You are on page 1of 19

UJI TOKSISITAS PERKEMBANGAN SIPROFLOKSASIN DAN

STUDI HISTOLOGI TERHADAP MENCIT PUTIH


Oleh : Noni Zakiah, M.Farm, Apt
ABSTRAK
A study was conducted to determine the development toxicity of ciprofloxacin and litters
kidney. The aim of this study was to observe teratogenic effect of ciprofloxacin, and observing its
effect on behaviour development and litters kidney. Twenty four pregnant mice were divided into
4 groups : control, and treatments with oral dose of ciprofloxacin of 14,3 mg, 28,5 mg, and 57,1
mg/kg body weight/day for 10 days, coincided with sixth day until fifteenth day of pregnancy for
prenatal and posnatal test. Half of the animals were killed on day 18 of gestation and the other half
was allowed to deliver. Fetuses were removed by caesarean section. For postnatal test,
ciprofloxacin exposed at first day of lactation until weaning. Behaviour toxicity was conducted by
Behavioral Test Battery, and observing its effect on litters kidney was conducted by paraffin
method. Quantitative data were analyzed with Anova and Duncans Multiple Range Test. The
results showed that teratogenic effects of ciprofloxacin were fetuses death, resorption and
hemorrhage. At behaviour toxicity, delayed ability of notice at 28,5 mg/kg BW obviously, and
histologically there are disturbances of kidney were little thickening of bowmans capsule,
constriction of glomerular capillaries and necrosis at dose successively.
Key words : ciprofloxacin, behaviour toxicity, kidney histology

A. PENDAHULUAN
Latar belakang
Obat dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama
masa awal kehamilan atau trimester pertama. Selama kehamilan dan menyusui,
seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang
membutuhkan obat, salah satunya adalah golongan antibiotika (Depkes RI, 2006).
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin
(Nahum et al., 2006). Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada
wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta
(Katzung, 2007), disamping antibiotika bekerja mempengaruhi sel, layaknya sel
embrio yang sedang berkembang.
Siprofloksasin merupakan salah satu antibiotik spektrum luas yang cukup
potensial, banyak digunakan untuk berbagai jenis infeksi seperti infeksi paru
1

kronis dan akut pada anak (Douidar dan Wayne, 1989), sepsis (MacGowan et al.,
1994) dan juga terbukti efektif terhadap septikemia yang terjadi pada neonatus
(Chaudhari et al., 2004).
Walaupun siprofloksasin efektif untuk berbagai jenis infeksi, tetapi tingkat
keamanannya terhadap kehamilan dan laktasi berada di bawah antibiotik spektrum
luas lainnya seperti amoksisilin (Berkovitch et al., 2004). Telah dilaporkan bahwa
amoksisilin relatif aman penggunannya pada wanita hamil yang menderita infeksi
penyakit kelamin menular (Sexually Transmitted Diseases) (Kacmar et al., 2001).
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan florokuinolon yang
berpotensi sebagai agensia teratogen, karena memiliki berat molekul yang relatif
kecil, yakni 331 Dalton (Sweetman, 2007) dimana zat dengan berat molekul
kurang dari 600 Dalton dapat dengan mudah melewati sawar plasenta (Polacheka
et al., 2005). Dilaporkan juga bahwa siprofloksasin dapat dieksresi ke dalam air
susu ibu (Mathew, 2004).
Telah dilaporkan terjadinya kasus artropati pada anak tikus dengan
pemberian dosis tinggi siprofloksasin selama lebih dari 15 hari (Mohanasundaram
dan Shantha, 2000). Artropati juga dilaporkan terjadi pada pemberian golongan
kuinolon pada anak anjing yang berusia 12 minggu (Akelsen dan Hol, 2006). Pada
studi retrospektif yang dilakukan terhadap penggunaan siprofloksasin pada anak
dilaporkan terjadinya artropati reversibel akut (Karande dan Nilima, 1996). Obat
golongan florokuinolon ini juga dapat menyebabkan terjadinya fototoksisitas
(Lietman, 1995), menginduksi terjadinya hepatitis (Jones dan Smith, 1997),
nefrotoksisitas dan gangguan pada saluran cerna (Lipsky dan Baker, 1999), serta

