Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Latar belakang
Obat dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama
masa awal kehamilan atau trimester pertama. Selama kehamilan dan menyusui,
seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang
membutuhkan obat, salah satunya adalah golongan antibiotika (Depkes RI, 2006).
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin
(Nahum et al., 2006). Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada
wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta
(Katzung, 2007), disamping antibiotika bekerja mempengaruhi sel, layaknya sel
embrio yang sedang berkembang.
Siprofloksasin merupakan salah satu antibiotik spektrum luas yang cukup
potensial, banyak digunakan untuk berbagai jenis infeksi seperti infeksi paru
1
kronis dan akut pada anak (Douidar dan Wayne, 1989), sepsis (MacGowan et al.,
1994) dan juga terbukti efektif terhadap septikemia yang terjadi pada neonatus
(Chaudhari et al., 2004).
Walaupun siprofloksasin efektif untuk berbagai jenis infeksi, tetapi tingkat
keamanannya terhadap kehamilan dan laktasi berada di bawah antibiotik spektrum
luas lainnya seperti amoksisilin (Berkovitch et al., 2004). Telah dilaporkan bahwa
amoksisilin relatif aman penggunannya pada wanita hamil yang menderita infeksi
penyakit kelamin menular (Sexually Transmitted Diseases) (Kacmar et al., 2001).
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan florokuinolon yang
berpotensi sebagai agensia teratogen, karena memiliki berat molekul yang relatif
kecil, yakni 331 Dalton (Sweetman, 2007) dimana zat dengan berat molekul
kurang dari 600 Dalton dapat dengan mudah melewati sawar plasenta (Polacheka
et al., 2005). Dilaporkan juga bahwa siprofloksasin dapat dieksresi ke dalam air
susu ibu (Mathew, 2004).
Telah dilaporkan terjadinya kasus artropati pada anak tikus dengan
pemberian dosis tinggi siprofloksasin selama lebih dari 15 hari (Mohanasundaram
dan Shantha, 2000). Artropati juga dilaporkan terjadi pada pemberian golongan
kuinolon pada anak anjing yang berusia 12 minggu (Akelsen dan Hol, 2006). Pada
studi retrospektif yang dilakukan terhadap penggunaan siprofloksasin pada anak
dilaporkan terjadinya artropati reversibel akut (Karande dan Nilima, 1996). Obat
golongan florokuinolon ini juga dapat menyebabkan terjadinya fototoksisitas
(Lietman, 1995), menginduksi terjadinya hepatitis (Jones dan Smith, 1997),
nefrotoksisitas dan gangguan pada saluran cerna (Lipsky dan Baker, 1999), serta
B. TINJAUAN PUSTAKA
Siprofloksasin merupakan antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
golongan florokuinolon yang paling umum digunakan (Mohanasundaram dan
Shantha, 2000; Chaudhari et al., 2004) dengan mekanisme kerja menghambat
DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat dalam bakteri
(Mandell, 2002; Mitchell, 2008). Penghambatan terhadap enzim yang terlibat
dalam replikasi, rekombinasi dan reparasi DNA tersebut mengakibatkan
penghambatan terhadap pertumbuhan sel bakteri (Sarro, 2001).
Farmakokinetika dan farmakodinamika pada kehamilan
Peningkatan kadar progesteron dalam darah dianggap bertanggung jawab
terhadap penurunan motilitas usus, yang memperpanjang waktu pengosongan
lambung dan usus hingga 30-50%.
Saat hamil terjadi peningkatan kadar air dan lemak total dalam tubuh,
sehingga volume distribusi untuk kebanyakan obat juga meningkat. Terdapat
penurunan yang bermakna pada kadar albumin plasma yang akan mengakibatkan
peningkatan kadar obat bebas dalam plasma (Cragan et al., 2006).
Fungsi hati dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan
progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti fenitoin, metabolisme
hati bertambah cepat akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hati yang
disebabkan oleh hormon progesteron. Sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin
dan kafein, eliminasi hati berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi kompetitif
dari enzim oksidase mikrosom (santin oksidase) oleh estrogen dan progesteron
(Cragan et al., 2006).
Obat juga dapat memberikan efek langsung pada proses diferensiasi dalam
jaringan janin yang sedang berkembang, misalnya vitamin A (retinol) yang
memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Defisiensi zat
Kemungkinan sensitivitas reseptor pada bayi lebih besar, sebagai contoh dari hasil
penelitian bahwa sensitivitas d-tubokurarin meningkat pada bayi sehingga dengan
konsentrasi plasma yang lebih rendah hingga 50% telah dapat menyebabkan
paralisis (Duggan et al., 2008).
Perpindahan obat lewat plasenta
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di dalam darah ibu serta aliran darah plasenta
akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat
plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini (Katzung, 2007) :
Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati
plasenta masuk ke sirkulasi janin.
Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah
melewati plasenta bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi.
Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati
plasenta dan obat-obat dengan berat molekul lebih dari 1000 Dalton akan sangat
sulit menembus plasenta.
