You are on page 1of 10

Konsep dasar pajak internasional

1. Konsep dasar perpajakan internasional.


Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini
belum ada. Menurut Bapak Sriadi, Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat
Direktorat Jendral Pajak, mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional.
Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya
dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap
badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua
negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk
asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar
negri, dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi
(ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan
eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan
ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam
aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence
country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source
country)

Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional


Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu
memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara,
pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan
melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.
Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan
pemajakan internasional:
1.

Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban
pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di
luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua
negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar

2.

negeri.
Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar
negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal
ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri
(WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT)
yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-

3.

test dari peraturan yang berlaku.


National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh
dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

2. Konsep juridical versus economic double taxation.


Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara
pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic
double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak
berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak
atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi
legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis
yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk)
oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara
lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hukum yang
berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan
pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda
ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada
sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries),
dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang
PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau
modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu
Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan
pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu
negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut
dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identity of subject). Di pihak lain, PBI
ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda,
namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat
hubungan (economic identity of subject).

3. Konsep anti-tax avoidance.


Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax
planning, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1.

Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty

2.

shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).


General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak
mempunyai substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk

menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan
oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak
tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan
membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat
suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di
Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh
Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1.

Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan

2.

bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.


Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak

3.

tersebut tidak ditujukan kepadanya.


Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan

4.

kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).


Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di

5.

masa yang akan datang.


Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas

6.

usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.


Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.

Anti Tax-Avoidance di Indonesia


Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada
definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance
dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan
penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak
tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundangundangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi
kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga
berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib
Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan
negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi
pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang
berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)
harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam
ketentuan materialnya.

4. Pengertian dan tujuan penghindaran pajak


berganda (P3B).
Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam
bukunya yang berjudul Basic Problems in Internasional Fiscal Law (1979) memberikan
pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :
a. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih
dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
b. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali
terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang
sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya,
dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1.
2.

Internal (domestic)
Internasional

Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan
diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal). Definisi lain Perjanjian
penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua negara bilateral yang mengatur
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk oleh
salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constacting State). Atau
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan
berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk
dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara
mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai
bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty
menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara
internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa dimulai
dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax
treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah
klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan
6

berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty,
seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku
untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara
dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi
klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan
pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam
sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu
bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi
pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang
mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah
dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan
pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya
berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Disamping tujuan utama
seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a.

Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;


Dengan P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di
kedua tempat (negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak
di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini
diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak

b.

hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.


Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman
saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi,
maka

dapat

dipastikan

pendudukan

atau

warga

negara

asing

akan

mempertimbangkan untuk menanamkan modalnya, karena hasil dari investasinya


c.

tidak sesuai dengan yang diharapkan.


Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di
negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat
meningkatkan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan ke luar negeri,
dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM negara pengirim peserta
pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa dan karyawan
7

yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani mereka


sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak kurang baik
d.

terhadap pengembangan SDM.


Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
Dengan membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka
informasi tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di
kedua negara tersebut akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan penerimaan
pajak). Negara yang terkait dengan Tax Treaty dapat melaporkan penghasilan
penduduk asing di negara sumber, misalnya saja dengan mengirimkan bukti
penerimaan penghasilan dari negara sumber, informasi penghasilan tersebut
seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan

e.

diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak.


Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua
negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk
asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan
tax treaty terikat dengan ketentuan dalam perjanjiannya sehingga tidak boleh
sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

5. Transfer pricing.
Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan
istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan
membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya
lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban
bunga untuk mengurangi laba).
Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak
perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh
kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A
berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa
juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah
ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18
dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal
dan DER (Debt Equity Ratio).

SUMBER
http://sophiaririnkali.blogspot.com/2013/05/konsep-dasar-pajak-internasional.html

10

You might also like