You are on page 1of 24

UNIVERSITAS INDONESIA

NETWORKED ORGANIZATION

TERM PAPER

Amir Syafrudin 1306346771


Dodik Sunaryo 1306346903
Elyana Agustin 1306346916
Erwin Maryadi 1306430845
Karyanto Wijaya 1306430952
Rina Wahyuni 1306431116

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INFORMASI


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS INDONESIA
2014

1.

PENDAHULUAN
Salah satu warisan dari era industri yang masih digunakan hingga saat ini

adalah struktur organisasi yang hierarkis. Hierarki dalam organisasi tersebut


disusun sedemikian rupa untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahan fatal yang
dapat menyebabkan kerugian besar dengan membatasi pengambilan keputusan
dan aktivitas-aktivitas dalam organisasi terkait. Pembatasan ini dilakukan melalui
pemisahan yang kaku pada sisi tanggung jawab, jenis pekerjaan, pengawasan
(supervisi) langsung, dan akses terhadap informasi dan aset yang dimiliki oleh
organisasi. Hal ini berlaku untuk seluruh pegawai dan unit kerja di dalam
organisasi tersebut agar tidak ada pegawai atau unit kerja yang dapat mengambil
keputusan atau melakukan tindakan yang dapat membahayakan organisasi
(Applegate, Austin, & Soule, 2009).
Berikutnya adalah mekanisme pengendalian (kontrol). Sesuai dengan
strukturnya, mekanisme pengendalian dalam organisasi hierarkis pun bersifat
hierarkis, yaitu suatu mekanisme pengendalian yang dilakukan melalui
pemeriksaan yang bertingkat. Di tingkat paling bawah, pengendalian dilakukan
berdasarkan aktivitas, yaitu setiap pegawai diberikan instruksi mengenai aktivitasaktivitas yang harus mereka lakukan dan pengawas (supervisor) mereka akan
memastikan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut benar-benar dilakukan. Hal yang
sama berlaku juga untuk para manajer. Kinerja para manajer pun dinilai
berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil dari penilaian ini
yang akan mengarahkan perhatian dan aktivitas setiap manajer agar dapat
dikoordinasikan dengan aktivitas dari unit-unit kerja yang lain sehingga tetap
selaras dengan tujuan dan sasaran organisasi (Applegate, Austin, & Soule, 2009).
Walaupun begitu, di balik struktur organisasi yang mengedepankan
koordinasi dan pengendalian ini, pergerakan dan pertumbuhan organisasi terkait
justru dapat terhambat. Hierarki organisasi memang mampu meminimalisir
kompleksitas dalam sebuah organisasi (Applegate, Austin, & Soule, 2009), yaitu
dengan mendelegasikan kompleksitas kepada tingkat yang ada di bawahnya. Akan
tetapi, informasi yang ada di dalam organisasi tersebut tidak dapat bergerak cepat
karena harus melalui tingkat-tingkat dalam hierarki. Informasi tidak bisa langsung

sampai kepada pihak yang seharusnya memiliki informasi tersebut. Selain itu,
seiring dengan perpindahan informasi dari tingkat yang satu ke tingkat yang
lainnya, risiko terjadinya distorsi informasi pun semakin besar.
Masalah yang mungkin timbul akibat lambatnya aliran informasi ini
menjadi hal yang lumrah dalam organisasi hierarkis, misalnya dalam hal
pengambilan keputusan. Pegawai tingkat bawah di dalam organisasi hierarkis
umumnya tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Jadi, saat ada
sebuah ancaman atau peluang yang tidak biasa dihadapinya, pegawai tersebut
harus memberikan laporan dulu kepada atasan langsungnya untuk menentukan
tindak lanjut yang tepat. Laporan itu akan terus bergerak naik ke tingkat yang
lebih tinggi hingga mencapai pihak yang berwenang untuk mengambil keputusan
terkait. Keputusan tersebut kemudian akan bergerak turun kembali ke pegawai
yang bersangkutan agar pegawai tersebut dapat melakukan tindakan yang sesuai
untuk merespon ancaman atau peluang yang muncul. Akan tetapi, ada
kemungkinan bahwa pada saat itu, respon yang diberikan sudah kehilangan
momentumnya.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran perihal bahaya laten hierarki dalam
sebuah organisasi. Sifat kaku yang tidak terpisahkan dari sebuah hierarki dapat
menghambat gerakan sebuah organisasi; organisasi menjadi kurang responsif.
Saat sebuah organisasi tidak bisa memberikan respon yang cepat pada saat yang
tepat, organisasi tersebut berisiko merugi akibat terlambat mengatasi sebuah
ancaman atau terlambat mengambil peluang yang dapat menguntungkan
organisasi. Lambatnya respon organisasi ini pada dasarnya diakibatkan oleh
lambatnya aliran informasi menuju pihak yang berwenang di dalam hierarki
organisasi. Pada akhirnya, lambatnya aliran informasi ini bukan hanya
menghambat pergerakan organisasi, tapi juga menghambat pertumbuhan
organisasi karena lambatnya aliran informasi itu dapat mengakibatkan hilangnya
potensi keunggulan kompetitif yang dimiliki organisasi tersebut.
Hilangnya potensi keunggulan kompetitif akibat lambatnya aliran informasi
itu semakin jelas terlihat di era Internet ini. Perkembangan Internet dan TI
(teknologi informasi) secara umum telah mendobrak berbagai batasan-batasan
yang sebelumnya ada dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi. Internet