Ikatan protein
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat
melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin,
akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta.
Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya
obat yang terionisasi akan sulit melewati membran.
Ginjal
Ginjal terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis, di belakang
peritoneum. Arteri dan vena renalis, limfatik dan saraf memasuki ginjal melalui
hilus, tempat munculnya pelvis renalis yang akan menjadi ureter. Ginjal
dikelilingi oleh jaringan fibrosa kapsul ginjal (Ward et al., 2009). Pada manusia
dewasa, masing-masing ginjal memiliki panjang 10 cm, lebar 5,5 cm dan tebal 3
cm dengan berat 150 g (Ashley dan Morlidge, 2008).
Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap ginjal terdiri dari 1-4
juta nefron. Satu unit nefron terdiri dari korpuskel renalis, tubulus kontortus
proksimal, ansa Henle (loop Henle), tubulus kontortus distal serta tubulus dan
duktus koligens. Nefron menghasilkan urin dengan mekanisme filtrasi sederhana,
reabsorbsi dan eksresi (Ashley dan Morlidge, 2008).
C. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini sampel terdiri dari 24 ekor mencit betina yang dibagi
secara acak dalam 4 kelompok yang masing-masingnya terdiri dari 6 ekor dengan
nama kelompok K = kelompok kontrol (tanpa perlakuan), D1= kelompok
perlakuan dosis siprofloksasin 14,3 mg/ kg BB/ hari, D2 = kelompok perlakuan
dosis siprofloksasin 28,5mg/ kg BB/ hari dan D3 = kelompok perlakuan dosis
siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari. Laparaktomi dilakukan terhadap 3 ekor
induk mencit setelah usia kehamilan mencapai 18 hari dan sisa 3 ekor induk dari
masing-masing kelompok dibiarkan melahirkan secara spontan.
Dalam penelitian ini, dosis siprofloksasin yang diberikan terdiri dari tiga
dosis, yaitu dosis lazim, 2 x dosis lazim dan 4 x dosis lazim. Penentuan dosis ini
dilakukan berdasarkan atas dosis pada manusia 500 mg/ 70 kg BB. Tablet
siprofloksasin digerus dan disuspensikan ke dalam larutan Na. CMC 0,5 %,
kemudian dimasukkan langsung ke lambung mencit dengan menggunakan jarum
gavage peroral. Pemberian sampel uji terhadap 3 kelompok hewan dilakukan
selama sepuluh hari berturut-turut, mulai dari hari ke-6 sampai
hari ke-15
kehamilan dengan dosis yang telah ditentukan di atas. Kelompok kontrol hanya
diberikan Na. CMC 0,5 %. Terhadap 3 kelompok hewan sisa, pemberian sampel
uji dilakukan mulai pada hari pertama partus hingga masa laktasi selesai (post
natal day 21).
Pengamatan dilakukan terhadap fetus mencit, tingkah laku dan histologi
ginjal anak mencit. Perkembangan perilaku anak mencit diamati mulai umur 5
hari (Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan metode Test Perilaku
10
diberikan suspensi siprofloksasin 28,5 mg/ kg BB/ hari dan kelompok keempat
diberikan suspensi siprofloksasin 57,1 mg/ kg BB/ hari.
Dari grafik kenaikan berat badan induk mencit terlihat bahwa
siprofloksasin tidak mempengaruhi peningkatan berat badan induk hamil. Hal ini
terlihat dari semakin meningkatnya pertambahan berat badan seiring dengan
bertambahnya hari kehamilan.
Pemeriksaan terhadap fetus dilakukan dengan mengeluarkan fetus dengan
cara laparaktomi pada hari ke-18 kehamilan. Fetus mengalami resorbsi pada
pemberian dosis 14,3 dan 28,5 mg / kg BB/ hari. Sedangkan pada dosis 57,1 mg/
kg BB/ hari terjadi kematian fetus.
Pada penelitian ini, kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan
adalah hemoragi. Hemoragi yang terjadi ditemukan pada 5 ekor fetus, 1 ekor
diantaranya mengalami hemoragi di 4 bagian tubuh yang berbeda. Hemoragi yaitu
keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam ruangan
atau jaringan tubuh (Price dan Wilson, 1984). Kemungkinan ini terjadi karena
siprofloksasin diberikan berulang kali pada dosis cukup tinggi hingga
konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi ketidakseimbangan osmotik. Pada
keadaan normal embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis dengan
cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat mengubah tekanan osmosis.
Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan viskositas
cairan pada bagian embrio yang berbeda, antara plasma darah dan ruang ekstrakapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik (Wilson, 1973).
Selain hemoragi, efek teratogen dari siprofloksasin yang lain adalah
ditemukannya 5 tapak resorpsi dari 3 induk yang berbeda.
11
12
tersebut
dikarenakan
siprofloksasin
tidak
mempengaruhi
sistem
13
yaitu kelompok dosis 28,5mg/ kg BB/ hari. Sementara pada usia ke-18, dosis
tidak mempengaruhi kemampuan penglihatan anak mencit. Fungsi penglihatan
berhubungan erat dengan retina. Retina mengandung selapis sel fotoreseptor (sel
kerucut dan sel batang) yang peka terhadap berkas cahaya yang melalui lensa.
