Professional Documents
Culture Documents
Halaman: 9/11
BAGIAN 4.
11
Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama 1-2 minggu diperlukan
untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800
mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit.
Kortikosteroid
Potensi
Antiinflamasi
Potensi
Ekuivalen (mg)
Potensi
Retensi Na
Waktu Paruh
Biologik
Cortisol
20
2+
8-12
Cortison
0.8
25
2+
8-12
Prednison
3.5
1+
18-36
Prednisolon
1+
18-36
Methylprednisolone
18-36
Triamcinolon
18-36
Parametason
10
36-54
Betametason
25
0.6
36-54
Dexamethason
30
0.75
36-54
Macam
4.1.2
Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil 8.11
.
Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Obat
ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel mast dan mempunyai efek
supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk
pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan
alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata
dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka
panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat.
Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi.
Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.
4.1.3
Teofilin Lepas Lambat 8.11
.
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja
teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan
terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan
menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara
bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi
mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas lambat efektif dalam
mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini
berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang berlainan. Gejala
gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa
terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat
pernafasan.
Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading dose dan 20 mg/Kg BB/24
jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam. Adapun therapeutic dose adalah 1020 mg/dl.
4.1.4
Beta2-Agonis Long Acting 8.11
.
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja panjang lebih dari 12
jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi
menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas
vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma
segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas
akibat induksi histamin. Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum ditetapkan pasti dalam
penatalaksanaan asma, studi klinis mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki
skor gejala, menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi pemakaian beta 2-
agonis inhalasi short acting. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan
hipokalemi.
Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral, sama dengan obat inhalasi. Obat ini dapat menolong untuk
mengontrol gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai tambahan terhadap obat kortikosteroid inhalasi,
sodium kromolin atau nedokromil kalau dengan dosis standar obat-obat ini tidak mampu mengontrol gejala
nokturnal. Efek samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler, kelemahan dan tremor otot skeletal.
4.1.5
Reseptor Leukotrien Antagonis 9.19
.
Adalah suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA) dengan nama kimia 4-(5-cyclopentyloxycarbonylamino-1-mathyl-indol-3l methylll) -3-methoxy-N-o-tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul
575,7 dengan rumus empiriknya C31H33N3O6S. Dibuat secara sintetis dengan nama Zafirlikast. LTRA adalah
suatu reseptor leukotrien (LTD4 dan LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana LTD4 dan LTE4 adalah
komponen dari SRS-A yang berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang menimbulkan
bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi otot polos dan aktivasi sel-sel radang sehingga terbentuk
mediator inflamasi yang menimbulkan keluhan pada penderita asma. Penderita asma mempunyai kepekaan
terhadap LTD4 25 sampai 100 kali disbanding orang normal. Diserap cepat bila diberikan peroral, konsentrasi
dalam darah mencapai puncak setelah 3 jam, 99% terikat pada albumin, disekresi lewat feses setelah melewati
proses enzimatik pada jalur cytocrome P450 2c9 (CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita dengan
gangguan faal hati, waktu paruhnya menjadi lebih panjang. LTRA pada penderita asma dapat digunakan
sebagai obat asma dan pencegahan asma.
LTRA bukanlah bronkodilator dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan. Kemasan berupa tablet
20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari. Indikasinya untuk
pencegahan dan pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan pada saat serangan akut dan saat terjadi
status asmatikus, namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi. Dapat dipakai untuk mencegah terjadinya
exercise induce asthma.
Asma adalah kelainan kronis yang walaupun tidak bisa disembuhkan, penatalaksanaan yang tepat seringkali dapat
mengontrol penyakit ini dengan baik. Tujuan dari suksesnya penatalaksanaan dari asma adalah : 11
mencapai dan menjaga agar gejala dapat terkontrol
Tujuan terapi diatas mencerminkan pengertian baru tentang asma dan penatalaksanaannya. Telah disepakati bahwa asma
adalah penyakit kronis, dengan inflamasi saluran nafas kronis yang berkembang progresif dan mengakibatkan episode
berulang dari obstruksi saluran nafas, produksi sputum dan batuk. Banyak studi menyatakan bahwa pada asma yang lebih
berat dari asma intermiten ringan lebih efektif dikontrol dengan menekan dan menghilangkan inflamasi, dibanding hanya
dengan mengobati bronkokonstriksi dan gejala lain yang berhubungan. Ada 6 bagian penatalaksanaan asma.11
BAGIAN 1.