telah membentuk sebuah masyarakat yang terhubung sehingga batasan geografis


tidak lagi menjadi kendala. Adanya aplikasi-aplikasi instant messaging seperti
Google Talk, content sharing network seperti Youtube dan Dropbox, real-time
collaboration tools seperti Google Docs, social networking websites seperti
Twitter dan LinkedIn, dan berbagai aplikasi lainnya bukan hanya mendobrak
berbagai batasan yang ada, tapi juga memperkenalkan cara-cara baru yang lebih
efektif dan efisien dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi.
Perubahan-perubahan yang dibawa Internet itu semakin menguat seiring
dengan tingkat penetrasi dan penggunaan smartphone yang terus bertambah
tinggi. Layanan-layanan yang biasa diakses dengan menggunakan web browser di
PC atau laptop sudah dapat diakses dengan menggunakan perangkat smartphone.
Berkomunikasi dan berkolaborasi pun menjadi semakin mudah dilakukan dengan
meluasnya penggunaan smartphone di dalam masyarakat. Masyarakat pun
menjadi lebih terhubung dengan satu sama lain, lebih mudah mendapatkan
informasi yang diperlukan, dan lebih efisien dalam melakukan kegiatan sehariharinya. Perubahan dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi ini bukan
hanya merubah pola hidup masyarakat, tapi juga merubah harapan dan tuntutan
masyarakat terhadap berbagai layanan publik yang tersedia.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, setiap organisasi harus melakukan
berbagai perubahan dalam cara kerja mereka. Salah satu hal yang perlu diubah
adalah struktur organisasi hierarkis yang membuat respon dan gerakan organisasi
menjadi lambat. Setiap organisasi perlu mengadopsi struktur organisasi yang lebih
fleksibel dengan memanfaatkan TI untuk mempermudah penyebaran informasi
sehingga keputusan-keputusan dapat diambil dengan cara yang lebih efektif dan
efisien. Struktur organisasi yang dapat mengatasi masalah pada struktur organisasi
hierarkis dikenal dengan istilah networked dan organisasi yang menerapkan
struktur ini disebut dengan istilah networked organization.
2.

Definisi dan Karakteristik Networked Organization


Definisi

dan

karakteristik

networked

organization

sudah

banyak

berkembang. Salah satunya adalah definisi dari Achrol (1997) yang menyatakan
bahwa networked organization adalah sistem yang dibentuk oleh sekumpulan

individu dengan peran dan tanggung jawab yang sudah ditentukan sebelumnya.
Networked organization merupakan wujud dari kebutuhan organisasi untuk
berinteraksi antara satu sama lain dengan tujuan untuk membangun hubungan
kerja dan meningkatkan kualitas kinerja dan proses bisnis organisasi terkait. Hal
ini sejalan dengan tren dan kebutuhan organisasi untuk memaksimalkan peran TI
dalam berkomunikasi agar organisasi terkait menjadi lebih responsif dan mampu
bekerja secara efektif dan efisien (Eraslan, Bulu, & Turkay, 2008).
Sedikit berbeda dengan Achrol (1997), Sviokla et al. (2004) memberikan
definisi yang lebih spesifik. Dalam definisinya, Sviokla et al. mengedepankan
istilah struktur n-form untuk merepresentasikan struktur di dalam networked
organization. Berbeda dengan struktur hierarkis yang memiliki batasan kaku
antara fungsi dan divisi, struktur n-form mengadopsi bentuk sarang lebah madu
yang merepresentasikan hubungan antara fungsi dan divisi yang lebih menyatu
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Struktur n-form


Menurut Sviokla et al., organisasi yang ingin menerapkan struktur n-form
tersebut perlu menerapkan beberapa prinsip, yaitu:
Informasi harus didistribusikan ke seluruh organisasi.
Pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan harus fleksibel.
Keterampilan karyawan harus dievaluasi dan ditingkatkan secara konstan.
Pembentukan kepercayaan, hubungan, dan jaringan harus menjadi prioritas.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Sviokla et al. (2004) sejalan dengan
karakteristik networked organization yang dikemukakan Applegate et al. (2009),
antara lain:
Aktivitas dan proses bisnis berjalan sinkron dengan aliran informasi di
dalam organisasi.
Informasi yang beredar di dalam organisasi cenderung bersifat real-time.

6
Setiap pegawai memiliki akses terhadap berbagai informasi di dalam
organisasi yang relevan untuk mengambil keputusan dan mengambil
tindakan untuk mencapai sasaran organisasi.
Manajemen dan pelaporan berjalan selaras dengan aliran informasi di dalam
organisasi.
Pihak manajemen perlu memiliki keterampilan yang memadai dalam
melakukan analisis terhadap data dan informasi.
Struktur organisasi tidak bertingkat dan berorientasi pada tim.
Perencanaan dan koordinasi dilakukan secara langsung melalui sarana
komunikasi yang tersedia dan dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai
kebutuhan.
Sejalan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Applegate et al.
(2009), Tamoinait (2011) menyatakan bahwa networked organization adalah
organisasi yang fleksibel dengan struktur yang cenderung rata (tidak memiliki
banyak tingkat) dan mengedepankan komunikasi berbasis TI tanpa dibatasi
struktur, ruang, dan waktu dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam organisasi
tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, Tamoinait menentukan beberapa
karakteristik untuk networked organization, yaitu:
Struktur organisasi cenderung rata (tidak memiliki banyak tingkat).
Tidak dibatasi struktur dalam komunikasi antar pegawai atau unit kerja..
Lokasi unit-unit kerja bisa terpusat atau tersebar.
Memaksimalkan

