Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait
preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan
eklampsia adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol
sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO,
2011). Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria,
merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20
minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang.
Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 15% dari total kematian
ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh
eklampsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari
preeklampsia (Turner, 2010). Eklampsia menduduki urutan kedua setelah
perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010
(Hernawati, 2011).
Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami
dengan jelas sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit tersebut.
Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan komplikasinya difokuskan pada
deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat. Tatalaksana terapi
preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan pelayanan obstetri
emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat (antikonvulsan), dan
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
C. Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
D. Manfaat Penelitian
1.
Memberikan
informasi
mengenai
penggunaan
antihipertensi
dan
Menjadi bahan evaluasi bagi rumah sakit terhadap terapi preeklampsia berat
dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
periode tahun 2011 2012.
3.
Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan serta
pengobatan preeklampsia berat dan eklampsia.
E. Tinjauan Pustaka
1.
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Diagnosis
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah terjadinya
hipertensi dan proteinuria, edema sudah tidak lagi digunakan sebagai kriteria
diagnostik karena edema juga banyak terjadi pada wanita dengan kehamilan
normal (Cunningham dkk., 2010). Faktor risiko timbulnya hipertensi dalam
kehamilan jika didapatkan edema generalisata atau kenaikan berat badan
lebih dari 0,57 kg/minggu perlu dipertimbangkan (Angsar, 2010). Kriteria
diagnostik preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Kriteria Diagnostik Preeklampsia dan Eklampsia (Cunningham dkk., 2010;
Angsar, 2010; Norwitz dan Schorge, 2006)
A. Preeklampsia ringan
1. Tekanan darah > 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu
2. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ pada dipstik
3. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali
edema pada lengan, muka dan perut, serta edema generalisata
B. Preeklampsia berat, bila ditemukan salah satu atau lebih gejala berikut:
1. Tekanan darah > 160/110 mmHg
2. Proteinuria 2 g/24 jam atau > 2+ pada dipstik
3. Oliguria, yaitu produksi urin < 500 ml/24 jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma
5. Gangguan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, atau gangguan
penglihatan
6. Edema paru
7. Gangguan fungsi hepar: peningkatan kadar AST (SGOT) atau ALT (SGPT) > 2
kali batas atas nilai normal
8. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
9. Trombositopenia berat: jumlah trombosit < 100.000 sel/l
10. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
11. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low platelet count)
C. Eklampsia
Timbulnya kejang menyeluruh atau koma pada penderita preeklampsia
Keterangan:
AST: Aspartate aminotransferase; SGOT: Serum glutamic-oxalate transferase; ALT:
Alanine aminotransferase; SGPT: Serum glutamic-pyruvate transferase
a.
Hipertensi
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan jika tekanan
darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg (SOGC, 2008).
Proteinuria
Proteinuria merupakan adanya protein 300 mg dari jumlah urin
24 jam (diukur dengan metode Esbach) atau kadar protein dalam urin
30 mg/dl (1+ pada dipstik) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi saluran kemih (SOGC, 2008; POGI, 2006).
Kesetaraan pengukuran proteinuria dengan dipstik yaitu 1+ dengan kadar
0,3 0,45 g/l, 2+ dengan kadar 0,45 1 g/l, 3+ dengan kadar 1 3 g/l,
dan 4+ dengan kadar > 3 g/l (POGI, 2006).
c.
Kejang
Kejang pada eklampsia selalu didahului dengan preeklampsia.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik yang berlangsung 15 30
detik. Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Diafragma
terfiksir (tidak dapat digerakkan) pada waktu kejang sehingga pernafasan
tertahan. Kejang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit, setelah itu
Epidemiologi
Insidensi preeklampsia sangat bervariasi di seluruh dunia. Insidensi
preeklampsia diperkirakan oleh WHO tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang (2,8% dari kelahiran hidup) daripada di negara maju (0,4% dari
kelahiran hidup). Insidensi eklampsia di negara berkembang juga bervariasi,
mulai dari 1 kasus per 100 kehamilan hingga 1 kasus per 1.700 kehamilan
(Osungbade dan Ige, 2011). Prevalensi eklampsia di Indonesia pada tahun
2010 sebesar 3,9% dari seluruh kehamilan dengan angka kematian sebesar
0,7% dari seluruh kehamilan (Hernawati, 2011).