terjadinya peningkatan enzim transaminase (Ball et al., 1999). Namun data


toksisitasnya terhadap masa laktasi dan masa sapih tidak banyak dibicarakan.
Maka berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang efek toksik siprofloksasin terhadap anak mencit saat gestasi, laktasi serta
pengamatan histologi terhadap organ ginjalnya.
Perumusan masalah
1. Belum diketahui efek siprofloksasin terhadap perkembangan anak mencit
yang lahir dari induk yang terpapar siprofloksasin pada masa laktasi.
2. Belum diketahui bagaimana efek siprofloksasin terhadap fungsi ginjal
anak mencit yang lahir dari induk yang terpapar siprofloksasin pada masa
laktasinya.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Mengetahui efek teratogen siprofloksasin terhadap fetus mencit.
2. Mengetahui perkembangan tingkah laku dari anak mencit yang lahir dari
induk yang terpapar siprofloksasin pada masa laktasinya.
3. Mengetahui efek siprofloksasin terhadap fungsi ginjal anak mencit yang
lahir dari induk yang terpapar siprofloksasin pada masa laktasi.
Manfaat penelitian
Manfaat penelitian adalah: Memberikan informasi yang baru mengenai
pengaruh siprofloksasin terhadap fetus dan perkembangan tingkah laku serta
fungsi ginjal anak mencit yang lahir dari induk yang terpapar siprofloksasin
pada masa laktasi.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
golongan florokuinolon yang paling umum digunakan (Mohanasundaram dan
Shantha, 2000; Chaudhari et al., 2004) dengan mekanisme kerja menghambat
DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat dalam bakteri
(Mandell, 2002; Mitchell, 2008). Penghambatan terhadap enzim yang terlibat
dalam replikasi, rekombinasi dan reparasi DNA tersebut mengakibatkan
penghambatan terhadap pertumbuhan sel bakteri (Sarro, 2001).
Farmakokinetika dan farmakodinamika pada kehamilan
Peningkatan kadar progesteron dalam darah dianggap bertanggung jawab
terhadap penurunan motilitas usus, yang memperpanjang waktu pengosongan
lambung dan usus hingga 30-50%.
Saat hamil terjadi peningkatan kadar air dan lemak total dalam tubuh,
sehingga volume distribusi untuk kebanyakan obat juga meningkat. Terdapat
penurunan yang bermakna pada kadar albumin plasma yang akan mengakibatkan
peningkatan kadar obat bebas dalam plasma (Cragan et al., 2006).
Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan
progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti fenitoin, metabolisme
hati bertambah cepat akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang
disebabkan oleh hormon progesteron. Sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin
dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi kompetitif
dari enzim oksidase mikrosom (santin oksidase) oleh estrogen dan progesteron
(Cragan et al., 2006).

Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal (laju filtrasi


glomeruler) hingga mencapai 50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk
utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan litium menunjukkan peningkatan
eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah, sehingga dosis
pemeliharaan memungkinkan untuk ditingkatkan (Aslam, 2002).
Efek obat pada jaringan reproduksi (kelenjar susu, uterus, dll) pada
kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase
kehamilan. Efek obat pada jaringan maternal lainnya (jantung, paru-paru, ginjal,
sistem saraf pusat, dll) secara signifikan tidak berubah karena kehamilan, walau
terjadi perubahan misalnya pada peningkatan curah jantung, kecepatan jantung,
aliran darah ke ginjal, uterus, kulit dan kelenjar susu (Cragan et al., 2006).
Mekanisme kerja obat teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi
struktur janin pada saat terpapar. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan
efek teratogenik disebabkan oleh beberapa faktor (Cragan et al., 2006; Katzung,
2007) :
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
Obat menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.

