Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri, dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke
sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut 3.
Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi
dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan
pemeriksaan6.
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak
akut yang disebabkan karena asfiksia1. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan
penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang
3
berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental
10.
oksitosin
berlebihan
akan
menyebabkan tetani.
Plasenta terlepas dini.
Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.
berat
atau
penyakit
paru.
3. Prevalensi
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di
negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Insiden HIE di Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup 1. Di
Australia (1995), Angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup,
sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka
kejadian kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Lima belas
hingga 20% bayi dengan ensefalopati hipoksik iskemik meninggal pada masa
neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental
permanent 4.
4. Patofisiologi
4
Prinsip utama pada patogenesis HIE adalah kerusakan neurologis akibat hipoksia
iskemik sehingga terjadi kegagalan suplai glukosa dan oksigen. Hal ini menyebabkan
kegagalan pembentukan energi primer dan memulai kaskade biokimia sehingga
akhirnya sel menjadi tidak berfungsi sampai kematian sel [20,21].
Kerusakan otak akibat proses hipoksik iskemik perinatal yang terbagi menjadi 2 fase
[13]. Pertama, kegagalan energi dini akan mengakibatkan metabolisme oksidatif
menurun sehingga terjadilah nekrosis. Kedua, kegagalan energi lambat yang mucul
selama proses reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam setelah fase awal dan bertahan
sampai beberapa hari [10,22,23]. The pathophysiology of this late energetic failure
initiates a cascade of biochemical events (Figure 1), which involve nitric oxide
synthases activation,the production of cytotoxic free radicals, inflammation,
membranedysfunction and apoptosis, among others [24].
Calcium Influx and Free Radical Formation
During the late energetic failure, a consequent reperfusion injuryoften deteriorates the
brain metabolism by increasing the oxidative stress damage. Particular roles for
increase in extracellular glutamate, excessive activation of glutamate receptors
(excitotoxicity), increase in cytosolic calcium (Ca2+) and generation of free radicals
are emphasized [12,2527].
4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi
kecacatan neurologi berat.
: 95%
: 64%
: 3,3%
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
Tingkat kesadaran
Iritabel
Letargik
Stupor, coma
Tonus otot
Normal
Hipotonus
Flaksid
Postur
Normal
Fleksi
Decerebrate
Refleks
tendon/klonus
Hiperaktif
Hiperaktif
Tidak ada
Myoclonus
Tampak
Tampak
Tidak tampak
Refleks Moro
Kuat
Lemah
Tidak ada
Pupil
Midriasis
Miosis
Tidak beraturan,
refleks cahaya
lemah
Kejang
Tidak ada
Sering terjadi
Decerebrate
EEG
Normal
Voltage rendah
yang berubah
dengan kejang
Burst suppression
to isoelektrik
Durasi
<24 jam
24 jam 14 hari
Hasil akhir
Baik
bervariasi
Beberapa hari
hingga minggu
Kematian,
kecacatan berat
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi
juga merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat
berkembang dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama
fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan
pemberian dosis standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan
akibat ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh
hipokalsemia dan hipoglikemia5.
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi pulmonal persisten, sindroma distress nafas, perforasi gastrointestinal,
hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa
perinatal
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas
dan insufisiensi sirkulasi.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase
lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko
terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang
memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat.
3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya
dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan
SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada
usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan
mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.
7. Terapi
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
10
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan7.
Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis
awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 4050mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam
0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital
dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan
dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik
berkisar 20-40g/mL.
Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan
dalam hubungannya dengan hasil akhir neurologi. Cara yang digunakan disebut
selective cerebral cooling yang menggunakan air dingin disekitar kepala. Penelitian
lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat merekomendasikan pengobatan ini khususnya
pada bayi.
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat
menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya
menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir
penderita dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
8. Prognosis
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati
hipoksik iskemik. Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya
pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang
menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi
kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang
berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik
ditegakkan berdasarkan penurunan kesadaran berat (koma), apnea dengan PC O2 yang
11
meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil,
okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis
tersebut ditunjang dengan hasil EEG (Cordes).
9. Follow Up
Sejak awal, orang tua atau keluarga pasien perlu diberi penjelasan kemungkinan
yang terbail dan terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan
fisik, rehabilitasi medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit,
penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi
secara berkesinambungan dipoliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian
disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh
kembang anak, rehabilitasi medik, orthopedik dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama
tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita ensefalopati hipoksik
iskemik1.
BAB III
12
KESIMPULAN
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak
akut yang disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting kerusakan
permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP).
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di
negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Kesadaran letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan
lemahnya refleks moro merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik. Selain
itu pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda lain terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi
kelainan sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif
untuk mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah
dilakukan.
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati
hipoksik iskemik.
Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani
penderita ensefalopati hipoksik iskemik.
DAFTAR PUSTAKA
Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams
& Walkins; 536-55.
Bager B. 1997. Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting
challenge; 1214.
13
Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. 1994. Early prediction of the
development of microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term
newborn; 93-703.
Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. 1997. Predicting the outcome of
postasphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth; 131-613.
Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in terminfants with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with threeyears follow-up; 132-345.
Hill A, 2005. Neurological and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald
MG eds. Averys Neonatology Patophysiology & Management of Newborn 6 th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 536-55.
Martin Ancel A, Gracia-Alix A, et al. 1995. Multiple organ involvement in
perinatal asphyxia; 127-786.
Perlman JM, Risser R, Broyles RS. 1998. Bilateral cystic periventricullar
leucomalacia in the premature infants: Associated risk factors. Pediatrics; 822.
Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Nervous System Disorder. In: MacDonald MG,
Mullet MD, Shesia MMK eds. Nelson Textbook of Pediatri 17th ed. Philadelphia, WB
Saunder; 559-68
Umam NK, 2006. Terapi hipotermi sistemik (whole body cooling) pada
neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik: metaanalisis.
Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ eds.
Neurology of the Newborn 4th ed. Philadelphia: WB Saunder Co; 217-394.
14