4.
Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia dan
eklampsia yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
10
a.
Faktor kehamilan
1) Nullipara
Nullipara yaitu wanita yang belum pernah melahirkan bayi
yang mampu hidup di luar rahim. Kejadian preeklampsia meningkat
pada nullipara karena ibu berada pada masa awal terpapar trofoblas
yang berasal dari janin (Luealon dan Phupong, 2010).
2) Kehamilan kembar
Wanita dengan kehamilan kembar lebih berisiko terkena
preeklampsia dengan insidensi antara wanita hamil kembar dan
wanita hamil tunggal yaitu 13% versus 5% (dari seluruh kehamilan)
(Cunningham dkk., 2010).
3) Mola hidatidosa
Mola hidatidosa merupakan penyimpangan pertumbuhan dan
perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili
korialis mengalami perubahan hidrofik (Manuaba, 1998). Mola
hidatidosa menyebabkan gangguan invasi sel trofoblas ke dalam
arteri spiralis sehingga dapat terjadi preeklampsia dengan onset lebih
cepat yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu (Turner, 2010;
Nugroho, 2010).
b.
Faktor sosiodemografi:
1) Usia kurang dari (< 20) tahun atau lebih dari (> 35) tahun
Usia < 20 tahun berhubungan dengan usia kehamilan yang
terlalu muda dan keterkaitan dengan status nullipara. Usia > 35 tahun
11
Faktor genetik:
1) Riwayat preeklampsia dalam keluarga
Preeklampsia dapat diturunkan kepada anak perempuan
dengan sifat bawaan yang resesif (Manuaba dkk., 2007).
d.
e.
12
2) Hipertensi kronik
Wanita
dengan
hipertensi
kronik
berisiko
mengalami
13
Agregasi
trombosit
memproduksi
tromboksan
(suatu
Teori imunologis
Respon imun ibu pada kehamilan normal tidak menolak adanya
hasil konsepsi karena sel-sel trofoblas plasenta mengekspresikan human
leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel Natural Killer ibu. Human leukocyte antigen protein G
juga merupakan prakondisi terjadinya invasi trofoblas ke jaringan
desidua. Penurunan ekspresi HLA-G terjadi pada preeklampsia sehingga
14
Teori genetik
Teori genetik diajukan setelah melalui berbagai pengamatan.
Wanita nullipara dengan riwayat preeklampsia dalam keluarga memiliki
risiko dua hingga lima kali lipat mengalami preeklampsia. Beberapa gen
termasuk angiotensinogen gene variant (T235), endothelial nitric oxide
synthase (eNOS), dan gen penyebab trombofilia diduga berkaitan dengan
preeklampsia (Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).
6.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang merupakan manifestasi klinis dari preeklampsia
dan eklampsia:
a.
b.
c.
d.
e.
15
f.
g.
h.
7.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada preeklampsia dan eklampsia terutama
diakibatkan oleh vasospasme yang bersifat menyeluruh. Preeklampsia dan
eklampsia dapat menyebabkan berbagai komplikasi berikut:
a.
Perdarahan serebral
Komplikasi paling umum sebagai akibat dari vasospasme dan
tingginya tekanan darah pada preeklampsia dan eklampsia adalah
perdarahan serebral (Lewis, 2007).
b.
c.
Koma
Pasien eklampsia akan mengalami perubahan kesadaran hingga
koma akibat edema otak yang luas (Cunningham dkk., 2001). Derajat
hilangnya kesadaran dapat dinilai dengan Glasgow Coma Scale (Angsar,
2010).
16
d.
Edema paru
Penderita preeklampsia mempunyai risiko lebih besar terjadinya
edema paru disebabkan payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada
pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis (Angsar, 2010).
e.
