You are on page 1of 13

Arthritis rheumatoid

Novy Triandani Limbong


102011095
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
e-mail: novy.triandani@hotmail.com
Pendahuluan
Arthritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik
kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah
poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit,
jantung, paru-paru, dan mata. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi dini, dapat menurunkan
progresifitas penyakit.
Anamnesis
Sendi mana yang terkena? Umumnya pergelangan tangan, jari tangan, siku, bahu, lutut, dan
sendi atlanto aksial yang terkena. Adakah nyeri? Jika ya, kapan dan dimana? Adakah kaku,
bengkak atau deformitas? Umumnyta ada kaku di pagi hari selama lebih dari satu jam. Apa
akibat fungsionalnya? Apa yang tak lagi bisa dilakukan pasien (misalnya jarak berjalan, mampu
berpakaian, pindah tempat)? Adakah tanda sistemik seperti malaise, penurunan berat badan, atau
gejala anemia? Adakah system lain yang terkena? Adakah iritis, gejala anemia, bengkak pada
pergelangan kaki (sindrom nefrotik), sesak napas (fibrosis paru).1
Riwayat penyakit dahulu, bagaimana pola penyakit? Sendi mana yang terkena? Bagaimana
aktivitas peradangan? Adakah organ lain yang terkena? Pengobatan apa yang didapati pasien?
Pernahkah pasien menjalani bedah pergantian sendi, mendapat obat-obatan, fisioterapi, atau
bantuan lain? Adakah riwayat gangguan autoimun lain?1

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan arthritis rheumatoid adalah penilaian standar untuk
peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis
juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan
pericardial, efusi pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah.2
Pada arthritis rheumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas
boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada
sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas
boutonnierre, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terdapat hiperekstensi dari sendi PIP dan
fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakrpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silicon.2
Pemeriksaan penunjang
Tabel Pemeriksaan Penunjang Diagnosis untuk Arthritis Rheumatoid
Pemeriksaan
Penemuan yang berhubungan
C-reactive protein (CRP)
Umumnya meningkat sampai > 0,7
picogram/mL. bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit.
Laju endap darah (LED)
Sering meningkat >30 mm/jam, bisa
digunakan untuk monitor perjalanan
penyakit.
Hemoglobin/Hematokrit
Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar
10g/dL, anemia normokromik, mungkin
juga normositik atau mikrositik.
Jumlah lekosit
Mungkin meningkat
Jumlah trombosit
Biasanya meningkat
Fungsi hati
Normal atau fosfatase alkali sedikit
meningkat
Faktor rheumatoid (RF)
Hasilnya negative pada 30% penderita AR
stadium dini. Jika pemeriksaan awal
negative dapat diulang setelah 6-12 bulan
dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil
positif pada beberapa penyakit seperti SLE,
scleroderma, sindrom sjorgen, penyakit
keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk

Foto polos sendi

MRI

Anticyclic citrullinated peptide antibody


(anti-CCP)

Anti RA33
Antinuclear antibody (ANA)
Konsentrasi komplemen
Imunoglobulin (Ig)
Pemeriksaan cairan sendi

Fungsi ginjal

Urinalis

penilaian perburukan penyakit.


Mungkin normal atau tampak adanya
osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit. Foto pergelangan
tangan dan pergelangan kaki penting untuk
data dasar, sebagai pembanding dalam
penelitian selanjutnya.
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih
awal dibandingkan dengan foto polos,
tampilan struktur sendi lebih rinci.
Berkorelasi dengan perburukan penyakit,
sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi
dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik
dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas
pemeriksaan anti-CCP.
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF
dan anti CCP negative.
Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR
Normal atau meningkat
Ig -1 dan -2 mungkin meningkat
Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada
AR tidak ditemukan Kristal, kultur negative,
dan kadar glukosa rendah.
Tidak ada hubungan langsung dengan AR,
diperlukan untuk memonitor efek samping
terapi.
Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa
ditemukan pada kebanyakan penyakit
jaringan ikat.

