You are on page 1of 13

IDENTIFIKASI Staphylococcus aureus PENYEBAB MASTITIS DENGAN

UJI FERMENTASI MANNITOL DAN DETEKSI PRODUKSI ASETOIN


PADA SAPI PERAH DI WILAYAH KERJA KOPERASI USAHA TANI
TERNAK SUKA MAKMUR GRATI PASURUAN
IDENTIFICATION OF Staphylococcus aureus WHICH CAUSES MASTITIS
WITH MANNITOL FERMENTATION TEST AND DETECTION OF
ACETOIN PRODUCT IN DAIRY CATTLE AT THE FARM AREA OF
SUKA MAKMUR DAIRY
COOPERATIVE GRATI PASURUAN
Luthvin Paramitha Tirnata
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
ABSTRACT
The aims of the study were to identify Staphylococcus aureus which causes
mastitis in dairy cattle at the farm area of Suka Makmur Dairy Cooperative by
detecting the acetoin production with Voges-Proskauer Test comparing with
mannitol fermentation test using Mannitol Salt Agar. The non probability
sampling was used on this research. Milk samples had been taken as much as 5-10
ml from each quarter of dairy cattle which shown positive according to California
Mastitis Test. Two hundred bovine milk samples were cultured on Blood Agar and
MacConkey Agar from which 100 (50%) strains were identified as
Staphylococcus sp. and 26 (13%) were identified as coagulase positive
staphylococcus; which were suspected as Staphylococcus aureus, whereas 25
strains of them showed the positive result of Voges-Proskauer Test and 24 strains
showed the positive result of mannitol fermentation on Mannitol Salt Agar
cultured. The results of the two methods were compared with Nonparametric Tests
among which Chi-square Test were used. The result showed that there was no
difference between the result of Voges-Proskauer Test and Mannitol Salt Agar
cultured, so that Voges-Proskauer Test is able to replace Mannitol Salt Agar
cultured as the common identification method for Staphylococcus aureus.
Key words : Staphylococcus aureus, Mastitis, Mannitol Salt Agar, Acetoin
Production.

Pendahuluan
Mastitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada sapi perah dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternakan sapi perah di
seluruh dunia (Bannerman and Wall, 2005). Kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh mastitis, terutama mastitis subklinis, meliputi penurunan produksi dan mutu
susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran ternak lebih awal
serta pembelian sapi perah baru (Subronto, 2003).
Berdasarkan hasil survei Aksan dan Pahlevi (2006) prevalensi kasus
mastitis klinis di kecamatan Grati kabupaten Pasuruan pada tahun 2005 adalah
7,2%, sedangkan kasus mastitis subklinis tidak terdata sebab peternak tidak
melaporkan terjadinya mastitis subklinis. Mastitis subklinis yang terjadi hanya
ditandai dengan terjadinya penurunan produksi dan mutu susu di wilayah kerja
KUTT Suka Makmur Grati Pasuruan. Penurunan produksi dan mutu susu
menyebabkan harga susu yang disetorkan peternak menjadi turun, dan juga dapat
menyebabkan ditolaknya susu dari peternak oleh koperasi sehingga susu harus
dibuang sebab tidak layak untuk dikonsumsi (Kloos and Lambe, Jr., 1991;
Subronto, 2003).
Salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah adalah
Staphylococcus aureus (S. aureus) (Jones et al., 1998; Purnomo dkk., 2006).
Mastitis yang disebabkan oleh S. aureus dapat terjadi secara klinis namun
seringkali terjadi secara subklinis dan menahun (Dodd and Booth, 2001;
Bannerman and Wall, 2005).
Identifikasi untuk membedakan antara S. aureus dengan stafilokokus
lainnya merupakan faktor utama sebagai salah satu langkah dalam penanganan
kasus mastitis, dimana cara yang dilakukan sebagian besar masih bergantung atas
dasar kriteria fenotipik yang tampak (Boerlin et al., 2003; Purnomo dkk, 2006),
antara lain meliputi morfologi pertumbuhan koloni, uji katalase untuk
membedakan dari streptokokus, adanya produksi enzim koagulase serta adanya
fermentasi mannitol pada Mannitol Salt Agar (MSA) (Beishir, 1991; Fox, 2000;
Cappucino and Sherman, 2005).
Faktor patogenitas S. aureus berhubungan dengan adanya produksi enzim
koagulase, yang membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Levinson and
Jawetz, 2003; Bello and Qahtani, 2004), selain itu S. aureus dibedakan dengan
adanya fermentasi mannitol pada MSA (Fox, 2000; Sari, 2003). S. aureus juga
dapat diisolasi dengan media selektif seperti Baird Parker Agar, lipase salt
mannitol agar, DNAse Test (Kloos and Lambe, Jr., 1991; Roberson et al., 1994;
Bello and Qahtani, 2004). Penggunaan media selektif sangat berguna untuk
mengisolasi S. aureus dari sampel yang terkontaminasi, namun menjadi tidak
ekonomis sebab tidak bisa mendeteksi bakteri lain sedangkan beberapa media
umum secara rutin telah digunakan untuk membedakan S. aureus dari stafilokokus
lainnya (Boerlin et al., 2003).
Penggunaan MSA juga tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membedakan S. aureus dengan stafilokokus spesies lainnya sebab S. intermedius
juga memfermentasi mannitol pada MSA meski dengan reaksi yang lambat
(delayed reaction) (Timoney et al., 1988). Menurut Kloos and Lambe, Jr. (1991)

