You are on page 1of 20

Joglo

Rumah Tradisional Joglo


Rumah tinggal orang Jawa menjadi lebih sempurna bentuknya dibandingkan pada
bentukan sebelumnya. Bentuk sebelumnya sangat sederhana seperti bentuk
bangunan panggangpe, kampung dan limasan. Bangunan yang lebih sempurna
secara structural adalah bangunan tradisional bentuk Joglo. Bangunan ini secara
umum mempunyai denah berbentuk bujur sangkar, mempunyai empat buah tiang
pokok ditengah peruangannya yang kita sebut sebagai saka guru. Saka guru
berfungsi untuk menopang blandar tumpang sari yang bersusun keatas semakin
keatas semakin melebar dan biasanya berjumlah ganjil serta diukir. Ukiran pada
tumpang sari ini menandakan status sosial pemiliknya. Untuk mengunci struktur
saka guru diberikan sunduk yang disebut sebagai koloran atau kendhit. Letak
koloran ini terdapat di bawah tumpang sari yang berfungsi mengunci dan
menghubungkan ke empat saka guru menjadi satu kesatuan.Tumpang sari
berfungsi sebagai tumpuan kayu usuk untuk menahan struktur brunjung dan molo
serta usuk yang memanjang sampai tiang emper bangunan Joglo. Dalam
perkembangannya. Bangunan Joglo ini memiliki banyak variasi perubahan
penambahan-penambahan struktur yang semakin mempercantik Rumah adat ini.
Beberapa variasi bangunan joglo ini antara lain :
1. Rumah Adat tradisional Joglo limasan lawakan atau sering disebut joglo
lawakan.
2. Rumah Adat tradisional Joglo Sinom
3. Rumah Adat tradisional Joglo Jompongan
4. Rumah Adat tradisional Joglo Pangrawit
5. Rumah Adat tradisional Joglo Mangkurat6. Rumah Adat tradisional Joglo Hageng
7. Rumah Adat tradisional Joglo Semar Tinandhu
Konstruksi: Mengadopsi Model Atap Rumah Joglo

Membangun atap rumah joglo, yang kini digemari lagi, tidak boleh sembarangan.
Selain nilai filosofis yang terkandung, salah meletakkan tiang bisa berakibat fatal
pada konstruksinya.
Menurut Heinz Frick dalam buku Ilmu Konstruksi Bangunan jilid II, arti dan fungsi
konstruksi atap adalah sebagai pelindung manusia terhadap cuaca, baik pelindung
terhadap panas maupun hujan. Curah hujan di Indonesia cukup besar, sehingga air
hujan yang jatuh di permukaan atap harus cepat disalurkan ke dalam tanah. Untuk
itu dibutuhkan kemiringan bidang atap yang cukup besar, yaitu 30 o. Dengan ini,
diharapkan, air hujan dapat langsung dibuang dari permukaan atap melalui talang
horisontal. Talang ini terpasang di sepanjang bibir permukaan bidang atap.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa bentuk atap bangunan tradisional
di Indonesia memiliki kemiringan yang cukup curam. Ini bisa dibuktikan dengan
berbagai bentuk atap berlapis rumbia atau sirap yang berasal dari barat sampai
timur Indonesia. Bentuk atap bangunan tradisional tersebut rata-rata memiliki
kemiringan sekitar 30o. Contohnya adalah atap rumah joglo di Jawa, rumah gadang
di Sumatera Barat, rumah tradisional Betawi, sampai rumah beratap setengah
lingkaran suku Dani di pedalaman Papua. Sekarang banyak ditemui rumah-rumah
gadang beratap seng atau rumah Betawi beratap genteng. Meskipun penutup
permukaan atap dari seng, yang kemiringannya lebih fleksibel, tapi tetap saja atap
tradisional masih curam.
Konsep Joglo

