You are on page 1of 5

Psikologi Forensik dan Psikopatologi

Kumpulan Kajian dalam Psikologi Forensik dan


Perkembangan Psikopatologi

Kejahatan Anak
Posted on April 27, 2013 by Margaretha under Kejahatan
Kejahatan Anak
Oleh: Margaretha, Pengajar Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga,
Surabaya
Seorang anak kelas 1 Sekolah Dasar usia 7 tahun menjadi tersangka pembunuhan teman
sepermainannya yang berusia 6 tahun. Dicurigai pembunuhan disebabkan oleh pertikaian
karena korban anak berhutang uang Rp.1000,- pada tersangka anak (Kabar Sore TV One, 27
April 2013)

Ada rasa terkejut dan kengerian ketika mendengar kabar seperti ini. Seperti tidak percaya,
mengapa seorang anak, yang biasanya dilihat sebagai mahluk tidak berdosa, bisa melakukan
perilaku seperti itu. Namun persoalannya, ternyata ini bukan kasus pertama kejahatan yang
dilakukan oleh anak. Fenomena kejahatan anak ini perlu dipahami asal-usulnya, agar kita tahu
bagaimana cara menghadapinya kelak. Tulisan ini akan mengulas beberapa pertanyaan yang
muncul ketika berhadapan dengan kejahatan anak.
Apa kejahatan anak?
Kejahatan diartikan segala perilaku yang melanggar hak orang lain (korban) dan melanggar
peraturan. Kejahatan yang diungkap di atas adalah kejahatan anak yang berkaitan dengan
kekerasan. Beberapa bentuk kejahatan kekerasan termasuk di antaranya adalah: pembunuhan,
perkosaan, perampokan dan penyerangan. Individu yang melakukan kejahatan sebelum hingga
usia 18 tahun akan diperlakukan sebagai anak di depan hukum dan perilaku kejahatannya disebut
sebagai kejahatan anak.
Di Indonesia, ada beberapa jenis perilaku kejahatan anak yang dikaitkan dengan kelalaian orang
tua dalam melakukan pengasuhan. Jika ditemukan kelalaian, maka orang tualah yang akan
mengambil tanggung-jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh anaknya secara pidana. Akan
tetapi adapula beberapa kasus kejahatan oleh pelaku anak lalu diadili sebagai orang dewasa;

dimana anak akan menerima pidana sebagai anak di depan hukum atas kesalahan yang telah
dilakukannya. Keputusan tanggung-jawab kejahatan anak tergantung pada jenis kejahatan, usia
pelaku, hukum di negara di mana kejahatan tersebut terjadi, dan faktor lainnya.
Dalam kasus di atas, karena usia tersangka pelaku kejahatan anak masih sangat muda; ada
kemungkinan perilaku kejahatan juga dapat dikaitkan dengan bentuk kelalaian orang tua dalam
mengasuh dan mendidiknya. Misalkan, kelalaian pengasuhan orang tua sehingga tersangka anak
bisa berperilaku kekerasan karena meniru perilaku yang salah dari televisi atau sumber lain, atau
karena kurangnya pengawasan orang tua sehingga tersangka anak bisa mengakses senjata atau
mereka bisa berada pada tempat-tempat yang membahayakan keselamatannya.
Siapa anak yang melakukan kejahatan
Menurut penelitian Caspi dan Moffit (2001 dalam Davies, Hollin dan Bull, 2004) perilaku
kriminalitas anak (dari kriminalitas kecil seperti mencuri hingga kriminal berat seperti
pembunuhan) telah muncul dari masa kanak namun akan meningkat pada usia masa remaja dan
mencapai puncaknya di usia remaja akhir (16-18 tahun). Departemen Kehakiman Amerika
Serikat pada tahun 2006 juga menemukan bahwa sekitar 10 persen dari pembunuhan yang terjadi
dilakukan oleh pelaku remaja (Schill, 2012). Lebih lanjut dari berbagai studi di Amerika Serikat
diketahui bahwa pelaku kejahatan kekerasan sebagian besar dilakukan remaja berusia 16-17
tahun; dimana jumlah pelaku kekerasan remaja laki-laki lebih banyak daripada pelaku remaja
perempuan. Namun, sayangnya pola menunjukkan bahwa jumlah pelaku kejahatan kekerasan
anak terus meningkat.
Jumlah anak yang melakukan kejahatan pada usia sangat dini tidak sebanyak pelaku kejahatan
anak pada usia remaja. Terlebih lagi di Indonesia, hal ini belum banyak diketahui jumlah dan
penyebabnya. Oleh karena itu, masih dibutuhkan kajian lebih lanjut atas fenomena ini agar kita
mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai peristiwa kejahatan anak.
Mengapa anak melakukan kejahatan?
Anak-anak yang melakukan kejahatan kekerasan melakukannya untuk berbagai alasan.
Penelitian kriminalitas remaja di Inggris oleh Wilson dan kolega (2006) serta Snyder dan
Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku kejahatan kekerasan anak
banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang sosialekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak
yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan atau
menyalahgunakan zat adiksi terlarang (Brown, 2010).
Anak-anak yang mengalami trauma kekerasan juga dapat menjadi pelaku kejahatan kekerasan
karena mengembangkan cara pandang yang salah tentang penggunaan kekerasan dalam
kehidupannya kelak. Misalkan: anak yang pernah mengalami plonco menggunakan kekerasan
di masa awal adaptasi sekolahnya, dapat mengembangkan pemahaman yang salah mengenai
kegunaan plonco sebagai cara memperlakukan adik kelasnya kelak. Atau anak-anak yang
mengalami pengabaian dan kurangnya pengawasan dapat terlibat dalam perilaku geng, dan
mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku dibawah pengaruh kelompok bahkan melakukan

