You are on page 1of 50

1.

PENDAHULUAN
I. I. Latar Belakang
Perubahan yang cepat dan meningkat dalam
kondisi ekonomi, teknologi dan demografi
rnemerlukan perubahan yang cepat pula dalam
sistem pertanian. Dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup, masyarakat petani sering
mengembangkan cara yang tidak terbatas untuk
mendapatkan pangan dengan cara pembukaan lahan
dengan tanpa memperhatikan tindakan konservasi
tanah dan air. Pengelolaan lahan tersebut memacu
terjadinya degradasi lahan yang akan rnengganggu
keseimbangan
ekologi
sekitarnya
guna
mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan
(Sustaincible
Agriculture).
Di
Kabupaten
Lamongan, pertanian merupakan sektor utama
dalam pembangunan perekonomian karena
sebagian besar mata pencaharian penduduk secara
langsung atau tidak langsung terkait di bidang
pertanian. Menurut laporan Rancangan Tata Ruang
Wilayah
(RTRW)
Kabupaten
Lamongan,
pembangunan sektor pertanian di Kabupaten
Lamongan masih rnenghadapi berbagai masalah

yang sampai saat ini belum tuntas, antara lain


masih kurangnya partisipasi petani dan masyarakat
dalam hubungan dengan tingkat pemanfaatan
sumberdaya alam yang belum optimal khususnya
pada lahan kritis (sebagai sumberdaya bagi
keseimbangan ekosistem terutama, konservasi
tanah, tata air dan udara). Dalam konteks pertanian,
keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan
untuk
tetap
produktif
sekaligus
tetap
mempertahankan basis sumber daya. Penggunaan
dan pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal
sesuai dengan daya dukungnya hanya dapat
dilakukan apabila tersedia informasi mengenai
kesesuaian lahan di masing-masing daerah yang
bersangkutan.
Dalam konteks kehutanan, setiap ahli
kehutanan atau ahli ekologi hutan telah mengetahui
bahwa didalam mengelola lokasi (site) hutan, kita
harus memperhatikan ekosistem hutan atau
kawasan hutan secara keseluruhan. Interaksi di
antara berbagai faktor lingkungan terutarna sifat
lahan dikaitkan dengan produktivitas hutan sudah
lama diketahui, sehingga di dalarn mengevaluasi
lahan hutan perlu pertimbangan terhadap
faktor-faktor lingkungan tersebut.

Sebagian besar produksi kayu termasuk kayu


jati pada saat yang lalu dan mungkin juga sekarang
ini semata-mata. hanya merupakan usaha
eksploitasi, dengan jalan menebang pohon-pohon
yang mernpunyai nilai ekonomis dan hutan-hutan
alaim yang ada. Dengan pertimbangan akan
kecenderungan menurunnya jumlah sumber daya
hutan dan di banyak daerah, munculnya keperluan
penggunaan lahan bagi keperluan lain diluar
kehutanan (seperti pemukiman, transmigrasi,
pertanian,
perindustrian,
dan
sebagainya),
mengundang perlunya penanganan yang terpadu
didalam pengalokasian Wian tmIuk kehutanan.
Kayu seperti jenis kayu jati banyak digunakan
untuk berbagai keperluan terutama di Pulau Jawa.
Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga
apabila tiang dan papan bangunan rumah serta
perabotannya terbuat dari jati. Berbagai kontruksi
terbuat dari Jati seperti bantalan rel kereta api,
tiang jembatan, balok dan galagar rumah, serta
kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis,
jati digunakan sebagai finjr muka karena memiliki
serat gambar yang indah. Adapun pada industri
perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai untuk

papan kapal yang beroperasi di daerah tropis


(Atmosusenu dan Duljafar, 1996).
Dalam hubungannya dengan tanaman jati,
bonita merupakan kemampuan tempat tumbuh bagi
tanaman jati dalam memberikan hasil berdasarkan
tinggi tegakan dan LIllur tanaman. Kisaran bonita
untuk tanaman jati berkisar dari 1 sampai 6, namun
untuk menemukan bonita dengan nitai 5 atau 6
sekarang ini hampir jarang dijumpal, hal ini
mungkin akibat dari menurunnya tingkat kesuburan
tanah dari waktu ke waktu dan seringnya terjadi
degradasi tanah. Kriteria bonita yang kurang atau
tidak sesuai untuk tanaman jati adalah bonita 1, 1,5
dan 2 (dibawah 2) dan yang sesual untuk tanaman
jati adalah bonita diatas 2 (komunikasi pribadi
dengan Bayu, Perhutani, Malang).
Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
diperlukan suatu rangkaian proses yang terpadu
untuk mempertahankan keberlanjutan dari kondisi
sumberdaya lahan yang ada. Proses didahului
melalui suatu kegiatan evaluasi lahan (hutan) pada
daerah yang bersangkutan untuk dapat mengetahui
kesesuaiannya sebagai hutan potensial, serta
karakteristik lahan di daerah tersebut sehingga

dapat ditetapkan kelas kesesuaian lahannya, apakah


lahan tersebut sesuai atau tidak sesuai untuk suatu
komoditas tertentu (dalam hal ini tanaman jati),
sehingga apabila kurang atau tidak sesuai dapat
diketahui faktor yang menjadi pembatas atau
penghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Untuk
tanaman hutan evaluasi yang paling baik adalah
berdasarkan penampilan (performance) pohon dan
hasil pengukuran jenis-jenis kayu yang mempunyai
nilai ekonomis pada lokasi yang sejenis.
Evaluasi lahan untuk kehutanan sangat
ditentukan oleh kualitas pengaruh jangka panjang
masa mendatang yang mewarnai aspek khusus di
dalam mengevaluasi lahan untuk kehutanan
(Bennema, Gelens, dan Laban, 1981).
Meningkatnya kebutuhan dan persaingan
dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan
produksi pertanian/kehutanan maupun untuk
keperluan lainnya memerlukan pemikiran yang
seksama dalam mengambil keputusan untuk
penggunaan dimasa mendatang. Kecenderungan ini
mendorong pemikiran akan perlunya suatu
perencanaan atau penataan kembali penggunaan
lahan agar lahan dapat dimanfaatkan secara efisien.

