Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Diabetes dalam bahasa Yunani adalah berjalan melewati atau aliran telah di kenal sejak
zaman Mesir kuno. Melitus (dari bahasan latin dan Yunani) yang berarti madu dan dikenal
dengan diabetes urin yang terasa manis. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu grup penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang dihasilkan oleh defek pada sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya (Scobie, I.N, 2007).
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. World Healt Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi akibat
dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. (Purnamasari, D. 2009)
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus menerus terjadi baik oleh WHO
maupun American Diabetes Association (ADA). Para pakar di Indonesia pun bersepakat melalui
PERKENI (Perkumpulan Endrokinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan
standar pengelolaan diabetes mellitus, yang kemudian juga melakukan revisi consensus tersebut
pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru. (Purnamasari, D.
2009)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin adalah
hormon yang berfungsi untuk meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah
atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel saraf dan
pembuluh darah (WHO, 2008).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering
ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka
kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan
peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun
(Subekti, 2004).
Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak
ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut
dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003).
Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%
dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan
diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat
membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan kelompok
etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan
eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu (Subekti, 2004).
Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan
kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan terjadinya Diabetes melitus (DM).
Tabel 1:
2
Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada penduduk dewasa
di seluruh dunia 1995 dan 2025
Urutan
Negara
1995
1
2
3
India
Cina
Amerika
(juta)
19,4
16,0
13,9
Serikat
Federasi
5
6
Russia
Jepang
Brazil
7
8
9
10
Negara
2025
1
2
3
India
Cina
Amerika
(juta)
57,2
37,6
21,9
8,9
Serikat
Pakistan
14,5
6,3
4,9
5
6
Indonesia
Federasi
12.4
12,2
7
8
9
10
Russia
Meksiko
Brazil
Mesir
Jepang
Indonesia
Pakistan
Meksiko
Ukraine
Semua
4,5
4,3
3,8
3,6
49,7
negara lain
Jumlah
Sumber : Subekti, 2004
135,3
urutan
11,7
11,6
8,8
8,5
103,6
300
Prevalensi terjadinya DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua
tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di
Pekajangan prevalensinya sedikit tinggi, dikarenakan di daerah tersebut banyak perkawinan
antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena
pada studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi lebih
selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada
kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar
8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Penelitian terakhir antara tahun 2001
dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di
Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 mencapai 12,5%(Supartondo dan Waspadji, 2003).
Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan
jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%. Melihat tendensi
kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di atas, maka dengan demikian
3
dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade yang akan datang
kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan meningkat dengan drastis.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya
(Suryono Slamet, 2007):
a. Faktor demografi :
1) Jumlah penduduk meningkat
2) Penduduk usia lanjut betambah banyak
3) Urbanisasi makin tak terkendali
b. Gaya hidup yang kebarat-baratan :
1) Penghasilan per capita tinggi
2) Restoran siap santap
3)Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan
c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.
2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2), etiologi pada pasien dapat
berupa kelainan familial yang diturunkan. Pasien dengan DM memilki setidaknya 40% resiko
terkena diabetes apabila memiliki saudara kandung dengan diabetes, dan 33% untuk cucunya
nanti (Khardori, 2014).
Beberapa gen telah diketahui berhubungan erat dengan kejadian DM tipe 2 dengan pola
familial yang kuat. Kerusakan gen-gen tersebut menyebabkan dua mekanisme utama dalam DM
tipe 2, yaitu resistensi insulin dan sekresi inadekuat insulin (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Faktor resiko utama dalam perkembangan DM tipe 2 pada seseorang dapat berupa
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013; Hussain et al, 2010):
1. Umur lebih dari 45 tahun (walaupun sekarang sudah mulai mengalami pergeseran,
dimana usia lebih muda juga dapat mengalami DM tipe 2)
2. Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
3. Riwayat DM pada keluarga derajat pertama (orangtua atau saudara kandung)
4
4. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
5. Hipertensi (>140/90 mmHg) atau dislipidemia (kolesterol HDL < 40 mg/dL atau kadar
trigliserida > 150 mg/dL)
6. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan anak dengan berat badan lahir lebih dari 4
kg
7. Sindrom kista ovarium.
2.4. PATOFISIOLOGI
Mekanisme utama patofisiologi DM tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin dan
insufisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin berhubungan erat dengan kondisi obesitas, dimana
obesitas akan menyebabkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi sistemik, menyebabkan selsel tidak peka terhadap insulin. Mekanisme persisnya yang menyebabkan sitokin proinflamasi
dapat menyebabkan penurunan kepekaan sel terhadap insulin masih belum dapat diketahui pasti
(Ozougwu et al, 2013).