serta Quinn et al. (2002) S. aureus juga dapat dibedakan dengan adanya produksi
asetoin yang dapat diketahui melalui uji Voges-Proskauer (VP).
Produksi asetoin dari glukosa merupakan alternatif ciri khas yang sangat
berguna untuk membedakan S. aureus dari spesies stafilokokus koagulase positif
yang lain seperti S. intermedius serta beberapa strains koagulase positif S. hycus,
selain itu juga bersifat lebih ekonomis bila dibandingkan dengan penggunaan
media selektif (Kloos and Lambe, Jr., 1991; Koneman et al., 1992; Quinn et al.,
2002).
Identifikasi S. aureus dengan menggunakan metode yang mudah, cepat,
ekonomis dan dapat dipercaya menjadi sangat penting untuk membatasi
penyebaran penyakit mastitis (Boerlin et al., 2003).
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi S. aureus
penyebab mastitis pada beberapa peternakan sapi perah di wilayah kerja KUTT
Suka Makmur Grati Pasuruan dengan cara deteksi adanya produksi asetoin
dibandingkan dengan uji fermentasi mannitol pada MSA.
Materi dan Metode Penelitian
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Maret 2007.
Isolasi dan identifikasi S. aureus penyebab mastitis dilakukan di laboratorium
Bakteriologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Pengambilan sampel susu sapi perah dilakukan di 19 peternakan di wilayah kerja
KUTT Suka Makmur kecamatan Grati kabupaten Pasuruan, antara lain enam
peternakan di desa Sumberagung, empat peternakan di desa Trewung, empat
peternakan di desa Ranuklindungan serta lima peternakan di desa Pangkringan.
Teknik pengambilan sampel
Metode penentuan desa dilakukan dengan pertimbangan lokasi merupakan
daerah yang padat ternak, mudah dijangkau serta berada di utara, barat, timur dan
selatan dari KUTT Suka Makmur. Metode penentuan peternakan dilakukan
dengan pertimbangan peternakan tersebut memiliki lebih dari 10 ekor sapi perah.
Pengambilan sampel susu diawali dengan melakukan wawancara sejarah penyakit
serta pengamatan gejala klinis yang tampak, kemudian dilakukan pemeriksaan
California Mastitis Test (CMT) dan sampel susu yang positif CMT akan diambil
kemudian dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan CMT hanya
dilakukan pada kuartir yang menunjukkan gejala klinis maupun subklinis yang
ditandai dengan penurunan produksi dan mutu susu berdasarkan informasi dari
peternak atau pemerah.
Sampel susu diambil sebanyak 5 ml dari tiap kuartir yang positif CMT
dan langsung ditampung dalam tabung reaksi tertutup kapas yang steril dan telah
diberi label, kemudian disimpan dalam termos berisi es, agar suhunya stabil pada
5-100 C untuk menghindari perkembangbiakan bakteri, hingga tiba di
laboratorium. Sampel susu yang positif CMT diambil sebanyak 50 sampel dari
tiap desa sehingga didapatkan jumlah sampel keseluruhan sebanyak 200 sampel.