Permasalahan dalam penggunaan lahan


sifatnya umum diseluruh dunia, baik negara maju
maupun negara sedang berkembang, terutama akan
menonjol
bersamaan
dengan
terjadinya
peningkatan jumlah penduduk dan proses
industrialisasi. Penataan kembali pengl,,tmaajl
lahan bagi daerah yang telah berpenduduk dan
perencanaan penggunaan lahan bagi daerah yang
belum berpenduduk, akan menyangkut berbagai
permasalahan. Sandy (1980) dalam Soemarno
(1996) mengemukakan sejumlah masalah pokok
dalam usaha penataan penggunaan lahan dan
lingkungan hidup antara lain : 1) adanya
kontradiksi antara kebutuhan untuk menjadi
pemakai yang lebih luas di satu pihak dan
batasan-batasan bagi lingkungan hidup, 2)
peningkatan keperluan hidup di pedesaan yang
tidak disertai dengan kesempatan kerja 3)
terjadinya kerusakan tanah karena kurangnya
pemeliharaan sebagai akibat dari adanya jarak
antara penggarap tanah dan pemilikan tanah.
Selain hal-hal yang dikemukakan diatas, hal
yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya
informasi tentang potensi lahan, kesesuaian lahan
dan tindakan pengelolaan yang diperlukan bagi
setiap areal lahan, yang dijadikan pedoman dalam

pemanfaatan. Untuk, dapat melakukan perencanaan


secara meriyelurtili diperlukan i . nfonnasi faktor
fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi
fahan, serta faktor sosial ekonomi masyarakat.
Keterangan in] dapat diperoleli melaltil keglatan
SUrvel tanah yang dnkuti dengan evaluasi lahan.
Tujuan survei tanah adalah mengkiasifikasi,
menganalisis dan memetakan tanali dengan
mengelompokkan tanah-tanali yang saina atau
harnpir saina s1fatriya ke dalain satuan peta tanah
tertentu. Sifat-sifat dari masing-inasing satitan peta
secara slitigkat dicantuinkan dalam legenda, sedang
uraian lebih detil dicanturnkan dalam laporati
survei tanah yang selalu menyertai peta tanah
tersebut.
Disamping mengelompokkan tanall-tanah yang
sama ke dalam satuan peta
tanah terteritu, tugas
survei tanah adalah menginterpretasi . kemampuan
masing-masing satuan peta tanah tersebut Lintuk
berbagai penggunaan. Dalam lial ini interpretas
tidak hanya dodasarkan pada sifat-sifat tana, saja
tetapi tiga faktor-faktor firigkungan yang
inempengaruhi kemampuan lahan tersebut seperti
Ingknngan yang ineinpenganihi kemampuan lahan

tersebut seperti lereng, iklim, bahaya banjir daD


erosi serta faktor-faktor ekonomi bila diperlukan.
Tujuan dari evaltiasi lahan (land evaltiation
atau land assessment) adalah menentukan n1lai
suatu iahan untuk tujuan tertentu. Usaha ini dapat
dikatakan melakukan usaha klasifikasi teknis bagi
Suatu daerah.

II.TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Konsep Lahan (Land)
Lahan merupakan baglan dari bentang alam
(Landscape) yang mencakup pengertian lingknngan
fisik terinasuk iklim, topografi/rellef, hidrologi dan
bahkan keadaan vegetasi alarni (natural vegetation)
yang sernuanya secara potensial akan berpengaruh
terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan
dalam pengertian yang lebili luas ten-nasuk yang
telah dipengaruhi olleli berbagal aktifiltas flora,
fauna dan baik dimasa lalu maupun masa sekarang.
Dalam hal ini, perlu dimengerti perbedaan antara
lahan dan tanah itu sendiri. Tanah (soil)
merupak-an benda alam yang mempunyai slifat
fisik, kimia dan biologi tertentu, berdimensi tiga
dan merupakan bagian dari lapisan buini terluar.
Sedangkan lahan (land) inencakup pengertian yang
lebih luas, yaitu meliputi selurub kondisi
lingkungan dimana tanah merupakan satu
baglannya. Jadi lahan dapat mencakup berbagai
jenis tanah.
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi
kehidupan manusia. Segala

macarn bentuk intervensi manusia secara siklis


dan perinanen Utuk memenuhi kebutuban
hidupnya, baik yang bersifat materni maupun
spirituil yang berasal dari Jahan tercakup dalam
pengertian pengg-unaan lahan atau landuse.
Dengan peranan ganda tersebut, maka dalain upaya
pengelolaannya, sering terjadi benturan. di antara
sektor-sektor pembangunan yang memeriuk-an
lahan.
Fenomena
seperti
ini
seringkah
mengakibatkan periggunaan lahan kurang sesuai
dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya, ada
tiga faktor yang mempengaruh) nilai lahan, yaitu :
1) kualitas fisik lahan, 2) lokasi laban terhadap
pasar hasil produksi dan pasar sarana produksi, dan
3) interaksi di antara keduanya.
Dalam kegiatan survei dan
surnberdaya alam, bagian lahan satu

pemetaan

dengan
lainnya dibedakan
berdasakan
perbedaan sifat-sifatnya yang terdiri dari iklim,
landform (terinasuk litologi, topograf/relict),
tanah dan hidrologi sehingga terbentuk
satuan-satuan lahan. Pemisahan satuan
lahan/tanah sangat penting untuk keperluan analisis
dan interpretasi dalam menilai potensi atau

kesesuaian lahan bagi suatu fipe penggunaan lahan


(Land Utilization Type).
Konsep lahan adalah jauh lebih luas dari
pengertian tanah atau lapangan. Adanya keragaman
jenis tanah dan bentuk lallan scringkall menjacli
penyebab utaina terjadinya perbedaaan antara
satuan peta lahan disuatu N"'layah, sehingga satuan
peta lahan sangat ditentukan oleh jenis tanall clan
bentuk lahan clan faktor-faktor lainnya (misainya
ikifin,
vegetasi
dan
hidrologi)
menjadi
penduktingnya. Hal in] terjadi karena penentuan
jenis tanah mnuinnya didasarkan pada proses
pembentukan tanah yang telall mempertimbangkan
dan mernasukkan faktor-faktor pendukung tadi.
Olell sebab itu, hasil survei tanah sering menjadi
landasan untuk mernbuat definisi satuan peta lahan.
Naman demikian kesesualan tanah untuk- suatu
penggunaan lahan tidak dapat ditaksir begitu saja
tanpa memperhitungkan aspek-aspek lingkungan,
selungga analisa kesesualan lahan tetap harus
inenggunakan konsep lahan sebagal lanclasan
untuk dinilai.
Uptuk keperluan evaluasi lahan, sifat-sifat fisik
IM'gkungan suatu wilayah dirincl ke dalam kualitas
lahan (land qualities), dan setiap kualitas laban
biasanya terdirl satu atau lebih karakteristik lahan

(land characteristics). Beberapa karakteristik lahan


un-minnya mempunyai hubungan satu sama lainnya
di dalarn pengertian kLialitas lalian dan
berpengarub terhadap jenis penggunaan clan/atau
pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya
(peternakan, perikanan, keliutanan).
Dalarn suatu sistem lahan terdapat beberapa
komponen fisik yang mernpenganih) dan'
keberadaan dan lahan tersebut, antara fain
Topografi (relief), tanah, vegetasl dan
hidrologi.
: Mun, landfonn
2.2. Kualitas lahan (Land Quality) dan
Karakteristik Lahan (Land Characteristics)
a. Kualitas Lahan (Land Quality)
Kualitas lahan merupakan sifat-sifat atau
attribute yang kornpleks dari suatu lahan.
Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) tertentu yang berpengaruh terhadap
kesesuaiannya
bagi
penggunaan
tertentu
(Djaenudin, et al., 1997). Kualitas lahan menipakan
kumpulan atau gabungan beberapa sifat lahan yang

berpengaruh terhadap lahan apabila diterapkan.