Karena resistensi insulin, maka sel beta pankreas akan meningkatkan produksi insulin
untuk menyesuaikan keadaan glukosa darah dan kebutuhan relatif sel akan insulin dimana
kepekaannya telah berkurang. Oleh karena itu, pada keadaan prediabetik, akan ditemukan
keadaan hiperinsulinemia dengan kadar glukosa darah yang masih normal. Namun kemampuan
pankreas untuk mempertahankan sekresi insulin yang tinggi tersebut terbatas, dan semakin lama
resistensi insulin yang semakin meningkat akan meningkatkan stres sel beta pankreas
memproduksi insulin, sehingga pelan-pelan sel-sel beta akan mengalami kemunduran produksi
insulin, dan terjadilah keadaan insufisiensi sekresi insulin (Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson,
2003).
Saat resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin terjadi, maka terjadilah keadaan
diabetes. Gula darah akan meningkat, dan mekanisme lain untuk mempertahankan kadar glukosa
darah agar tetap dalam kadar normal diambil alih oleh ginjal. Ginjal akan mengekskresikan
glukosa, sehingga akan timbul glikosuria. Kadar glukosa yang tinggi di urin inilah yang menjadi
alasan diabetes mellitus juga disebut penyakit kencing manis (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
5
Glikosuria akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik urin. Hal ini akan
menyebabkan plasma darah yang melewati ginjal akan ditarik ke nefron sehingga kadar air yang
diekskresikan ginjal bertambah, menyebabkan poliuria. Poliuria kemudian akan menyebabkan
kadar cairan tubuh berkurang, sehingga mekanisme fisiologis akan dehidrasi bekerja,
menyebabkan rasa haus dan polidipsia. Glikosuria menyebabkan sumber energi tubuh (glukosa)
terbuang, ditambah dengan ketidakmampuan relatif sel-sel tubuh mengonsumsi glukosa karena
resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin, menyebabkan rasa lapar, polifagia, mudah
lelah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pasien DM tipe
2. Oleh karena itu, poliuria, polidipsia, dan polifagia adalah gejala klasik DM yang paling awal
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003)
Ginjal tidak dapat menyekresikan glukosa hingga pada kadar yang normal, sehingga
walaupun sudah terjadi glikosuria dan poliuria, kadar glukosa darah tetap tinggi. Kadar glukosa
darah yang tinggi ini akan menyebabkan
glukosa sistemik, yang terutama akan menumpuk pada pembuluh darah dan neuron. Apabila
keadaan hiperglikemia tetap dibiarkan kronis, maka komplikasi metabolik akut, vaskular, dan
neurologis DM akan terjadi (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Komplikasi metabolik akut lebih dikarenakan oleh disfungsi kontrol metabolik insulin,
terutama pada hati, dibandingkan hiperglikemia itu sendiri. Insulin tidak hanya menyebabkan
glukosa darah dapat dikonsumsi oleh sel, namun insulin juga mengontrol fungsi glikogenesis,
lipogenesis, glukoneogenesis, lipolisis, dan pembentukan badan keton. Ketosis adalah keadaan
metabolik akut yang dapat terjadi pada keadaan DM dengan insufisiensi sekresi insulin yang
nyata, menyebabkan keadaan yang disebut sebagai ketoasidosis metabolik (KAD). Namun KAD
lebih sering ditemui pada pasien dengan DM tipe 1. Keadaan ini ditandai dengan terjadinya
gejala-gejala asidosis, seperti takipnea, penurunan pH darah, dan penurunan kadar bikarbonat
darah (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Pada pasien dengan DM tipe 2, gangguan metabolik akut yang lebih sering terjadi adalah
hyperglicemic hyperosmolar state (HHS). Karena pada DM tipe 2 hanya terjadi (walau hanya
pada awalnya) insufisiensi sekresi insulin relatif, maka insulin yang ada masih cukup untuk
mengontrol fungsi metabolik hati untuk memproduksi badan keton, sehingga kadar badan keton
pada tubuh dapat ditekan, dan tidak terjadi ketosis. Namun, hiperglikemia akut, yang biasanya
terjadi apabila glukosa darah lebih dari 600 mg/dL dan terutama pada pasien tua, akan
6
Mekanisme lain yang terjadi pada penderita DM tipe 2 adalah gangguan metabolisme
jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) dikarenakan insufisiensi insulin relatif
menyebabkan kadar insulin yang kurang tidak dapat mengatur jalannya metabolisme ini.