penggunaan

TI

dalam

menjalankan

fungsi-fungsi

organisasi.
Sviokla et al. memang tidak secara eksplisit menegaskan mengenai
pemanfaatan TI sebagai salah satu prinsip dalam menjalankan networked
organization, tapi distribusi informasi, baik secara internal maupun eksternal (ke
pelanggan dan pemasok), akan berjalan dengan efektif dan efisien bila TI
dimanfaatkan secara maksimal. Hal yang sama juga berlaku untuk komunikasi
yang lebih efektif dan efisien seperti yang dikemukakan oleh Achrol. Applegate et
al. (2009) juga mengemukakan bahwa akses terhadap informasi dan jaringan
komunikasi yang memadai merupakan 2 (dua) faktor utama yang diperlukan
untuk membentuk networked organization. Kedua faktor tersebut menjadi

mungkin seiring dengan berkembangnya TI, baik dari sisi aplikasi maupun
infrastruktur. Oleh karena itu, seperti juga dikemukakan oleh Applegate et al.
(2009) dan Tamoinait (2011), pemanfaatan TI yang maksimal merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari networked organization.
Mekanisme dan urgensi penyebaran informasi di dalam organisasi menjadi
perbedaan paling nyata antara hierarchical organization dengan networked
organization, tapi perbedaannya tidak terbatas pada akses dan distribusi informasi
semata. Aliran informasi di dalam networked organization ini (yang cenderung
bersifat real-time) pada akhirnya memiliki dampak tersendiri terhadap pola
manajemen di dalam organisasi terkait. Dampaknya bukan hanya pada
fleksibilitas (Sviokla, Schneider, Calkins, & Quirk, 2004), tapi juga pada
manajemen kompleksitas dalam kaitannya dengan kontrol di dalam organisasi
(Applegate, Austin, & Soule, 2009).
Hierarchical organization menerapkan mekanisme kontrol yang bertingkat.
Ini berarti kompleksitas aktivitas dan proses yang ada di satu tingkat akan
diserahkan ke beberapa bagian pada tingkat di bawahnya seperti halnya manajer
tingkat atas yang mendelegasikan tanggung jawabnya kepada manajer tingkat
menengah. Sebaliknya di dalam networked organization, kompleksitas bukan
didelegasikan, melainkan ditangani secara langsung. Hal ini dimungkinkan
dengan penyebaran informasi yang bersifat real-time dan didukung oleh teknologi
yang memadai (dan dipahami dengan baik) untuk melakukan analisis terhadap
informasi tersebut. Hal ini tentu saja menuntut standar keterampilan tertentu dari
para individu di tingkat manajemen dan para eksekutif di dalam organisasi
tersebut (Applegate, Austin, & Soule, 2009).

3.

Manfaat Networked Organization


Networked organization tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan

kecepatan pengambilan keputusan dan respon sebuah organisasi. Masih ada


manfaat-manfaat lain yang didapat dengan membentuk dan menjalankan
networked organization. Salah satu manfaat lain tersebut adalah memudahkan
berbagi resources (sumber daya) yang dimiliki oleh organisasi tersebut (Gulati,

Dialdin, & Wang, 2002), antara lain:


1. Financial Resources.
Dalam beberapa kasus, penerapan networked organization memungkinkan
organisasi

untuk

mempertahankan

mendapatkan
efisiensi

akses

kegiatan

yang

operasional

diperlukan
organisasi

dalam
dan

memungkinkan organisasi untuk berinvestasi sehingga dapat meningkatkan


pertumbuhan organisasi tersebut. Salah satu contoh spesifik di mana hal ini
dapat terjadi adalah ketika organisasi membuka akses terhadap informasi di
dalam sistem keuangan organisasi sehingga memudahkan individu-individu
atau tim-tim dalam berbagi sumber daya keuangan dan peluang bisnis
(Ingram & Inman, 1996; Keister, 1998).
2. Institutional Resources.
Penerapan networked organization dapat memudahkan organisasi dalam
berbagi sumber daya dalam hal ini sumber daya institusi dalam jaringan
organisasi tersebut, sumber daya tersebut dapat berupa legitimasi dan status
organisasi dari mana mereka berasal. Distribusi sumber daya ini dapat
membantu menjaga keberlangsungan kegiatan operasional serta kinerja
keuangan bagi orang-orang yang bekerja untuk organisasi tersebut (Baum &
Oliver, 1991; Khanna & Palepu, 1999). Sebagai contoh, sebuah studi kasus
mengenai rantai organisasi Hotel Manhattan menunjukkan bahwa hotel
yang bergabung dalam jaringan hotel besar, yang memiliki reputasi dan
kualitas pelayanan yang lebih tinggi, akan menurunkan keluhan pelanggan
terhadap

kualitas

pelayanan

hotel

tersebut

sehingga

hotel

yang

pelayanannya bermasalah itu dapat terus beroperasi dengan lancar (Ingram


& Baum, 1997).
3. Knowledge and Information Resources.
Informasi dan pengetahuan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap
organisasi. Penerapan networked organization dapat dipastikan akan
memberikan kemudahan untuk berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di
dalam organisasi terkait. Infrastruktur jaringan komunikasi akan menjadi
saluran utama untuk menyebarkan pengetahuan, baik yang sudah ada
maupun yang baru diperoleh, sehingga semua anggota dapat segera

mengaksesnya. Dalam sebuah studi praktek difusi total quality management


(TQM) bahwa jaringan rumah sakit adalah media penting untuk transmisi
dan difusi praktik TQM antara rumah sakit sehingga pembelajaran dan
inovasi dari para anggota rumah sakit dapat terus ditingkatkan (Westphal,
Gulati, & Shortell, 1997).