suatu tipe penggunaan lahan pada lahan tersebut.
Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau
negative terhadap penggunaan lahan tergantung
dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan
positif tentu yang sifatnya sangat menguntungkan
bagi suatu penggunaan. Sebaliknya ktialitas lalian
yang bersifat negatif karena keberadaannya. akan
i-neruglkan terhadap penggunaan tertentu, b1sa
merupakan factor pengliambat atau pernbatas.
Ktialitas lahan menunjukkan keniarnpuan lahan
untuk memenuhi persyaratan penggunaan lahan
(PPL) bagi suatu tipe penggunaan lahan tertentu.
Jadi setiap persyaratan penggunaan lahan dari suatu
tipe penggLmaan lahan harus dibandingkan dengan
kualitas lahan untuk menentukan kelas kesesuian
lahannya. Kualitas lahan merupakan sifat lahan
yang ditawarkan (supply) oleh suatu Jahan
sedangk-an
persyaratan
penggunaan
lahan
merupakan permintaan (demand) dari suatu tipe
penggunaan lahan.
Menurut Beek (1978), kualitas lahan
dibedakan menjadi beberapa factor yaitu ekologi,
pengelolaan, konservasi dan perbalkan. Dalam
evaltiasi lahan banyak sekall terdapat criteria

kualitas lahan yang dapat diuraikan pada setiap


satuan lahan, namun dalain evaluasi lahan
sebaiknya dipilih sauatu criteria kualitas lahan yang
relevan yang sesual dengan tipe penggunaan lahan
pada lahan tersebut. Menurut Widianto (1994),
sebuah kualitas dikatakan relevap. terhadap
penggunaan lahan bila dia berpengartili terhadap
tingkat inasukan yang diperlukaD atau besarnya
keuntungan
yang
akan
dicapal
atau
berpengaruh.terhadap keduanya.
b.
Karakteristik
Characteristics)

Lahan

(land

Karak-terisrik lahan/sifat lahan merupakan


suatu s1fat dari lahan yang biasanya dapat diukur
atau diestimasi termaSUk dengan penginderaan
jaUh, sepert] lereng, tekstur tanah, curah hujan,
kedalaman efektif, kapasitas air tersedia. Dalam
pendekatan FAO, ni-lai karakterisA lahan biasanya
dikombinasikan kedalarn tingkat kualitas lahan,
Rossiter, 1997). Dalam Satuan Peta Lahan (SPL)
yang dihasilkan inelaltil serangkalan kegiatan
survey rnaupun pemetaan, karakteristik lahan dapat
dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik
lingkungan dan tanalinya. Data yang dihasilkan

digunakan untuk keperluan interpretasi dan


evaluasi lalian bagi kornoditas tertentu. Pada
umumnya. pengaruh karakteristik lahan terhadap
kesesuaian lahan adalah secara tidak langsung,
yaitu melalul pengarldinya terhadap kualitas lahan.
Hal ini karena satu karakteristik lahan dapat
i-nempengaruhi beberapa kualitas lahan bahkan
kadang-kadang pengaruhnya saling berlawanan.
Menurut FAO (1976), karakteristik. lahan
dapat langsung digunakan untuk menentukan kelas
kesesualan lahan, tetapi umunmya akan lebfll jelas
bila digunakan kLialitas lahan sebagai penghubung
antara kualitas lahan dengan. kelas kesesuaian
lahan. Hal ini karena kompleksitas rnasalah terbagi
ke dalam satuan-satuan yang lebih mudah dikelola
dank arena kualitas lahan sendiri dapat memberikan
infon-nasi yang berguna bagi yang melakukan
evaluasi laban.
2.3. Ti pe Peng-unaan Lahan (Land
Udlizadon Type)
Tipe penggunaan lahan adalah jenis
penggunaan lahan yang dirmci sesuai dengan
syarat-syarat teknis untuk daerah yang mempunyal
s1fat-sifat fisik daD social ekonorru terteptit (FAO,

1976). Tipe penggunaan lahan merupakan


jems-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara
lebib detail karena menyangkut pengelolaan,
masukan yang diperlukan dan keluaran yang
diharapkan secara spesifik.
Sifat-sifat peng1pinaan lahan mencakup data
dan/atau asums) yang berkaitan dengan aspek hasil,
orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber
tenaga, pengelahuan teknologi pengg-unaan lahan,
kebutuhan infrastruktur, ukuran dan bentuk
penguasaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat
pendapatan per unit produksi atau unit areal.
Tipe penggunaan lahan rnenurut system dan
modelnya clibeclakan atas 2 macani yaitu multiple
dan compound. Ahdf~ple merupakan tipe
penggunaan lahan yang tergolong multiple terdiri
lebili dari satu jenis penggunaan (kornoditas) yang
diusaliakan secara serentak- pada suatu areal yang
sama dari sebidang lahan. Setiap penggunaan
memerlukan masukan dan kebutuhan, serta
memberikan hasfl tersendiri.
ompound merupakan tipe penggunaan lahan
lebih dari satu jenis penggunaan yang diusabakan
pada areal-areal dari sebidang lahan yang untuk

tujuan evaluasi diberlakukan sebagal unit ttmggal


(Djaenudin, et.al. 1997). Agar tipe penggunaan
iahan yang diterapkan pada suatu lahan dapat
berhasil dengan baik dan lestari, suatu lahan harus
memiliki suatu pefsyaratan penggunaan lahan,
persyaratan penggunaan lahan selalu dikaitkan
dengan tipe penggunaan lahan sehingga dalam
persyaratan penggunaan lahan disamping
menyangkut persyaratan pertumbuhan tanaman
(crop requirements.' juga menyangkut persyaratan
pengelolaan
(management
requirement),
persyaratan
konservasi/lingkungan
(conservafiowenvironmenial requirement) dan
sebagainya. Persyaratan penggunaan lahan
merupakan persyaratan yang diminta (demanc~
olch suatu tipe periggunaan lahan.

Tabel 1. Kualitas lahan dan Karaliteristik


Lahan yang Digunakan dalam kriteria Evaluasi
Lahan
Simbol
Karakteristik Lahan
Fc
Temperature rerata e' Q / elevas i (m)
Wa
Curah hujan (mm)

Rc
Drainase

Kualitas lahan
Temperature 1.
Ketersedian air 1.
21. Lamanya masa kering (bulan)
3. Kelembaban udara
Ketersedian oksigen
1. Drainase
Media perakaran 1.
2. Tekstur
3, Bahan kasar (%)
4. Kedalaman tanah
S. Ketebalan gambut
6. Kematangan gambut

Nr
KTK hat (cmoi)

xc
Xn
Alkahnitas (%)
x
S
Eh
Lereng

Retensi hara I ~
2. Kejenuhan basa (%)
3, pH 11,0
4. C-organik (%)
I Toksisitas
1. Aluminium
2. Salinitas/DHL (ds/m)
SodisitaS 1.
1. Pyrit (bahan suffidik)
Bahaya suffidik
Bahava erosi 1.