Akibatnya, akan terjadi penumpukan sorbitol pada lensa mata, yang akan menyebabkan
elastisitas lensa berkurang, dan terjadilah katarak diabetika (Ozougwu et al, 2013; Price &
Wilson, 2003).
Penumpukan sorbitol juga terjadi pada serabut mielin, dimana sorbitol akan merusak
serabut mielin dan akson akan mengalami degenerasi. Penurunan kemampuan akson ini akan
menyebabkan neuropati diabetik, yang akan berakibat luas kepada sistem saraf sensorik, sistem
saraf motorik, dan sistem saraf otonom (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Kerusakan sistem saraf sensorik akan menyebabkan parestesia, anestesia, dan penurunan
kepekaan akan rangsang nosiseptif, sehingga penderita DM tipe 2 dapat mengalami
kecenderungan untuk mengalami luka tanpa disadari, terutama pada daerah kaki. Sedangkan
pada sistem saraf motorik, dapat terjadi kelemahan otot. Kerusakan pada sistem otonom dapat
menyebabkan impotensi (Price & Wilson, 2003).
2.5. GEJALA KLINIS
Penderita sering mengeluh lemah, kadang-kadang terasa kesemutan atau rasa baal serta
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun
8
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda
DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan
diagnosis definitif (Sudoyo Aru, 2006).
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan
khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
pasien wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan
gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis
DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan
75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Purnamasari, D. 2009)
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup) dan
tetap melakukan kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula diperbolehkan
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
10
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus
(DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT
dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2002).
11
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT) 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian
American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat DM
gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular
Tabel 2.
Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Kadar
glukosa
Bukan DM
Belum pasti
DM
< 110
DM
110-199
> 200
Darah
< 90
90-199
> 200
kapiler
darah Plasma vena
< 110
110-125
> 126
Darah
< 90
90-199
> 110
sewaktu (mg/dl)
Kadar
glukosa
puasa (mg/dl)
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
Tabel 3.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
12
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah
puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria
diagnostik yang sama.
2.7. KOMPLIKASI
Komplikasi pada diabetes mellitus terbagi menjadi dua, komplikasi metabolik akut dan
komplikasi jangka panjang.
A. Komplikasi Metabolik Akut
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi ini disebabkan oleh insufisiensi sekresi insulin, sehingga lebih sering dialami
oleh pasien DM tipe 1, namun dapat juga terjadi pada DM tipe 2. Gejala yang didapatkan
pada KAD dapat berupa (Raghavan, 2014):
-
Tanda dehidrasi
o Takikardia dengan pulsasi lemah
o Kulit dan lidah kering
o Hipotensi
o Peningkatan capillary refill time
Tanda asidosis
o Pernafasan dalam dan cepat (Kussmaul)
13
o Nyeri perut
o Gangguan kesadaran
o Mual dan muntah
-
Tanda hiperglikemia
o Poliuria
o Polidipsia
o Rasa haus
o Nokturia
Dehidrasi nyata
Gangguan kesadaran
3. Hipoglikemia
14
Hipoglikemia terjadi akibat pemberian insulin yang melebihi dosis atau pemberian agen
hipoglikemik tanpa disertai asupan makanan yang cukup. Hipoglikemia dapat
memberikan gejala dalam kadar yang berbeda-beda pada setiap orang, namun rata-rata
dapat muncul dalam kadar glukosa darah < 50 mg/dL. Gejala yang dapat ditemukan pada
pasien dengan hipoglikemia adalah (Hamdy, 2014):
-
Berkeringat
Tremor
Takikardia
Kecemasan
Sensasi lapar
Kelemahan
Gangguan kesadaran
Koma
15
o Hemoragi flame-shaped
o Edema retina dan hard exudates
o Cotton-wool spots
o Lekukan vena dan pembengkakan vena
o Edema makula
Retinopati diabetik, berdasarkan keparahan dan gambaran klinisnya, dibagi menjadi
dua, yaitu non-proliferatif dan proliferatif.
o Retinopati diabetik non-proliferatif (NPDR)
Ringan
Sedang
Berat
pembengkakan
vena
pada
minimal
kuadran,
dan
abnormalitas
Hemoragi preretinal
Hemoragi vitreus
Edema makular.
b. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala sebagai berikut
16
(Batuman, 2014):
o Albuminuria persisten (>300 mg/hari atau > 200 g/menit) yang dipastikan pada
2 kali pemeriksaan dengan jarak waktu 3-6 bulan
o Penurunan progresif GFR
o Peningkatan tekanan darah
Nefropati diabetik merupakan penyebab utama penyakit ginjal kronik (CKD) di
Amerika Serikat, dan progresivitasnya menjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
sangat bergantung pada kontrol glukosa darah. Komplikasi ini disebabkan oleh lesi
sklerotik pada glomerulus akibat penumpukan glikoprotein dari hiperglikemia dan
hipertensi, sehingga fungsi filtrasi glomerulus menjadi terganggu.