11
eksaserbasi harus sudah dipikirkan. Harus diyakinkan juga bahwa dengan penanganan yang baik, hal diatas dapat
diminimalkan.
Rencana pengobatan individu juga harus ditetapkan, termasuk manfaat bermacam obat asma, juga efek sampingnya.
Pengenalan tentang obat pengontrol dan pelega juga harus diberikan. Yang terpenting adalah untuk mengenali dan
menangani eksaserbasi sedini mungkin sehingga menghindari morbiditas yang lebih serius, bahkan kematian.
BAGIAN 2.
11
Menilai dan Memonitor Derajad Asma dengan Pengukuran Gejala dan Pengukuran Fungsi Paru.
Untuk mengukur gejala, diajukan pertanyaan mengenai seberapa seringkah penderita memakai obat-obat reliever dan
seberapa seringkah penderita mengalami gejala malam hari seperti batuk, mengi dan sesak. Juga penting ditanyakan
seberapa sering penderita membatasi aktivitas normalnya.
Sedangkan pengukuran fungsi paru bisa memakai spirometri ataupun peak expiratory flow (PEF). Adalah penting untuk
menilai derajad penyakit, menilai besarnya variasi diurnal dari fungsi paru, monitor respon terapi selama eksaserbasi akut,
mendeteksi perburukan faal paru yang asimtomatis dan mencegahnya untuk menjadi lebih berat, memonitor respon
terhadap pengobatan kronis dan identifikasi triger.
BAGIAN 3.
11
V. DIAGNOSA ASMA
A.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosa klinis asma sering didapat dari gejala seperti sesak, mengi, dada terasa berat dan batuk, biasanya
memburuk pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapai gejala diatas bukanlah diagnosa pasti. Yang penting adalah
serangan berulang tersebut sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi, iritan, aktivitas fisik dan infeksi virus. Tanda
klinis penting yang lain adalah bahwa gejala diatas dapat hilang secara spontan atau dengan pemberian bronkodilator
dan kortikosteroid. Variabilitas gejala berdasar musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi juga membantu
untuk diagnosa. Karena gejala asma sangat bervariasi dalam sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi
bisamenjadi normal. Selama eksaserbasi, kontrasksi otot polos saluaran nafas, udema dan hipersekresi
cenderung menutup saluran nafas terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari hiperinflasi dan peningkatan obstruksi
saluran nafas pada saat eksaserbasi akan meningkatkan kerja nafas secara bermakna. Hal ini yang menyebabkan
tanda klinis sesak, mengi dan tanda-tanda hiperinflasi paru.8.11
B.
C.
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajad berat ringannya dan gambaran dari obstruksi saluran nafas. Yang
terpenting adalah berdasarkan derajad berat ringannya serangan, karena berhubungan secara langsung dengan
pengobatan yang akan diberikan
A. Ditinjau dari segi Imunologi, asma dibedakan menjadi :
1.
B.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit menurut Global Initiative For Asthma
Gejala
Gejala Malam
PEF
Tahap 4
Persisten Berat
Tahap 3
Persisten Sedang
sering
> 1 kali/mgg
>60%<80% pred
variabilitas 20-30%
- terus menerus
- aktivitas fisik terbatas
tiap hari
Tahap 2
Persisten Ringan
> 2 kali/bulan
Tahap 1
Intermitten
- < 1 kali/minggu
- diantara serangan tanpa gejala
< 2 kali/bulan
C.
80% prediksi
variabilitas <20%
8.11
1.
Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 95% udara ruangan,
PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan
faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
2.
Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi
interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2
liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
3.
Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius,
disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang
mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit,
FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi
interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi
ekspirasi yang jelas.
Konsep patogenesa asma telah berubah, dari gejala fisiologik penyakit (tahun 1960-1970) dan kini beralih ke komponen
seluler. Dengan melakukan tes provokasi alergen pada individu yang sensitif, akan terjadi obstruksi bronkus yang terlihat
dengan menurunnya volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV 1 ). Fase ini dikenal sebagai reaksi asma segera (RAS) atau
Early Asthmatic Reaction (EAR), dimana obstruksi mencapai puncaknya pada 15 sampai 20 menit setelah paparan dengan
alergen, dan berakhir kurang lebih 60 menit kemudian. 5.10.20
Reaksi imunologi yang timbul akibat paparan alergen, pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Fase ini merangsang
terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma dan IgE ini akan melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Rangsangan berikutnya oleh alergen yang serupa menimbulkan reaksi fase awal. Hal ini dikarenakan terjadinya
degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan mediator-mediator yang ada di dalam granul sel mast yaitu histamin,
neutral protease dan proteoglikan (preformed molecules) dan prostaglandin, leukotrien dan sitokin (newly generated
molecules). Histamin mempunyai efek vasoaktif langsung dan spasmogenik otot polos. Sedangkan PGD 2 mempunyai
aktivitas bronkospasme yang sangat kuat dan memperberat hiperrespon saluran nafas terhadap inhalasi histamin dan
metakolin. LTC4, LTD4 dan LTE4menyebabkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan hipersekresi mukus.
Mediator-mediator tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada bronkus, yaitu akan terjadi spasme dari bronkus,
hipersekresi kelenjar, udema dan peningkatan permeabilitas kapiler dan hal ini secara klinis merupakan manifestasi
serangan asma akut. 5.10.18.20
Setelah 4 sampai 6 jam kemudian, akan terjadi proses selanjutnya yaitu reaksi asma lambat (RAL) atau late phase
reaction (LPR), dan biasanya menetap dalam 24 sampai 48 jam Reaksi asma lambat berhubungan dengan perekrutan sel
inflamasi kedalam saluran nafas. Cairan BAL pada fase APR menunjukkan peningkatan level histamin dan tryptase, yang
mencerminkan aktivasi sel mast. Eosinofilia saluran nafas dimulai 4 sampai 6 jam setelah paparan alergen pada LPR.
Eosinofil dan limfosit dalam saluran nafas teraktivasi yang ditunjukkan oleh marker aktivasi sel permukaan dan pelepasan
granul protein eosinofil. Jumlah makrofag saluran nafas juga meningkat 5.10.11
Oleh pengaruh sitokin yaitu IL-3, IL-4, Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor (GM-CSF) yang dihasilkan oleh sel
mast dan T limfosit yang teraktivasi, akan menyebabkan aktivasi sel-sel radang seperti eosinofil, neutrofil, monosit,
makrofag, basofil dan limfosit. Masing-masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil yang
teraktivasi memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, TNF dan GM-CSF. IL-5 dan GM-CSF yang akan meningkatkan rekrutmen eosinofil
kedalam saluran nafas, yang menyebabkan terjadinya eosinofilia pada asma. Eosinofil juga mengandung granul-granul
protein kationik seperti Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Cationic Protein (ECP), Eosinophil-Derived Neurotoxin dan
Eosinophil Peroxidase (EPO). MBP dan ECP sangat toksik terhadap sel epitel, sedangkan EDN sesuai dengan namanya,
akan merusak neuron yang bermielin sehingga saluran nafas lebih peka terhadap rangsang. Sedangkan EPO menyebabkan
pelepasan histamin dari sel mast. Makrofag melepas bermacam sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-a), mediator lemak
(TXA2, LTB4, LTC4, LTD4 dan PGD2), PAF dan histamin releasing factor. Basofil juga mengandung MBP, selain itu juga
menghasilkan sitokin (IL-4, IL-5 dan IL-13) dan mediator lemak (LTC4, LTD4, LTE4 dan PAF). Limfosit T dibedakan menjadi
dua berdasar marker membrannya, yaitu limfosit T CD4+ helper dan CD8+ cytotoxic. Yang dominan pada
orang asma adalah limfosit T CD4+ yang dibagi menjadi dua subset yaitu sel TH1 dan TH2 yang diperkirakan berasal dari
prekursor limfosit yang disebut sel TH0. Sel TH1 dan TH2 memproduksi sitokin yang serupa seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL10, IFN-g, GM-CSF dan TNF-a..5.10.11
Mekanisme perekrutan sel inflamasi kedalam saluran nafas difasilitasi dan diatur oleh molekul adesi dan sitokin. Molekul
adhesi adalah protein permukaan sel yang berupa selektin (ELAM-1), integrin dan Ig gene superfamily (ICAM-1, ICAM-2,
VCAM-1, PECAM-1). Molekul adhesi ini mempermudah mempermudah mobilisasi sel radang dari intravaskuler menuju
jaringan tempat radang atau organ sasaran.5.10
Patogenesa Asma Non Imunlogi:
1.