Kriteria diagnostik
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh criteria dari
American College of Rheumatology. Pada penderita AR stadium awal mungkin sulit mengakkan
diagnosis definitive dengan menggunakan criteria ini. Pada kunjungan awal, penderita harus
ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelamahan serta keterbatasab
fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya cirri-ciri seperti

yang disebutkan diatas. Dilakukan modifikasi terhadap criteria ACR dengan memasukkan
pemeriksaan anti-CCP dan membuang criteria nodul rheumatoid dan perubahan radiologis,
sehingga jumlah criteria menjadi enam. Diagnosis AR ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6
kriteria.3
-

Kaku pagi hari (morning stiffness)


Arthritis pada 3 persendian atau lebih
Arthritis pada persndian tangan
Arthritis yang simetrik
Nodul rheumatoid
Faktor rheumatoid serum positif
Perubahan gambaran radiologis3

Working diagnosis
Artritis reumatoid
Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu berkisar antara 0,5
1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing 5,3
dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di Negara barat kurang lebih sama yaitu 0,75%.
Sedangkan di China, Indonesia dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik di daerah
urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR
sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di
daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan
pada periode Januari sampai dengan Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah
seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua
kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada decade keempat dan kelima.3

Etiologi
Faktor genetic
Etiologi dari AR tidak diketahui scara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor
genetic dan lingkungan. fakor genetic berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan dengan HLA-DRB1 dengan kejadian
AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan
AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRS11A yang mengkode activator reseptor nuclear factor
kappa B (NF-B). gen ini berperan penting dalam resorpsi tulan pada AR. Faktor genetic juga
berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti
methylenetetrahydrofolatereductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolism
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetic. Pada kembar monosigot
mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit
putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka
kesesuaian sebesar 80%.3
Hormone sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga
hormone sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa
terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena adanya antibody
dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop
HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. Adanya perubahan profil hormone. Placental
corticotrophin releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron
(DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sell
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun seluler dan humoral. DHEA
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesterone
menstimulasi reespon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh
karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesterone mempunyai efek

yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah
perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.3

Faktor infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit . organism ini diduga
menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata
terbukti sebagai penyebab penyakit.3
Faktor risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keliuarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan
merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral
berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami
perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.3
Patogenesis
Penyebab tidak diketahui, prevalensi pada orang dewasa sekitar 3%, terlazim dimulai pada
kehidupan dewasa muda dan berhubungan dengan peningkatah HLA-D4 dan HLA-DR4. Bukti
menunjuk pada aktivitas imun berlebihan yang menetap, autoimun dan adanya kompleks imun
pada sisi artikular dan ekstraartikular. Antibody IgG, IgM dan IgA sirkulasi (faktor reumatoid)
dihasilkan sebagai respon atas antigen yang tidak dikenal, dan system imun dicetuskan dengan
menyebabkan peradangan dan destruksi jaringan. Sendi membrane synovial membengkak dan
mengalami kongesti dengan limfosit, netrofil, sel plasma, dan makrofag. Ada gambaran
histology dari jaringan granulasi yang dikenal dengan nama pannus. Pannus menghancurkan
kartilago artikular dan tulang subkondral yang menghasilkan erosi tulang. Fibrosis dan ankilosis
tulang dihasilkan dan terjadi efusi sendi dan atrofi otot yang berdekatan. Nodul subkutis terdiri

dari serat kolagen yang mengalami fragmentasi, debris selular dan eksudat, dan dikelilingi oleh
barisan sel mononuclear.3,4
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofg dan fibroblast synovial setelah
adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel
inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang irregular pada jaringan synovial yang mengalami inflamasi
sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.3,4
Gejala klinis
-

Awitan RA ditandai oleh gejala umum inflamasi, berupa demam, keletihan, nyeri
tubuh, dan pembengkakan sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi, mulamula karena inflamasi akut dan kemudian akibat pembentukan jaringan parut. Sendi
mekarpofalangeal dan pergelangan tangan biasanya adalah sendi yang pertama kali
terkena. Kekakuan terjadi pada lebih parah pada pagi hari dan mengenai sendi secara

bilateral. Episode inflamasi diselingi dengan periode remisi.


