You are on page 1of 14

DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................................................................1


BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2
Latar Belakang .................................................................................................2
Tujuan Penelitian .............................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3
1. Definisi ......................................................................................................3
2. Etiologi.......................................................................................................3
3. Prevalensi....................................................................................................4
4. Patofisiologi................................................................................................4
5. Manifestasi Klinis.......................................................................................5
6. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................7
7. Terapi..........................................................................................................7
8. Prognosis....................................................................................................8
9. Follow up....................................................................................................9
BAB III. KESIMPULAN ......................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................11

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) is a serious birth complication affecting full


term infants: 4060% of affected infants die by 2 years of age or have severe
disabilities. The majority of the underlying pathologic events of HIE are a result of
impaired cerebral blood flow and oxygen delivery to the brain with resulting primary
and secondary energy failure. (Hypoxic Ischemic Encephalopathy: Pathophysiology
and Experimental Treatments)
Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) is one of the most serious birth
complications affecting full term infants.1 It occurs in 1.5 to 2.5 per 1000 live births
in developed countries. HIE is a brain injury that prevents adequate blood flow to the
infants brain occurring as a result of a hypoxic-ischemic event during the prenatal,
intrapartum or postnatal period.4 By the age of 2 years, up to 60% of infants with HIE
will die or have severe disabilities including mental retardation, epilepsy, and cerebral
palsy (CP)
Hypoxic-ischemic (HI) encephalopathy is one of the major causes of disability and
death in newborn infants worldwide [1]. An estimated four million babies die every
year during the neonatal period, and one quarter of these deaths are attributed to HI
[2]. Neonatal encephalopathy is a common clinical condition affecting approximately
2 in 1000 neonates [3], and accounts for a substantial proportion of admissions to
neonatal intensive care; 10%15% of cases will die in the neonatal unit, 10%15%
will develop cerebral palsy and up to 40% will have other significant disabilities
including blindness, deafness, autism, epilepsy, global developmental delay, as well as
problems with cognition, memory, fine motor skills and behavior [48].
(Neuroprotective Therapies after Perinatal Hypoxic-Ischemic
Brain Injury)
Walaupun telah banyak dicapai kemajuan teknologi di bidang teknologi monitoring
dan patofisiologi perinatal asfiksia pada janin dan neonatus, Ensefalopati hipoksik
iskemik masih merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang.
Ensefalopati hipoksik iskemik terutama dipicu oleh keadaan hipoksik otak,
iskemik oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. Tidak
terdapat terapi spesifik pada ensefalopati hipoksik iskemik.

Tujuan Penulisan
1.
2.
3.
4.

Mengetahui definisi, etiologi, dan prevalensi Ensefalopati hipoksik iskemik.


Mengetahui patofisiologi Ensefalopati hipoksik iskemik.
Mengetahui mnifestasi klinis, derajat dan gradasi Ensefalopati hipoksik iskemik.
Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis Ensefalopati hipoksik iskemik.


5. Mengetahui prognosis dan follow up pasien Ensefalopati hipoksik iskemik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri, dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke
sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut 3.
Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi
dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan
pemeriksaan6.
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak
akut yang disebabkan karena asfiksia1. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan
penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang
3

berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental
10.

Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi

dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan


pemeriksaan11.
2. Etiologi
Hipoksia pada fetus disebabkan oleh2 :
1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
2.

selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.


Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau

tekanan uterus pada vena cava dan aorta.


3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian
4.
5.
6.
7.

oksitosin

berlebihan

akan

menyebabkan tetani.
Plasenta terlepas dini.
Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:


1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.
2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh
infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau
adrenal.
3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan
sebab defek serebral, narkosis atau cedera.
4. Kegagalan
oksigenasi
karena
CHD

berat

atau

penyakit

paru.

3. Prevalensi
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di
negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Insiden HIE di Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup 1. Di
Australia (1995), Angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup,
sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka
kejadian kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Lima belas
hingga 20% bayi dengan ensefalopati hipoksik iskemik meninggal pada masa
neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental
permanent 4.
4. Patofisiologi
4

Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia,


hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis
respiratorius. Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan
aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan
tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus secara
sementara8.
Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat-ringan
hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel
merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak
pada perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin
yang memanjang dapat menyebabkan Periventicular leukomalacia (PVL) dan
hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang merupakan predesposisi untuk terjadi
hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan gasping, dapat
terjadi akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo
dan skuama).
Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah
lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia
kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut
akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan
akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus
basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau
multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika
dibandingkan dengan bayi kurang bulan.