Saraf yang keluar dari retina adalah saraf (sensoris) aferen yang menghantar
impuls cahaya dari fotoreseptor melalui nervus optikus ke otak untuk interpretasi
visual (Eroschenko, 2000).
14
pengamatan
pada
struktur
histologis
ginjal
anak
mencit
15
ketika sel mendapat pengaruh dari toksikan obat atau molekul (nephrotoxic ATN)
(Stevens et.al., 2002). NTA biasanya disertai dengan rupturnya membran basalis
dan oklusi lumen tubular.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
2.
3.
16
DAFTAR PUSTAKA
Akselsen and J. Hol. 2006. Quinolone-related arthropathy in a 12 week old
Pyrenean Mountain Dog clinical and radiographic findings. EJCAP. 118
(8) : 523-528.
Ashley, C and C. Morlidge (ed). 2008. Introduction to Renal Therapeutics.
Pharmaceutical Press. USA.
Aslam, M., Chik, K.T. dan Adji, P. (Ed). 2002. Farmasi Klinis : Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Ball, P., L. Mandell, Y. Niki and G. Tillotson. 1999. Comparative tolerability of
the newer fluoroquinolone antibacterials. Drug Saf. 21 (5) :407-421.
Bancroft, J.D and M. Gamble (Ed). 2002. Histological Techniques. Ed. 5.
Churchill
Livingstone. London.
Berkovitch, M., O.D. Citrin, R. Greenberg, M. Cohen, M. Bulkowstein, S.
Shechtman, O. Bortnik, J. Arnon and A. Ornoy. 2004. First-trimester
exposure to amoxycillin/clavulanic acid. British Journal of Clinical
Pharmacology. 58 (3) : 298302.
Chaudari, S., P.Suryawanshi, S. Ambardekar, M. Chinchwadkar and A. Kinare.
2004. Safety profile of ciprofloxacin used for neonatal septicemia. Indian
Pediatrics. 41 : 1246-1251.
Cragan, J.D., J.M. Friedman, Lewis B.H., Kathleen U., Nancy S.G. and Laura R.
2006. Ensuring the Safe and Effective Use of Medications During
Pregnancy: Planning and Prevention Through Preconception Care. Matern
Child Health J. 10 : 129135.
Dewanto, G., W.J. Suwono, B. Riyanto dan Y. Turana. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis danTata Laksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta.
Dharnidharka, V.R., K. Nadeau, C.L. Cannon, H.W. Harris and S. Rosen. 1998.
Ciprofloxacin Overdose: Acute Renal Failure with Prominent Apoptotic
Changes. American Journal of Kidney Diseases. 31 (4) : 710-712.
Douidar, S.M. and W.R. Snodgrass. 1989. Potential role of fluoroquinolones in
pediatric infections. Review of infectious diseases. 11 (6) : 878-885.
Duggan, C., John, B.W. and W. Allan, W. 2008. Nutrition in Pediatrics: Basic
Science, Clinical Applications. Ed. 3. BC Decker. Ontario.
Eroschenko, V.P. 2000. Di Fiores Atlas of Histology With Functional
Correlations. Ed. 9. Lippincott Williams & Wilkins Inc. USA.
17
Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan R I. 2006. Bakti Husada. Jakarta.
Polacheka, H., Gershon, G. Sapirb, M.T. Tamira, J. Polachekc, M. Katzb and Z.B.
Zvia. 2005. Transfer of ciprofloxacin, ofloxacin and levofloxacin across
the perfused human placenta in vitro. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology. 122 (1) : 61-65.
Price, S.A. and L.M. Wilson. 1984. Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Sarro, A.D. and G.D. Sarro. 2001. Adverse Reactions to Fluoroquinolones. An
Overview on Mechanism Aspects. Current Medicinal Chemistry. 8 : 371384.
Satyanegara (ed). 2010. Ilmu Bedah Saraf. Ed. 4. Gramedia. Jakarta.
Stevens, A., J.S. Lowe and B. Young. 2002. Basic Histopathology : A Colour
Atlas and Text. Ed. 4. Churchill Livingstone, New York.
Sweetman, S.C (Ed). 2007. Martindale: The Complete Drug Reference. Ed. 35.
The Pharmaceutical Press. London.
Tanaka, T. 2005. Reproductive and Neurobehavioural Toxicity Study of
Tartrazine
Administered
to
Mice
in
The
Diet.
Doi:10.1016/j.fct.2005.06.011.
Virgianti, D.P. dan H.A. Pawestri. 2005. Pengaruh Pendedahan Morfin Terhadap
Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster. Cermin
Dunia Kedokteran. 149 : 44-48.
Ward, J.P.T., R.W. Clarke and R.W.A. Linden. 2009. At a Glance Fisiologi.
Erlangga. Jakarta.
Wilson, J.G. 1973. Environment and Birth Defects. Academic Press. New York.
19