You are on page 1of 42

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur.

Biologi UNM

I. Kurva Spesies Area


Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan
(komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat
tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka
kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling,
artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk
mewakili habitat tersebut. Dalam sampling ini ada tiga hal yang
perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan
petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan.
Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup
besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili
komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat
dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian
( ). Different sizes of plants are usually sampled better by
different sizes of plot. That is, large plants like trees require large
plots, while shrubs require smaller plots and herbs and mosses
yet smaller plots. The sampling design, therefore, might need to
include nested plots (e.g. when sampling
multi-layered
vegetation, the overstorey might requirea larger plot size than
the mid-stratum, and the ground stratum might require an even
smaller plot size). When undertaking detailed studies in
previously unstudied vegetation types, it might be necessary to
determine optimal plot size by sampling sets of plots for the
attribute(s) in question and plotting the cumulative means of
these sets against the cumulative areas, repeating the process
until the fluctuation in the mean value is reduced to a negligible
size.
If quantitative floristic analyses are planned, species
accumulation curves should be determined and optimal plot size
deduced from them. To determine the mean sizes of crowns and
crown gaps, several transects 50 metres or more in length
should be used rather than extra-large plots. In sites dominated
by the ground layer (e.g. grasses, low shrubsand mosses), foliage
cover and plant height data can be collected in several plots
ranging in size from one square metre (for a total of perhaps 50
square metres) to 0.01 square metres (for a total area of 0.5
metres), or transects 1 to 20 metres in length, depending on the
size
of
the
plants
being
measured
(FieldVegHandbookV2ExplanNotes_ap14.pdf).

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi


jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang
kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat
menggunakan teknik Kurva Spesies Area (KSA). Dengan
menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan : (1) luas
minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan
diukur, (2) jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili
keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika
menggunakan metode jalur.
Caranya adalah dengan mendaftarkan jenis-jenis yang
terdapat pada petak kecil, kemudian petak tersebut diperbesar
dua kali dan jenis-jenis yang ditemukan kembali didaftarkan.
Pekerjaan berhenti sampai dimana penambahan luas petak tidak
menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis.
Luas minimun ini ditetapkan dengan dasar jika penambahan luas
petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5-10%
(Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959). Untuk luas petak awal
tergantung surveyor, bisa menggunakan luas 1m x1m atau 2m x
2m atau 20m x 20m, karena yang penting adalah konsistensi
luas petak berikutnya yang merupakan dua kali luas petak awal
dan kemampuan pengerjaannya di lapangan. Untuk lebih jelas
bagan pekerjaan dapat dilihat pada gambar 1.
Sebagai contoh, hasil pengukuran KSA tumbuhan bawah dapat
dilihat pada tabel 1. berikut ini :

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa penambahan jenis


pada ukuran petak 8m x 16m sudah mencapai angka dibawah
5% (sesuai syarat Oosting, 1958; Cain & Castro, 1959), maka
dapat ditetapkan bahwa luas petak ukur yang dapat mewakili

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

komunitas pada rumput tersebut adalah adalah 8m x 16m atau


0.128 ha. Luasan ini bukanlah harga mutlak bahwa luas petak
ukur yang harus kita gunakan adalah 0.128 ha, tapi nilai tersebut
adalah nilai minimum, artinya kita bisa menambah ukuran petak
contoh atau bahkan memodifikasinya karena yang harus kita
perhatikan bahwa petak contohnya tidak kurang dari hasil KSA.
Contoh untuk memudahkan pekerjaan di lapangan, sebaiknya
ukuran petak tersebut berbentuk persegi, sehingga petak hasil
KSA tersebut dapat diubah menjadi ukuran 12m x12m.
A key issue in ecology is how patterns of species diversity
differ as a function of scale (Brown, 1995; Rosenzweig, 1995;
Gaston, 1996). The speciesarea relationship is a consequence of
two independent phenomena. The total number of individuals
increases with area, leading to an increased probability of
encountering more species with larger areas, even in a uniform
environment (Coleman et al., 1982; Palmer and White, 1994;
Rosenzweig, 1995).

Gambar 1. Bentuk Pertambahan Petak Kurva Spesies Area


Pelaksanaan Praktikum:
Bahan dan alat praktikum
Tali rafia
Patok dapat kayu ataupun bambu

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Alat tulis
Meteran
Alat fotografi
Perangkat lunak R
Perangkat komputer.

1. The initial step in describing the vegetation on the plot is to


identify the vertical strata on the plot.
2. Lakukan survei pada area praktikum untuk menentukan lokasi
dengan vegetasi yang paling kaya. Untuk pertama, tentukan
lokasi untuk vegetasi dengan bentuk hidup (growth form)
herba.
3. Pada lokasi yang terpilih, buat plot ukuran 0.5 x 0.5 m.
4. Hitung jumlah seluruh spesies herba yang ditemukan pada
plot ukuran 0.5 x 0.5 m atau memiliki luas berukuran 0.25 m2.
Perhitungan hanya dilakukan pada spesies, bukan individu
spesies.
5. Buat plot yang ukurannya 2 kali lebih besar dari ukuran plot
awal. Plot tersebut harus memiliki ukuran harus memiliki luas
0.5 m2, sehingga ukuran plot yang dibuat memiliki lebar 0.5
m dan panjang 1 m. Jadi laus plot yang dibuat adalah 0.5m x
1 m = 0.5m2. Hitung dan daftarkan semua spesies herba
pada plot ini yang tidak ditemukan pada plot yang
sebelumnya.
6. Buat plot baru berukuran dua kali lebih luas dari plot
sebelumnya dengancara yang sama pada nomer dua, dan
juga lakukan hal yang sama pada nomer 2 terhadap spesies
herba yang ditemukan.
7. Seluruh plot dibuat dengan cara bersarang, artinya plot
terkecil terletak pada bagian terdalam dan semakin besar
ukuran plot maka letaknya semakin luar (Gambar 1).