Obat juga dapat memberikan efek langsung pada proses diferensiasi dalam
jaringan janin yang sedang berkembang, misalnya vitamin A (retinol) yang
memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Defisiensi zat

esensial yang dibutuhkan janin

juga akan berperan akan

terjadinya abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat


menurunkan insiden cacat pada selubung saraf yang menyebabkan timbulnya
spina bifida.
Farmakokinetika dan farmakodinamika pada menyusui
2.5.1. Farmakokinetika
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion akan
mudah melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang ukurannya kecil
(< 200 Dalton) akan mudah melewati pori membran epitel susu. Obat yang terikat
dengan protein plasma tidak dapat melewati membran. Plasma relatif sedikit lebih
basa dari ASI. Karena itu obat yang bersifat basa lemah pada plasma akan lebih
banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah menembus membran alveoli
dan kapiler susu. Sesampainya di ASI, obat yang bersifat basa tersebut akan
mudah terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma.
Fenomena tersebut dikenal sebagai ion trapping (Depkes RI, 2006).
2.5.2. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda.
Sedangkan farmakodinamika obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari.

Kemungkinan sensitivitas reseptor pada bayi lebih besar, sebagai contoh dari hasil
penelitian bahwa sensitivitas d-tubokurarin meningkat pada bayi sehingga dengan
konsentrasi plasma yang lebih rendah hingga 50% telah dapat menyebabkan
paralisis (Duggan et al., 2008).
Perpindahan obat lewat plasenta
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di dalam darah ibu serta aliran darah plasenta
akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat
plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini (Katzung, 2007) :
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati
plasenta masuk ke sirkulasi janin.
Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah
melewati plasenta bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi.
Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati
plasenta dan obat-obat dengan berat molekul lebih dari 1000 Dalton akan sangat
sulit menembus plasenta.
Ikatan protein

Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat
melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin,
akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta.
Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya
obat yang terionisasi akan sulit melewati membran.
Ginjal
Ginjal terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis, di belakang
peritoneum. Arteri dan vena renalis, limfatik dan saraf memasuki ginjal melalui
hilus, tempat munculnya pelvis renalis yang akan menjadi ureter. Ginjal
dikelilingi oleh jaringan fibrosa kapsul ginjal (Ward et al., 2009). Pada manusia
dewasa, masing-masing ginjal memiliki panjang 10 cm, lebar 5,5 cm dan tebal 3
cm dengan berat 150 g (Ashley dan Morlidge, 2008).
Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap ginjal terdiri dari 1-4
juta nefron. Satu unit nefron terdiri dari korpuskel renalis, tubulus kontortus
proksimal, ansa Henle (loop Henle), tubulus kontortus distal serta tubulus dan
duktus koligens. Nefron menghasilkan urin dengan mekanisme filtrasi sederhana,
reabsorbsi dan eksresi (Ashley dan Morlidge, 2008).

C. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini sampel terdiri dari 24 ekor mencit betina yang dibagi
secara acak dalam 4 kelompok yang masing-masingnya terdiri dari 6 ekor dengan
nama kelompok K = kelompok kontrol (tanpa perlakuan), D1= kelompok
perlakuan dosis siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari, D2 = kelompok perlakuan
dosis siprofloksasin 28,5mg/ kg BB/ hari dan D3 = kelompok perlakuan dosis
siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari. Laparaktomi dilakukan terhadap 3 ekor
induk mencit setelah usia kehamilan mencapai 18 hari dan sisa 3 ekor induk dari
masing-masing kelompok dibiarkan melahirkan secara spontan.
Dalam penelitian ini, dosis siprofloksasin yang diberikan terdiri dari tiga
dosis, yaitu dosis lazim, 2 x dosis lazim dan 4 x dosis lazim. Penentuan dosis ini
dilakukan berdasarkan atas dosis pada manusia 500 mg/ 70 kg BB. Tablet
siprofloksasin digerus dan disuspensikan ke dalam larutan Na. CMC 0,5 %,
kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum
gavage peroral. Pemberian sampel uji terhadap 3 kelompok hewan dilakukan
selama sepuluh hari berturut-turut, mulai dari hari ke-6 sampai