tindakan kriminal seperti mencuri dan mengutil bersama kelompoknya. Hal-hal tersebut dapat
disebut sebagai faktor resiko perilaku kejahatan anak.
Meskipun kadang-kadang tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti motivasi di balik setiap
kejahatan; namun tetap penting untuk memeriksa semua faktor yang terlibat. Lebih lanjut,
penting untuk diperiksa alasan mengapa anak-anak melakukan jenis kejahatan karena mungkin
saja anak melakukannya sebagai bagian dari teriakan minta tolong, yang disebabkan dari riwayat
pelecehan dan penelantaran.
Faktor risiko lain yang perlu dipertimbangkan adalah adanya gangguan psikologis, seperti:
kecemasan, manic-depresi, skizofrenia dan kecenderungan gangguan kepribadian.
Kecenderungan karakteristik kepribadian yang sering diasosiasikan dengan perilaku kejahatan
adalah: 1) Narsisme, (perasaan dan pikiran bahwa diri adalah spesial dan lebih unggul daripada
orang lain, serta menganggap orang lain rendah dan tidak memiliki hak); 2) Psikopatik (demi
mencapai tujuannnya tanpa ragu menyakiti/merugikan orang lain tanpa rasa bersalah). Beberapa
perilaku anak yang mengindikasikan gangguan kepribadian dapat mulai tampak sejak masa
kanak, seperti: perilaku dan sikap kejam terhadap hewan dan mahluk yang lebih lemah, isolasi
sosial, pembangkangan berulang, riwayat tindakan kriminalitas ringan, obsesi yang tidak sehat
dengan kematian, pengalaman melakukan kekerasan dan memulai kebakaran.
Dengan mengetahui berbagai faktor resiko munculkan perilaku kejahatan anak, maka ahli
Psikologi, tenaga kesehatan mental, pendidik, serta masyarakat dapat menyusun panduan
identifikasi anak-anak yang rentan memunculkan perilaku kejahatan. Berbekal pemahaman ini,
selanjutnya perlu dikembangkan pendekatan interventif untuk mencegah dan menangani
persoalan yang dihadapi oleh anak. Pendekatan interventif yang efektif pada akhirnya diharapkan
untuk dapat menurunkan intensitas dan frekuensi perilaku kejahatan anak.
Untuk kasus di atas, perlu diidentifikasi apa saja faktor resiko yang dimiliki atau dialami oleh
tersangka pelaku kejahatan anak. Faktor-faktor itu nantinya akan menjadi panduan intervensi
untuk memperbaiki perilaku anak dan juga proses-proses mentalnya (emosi, karakter dan corak
berpikirnya) agar menjadi lebih adaptif.
Bagaimana Anak dapat melakukan kejahatan?
Anak belajar dari mengamati. Hal yang paling alamiah dilakukan anak adalah belajar dari
melihat perilaku dari orang-orang di sekitarnya, serta informasi yang dia dapat dari
lingkungannya. Dalam perspektif belajar sosial, Akers (1979; 1998 dalam Rogers, 2001)
menjelaskan bahwa ada empat proses yang menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku dalam
proses belajar sosial perilaku penyimpangan norma sosial, yaitu: 1) asosiasi diferensial, 2)
definisi, 3) imitasi, dan 4) penguatan diferensial. Akers menyatakan bahwa seseorang akan
melakukan perilaku yang melanggar norma jika ia berhubungan dengan orang-orang lain yang
melakukan, memodel, dan mendukung perilaku pelanggaran terhadap norma sosial dan hukum
(proses asosiasi diferensial). Selanjutnya definisi pribadi seseorang akan terbentuk setelah ia
berasosiasi dengan suatu lingkungan dengan norma tertentu, khususnya norma yang dianut
sebagian besar anggota kelompok dimana dia terkait (proses definisi). Kemudian ketika
seseorang banyak terekspos model lalu mengobservasi model yang perilakunya menyimpang