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

8. Pembuatan plot baru dihentikan setelah tidak ditemukan lagi


spesies-spesies baru atau menyebabkan kenaikan jumlah
species tidak lebih dari 5-10% dari total spesies yang telah
didaftar.
9. Lakukan dokumentasi fotografi untuk setiap spesies yang
ditemukan.
10. Catat kondisi lingkungan abiotik tempat plot diletakkan.
Lakukan dokumentasi fotografi.
11. Semua spesies yang didaftar diidentifikasi sampai ke
tingkat spesies. Gunakan buku acuan atau website untuk
identifikasi. Untuk memudahkan,cari dulu nama lokal dari
spesies yang akan diidentifikasi, dan berdasarkan nama lokal
tersebut maka identifikasi untuk nama latin dilakukan.
12. Lakukan langkah 2 sampai dengan 11 untuk bentuk hidup
semak, lalu dilanjutkan dengan anakan pohon.
13. Data disimpan dengan menggunakan perangkat lunak
Excel. Buat dua buah data, yang pertama memiliki extention
xlsx (Tabel 1) dan yang kedua csv. Pada Tabel 1, Kolum kode
merupakan kolum untuk menunjukkan kode dari ukuran plot.
Misalkan kode adalah 1, maka plot yang digunakan memiliki
lebar 0.5 m dan panjang 0.5 m. Kolum Sp Baru menunjukkan
jumlah spesies baru yang ditemukan pada plot yang sedang
diamati.

Tabel. 1. Model data untuk kurva spesies area


Kode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Lebar
0.5
0.5
1
1
2
2
4
4
8
8

Panjang
0.5
1
1
2
2
4
4
8
8
16

Sp Baru
1
1
1
1
1
5
6
3
2
1

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

14. Data dianalis dengan script program R "Kurva Spesies


Area" di bawah ini. Pada bagian Lampiran setiap baris
program harus dijelaskan tujuannya. Hasil utama dari script
ini berupa tabel akumulasi spesies dan ukuran plot (Tabel 2)
dan Gambar kurva spesies area (Gambar 2).
15. Pada bagian Tinjauan Pustaka di dalam Laporan Praktikum,
bahas tentang Kurva spesies area, dan berikan contoh-contoh
tentang penelitian atau kegiatan yang menggunakan kurva
species area.

1. #--- Kurva spesies area ----------------------------2. #---------------------------------------------------3. #--- Programmer: Muhammad Wiharto Caronge ----------4. #--- Makassar 4 Oktober 2013 ---------------------5. rm(list=ls(all=TRUE))
6. #--- Ambil data --------------------------------------7. #--- Penentuan lokasi direktori ----------------------8. setwd('D:/Buku
Pelajaran/Ecology/Pengantar
Ekologi
Tumbuhan/Ektum Praktikum Buku')
9. dataku<-read.table("kurva
sep = ",", dec = ".")

spesies.csv",header

TRUE,

10. dataku
11. #--Mengatur
----------------

angka

di

belakang

12. options(digits=3)
13. #--------------------------------------14. #-- Fungsi menghitung luas plot -------15. #-- dalam meter persegi ----------------

koma

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

16. luas.mt <-function(x,y)


17. {ls.m <-x * y
18. return(ls.m)
19. }
20. #--------------------------------------21. Luas.m <- luas.mt(dataku$Panjang,dataku$Lebar)
22. Luas.m
23. #--------------------------------------24. #-- Fungsi menghitung luas plot
25. #-- dalam hektar ----------------------26. luas.ha <-function(x)
27. {ls.ha <-x /10000
28. return(ls.ha)
29. }
30. #-------------------------------------31. Luas.ha <- luas.ha(Luas.m)
32. Luas.ha
33. #-------------------------------------34. #--- Menghitung Akumulasi Spesies ----35. akumulasi <-cumsum(dataku$Sp.Baru)
36. akumulasi
37. #-------------------------------------38. #--- Menghitung persentase pertambahan39. #--- Spesies -------------------------40. persen <-function(x,y)

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

41. {(x/y)*100}
42. persentase <-persen(dataku$Sp.Baru[-1],akumulasi)
43. persentase
44. #-------------------------------------45. #-- Menggabungkan data ---------------46. dataku
<data.frame(dataku,Luas.m,Luas.ha,akumulasi,persentase)
47. dataku
48. #-----------------------------------------49. #--- Menyimpan data di EXCEL -------------50. write.table(dataku, file = "kurva.sp1.csv", append =
FALSE, sep = ",",dec = ".", row.names = FALSE,
col.names = TRUE)
51. #--- membuat grafik------------------------52. #------------------------------------------53. plot(dataku$Kode,dataku$akumulasi,type='n',ylim=c(1,25
),pch=16,col=3, cex=1.5, ylab = 'Akumulasi Spesies',
xlab='Ukuran Plot')
54. #----- membuat grid -----------------------55. grid(lty = 1, lwd = 1)
56. lines(dataku$Kode,dataku$akumulasi,col='red')
57. points(dataku$Kode,dataku$akumulasi,col='blue')
58. #--- Membuat sumbu x perhatikan berapa banyak
59. #--- plot yang dibuat ----------------------60. axis(1,
at=1:10,
lab=c("1","2","3","4","5","6","7","8","9","10"))
61. #------------------------------------------62. #---- species accumulation curve -----------