4.

Model Networked Organization


Pada prinsipnya ada 2 (dua) jaringan dalam organisasi yang bisa menjadi

penggerak terjadinya perubahan atau pergeseran bentuk organisasi (Alvarez &


Ferreira, 1995). Jaringan pertama adalah jaringan intra organisasi yang mencakup
aktivitas organisasi antar unit bisnis atau antar fungsi bisnis dalam suatu
organisasi. Jaringan kedua adalah jaringan inter organisasi yang mencakup
aktivitas membangun koneksi dalam rangka memperluas batasan dari organisasi
termasuk membangun hubungan yang menguntungkan antara pemasok,
pelanggan, dan bahkan pesaing. Perluasan batasan organisasasi dengan pihak lain
tersebut dilakukan melalui beberapa cara antara lain melalui perjanjian kerja
informal, joint venture, pembentukan aliansi strategis, atau melalui kerjasama riset
dan pengembangan.
Dari jaringan (keterhubungan) intra dan inter organisasi itu terdapat 3 (tiga)
pola dasar yang dapat dikatakan sebagai bentuk jaringan organisasi sebagaimana
diungkapkan oleh Snow, Miles, dan Coleman (1992), yang dikenal dengan istilah
internal network (Gambar 2), stable network (Gambar 3), dan dynamic network
(Gambar 4). Internal network lebih terkait dengan jaringan intra organisasi,
sedangkan stable network dan dynamic network lebih terkait dengan jaringan inter
organisasi. Jika dilihat dari sudut pandang keuntungan organisasi yang strukturnya
merupakan kesatuan antara proses birokrasi internal yang dipengaruhi oleh
tekanan pasar, maka internal network lebih menggambarkan mekanisme yang
terjadi pada sisi birokrasi di dalam organisasi, dynamic network lebih
menggambarkan sisi pasarnya, sedangkan stable network merupakan kombinasi di
antara keduanya (Alvarez & Ferreira, 1995).

10

Gambar 2: Internal network


Snow et al. (1992) mengungkapkan bahwa internal network merupakan
struktur organisasi dengan unit-unit yang beroperasi secara mandiri tanpa
melibatkan banyak outsourcing. Organisasi yang memiliki struktur seperti ini
menerapkan mekanisme pasar di dalam organisasinya sehingga masing-masing
unit berinteraksi layaknya penjual dan pembeli. Harapannya adalah pertukaran
(transaksi) antar unit yang diatur oleh harga pasar dapat mendorong inovasi dan
daya saing. Di dalam internal network ini juga dikenal istilah broker yang
berfungsi

sebagai

operator atau manajer

utama

yang bertugas

untuk

mengoperasikan keseluruhan unit dalam organisasi dan berperan sebagai network


architect, lead operator, dan network caretaker. Dengan kata lain, berdasarkan
yang dikemukakan juga oleh Miles dan Snow (1992), proses interaksi antar unit
dalam organisasi dengan menerapkan mekanisme pasar itu pada prinsipnya juga
merepresentasikan keseluruhan value chain organisasi (Alvarez & Ferreira, 1995).
Tipe jaringan yang kedua adalah stable network yang merupakan interaksi
antara kumpulan organisasi independent yang terhubung ke satu organisasi utama.
Organisasi utama yang di maksud di sini melakukan mekanisme outsource pada
sebagian fungsi substansial dalam organisasi. Aset dan risiko yang dihadapi
organisasi pun didistribusikan ke sejumlah organisasi independent lainnya baik
secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Proses ini yang mencerminkan satu
kesatuan value chain organisasi dengan tipe stable network. Organisasi yang
bertipe stable network ini umumnya terlibat hubungan jangka panjang dengan

11

pemasok yang turut berkontribusi terhadap peningkatan keahlian (expertise)


perusahaan induknya.

Gambar 3: Stable network


Tipe jaringan yang ketiga adalah dynamic network yang merupakan model
yang paling dekat dengan sisi pasar. Di model ini, mekanisme outsource diperluas
dan perusahaan induk diasumsikan bertugas menghubungkan dan menangani
proyek atau produk tertentu sementara aset tetap dimiliki oleh perusahaan
independent yang lain. Ketika sebuah proyek selesai maka jaringan yang
terbentuk sebelumnya akan memisahkan diri dan akan membentuk jaringan baru
(dengan anggota dan konfigurasi yang berbeda) untuk proyek berikutnya atau
untuk mencapai tujuan lain sesuai kebutuhan organisasi.

Gambar 4: Dynamic network

12

5.