Asites
Asites (akumulasi cairan dalam rongga perut) yang menyertai
preeklampsia dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas
kapiler yang menyeluruh (Wirawan dan Prasmusinto, 2011).
f.
Oliguria
Oliguria (produksi urin < 500 ml selama 24 jam) pada
preeklampsia terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal
menurun yang menyebabkan penurunan produksi urin (Angsar, 2010).
g.
Tromboemboli
Tromboemboli adalah penyumbatan beberapa bagian sistem
kardiovaskular oleh massa bekuan darah yang tidak terkendali.
Preeklampsia berkaitan dengan penyempitan arteri spiralis pada plasenta
yang dapat menyebabkan kondisi iskemia dan tromboemboli (van
Walraven dkk., 2003; Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).
h.
17
j.
terjadinya
kematian
janin
intrauterin
pada
18
l.
Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan bayi bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Penurunan aliran darah melalui
plasenta pada preeklampsia dapat mengurangi aliran oksigen ke janin
sehingga menimbulkan gawat janin yang berlanjut sebagai asfiksia pada
bayi baru lahir (Depkes RI, 2007).
8.
Pencegahan
Maksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah preeklampsia pada
wanita hamil yang mempunyai faktor risiko terjadinya preeklampsia (POGI,
2006). Strategi-strategi yang dapat dilakukan:
a.
b.
Kalsium
Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki
insidensi preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen kalsium
selama kehamilan direkomendasikan untuk mencegah preeklampsia
19
Antitrombotik
Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi
platelet oleh tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang
sedikit namun aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia
terutama pada wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami
preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik,
terdapat penyakit ginjal atau autoimun (WHO, 2011). Berbagai studi
menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah
preeklampsia tidak menyebabkan toksisitas pada janin dan neonatal,
namun penggunaan aspirin dosis rendah pada kehamilan harus dibatasi
karena masih diperlukan studi lebih lanjut tentang rasio manfaat dan
risikonya (Briggs dkk., 2010).
d.
Tirah baring
Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi.
Tirah baring dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim
pada pembuluh vena cava superior sehingga akan meningkatkan aliran
darah balik, menambah curah jantung, dan memperbaiki kondisi janin
dalam rahim (Angsar, 2010). Tirah baring masih diperlukan di Indonesia
meskipun tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan
persalinan preterm (POGI, 2006).
20
9.
dianjurkan
untuk
diet
cukup
protein,
rendah
21
4) Pemberian antikonvulsan
Pasien preeklampsia berat diberikan magnesium sulfat untuk
mencegah kejang (SOGC, 2008). Magnesium sulfat bekerja sebagai
antagonis reseptor glutamat seperti reseptor NMDA sehingga
mencegah kejang pada preeklampsia (Euser dan Cipolla, 2009).
Magnesium sulfat diberikan pada pasien preeklampsia berat terutama
jika terdapat tanda atau gejala impending eclampsia (tanda atau
gejala yang mengarah pada terjadinya eklampsia) seperti berikut:
a)
b) Proteinuria > 2+
c)
Gangguan visus
Muntah-muntah
f)
Sindrom HELLP
j)
Magnesium
sulfat
dapat
diberikan
secara
intravena
atau
22
diekskresikan
hampir
seluruhnya
melalui
ginjal.
23
5) Pemberian antihipertensi
Penentuan ambang batas tekanan darah (TD) untuk pemberian
antihipertensi dan target TD pada pengobatan wanita hamil sangat
bervariasi pada beberapa guideline internasional, namun semuanya
menggunakan nilai yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan Joint
National Committee (JNC) untuk terapi non obstetrik (Podymow dan
August, 2008). Terapi antihipertensi direkomendasikan di Canada
pada TD > 160/110 mmHg dan obat dapat digunakan hingga TD
130/90 mmHg (SOGC, 2008). Pemberian antihipertensi di Inggris
dimulai pada TD > 150/100 mmHg dengan target tekanan darah
diastolik 80 100 mmHg (NICE, 2011). Pemberian antihipertensi di
Australia dimulai pada TD > 160/100 mmHg tanpa target terapi yang
jelas (SOMANZ, 2008). Terdapat konsensus bahwa TD 160/110
mmHg mulai membutuhkan perawatan karena wanita berada pada
peningkatan risiko perdarahan intraserebral dan pengobatan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal (Podymow dan
August, 2008; SOGC, 2008).