Salah satu bentuk atap dari bangunan tradisional Indonesia adalah joglo. Bangunan
beratap joglo jenisnya sangat banyak, yang dibedakan berdasarkan fungsi
bangunan yang ada di bawahnya. Pada intinya, bentuk bangunan yang beratap joglo
memiliki karakteristik bentuk struktur atap yang khas.
Pembangunan rumah tradisional joglo yang masih kental tradisinya, berdasarkan
filosofi bangunan joglo, harus menggunakan kayu jati. Kayu jati ini juga harus sesuai
dengan karakteristik tertentu yang ditentukan menurut letak dan fungsi dari tiangtiangnya. Contohnya, kayu jati yang berasal dari pohon dengan cabang dua atau
cabang tiga digunakan untuk kolom atau tiang atau soko tertentu. Menurut
kepercayaan, penggunaan kayu yang sesuai dengan syarat akan dapat
mendatangkan hal-hal yang positif bagi penghuni nantinya.
Apapun bentuk pohonnya, ada satu pemahaman struktur yang harus dipahami, yaitu
tiang atau soko akan menyalurkan beban atap ke elemen struktur lain untuk sampai
ke dalam tanah. Karena alasan inilah soko harus kokoh. Bayangkan saja, soko
tersebut harus menyalurkan beban dari rangka atap seperti genting, kasau atau
usuk, dan gording.
Jenis Tiang (Soko)
Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan
tersebut. Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut
soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo,
sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling luar disebut soko emper.
Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo
yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap
paling atas dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang
tidak langsung menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan
besar beratap joglo.
Konstruksi Atap Joglo
Konstruksi rangka atap joglo terdiri dari beberapa tiang yang disebut soko.
Konstruksi atap joglo mutlak memiliki tiang-tiang yang dikenal dengan nama soko
guru. Tanpa soko guru, maka atap rumah tidak bisa disebut sebagai atap joglo. Bila
konstruksi atap joglo murni diterapkan pada rumah tinggal, maka soko yang
berfungsi sebagai penyokong atap dengan kemiringan atap cukup curam tidak boleh
dihilangkan.
Masing-masing jenis tiang tersebut menyokong atap yang memiliki kemiringan yang
berbeda-beda. Semakin ke arah keluar, kemiringan atap akan semakin landai.
Walaupun landai, tetapi kemiringan atap yang tersebut harus dapat menyalurkan air
dari permukaan bidang atap dengan baik. Selain itu, harus diperhatikan juga dalam
menentukan kemiringan atap, bahwa atap dengan penutup atap genteng yang
terlalu landai akan mengakibatkan kebocoran.
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos
sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus

disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat.


Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara
mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas
area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga
didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang.
Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil
dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang
disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Menerapkan Model Joglo
Sekarang ini konsep pembangunan atap joglo sulit diterapkan, karena kayu yang
dibutuhkan memiliki syarat-syarat tertentu dan cara pembangunannya pun
membutuhkan kesabaran yang tinggi. Sementara itu, beberapa tiang yang
disyaratkan konstruksi atap joglo, tidak dapat dihilangkan karena memiliki nilai
filosofi dan fungsi tertentu.
Filofosi atap joglo mengharuskan hadirnya soko sebagai kolom-kolom pembagi
ruang. Pembagian ruang menjadi tidak fleksibel karena adanya tiang-tiang atau soko
sebagai penyalur beban atap. Bila tetap ingin menggunakan filosofi konstruksi atap
joglo, pembagian ruang-ruangnya pun harus mengikuti letak dari soko tersebut.
Kesulitan timbul apabila luasan ruang yang tercipta dari soko tersebut lebih kecil dari
kebutuhan penghuni. Cara memperluas ruang misalnya dengan memundurkan
dinding pembagi ruang sampai beberapa meter. Namun, apa yang terjadi? Soko
akan berada di tengah-tengah ruang. Padahal, tidak nyaman jika tiang-tiang tersebut
berada di tengah-tengah ruang.
Selain itu, karena keterbatasan lahan, rumah jaman sekarang biasanya memiliki
dimensi lebih kecil dibandingkan rumah jaman dahulu. Menempatkan tiang atau
soko di tengah ruangan yang kecil jelas tidak bijaksana.
Agar keinginan menerapkan konstruksi atap joglo masih dapat dilaksanakan, maka
sah saja apabila menggunakan model atap joglo tetapi menggunakan konstruksi
atap limasan. Ini salah satu alternatif agar pembagian ruang masih fleksibel dan
sesuai dengan kebutuhan penghuni, tetapi masih dapat memakai atap model joglo.
(Rita Laksmitasari/www.tabloidrumah.com)