hari ke-15

kehamilan dengan dosis yang telah ditentukan di atas. Kelompok kontrol hanya
diberikan Na. CMC 0,5 %. Terhadap 3 kelompok hewan sisa, pemberian sampel
uji dilakukan mulai pada hari pertama partus hingga masa laktasi selesai (post
natal day 21).
Pengamatan dilakukan terhadap fetus mencit, tingkah laku dan histologi
ginjal anak mencit. Perkembangan perilaku anak mencit diamati mulai umur 5
hari (Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan metode Test Perilaku

Berurut (Behavioral Test Battery). Parameter yang diamati adalah persentase


keberhasilan kemampuan refleks, kemampuan motorik, kemampuan sensorik, dan
berat badan (Tanaka, 2005; Virgianti dan Pawestri, 2005; Hood, 2006). Anak
mencit berasal dari induk yang dibiarkan melahirkan secara spontan. Selama studi
dilakukan, anak mencit ditimbang beratnya pada hari pertama, 4, 7, 14 dan 21
kelahiran. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis preparat histologi
ginjal anak mencit (Kiernan, 1981; Bancroft dan Gamble, 2002).
Seluruh data terhadap fetus dan anak mencit dianalisis dengan uji varian
dan kai kuadrat. Khusus untuk histologi ditampilkan berupa gambar dan analisis
deskripsi.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas yang bekerja dengan
mekanisme menghambat DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV
yang terdapat dalam bakteri (Mitchell, 2008). Penggunaan siprofloksasin tidak
direkomendasikan pada masa kehamilan, kecuali jika manfaatnya lebih besar dari
resiko yang terjadi.
Penelitian ini terdiri dari 4 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok
terdiri dari 6 ekor induk mencit. Dari 6 ekor induk mencit tersebut, 3 ekor
diantaranya diinduksi dengan siprofloksasin pada hari 6-15 kehamilan dan 3 ekor
yang lain diinduksi dengan siprofloksasin pada masa laktasi. Kelompok pertama
sebagai kontrol hanya diberikan suspensi Na. CMC 0,5 %, kelompok kedua
diberikan suspensi siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari, kelompok ketiga

10

diberikan suspensi siprofloksasin 28,5 mg/ kg BB/ hari dan kelompok keempat
diberikan suspensi siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari.
Dari grafik kenaikan berat badan induk mencit terlihat bahwa
siprofloksasin tidak mempengaruhi peningkatan berat badan induk hamil. Hal ini
terlihat dari semakin meningkatnya pertambahan berat badan seiring dengan
bertambahnya hari kehamilan.
Pemeriksaan terhadap fetus dilakukan dengan mengeluarkan fetus dengan
cara laparaktomi pada hari ke-18 kehamilan. Fetus mengalami resorbsi pada
pemberian dosis 14,3 dan 28,5 mg / kg BB/ hari. Sedangkan pada dosis 57,1 mg/
kg BB/ hari terjadi kematian fetus.
Pada penelitian ini, kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan
adalah hemoragi. Hemoragi yang terjadi ditemukan pada 5 ekor fetus, 1 ekor
diantaranya mengalami hemoragi di 4 bagian tubuh yang berbeda. Hemoragi yaitu
keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam ruangan
atau jaringan tubuh (Price dan Wilson, 1984). Kemungkinan ini terjadi karena
siprofloksasin diberikan berulang kali pada dosis cukup tinggi hingga
konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi ketidakseimbangan osmotik. Pada
keadaan normal embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis dengan
cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat mengubah tekanan osmosis.
Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan viskositas
cairan pada bagian embrio yang berbeda, antara plasma darah dan ruang ekstrakapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik (Wilson, 1973).
Selain hemoragi, efek teratogen dari siprofloksasin yang lain adalah
ditemukannya 5 tapak resorpsi dari 3 induk yang berbeda.