Penerapan Networked Organization


Penerapan networked organization ini mungkin terlihat mudah. Yang

diperlukan untuk membentuk dan menjalankan networked organization hanya


pemanfaatan TI yang maksimal untuk meningkatkan kecepatan komunikasi dan
penyebaran informasi. Bila komunikasi dan penyebaran informasi sudah berjalan
dengan cepat, maka pengambilan keputusan dan tindakan pun akan berjalan
dengan cepat. Individu-individu atau tim-tim di dalam organisasi terkait dapat
mengambil keputusannya sendiri dan mengambil tindakan yang tepat dan cepat
saat menghadapi ancaman atau menemukan peluang. Koordinasi dan manajemen
di dalam organisasi pun akan berubah mengikuti pola pengambilan keputusan
yang cepat.
Pemahaman seperti di atas, ditambah dengan manfaat-manfaat lainnya yang
didapat dari networked organization, membuat organisasi merasa perlu beralih
dari hierarchical organization ke networked organization. Akan tetapi, pada
kenyataannya, penerapan networked organization tidak semudah itu. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan saat sebuah organisasi beralih dari
hierarchical organization ke networked organization. Applegate et al. (2009)
menyebutkan 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Kecepatan tidak boleh mengorbankan kontrol. Semakin cepat aliran
informasi dan pergerakan organisasi, semakin tinggi pengawasan yang
dibutuhkan. Mekanisme pengawasan harus diperkuat agar mampu
mengimbangi kecepatan pengambilan keputusan dan tindakan yang diambil
oleh individu atau tim di dalam networked organization.
Pemberdayaan tidak sama dengan anarki. Memberikan keleluasaan lebih
bagi para individu atau tim di dalam sebuah organisasi untuk mengambil
keputusan tidak berarti pihak manajemen semakin menarik diri dari kegiatan
operasional organisasi. Pihak manajemen justru harus lebih banyak terlibat
untuk mengawasi dan memastikan agar kegiatan operasional itu searah
dengan tujuan dan sasaran organisasi.
Perubahan bukan sebatas struktur. Perubahan struktur organisasi harus
diikuti dengan perubahan proses bisnis, budaya organisasi, cara kerja, dan

13

kompetensi individu-individu di dalam organisasi agar seluruh elemen di


dalam organisasi bergerak ke arah yang sama.
Yang dikemukakan oleh Applegate et al. (2009) di atas melengkapi
langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk penerapan networked organization
sebagaimana dijelaskan sebelumnya oleh Sviokla et al. (2004), yaitu:
Membangun

infrastruktur

penyebaran

informasi

yang

memadai.

Infrastruktur yang dimaksud harus mendukung proses bisnis yang ada


seraya membuka peluang untuk penambahan proses bisnis yang baru akibat
terjadinya pergeseran struktur organisasi.
Meningkatkan keterampilan bagi seluruh anggota organisasi. Seiring dengan
bertambah cepatnya penyebaran informasi, tanggung jawab masing-masing
individu di dalam organisasi tersebut pun ikut bertambah luas sehingga
setiap individu harus memiliki keterampilan lebih, khususnya untuk
mengolah informasi yang didapat dan mengambil keputusan berdasarkan
informasi tersebut.
Membangun budaya berbasis kepercayaan. Dengan meningkatnya kuantitas
informasi yang dapat diakses oleh seseorang di dalam organisasi dan
keleluasaan untuk mengambil keputusan secara langsung mengharuskan
adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara pihak manajemen dan orangorang di bawahnya sehingga dapat dipastikan bahwa setiap orang bergerak
ke arah yang sama untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
Rogers dan Davis-Peccoud (2011) mengambil pendekatan yang berbeda,
yaitu dengan melihat dari sudut pandang pengambilan keputusan. Melalui
pendekatan ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar networked
organization tetap terkendali, antara lain:
Menetapkan orang yang berperan mengambil keputusan. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, setiap orang di dalam networked organization memiliki
keleluasaan untuk mengambil keputusan. Hal ini memang merupakan
karakteristik networked organization, tapi dalam penerapannya, orang-orang
yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus jelas, terutama dalam
pengambilan keputusan-keputusan yang penting bagi organisasi.
Memastikan aliran informasi yang transparan dan konsisten. Transparansi

14

dan konsistensi dalam hal ini akan membantu membentuk kesamaan


persepsi di setiap anggota organisasi sehingga keputusan yang diambil pun
akan lebih tepat.
Membiasakan

budaya

kerja

lintas

batas.

Karakteristik

networked

organization yang fleksibel tidak serta merta membuat orang-orang yang


berada di dalamnya ikut fleksibel karena setiap orang memiliki
kecenderungan untuk mengurus urusannya sendiri. Bila budaya kerja lintas
batas tidak terbentuk, maka nilai tambah kolaborasi yang menjadi
keunggulan networked organization tidak akan tercapai dan batasan-batasan
kaku justru akan terbentuk dengan sendirinya.
5.1

Contoh Penerapan Networked Organization di Enron


Ekbia (2007) melakukan penelitian mengenai kesuksesan dan kegagalan

Enron dalam menerapkan networked organization di perusahaannya. Kondisi


networked organization di Enron cenderung fokus pada belanja produksi yang
memang bersifat critical bagi perusahaan. Enron menerapkan networked
organization pada perusahaannya dengan mengadopsi model network enterprise
yang dipaparkan oleh Castells (2001); salah satu contohnya adalah Cisco.
Enron berprinsip bahwa inti bisnis bukan pada energi atau pemasaran,
namun pada manajemen risiko. Prinsip ini mendorong Enron untuk memecah
bagian jasa dan produknya ke berbagai cabang yang relevan. Perubahan ini, yang
dikenal dengan istilah network strategy, menjadi kunci sukses bagi Enron. Enron
membagi perusahaan menjadi beberapa bagian sesuai dengan kegiatan masingmasing, antara lain Enron Wholesale Services (EWS), Enron Energy Services
(EES), Enron Transportation Services (ETS), dan Enron Broadband Services
(EBS). Enron juga menjalin kerjasama dengan banyak perusahaan lain melalui
anak-anak perusahaannya, misalnya Enron Communications (ENE) yang menjalin
kerja sama dengan Azurix Corp. Dalam hal akuntansi dan legal, Enron menjalin
kerjasama dengan SPE (Special Purpose Entities), sementara untuk urusan
keuangan, Enron juga bekerjasama dengan bank besar maupun kecil dan
perusahaan investasi. Penjualan yang dijalankan Enron didominasi dengan
penjualan melalui internet yang mencakup 60% dari total penjualan melalui EOL