Prinsip utama pada patogenesis HIE adalah kerusakan neurologis akibat hipoksia
iskemik sehingga terjadi kegagalan suplai glukosa dan oksigen. Hal ini menyebabkan
kegagalan pembentukan energi primer dan memulai kaskade biokimia sehingga
akhirnya sel menjadi tidak berfungsi sampai kematian sel [20,21].
Kerusakan otak akibat proses hipoksik iskemik perinatal yang terbagi menjadi 2 fase
[13]. Pertama, kegagalan energi dini akan mengakibatkan metabolisme oksidatif
menurun sehingga terjadilah nekrosis. Kedua, kegagalan energi lambat yang mucul
selama proses reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam setelah fase awal dan bertahan
sampai beberapa hari [10,22,23]. The pathophysiology of this late energetic failure
initiates a cascade of biochemical events (Figure 1), which involve nitric oxide
synthases activation,the production of cytotoxic free radicals, inflammation,
membranedysfunction and apoptosis, among others [24].
Calcium Influx and Free Radical Formation
During the late energetic failure, a consequent reperfusion injuryoften deteriorates the
brain metabolism by increasing the oxidative stress damage. Particular roles for
increase in extracellular glutamate, excessive activation of glutamate receptors
(excitotoxicity), increase in cytosolic calcium (Ca2+) and generation of free radicals
are emphasized [12,2527].

Loss of mitochondrial membrane potential, combined with high concentrations of


glutamate, opens calcium-permeable NMDA glutamate channels and voltage-gated
calcium channels allowing calcium to move into neurons[28]. This fact triggers
enhanced production of free radicals and activation of lipases, proteases, and
endonucleases.
As a consequence of lipases and proteases activation, the release of free fatty acids,
especially arachidonic acid, will activate cyclooxygenase and will catalyze the
formation of prostaglandins, which will liberate super-oxide free radicals. In addition,
the formation of oxygen free radicals is also enhanced via hypoxanthine
metabolization. Hypoxanthineis formed during the HI and metabolized to uric acid.
Collectively, these processes will lead to a surge of the superoxide free radicals, which
play a central role in further production of free radicals and other toxic compounds
[12,2527].
The prominence of an NMDA-mediated injury in the immature brain is related to the
fact that NMDA receptors are functionally upregulated in the perinatal period due to
their role in activity-dependent neuronal plasticity [29]. Immature NMDA channels
open more easily and stay open longer than adult channels, and the voltage-dependent
magnesium block that is normally present in adult channels at resting membrane
potentials is more easily relieved in the perinatal period [30].
4. Nitric Oxide Synthases Activation
Open NMDA channels allow calcium to enter into the intracellular compartment and
activate neuronal nitric oxide synthase (nNOS), leading toproduction of the oxygen
free radical nitric oxide (NO) [31,32]. Then, NO can react with superoxide to form
toxic peroxynitrite, which can add nitrate to tyrosine groups on proteins. Thisreaction
contributes to the production of hydroxyl radicals, causing lipid peroxidation of
proteins and DNA, which produce to further damage to brain tissue [3336]. NO can
also disrupt mitochondrial respiration by impairing the function of cytochrome
oxidase from complex 4 and complex 1, which increases the production of superoxide
and peroxynitrite ions in mitochondria, especiallyduring hypoxia [32,37].
5. Inflammation
Inflammation plays an important part in the excite-oxidative cascade of injury in the
perinatal period [38]. Three to twelve hours after reperfusion and reoxygenation an
inflammatory response, which is probably induced by excessive free radical
production and high levels ofextracellular glutamate, pro- and anti-inflammatory
cytokines such as TNF-, IL-1, IL-6, IL-8 and IL-10 will be activated [39].

Likewise, the activation of two transcription factors,Nuclear Factor kappa B (NF-B)


and c-Jun N-terminal kinase (JNK), play a central role in the post-HIinflammatory
process. In addition, these transcription factors can regulate expression of pro- and
anti-apoptotic proteins and thus can contribute to damage or neuroprotection [4042].
6. Apoptosis Activation
Apoptotic activity contributes to brain damage in the neonate and is an important
pathway in the process of delayed neuronal death. Apoptosis is anenergy-dependent
process and ATP is required for apoptosome formation and subsequent caspase
activation [43,44]. Caspases and especially the caspase-3 are activated in this process
and bring about most of the changes that characterize apoptotic cell death [45].
Activated caspase-3 is expressed at higher levels in the developing brain after
perinatal HI, giving rise to the assumption that apoptotic mechanisms of neuronal cell
death seem to be more important in neonatal brain injury than adults [46]. Increased
knowledge about the factors that determine when or how cells die after HI is
important since it might enable salvage tissue through use of drugs, growth factors or
treatment interventions that influence brain activity[47,48].
5. Manifestasi klinis
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga
beberapa hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan
peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus.
Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama pada bayi
menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk memberikan
oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan
untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya
terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam
kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau
tonus tampak normal.
Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat ensefalopati hipoksik iskemik.
1. Derajat 1 : 1,6%
2. Derajat 2 : 24%
3. Derajat 3 : 78%

4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi
kecacatan neurologi berat.

Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan


angka rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik)

: 95%

2. Kelainan sedang (slow wave activity)

: 64%

3. Kelainan ringan atau tanpa kelainan

: 3,3%

Tabel 1 :Gradasi ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm9


Tanda klinis

Derajat 1

Derajat 2

Derajat 3

Tingkat kesadaran

Iritabel

Letargik

Stupor, coma

Tonus otot

Normal

Hipotonus

Flaksid

Postur

Normal

Fleksi

Decerebrate

Refleks
tendon/klonus

Hiperaktif

Hiperaktif

Tidak ada

Myoclonus

Tampak

Tampak

Tidak tampak

Refleks Moro

Kuat

Lemah

Tidak ada

Pupil

Midriasis

Miosis

Tidak beraturan,
refleks cahaya
lemah

Kejang

Tidak ada

Sering terjadi

Decerebrate

EEG

Normal

Voltage rendah
yang berubah
dengan kejang

Burst suppression
to isoelektrik

Durasi

<24 jam

24 jam 14 hari

Hasil akhir

Baik

bervariasi

Beberapa hari
hingga minggu
Kematian,
kecacatan berat

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi
juga merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat
berkembang dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama
fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan
pemberian dosis standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan
akibat ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh
hipokalsemia dan hipoglikemia5.
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi pulmonal persisten, sindroma distress nafas, perforasi gastrointestinal,
hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa
perinatal
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas
dan insufisiensi sirkulasi.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase
lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko
terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang
memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat.
3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya
dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan
SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada
usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan
mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.
7. Terapi
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
10

mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan7.
Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis
awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 4050mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam
0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital
dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan
dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik
berkisar 20-40g/mL.
Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan
dalam hubungannya dengan hasil akhir neurologi. Cara yang digunakan disebut
selective cerebral cooling yang menggunakan air dingin disekitar kepala. Penelitian
lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat merekomendasikan pengobatan ini khususnya
pada bayi.
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat
menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya
menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir
penderita dengan ensefalopati hipoksik iskemik.

8. Prognosis
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati
hipoksik iskemik. Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya
pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang
menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi
kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang
berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik
ditegakkan berdasarkan penurunan kesadaran berat (koma), apnea dengan PC O2 yang
11

meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil,
okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis
tersebut ditunjang dengan hasil EEG (Cordes).
9. Follow Up
Sejak awal, orang tua atau keluarga pasien perlu diberi penjelasan kemungkinan
yang terbail dan terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan
fisik, rehabilitasi medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit,
penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi
secara berkesinambungan dipoliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian
disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh
kembang anak, rehabilitasi medik, orthopedik dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama
tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita ensefalopati hipoksik
iskemik1.

BAB III
12

KESIMPULAN
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak
akut yang disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting kerusakan
permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP).
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di
negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
Kesadaran letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan
lemahnya refleks moro merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik. Selain
itu pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda lain terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi
kelainan sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif
untuk mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah
dilakukan.
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati
hipoksik iskemik.
Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani
penderita ensefalopati hipoksik iskemik.

DAFTAR PUSTAKA
Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams
& Walkins; 536-55.
Bager B. 1997. Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting
challenge; 1214.
13

Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. 1994. Early prediction of the
development of microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term
newborn; 93-703.
Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. 1997. Predicting the outcome of
postasphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth; 131-613.
Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in terminfants with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with threeyears follow-up; 132-345.
Hill A, 2005. Neurological and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald
MG eds. Averys Neonatology Patophysiology & Management of Newborn 6 th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 536-55.
Martin Ancel A, Gracia-Alix A, et al. 1995. Multiple organ involvement in
perinatal asphyxia; 127-786.
Perlman JM, Risser R, Broyles RS. 1998. Bilateral cystic periventricullar
leucomalacia in the premature infants: Associated risk factors. Pediatrics; 822.
Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Nervous System Disorder. In: MacDonald MG,
Mullet MD, Shesia MMK eds. Nelson Textbook of Pediatri 17th ed. Philadelphia, WB
Saunder; 559-68
Umam NK, 2006. Terapi hipotermi sistemik (whole body cooling) pada
neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik: metaanalisis.
Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ eds.
Neurology of the Newborn 4th ed. Philadelphia: WB Saunder Co; 217-394.

14

You might also like