11

Efek embriotoksik siprofloksasin diduga karena siprofloksasin dapat


dengan mudah melintasi sawar plasenta menuju embrio karena siprofloksasin
memiliki berat molekul yang relatif kecil, yakni 331 Dalton (Sweetman, 2007),
dimana zat dengan berat molekul kurang dari 600 Dalton dapat dengan mudah
melewati sawar plasenta (Polacheka et al., 2005), sehingga siprofloksasin bersifat
embriotoksik atau teratogenik terhadap fetus.
Hasil pengamatan terhadap skeleton fetus secara umum menunjukkan
tidak ada perbedaan dengan kontrol. Begitu juga tidak terjadinya perbedaan
terhadap ekor, organ otak, daun telinga, kelopak mata, bibir, langit-langit mulut,
jumlah jari kaki depan dan belakang jika dibandingkan dengan kontrol.
Uji statistik menunjukkan berat badan anak mencit tidak berbeda dengan
kontrol pada usia kelahiran 1, 4, 7, 14 dan 21. Hal ini menunjukkan bahwa
siprofloksasin tidak mempengaruhi berat badan anak.
Pada uji refleks membalikkan badan, masing-masing kelompok perlakuan
memperlihatkan perbedaan dengan kelompok kontrol, dimana waktu yang paling
lama dibutuhkan untuk membalikkan badan terdapat pada kelompok dosis 28,5
mg/ kg BB/ hari yaitu membutuhkan waktu 6,10 detik. Pada uji refleks
menghindari jurang, keberhasilan yang sempurna dilakukan oleh anak mencit
pada kelompok perlakuan 28,5 mg/ kg BB/ hari yaitu mencapai 100 %.
Keberhasilan tersebut ditandai dengan kemampuan anak mencit untuk memutar
posisi tubuhnya menghindari jurang. Pada uji refleks geotaksis negatif,
keberhasilan yang sempurna dilakukan oleh anak mencit pada kelompok
perlakuan 28,5 mg/ kg BB/ hari yang mencapai 100 %. Keberhasilan tersebut
ditandai dengan anak mencit berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar posisi

12

tubuhnya. Meskipun terdapat perbedaan seperti yang tertera di atas, berdasarkan


uji kai kuadrat, diketahui bahwa pemberian siprofloksasin tidak mempengaruhi
kemampuan refleks anak mencit (p>0,05). Hal ini disebabkan oleh siprofloksasin
tidak mempengaruhi sistem motorik pada medula spinalis yang merupakan
pengendali tonus otot skelet (Dewanto et al., 2009).
Pemberian siprofloksasin pada masa menyusui tidak berpengaruh pada
sudut kepala, penggunaan anggota gerak dan arah berenang pada anak mencit.
Hal

tersebut

dikarenakan

siprofloksasin

tidak

mempengaruhi

sistem

ekstrapiramidal (korteks serebrum basal ganglia yang terdiri dari nucleus


caudatus, nucleus lentiformis dan globus pallidus) yang merupakan pusat gerakan
bawah sadar. Fungsinya antara lain memelihara posisi tubuh normal dan mengatur
tonus otot (Pearce, 2009). Uji signifikansi terhadap kemampuan mengangkat
badan dan anggota belakang dilakukan pada usia yang ke-13 hari. Diperoleh hasil
bahwa siprofloksasin tidak mempengaruhi kemampuan anak mencit dalam
mengangkat badan dan anggota belakang (p>0,05). Hal ini diduga karena
siprofloksasin tidak mempengaruhi sistem ekstrapiramidal yang mempersarafi
tonus otot (Satyanegara, 2010). Pada usia yang ke-14 hari, seluruh anak mencit
mampu mengangkat badan dan anggota belakang dengan sempurna.
Uji perkembangan kemampuan sensorik anak mencit terdiri dari uji
kemampuan penglihatan, pendengaran dan penciuman. Terhadap uji penglihatan
pada usia 14 sampai 17 hari diperoleh perbedaan yang sangat nyata dibandingkan
kontrol (p<0,01). Hal ini menandakan dosis mempengaruhi terhadap kemampuan
penglihatan anak mencit pada usia 14 hingga 17 hari. Pengujian dengan
menggunakan analisis Duncan menunjukkan bahwa kelompok yang berbeda nyata