21, Bahaya crosi


Fh
Bahaya banjir I
Genangan
I-P
Penyiapan lahan 1.
Batuan di permukaan
2. Singkapan batuan
Sumber: Pusat Penelitian Tanah clan Agroklimat

2.4. Kesesuian Lahan (Land Suitability)


Kesesualan Jahan adalah kecocokan suatu
lahan untuk penggunaan tertentu, misalnva untuk
inigas], pertanian tanarnan semusim atau tanarnan
tabunan. Klasifikasi keSeSUIan lahan diliasilkan
dengan membandingkan antara kualitas lahan
dengan karakteristik lahan sebagai parameter
dengan criteria kesesuaian laban yang telah
d1susun berdasarkan persyaratan penggunaan atau
persyaratan tumbuh tanaman yang dievalUas], Data
kualitas laban clan karakteristik lahan sangat
dibutuhkan dalam evaluasi lahan selain data
persyaratan tunibuh tanatnan yang didapat dari
serangkaian ksegiatan survey dan klasifikasi tanah.
Dalain klasifikasi kesesuaian lalian terdapat
empat katagori kesesualan lahan mulai dari yang
paling tinggi sarnpai paling rendah. Sefiap katagori
memeliki pengertian sendiri baik daiam hal
klasifikasi maupun berkenaan dengan berbagai
penggunaan ialian. Keempat katagori yang
dimaksud adalah ; 1) tingkat ordo yang
mencerminkan macam kesestialannya, 2) tingkat
kelas yang mencerminkan tingkat kesestialannya
didalam ordo, 3) tIngkat subkelas yang
mencenninkan factor pembatas, atau macam
perbaikan yang perlu didalam. kelas, dan 4) tingkat

unit yang mencen-ninkan perbedaaD kecil dalarn


pengelolaan pada tingkat subkelas. Pada tingkat
ordo meDggabarkan apakah lahan sesuai atau tidak
sesuai untuk suatu pengg-unaan lahan yang dipildi.
Terdapat dua order yaitu sesuai (S) dan fidak sesuai
(N). ordo sesuai (S) yaitu laban yang dapat
digunakan secara lestari untuk suatu ttduan
penggunaan tertentLI, tanpa atau dengan sedikit
resiko kerusakan terhadap SUmberdaya alanuiya,
ketintungan
termasuk
ineinuaskan
setelah
diperbitungkan masukan yang diberikan. Ordo
t1dak sesual (N) yaitu lalian memeliki pembatas
sedemikian rupa sehingga menceph penggunaanya
untuk tujuan tertentu. Selanjutnya masing-masing
ordo kesesuaian lahan di bedakan lagi menjadi
beberapa kelas kesesuaian lalian. Untuk ordo sesuai
(S), dibedakan menjadi kelas SI (sangat sesuai), S2
(cukup sesual) dan S3 (sesual marginal). Kelas SI
menunjukkan lahan tidak mempunyal pembatas
yang serius untuk penerapan penggunaan lahan
secara lestari atau hanya mempunyal pembatas
yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara
nyata terhadap produksinya dab fidak akan
menaikkan masukan yang telah biasa d1berikan,
kelas S2 mentinjukkan lahan mempunyal
pembatas-pembatas yang agak serius untuk

penerapan penggunaan lahan secara lestari,


pembatas dapat mengurangi produksi dan/atau
keuntungan dan meningkatkan masukan yang
diperlukan, dan kelas S3 mentinjukkan lahan
mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk
penerapan penggunaan ialian secara lestari.
Pembatas akan mengurangi produksi dan/atau
keuntungan atau lebih meningkatkan masukan
yang diperlukan.
Untuk ordo Lsesualan lahan tidak sesuai (N),
Was kesesuaian lahan dibedakan menjadi kelas
Nl((Idak sesual pada saat in]), lahan mempunyal
pembatas yang lebih serius, tetapi ada
kemungkinan untuk diatasi, sehingga tidak
memungkinkan (secara teknis atau ekonomis)
penerapan pengpinaan lallan secara lestari.
Pembatas fidak dapat diperbaiki dengan finegkat
pengelolaan dan modal yang normal, dan kelas N2
(tidak sesuai selai-nanya/pen-nanent), lahan
mempunyai, pembatas yang bersifat permanent,
sehingga
mencegah
segala
kenn.mgkinan
penerapan penggunaan lahan secara lestarl
(Widianto, 1994).
Selanjutnya kesesuaian lahan dibedakan lagi
menurut subkelas kesesuaian lallan berdasarkan

ktialitas dan karakteristik lahan yang merupak-an


factor pembatas terberat. Bergantung peranan
faktor pembatas pada masing-masing subkelas,
kemungkinan. kelas kesesuaian lahan yang
dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan
kelasnya sesuai dengan input atau masukan yang
diperlukan (qjaenudin dkk, 1997).
2.5. Evaluasi Lahan Untuk Kehutanan
Evaluasi lahan untuk kehutanan adalah
pendekatan sistematik pada proses mencocokkan
(fitting) kehutanan ke dalain peren.-anaan
periggunpan lahan suatu negara atau wilayali
tertentu (Van Goor, 1981).
Kehutanan seperti haInya dengap. pertanian
tadah hujan, pertaman beririgari atau padang
rumput, merupakan pembagian utama penggunaan
lahan pedesaan. Kehutanan merupakan alternatif
penggunaan yang akan berkompotisi langsung
dengan jenis penggunaan utarna lainnya pada tipe
lahan tertentu (Dent, 1978). Akan tetapi kehutanan
berbeda dari pertanian paling fidak dalam tiga hal
berikut

perlode daur yang panjang sehungga tintuk


dapat
bersifat
ekonounis,
biaya-biava
pengenibangan harus diusaliakan agar tetap rendah,
2) meliputi areal yang luas, sehingga teknik-teknik
pengelolaan lahan yang inalial tidak digunakan, 3)
produktivitas yang rendah sehingga kehutanan
urnumnya dialokasikan pada tanahtanah marginal
(Lee, 1981).
Di dalarn evaluasi lahan untuk kehutanan perlu
dibedakan antara hutan alami dan hutan buatan,
karena ftmgsi hutan alarni pada dasarnya berbeda
darl fttngsi hutan buatan (Bennema dan Van Goor,
1975). Beberapa fungsi yang menonjol dan hutan
alarni adaiall : 1) untuk mengendalikan keadaan
lingkungan dalam hubungan dengan erosi dan
dalam hubung n dengan pengendalian pengaruh
iklim dan banjir, (2) sebagai P
sumber baban-baban produk ektraksi seperti
kayu bakar, serat, buah, resin dan lain
sebagainya, (3) sebagal cadarigan untuk Jahan yang
dapat diolah atau untuk produksi kayu di masa
mendatang, 4) untuk produksi kayu atas dasar
produksA* yang lestari, 5) untuk keperluan
rckreasi, perlindungan terhadap berbagai jenis flora
dan fauna (Dent, 1978). Hutan buatan blasanya