15

(Enron Online).
Kesuksesan Enron dianggap sebagai contoh sukses penerapan networked
organization. Jika dibandingkan dengan Cisco, Enron tidak kalah baik dalam
menerapkan networked organization. Walaupun terdapat beberapa perbedaan
antara Enron dan Cisco, misalnya pada aktivitas manufacturing, supply, atau
accounting, esensi e-business, yaitu berbasis internet, interaktif, dan didukung
jaringan koneksi antara perusahaan produksi, pelanggan dan penyedia jasa,
berhasil diterapkan Enron dengan baik.
Networked organization

yang diadopsi Enron merupakan jaringan

organisasi berbasis TI dengan karakteristik sebagai berikut:


1. Informational: pengelolaan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing.
2. Global: memiliki kapasitas untuk bekerja sebagai satu kesatuan dalam skala
global.
Menurut Castells (2001), kedua karakteristik tersebut merupakan perubahan
budaya kerja yang dipengaruhi oleh perkembangan TI. Model yang diadopsi
Enron itu sendiri dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5: Jaringan perusahaan Enron


Sumber: Ekbia, 2007

Pada Gambar 5 terlihat bahwa perusahaan besar secara internal


disentralisasikan sebagai jaringan. Bisnis kecil (small firm) dan menengah
(medium firm) terhubung dalam jaringan yang menghubungkan mereka dengan
proyek-proyek yang lebih spesifik. Jika sebuah proyek telah selesai, maka

16

merkeka akan beralih ke jaringan lain. Bentuk kerja sama ini didasarkan pada
peningkatan information sharing antara pemasok dan pelanggan melalui
perusahaan induk yang berperan sebagai perantara untuk arus penawaran dan
permintaan.
Walaupun begitu, Enron tidak luput dari kegagalan. Hal ini terlihat jelas
pada jaringan internasional yang dibentuknya. Kegagalan pertama Enron adalah
menerapkan take or pay contract dalam bentuk turunan dari pengiriman
komoditas utama. Contohnya anak perusahaan Enron bernama TGT yang setuju
untuk mengambil 260 juta kaki kubik gas per hari selama sepuluh tahun dari Laut
Utara ke Inggris. Dengan jatuhnya harga gas hingga setengah dari angka kontrak,
Enron kehilangan 537 juta dolar AS sejak 1997. Hal ini memancing banyak
investor untuk mempertanyakan kompleksitas jaringan yang berada di dalam dan
di luar organisasi yang tidak yakin apakah jaringan tersebut akan membuat
perusahaan menjadi untung atau rugi.
Kasus lainnya adalah ada bukti kuat yang mendukung hubungan yang tidak
kooperatif secara terus-menerus antara Enron dan afiliasinya, misalnya dalam
kasus JEDI. Dalam kasus tersebut, Enron menginvestasikan 500 juta dolar AS
untuk JEDI2 dengan terlebih dahulu menginvestasikan senilai 383 juta dolar AS
untuk JEDI1. Untuk membayar 383 juta dolar AS itu, Enron bekerja sama dengan
Chewco sehingga Enron dapat mengambil keuntungan Calpers. Hubungan antara
Enron dan Calpers merupakan hubungan penuh manipulasi yang berujung buruk
bagi Enron (lihat Gambar 6).

Gambar 6: Penipuan Hubungan Antar Rekanan Enron


Sumber: Ekbia, 2007

17

Dari paparan di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa dimensi yang


saling bertentangan dalam penerapan networked organization oleh Enron seperti
yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Dampak positif dan negatif penerapan networked organization
Dimensi Manajerial

Positif

Negatif

Mengelola Aliansi

Kepercayaan

Antagonisme

Mengelola Stakeholders

Transparansi

Kerahasiaan

Mengelola Karyawan

Pemberdayaan

Pemaksaan

Mengelola Pasar

Persaingan

Manipulasi

Mengelola Regulator

Keterlibatan Sosial

Tekanan Politik

Mengelola TI dan Informasi

Potensi

Menyembuhkan

Mengelola Mitra Global

Keadilan

Penipuan

Mengelola Jaringan Enterprise

Potensi

Perangkap

(sumber : Ekbia, 2007)

Dari kasus Enron ini dapat disimpulkan bahwa penerapan networked


organization tidak hanya menjadi kunci sukses dari suatu perusahaan, tetapi dapat
menjadi bumerang yang dapat mengakibatkan kegagalan bisnis perusahaan.
5.2

Contoh Penerapan Networked Organization di Pemerintahan


Ward et al. (2000) melakukan penelitian mengenai teori organisasi dalam

mengontrol dan mengelola TI sebagai mekanisme dalam membentuk networked


organization di dalam sebuah instansi pemerintah. Penelitian ini menjelaskan
bahwa kemampuan TI yang melekat dalam sebuah organisasi dapat mengubah
hierarki organisasi dan mekanisme manajemen organisasi tersebut. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa butuh waktu 20 tahun untuk membentuk
networked organization di sebuah instansi pemerintah, yaitu organisasi bernama
FEMA (Federal Emergency Management Administration) di Amerika Serikat.
Penelitian tersebut membagi pengembangan TI di FEMA ke dalam 2 tahap. Tahap
pertama dilakukan pada tahun 1980 hingga tahun 1992, sementara tahap kedua
dilakukan pada tahun 1993 sampai dengan saat ini (saat paper ini dipublikasikan ,

18

yaitu pada tahun 2000).