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Tabel 2. Ukuran plot pengamatan berdasarkan akumulasi spesies


Kode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Lebar
0.5
0.5
1
1
2
2
4
4
8
8

Panjang
0.5
1
1
2
2
4
4
8
8
16

Sp.Baru
1
1
1
1
1
5
6
3
2
1

Luas.m
0.25
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128

Luas.ha
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.001
0.002
0.003
0.006
0.013

akumulasi
1
2
3
4
5
10
16
19
21
22

persentase
100.00
50.00
33.33
25.00
100.00
60.00
18.75
10.53
4.76
4.55

Gambar 2. Kurva spesies area.


Daftar Pustaka:
Species-area curves - scaling_2.pdf
ReleveData_Methods.pdf
baca: sf404577.pdf Forest Canopy Cover
Brown, 1995;
Coleman et al., 1982 Species-area curves - scaling_2.pdf
Gaston, 1996 Species-area curves - scaling_2.pdf
Palmer and White, 1994; Species-area curves - scaling_2.pdf
Rosenzweig, 1995; Species-area curves - scaling_2.pdf

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

10

Jika sudah dapat ditentukan luas petak minimum, maka


juga harus dapat ditentukan jumlah petak contoh keseluruhan.
Hitungan sederhananya, tergantung kita menginginkan berapa
luas total sampling yang kita inginkan. Sebagai contoh luas
kawasan yang akan kita eksplorasi adalah 10 ha, ukuran petak
contoh yang ditentukan 12m x 12m dan kita menginginkan
intensitas sampling (IS) 5% (artinya, kita hanya akan mengukur
1% dari luas total 10 ha). Maka jumlah petak contoh yang harus
kita gunakan adalah :
Dik : N = 10 ha
IS = 5% = 5% x 10ha = 0.5 ha
LPC = 12m x12m = 0.0144 ha
Ditanya : Jumlah petak contoh (n) ?
Jawab :
n = 0.5 ha / 0.0144 ha
n = 34.72
n = 35 petak
Hitungan di atas adalah perhitungan sederhana tanpa
mempertimbangkan tingkat ketelitian dan tingkat eror pada
pengambilan sampling.
Cara peletakan petak contoh ada dua, yaitu cara acak
(random sampling) dan cara sistematik (systematic sampling),
random samping hanya mungkin digunakan jika vegetasi
homogen, misalnya hutan tanaman atau padang rumput
(artinya, kita bebas menempatkan petak contoh dimana saja,
karena peluang menemukan jenis bebeda tiap petak contoh
relatif kecil). Sedangkan untuk penelitian dianjurkan untuk
menggunakan sistematik sampling, karena lebih mudah dalam
pelaksanaannya dan data yang dihasilkan dapat bersifat
representative. Bahkan dalam keadaan tertentu, dapat
digunakan purposive sampling.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

11

II. SPEKTRUM BENTUK HIDUP


Spektrum Bentuk Hidup
Dapat dikatakan hampir tidak ada komunitas tumbuhtumbuhan yang terdiri atas spesies yang hanya memiliki satu
bentuk hidup saja, dan secara umum suatu komunitas tumbuhtumbuhan yang ada di bawah suatu perangkat kondisi ikilim
biasanya dicirikan oleh agihan kekerapan tertentu tipe bentuk
hidup diantara anggota-anggotanya. Agihan tersebut dinamakan
spektrum bentuk hidup, dan dengan membandingkan spektrum
bentuk hidup dari dua komunitas tumbuh-tumbuhan maka dapat
diperoleh sifat alami dari faktor iklim yang utama yang
mengendalikan komposisi spesies komunitas tumbuh-tumbuhan.
Spektrum bentuk hidup dapat dibuat data berbagai tipe
komposisi spesies komunitas tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan
kajian mengenai spekrum bentuk hidup hanya sekedar
berdasarkan atas daftar spesies (flora) penyusun tegakan yang
berbeda atau area georafi yang berbeda. Dalam kondisi ini,
persentase spesies yang termasuk ke dalam setiap kelas bentuk
hidup akan membentuk spektrum (Hardjosuwarno, 1988).
Raunkiaer telah mengembangkan spektrum bentuk hidup
normal untuk flora di dunia. Spektrum bentuk hidup ini di
dasarkan pada 1000 spesies tumbuh-tumbuhan yang dipilih
secara acak dan digunakan sebagai pembanding.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

12

Gambar 1. Tipe bentuk hidup Raunkiaer. Sumber: Bloch-Petersen


et al., (2006).
Tabel

P
16

. Persentase spesies dalam berbagai kelas untuk


spektrum bentuk hidup normal menurut Raunkiaer.
Ch
9

H
26

Cr
6

Th
13

(lihat halaman 84 Whittaker)