Rumah Bentuk Joglo


Rumah
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (kejawen) sering dianggap sebagai masyarakat

yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti:
mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan
disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan
antara kawulo dan gusti), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam
disekitarnya (hubungan antara microcosmos dan macrocosmos). Kebutuhan hidup
manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: pangan, sandang
dan papan.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah
tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual,
rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan
pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan
alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan papan, bagi orang Jawa diartikan
sebagai kebutuhan akan: longkangan (ruang), panggonan (tempat untuk menjalani
kehidupan), panepen (tempat kediaman /settle -ment) dan palungguhan (tempat
duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa
dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial
ekonominya.
Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.
Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk.
Secara garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe

Bangunan Tradisional Joglo.


Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua
buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing
mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak
di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan
antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang
Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap
Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin
dan cahaya. Menurut Dakung (1987) terdapat beberapa variasi bentuk bangunan
Joglo diantaranya adalah:
(1). Joglo Lawakan,
(2). Joglo Sinom,
(3). Joglo Jompongan,
(4). Joglo Pangrawit,
(5). Joglo Mangkurat,
(6). Joglo Hageng dan
(7). Joglo Semar Tinandhu.
Joglo Limasan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo
Sinom, Joglo Jompongan dan Joglo Pangrawit banyak dipakai rakyat biasa, sedangkan Joglo
Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu banyak dipakai kaum bangsawan,
maupun abdi dalem keratin (pegawai keraton).
Joglo Semar Tinandhu.

Joglo Semar Tinandu (semar diusung/semar dipikul) diilhami dari bentuk tandu. Joglo ini
biasanya digunakan untuk regol atau gerbang kerajaan, dengan ciri- ciri :
* Denah berbentuk persegi panjang
* Pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya.
Diatas bebatur dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan, umpak ini nantinya akan
disambung dengan tiang saka.
* Memakai 2 saka guru sebagai tiang utama yang menyangga atap brunjung dan 8 saka
pananggap yang berfungsi sebagai penyangga yang berada diluar saka guru. Bagian bawah
tiap saka diberi purus lanang untuk disambung ke purus wedokan dan diperkuat dengan
umpak
* Terdapat 2 pengeret sebagai penyangga balok tandu
* Memiliki tumpang 3 tingkat yang ditopang balok tandu
* Atapnya memiliki 4 jenis empyak yaitu; empyak brunjung, empyak cocor pada bagian atas
dan empyak penanggap serta empyak penangkur dibagian bawah.
* Pada atap terdapat molo
* Menggunakan usuk rigereh, usuk yang pada bagian atas bersandar pada dudur sedangkan
bagian bawah bertumpu pada balok pengeret dan dipasang tegak lurus.
* Biasanya digunakan untuk regol ( pintu masuk)
Karena tiang utama/saka guru pada joglo ini tergantikan oleh tembok sambungan, maka
ruang di bawah atap yang lebih tinggi mempunyai besaran ruang sebatas di besaran uleng
saja. Udara yang ada masih terpengaruh udara luar, namun terasa lebih sejuk karena ada
kemiringan atap yang memberikan perbedaan udara antara ruang luar dengan ruang di dalam
joglo.

Pada joglo semar tinandu ini udara bergerak secara lurus melalui celah diantara dua tembok
sambungan. Pergerakan udara terjadi secara leluasa, langsung pada bagian tengah joglo ini,
karena tidak terhalang oleh tembok, namun pada bagian samping kanan dan kiri, udara tidak

bisa mengalir ke sisi sebelahnya, karena terhalang oleh tembok sambungan yang sampai ke
puncak joglo. Udaara kembali bergerak ke bawah melewati celah menuju ruang di sebelah
tembok sambungan, dan mengalir ke berbagai arah.