Isolasi dan identifikasi S. aureus


Pemeriksaan bakteriologis sampel susu positif CMT yang dilakukan adalah isolasi
dan identifikasi S. aureus penyebab mastitis. Isolasi S. aureus sebagai penyebab
penyakit meliputi penanaman sampel susu pada media Blood Agar (BA) dan
MacConkey Agar (MCA) sebagai pembanding terhadap pertumbuhan bakteri
Gram negatif, kemudian diinkubasikan 370 C selama 24 jam guna mengetahui
sifat, jenis dan tipe koloni yang tumbuh (Pramono, 1987; Quinn et al., 2002).
Koloni yang tumbuh dan dicurigai sebagai stafilokokus dipastikan dengan
melakukan pewarnaan Gram untuk mengetahui sifat Gram dan morfologi secara
mikroskopis dan uji katalase untuk membedakannya dengan streptokokus. Koloni
stafilokokus yang didapatkan kemudian diidentifikasi dengan uji koagulasi dan
dilanjutkan dengan uji fermentasi mannitol pada MSA dan deteksi produksi
asetoin melalui uji VP.
Uji koagulasi dilakukan dengan menanam koloni stafilokokus ke dalam
tabung yang telah berisi plasma darah kelinci, campur hingga rata dan
inkubasikan selama 4 hingga 24 jam. Hasil koagulase positif S. aureus
ditunjukkan dengan terbentuknya gumpalan, sedangkan disebut stafilokokus
koagulase negatif (CNS) bila setelah 24 jam tidak terjadi penggumpalan
(Koneman et al., 1992; Fox, 2000; Cappucino and Sherman, 2005).
Uji fermentasi mannitol dilakukan dengan menanam koloni stafilokokus pada
MSA, kemudian diinkubasi 370 C selama 24 jam, apabila bakteri dapat tumbuh
dan terjadi fermentasi mannitol maka akan mengubah warna media dari merah
menjadi kuning, berarti hasil dinyatakan positif. S. aureus dapat memfermentasi
mannitol (Beishir, 1991; Fox, 2000; Cappucino and Sherman, 2005).
Uji VP dilakukan dengan menanam koloni stafilokokus pada VP medium dalam
tabung dan diinkubasi 370 C selama 48 jam. Pertumbuhan bakteri ditandai dengan
warna media yang menjadi keruh, kemudian ditambahkan ke dalam tabung
Barritts reagen, terdiri atas larutan KOH 40% dalam aquades steril dan -naphtol
5% dalam ethanol, yang bertindak sebagai katalis. Larutan yang telah ditambah
reagen kemudian dikocok perlahan tiap 3-5 menit dan amati adanya perubahan
warna larutan dari kuning menjadi merah muda hingga merah tua yang
menunjukkan adanya kandungan asetoin yang diproduksi oleh bakteri dalam
larutan (Koneman et al., 1992; Johnson and Case, 1995).
Hasil dan Pembahasan
Mastitis merupakan penyakit infeksius yang sebagian besar dapat dijumpai
pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Quinn et al., 2002). Mastitis
disebabkan masuknya mikroba ke dalam ambing melalui lubang puting dan
menyebakan keradangan (Schroeder, 1997; Garcia, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa dari 200 sampel susu
positif CMT didapatkan 100 (50%) sampel mengandung bakteri stafilokokus, 98
(49%) sampel berasal dari kuartir dengan mastitis subklinis, dan 2 (1%) sampel
berasal dari kuartir dengan mastitis klinis yang ditandai dengan asimetris ambing,
puting yang mengecil dan produksi susu yang sangat sedikit bahkan terhenti pada
kuartir tersebut. Hasil isolasi bakteri susu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Kegagalan isolasi bakteri kemungkinan disebabkan telah dilakukan