Sistem klasifikasi bentuk hidup Raunkiaer adalah sebagai berikut:
1. Phanerofit (P), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan dengan
kuncup rehat minimal 25 cm dari permukaan tanah. Termasuk
ke dalam kelompok tumbuh-tumbuhan ini adalah: semua
tumbuhan berkayu baik pohon, perdu, semak yang tinggi,
liana (tumbuhan berkayu merambat), epifit (tumbuhan yang
hidup pada tumbuhan lain (inang) tanpa menghisap makanan
dari inangnya), dan sukulen (Tumbuhan berbatang lunak
karena mengandung air dan batang tebal. Tumbuhan ini tahan
hidup dalam iklim kering yang tidak menguntungkan dengan
menggunakan air yang tersimpan dalam jaringannya yang
berasal dari air hujan musim sebelumnya). Kelompok
tumbuhan ini menguasai daerah tropis.
2. Kamaefit (Ch), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan dengan
kuncup rehat maksimal 25 cm di atas permukaan tanah. Pada
kelompok tumbuhan ini termasuk herba, suffurencen
(tumbuhan perdu rendah, kecil, bagian pangkal berkayu
dengan tunas yang memiliki batang basah), tumbuhan
berkayu rendah, stoloniferus, tumbuhan batang sukulen
rendah, dan tumbuhan bentuk bantalan. Banyak dari
tumbuhan ini dalam bentuk semak dan tumbuhnya dekat

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

13

dengan tanah. kebanyakan hidup didaerah beriklim dingin,


meskipun ada yang hidup di daerah beriklim tropis.
3. Hemikriptofit (H), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan herba
perenial yang memiliki kuncup rehat pada permukaan tanah
atau setengah tersebunyi di bawah permukaan tanah.
Termasuk ke dalam kelompok tumbuh-tumbuhan ini adalah:
tumbuhan herba annual berdaun lebar, rumput-rumputan, dan
roset. kelompok tumbuhan ini adalah tumbuhan yang pada
musim dingin atau pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan, maka kincup rehatnya akan bertahan di
dekat permukaan tanah. Kebanyakan dari kelompok
tumbuhan ini hidup di daerah beriklim sedang.
4. Kriptofit (Cr), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan
dengan
kuncup rehat terkubur di dalam tanah atau di dalam air.
Dengan kemampuannya ini, maka kelompok tanaman ini
dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang
ekstrim. Kuncup rehat yang terkubur di dalam tanah akan
berfungsi sebagai penyimpan bahan makanan. Kelompok ini
dibagi lagi sebagai berikut:
a.
Geofit (G), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan dengan
terkubur di dalam tanah, misalnya tumbuhan dengan umbi lapis,
akar rimpang, dan subang.
b.
Helofit (Hl) yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan yang hidup di
daerah paya dan kuncup rehatnya terdapat pada tempat jenuh
air.
c.
Hidrofit (Hd) yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan dengan
kuncup rehat di bawah permukaan air.
5. Therofit (T), yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan yang
berkecambah, berbuah, dan menghasilkan biji dalam daur
lengkap yang singkat. Dalam keadaan lingkungan yang
ekstrim, kuncup-kuncup akan terlindung. Setelah masa yang
tidak menguntungkan tiba mereka hidup dalam bentuk biji
yang melakukan dormansi. Tumbuhan ini tersebar di seluruh
dunia termasuk di daerah gurun yang panas dan kering, tetapi
sangat jarang ditemukan di dalam hutan.
Penjelasan selanjutnya tentang vegetasi pada setiap
tegakan adalah dengan menggunakan skala Braun-Blanquet.
Skala ini merupakan skala mutlak yang dikaitkan dengan cara
tertentu. Cara ini banyak digunakan untuk kegiatan penelitian
dan cocok digunakan untuk komunitas tumbuhan tinggi dan

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

14

tumbuhan rendah. Nilai skala Braun-Blanquet dapat di lihat pada


tabel berikut:

Tabel 1. Skala Braun - Blanquet


Kelas
Kisaran Penutupan
Rata-Rata
Penutupan
Tajuk (%)
Tajuk
5
75 100
87,5
4
50 75
62,5
3
25 50
37,5
2
5 25
15,0
1
15
2,5
+
<1
0,1
R
<< 1
*
* Individu muncul hanya sekali, penutupan diabaikan.
Sumber: Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974)
Prosedur Kerja Spektrum Bentuk Hidup
Langkah-langkah di dalam penelitian spektrum bentuk
hidup adalah sebagai berikut:
1. Pilihlah paling sedikit 2 tegakan yang memiliki perbedaan
lingkungan yang jelas (misalnya tegakan dengan lingkungan
yang terdedah terhadap sinar matahari, ternaung, tanah
kering, tanah lembab, dan seterusnya).
2. Buatlah plot dengan ukuran tertentu. Dalam hal ini ukuran
plot disesuaikan dengan strata tumbuhan dalam tegakan yang
akan dikaji. Kalau pada tegakan tersebut terdapat banyak
pohon dan bersifat dominan terhadap strata lainnya maka
ukuran plot dapat 20 x 20m (dapat lebih besar lagi atau
minimal 10 x 10m.
3. Catat semua jenis tumbuhan yang terdapat di dalamplot.
Taksirlah luas penutupan (cover) tiap spesies tumbuhan yang
ditemukan. Penaksiran dilakukan dengan mengacu pada
besaran Braun-Blanquet.
4. Tentukan ke dalam tipe bentuk hidup mana masing-masing sp
tumbuhan dimasukkan. Beri kode (singkatan bentuk hidup).
5. Lakukan pengulangan secukupnya. Selanjutnya lakukan
langkah-langkah seperti pada point 3 di atas untuk setiap
pengulangan.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