dittijukan untak- keperluan produksi kayu, tetapi


dapat juga berfungsi untuk keperluan rekr(?asi atau
untuk pengendalian lingkungan. Oleh karena itu.
biasanya spesies yang diusahakan adalah spesies
yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup ting9l.
N4eskipwi evaltiasi lahan untuk kehutanan
pada prinsipnya sarna atau sejalan dengan evaluasi
lahan untuk pertanian, akan tetap) terdapat
beberapa perbedaanperbedaan penting diantara
keduanya. Pada evaluasi lahan untuk kehutanan,
perkiraan atau taksiran hasil lebib rnudah diukLir,
dan satu perkiraan merupak-an penjumlahan
beberapa tahun, sehingga meliputi pengarLih
keragaman lklim. Selain itu, evaluasi ekonomis dari
daur yang panjang, sifatnya sangat spekulatif
karena tidak mingkin untuk niernprediksi harga
kayu dalarn jangka waktu 50 atau 100 tabun.
Berbagai pendekatan yang berbeda dalam
evaluasi
lahan
untuk
kehutanan
telah
dikembangkan, yang ineliputi pendekatan dengan
menggunakan satu faktor (single factor) dan
pendekatan dengan~ menggunakan faktor ganda
(multiple factors) (Ross, 1984).
Pendekatan dengan menggunakan satu faktor
meliputi : 1) Yjasifikasi lokasi, merupakan

hubungan antara. pertumbuhan polion atau


tegak-an dan lokasi. 2). Klasifikasi medan (terrain),
memfokuskan pada hubungan antara operasi medan
(terrain operations) dan kondisi untuk pemanenan.
Untuk kehutanan, klasifikasi medan ini terutama
rnenyangk-ut klasifikasi lahan hutan produktif
dalam kaitannya dengan keteriaDgkatiall Lintuk
pembalakan (Iogging-), untuk silvikultur dan
kontruksi jalan (Berg, 1981). 3). Klasifikasi tanah,
diniana sitat tanah nienentukan klasifikasi hutan.
Doe klasifikasi ini kadang-kadang sangat
mendetail, ada klasifikasi yang menaruh perhatian
semata-mata hanya pada pernadatan tanali (soil
compaction) dan pengarulinya pada pembalakan
(logging) dan sifat-sifat pertumbuhan, sedangkan
yang lainya inenaruh perhatian pada aai potensi
tanah (McCormack, 1974). 4). Metode fislografik,
dengan menggunakan faktor-faktor seperti iklim,
bahan Hilduk, relief, sifat tanah dan regim air.
Pendekatan faktor ganda meliput] : 1).
Klasifikasi tanah-tanah hutan yang digunakan oleh
Dinas Konservasi Tanah, Departemen Pertanian
Amenika Serikat (Sol)
Conservation Sevice USDA, 1978 dalam Ross,
1984). Sistern ini rnempertimbangkan produktivitas
lokasi tertentu (klasifikasi lokasi), sifat-sifat

pembatas tanah, dan sebagai pilihan faktor-faktor


lokasi lainnya (pembatas pengelolaan), dan menilai
bonita tertentu. Survai tanah merupakan tulang
punggung sistem klasifikasi in]. 2). Evaluasi
penggunaan ganda (multiple evaluation) oleb Dilas
Kehutanan Amerika Serikat (USDA, 1978 dalam
Ross, 1984). DI Amerika Serikat belum ada sistem
klasifikasi nasional untuk mengevaluasi lalian
untuk kebutanan, Dalarn sistem evaluasi
penggunaan ganda tersbut, lahan dievaluasi untuk
berbagai penggunaan, termasuk kehutanan menurut
prinsip-prinsip penggUDaan ganda dan hasil yang
lestari (sustained yield). 3). Sistem klasifikasi
lokasi terpadu (integrated site clas4ication
systems). Dalarn hal im sistem vegetasi dan sistem
fisiografi diperhitungkan. Sistem ini sering juga
dikenal sebagai bertingkat ganda (multi-level),
mengkornbiasikan pendekatan vegetasi dan medan
(terrain) dengan delineast kondisi sernentara dan
memasukkan penilaian produktivitas. Sistem ini
merupakan yang terbaik dan sistern yang telah jauh
berkembang untuk klasifikasi lokasi hutan (Kilian,
198 1
2.6. Bonita dan Tanaman Jati

Bonita adalah kemampuan tempat turnbUh


bagi sesuatU jents kayu dalain memberi hasil.
Bonita tergantung pada tanah dan Mim dan
ditentukan oleh perkembangan jenis kayu
bersangkutan yaitu oleh turnbuh meningginya.
Penentuan bonita untuk beberapa jenis pohon di
lingkungan kehutanan di Indonesia dilakukan
dengan menggunakan ukuran yang disebut pefliggi
yaitu tinggli rata-rata dari 10 pohon tertmiggi di
dalarn satu tegakan seumur. Bonita tanaman jafi
tidak berubah dalam jangka waktu sirigk-at,
inemerlukart waktu yang cukup lama untuk
perubahan bonita iati secara alarni, hal ini dapat
dimengerti karena menurunnya kualitas tanah
sejalan dengan bertanibalinya waktu.
Jati (TeclonuiZrandis Lfl yang terkenal
sebagai kayu komersil bermutu tinggi dan
ten-nasuk dalarn famfli Verbenaceae. Penyebaran
alami terclapat pada kisaran 1225" LU, meliput)
Negara-negara India, Birma, Kamboja, Thailand,
Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia Jati tersebar
secara. luas di Pulau Jawa pada ketinggian 0-700
meter diatas permukaan laut. Selain di jawa, iati
juga ditemukan di Muna, Buton, Maluku dan Nusa
Tenggara (AtmOSUseno clan Du1jafar, 1996).

Dijelaskan lebih lanjut baliwa polion J'atj


cocok ttunbuh di claerah dengan musim kering
agak parijang yaltu berkisar 3-6 bulan pertahun.
Besarnya curall hujan yang dibutuhkan rata-rata
1250-1300 n-im/talitin dengan temperature
rata-rata tahunan 22-26') C. claerah-daerah yang
banyak ditumbuhi jatt umumnya bertekstur sedang
dan dengan pH netral hingga asam. (Muladi dan
Sunandar, 2001).
Anonim (1976) rnei 'elaskan, bahwa Lmtuk
mencegah serangan bubuk jati, diupayakan agar
tidak menanain jatj di daerab-dacrah dimana ticlak
ada perbedaan yang nyata antara. muslin kemarau
clan hqjan dengan curah hujan > 2000 m/tahun clan
lereng gunung Vulkanis.
Kayu teras iati berwarna merah inuda, coklat
kelabu sampai merah tua atau merah coklat. Kayu
gubalnya
berwarna
putih
atau
kelabu
kekun-ing-kunigan. Serat lurus atau kadang-kadang
agak- terpadu. Tekstur kayu agak kasar dan ticlak
merata dengan permukaan yang licin atau agak
licin, kadang-kadang seperti berminyak, kaytinya
berbau balian penyamak yang inuclah hilang.
(Martawijaya dkk, 1981).
Kualitas tempat tumbuh adalah ukuran tingkat
kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan

produktiviras kayu yang dapat dihasilkan. Seclang


yang dimaksud dengari bonita adalah ukuran yarig
digunakan untuk inenflal kualitas tempat tumbuh.
Penetapan rulai bonita sering diclasarkan pada
hubungan. antara rata-rata peninggi dengan umur
tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu. jati
adalah tinggi tanaman iati, semakin tinggi tanaman
jati semakin balk kualitas dari jafi tersebut. Sedang
penilaian bonita melalui penilaian karakteristik
lahan mungkin dapat dikernbangkan dan akan lebih
bennanthat khusunya bagi kepentingan perencanaan
pengenibailgan dan pengelolaan hutan jati.
Tinggi pohon lebih mudah diukur, dengan.
suatu persyaratan. tertentu, pertumbuhan ting i
potion berkorelasi dengan peilumbiAian volLune.
Penilaian bonita didasarkan atas finggi yang
dicapai pada umur indeks tertentu (specific index
age). Pembagian bonita didasarkan. atas peninggi
tegakan-tegakan berurnur 80 tallun (peninggi int
disebut indeks bonita). Untuk jati terdapat bonita,
dengan tingkatan setengah kelas. Bonita 1-1,5,
5,5-6 berada pada batas observasi yang didapatkan
dengan jalan ekstrapolasi. Untuk nilai bonita. di
Batas Hutan mantup dan Batas Hutan Ngimbang
pada batas Daerah aliran Waduk Gondang, terdapat
n1lal bonita yang berkisar antara 2, 2,5, 3, dan 3,5.

Penetapan bonita. mempergunakan Tabel Tegakan


Tanaman Jati , karena penetapan bonita dari
tegakan-tegakan yang i-nLida (sampal dengan 5
tahun) menurut tiDgginya kurang tepat, diperlukan
perbandingan dengan bonita darl tegakan-tegakan
yang lebih tua yang bedekatan. Mulai darl Llinur 6
tallun PCDinggi MerUj)akan petun. . A bonita yang
lebih baik.
Penetapan kualitas tempat tumbuli berdasarkan
liubungan antara peninggi dan umur tegakan di
lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai
kelemalian, dimana penlIalan terlalu rendah bagi
tegakan 'yang masili inuda dan seballknya penilalan
tertalu tinggi untuk tanaman yang sudah tua.
Menurut Colie (1952) pertwnbuhan tanaman
jatl sangat dipengartilm oleh faktor lingkungan,
salah satu faktor yang amat penting adalah kondisi
tanah. Penelitian kLialitas tempat tumbuli
berdasarkan s;.fat-sifat tanah yang lebib
inemberikan keuntungan, karena penilaian kualitas
tempat tumbull ini tidak perlu harLIS menunggu
adanya tegakan. Sedang dalam perencanaan
pengembangan hutan jati penflalan kuahtas tempat
tumbifli sebeluin hutan tersebut digminakan sangat
perlu.

Graft 1. Nilal Bonita Berdasarkan Umur


Tanaman dan Tinggi Tegakan Tinggi tegakan
(meter)

Umur tanaman (tahun)


Sumber: Wolff von Wulfing (1938)
Semua hutan tanaman. jati dipisahkan kedalam
12 kelas urnur. Masig-masmg meliputi 10 tahun,
sehingga hutan-hutan yang pada permulaan jangka
perusahaan benimur I sampai 10 tahun, dimasukkan

kedalam klas umur 1, hutan-hutan yang berumur I I


sampai dengan 20 tahun tergolong kedalam klas
umur ke 11 dan seterusnya.

Pengukuran tinggi tanaman jati yang dilakukan


oleh Perhutani dengan menggunakan alat
Hagameter, prinsip kerja alat ini hampir saina
dengan klinometer namun angka yang tertera dalam
satuan uneter,
Tabel 2. Nilai Bonita Berdasarkan Umur
Tanaman clan Tinggi Tegakan Tanaman Jati
Bonita
5 15 1 2
1 4,9- 8,7- 10,55,9 1 10,4 12,6
1,5 1 5,9- 10,4- 12,66,9 12,2 1 14,7
2 6,9- 12,2- 14,77,9 13.9 16,9
2,5 7,9- 13,9- 16,98,8 15,6 19,0
3 8,8- 15,6- 19,0-

Urnui- Tanaman / Tegskan (tahun)


35
11,714,0
14,016,4
16,418,7

45
1.1,615,1
15,117,6
17,620,2

55 65
13,4- 14,115j 16,1
16,1- 16,918,7 19,7
18,7- 19,721,4 22,5

75
14,717,7
17,720,6
20,623,5

85
15,318,3
18,321,4
21,424,4

1817- 20,2- 21,4- 22,523,5- 24,421,1 22,7 24,1 25,3


26,5 27,5
- 122,7- 24,1- 1 25,3 - 26,5- 1)
27,59,8 17A 21,2
23,4 25,2 26,8 28,2
29,4 30,6
3,5 9,8- 17,4- 21,223,4- 25,--- 26, 8 - 28,2- 29,4- 30,610,8 1 (), 1 23,2
25,8 27,8 29,4 31,0
32,4 33,6
t
Sumber: Wolf von WulfmL~ (PERUM PERH JAKARTA).
UTAN
I
Keterangan : Tinggi tanaman / tegakan dalam meter.

95
15,818,9
18,922,1
22,125,2

105
16,219,5
19,522,7
22,726,0

25,2- 26,028,5 29,3


28,5- 29,331,6 32,5
31,6- 32,534,8 35,8

Penelitian Siswanto (1992), presentase lereng


menunjukkan hubungan yang sangat nyata dengan
nilai bonita tanaman jati. Kondisi ini memberikan
petunjuk bahwa ada kecenderungan tumbuh lebih
baik pada kondisi lahan yang clatar clibanding
dengan apabila tumbuh pada kondisi lahan yang
miring. Pada daerah yang datar soltun tanahnya
masih dalain, seclang pada daerah yang berlereng
solum tanahnya agak dangkal. Hal in] diclugadidtiga sangat berhubungan erat dengan knalitas
tuinbuh. Pada tanah yang bersolum dalam, kualitas
tumbuh (kesuburan) tanah relative lebih baik
disbanding dengan lahan yang miring.
Tabel 3. Hubungan Bonita dengan Diameter Was bidang dasar tanaman jati
Bonita

Urnur Tanaman / Tegakan (tahun)


25

5
26,328,3
1,5
28,331,0
[2
31,034,7
~2,5
34,739,8
3
39,8-

--r3,127,9
1 4,0
30,1
30,1
4,4
32,9
32,9
5,0
36,8
36,8
5,7
42,2
42,2

4,0-

4,4-

5,0-

5,7-

35

45

55

65

75

7,9-

11,0-

13,7-

16,3-

18,6-

1 20,7- 22,7-

85 95
105
24,6-

8,5

11,8

14,8

17,5

20,0

212,3

24,5

26,5

8,5-

11,8-

14.8-

17,5-

20,0-

22,3-

24,5-

26,5-

9,3

12,9

16,2

19,2

21,9

24,4

26,8

29,0

9,3-

12,9-

16,2-

19,2-

21,9-

24,4-

26,8-

29,0-

10,4

14,5

18,1

21,5

24,5

27,4

30,0

32,4

10,4-

14,5-

18,1-

21,5-

24,5-

27,4-

30,0-

32~4-

11,9

16,6

20,7

24,6

28,1

1 31,4 34,4

37,2

11,9-

16,6-

20 ' 7- 24,6-

28,1-

31,4-

37,2-

34,4-

46,5
3,5
46,553,3

6,6
49,3
6,6-

49,3
56,6

15,9

13,9

19,4

24,3

28,7

32,9

36,6

40,2

43,4

13,9-

19,4-

24,3-

28,7-

32,9-

36,6-

40,2-

3,3-

22,2

27,8

33,0

37,7

42,0

46,1

49,8

Sumber: Wolf von Wulfing (PERUM PERITUTANI JAKARTA).