Penurunan rentang gerak, deformitas sendi, dan kontraksi otot.
Nodulus rheumatoid ekstrasinovial terbentuk pada sekitar 20% individu yang
mengalami RA. Pembengkakan ini terjadi atas sel darah putih dan debris sel yang
terdapat di daerah trauma atau peningkatan tekanan. Nodulus biasanya terbentuk di
jaringan subkutan di atas siku dan jari tangan.5

Komplikasi
Anemia, berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit, 75% penderita AR mengalami anemia
karena penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Kanker, mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan, kejadian limfoma dan leukemia 23 kali lebih sering terjadi pada penderita AR, peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid,
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.

Komplikasi kardiak, 1/3 penderita AR mungkin megalami efusi pericardial asimptomatik saat
diagnose ditegakkan, miokarditis bisa terjadi baik dengan atau tanpa gejala, blok atrioventrikular
jarang ditemukan.
Penyakit tulang belakang leher( cervical spine disease) , tenosinovitis pada ligamentum
transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila melakukan intubasi
endotrakeal, mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan berkurangnya lingkup gerak ,
subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral. Myelopati bisa
terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ektremitas atas dan parestesia.
Gangguan mata, episkleritis jarang terjadi. Peningkatan infeksi umumnya merupakan efek dari
terapi AR.
Pembentukkan fistula, terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya
bursa dengan kulit.
Deformitas sendi tangan, deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere
(fleksi PIP dan hiperekstensi DIP), deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas
boutonniere), hiperekstensi dari ibu jari, peningkatan risiko rupture tendon.
Deformitas sendi lainnya, beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain, frozen shoulder,
kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal.
Komplikasi pernafasan, nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi
kavitas. Bisa ditemukan inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri
pada laring. Pleuritis ditemukan pada 20% penderita.
Nodul rheumatoid, ditemukan pada 20-35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan
ekstensor ekstremitas atas atau daeah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah
sclera, pita suara, sacrum atau vertebra.
Vaskulitis, bentuk kelainannya antara lain, arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi
kutaneus, arteritis organ viscera dan arteritis koroner, terjadi peningkatan risiko pada penderita
perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam
DMARD;berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.3

Penatalaksanaan
Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi, menjaga
struktur persendian, mempertahankanfungsi sendi, dan mengontrol perkembangan sistemik.6
Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut:
1. Obat-obatan
a. NSAID
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator
peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase prostaglandin atau siklooksigenase.
Enzim-enzim ini mengubah asamlemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yangsudah
dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin.
Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritisreumatoid. Produksi dari
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan inimemberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan
anti-piretik.2
b.

Disease-modifying antirheumatic drugs

Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D- penicilamine, antimalaria,


dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya,
obat-obat inimemberikan beberapa karakteristik.
Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapatmengendalikan artritis
reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telahdisebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh
U.S Food and Drugs Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid.
Tujuan pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk mengendalikan manifestasi
klinis dan menghentikan atau memperlambat kemajuan penyakit.2
2. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada penderita
artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang
berguna untuk mengontrol gejala.Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa

terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang. Dosis steroid
harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek samping seperti
osteoporosis, katarak, gejala Chusingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai dengan
pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400 800 IU per hari. Bila arthritis hanya mengenai
satu sendi dan menyebabkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan
efektif, walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya arthritis infeksi harus disingkirkan
sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan,
terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan Rheumatologist
menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound
effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi
DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD terbaru saat ini
mempunyai mula kerja relative cepat.2,3
3. Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritisreumatoid dengan
kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan penggantian total sendi dapat dilakukan
pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu.
Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas.2
Non farmakologik
Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi
asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. pemberian suplemen
minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR.
Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan
manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splintingblum didapatkan
bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila terdapat nyeri berat yang
berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna atau
keterbatasan fungsi yang berat, dan apabila ada ruptur tendon.3
Prognosis