13

yaitu kelompok dosis 28,5mg/ kg BB/ hari. Sementara pada usia ke-18, dosis
tidak mempengaruhi kemampuan penglihatan anak mencit. Fungsi penglihatan
berhubungan erat dengan retina. Retina mengandung selapis sel fotoreseptor (sel
kerucut dan sel batang) yang peka terhadap berkas cahaya yang melalui lensa.
Saraf yang keluar dari retina adalah saraf (sensoris) aferen yang menghantar
impuls cahaya dari fotoreseptor melalui nervus optikus ke otak untuk interpretasi
visual (Eroschenko, 2000).

Bagaimana mekanisme siprofloksasin dapat

menyebabkan tertundanya kemampuan melihat dari anak mencit belum


sepenuhnya diketahui.
Terhadap uji pendengaran, dosis tidak mempengaruhi pendengaran anak
mencit, kecuali pada usia yang ke-13 hari. Hal ini diduga karena tidak terdapat
reseptor siprofloksasin pada organ telinga. Reseptor yang terlibat untuk
pendengaran merupakan mekanoreseptor terspesialisasi yang disebut sel rambut
(Ward et al., 2009). Sel rambut merupakan sel reseptor auditori. Rangsangan
auditori (suara) dibawa pergi dari sel reseptor melalui nervus koklearis ke otak
untuk diinterpretasi (Eroschenko, 2000).
Pada uji penciuman, seluruh dosis tidak mempengaruhi kemampuan
penciuman anak mencit. Hal ini ditandai dengan menghindarnya anak mencit
ketika hidungnya didekatkan pada sebuah batang kapas (cotton bud) yang telah
dicelupkan ke dalam cologne. Fungsi penciuman berhubungan erat dengan sistem
olfaktorius. Sistem olfaktorius memberi respon terhadap molekul-molekul mudah
menguap (volatil) di udara yang mencapai epitel olfaktorius melalui aliran udara
keluar-masuk hidung. Epitel olfaktorius mengandung sel saraf terspesialisasi yang
memanjang, yang disebut reseptor olfaktorius. Reseptor inilah yang berfungsi

14

sebagai reseptor bebauan yang berfungsi untuk mendeteksi dan meneruskan


bebauan (Eroschenko, 2000; Ward et al., 2009).
Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1 % dari berat badan,
meskipun demikian menerima sekitar 25 % curah jantung (Ashley dan Morlidge,
2008). Indikator adanya gangguan pada ginjal dapat diketahui dengan mengamati
adanya proliferasi glomerulus yang berasal dari pembengkakan maupun
penambahan sel-sel endotel dan epitel. Juga terdapat struktur tubulus yang tidak
normal karena adanya pembengkakan sitoplasma sehingga lumen tubulus menjadi
lebih kecil (Kumar et al., 2005).
Hasil

pengamatan

pada

struktur

histologis

ginjal

anak

mencit

menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol terlihat rongga glomerulus yang


masih normal dan beberapa lumen tubulus yang terisi urin serta membran basalis
tubulus yang masih jelas dan utuh. Pada kelompok perlakuan I terlihat secara
umum rongga filtrat belum terganggu, tetapi mulai terlihat adanya pembesaran sel
epitel kapsula Bowman parietal dan viseral. Jika paparan berlanjut, maka
pembesaran sel tersebut dapat berlanjut pada penyempitan rongga filtrat. Pada
kelompok perlakuan II tampak rongga filtrat glomerulus menyempit dan sel
tubulus yang mulai udem dan membentuk jejas. Pada kelompok perlakuan III
telah terjadi penyempitan rongga filtrat glomerulus dan nekrosis sel tubulus yang
semakin meluas.
Menurut Dharnidharka et.al. (1998) siprofloksasin dapat menyebabkan
gagal ginjal akut yang ditandai dengan adanya nekrosis tubular akut (acute tubular
necrosis, ATN). Nekrosis tubular akut (NTA) adalah kematian sel tubular yang
disebabkan oleh sel tubular kurang mendapatkan oksigen (ischemic ATN) atau

15

ketika sel mendapat pengaruh dari toksikan obat atau molekul (nephrotoxic ATN)
(Stevens et.al., 2002). NTA biasanya disertai dengan rupturnya membran basalis
dan oklusi lumen tubular.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.