Joglo Lambang Sari

Joglo Lambangsari merupakan joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini
paling banyak dipakai pada bangunan tradisional jawa.
Bentuk joglo yang menggunakan lambangsari, dengan ciri- ciri :
* Bentuk denah persegi panjang
* Memakai pondasi bebatur, yaitu tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah
disekelilingnya. Diatas bebatur ini dipasang umpak yang sudah diberi purus wedokan.
* Terdapat 4 saka guru sebagai penahan atap brunjung yang membentuk ruang pamidangan
yang merupakan ruang pusat dan 12 saka pananggap yang menyangga atap pananggap (tiang
pengikut), masing-masing saka ditopang oleh umpak menggunakan sistem purus
* Memakai blandar, pengeret, sunduk, serta kilil. masing- masing blandar dan pengeret
dilengkapi dengan sunduk dan kili sebagai stabilisator.
* Menggunakan tumpang dengan 5 tingkat. Balok pertama disebut pananggap, balok ke dua
disebut tumpang, balok ke tiga dan empat disebut tumpangsari, dan balok terakhir merupakan
tutup kepuh yang berfungsi sebagai balok tumpuan ujung- ujung usuk atap.
* Uleng/ruang yang terbentuk oleh balok tumpang di bawah atap ada 2 (uleng ganda)
* Terdapat godhegan sebagai stabilisator yang biasanya berbentuk ragam hias ular-ularan.
* Menggunakan atap sistem empyak. 4 sistem empyak yang digunakan : brunjung dan cocor
pada bagian atas, serta pananggap dan penangkur di bagian bawah
* Terdapat balok molo pada bagian paling atas yang diikat oleh kecer dan dudur.
* Menggunakan usuk peniyung yaitu usuk yang dipasang miring atau memusat ke molo.
Joglo ini juga tidak memiliki emper

penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan
sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin
ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa
maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam
pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu
sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara

ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat
manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini
dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar. Seperti teori
yang ada pada fisika bangunan,
Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan
menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil.
Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari
udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada
rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.

Sistem penghawaan pada joglo lambangsari ini, seperti pada sistem penghawaan joglo pada
umumnya, angin/udara bergerak sejajar, di seluruh ruang terbuka, pada bagian ruang bagian
tengah, yang dibatasi tiang utama/saka guru, udara bergerak ke atas, namun kembali bergerak
ke bawah. Hal ini terjadi karena joglo lambangsari tidak memiliki lubang ventilasi, karena
memang di desain untuk atap menerus.
Sistim Struktur
Sistim struktur bangunan Joglo, menurut Saragih (1983) 14) dapat dibagi dalam dua bagian,
yaitu:
(1). Sistim Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka Pengarak (Pengikut).
Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: Brunjung, Soko
Guru dan Umpak.

Pondasi
Pondasi atau umpak yang ditinggikan 70cm menggunakan cor beton dan difinish dengan
batu wonosari dimaksudkan sebagai cermin bangunan ini berasal. Ciri khas dari pondasi ini
adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah bukan berada di dalam tanah.
Pondasi ini dapat terlihat dengan mata telanjang.

Gebyong
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat dari kayu. Gebyog memberikan rasa sejuk
disiang hari , dan hangat di malam hari. Gebyog yang di gunakan untuk Omah Limasan
( dalem) dibuat dengan motif ukiran Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama. Kerangka

Gebyog menyatu dengan konstruksi bangunan.

Motif Ukir

Tiang
Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang
terdiri dari 4 buah saka guru dengan masing masing tiang berukuran (15cm x 15cm) dan 12
buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah
Blandar Tumpang Sari lengkap dengan kendhitatau koloran yang berfungsi sebagai
balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan
material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.

Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan tersebut. Satu
atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang

letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap
bagian paling luar disebut soko emper.
Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang
lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas
dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung
menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.
Atap
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai
kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai
ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko
dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh
masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter
persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang.
Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan
dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih
besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk oleh beberapa elemen bangunan, yaitu: (1). Reng, (2). Usuk, (3).
Molo, (4). Ander, (5). Dudur dan (6). Blandar. Sedangkan Tumpang Sari adalah
balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang, dan berfungsi untuk mendukung berat
atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: Bagian sayap (elar) dan Bagian
dalam (ulen).

