You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbangan) dengan anatomi yang juga sangat rumit. Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan
pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui
bicara tergantung pada kemampuan mendengar.1,2
Otitis media akut (OMA) merupakan peradangan pada telinga tengah yang
bersifat akut atau tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memiliki
penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada
nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran
bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang
dimiliki oleh tuba eustachius. OMA ini terjadi akibat tidak berfungsinya sistem
pelindung tersebut. Sumbatan dan peradangan pada tuba eustachius merupakan
faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin seringnya terserang
infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan terjadinya otitis media akut juga
semakin besar. Pada anak terjadinya OMA dipengaruhi karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar dan letaknya lebih horizontal.2,3
Epidemiologi otitis media didapatkan di beberapa negara dunia. Kejadian ini
mencerminkan otitis media merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan, terutama pada negara berkembang dan negara miskin. Bahkan
penyakit ini berkaitan dengan kematian anak, penyebab utama akibat komplikasi
ke otak. Kejadian terbanyak ditemukan pada bayi usia 6 18 bulan dan 4 5
tahun, dan angka kejadian pada laki-laki biasanya lebih sering dibandingkan
perempuan.2,3
Indonesia sebagai negara berkembang perlu memperhatikan masalah kesehatan
ini. Sangat minimnya sosialisasi mengenai penyakit ini mengakibatkan kurangnya
kesadaran masyarakat akan proses pencegahan, sehingga timbul persepsi dari
masyarakat tentang OMA ini hanyalah penyakit yang biasa padahal penyakit ini

adalah salah satu awal untuk timbulnya penyakit komplikasi lain yang cukup fatal,
seperti otitis media supuratif kronis yang akan bisa menjadikan meningitis hingga
ensefalitis, abses subperiosteal dan abses otak.3
Merujuk dari permasalahan yang telah dipaparkan sebelumya diatas tentang
penyakit OMA yang pada umumnya sering terjadi di negara berkembang dan
salah satunya Indonesia, maka akan diuraikan penjelasan yang lebih jelas dan
dalam mengenai penyakit tersebut.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain
itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adesif.3,4
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah.
Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terlihat pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore.3,4
2.2. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah.
Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan
mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering

adalah

Streptococcus

pneumoniae

(40%),

diikuti

oleh

Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%).


Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (grup A -hemolitik), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram
negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat
3

inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada balita.


Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama
dengan yang dijumpai pada anak-anak.3,4
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling
sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV),
influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15%
dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan
membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, mengganggu
fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi
obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya.3,4
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau
susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas
kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di
saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, tuba Eustachius yang
imatur dan lain-lain.3,4
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan
fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan
tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insiden terjadinya otitis
media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan.
Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor
genetik juga berpengaruh. Status sosio-ekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higien yang terbatas, status nutrisi
rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya
OMA pada anak- anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh
karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
4

signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak


yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak,
insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas
kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius
turut terganggu. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat
infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus.3,4
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk
pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain
rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau
rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah
suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejangkejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi
ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh
turun dan anak tidur tenang.3,4
2.5. Fisiologi dan Patogenesis
2.5.1. Tuba Eustachius
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis
media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke
arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang.3,4
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka
apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah,
menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus
tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan
tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius

mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret.
Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga
tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari
nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil
sekret cairan telinga tengah ke nasofaring.3,4
2.5.2. Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada
mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba
Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan
refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba
Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari
nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi
proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini
merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.
Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami
infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi
proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan
akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat
meningkatkan kolonisasi dan adesi bakteri, sehingga mengganggu pertahanan
imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak
dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran
timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek
membran timpani akibat tekanannya yang meninggi.3,4
2.6. Stadium OMA