15

6. Hitunglah total rata-rata derajat penutupan besaran BraunBlanquet setiap bentuk hidup untuk setiap plot. Selanjutnya
tentukan rerata derajat penutupan tajuk setiap bentuk hidup
terhadap luas plot pengamatan.
7. Jumlahkan rata-rata derajat penutupan semua spesies
tumbuhan yang tergolong ke dalam tipe bentuk hidup yang
sama. Hasil yang diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah
ulangan yang dilakukan pada setiap tegakan.
8. Langkah berikutnya adalah menghitung persentase masingmasing bentuk tidup dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah rerata masing-masing tipe bentuk hidup


P b h = --------------------------------------------------------------- x 100
%
Jumlah rerata keseluruhan tipe bentuk hidup
Keterangan: Pbh = Persentase bentukhidup.
9. Bandingkan dengan spektrum bentuk hidup normal Raunkiaer.
10. Buatlah diagram spektrum bentuk hidup normal Raunkiaer
dan spektrum bentuk hidup normal yang diperoleh.
Langkah-langkah pada pengolahan data dapa dilihat pada
contoh berikut. Misalkan pada suatu pengamatan yang dilakukan
pada tegakan daerah ternaung dengan ukuran plot 5 x 5 m dan
ulangan sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh kemudian di
tabulasi sebagaimana yang nampak pada tabel-tabel yang
terdapat pada langkah 1.
Langkah 1. Hasil pengamatan pada tegakan daerah ternaung di
tabulasi pada tabel-tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan pada Tegakan Daerah Ternaung
Plot1
Nama
No Spesies
1
A
2
B
3
C
4
D
5
E

Kelas
Besaran
Braun Blanquet
5
5
4
3
2

Kisaran
Penutupan
Tajuk
75-100
75-100
50-75
25-50
5-25

Rata-rata
derajat
penutupan
87.5
87.5
62.5
37.5
15

Bentuk hidup
spesies
P
P
P
G/Cr
H

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

6
7
8
9
Plot

F
G
H
I
2

Nama
No Spesies
1
A
2
B
3
D
4
F
5
H
6
J
7
K
8
L
Plot3
Nama
No Spesies
1
B
2
C
3
D
4
E
5
I
6
L
7
M
8
N
9
O

16

1
1
+
R

1- 5
15
<1
<< 1

2.5
2.5
0.1
-

H
G/Cr
G/Cr
Th

Kelas
Besaran
Braun Blanquet
3
3
3
1
1
1
1
+

Kisaran
Penutupan
Tajuk
25-50
25-50
25-50
1- 5
1- 5
1- 5
1- 5
<1

Rata-rata
derajat
penutupan
37.5
37.5
37.5
2.5
2.5
2.5
2.5
0.1

Bentuk hidup
spesies
P
P
G/Cr
H
G/Cr
G/Cr
G/Cr
G/Cr

Kelas
Besaran
Braun Blanquet
4
4
3
1
1
r
1
r
1

Kisaran
Penutupan
Tajuk
50 -75
50 -75
25 -50
15
15
<< 1
15
<< 1
15

Rata-rata
derajat
penutupan
62.5
62.5
37.5
2.5
2.5
2.5
2.5

Bentuk hidup
spesies
P
P
G/Cr
H
Th
G/Cr
Th
Th
Th

Langkah 2 adalah dengan menghitung total rata-rata derajat


penutupan setiap bentuk hidup pada setiap plot.
Tabel 3.Total rata-rata derajat penutupan setiap bentuk hidup
plot 1
P l o t 1. Bentuk hidup Phanerofit (P)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
A
5
75-100
2
B
5
75-100
3
C
4
50-75
Jumlah

Rata-rata
derajat
penutupan
87.5
87.5
62.5
237.5

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

P l o t 1. Bentuk hidup Kamaefit (Ch)


Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
Jumlah:
P l o t 1. Bentuk hidup Hemikriptofit (H)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
E
2
5-25
2
F
1
1- 5
Jumlah:
P l o t 1. Bentuk hidup Geofit/Cryptofit (G/Cr)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
D
3
25-50
2
G
1
15
3
H
+
<1
Jumlah:
P l o t 1. Bentuk hidup Therofit (Th)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
I
R
<< 1
Jumlah:

17

Rata-rata
derajat
penutupan
0
Rata-rata
derajat
penutupan
15
2.5
17.5
Rata-rata
derajat
penutupan
37.5
2.5
0.1
40.1
Rata-rata
derajat
penutupan
0

Tabel 4.Total rata-rata derajat penutupan setiap bentuk hidup


plot 2
P l o t 2. Bentuk hidup Phanerofit (P)
Kelas Besaran
Rata-rata
Nama
Braun Kisaran
derajat
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
penutupan
1
A
3
25-50
37.5
2
B
3
25-50
37.5
Jumlah:
75 .0
P l o t 2. Bentuk hidup Kamaefit (Ch)
Kelas Besaran
Rata-rata
Nama
Braun Kisaran
derajat
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
penutupan
1
Jumlah:
0
P l o t 2. Bentuk hidup Hemikriptofit (H)
No
Nama
Kelas Besaran
Kisaran
Rata-rata

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

1
Plo
No
1
2
3
4
5
Plo
No
1

Spesies
F

Braun Blanquet
1

Penutupan Tajuk
1- 5
Jumlah:
t 2. Bentuk hidup Geofit/Cryptofit (G/Cr)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
D
3
25-50
H
1
1- 5
J
1
1- 5
K
1
1- 5
L
+
<1
Jumlah:
t 2. Bentuk hidup Therofit (Th)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
Jumlah:

Tabel 5.Total rata-rata derajat penutupan setiap


plot 3
P l o t 3. Bentuk hidup Phanerofit (P)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
B
4
50 -75
2
C
4
50 -75
Jumlah:
P l o t 3. Bentuk hidup Kamaefit (Ch)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
Jumlah:
P l o t 3. Bentuk hidup Hemikriptofit (H)
Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
E
1
15
Jumlah:
P l o t 3. Bentuk hidup Geofit/Cryptofit (G/Cr)
No
Nama
Kelas Besaran
Kisaran
Spesies
Braun Penutupan Tajuk

18

derajat
penutupan
2.5
2.5
Rata-rata
derajat
penutupan
37.5
2.5
2.5
2.5
0.1
45.1
Rata-rata
derajat
penutupan
0
bentuk hidup

Rata-rata
derajat
penutupan
62.5
62.5
125.0
Rata-rata
derajat
penutupan
0
Rata-rata
derajat
penutupan
2.5
2.5
Rata-rata
derajat

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

D
L

Blanquet
3
R

25-50
<< 1
Jumlah:

P l o t 3. Bentuk hidup Therofit (Th)


Kelas Besaran
Nama
Braun Kisaran
No Spesies
Blanquet
Penutupan Tajuk
1
I
1
15
M
1
15
N
R
<< 1
O
1
15
Jumlah:

19

penutupan
37.5
0
37.5
Rata-rata
derajat
penutupan
2.5
2.5
0
2.5
7.5

Langkah 3 adalah menentukan rata-rata luas penutupan tiap


bentuk hidup pada tegakan yang diamati (pada kasus ini tegakan
ternaung). Hal ini dilakukan dengan menjumlahkan rata-rata
derajat penutupan semua spesies tumbuhan yang tergolong ke
dalam tipe bentuk hidup yang sama. Hasil yang diperoleh
kemudian dibagi dengan jumlah ulangan yang dilakukan pada
setiap tegakan.
Tabel

6. Perhitungan rata-rata penutupan tajuk berbagai bentuk


hidup pada tegakan ternaung

Bentuk Hidup

Plot (Ulangan)

Phanerofit (P)

1
2
3
Jumlah :
437.5 : 3 =
Plot (Ulangan)

Rata rata :
Bentuk Hidup
Kamaefif (Ch)

Rata rata :
Bentuk Hidup
Hemikriptofif
(H)

Total
penutupan.
237.5
75 .0
125.0
437.5
145.83
Total
penutupan.
0
0
0
0
0
Total
penutupan.
17.7

2.5

1
2
3
Jumlah :
Plot (Ulangan)

rerata

rerata

rerata

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Rata rata :
Bentuk Hidup
Geofit/Kriptofi
t (G/Cr)

Rata rata :
Bentuk Hidup
Therofit

Rata rata :

3
Jumlah :
22.7 : 3 =
Plot (Ulangan)
1
2
3
Jumlah :
87.7 : 3 =
Plot (Ulangan)
1
2
3
Jumlah :
7.5 : 3 =

20

2.5
22.7
7.57
Total
penutupan.
40.1
10.1 45.1
37.5
87.7
29.23
Total
penutupan.
0
0
7.5
7.5
2.5

rerata

rerata

Tabel 7: Rata-rata penutupan tajuk berbagai bentuk hidup


pada Tegakan Ternaung
Phanerofit (P)
Kamaefit (Ch)
Hemikriptofit (H)
Geofit (G)
Therofit (Th)
Jumlah:
Tabel

=
=
=
=
=

145.83
0
7.57
29.23 40.9
2.5
185.13

8: Persentase penutupan tajuk berbagai bentuk hidup


pada Tegakan Ternaung

Phanerofit (P)
Kamaefit (Ch)
Hemikriptofit (H)
Geofit (G)
Therofit (Th)

=
=
=
=
=

78.77
0
4.19
15.79
1.35

Cara untuk memperoleh nilaipada tabeldi atas adalah sebagai


berikut:
Phanerofit : 145.83/ 185.13 x 100 % = 78.77.
Hal yang sama dilakukan untuk bentuk-bentuk hidup lainnya.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

80

21

78.78

70
60
50

Persentase Penutupan Tajuk

40

30
Penutupan Raunkiaer
20

26
Penutupan tegakan ternaung
15.81

16
9

10
0
P

0
Ch

4.06
H

13

1.35
Cr

Th

Bentuk Hidup

Gambar

1. Persentase penutupan spektrum bentuk hidup


tegakan daerah ternaung dan spektrum bentuk hidup
normal Raunkiaer.

#----------------------------------------------------------#----------------------------------------------------------#
SPEKTRUM LIFE FORM
#----------------------------------------------------------#-- Programmer: Muhammad Wiharto Caronge -----------------#-- Makassar 19 Oktober 2014
----------------------------#----------------------------------------------------------1. rm(list=ls(all=TRUE))
2. setwd('D:/R Data')
3. dataku<-read.table("spektrumBHR.csv",header
sep = ",", dec = ".")