Limasan
Jika menilik dari sejarah bangsa sendiri, yaitu sejarah dari tanah pulau Jawa, rumah
merupakan wadah hidup yang diartikulasikan mempunyai nyawa untuk menopang manusia
dalam berumah tangga dan menjalani kehidupan pada kesehariannya. Orang Jawa membuat
rumah dengan kesadaran penuh terhadap guna masing-masing pembentuk rumah tersebut,
mulai dari pondasi hingga struktural penutup rumahnya. Mereka memberikan arti
berdasarkan fungsi kegunaan benda-benda tersebut sebagai bagian dari rumah. Mulai dari
pemilihan bahan hingga nama-nama setiap materialnya, mempunyai arti yang sakral dan
sangat jujur terhadap fungsi-fungsi kebaikan untuk kehidupan manusia.
Rumah Limasan memiliki sistim struktur knockdown yang sangat simple, sehingga sistim
struktur tersebut masih dipakai sampai saat ini. Sambungan-sambungan kayu di perkuat
dengan sistim sundhuk, sehingga kelenturan daya elastisitas material kayu dapat memberikan
gerakan-gerakan tertentu, yang dapat meredam getaran atau goncangan akibat dari pergeseran
tanah atau gempa bumi. Hal ini dimungkinkan, karena mereka belajar dari nenek moyang
terdahulu yang sudah merasakan bahaya gempa bumi terhadap bangunan. Pembelajaran

sistim sederhana ini harus dilestarikan sebagai nilai sejarah dan nilai estetika struktur harus
dikembangkan sebagai sistim-sistim yang lebih modern.
Limasan merupakan bentuk atau sebutan rumah adat Jawa, khususnya Jawa Tengah, Jawa
Timur dan beberapa daerah di Jawa Barat, serta pesisir pantai utara dan selatan. Terdapat pula
pada daerah Bali dan Madura mempunyai bentukan sama, tetapi memiliki sistim konstruksi
yang sedikit berbeda. Rumah limasan ini mempunyai bentuk yang sederhana layaknya bentuk
rumah pada umumnya. Perbedaannya adalah sistim dari konstruksi bangunannya dapat
dibongkar pasang, tanpa merusak keadaan rumah tersebut. Hal tersebut yang menjadikan
rumah ini terlihat unik dengan sistimknockdown-nya sebagai daya tariknya. Hal itu
dikarenakan, rumah ini memakai konstruksi kayu secara keseluruhan pada sistim
konstruksinya.
Pada kebanyakan rumah yang ditemui, kayu jati merupakan kayu yang baik sebagai
konstruksi untuk bangunan rumah limasan ini. Kayu Jati dipercaya mempunyai struktur serat
yang bagus dan tahan lama, hingga dapat mencapai umur ratusan tahun. Pemilihan kualitas
kayu sangatlah penting untuk kekuatan struktur daripada rumah limasan ini. Biasanya kayu
yang sudah tua dengan serat bagus, dapat dipilih sebagai kontruksi untuk pembuatan rumah
limasan ini. Selain kayu jati, juga ditemui seperti kayu nangka, kayu akasia dan kayu
sonokeling bisa digunakan sebagai kontruksi utama atau konstruksi pengisi.
Bentuknya yang sederhana menjadikan rumah limasan ini mempunyai derajat netral,
maksudnya adalah rumah ini biasanya dimiliki oleh orang kalangan bawah hingga kalangan
atas. Bermacam-macam bentukan ornamen dan tambahan-tambahan fungsionaltas serta
material-material menjadikan perbedaan karakter dan tingkatan penghuni rumah tersebut.
Selain dari kontruksi utamanya yang terbuat dari kayu, konstruksi dinding pengisi juga
terbuat dari lembaran kayu solid dengan bukaan-bukaan jendela yang juga terbuat dari kayu.
Rumah Limasan asli peninggalan nenek moyang ini sudah sangat jarang ditemui, karena
bentukannya yang mungkin dirasa kurang cocok dengan sistim kehidupan pada saat ini. Hal
tersebut dikarenakan rumah ini menjadikan aktivitas penghuninya tidak dapat terbatasi,
dengan ruang besar yang dijadikan satu untuk keseluruhan aktivitas penghuninya.
Peninggalan rumah limasan ini patut dilestarikan sebagai cikal bakal dari bentukan rumah
yang simple dan sederhana.
Rumah limasan sendiri ada berbagai jenis :
- Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang
- Limasan Lambang Sari
- Limasan Trajumas Lawakan
- Limasan Trajumas
- Limasan Trajumas Lambang Gantung
- Limasan Semar Tinandhu
- Limasan Lambang Teplok
- Limasan Apitan Pengapit
Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Lambang Sari
Merupakan rumah tradisional Jawa yang berbentuk limasan dan mempunyai ciri khas khusus
dibandingkan model rumah limasan lainnya. Sifat khusus bangunan ini yaitu pada konstruksi