Pembangunan TI tahap pertama di FEMA sangat dipengaruhi oleh faktor
kepemimpinan Presiden. Pengembangan TI FEMA di masa kepemimpinan
Ronald Reagan dan George Bush (dengan total 12 tahun) hanya memperoleh
dukungan yang sangat kecil. Kedua Presiden tersebut lebih memberikan dukungan
untuk pertahanan nasional. Pada kepemimpinan Clinton terjadi peningkatan peran
fiskal dan sosial bagi pemerintah federal. Sebagian besar agenda Clinton untuk
pemerintah federal adalah mengimplementasikan sebuah gerakan yang telah
dikenal luas sebagai "Reinventing Government" (Gore, 1993). Pada tahun 1998,
perhatian diarahkan kepada langkah-langkah restrukturisasi FEMA dan TI internal
pemerintahan

yang

terkait

erat

dengan

FEMA

dalam

kegiatannya

mengembangkan jaringan bencana yang komprehensif (menghubungkan jaringanjaringan bencana di semua tingkat pemerintahan).

Gambar 7: Struktur organisasi FEMA di tahun 1980


Dari hasil analisis terhadap implementasi networked organization FEMA
pada tahap pertama, dukungan TI dan jaringan dalam kelembagaan sangat mutlak
diperlukan. Kedua faktor tersebut dapat digunakan untuk membantu pihak
manajemen dalam menentukan prioritas, pengambilan keputusan, kontrol

19

hierarkis, dan mengatur proses kerja secara keseluruhan. Akan tetapi, meskipun
TI menawarkan fleksibilitas dan sifat adaptif dalam manajemen keadaan darurat,
pihak manajemen masih membatasi perkembangan tersebut untuk fokus dalam
mempertahankan kelembagaan, sumber daya organisasi, dan pertahanan sipil yang
merupakan prioritas saat itu.
Pada tahun 1990an, awal tahap kedua pengembangan TI, FEMA terus
membangun organisasi dan jaringan TI-nya. Pada tahap ini FEMA mampu
memberikan informasi mengenai cuaca dan mampu memperkirakan akan
terjadinya bencana sehingga mempercepat distribusi bantuan ke lokasi bencana.
Penyebaran TI ikut memudahkan dalam mengelola organisasi dan membuat
keputusan mengenai perubahan lembaga di bawahnya hingga ke staf-staf terkait.
Fungsi kontrol tetap dilakukan oleh manajemen tingkat atas untuk melakukan
pengelolaan prioritas agar tidak berubah dari tujuan semula.

Gambar 8: Integrasi antara dokumen dan data dengan object relational document
Dari hasil analisis pada tahap kedua ini, terlihat bahwa perubahan lembaga
dan pengembangan jaringan dalam sebuah organisasi pemerintah tidak
mempengaruhi TI yang ada, tetapi perubahan terhadap staf dari manajemen
tingkat atas sampai dengan bawah dapat mengakibatkan kontrol hierarkis berubah.
Secara umum, penerapan networked organization dalam FEMA ini mampu

20

membentuk organisasi pemerintahan yang responsif. Struktur organisasi FEMA di


tahun 2000 pun mengalami perubahan dari tahun 1980 seperti yang dapat dilihat
pada Gambar 9.

Gambar 9: Struktur organisasi FEMA di tahun 2000


Terkait lama dan sulitnya menerapkan networked organization di FEMA ini
terkait pula dengan penerapan e-Government. Berdasarkan penelitian Rebecca
Eynon dan William H. Dutton (2007) yang dilakukan di Eropa disimpulkan
bahwa dukungan inovasi organisasi dengan memanfaatkan jaringan di sektor
publik secara maksimal merupakan faktor yang krusial untuk penerapan
networked organization. Hambatan-hambatan membentuk sebuah networked
organization di pemerintahan, yang berakibat kurang efektifnya e-Government
berdasarkan penelitian tersebut adalah:
1. Koordinasi yang buruk;
2. Tempat kerja dan organisasi yang kaku;
3. Kegagalan kepemimpinan;
4. Kurangnya kepercayaan ;
5. Keuangan, terutama ketika hambatan keuangan tersebut menciptakan
banyak ketidakpastian dalam organisasi;
6. Kesenjangan digital;
7. Kurangnya desain teknis.
Jika penerapan networked organization ini dapat diterapkan dengan baik

21

maka pengelolaan rantai komando organisasi tersebut akan menjadi lebih efektif
dan efisien sehingga e-Government dapat dengan mudah diterapkan di semua
sektor pelayanan publik yang ada.
6.