Pada pemberian dosis lazim, siprofloksasin telah bersifat teratogen


terhadap fetus mencit.

2.

Siprofloksasin tidak mempengaruhi tingkah laku anak mencit pada semua


dosis kecuali terhadap kemampuan melihat.

3.

Pemberian siprofloksasin pada semua dosis terhadap induk mencit selama


masa laktasi dapat menyebabkan perubahan struktur histologi organ ginjal
anak mencit.

16

DAFTAR PUSTAKA
Akselsen and J. Hol. 2006. Quinolone-related arthropathy in a 12 week old
Pyrenean Mountain Dog clinical and radiographic findings. EJCAP. 118
(8) : 523-528.
Ashley, C and C. Morlidge (ed). 2008. Introduction to Renal Therapeutics.
Pharmaceutical Press. USA.
Aslam, M., Chik, K.T. dan Adji, P. (Ed). 2002. Farmasi Klinis : Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Ball, P., L. Mandell, Y. Niki and G. Tillotson. 1999. Comparative tolerability of
the newer fluoroquinolone antibacterials. Drug Saf. 21 (5) :407-421.
Bancroft, J.D and M. Gamble (Ed). 2002. Histological Techniques. Ed. 5.
Churchill
Livingstone. London.
Berkovitch, M., O.D. Citrin, R. Greenberg, M. Cohen, M. Bulkowstein, S.
Shechtman, O. Bortnik, J. Arnon and A. Ornoy. 2004. First-trimester
exposure to amoxycillin/clavulanic acid. British Journal of Clinical
Pharmacology. 58 (3) : 298302.
Chaudari, S., P.Suryawanshi, S. Ambardekar, M. Chinchwadkar and A. Kinare.
2004. Safety profile of ciprofloxacin used for neonatal septicemia. Indian
Pediatrics. 41 : 1246-1251.
Cragan, J.D., J.M. Friedman, Lewis B.H., Kathleen U., Nancy S.G. and Laura R.
2006. Ensuring the Safe and Effective Use of Medications During
Pregnancy: Planning and Prevention Through Preconception Care. Matern
Child Health J. 10 : 129135.
Dewanto, G., W.J. Suwono, B. Riyanto dan Y. Turana. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis danTata Laksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta.
Dharnidharka, V.R., K. Nadeau, C.L. Cannon, H.W. Harris and S. Rosen. 1998.
Ciprofloxacin Overdose: Acute Renal Failure with Prominent Apoptotic
Changes. American Journal of Kidney Diseases. 31 (4) : 710-712.
Douidar, S.M. and W.R. Snodgrass. 1989. Potential role of fluoroquinolones in
pediatric infections. Review of infectious diseases. 11 (6) : 878-885.
Duggan, C., John, B.W. and W. Allan, W. 2008. Nutrition in Pediatrics: Basic
Science, Clinical Applications. Ed. 3. BC Decker. Ontario.
Eroschenko, V.P. 2000. Di Fiores Atlas of Histology With Functional
Correlations. Ed. 9. Lippincott Williams & Wilkins Inc. USA.
17