pembentuk atapnya, dimana terdapat balok penyambung antara atap berunjung dengan
atap penanggap. Tiang yang digunakan sebanyak 16 buah. Atap bangunan ini memiliki 4
buah sisi yang masing-masing mempunyai bentuk bersusun 2 buah. Hal tersebut dikarenakan
terdapat renggangan di antara kedua belah atap berunjung dan penanggapnya. Bangunan ini
memiliki satu buah bubungan atau wuwung yang menghubungkan keseluruhan 4 buah
sisi atap tersebut. Keseluruhan konstruksi bangunan ini menggunakan bahan kayu keras dan
serat yang kuat. Kayu tersebut adalah kayu Jawa atau kayu-kayu yang berasal dari tanah di
Pulau Jawa. Jenis kayu tersebut seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu nangka dan kayu
keras lainnya. Bangunan ini menggunakan pondasi jenis umpak yang mempunyai ciri khas
khususnya yaitu menggunakan purus pada bagian tengah tiang bawah yang berfungsi
sebagaipengunci tiang atau kolom.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Trajumas


Lawakan
Rumah tradisional Jawa ini merupakan perkembangan dari rumah tradisionalmodel
Limasan Trajumas yang mengalami penambahan pada penggunaan emper yang
mengelilingi bangunannya. Emper keliling ini mempunyai sudut kemiringan yang berbeda
daripada atap bagian pokoknya. Bangunan ini tetap menggunakan tiang pada bagian
tengahnya. Hal ini yang membuat terbentuknyadua buah rong-rongan pada pembagian
ruang dalamnya. Jumlah atap terdiri dari 4 buah sisi yang masing-masing bersusun dua
dengan satu bubungan atau wuwungan sebagai titik pertemuan ke-empat sisi atap
tersebut. Bangunan ini menggunakan 20 buah tiang atau saka sebagai struktur utama. Jika
dilihat daripotongan bangunan, bentuk simetris sangat jelas dengan adanya tiang utama
sebagai pembagi antara sisi ruang yang satu dengan yang lainnya. Keseluruhanbangunan
menggunakan struktur kayu dengan serat kuat dan mampu menerima gaya tekan dan gaya
tarik struktur. Kayu tersebut seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu nangka, kayu glugu
dan jenis kayu jawa lainnya. Penggunaan Umpak sebagai pondasi tetap menjadi ciri khas
bangunan tradisional jawa ini

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Trajumas


Merupakan rumah tradisional limasan yang hanya mempunyai 6 buah tiang atau saka
sebagai struktur pokok. Karena memiliki 6 buah tiang dan terdapat ander pada bagian tengah

yang membagi rumah ini menjadi dua bagian ruang yang sama atau dapat kita sebut dua
buah ruangan ini sebagai dua rong-rongan. Rumah limasanini mempunyai empat buah sisi
atap seperti rumah tradisional limasan pada umumnya. Bentuk sederhana ini merupakan
kesatuan konstruksi rumah yang utuh dan unik sehingga sering dikolaborasikan dengan
bentuk modern sebagaibungalow atau gazebo-gazebo yang berdiri sendiri secara terpisah
dengan rumahinduk yang lebih besar lagi.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Trajumas


Lambang Gantung
Merupakan Rumah tradisional Limasan yang cukup khas dibandingkan jenisrumah
limasan lainnya.
Rumah Limasan ini disebut sebagai Rumah Limasan Trajumas Lambang Gantung
sebab bagian emper pada bangunan ini tidak menempel secara langsung pada tiang utama.
Bagian emper menempel pada kayu yang bergantung di ujung brunjung dan disebut
sebagai saka bethung, Jadi berbeda dengan rumah limasan lambang teplok yang
bagian emper-nya menempel secara langsung pada tiang utama. Disebut sebagai
Trajumas karenabangunan ini memiliki dua ruangan yang disebut sebagai rong-rongan.
Satu rong-rongan dibatasi oleh empat tiang utama yang terletak pada bagian tengah
(rong=liang). Rumah limasan ini menggunakan tiang atau saka sebanyak 8 atau 10 buah.
Bangunan ini memiliki empat sisi atap yang tersusun secara berenggangan sehingga sirkulasi
udara dapat masuk pada bagian renggangan tersebut.Bangunan ini tetap memiliki satu
Bubungan atau wuwung pada atapnya.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Semar