Kesimpulan
Struktur organisasi hierarkis memang memiliki keunggulan tersendiri,

khususnya pada sisi kontrol terhadap individu atau unit kerja dalam sebuah
organisasi. Kontrol yang kuat ini diperlukan untuk menjaga agar tidak ada
individu atau unit kerja yang mengambil keputusan atau tindakan tanpa
pengawasan. Akan tetapi, sifat kaku yang tidak terpisahkan dari sebuah hierarki
itu membuat pengambilan keputusan menjadi lambat sehingga organisasi dengan
struktur hierarkis cenderung kurang responsif.
Yang diperlukan untuk membentuk organisasi yang responsif adalah
struktur yang fleksibel, tapi tetap terkendali dengan baik. Organisasi seperti ini
adalah organisasi yang dikenal dengan istilah networked organization, yaitu
organisasi yang tidak terbatas pada pembagian fungsi atau divisi yang kaku
seperti halnya organisasi dengan struktur hierarkis. Komunikasi dan distribusi
informasi di dalam networked organization ini tidak harus melalui jalur yang
bertingkat dan didukung TI yang memadai sehingga dapat berjalan lebih cepat.
Sumber daya di dalam organisasi menjadi lebih mudah untuk disebarkan ke
seluruh bagian di dalam organisasi. Pihak manajemen pun bisa lebih terlibat
dalam mengawasi dan mengatur kegiatan operasional di dalam organisasi terkait.
Faktor-faktor ini yang menjadi kunci dalam membentuk dan menjalankan
networked organization yang fleksibel dan responsif tanpa kehilangan kendali.
Walaupun begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menerapkan networked organization. Orientasi terhadap kecepatan jangan sampai
mengorbankan kontrol dan perubahan yang dilakukan di dalam organisasi pun
harus menyeluruh, yaitu mencakup struktur, proses, sumber daya manusia, dan
budaya kerja. Infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyebar informasi di dalam
organisasi pun harus memadai, terutama untuk menjamin transparansi dan
konsistensi aliran informasi. Keleluasaan dalam hal pengambilan keputusan harus
diimbangi dengan pengawasan yang kuat, terutama untuk memastikan pihak yang

22

bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan tersebut. Keterampilan orangorang di dalam organisasi, khususnya dalam mengakses dan mengolah informasi,
harus ditingkatkan seraya membiasakan budaya kerja lintas batas yang berbasis
pada kepercayaan antara pihak-pihak yang terkait.
Contoh kasus di Enron dan FEMA menunjukan betapa sulitnya menerapkan
networked organization, baik di perusahaan swasta maupun di organisasi
pemerintahan. Walaupun model networked organization menawarkan berbagai
kelebihan, Enron dan FEMA menunjukan bahwa jalan mencapai kelebihankelebihan itu tidak mudah. Dalam kasus Enron dan FEMA, kita melihat bahwa
pemanfaatan TI, khususnya untuk berbagi informasi, merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari penerapan networked organization. Sementara masalah
kepercayaan, pengawasan, dan kontrol juga merupakan kendala yang nyata dalam
penerapan networked organization, baik di Enron maupun FEMA. Pada akhirnya
dapat

kita simpulkan bahwa bila prinsip-prinsip

penerapan

networked

organization itu diabaikan, maka akan terbentuk organisasi yang berjalan dengan
kecepatan tinggi tanpa kendali yang memadai. Kondisi seperti ini tentu saja
merupakan awal dari kehancuran organisasi tersebut.

23

DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, J., & Ferreira, A. (1995). Networks Versus Bureaucracies: The
Dilemmas of Organization of the Future.
Applegate, L. M., Austin, R. D., & Soule, D. L. (2009). Corporate information
strategy and management: Text and cases (8th ed.). Boston: McGraw-Hill
Irwin.
Baum, J. A. C., & Oliver. C. (1991). Institutional linkages and organizational
mortality. Administrative Science Quarterly. 187-218.
Ekbia, Hamid R. (2007). Managing Network Organizations in the Knowledge
Economy: Learning From Success and Failure. Annals of Information
Systems, 117-148.
Eraslan, H., Bulu, M., & Turkay, M. (2008). Clustering Analysis of Networked
Organizations. IGI Global.
Eynon, Rebecca, and William H. Dutton. (2007). Barriers to Networked
Governments: Evidence from Europe. Prometheus 25.3 : 225-42.
Gulati, Dialdin, & Wang (2002). Organizational Networks.
Gore, A. (1993). The Gore report on reinventing government. New York : Times
Books.
Ingram, P., and Baurn, J. A. C. (1997): Chain affiliation and the failure of
Manhattan hotels, 1898-1980. Administrative Science Quarterl!g. 42. 68102
Ingram. P., & Inman, C. (1996). Institutions, inter-group competition, and the
evolution of hotel populations around Niagara Falls. Administrative
Science Quarterly, 41, 629-58.
Keister. L. A. (1998). Engineering growth: Business group structure and firm
performance in China's transition economy. American Journal of
Sociology, 104, 404-440.
Khanna. T., & Palepu, K. (1999). The right way to restructure conglomerates in
emerging markets. Harvard Business Review, 77, 125-134.
Miles, R. E., & Snow, C. C. (1992). Causes of Failure in Network Organization.
California Management Review, 53-72.

24

Rogers, P., & Davis-Peccoud, J. (2011). Networked organizations: Making the


matrix work. Bain & Company, Inc.
Sviokla, J., Schneider, A., Calkins, C., & Quirk, C. (2004). The rise of the
networked organization. Diamond Cluster White Paper.
Tamoinait, R. (2011). Organization virtual or networked? Social Technologies,
1(1), 49-60.
Ward, R., Wamsley, G., Schroeder, A., & Robins, D. B. (2000). Network
Organizational Development in the Public Sector: A Case Study of the
Federal Emergency Management Administration (FEMA). Journal of the
American Society for Information Science, 51.11, 1018-1032.
Westphal, J., Gulati, R., & Shortell, S. M. (1997). Customization or conformity?
An institutional and network perspective on the content and consequences
of TQM adoption. Administrative Science Quarterly, 42, 366-94.

You might also like