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung


pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba
Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi.3,4
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di
dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran
timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya
juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadangkadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh
pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini
sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh
virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.3,4
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema
mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis
disebabkan oleh oklusi tuba yang berkepanjangan sehingga terjadinya
invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga
tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan
tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia,
telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau
terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal
ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari.3,4
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema
pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial

terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani


menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang
telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu
gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan
pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan
kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik
akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis venavena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani
dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan
menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar
dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang
tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.3,4
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi
(berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian
antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, penderita
berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak.3,4
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis
media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung
selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu
disebut otitis media supuratif kronik.3,4
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh

membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani


menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka
akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium
ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.3,4
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum
timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.3,4
2.7. Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:3,4
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
eritema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.3,4
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,
yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah
terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang
menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani,
membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu,
juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti
demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan
pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut,
9

dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai


dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.3,4
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakranial dan ekstrakranial yang mungkin terjadi, mengobati gejala,
memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.3,4
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan
obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak
kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk
anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.3,4
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.3,4
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.3,4
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3%
selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3

10

minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.3,4
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya
sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani.
Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis.3,4
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik
dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian
antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya
komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Diagnosis
pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi
telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah.
Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam
24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau
demam 39C.3,4
2.8.2 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi.3,4
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak
harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat
pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA
adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus
fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan
terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu

11

tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA


yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.3,4
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara
signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.3,4
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali
jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren.3,4
2.9 Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari
abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik.
Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,
petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).3,4
2.10. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA
pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain.3,4
12

6.

13

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama

: NLSD

Umur

: 12 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Bali

Agama

: Hindu

Pendidikan

: SD

Status Perkawinan

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Dusun Kahuripan, br. Rangkan Klungkung

Tanggal Pemeriksaan : 18 Juni 2014


3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada telinga kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada telinga kiri. Keluhan nyeri ini sudah
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pada awalnya telinga hanya terasa penuh,
namun lama-kelamaan telinga kiri terasa nyeri. Pasien juga mengalami pilek.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien mengatakan belum pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Tidak
ada riwayat penyakit seperti asma, sinusitis, alergi, atau penyakit sistemik lainnya.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma atau riwayat operasi telinga sebelumnya.
Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya tidak pergi ke dokter ataupun minum obat-obatan untuk
mengatasi keluhannya.

14

Riwayat Penyakit Keluarga


Adik pasien pasien pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat pada keluarga
menderita alergi dan penyakit sistemik seperti kencing manis, tekanan darah
tinggi, kelainan metabolik disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien saat ini masih berstatus pelajar SD dan tinggal bersama orangtuanya.
Pasien tidak merokok atau minum minuman beralkohol
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Vital Sign
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Denyut Nadi

: 80 kali/menit

Respirasi

: 16 kali/menit

Temperatur Axila

: 36,3 oC

Status General
Kepala

: Normocephali

Mata

: Konjungtiva Anemi - / - , Sklera Ikterus - / -

THT

: Sesuai status THT

Leher

: Pembesaran Kelenjar Getah Bening - / Pembesaran Kelenjar Tiroid - / -

Thorak

: Cor : S1S2 Tunggal, Reguler, Murmur Pulmo: Vesikuler + / +, Rhonchi - / -, Wheezing - / -

Abdomen

: Distensi (-), Bising Usus (+) N, Hepar/Lien tidak teraba

Ekstremitas

: Hangat

+
+

Status Lokalis THT


Telinga
Daun telinga
Liang telinga
Discharge

Kanan
Normal
Lapang
Tidak ada

Kiri
Normal
Lapang
Tidak ada
15

Membran Timpani
Tumor
Mastoid
Tes pendengaran
Berbisik
Weber
Rinne
Schwabach
BOA
Tympanometri
Audiometri
Nada Murni
BERA
OAE
Tes Alat Keseimbangan

Intak
Tidak ada
Normal
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Lateralisasi ke kiri
+
Sama dengan pemeriksa
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi
Tidak dievaluasi

Retraksi, Hiperemi
Tidak ada
Normal

Hidung
Hidung Luar
Kavum Nasi
Septum
Discharge
Mukosa
Tumor
Konka
Sinus
Koana

Kanan
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Tidak ada
Merah muda
Tidak ada
Kongesti
Normal
Normal

Kiri
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Ada, mukoid
Merah muda
Tidak ada
Kongesti
Normal
Normal