Manajemen hipertensi ringan hingga moderat (TD 140
159/90 109 mmHg) dengan antihipertensi masih diperdebatkan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan antihipertensi pada
TD 140 159/90 109 mmHg tidak memberikan perbedaan
outcome pada ibu maupun bayi dibandingkan dengan plasebo atau
tanpa terapi (SOGC, 2008). Alasan yang rasional untuk memberikan
24
25
26
Tabel III. Rekomendasi Pemberian Antihipertensi untuk Pasien Preeklampsia Berat dan Eklampsia
Selama Kehamilan
Kriteria
Indonesia
Canada
Australia
UK
(POGI, 2006)
(SOGC, 2008)
(SOMANZ, 2008)
(NICE, 2010)
Harus
TD > 180/110
Hipertensi berat:
Hipertensi berat:
Hipertensi berat:
diberikan
mmHg atau MAP > TD > 160/110 mmHg TD > 170/110 mmHg
TD > 160/110 mmHg
antihipertensi
126 mmHg
Atau:
Hipertensi moderat:
TD > 160/100 mmHg
TD > 150/100 mmHg
Obat pilihan:
Obat pilihan:
Obat pilihan:
Obat pilihan:
Nifedipin: 10-20
Labetalol: mulai
Labetalol: 20-50 mg iv Labetalol: po atau iv
mg po, dapat
dengan 20 mg iv,
selama 2 menit, dapat
Nifedipin: po
diulangi setelah 30
ulangi 20-80 mg iv
diulangi setelah 15-30
Hidralazin: iv
menit, maksimum
setelah 30 menit, atau menit
Alternatif:
120 mg/24 jam
1-2 mg/menit,
Nifedipin: kapsul 5-10 Metildopa: po
Nikardipin: 10 mg maksimum 300 mg
mg po, dapat diulangi
iv selama 5 menit, 1 Nifedipin: kapsul 5setelah 30 menit; atau
jam kemudian
10 mg po, dapat
tablet 10-20 mg, dapat
gagal: berikan 12,5 diulangi setelah 30
diulangi setelah 45
mg selama 5 menit, menit; atau tablet PA menit
1 jam kemudian
10 mg po, dapat
Hidralazin: 5-10 mg
gagal lagi: berikan
diulangi setelah 45
iv, dapat diulangi
15 mg selama 5
menit, maksimum 80 setelah 30 menit
menit
mg/hari
Diazoxide: 15-45 mg
Hidralazin: mulai
iv, dapat diulangi
dengan 5 mg iv,
setelah 5 menit,
ulangi 5-10 mg iv
maksimum 300 mg
setelah 30 menit, atau
0,5-10 mg/jam iv,
maksimum 20 mg iv
(atau 30 mg im)
Target terapi:
Target terapi:
Target terapi:
Target terapi:
TD < 160/105
TD < 160/110 mmHg TD < 160/100 mmHg
TDS < 150 mmHg
mmHg atau MAP <
TDD antara 80-100
125 mmHg
mmHg
Pertimbangkan
Hipertensi ringanHipertensi ringandiberikan
moderat:
moderat:
antihipertensi
TDS 140-159 mmHg TDS 140-160 mmHg
atau TDD 90-105
atau TDD 90-100
mmHg
mmHg
Obat pilihan:
Obat pilihan:
Metildopa: 250-500
Metildopa: 250-750
mg po, bid-qid,
mg po, tid
maksimum 2 g/hari
Labetalol: 100-400 mg
Labetalol: 100-400
po, tid
mg po, bid-tid,
Nifedipin: tablet SR
maksimum 1200
20-60 mg po, bid
mg/hari
Klonidin: 75-300 g
Nifedipin: tablet PA
po, tid
10-20 mg po, bid-tid, Oxprenolol: 20-160
maksimum 180
mg po, tid
mg/hari; atau tablet
Prazosin: 0,5-5 mg po,
SR 20-60 mg po,
tid
maksimum 120
Hidralazin: 25-50 mg,
mg/hari
tid
27
Kriteria
Indonesia
(POGI, 2006)
-
UK
(NICE, 2010)
-
Dengan komorbid:
TDS 130-139 mmHg
dan TDD 80-89
mmHg
Keterangan:
TD: tekanan darah; TDS: tekanan darah sistolik; TDD: tekanan darah diastolik; MAP: mean arterial pressure; po:
peroral; iv: intravena; im: intramuskular; tablet PA: tablet pelepasan intermediet; tablet SR: tablet pelepasan lambat;
bid: 2 kali sehari; tid: 3 kali sehari; qid: 4 kali sehari
c) Hidralazin
Hidralazin bekerja merelaksasi otot polos arteriol sehingga
mengurangi tahanan vaskular sistemik (Katzung, 2007).