21
2.
Hiperresponsivitas saluran nafas dan keterbatasan aliran udara akut merupakan dua manifestasi uatama dari gangguan
fungsi paru pada penderita asma.
Hiperresponsivitas saluran nafas. Komponen penting asma yang mendasari ketidak stabilan saluran nafas adalah
adanya respon bronkokonstriksi terhadap bermacam stimulus eksogen maupun endogen. Banyak mekanisme telah
diusulkan untuk menjelaskan hiperresponsivitas saluran nafas ini, tetapi beberapa kejadian menggambarkan bahwa
inflamasi saluran nafas merupakan faktor kunci. Akibat klinis dari hiperresponsivitas saluran nafas tercermin pada
peningkatan variasi dari ukuran saluran nafas dalam sehari atau antar hari. 11
Keterbatasan aliran udara. Episode berulang dari keterbatasan aliran udara pada asma mempunyai empat bentuk, dan
masing-masing berhubungan dengan respon inflamasi saluran nafas.
1.
Bronkokonstriksi akut. Mekanisme keterbatasan aliran udara akut bervariasi tergantung dari rangsangan.
Bronkokonstriksi akut allergen-induced, disebabkan oleh pelepasan mediator IgE dependent termasuk histamin,
prostaglandin dan leukotrien dari sel mast saluran nafas yang menyebabkan kontraksi otot polos. Reaksi ini kadang
disebut sebagai respon asma segera Keterbatasan aliran udara akut juga terjadi karena saluran nafas pada penderita
asma hiperresponsif terhadap banyak rangsangan seperti inhalasi alergen, aktivitas, udara dingin, bahan kimia dan
ekspresi emosional yang berlebihan seperti menangis dan tertawa. Bronkokonstriksi akut dengan cepat dapat
dihilangkan dengan bronkodilator inhaler, seperti short acting b2-agonis.11
2.
Penebalan dinding saluran nafas. Keterbatasan aliran udara juga terjadi akibat edema dari dinding saluran nafas
dengan atau tanpa kontraksi otot polos atau bronkokonstriksi. Bronkodilator dapat menghilangkan sedikit dari
komponen ini, tetapi lebih efektif untuk menggunakan obat anti inflamasi seperti kortikosteroid. Komponen respon
asma ini disebut sebagai reaksi asma lambat. Kerusakan dan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, menyebabkan
penebalan mukosa dan pembengkakan saluran nafas diluar otot polos. Ini menyebabkan udema dinding saluran nafas
dan hilangnya elastic recoil pressure.11
3.
Pembentukan mukus plug kronis. Merupakan keterbatasan aliran udara yang sulit diatasi dan sedikit
dipelajari.Umumnya membutuhkan waktu enam minggu atau lebih untuk menghilangkannya dengan pemberian
kortikosteroid. Hal ini terutama disebabkan peningkatan sekresi mukus yang bersama dengan eksudasi protein serum
dan sel debris membentuk mukus plug yang kental yang menutup saluran nafas perifer pada asma berat. 11
4.