Tenggorok
Dispneu
Sianosis
Mucosa
Dinding belakang faring
Stridor
Suara
Tonsil

Tidak ada
Tidak ada
Hiperemi
Granulasi (-), post nasal drip (-)
Tidak ada
Normal
T2 / T1 Tenang

Laring

Tidak dievaluasi

3.4

+
memanjang

Resume

Pasien perempuan, usia 12 tahun, mengeluh nyeri di telinga kiri sejak 1 minggu
yang lalu. Awalnya telinga kiri terasa penuh dan lama-kelamaan terasa nyeri.
Terdapat pilek pada pasien yang muncul bersamaan dengan keluhan pada telinga.
Riwayat keluhan yang sama disangkal, riwayat alergi dan penyakit sistemik
disangkal oleh pasien. Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya.
16

Pemeriksaan Fisik :
1. Status Present

: Dalam batas normal

2. Status General

: Dalam batas normal

3. Status Lokalis THT


-

Liang telinga
Discharge
Membran timpani

: lapang/lapang
: -/: intak/hiperemi

Tes tajam dengar dengan garpu tala


- Tes Rinne
- Tes Weber
- Tes Schwabach
4. Hidung
- Discharge
- Konka nasi
- Mukosa
5. Tenggorok
- Mukosa

: +/+
: lateralisasi ke kiri
: sama/memanjang
: -/+ (mukoid)
: kongesti/kongesti
: merah muda/ merah muda
: hiperemi/hiperemi

3.5. Diagnosis Banding


1. Otitis Media Akut (OMA)
2. Otitis Media Serosa
3. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
3.6. Pemeriksaan Penunjang
Kultur mikroba
3.7. Diagnosis Kerja
Otitis Media Akut AS Stadium Oklusi Tuba Eustachius (OMA Std I)
3.8. Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Antibiotika (Amoxicillin 500 mg 3x1)
- Pseudoephedrine HCl (Tremenza 30 mg 3x1)
- Asam Mefenamat (500 mg 3x1)
- Fisioterapi
KIE:
-

Hindari faktor pencetus timbulnya penyakit

Kontrol ke poli THT setelah obat habis


3.9. Prognosis
17

Prognosis baik jika diberikan terapi dini dan adekuat. Bila penanganan
diberikan terlambat dan tidak adekuat maka prognosis buruk.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus didapatkan keluhan pasien yaitu berupa nyeri pada telinga kiri.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 minggu. Pada mulanya pasien merasa
telinganya seperti penuh dan hingga kini telinga kiri terasa nyeri. Pasien juga
mengalami pilek yang muncul bersamaan dengan keluhan pada telinganya. Pasien
mengatakan tidak ada cairan yang keluar dari telinga. Dari munculnya keluhan,
pasien belum pernah memeriksakan diri ke dokter. Riwayat penyakit yang sama
dan riwayat penyakit lain seperti alergi dan penyakit sistemik disangkal.
Berdasarkan teori, jenis gangguan yang dialami pasien adalah otitis media akut
stadium hiperemi (OMA std II). Pada penyakit ini, infeksi saluran napas atas dapat
menyebabkan adanya kongesti atau edema pada saluran napas atas, nasofaring
dan tuba Eustachius. Dengan adanya kongesti pada tuba Eustachius, ventilasi
udara akan terganggu, sehingga tekanan pada telinga tengah akan negatif dan
menyebabkan refluks bakteri atau virus dari saluran napas atas dan nasofaring
menuju telinga tengah. Sumbatan pada tuba Eustachius akan mengganggu fungsi
proteksi dan drainase cairan dari telinga tengah ke nasofaring. Akibatnya terjadi
penumpukan cairan atau sekret di telinga tengah. Dengan adanya infeksi patogen