Keterangan : Tinggi tanaman / tegakan dalam meter.

Dari grafik dapat dijelaskan bahwa bonita I


pada umur 5 tahun i-nempunyal k1saran peninggi
antara 4,9 m -5,9 in, pada UMUr 15 tabun
memptinyal kisaran peninggi 8,7 m - 10,4 m, pada
umur 25 tahun mernpuriyal kisaran peninggi 10,5
in -12,6 m dan seterusnya yang dapat dilihat pada
Tabel 2. Dart Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dillhat
hubungan yang positif antara peninggi tanamati jati
dengari diameter tatiamana jati, semakin besar nilai
bonita, semakin tinggi tegakan Jan dan semakin
besar di arneter tanai-nan jati dengan bertambahnya
umur tanaman.

III. METODE PENELITIAN


3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian int mengambil tempat di Daerah
Ahran Waduk (DAW) Gondang, Pada dua batas
hutan yaltu Batas Hutan MaDtup clan Batas Hutan
Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Penelitian dilaksanakan mulai Bulan November
2002 sampai April 2003.
3.2. Tahapan Penefitian
Dalarn rnelaksanak-an penelitian ini dilakukan
serangkaian tahapan-tahapan penelitlan yang
berurutan sebagal berik-ut : 1) tahapan perslapan,
2) tahapan Pra survel, 3) tahapan survei Utarna, 4)
tahapan analisa laboratorium, 5) tahapan analisa
data, dan 6) tahapan peinbuatan laporan.
3.2.1. Tahapan Persiapan
Tahapan int rneliputi : a) Studi pustaka yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan,
b) Pengumptdan data sektinder yang diperoleh clari
kantor Perhutani, Malang berupa data bonita dan

ikilm. Peta-peta penunjang seperti peta topografi,


peta jenis tanah, peta geologi, peta landuse
(peng&,Linaan lahan), peta administrasi daerah
penelitian, peta Batas Hutan Mantup dan
Nglinbang, yang diperolch dari kantor Perhutani,
Malang clan Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Pemetaan,
Fakultas
Pertanian,
Universitas
Brawijaya. c) Interpretasi f6to udara dan
pembuatan Satuan Peta Lahan (SPL). Pembuatan
Satuan Peta Lahan (SPL) ditentukan dengan
inenggunakan peta. kcias kelerengan skala I ~
25.000, peta bonita skala I : 25.000 dan peta
geologi skala I : 100.000 yang telah diperbesar
menjadi skala I : 25.000. Kelas kelerengan yang
dijumpai di Daerah Aliran Waduk Gondang yaitu
kelas kelerengan 1 (0-3%),Il (3-8%),Ill (8-15%)
dan IV (15-30%), nilai bonita yang dijumpai di
daerah penelitian yaitu bonita 2, 2,5, dan 3,
sedangkan pada peta geologi hanya dijumpai
formasi geologi dengan simbul TmI yaitu formasi
ledok, napal bersifat batu lempung, batu pasir dan
batu gamping. Napal putih kekuningan sampai
kelabu kekuningan, pejal, agak padat. Batu
lempung, kelabu kehijauan, pejal, agak padat,
dijumpai oksida besi yang mengisi rekahan
tebalnya perlapisap kurang lebih 4 meter. Batu

pasir, coklat kehijauan, agak padat berbutir


halus-sedang, terpilah baik, membundar sampai
inembundar tauggung, semennya karboriat.
Komponennya terdiri darl kuarsa glaukomt,
plagloklas, piroksen, herenblenda dan zeolit. Batt)
gamping putih kekujilngan, padat perlapisan agak
baik, bersudut kemiringan 14" - 400 dengan arah
jUrus timur barat. Sebelum menentukan Satuan
Peta Lahan terlebfli dahulu dilakukan scanning
daerah penelitian yaitu melakukan pengecekan
melalui pengeboran tanah LintLik menentakan
bahan induk yang sama pada tiap bonita sebagal
titik pengamatan, Nainuu apabila dalain
pengecekan lapajig dijumpal bahwa bouita tanamau
J'atl dipengarulil oleil balian induk inaka penentuan
Satuan Peta Lallall ditentLikan berdasarkan
i-nasilig-i-nasing balian induknya. d) Mengurus
per~jljian penelitian ke PT. PERHUTANI 11
Surabaya dan PT PERFfUTANI KPH Mojekerto
dan menyusun jadwal pelaksanaan penelitian, serta
i-nenyiapkan alat dan bahan yang dibutulikan untuk
penelitian.
3.2.2. Tahapan Pra survei

Pada tahapan in] dilakukan perbandingan peta


liasil interpretas) dengan keadaan sebenarnya
dilapangan dan dilakukan pengecekan batas-batas
pada peta hasil interpretasi. Perbandingan peta juga
dilakukan dengan peta yang dimillki oleh staf
Perhutani di daerah penelifian (Asisten Perliulam
Lawangan Agung), dari perbandigan ini dapat
ditentukan titik-titik yang akan diamati sebagal
tittik pengamatan. Pada tahapan mil dilakukan
scanning lahan yaitu melakukan pengecekan lahan
dengan melakukan beberapa pengeboran pada
daerah yang dicurigai mempunyai bahan induk
yang sama pada masing-masing bonita yang akall
digunakan sebagal titik penganiatan dilapang, dan
selanjutnya dibuat peta observasi di lapang.
Dari hasil survei dan pengeboran ditetapkan
bahwa pengambilan sample tanah dilakukan pada
bahan induk tanah yang berasal dari batuan kapur.
Untuk jenis tanah, dari peta tinjau skala I :
-4150.000 dan hasil pengamatan dilapangan, jenis
tanah Yang terdapat didaerah penelitlan yaitti jenis
tanah Grumosol (vertisol) dan Mediteran (alfisol)
Yang berasa) darl balian induk batu kapur. Dan'
hasil pengeboran juga duketabui baliwa kedalman
perakaran tergolong rendab tmttik tanainan jati di
daerah penelitian yaltu diantara 50 cm - 80 cm.