Tinandhu
Rumah tradisional jenis Limasan ini disebut sebagai Semar Tinandhu karena bagian
atap brunjungnya bertumpu oleh keempat buah tiang, dimana tiang-tiang tersebut
menumpu pada balok atau blandar di tengah, jadi atap berunjung ini tidak secara langsung
menumpang pada ke-empat buah tiang utama. Rumah Limasan Semar Tinandhu ini
mempunyai jumlah saka 16 dan 4 buah saka pembantu dan 4 buah saka yang terletak di
tengah. Bangunan ini memiliki susunan atap seperti pada rumah limasan pokok yaitu

mempunyai 4 buah sisi yang ditambahkan 4 buah emper yang mengelilingi bangunan
tersebut dan mempunyai satu buah wuwungan pada atapnya. Keseluruhan konstruksi
menggunakan kayu yang mempunyai serat padat dan kuat untuk menerima gaya tarik dan
gaya tekan. Jenis kayu yang dipergunakan biasanya adalah kayu jati, kayu mahoni, kayu
nangka, kayu sonokeling dan jenis kayu Jawa lainnya. Keindahan bangunan ini adalah
pada bagian interior ruang tengahnya yang memiliki konstruksi tiang bertumpuk sebagai
penopang atap berunjungnya dan terlihat gagah sebagai bangunan sederhanayang sempurna
dan simetris.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Lambang


Teplok
Merupakan rumahtradisional jenislimasan yangmenyerupai rumah kampunglambang
teplok.
Oleh sebab itu rumah ini menggunakan renggangan padakonstruksi atapnya, yaitu pada
bagian atap brunjung dengan atap penanggap. Bagian ini menjadikan tampilan
bangunan terlihat lebih tinggi dan gagah. Pada bagian regangan atap biasanya ditambahkan
ornament pada sisi bagian dalamnya agar telihat lebih indah. Bukaan ini membuat sirkulasi
udara pada bagian tengah ruangan terasa lebih nyaman dan adem. Bangunan tradisional ini
memiliki 4 buah sisi atap dimana ada pemisahan regangan pada atap brunjung yang
menyebabkan bagian atap terbelah menjadi dua bagian, yaitu atap penanggap sebagai emper
dan atap brunjung sebagai konstruksi utama. Perbedaanya dengan rumahkampung lambang
teplok adalah pada atapnya. Rumah Limasan Lambang Teplokini tidak menggunakan
Tutup Keong pada sisi kanan kiri atapnya tetapi tetap menggunakan balok dudur yang
menjadikan

atapnya

konsisten

berbentuk

limasan

utuh.

Keseluruhan

bangunan

menggunakan struktur kayu rigid dan kuat karena berbahan dasar kayu jawa berserat
padat, kuat dan awet sehingga dapat berumur puluhan tahun. Kayu yang digunakan seperti
kayu jati, kayu sonokeling, kayu nangka dan kayu jawa jenis serat kuat lainnya. Jenis
bangunan ini dapat berdiri sendiri dan biasanya pada saat ini sering diaplikasikan sebagai
pendopo atau tempat pertemuan terbuka tanpa dinding.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Gajah