Remodeling dinding saluran nafas. Keterbatasan aliran udara kadang tidak membaik dengan pemberian
kortikosteroid. Dasar seluler dan molekuler dari resistensi steroid ini mungkin pada level reseptor transduksi steroid
atau mungkin berhubungan dengan perubahan struktur dari matriks saluran nafas akibat inflamasi saluran nafas yang
berat dan dalam waktu lama.11
Dari pandangan klinis diatas, inflamasi saluran nafas merupakan variabel terpenting, sehingga elemen terpenting sebagai
obat kontroler adalah sodium kromoglikat, nedokromil dan kortikosteroid.
OBAT RELIEVER
8.11
Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut lain yang
menyertai. Yang termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi beta2-agonis short acting,
kortikosteroid sistemik, antikolinergik inhalasi, teofilin short acting dan beta 2-agonis oral short acting.
4.2.1
Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting
.
Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan
mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan
4.2.2
Kortikosteroid Sistemik
.
8.11
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati eksaserbasi
akut yang berat karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka
masuk UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan menurunkan
morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan
lain dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung
derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau ditappering.
4.2.3
Antikolinergik
.
8.11
4.2.4
Teofilin Short Acting
.
8.11
Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten
karena fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada
pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam
eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak
memberi keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory drive
atau memperbaiki fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta 2agonis short acting.
4.2.5
Beta2-Agonis Oral Short Acting
.
8.11
Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat dipakai pada pasien
yang tidak dapat menggunakan obatinhalasi.
4.3.
11
Gejala kronis yang minimal (idealnya tidak ada), termasuk gejala nokturnal.
Eksaserbasi yang minimal (tidak sering)
Tidak pernah mengunjungi UGD
Membutuhkan beta -agonis minimal (idealnya tidak) dan kalau perlu saja
2
4.3.1
Langkah 1 : Asma Intermitten
.
11.22
Disebut asma intermiten bila pasien mengalami eksaserbasi (episode batuk, wheezing dan
sesak) kurang dari sekali seminggu dalam jangka waktu sedikitnya 3 bulan, dan eksaserbasi
hanya berlangsung beberapa jam atau hari.Gejala asma nokturnal tidak lebih dari 2 kali
sebulan. Diantara eksaserbasi, pasien asimtomatis dan mempunyai fungsi paru normal yaitu
FEV1 atau PEF lebih dari 80% prediksi dan variabilitas PEF kurang dari 20%.
Pengobatan mencakup pemberian obat sebelum exercise (beta2-agonis inhalasi atau
kromoglikat/nedokromil) dan sebelum paparan alergen (sodium kromoglikat atau nedokromil).
Untuk eksaserbasi diberikan beta2-agonis inhalasi short acting diberikan seperlunya untuk
menghilangkan gejala asma. Antikolinergik inhalasi, beta2-agonis oral short acting dan teofilin
short acting dapat dipertimbangkan sebagai pengganti beta2-agonis inhalasi short acting. Bila
terapi diatas dibutuhkan lebih dari sekali seminggu dalam waktu lebih dari 3 bulan, pasien
harus ditingkatkan ke langkah berikutnya berdasar juga pada pengukuran PEF nya.
4.3.2
Langkah 2 : Asma Persisten Ringan
.
11
Penderita mengalami eksaserbasi paling tidak sekali seminggu, tetapi kurang dari sekali sehari
dalam waktu 3 bulan dan beberapa eksaserbasi mempengaruhi tidur dan aktivitas, dan atau
jika pasien memiliki gejala kronis yang memmerlukan pengobatan simtomatis hampir setiap
hari dan kejadian gejala asma nokturnal lebih dari 2 kali sebulan. Pretreatment baseline PEF
lebih dari 80% prediksi dan PEF variabilitas 20 sampai 30%.