pengobatan dengan antibiotika sebelum pengambilan sampel (Dodd and Booth,
2001), matinya bakteri seiring proses inflamasi yang berlangsung lama meski
masih tampak perubahan patologis pada ambing yang terinfeksi, serta berkaitan
erat dengan penggunaan media agar dan metode yang dipakai, sebab beberapa
bakteri hanya dapat tumbuh pada media agar tertentu, dan pada mastitis yang
disebabkan adanya trauma maka tidak terkandung bakteri dalam sampel susu
tersebut (Quinn et al., 2002).
Oliver (2000) mengemukakan bahwa mastitis yang disebabkan
stafilokokus dapat mencapai 70% dalam suatu peternakan. Kirkan et al. (2003)
juga mengemukakan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 145 (48,33%)
sampel dari 300 sampel susu mastitis merupakan positif stafilokokus.
Kriteria identifikasi untuk S. aureus selain morfologi koloni secara
makroskopis dan mikroskopis serta kemampuan melisiskan darah pada media
Blood Agar, antara lain meliputi kemampuan produksi enzim katalase yang
membedakannya dengan streptokokus, tidak tumbuh pada MacConkey Agar,
kemampuan produksi enzim koagulase dan kemampuan fermentasi mannitol pada
MSA (Pramono, 1987; Koneman et al., 1992; Quinn et al., 2002). Hasil
identifikasi S. aureus dapat dilihat pada Tabel 2.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 100 sampel susu positif


stafilokokus yang didapatkan, 74 (37%) sampel merupakan stafilokokus
koagulase negatif (CNS) dan 26 (13%) sampel merupakan stafilokokus koagulase
positif yang semuanya berasal dari ambing dengan mastitis subklinis dan 11,5%
diantaranya dengan hasil +1 dan +2 CMT (Tabel 2.).
Produksi enzim koagulase merupakan faktor patogenitas utama dari S.
aureus yang membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Levinson and
Jawetz, 2003; Bello and Qahtani, 2004), sehingga 26 sampel stafilokokus
koagulase positif yang didapatkan dalam penelitian ini diduga sebagai S. aureus.
Kirkan et al. (2003) mengemukakan hasil penelitiannya yang
menunjukkan bahwa didapatkan sebesar 85 (58,62%) sampel stafilokokus
koagulase positif atau S. aureus dan 60 (41,38%) sampel merupakan stafilokokus
koagulase negatif. Selama beberapa tahun terakhir juga disebutkan terjadinya
peningkatan infeksi oleh stafilokokus koagulase negatif sebagai penyebab mastitis
di seluruh dunia yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 8,7%
dalam satu masa laktasi. Oliver (2000) juga mengemukakan bahwa dalam suatu
peternakan dapat diisolasi stafilokokus koagulase negatif sebesar 67,4% yang
seringkali dapat diisolasi bersamaan dengan bakteri penyebab environmental
mastitis.
Hasil pengamatan terhadap 26 sampel stafilokokus koagulase positif yang
diduga sebagai S. aureus dan diisolasi dari susu dengan ditanam pada media agar
menunjukkan 19 (9,5%) sampel koloninya berwarna putih serta hanya 7 (3,5%)
sampel yang koloninya berwarna kuning, (6%) sampel juga tidak menghemolisis
eritrosit dalam BA atau bersifat gamma hemolisis (-hemolisis), 10 (5%) sampel
dapat menghemolisis eritrosit dalam BA secara sempurna atau bersifat alfa
hemolisis (-hemolisis) dan hanya 4 (2%) sampel bersifat beta hemolisis (hemolisis) (Tabel 2.).