TRUE,

#-- Tampilkan Data ----------------------------------------dataku


#-- Cek struktur data -------------------------------------str(dataku)
#-- Cek jenis-jenis spesies yang ada ---------------------unique(dataku$Spesies)
#-- Cek Jenis-Jenis bentuk hidup --------------------------unique(dataku$Bentuk.hidup)
#----------------------------------------------------------#--- Menentukan rata-rata penutupan setiap bentuk hidup
#--- spesies -----1. data1
<aggregate(dataku$Rata.rata.derajat.penutupan,list(LFor
m= dataku$Bentuk.hidup, Spesies=dataku$Spesies,Plot =
dataku$Plot), mean)
data1
#----------------------------------------------------------#--- Menentukan jumlah rata-rata penutupan tajuk setiap
#-- spesies ------------------------------------

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

22

#--- Pada setiap plot -------------------------------------1. data2 <- aggregate(data1$x,list(LForm= data1$LForm,


Plot = data1$Plot), sum)
2. data2
#----------------------------------------------------------#--- Menentukan total rata-rata penutupan tajuk setiap ----#--- bentuk hidup -----------------------------------------data3 <- aggregate(data2$x,list(LForm= data2$LForm), sum)
data3
#----------------------------------------------------------data4 <-sum(data3$x)/3
data4<-(data3$x)/3
sum(data4)
rata.rata<-data4
data3<-data.frame(data3,rata.rata)
data3
LForm<-c('Ch')
x <- 0
rata.rata <- 0
data5 <-data.frame(LForm, x, rata.rata)
data5
data3 <-rbind(data3,data5)
data3
jumrata<-sum(data3$rata.rata)
jumrata
#----------------------------------------------------------#--- Fungsi untuk menentukan Life.Form.Pengamatan penutupan
#--- tajuk ---#--- Menghitung Life.Form.Pengamatan PPT <- function(a,b)
{(a/b)*100}
penutupan tajuk
Life.Form.Pengamatan <-PPT(data3$rata.rata,jumrata)
#--- Menetapkan tiga angka dibelakang koma ----------------options(digits=3)
#----------------------------------------------------------data3 <-data.frame(data3,Life.Form.Pengamatan)
data3
#-- Membuat vektor nilai penyebaran penutupan bentuk hidup
#-- Raunkiaer ---Raunkiaer <-c(9,26,16,13,9)
data3<-data.frame(data3,Raunkiaer)
data3
data <-as.matrix(data3)
#----------------------------------------------------------#--- (1) Memotong data untuk membuat grafik barplot -------#----------------------------------------------------------data <-data3[,c(4,5)]
row.names(data)<-c('G/Cr','H','P','Th','Ch')
data.grafik <-as.matrix(data)
str(data.grafik)
class(data.grafik)

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

23

70
20

30

40

50

60

Life.Form.Pengamatan
Raunkiaer

10

P e rs e n ta s e P e n u tu p a n L ife F o rm

data.grafik
#--- (2) Tranformasi data ---------------------------------#--- baris jadi kolum, kolum jadi baris -------------------data.grafik <-t(data.grafik)
data.grafik
#----------------------------------------------#-- (3) Grafik Bar Plot -----------------------#----------------------------------------------barplot(data.grafik,
col
=
heat.colors(length(rownames(data.grafik))), beside = TRUE,
width
=
2,
xlab='Bentuk
Hidup
(Life
Form)',
ylab='Persentase Penutupan Life Form')
legend(16.5,73.5,
fill
=
heat.colors(length(rownames(data.grafik))),
legend
=
rownames(data.grafik))
#----------------------------------------------

G/Cr

Th

Ch

Bentuk Hidup (Life Form)

Daftar Pustaka.
Bloch-Petersen, M., J. Brandt., & M.Olsen. 2006. Integration of
European habitat monitoring based on plant life form
composition as an indicator of environmental change and
change in biodiversity. Danish Journal of Geography
106(2): 61-74
Distribusi frekuensi Raunkiaer Untuk dibuat.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

24

PARAMETER KUANTITATIF VEGETASI


Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik
yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar dan
lain-lain. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh
komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang
tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan
pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami
perubahan drastik karena pengaruh anthropogenik (Setiadi, 1984; Sundarapandian
dan Swamy, 2000).
Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas
dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen
tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi.
Komponen
tumbuh-tumbuhan
penyusun
suatu
vegetasi
umumnya terdiri dari bentuk tumbuh (growth form) berikut:
1. Belukar (Shrub) : Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup
besar, dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak
subtangkai.
2.
Epifit (Epiphyte) : Tumbuhan yang hidup dipermukaan
tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin
hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
3. Paku-pakuan (Fern) : Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai,
biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana
pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu,
lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun
pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya
terbagi dalam banyak anak daun.
5. Pemanjat (Climber) : Tumbuhan seperti kayu atau berumput
yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat
untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak
menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus,
biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak
lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut yang kadangkadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan
memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran
diameter lebih dari 20 cm. Untuk tingkat pohon dapat dibagi
lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai
anakan kurang dari 1.5 m.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