18

dan akumulasi sekret, akan melepaskan mediator-mediator inflamasi. Hal ini


nantinya akan menimbulkan rasa penuh di telinga, yang kemudian menjadi rasa
nyeri (otalgia) dan hiperemi pada membran timpani disebabkan karena kongesti
pembuluh darah. Akumulasi cairan menyebabkan terdesaknya membran timpani
sehingga menjadi gembung atau bulging. Akumulasi sekret menyebabkan
terganggunya penghantaran suara karena membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas sehingga menimbulkan gangguan
pendengaran yaitu tuli konduktif.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini meliputi pemeriksaan tanda
vital, status general dan THT. Pada pemeriksaan fisik tanda vital dan general
pasien, tidak ditemukan hasil yang diluar normal. Pada status THT, dari
pemeriksaan telinga didapatkan membran timpani kiri terdapat hiperemi. Pada
pemeriksaan hidung didapatkan sekret pada kavum nasi kiri, terdapat kongesti
pada konka nasi. Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat hiperemi pada mukosa
faring. Dilakukan juga tes tajam dengar dengan garpu tala pada pasien. Hasil yang
didapatkan adalah Rinne +/+, Weber lateralisasi ke kiri (sisi yang sakit),
Schwabach sama/memanjang. Dari hasil ini diperoleh kesimpulan pasien
mengalami gangguan pendengaran tuli konduksi sebagai gejala dari otitis media
akut. Namun tes ini perlu dilakukan tes ulang untuk mengkonfirmasi hasil tes
pada ruangan kedap suara agar diperoleh hasil tes yang akurat.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan sudah dapat ditentukan
diagnosis ke arah otitis media akut. Untuk diagnosis OMA sebenarnya diperlukan
3 kriteria yaitu kejadian yang mendadak atau akut, tanda-tanda efusi dan tanda
peradangan telinga tengah. Tanda-tanda efusi belum dapat ditemukan pada
pemeriksaan dengan otoskop, dan sebaiknya diperiksa dengan lebih teliti
mengenai tanda-tanda efusi. Diagnosis OMA mengarah pada stadium hiperemi
atau pre-supurasi, dimana pada gejala stadium ini ditemukan telinga yang terasa
penuh, otalgia, terdapat gangguan pendengaran ringan, dan pada pemeriksaan
didapatkan membran timpani yang hiperemi. Gejala dan tanda ini sesuai dengan
yang dialami oleh pasien.

19

Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan stadiumnya. Pada kasus ini, diberikan


antibiotik untuk mengatasi patogen yang menyebabkan infeksi, pseudoephedrine
HCl untuk mengurangi kongesti pada saluran napas dan tuba Eustachius, dan
asam mefenamat sebagai analgesik untuk mengatasi otalgia. KIE yang diberikan
adalah untuk menghindari faktor pencetus sebagai tindakan pencegahan. Kasus ini
kemungkinan disebabkan karena pilek yang dialami pasien, maka faktor tersebut
harus dihindari. Pasien sebaiknya mengikuti pengobatan yang diberikan dengan
baik, agar gejala tidak bertambah parah hingga stadium yang lebih berat.

BAB V
SIMPULAN
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut
(OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang
bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah,
diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani.
Otitis media akut dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Bakteri yang tersering
menyebabkan otitis media adalah Streptococcus pneumonia, sedangkan virus yang
sering menyebabkan kasus ini adalah respiratory syncytial virus. Pada OMA,
terganggunya fungsi tuba Eustachius dalam ventilasi, proteksi dan drainase
berperan penting dalam menimbulkan gejala-gejala yang terjadi.
Untuk mendiagnosis Otitis media akut atau OMA diperlukan kriteria yang
meliputi gejala yang timbul mendadak, tanda-tanda efusi cairan dari telinga
tengah dan tanda-tanda inflamasi telinga tengah. Berdasarkan perjalanan
penyakitnya OMA dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada perubahan pada

20

mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis
atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi. Penanganan yang diberikan harus disesuaikan dengan stadium-stadium
tersebut agar memberikan hasil yang optimal dan tidak berkembang ke stadium
yang lebih parah.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Drake Richard L, Vogl A. Wayne, Mitchell Adam W. M. 2010. Grays
Anatomy for students International Edition. Philadelphia PA: Churchill
Livingstone.
2. Moore Keith L, Agur Anne M. R. 2002. Anatomi Klinis Dasar.
Hipokrates.
3. Soepardi Eflaty A, Iskandar Nurbaiti, Bashiruddin Jenny, Restuti R. Dwi.
2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Adams George L, Boies Lawrence R, Hilger Peter A. 1989. Boies

Fundamental of Otolaryngology: A Textbook of Ear, Nose, and Throat


Diseases Sixth Edition. Philadelphia PA: W. B. Saunders Company.

22

You might also like