Predictor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain, skor fungsional yang rendah, status
sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR,
melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP
positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul rheumatoid/manifestasi
ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak
berhasil memenuhi criteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi.
Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan terapi.
Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an,
memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13
tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan
dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan
jangka panjang DMARD terbaru.3
Different diagnosis
Gout
Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat deposisi Kristal monosodium urat
pada persendian dan jaringan lunak. Gout adalah penyakit yang sering ditemukan, merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi Kristal monosodium urat pada jaringan,
akibat gangguan metabolism berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi
arthritis gout, akumulasi Kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati
gout.
Diagnose ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan laboratorium. Diagnosis
yang definitive/gold standard, yaitu ditemukannya Kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.
Untuk memudahkan penegakan diagnosis arthritis gout akut, dapat digunakan criteria dari ACR
(American College of Rheumatology):
a. Ditemukannya Kristal urat di cairan sendi, atau
b. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau
c. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratories dan radiologis berikut:
- Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
- Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu sehari
- Arthtritis monoartikuler
- Kemerahan pada sendi

Bengkak dan nyeri pada MTP-1


Arthritis unilateral yang melibatkan MTP-1
Arthritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
Kecuigaan adanya tofus
Pembengkakan sendiyang asimetris (radiologis)
Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi2

Osteoarthritis
Osteoarthritis adalah gangguan sendi kronik yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara
degradasi dan sintesis rawan sendi serta matriks ekstraseluler, kondrosit dan tulang subkondral
pada usia tua. Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring meningkatnya usia. Sampai usia
45 tahun OA lutut lebih banyak diderita laki-laki daripada wanita, tetapi setelah usia 45 tahun
terjadi hal sebaliknya.6
Pada OA terjadi perubahan morfologi, biokimia, molekuler dan biomekanik baik pada sel
kondrosit maupun matriks rawan sendi yang mengakibatkan pelunakan, ulserasi, hilangnya
rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Timbul rasa
nyeri, nyeri tekan dan penurunan kisaran gerak sendi serta kekakuan sendi. Faktor risiko OA
yang tidak dapat diubah antara lain riwayat keluarga, jenis kelamin, suku, dan usia sedangkan
faktor risiko yang dapat diubah antara lain obesitas, aktivitas fisik berlebihan, kelemahan
otot,trauma, hormonal, rokok, hipertensi, hiperurisemia, dan diet. Sendi yang mengalami cedera
akan mengalami OA beberapa tahun kemudian sehingga OA dapat timbul lebih dini (OA
sekunder).6
Penutup
Arthritis rheumatoid adalah merupakan penyakit autoimundan ditandai inflamasi sistemik
kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.
Etiologi dari AR masih belum diketahui secara pasti. Ada berbagai faktor yang berperan terhadap
kejadian AR, seperti faktor genetic, hormone sex, hingga faktor risiko. Mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kita dapat mendiagnosis dengan baik, kemudian
dapat kita berikan terapi dengan obat-obat yang telah disebutkan di pembahasan.
Daftar pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-1. Jakarta: penerbit
erlangga; 2007, h.191
2. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM,editors.
Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.h. 1385-91
3. Sudoyo AW, Setioyohati B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Internal publishing, 2009.h. 2495-505
4. Hayes, Peter C. Diagnosis dan terapi. Edisi ke 1. Jakarta: EGC; 1997.h. 292
5. Corwin. E.j. Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h. 347-9
6. Sjamsuhodajat R et al. buku ajar bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010.h. 1006-7

You might also like