Ngombe
Merupakan rumah tradisional jawa bentuk limasan pokok yang mengalami penambahan
atap sebagai emper pada bagian sisi pendeknya. Jika di lihat pada denah yang berbentuk
empat persegi panjang posisi penambahan struktur emper terletak pada bagian sisi
terpendeknya. Rumah tradisional Limasan Gajah Ngombeini mempunyai tiang atau saka
sebanyak 6, 8, 10 buah dan seterusnya yang disesuaikan dengan besaran ruang yang
diinginkan, termasuk didalamnya 4 buah tiang atau saka utama pada inti bangunan.
Bangunan ini memiliki satu buah wuwung dan 4 buah dudur serta 4 buah sisi atap. Satu sisi
atap ditambah emper yang menjadikan bentuk atap berundak sebab memiliki kemiringan
yang berbeda dengan atap utama.
Keseluruhan konstruksi menggunakan struktur rangka kayu yang di sambung dengan sistim
knockdown menggunakan sunduk kayu sebagai pengunci sambungan kayu yang fungsinya
sama seperti paku besi. Biasanya penambahan sisi emper dibuat dengan sistim lantai
berundak sehingga bagian atap emper mempunyai fungsi seperti teras depan atau entrance
rumah tinggal.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Lawakan


Rumah tradisional ini merupakan bangunan yang berasal dari daerah Jawa yang merupakan
perkembanganbentuk rumah jawa sederhana model kampung yang kemudian dikembangkan
menjadi bentuk rumah tradisonal Limasan Pokok.
Bentuk rumah Limasan Lawakan ini merupakan rumah limasan pokok yang ditambahkan
emper pada seluruh sisi bangunan yang berjumlah 4 buah. Bentuk emper ini diambil dari
bentuk Rumah kampung panggangpe dan diletakkan pada ke-empat sisi rumah model
Limasan Pokok. Kesimpulan mengatakan bahwa asalRumah Limasan Lawakan ini
merupakan hasil adobsi dua model rumah jawabentuk Limasan pokok sebagai struktur
utama dengan Rumah Kampungpanggangpe sebagai struktur tambahan sebagai sisi emper
bangunan. Penggabungan ini terlihat pada struktur balok atau blandar yang ditambahakn
sebagai tumpuan emper atap. Rumah ini memiliki 4 buah tiang atau saka sebagai
konstruksi utama yang terletak pada bagian tengah ruangan dan perlu diketahui bahwa ini
adalah struktur utama yang berasal dari Rumah Limasan Pokok dan ditambahkan struktur

tambahan sebagai emper pada keempat sisi bangunan sehingga jumlah keseluruhan tiang saka
sebanyak 16 buah. Hal ini yang menjadikan rumah limasan lawakan mempunyai 4 buah sisi
atap dengan bentuk bertingkat karena mempunyai sisi kemiringan yang berbeda antara atap
bagian tengah dengan atap bagian emper. Seluruh atap disatukan dengan satu buah
wuwungan dan balok dudur.

Rumah Tradisional Jawa Jenis Limasan Sinom


Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang
Merupakan bangunan rumah jawa bentuk Limasan yang mempunyai ciri khas khusus pada
bentukan konstruksi atapnya. Bangunan ini disebut sebagai Lambang Gantung Rangka
Kutuk Ngambang karena pada ujung molo tedapat bagian yang menonjol sepanjang 2/3
dari panjang ander. Apabila bagian menonjol tersebut mempunyai ukuran 1/3 dari ukuran
ander, maka disebut sebagai Kutuk Manglung. Bangunan ini disebut juga sebagai
Limasan Sinom Lambang Gantung karena memiliki atap penanggap yang bersusun 2
buah dan posisinya bergantung pada Saka Bethung. Bangunan ini mempunyai 3 buah
rong-rongan dan mempunyai jumlah saka atau tiang sebanyak 48 buah sampai 60 buah.
Keseluruhan konstruksi atapnya terdiri dari 4 buah sisi yang masing-masing sisinya
bersusun 3 buah susunan serta berpusat pada satu buah bubungan. Limasan ini bisa
dikatakan hasil dari variasi rumah bentuk limasan yang cukup rumit dan terlihat megah
secara struktural dan pada detail-detail sambungan konstruksi atapnya. Bangunan ini menjadi
terlihat gagah dan perkasa jika kita pandang dari keseluruhan tampak luar serta interiornya.
Sirkulasi udaraserta bias cahaya dapat masuk ke ruang dalam rumah dan mencangkup
keseluruhan interiornya. Hal ini dikarenakan terdapat regangan-regangan pada 3 buah atap
bersusunnya. Keseluruhan konstruksi pembentuk rumah ini menggunakan kayu jawa dan
tetap menggunakan pondasi jenis umpak sebagai tumpuan tiang-tiang kolomnya.

You might also like