Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Samuel Liberty
NIM. 0406113635
Pembimbing:
dr. Riki Sukiandra, Sp.S
I. Pendahuluan
Nervi cranialis merupakan bagian susunan saraf tepi, berpangkal pada otak dan batang
otak, berfungsi dalam sistem sensoris, motorik, dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi
bersifat indera meliputi menghidu, melihat, mengecap, mendengar dan keseimbangan.1
Indera penglihatan merupakan jendela bagi dunia luar untuk memperoleh informasi
dunia luar yang akan diproses guna pertahanan diri, kegiatan sehari-hari dan meningkatkan
pengetahuan.2
Sepertiga otak manusia digunakan untuk proses penglihatan, yakni tajam penglihatan,
penglihatan warna, pergerakan bola mata dan memori visual. 2 Pergerakan bola mata
dilakukan oleh otot-otot ekstra okular yang dipersarfi oleh Nn. III, IV dan VI.1
II. Anatomi
2. 1 Nervus Okulomotorius
Saraf okulomotorius merupakan berkas saraf somato motorik dan visero motorik.
Yang intinya terletak sebagian di depan substansia grisea peri akuaduktal ( nukkeus motorik)
dan sebagian lagi di dalam subtansia grisea (nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung
jawab untuk persarafan otot-otot ekstra okular. Nukleus otonom atau edinger westphal
bertanggug jawab untuk persarafan parasimpatis otot-otot intra okular yakni otot sphincter
pupil dan otot ciliaris.3
Saraf parasimpatik meninggalkan saraf membentuk ganglion ciliar. Setelah memasuki orbita,
kompnen motorik terbagi menjadi dua (2). Cabang atas mempersarafi M.levator palpebra
superior dan M. rectus superior sedangkan cabang bawah mempersarafi M.rektus medialis et
inferior dan M.oblikus inferior.3
2.2 Nervus Trochlearis
Nukleus N.trochlearis terletak setinggi coliculi inferior di depan substansia grisea peri
akuaduktal , dan segera berada di bawah nukleus N.occulomotorius. Saraf ini merupakan
satu-satunya Nn. Cranialis yang keluar dari dorsal batang otak. Saraf ini melewati fisura
pontosereberalis rostralis, kemudian berjalan di bawah tentorium ke sinus cavernosus
selanjutnya ke orbita.3
Kedua saraf melalui ruang subarachnoid pada masing-masing sisi A.basilaris, lalu
melalui ruang subdural di depan clivus dan menembus duramater. N.abducens bergabung
dengan dua saraf lainnya yang turut mengontrol otot ekstraokular dalam sinus cavernosus.3
Fungsi
Gerakan bola mata ke atas
M.rectus medialis
Abduksi
M.rectus inferior
M.obliqus inferior
Gerakan mata ke atas
N.trochlearis
M. obliqus superior Gerakan mata ke bawah
N.abducens
M.rectus lateralis
Gerakan mata lateral
Keenam pasang otot ekstraokular bekerja sama sedemikian rupa sehingga gambar
benda yang dilihat jelas dan tunggal. Gerakan mata melirik ke kiri horizontal berarti
gabungan kerja M.rectus lateralis kiri dan M.rectus medialis kanan.3
3.2 Refleks Cahaya
Jika cahaya jatuh pada retina, maka terjadi perubahan diameter pupil. Refleks cahaya
pupil ini mempunyai pengaruh yang sama seperti pengatur diafragma otomatis kamera
fotografik. Arkus refleks tidak melibatkan korteks. Oleh karena itu, refleks pupil tidak
memasuki tingkat kesadaran.3
Serat aferen arkus refleks
korpus genikulatumlateral sebagai berkas medial yang berlanjut ke arah kolikulus superior
dan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi berhubungan dengan Nukleus
Edinger Westphal dari kedua sisi, menyebabkan refleks cahaya langsung dan konsensual.3
Serat eferen motorik berasal dari Nukleus Edinger Westphal dan menyertai
N.occulomotorius ke dalam orbita. Serat pre ganglion parasimpatik memasuki ganglion
ciliaris, kemudian memasuki mata dan mempersarafi otot sphincter pupil.3
IV. Gangguan Nn. III, IV dan VI
Kelainan pada pengaturan otot ekstra okular akan menghasilkan diplopia.3
4.1 Paralisis N. Occulomotorius
Kelumpuhan total N.occulomotorius akan memberikan gejala:3
-
Ptosis, disebabkan paralisis M.levator palpebrae dan tidak ada perlawanan terhadap
kerja M.orbicularis occuli yang dipersarafi N.facialis
Fiksasi posisi mata, dengan pupil arah ke bawah dan lateral (divergen) karena tidak
ada perlawanan kerja M.rectus lateralis (dipersarafi N.VI) dan obliqus superior
(dipersarafi N.IV)
Pupil melebar dan tidak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi karena terjadinya
kelumpuhan saraf parasimpatis
Paralisis parsial dapat disebabkan kompresi misalnya herniasi, aneurisma, tumor dan
trauma. oleh aneurisma A.communicans posterior atau oleh herniasi. Pada keadaan tersebut,
yang terutama terkena adalah bagian tepi yang mengandung komponen parasimpatis sehingga
refleks pupil terganggu.4,5
Pada paraslisis yang disebabkan gangguan vaskuler, bagian N.occulomotorius yang
terganggu terutama bagian sentralnya sehingga refleks pupil tidak terganggu. Gangguan
vaskular dapat ditemukan pada diabetes melitus, infark atau arteritis.4,5
4.2. Paralisis N.trochlearis
Paralisis N.IV tersendiri jarang dijumpai.3 Penyebab paralisis yang paling sering ialah
trauma, dan dapat juga dijumpai diabetes melitus. Lokasi lesi dapat dijumpai di dalam orbita,
di puncak orbita atau dalam sinus cavernosus. Paralisis N.IV akan menyebabkan diplopia
dengan posisi mata agak terangkat dan kearah temporal. Bola mata yang terkena tidak dapat
digerakkan ke bawah sehingga penderita kesulitan naik turun tangga dan membaca buku.5
4.3 Paralisis N.abducens
N.VI yang mempersarafi M.rectus lateralis bila mengalami paralisis akan
menyebabkan diplopia dengan posisi bola mata melirik ke arah luar (temporolateral). Bila
penderita melihat lurus ke depan, posisi mata yang terkena akan sedikit adduksi karena kerja
M.rectus medialis belebihan.1,5
N.VI merupakan saraf otak terpanjang intra kranial sehingga rawan terhadap
gangguan misalnya fracture basis cranii, meningitis basalis, lesi di sinus cavernosus dan
tekanan tinggi intra kranial.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P. Saraf otak dan patologinya. Dalam Neurologi klinis dasar.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008. hal 114-49.
2. Misbach J. Neuro-opthamologi pemeriksaan klinis dan interpretasi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 1999. hal 1-40.
3. Baehr M, Frotscher M. Duus topical diagnosis in neurology anatomyphysiologysigns
symptoms 4th. New York: Thieme. 2005. p 137-160.
4. Monkhouse S. Cranial nerves functional anatomy. Cambridge: Cambridge University
Press. 2006. P 121-7
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2006. hal 34-51.
6. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakarta: EGC. 1996. hal 20-29.