2. Lesi Makrovaskular
Lesi makrovaskular pada penderita DM tipe 2 disebabkan oleh lesi aterosklerotik yang
dihubungkan dengan hiperglikemia yang kronis. Lesi aterosklerotik ini menyebabkan
pasien dengan DM tipe 2 mengalami kecenderungan tinggi mengalami penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskular, dan ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum, dimana
paling sering berada pada telapak kaki, disebabkan oleh berkurangnya asupan darah pada
luka sehingga agen proinflamasi dan sel-sel imun tidak dapat menjangkau lokasi luka
sehingga proses penyembuhan luka tidak dapat terjadi atau melambat. Kurangnya sistem
imun dapat menjangkau lokasi luka juga membuat infeksi lebih mudah terjadi, seiring
dengan trauma berulang yang tidak disadari karena komplikasi neuropati pada pasien DM
tipe 2 (Rowe, 2014; Ozougwu et al, 2013).
3. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi DM tipe 2 yang biasanya paling awal didapat,
dimana dalam beberapa tahun setelah didiagnosis DM tipe 2, pasien sudah dapat mulai
mengalami sensasi polineuropati distal.
Gejala pada neuropati diabetik bermacam-macam, bermanifestasi pada saraf sensorik,
motorik, dan otonom (Quan, 2014):
-
Sensorik
17
Motorik
Otonom
dengan
proses
penuaan
lensa
(katarak
senilis),
sehingga
kadang
mekanismenya bersamaan dengan katarak senilis (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
C. Kerentanan Infeksi
Secara umum, penyakit infeksi lebih sering atau lebih parah terjadi pada pasien dengan DM,
yang dengan signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Tingginya
frekuensi infeksi pada DM disebabkan oleh kondisi hiperglikemik yang menyebabkan
disfungsi imun (kerusakan fungsi neutrofil, penekanan sistem antioksidan, dan gangguan
fungsi imunitas humoral), mikro dan makroangiopati, neuropati, penurunan fungsi
antibakterial pada urin, dismotilitas sistem gastrointestinal dan urinaria, dan banyaknya
intervensi medis pada pasien DM. Karena rentannya pasien dengan DM untuk mengalami
infeksi, American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan agar pasien DM
mendapatkan imunisasi anti-pneumokokus dan vaksin influenza (Casqueiro et al, 2012).
18
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus tipe 2 adalah salah satu penyakit metabolik yang telah menjadi pandemik di
seluruh dunia, dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Gejala klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan
ditambah dengan pemeriksaan kadar glukosa darah (puasa > 125 mg/dL atau sewaktu > 200
mg/dL) apabila ditemukan dapat langsung memberikan diagnosis diabetes mellitus tipe 2.
Gangguan metabolik ini memiliki beberapa faktor resiko yang sangat kuat hubungannya
dengan pola genetik, obesitas, dan gaya hidup. Interfensi terhadap faktor resiko tersebut,
terutama yang dapat diubah, secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari
penyakit ini.
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada DM tipe 2, yaitu gangguan metabolik akut,
gangguan vaskular, neuropati, dan infeksi. Kondisi hiperglikemia kronis, resistensi insulin, dan
insufisiensi sekresi insulin relatif adalah faktor yang menyebabkan perkembangan komplikasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Scobie I.N. Atlas of diabetes mellitus. 3rd. ed. Healthcare : Informa UK, England. 2007
Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.
Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.
Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14
Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas. Diabetes Melitus. Jakarta; Departemen kesehatan R.I.
2007. Hal;54-55)
Purnamasari, D. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2009; hal 1881
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infection in patients with diabetes mellitus: a review of
pathogenesis. Indian J Endocr Metab 2012; 16:S27-36.
Quan, Diana. 2014. Diabetic Neuropathy. Diunduh di www.emedicine.medscape.com
Bhavsar, Abdhish R. 2014. Diabetic Retinopathy. Diunduh di www.emedicine.medscape.com
20
Vasudevan
A.
2014.
Diabetic
Ketoacidosis.
Diunduh
di
www.emedicine.medscape.com
Hemphill,
Robin
R.
2014.
Hyperosmolar
www.emedicine.medscape.com
21
Hyperglicemic
State.
Diunduh
di