Warna koloni yang terbentuk pada S. aureus dapat bervariasi antara lain
putih, kuning dan oranye (Purnomo dkk., 2006), dimana hanya strain S. aureus
yang berasal dari sapi dan manusia yang memiliki koloni berwarna kuning
(kuning keemasan), beberapa koloni stafilokokus koagulase negatif juga dapat
terpigmentasi (Quinn et al., 2002). Strain S. aureus yang berasal dari hewan
biasanya menghasilkan -hemolisin dan -hemolisin (Quinn et al., 2002). hemolisin biasanya juga dihasilkan oleh strain S. aureus yang berasal dari manusia
(Subronto, 2003).
Kondisi di lapangan yang diamati juga menunjukkan sanitasi kandang
pada beberapa peternakan sapi perah di wilayah kerja KUTT Suka Makmur Grati
masih kurang baik, saluran pembuangan dan tempat penampungan feses dekat
dengan tempat penampungan air maupun tempat penyimpanan pakan. Kondisi
demikian menggambarkan banyaknya sumber infeksi strains S. aureus yang bukan
berasal dari sapi maupun manusia, sesuai dengan pernyataan Roberson et al.
(1994) yang mengemukakan bahwa S. aureus dapat diisolasi dari peralatan
kandang, lingkungan kandang, air dan tanah, bahkan dari lalat, sehingga
seringkali dapat ditemukan strain S. aureus yang bukan berasal dari sapi maupun
dari manusia terkandung dalam susu.
Hemolisin yang dihasilkan S. aureus bersifat toksik karena dapat
melisiskan sel darah merah hospes (Purnomo dkk., 2006). -hemolisin bersifat
dermonekrotik dan dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
dapat menyebabkan kematian (Koneman et al., 1992; Quinn et al., 2002),
sedangkan -hemolisin dapat menyebabkan dermonekrotik dan merusak leukosit
(Timoney et al., 1988; Jawetz et al., 2001), sehingga pada umumnya S. aureus
yang dapat memproduksi hemolisin termasuk bersifat patogen (Purnomo dkk.,
2006).
Uji fermentasi mannitol dengan penanaman pada MSA merupakan
prosedur utama yang biasa digunakan setelah uji koagulasi dalam identifikasi S.
aureus, apabila bakteri stafilokokus dapat menghasilkan enzim koagulase atau
bersifat koagulase positif dan dapat memfermentasi mannitol pada MSA maka
bakteri stafilokokus tersebut adalah S. aureus (Johnson and Case, 1995; Sari,
2003), namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan menunjukkan hanya 24
sampel dari 26 sampel stafilokokus koagulase positif yang dapat memfermentasi
mannitol pada MSA dan banyak stafilokokus koagulase negatif yang juga dapat
memfermentasi mannitol (Tabel 2.).
Kondisi demikian dapat disebabkan oleh kondisi media agar yang tempat
penampungan air maupun tempat penyimpanan pakan. Kondisi demikian
menggambarkan banyaknya sumber infeksi strains S. aureus yang bukan berasal
dari sapi maupun manusia, sesuai dengan pernyataan Roberson et al. (1994) yang
mengemukakan bahwa S. aureus dapat diisolasi dari peralatan kandang,
lingkungan kandang, air dan tanah, bahkan dari lalat, sehingga seringkali dapat
ditemukan strain S. aureus yang bukan berasal dari sapi maupun dari manusia
terkandung dalam susu.
Hemolisin yang dihasilkan S. aureus bersifat toksik karena dapat
melisiskan sel darah merah hospes (Purnomo dkk., 2006). -hemolisin bersifat
dermonekrotik dan dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga

dapat menyebabkan kematian (Koneman et al., 1992; Quinn et al., 2002),


sedangkan -hemolisin dapat menyebabkan dermonekrotik dan merusak leukosit
(Timoney et al., 1988; Jawetz et al., 2001), sehingga pada umumnya S. aureus
yang dapat memproduksi hemolisin termasuk bersifat patogen (Purnomo dkk.,
2006).
Uji fermentasi mannitol dengan penanaman pada MSA merupakan
prosedur utama yang biasa digunakan setelah uji koagulasi dalam identifikasi S.
aureus, apabila bakteri stafilokokus dapat menghasilkan enzim koagulase atau
bersifat koagulase positif dan dapat memfermentasi mannitol pada MSA maka
bakteri stafilokokus tersebut adalah S. aureus (Johnson and Case, 1995; Sari,
2003), namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan menunjukkan hanya 24
sampel dari 26 sampel stafilokokus koagulase positif yang dapat memfermentasi
mannitol pada MSA dan banyak stafilokokus koagulase negatif yang juga dapat
memfermentasi mannitol (Tabel 2.). Kondisi demikian dapat disebabkan oleh
kondisi media agar yang buruk maupun dari bakteri itu sendiri, sebab stafilokokus
koagulase positif lain seperti S. intermedius juga dapat memfermentasi mannitol
pada MSA meski dengan reaksi lambat (delayed reaction) (Timoney et al., 1988).
Deteksi produksi asetoin melalui uji VP sebenarnya merupakan prosedur
dalam identifikasi Enterobacter sp., yang merupakan kombinasi dari Methyl-Red
Test (Uji MR-VP) (Beishir, 1991; Cappucino and Sherman, 2005), namun deteksi
produksi asetoin dapat menjadi alternatif identifikasi S. aureus (Koneman et al.,
1992), yang juga dapat menjadi ciri khas yang membedakan S. aureus dari
stafilokokus koagulase positif lainnya (Quinn et al., 2002).
Uji VP digunakan untuk membedakan antara organisme yang
menghasilkan asam dalam jumlah yang besar dan yang menghasilkan nonacidic
atau produk netral seperti acetyl methyl carbinol (asetoin) dari hasil metabolisme
glukosa. Produk netral ini membuat bakteri dapat memfermentasi karbohidrat
dalam jumlah yang besar (Wen et al., 1994; Min et al., 1999). Adanya kandungan
asetoin yang diproduksi dalam larutan ditandai dengan perubahan warna larutan
dari kuning menjadi merah muda hingga merah tua (Johnson and Case, 1995;
Cappucino and Sherman, 2005). S. aureus dapat memproduksi asetoin sebagai
hasil fermentasi glukosa yang membedakannya dengan stafilokokus lainnya
(Koneman et al., 1992; Quinn et al., 2002).
Hasil pengamatan menunjukkan dari 26 sampel stafilokokus koagulase
positif yang diduga sebagai S. aureus, 25 sampel diantaranya dapat memproduksi
asetoin, meski masih terdapat stafilokokus koagulase negatif yang juga dapat
memproduksi asetoin (Tabel 2.), namun isolat murni S. aureus yang digunakan
sebagai kontrol positif semuanya diperoleh dari uji Chi-square tersebut sesuai
dengan pendapat Kloos and Lambe, Jr. (1991); Koneman et al. (1992); Holt et al.
(2000) dan Quinn et al. (2002) yang menyatakan bahwa deteksi produksi asetoin
dari glukosa melalui uji VP merupakan alternatif ciri khas yang sangat berguna
untuk membedakan S. aureus dari spesies stafilokokus lainnya, terutama untuk