Penggunaan hidralazin dalam kehamilan tidak menunjukkan
teratogenisitas.
Hidralazin
meningkatkan
output
jantung,
28
6) Pemberian diuretik
Diuretik tidak boleh diberikan pada pasien preeklampsia
karena dapat memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik seperti
furosemid atau sejenisnya hanya boleh dilakukan jika terbukti
adanya edema paru. Pasien dapat diberikan injeksi furosemid 40 mg
(SOGC, 2008; Nugroho, 2010).
7) Pemberian antasida
Antasida dapat diberikan untuk menetralisir asam lambung
sehingga bila mendadak kejang dapat menghindari risiko aspirasi
asam lambung (Angsar, 2010).
8) Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan jika terdapat indikasi darurat
yang mengharuskan kehamilan diakhiri pada usia 24 34 minggu
untuk mempercepat pematangan paru janin (Turner, 2010).
b.
Perawatan aktif
Perawatan aktif berarti kehamilan harus diterminasi (diakhiri). Cara
terminasi kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik, apakah
sudah inpartu (berada dalam tahap persalinan) atau belum (Angsar,
2010). Indikasi dilakukan perawatan aktif antara lain:
1) Usia kehamilan > 37 minggu.
2) Adanya tanda atau gejala impending eclampsia seperti kenaikan TD
yang progresif, nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah,
dan nyeri epigastrium.
29
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm < 37
minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eclampsia dengan
keadaan janin baik (Angsar, 2010). Terapi obstetrik dilakukan dengan
observasi dan evaluasi tanpa terminasi kehamilan. Magnesium sulfat
dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Terapi medisinal dianggap
gagal dan kehamilan harus diterminasi bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan. Pasien dapat dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia
ringan bila selama tiga hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia
ringan (Nugroho, 2010).
30
Gambar 1. Protokol Tindakan Obstetrik pada Preeklampsia dan Eklampsia (Anonim, 2005)
PREEKLAMPSIA RINGAN
RAWAT
MEMBAIK
PREEKLAMPSIA
RINGAN
PREEKLAMPSIA
BERAT
TERMINASI
BEROBAT JALAN
Syarat
TD < 140/90
IG < 6
EKLAMPSIA
> 37 minggu
< 37 minggu
Dipertahankan
Terminasi
< 37 minggu
31
32
b.
c.
d.
33
e.
34
b.
Tepat indikasi, yaitu obat yang diberikan harus tepat bagi suatu penyakit.
c.
Tepat obat, yaitu obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai
dengan penyakit.
d.
Tepat dosis, yaitu jumlah, cara, frekuensi, dan lama pemberian obat harus
tepat. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi
menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e.
35
f.
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia di
Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011
2012 untuk mengetahui:
1.
2.
3.
4.
Gambaran kondisi pasien setelah menjalani terapi meliputi lama rawat inap,
keadaan akhir ibu, keadaan bayi lahir, dan berat badan bayi lahir.