3.2.3. Tahapan Survei Utama


Beberapa keglatan yang dilakukan dalam
stirvei utwna yajtu : a) mengadakan pengamatan
tanah dan fislk lingknjigan melaitti pembuatan
minipit pada masingmasing Satuan Peta Lahan
(SPL), pembuatan profil dan minipit ditakukan
setelah ditentukan titik pengarnatan di lapang. b)
Mengambil contoh tanab untuk dilakukan anallsa
laboratoritim pada kedalaman 0-20 cm untuk
analisa C-organik tanah dan pengarnbilan tanah
secara komposit yaitu dengan mencampur tanah
dari berbagai kedalaman sampai pada batas
dijumpai bahan induk tanah. Analisa Yang
dflakukan bertipa anallsa fisika dan ki.,-nia yaltu
tekstur tanah, pH (H20 dan KCI), C-organik, unsur
liara inakro N, P, K, balian organik, jumlah
basa-basa (K, Na, Ca dan Mg) serta penetapan
KTK. c) Pengarnatan kedaiaman perakaran efektif
tanaman iati dari pen-DLikaan tanah sampai pada
batas aklnr d~jtimpai akar. d) Pengamatan drainase
tanah di lapang dengan cara pengarnatan wama
tanah dan karatan tanall Yang dijuinpal. e)
Pengainatan kenllr~igwi dan ketinggian lahan
dengan menggunakan clinometer dan altimeter, dan

dilakukan pengamatan batuan pennukaan dan


singkapan batuan dilapangan.
3.2.4. Tahapan Analisa Laboratorium
Analisa
laboratoritini
di'lakukan
di
Laboratorium Fisika dan Kin~a Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanlan, Unliversitas Brawijaya. Adaptin
analisa laboratorium yang dilakukan meliputl : a)
anallsa sifat klmia tanali dan b) analisa sifat fisika
tanah.
a. Analisa sifat kirpla tanah melipub ;
1. Penetapan pH tanah (H20) dengan pH meter
mengg-unakan gelas elektrode.
2. Penetapan C-organik dengan Metode
Wakley dan Black, yajitu larutan asarn dikromat
dititrasi dengan FeS04.
3. Penetapan N-total dengan metode Kjeldahl
dnkuti dengan anu-nonium dan titrasi amonia
dengan asam belerang.
4. Penetapan P-tersedia dengan metode Olsen.
5. Penetapan K-tersedia der.gan Flame
f6tometer, dan
6. Penetapan KTK dan basa-basa dapat
dipertukarkan dengan ammonium asetat pada pH 7.

b. Analisis sifat fisika tanah meliputi


Penetapan presentase pasir, debu, dan liat
(tekstur tanah) dengan menggunakan metode pipet.
3.2.5. Tahapan analisis data
Pada tahapan 1DI dilakukan pencocokan
(matching) data antara data hasil anallsa
laboratorium dari masing-masing Satuan Peta
Lahan(SPL) dengan data crop requirment tanamar
jati, sehingga didapatkan kelas kesesuaian lahan
untuk tanaman iati pada masing-masing Satuan
Peta Lahan (SPL) dan untuk mengetalm hubungan
anatara karakteristik lahan dengan n1lal bonita
dilakukan pendekatan analisa statishk dengan
program SPSS.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1976. Vadernecum. Kehutanan Indonesia .
Depertamen Peilanian. Direktorat Jenderal
Kehutanan. Jakarta,
Armosuseno, B, dan Du1jafar, K. 1996. Kayu
Komersial. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Beek, K.J. 1978. Land Evaluation for auicultural
Development. Publication No. 23. 1
Internatinal Institute for Land Reclamation
and Improvement. (ILRI). Wagenu'igen. 333
pp.
Bennema and Van Goor, C.P. 1975. Physical Land
Evaluation for Forestry.W)d. Soil Resour.
Rep. 45: 103-117.
Bennema, J., Galens, HY and Laban, P. 198 1.
Prinsiples, Basic Concepts and
Procedure in Land Evaluation, Considered from A
Forestry angle. Proceedings Of the Workshop
on land Evaluation for Forestry. ILRI
Publication No. 28.

Wageningen, The Netherlands. pp. 181-202.


Berg , ~sL in the Nordic Countrie
S. 1981. Terrain Classification Systems for Fort ry
Proceedings of the Workshop on Land
Evaluation for Forestry. ILRI Publication No.
28, Wageningen. The Netherlards, pp.
152-166.
Colle, T.S. 1946.. Relation of Soil Ch.aracteristic to
site Index Lower Re6n~on. of North Carolina
Duke. Univ. scool For Bull. 13.
Djaenudin, et al. 1994. Kesesualan Lahan uptuk
Tanaman Pertaman dan Tanaman Kehutanan.
Laporan Teknis No. 7. Versi 1.0. Centre for
soil and Agroclimate lZesearch. Bogor.
Djaenudin, et al. 1997. 1997. Kriteria Kesesuaian
Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat
Penelitian tanah dan agroklitnat. Bogor.
Dent, F.J. 1978. Data Requirments for Land Use
Planning with Emphasis on Requi ments for
Land evaluation Studies. SIDA/FA0 seminar

on Forest Resource appraisal in Forestry and


landuse Planning. New Delhi-Dehra Dun.
FAO. 1976. Framework for Land evaluation. Soils
Butl No. 32. FAO. Rome.
Kilian, W. 198 1. Site Classification System Used
in Forestry. Proceedings of the Worksltop on
Land Evaluation for Forestry. ILRI
Publication No. 28. Wageningen. The
Netherlands pp. 134-15 1.
Lee Peng Choong. 198 1. Land Evaluation Relative
to FoEtat[y. Technical Note No. 13 Ministry
of Agniculture Government of Indonesia/
UNDP and FAO. Land Resources Evaluation
with Emphasis on Outer Island Project
(AGOF/ INS/ 78/ 006). Certre for Soil
Research. Bogor. 34 pp.
MartawiJaya, A. Kartasiliana, K., Kadir, dan Pra
%"*ra, S.A. 1981. Aflas Kut Indonesia 1.
Jakarta,

McCon-nack, D.E. 1974.. Soil Potensials: A


Positive Approach to urban Planning. J. Soil
Water conservation 26(6) : 258-262.
Muladl, S. dan Sunandar, A. 200 1. Tananian Jah
Lokal di Teluk Dalain Seluas 25 Ha Fakultas
Kehutanan
Universitas
Mulawarman.
Samarinda.
Ross, M.S. 1984. Forest1y in Landuse Policy for
Indonesia. Ph. D Thesis. Green College
University of oxford. 266 pp.
Rossiter, D.G, Van Wambeke, A.R. 1997.
Automated Land evaluation system. ALES
Version 4.65 User manual. Cornell University,
Departement of Soil, Crop and Atmospheric
Sciences. Ithaca, NY USA.
Van Goor, C.P. 1981. Welcome address and
introductio . Proceedings of the Workshop on
Land Evaluation for forestry. ILRI Publication
No. 28. Weg-wning-wn. The Netheriauds. pp.
17-19.

Von Wulfing, W. 1938. Tabel Tegakan Tanaman


iati. Perum Perhutani Jakarta. Bogor.
Soemarno. 1996. Sistcin Pengelolaan SUrnberdaya
Lahan. Universitas Brawijaya. Malang.
Siswanto, B. 1997. Hubungan Beberal2a
Karakteristik Lahan dengan Bonita Tanaman
Jati. Habitat. Vol. 8. No. 99.

You might also like