Hood, R.D (Ed). 2006. Developmental And Reproductive Toxicology : A


Practical Approach. Ed. 2. CRC Press. United States of America.
Jones, S.F and R.H Smith. 1997. Quinolones may induce hepatitis. BMJ. 314
(7084) : 869.
Kacmar, J., E. Cheh, A. Montagno and J.F. Peipert. 2001. A randomized trial of
azithromycin versus amoxicillin for the treatment of Chlamydia
trachomatis in pregnancy. Infect Dis Obstet Gynecol. 9:197202.
Karande, S. and N.A. Kshirsagar. 1996. Ciprofloxacin use: acute arthropathy and
long-term follow up. Indian Pediatrics. 33 : 910-915
Katzung, B.G (Ed). 2007. Basic & Clinical Pharmacology. Ed. 10. McGraw-Hill
Medical. United States of America.
Kiernan, J.A. 1981. Histological and Histochemical Methods : Theory and
Practice. Ed. 1. Pergamon Press. Kanada.
Kumar, V., A.K. Abbas, N. Fausto, S.L. Robbins and R.S. Cotran. 2005.
Pathologic Basic of Disease. Ed. 7. Elsevier Saunders. Philadelphia.
Lietman, P.S. 1995. Fluoroquinolone toxicities. An update. Suppl. 2 : 159-63.
Lipsky, B.A. and C.A. Baker. Fluoroquinolone toxicity profiles: a review focusing
on newer agents. 1999. Clin Infect Dis. 28 (2) : 352-364.
MacGowan, A.P., L.O. White, N.M. Brown, A.M. Lovering, C.M. McMullin and
D.S.Reeves. 1994. Serum ciprofloxacin concentrations in patients with
severe sepsis being treated with ciprofloxacin 200 mg i.v.bd irrespective of
renal function. J. Antimicrob Chemother. 33 (5) :1051-1054.
Mathew, J.L., Effect of maternal antibiotics on breast feeding infants. 2004.
Postgrad Med J. 80 : 196-200.
Mitchell, R. and N. Cranswick. 2008. What Is The Evidence of Safety of
Quinolone Use In Children?. International Child Health Review
Collaboration.
Mohanasundaram, J. and S. Mohanasundaram. 2001. Effect of duration of
treatment on ciprofloxacin induced arthropathy in young rats. Indian
Journal of Pharmacology. 33 : 100-103.
Nahum, G.G., K. Uhl and D.L. Kennedy. 2006. Antibiotic use in pregnancy and
lactation: what is and is not known about teratogenic and toxic risks.
Obstet Gynecol. 107 (5) : 1120-1138.
Pearce, E.C. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia. Jakarta.
18

Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan R I. 2006. Bakti Husada. Jakarta.
Polacheka, H., Gershon, G. Sapirb, M.T. Tamira, J. Polachekc, M. Katzb and Z.B.
Zvia. 2005. Transfer of ciprofloxacin, ofloxacin and levofloxacin across
the perfused human placenta in vitro. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology. 122 (1) : 61-65.
Price, S.A. and L.M. Wilson. 1984. Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Sarro, A.D. and G.D. Sarro. 2001. Adverse Reactions to Fluoroquinolones. An
Overview on Mechanism Aspects. Current Medicinal Chemistry. 8 : 371384.
Satyanegara (ed). 2010. Ilmu Bedah Saraf. Ed. 4. Gramedia. Jakarta.
Stevens, A., J.S. Lowe and B. Young. 2002. Basic Histopathology : A Colour
Atlas and Text. Ed. 4. Churchill Livingstone, New York.
Sweetman, S.C (Ed). 2007. Martindale: The Complete Drug Reference. Ed. 35.
The Pharmaceutical Press. London.
Tanaka, T. 2005. Reproductive and Neurobehavioural Toxicity Study of
Tartrazine
Administered
to
Mice
in
The
Diet.
Doi:10.1016/j.fct.2005.06.011.
Virgianti, D.P. dan H.A. Pawestri. 2005. Pengaruh Pendedahan Morfin Terhadap
Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster. Cermin
Dunia Kedokteran. 149 : 44-48.
Ward, J.P.T., R.W. Clarke and R.W.A. Linden. 2009. At a Glance Fisiologi.
Erlangga. Jakarta.
Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects. Academic Press. New York.

19

You might also like