maka ia akan meingimitasi apa yang banyak dilihat dan diamatinya (proses imitasi). Perilaku
menyimpang itu dapat berlanjut atau bertambah kuat jika diberikan penguatan melalui perilaku
penerimaan kelompok atau munculnya konformitas kelompok (proses penguatan diferensial).
Keempat proses tersebut saling mempengaruhi satu sama lain untuk menjadi pembentuk belajar
sosial terhadap perilaku tertentu.
Dari kasus di atas, maka perlu dicari penjelasan apakah si tersangka anak melakukan kejahatan
kekerasan disebabkan dari proses belajar mengamati? Mengamati dari orang-orang di sekitarnya,
ataukah meniru tokoh dari film atau pertunjukkan tertentu? Jika ya, maka keempat proses belajar
sosial perilaku penyimpangan menurut Akers dapat digunakan untuk menjelaskan kemunculan
perilaku kejahatan kekerasan.
Pemberdayaan untuk mencegah kejahatan anak
Upaya pencegahan kejahatan anak akan lebih bermakna daripada upaya kuratif pada perilaku
kejahatan anak. Karena begitu anak telah terlibat dengan kejahatan maka ia akan berhadapan
dengan Hukum, untuk mempertanggungjawabkan perilakunya.
Ada beberapa program preventif yang dapat dilakukan, terutama pada anak-anak yang telah
diketahui memiliki resiko melakukan kejahatan, yaitu: 1) Pengelolaan kemarahan; 2)
peningkatan kemampuan sosial; 3) Intervensi keluarga anak dengan resiko melakukan kejahatan
(Schill, 2012).
Pengelolaan kemarahan atau sering disebut sebagai anger management, bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan remaja untuk mengendalikan marah dengan relaksasi dan
pengarahan diri. Biasanya hal ini dilakukan secara berkelompok, dimana masing-masing remaja
yang memiliki persoalan dengan kemarahan akan saling berbagi pengalaman dan saling
mendukung satu sama lain untuk mencapai pengelolaan kemarahan yang lebih optimal dan
adaptif.
Program pencegahan kekerasan juga dapat dikombinasikan dengan usaha pengembangan
kemampuan sosial anak. Anak diminta untuk membayangkan berbagai cara yang lebih adaptif
yang dapat dia lakukan jikalau menghadapi suatu persoalan atau kesulitan. Contohnya: jika
biasanya anak dengan resiko merespon problem dengan rekan sosial dengan perilaku impulsif
marah dan merusak, maka mereka diminta mencari cara yang lebih positif menghadapi persoalan
sosial misalkan membangun komunikasi empatik secara terbuka. Mereka juga akan diajak
berlatih untuk menjadi lebih peka dan empatik pada orang-orang di sekitarnya serta lebih mampu
untuk mengkomunikasikan perasaan mereka secara terbuka tanpa harus agresif. Setelah itu,
pelatih akan terus mencari cara-cara untuk mempertahankan kemampuan anak yang telah
berubah menjadi lebih adaptif.
Terakhir, karena banyak pelaku kejahatan anak berasal dari keluarga yang bermasalah, maka
intervensi juga perlu dilakukan. Dalam intervensi ini, seorang ahli Psikologi (terapis atau
konselor), akan bekerjasama dengan keluarga untuk meningkatkan fungsi keluarga,
meningkatkan proses komunikasi, membantu pembagian tugas dan peran dalam keluarga yang

lebih proporsional, serta mengembangkan kemampuan menyelesaikan persoalan keluarga secara


efektif.
Simpulan
Terjadinya peristiwa di atas selayaknya membuka mata kita mengenai persoalan kejahatan anak.
Kejahatan anak sebaiknya tidak dihadapi dengan sikap mencari siapa yang salah?; melainkan
bagaimana cara kita melakukan penyelesaian yang terbaik secara psikologis juga secara hukum.
Pemberdayaan anak dan keluarga yang beresiko terlibat dalam kejahatan dapat menjadi salah
satu alternatif yang bisa kita lakukan untuk mencegah fenomena kejahatan anak. Selanjutnya
berbagai kajian kejahatan anak masih perlu dikembangkan untuk memperkuat pemahaman kita
mengenai apa kejahatan anak dan bagaimana menghadapi kejahatan anak di Indonesia.
Referensi
Schill, R. (2012) When Kids commit crimes. http://www.thecrimereport.org/news/insidecriminal-justice/2012-03-when-kids-commit-crimes
Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010) The Cambridge handbook of Forensic Psychology.
Cambridge, London.
Davies, G. & Hollin, C. & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley & Sons, West
Sussex.

You might also like