasan elemen lepas
seperti papan nama diatas meja, papan hiasan gamelan dan bentuk
hiasan-hiasan serupa.
Karang Sae
38
Karang Sae
Karang Boma
Karang Asti
Disebut juga gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil
bentuk gajah yang diabstrakkan sasuai dengan seni hias yang
diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan
kepala gajah lengkap dengan belalai dan taring gadingnya bermata
bulat. Hiasan flora patra punggel melengkapi kearah pipi asti. Sesuai
kehidupannya di tanah, karang asti ditempatkan sebagai hiasan sudutsudut bebaturan bagian bawah.
Karang Goak
Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula
karang manuk karena serupa dengan kepala ayam dengan penekanan
pada paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dengan gigigigi runcing dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau
gagak yang bersayap, Hiasan Karang Goak atau Karang Manuk
ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas.Karang Goak
sebagai hiasan pada bagian kepala dan pipi dilengkapi dengan hiasan
pattra punggel. Karang Goak biasanya disatukan dengan karang simbar
dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah karang goak.
39
Karang Tapel
Serupa dengan karang boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya
dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung
kedepan lidah terjulur, Tapel adalah topeng, bagian muka yang diambil
dari berbagai jenis muka galak. Hiasan kepala dan pipi menggunakan
patra punggel. Ke arah bawah kepala menggunakan karang simbar dari
jenis flora yang disatukan.Karang tapel ditempatkan sebagai peralihan
bidang di bagian tengah.
Karang Bentulu
Bentuknya serupa dengan karang tapel lebih kecil dan lebih sederhana.
Tempatnya di bagian tengah atau peralihan bidang di bidang tengah.
Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas, gigi datar taring runcing
lidah terjulur. Bermata satu di tengah tanpa hidung.Hiasan kepala dan
pipi Patra punggel yang disatukan. Kearah bawah, karang simbar yang
disatukan merupakan suatu kesatuan Karang Bentulu.
Karang Asti
Karang Goak
Karang Tapel
41