membedakan S. aureus dari stafilokokus koagulase positif lainnya yang juga dapat
memfermentasi mannitol pada MSA namun tidak dapat memproduksi asetoin.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian tentang identifikasi S.
aureus penyebab mastitis pada sapi perah di wilayah kerja KUTT Suka Makmur
Grati Pasuruan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Dari 200 sampel
susu positif CMT yang berasal dari beberapa peternakan di wilayah kerja KUTT
Suka Makmur Grati Pasuruan, 100 (50%) sampel mengandung stafilokokus, 74
(37%) sampel merupakan stafilokokus koagulase negatif dan 26 (13%) sampel
merupakan stafilokokus koagulase positif yang diduga sebagai S. aureus; 2) Hasil
perbandingan antara deteksi produksi asetoin terhadap uji fermentasi mannitol
dari 26 sampel stafilokokus koagulase positif menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kedua uji tersebut sebagai metode identifikasi S. aureus; 3) Uji VP dapat
menggantikan MSA sebagai metode untuk identifikasi S. aureus yang mudah,
ekonomis dan dapat dipercaya.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Erni Rosilawati Sabar Iman, M.S.,
drh. selaku dosen pembimbing pertama dan ketua penelitian serta Bapak M. Anam
Al-Arif, M.P., drh. selaku dosen 14 pembimbing kedua atas saran dan
bimbingannya sampai dengan selesainya penelitian ini; seluruh Staf KUTT Suka
Makmur, Staf Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan, drh. Yoyok selaku pihak
dari PT. Nestle, serta semua pihak terkait di Pasuruan atas bantuan teknik dalam
proses penelitian ini; teman-teman satu penelitian, Mbak Nyta, Mas Taufik dan
Kusuma yang selalu membantu sampai selesainya penelitian, serta papa, mama,
adik-adikku dan memeku tercinta yang telah memberikan segalanya, bantuan doa,
dorongan dan semangat.
Daftar Pustaka
Aksan dan C. Pahlevi. 2006. Hasil Validasi Data dan Survei Parameter Statistik
Peternakan. Dinas Peternakan dan Kehewanan Kabupaten Pasuruan. Pasuruan.
Bannerman, D. D. and R. J. Wall. 2005. A Novel Strategy for the Prevention of
Staphylococcus aureus-Induced Mastitis in Dairy Cows. Information Systems for
Biotechnology News Report. Virginia Tech University. USA. 1 - 4.
Beishir, L. 1991. Microbiology in Practice: A Self-Instructional Laboratory
Course. 5th ed. HarperCollins Publishers Inc. New York. USA. 223 - 229, 356 361, 446 - 450.
Bello, C. S. S and A. Qahtani. 2005. Pitfalls in the Routine Diagnosis of
Staphylococcus aureus. African Journal of Biotechnology. 4 (1): 83 - 86.
Boerlin, P., P. Kuhnert, D. Hussy and M. Schaellibaum. 2003. Methods for
Identification of Staphylococcus aureus Isolates in Cases of Bovine Mastitis.
Journal of Clinical Microbiology. American Society for Microbiology. 41 (2): 767
- 769.
Cappucino, J. G. and N. Sherman. 2005. Microbiology: A Laboratory Manual. 7th
ed. Pearson Education Inc. USA. 101 - 102, 117, 164, 166, 189, 204, 409 - 416,
509 - 512. Garcia, A. 2004. Contagious vs. Environmental Mastitis. Extension
Extra Dairy Science. South Dakota State University. USA. 4028: 1 - 4.

Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley, S. T. Williams. 2000.


Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia. USA. 532, 536, 544 - 551.
Jawetz, E., J. L. Melnick and E. A. Adelberg. 2001. Medical Microbiology. 22nd
edition. McGraw Hill Companies Inc. USA. 223 - 233, 317 - 326.
Johnson, T. R. and C. L. Case. 1995. Laboratory Experiments in Microbiology.
4th ed. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. California. USA. 39 41, 101 - 103, 313 - 314.
Jones, G. M., T. L. Bailey, Jr. and J. R. Roberson. 1998. Staphylococcus aureus
Mastitis: Cause, Detection and Control. Dairy Science Publication. Virginia
Polytechnic Institute and State University. USA.
Kirkan, S., E. O. Goksoy and O. Kaya. 2003. Identification and Antimicrobial
Susceptibility of Staphylococcus aureus and Coagulase Negative Staphylococci
from Bovine Mastitis in the Aydin Region of Turkey. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 29
(2005): 791 - 796.
Kloos, W. E. and D. W. Lambe, Jr. 1991. Staphylococcus. In: A. Balows, W. J.
Hausler, Jr., K. L. Herrmann, H. D. Isenberg, H. J. Shadomy (Eds.). Manual of
Clinical Microbiology. 5th ed. American Society for Microbiology. Washington,
DC. USA. 222 - 232.
Koneman, E. W., S. D. Allen, W. M. Janda, P. C. Shreckenberger and W. C. Winn,
Jr. 1992. Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. 4th ed. J. B.
Lippincott Company. Philadelphia, Pennsylvania. USA. 108 - 109, 121, 176, 194,
405, 407 - 424.
Levinson, W., E. Jawetz. 2003. Medical Microbiology & Immunology:
Examination & Board Review. 7th ed. McGraw-Hill Companies Inc. Singapore.
91 - 95, 437.
Mellenberger, R. and J. Kirk. 2001. Mastitis Control Program for Staph. aureus
Infected Dairy Cows. Michigan State University Press. USA.
Min, H., F. B. O. Sanio and A. Steinbuchel. 1999. Biochemical and Molecular
Characterization of the Bacillus subtilis Acetoin Catabolic Pathway. Journal of
Bacteriology. American Society for Microbilogy. USA. 181 (12): 3837.
Oliver, S. P. 2000. Mastitis in Heifers: Prevalence, Strategy for Control during the
Periparturient Period, and Economic Implications. Proceeding British Mastitis
Conference. Institute for Animal Health/Milk Development Council. 1 - 13.
Pramono, S. U. 1987. Diagnostika Penyakit Bakterial pada Hewan. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 22.
Dodd, F. H. and J. M. Booth. 2001. Mastitis and Milk Production. In: E. H. Marth
and J. L. Steele. Applied Dairy Microbiology. 2nd ed. Marcell Dekker Inc. USA.
213 - 255.
Farzana, K., S. N. H. Shah and F. Jabeen. 2004. Antibiotic Resistance Pattern
Againts Various Isolates of Staphylococcus aureus from Raw Milk Samples.
Journal of Research (Science). Bahauddin Zakariya University. Maltan. Pakistan.
15 (2): 145 - 151.
Fox, M. T. 2000. Identification of Gram-Positive Bacteria: Normal Flora
Staphylococci. Purnomo, A., Hartatik, Khusnan, S. I. O. Salasia dan Soegiyono.

2006. Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing


Peternakan Ettawa. Media Kedokteran Hewan. 22 (3): 142 - 147.
Quinn, P. J., B. K. Markey, M. E. Carter, W. J. Donnelly and F. C. Leonard. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. USA. 43 46, 465 - 475.
Roberson, J. R., L. K. Fox, D. D. Hancock, J. M. Gay and T. E. Besser. 1994.
Ecology of Staphylococcus aureus Isolated from Various Sites on Dairy Farms. J.
Dairy Sci. 77 (11): 3354 - 3364.
Sari, R. W. 2003. Pengaruh Pemberian Gerusan Daun Sirih Hitam, Gerusan Daun
Sirih Jawa dan Oksitetrasiklin Secara Topikal Terhadap Lama dan Waktu
Kesembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus Putih. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Schroeder, J. W. 1997. Mastitis Control Programs: Bovine Mastitis and Milking
Management. North Dakota State University Agriculture and University
Extension. USA.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 309 - 351.
Timoney, J. F., J. H. Gillesopie, F. W. Scott and J. E. Barlough. 1988. Hagan and
Bruners Microbiology and Infectious Disease of Domestic Animals. 8th ed.
Comstock Publishing Associates. 171 - 178.
Wattiaux, M. A. 1996. Mastitis: The Disease and Its Transmission. Dairy
Essentials. Babcock Institute for International Dairy Research and Development.
University of Wisconsin-Madison. USA. 89 - 92.
Wen, L. D., Hwan Y. C. and Hwei L. P. 1994. Acetoin Catabolic System of
Klebsiella pneumoniae CG43: Sequence, Expression and Organization of the aco
Operon. Journal of Bacteriology. American Society for Microbiology. USA. 176
(12): 3527.

You might also like