Pasien ini membutuhkan obat controller setiap hari untuk mencapai dan menjaga asma
terkontrol. Terapi primer adalah antiinflamasi harian, berupa inhalasi kortikosteroid 200-500
mcg/hari beclometason dipropionat atau budesonid atau ekuivalennya. Inhalasi beta 2-agonis
short acting bisa dipakai seperlunya untuk menghilangkan gejala, tetapi pemakaiannya tidak
lebih dari 3 sampai 4 kali sehari. Antikolinergik inhalasi, beta 2-agonis oral short acting atau
teofilin short acting dapat dipertimbangkan sebagai pengganti beta2-agonis inhalasi short
acting. Bila gejala menetap, kortikosteroid inhalasi ditingkatkan dari 400 atau 500 menjadi 750
atau 800 mcg tiap hari BDP atau ekuivalen. Sebagai alternatif untuk mengurangi gejala
nokturnal dapat diberikan beta2-agonis long acting dan dosis rendah kortikosteroid.
4.3.3
Langkah 3 : Asma Persisten Sedang
.
11
Khas ditandai gejala harian dalam jangka waktu lama atau serangan asma nokturnal lebih dari
sekali seminggu. Pretreatment baseline PEF lebih dari 60% tapi kurang dari 80% prediksi dan
PEF variabilitas 20 sampai 30%.
Pasien ini membutuhkan obat controller harian. Kortikosteroid inhalasi 800 sampai 2000 mcg
BDP atau ekuivalen tiap hari. Bisa dipakai bronkodilator long acting, terutama untuk
mengontrol gejala mokturnal. Teofilin lepas lambat, beta2-agonis oral lepas lambat atau beta2agonis inhalasi long acting bisa dipakai. Pemberian antikolinergik dapat dipertimbangkan bila
terjadi efek samping dengan pemakaian beta2-agonis inhalasi. Beta2-agonis inhalasi short
acting bisa digunakan seperlunya untuk menghilangkan gejala, tetapi pemakaiannya tidak
boleh lebih dari 3 atau 4 kali sehari. Obat bronkodilator short acting yang lain bisa juga
dipakai.
4.3.4
Langkah 4 : Asma Persisten Berat
.
11
Penderita mengalami variabilitas yang besar, gejala yang terus menerus dan gejala nokturnal
yang sering, mempunyai aktivitas yang terbatas, dan kadang mengalami eksaserbasi berat
walaupun sedang dalam pengobatan. Pretreatment baseline PEF kurang dari 60% prediksi dan
variabilitas PEF lebih dari 30%. Untuk mengontrol asma ini mungkin tidak bisa, tujuan
pengobatan adalah gejala berkurang, berkurangnya kebutuhan beta 2-agonis short acting,
tercapainya PEF terbaik, variasi cicardian yang berkurang dan pengurangan efek samping
pengobatan.
Terapi membutuhkan obat controller harian kombinasi. Terapi primer adalah kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi lebih dari 800-2000 mcg BDP atau ekuivalen. Teofilin lepas lambat oral
atau beta2-agonis oral, dan atau beta2-agonis inhalasi long acting juga diberikan sebagai
tambahan kortikosteroid. Percobaan menggunakan antikolinergik harus juga dipertimbangkan
terutama pada mereka yang mengalami efek samping bila memakai beta2-agonis. Beta2-agonis
inhalasi short acting bisa diberikan lebih dari 3 atau 4 kali sehari untuk menghilangkan gejala.
Kortikosteroid oral jangka panjang memakai dosis terendah yang masih mempunyai efek
terapi.
Klasifikasi
Berat Asma
Intermitten
18
TERAPI
TUJUAN
- mencegah eksaserbasi
Mild Persistent
Moderate Persistent
Severe Persistent
- Tx sehari-hari : inhalasi
kortiko
steroid dosis rendah, teofilin
lepas, lambat, anti leukotrien
- normalisasi faal paru
- Inhalasi beta agonis bila
- optimalisasi farmakoterapi
perlu
dg
- Terapi harian
efek samping minimal
inhalasikortikosteroid dosis
- penyuluhan perawatan
sedang, beta agonis jangka kepada pasien dan
panjang
keluarga
- Terapi harian inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi
beta agonis jangka panjang