25

b. Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m


sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai
kurang dari 20 cm. (Cek lagi definisi ini).
Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara
langsung adalah :
Nama jenis (lokal atau botanis)
Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan
Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan
vegetasi terhadap lahan
Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan
berguna untuk menghitung volume pohon.
Tinggi pohon, baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas
cabang (TBC), penting untuk mengetahui stratifikasi dan
bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran
volume pohon.
Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk
mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Di
bawah ini adalah beberapa rumus yang penting diperhatikan
dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu :
KERAPATAN (DENSITAS) DAN KELIMPAHAN
A. Kerapatan (Densitas)
Kerapatan adalah jumlah individu suatu spesies per unit
area. Misalnya 100 pohon kayu hitam (Diospyros celebica) di
cagar alam Karaenta, atau 300 tumbuhan semak Ageratum
conyzoides per ha di sebuah lembah. Nilai kerapatan diperoleh
dengan
hanya
menghitung
jumlah
tumbuh-tumbuhan.
Perhitungan kerapatan dilakukan pada kuadrat yang diletakkan
beberapa kali di dalam vegetasi. Menurut Barbour et.al., (1987)
dalam melakukan penelitian vegetasi, tidak perlu menghitung
seluruh tumbuhan yang ada pada wilayah penelitian, tetapi
cukup menghitung tumbuh-tumbuhan minimal pada areal seluas
1% dari wilayah penelitian. Misalnya, luas suatu areal penelitian
adalah 2400 m2, maka telah dianggap mewakili vegetasi yang
ada jika disampel minimal areal seluas 24 m2.
Tumbuh-tumbuhan yang dihitung untuk memperoleh nilai
kerapatan adalah tumbuh-tumbuhan yang berakar di dalam
kuadrat. Kuadrat adalah areal yang memiliki bentuk sembarang
yang dapat memberi batas pada vegetasi sehingga dapat
diperoleh nilai kerapatan, dominansi, frekuensi, dan berbagai
parameter-perameter vegatsi lainnya. Bentuk kuadrat yang lazim

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

26

adalah persegi empat, persegi panjang, dan bundar, sedangkan


yang paling sering digunakan di lapangan adalah persegi empat.
Misalnya pada areal penelitian seluas 2400 m 2
hendak
2
diletakkan kuadrat ukuran 2 m maka minimal kuadrat yang
harus diletakkan adalah sebanyak 12 buah.
Perhitungan jumlah individu tumbuhan-tumbuhan kadang
sulit dilaksanakan. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang
memiliki bentuk hidup pohon yang dapat dengan mudah
ditentukan apakah tumbuhan tersebut satu individu atau lebih,
maka khususnya pada tumbuh-tumbuhan yang memiliki bentuk
hidup herba atau semak hal tersebut agak sulit.
Pudjoarianto et al., (1979) mengatakan bahwa, untuk
mengatasi permasalahan perhitungan kerapatan pohon maka
dibuat beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Suatu individu yang berada pada batas kuadrat dihitung
sebagai satu individu, jika lebih dari separuh bagian
tumbuhan berada di dalam kuadrat.
2. Untuk tumbuhan berumpun, tiap satu rumpun dihitung
sebagai satu individu, misalnya tumbuhan Cynodon dactylon
Pers.
3. Untuk tumbuhan yang membentuk rumpun, bila tiap bagian
mempunyai perakaran sendiri maka masing-masing bagian itu
dihitung sebagai satu individu, misalnya tumbuhan Cyperus
rotundus L.
4. Untuk tumbuhan yang jelas berdiri sendiri dihitung sebagai
satu individu, misalnya tumbuhan Physalis minima L.
B. Kelimpahan (Abundance)
Istilah kelimpahan sering disamakan dengan kerapatan,
tetapi sesungguhnya merupakan hal yang berbeda. Kelimpahan
merujuk pada pengertian kualitatif. Penggunaan kelimpahan
biasanya digunakan untuk menaksir kerapatan secara kasar,
yang umum dilakukan untuk kajian-kajian pendahuluan dengan
tujuan dapat diperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya
dalam waktu singkat. Kelimpahan tumbuhan pada suatu tegakan
dapat dibagi menjadi beberapa kelas menurut Daubenmire
(1968), yaitu: (1) sangat jarang; (2) jarang; (3) kadang-kadang;
(4) melimpah; (5) sangat melimpah. Penentuan kelas-kelas
kelimpahan dengan demikian bersifat subjektif sehingga sangat
tergantung pada pengamat.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

27

C. DOMINANSI
Dominansi dalam pengertian ekologi vegetasi dapat
merujuk pada : (1) penutupan tajuk (cover); (2) basal area (luas
penampang melingtang batang); (3) produktivitas; dan (4)
biomassa. Spesies tumbuhan yang dominan dapat menunjukkan
bahwa spesies tumbuhan tersebut menempati areal yang paling
luas pada suatu wilayah. Hal ini ditunjukkan oleh penutupan
tajuk atau luas basal area. Juga dapat menunjukkan produktivitas
tertinggi. Ide dari spesies tumbuhan dominan ini adalah bahwa,
spesies tumbuh-tumbuhan itu menguasai sumberdaya paling
banyak pada suatu wilayah.
Pada kondisi tegakan tertentu, istilah tumbuhan dominan
dapat tidak merujuk pada ketiga hal di atas, tetapi pada
kerapatan. Hal ini dapat terjadi pada tegakan semak dimana
pohon-pohon sangat jarang dan luas penutupan tajuknya hanya
10-30% dari luas seluruh wilayah, sedangkan tumbuhan bawah
berupa semak menutupi lebih dari 30% luas wilayah. Pada
keadaan ini, istilah kerapatan yang menunjukkan dominansi jauh
lebih tepat.
1. Penutupan Tajuk.
Penutupan tajuk, adalah persentase proyeksi vertikal dari
tajuk suatu spesies tumbuhan pada suatu areal. Estimate of the
area of influence of the plant. Including potential influence of the roots.
Ignores gaps in the canopy. Vertical projection of the outermost perimeter
of the natural spread of foliage of plants. Does not require determining
number of individuals within a species (usually estimated by species). For
any area, the total canopy cover can exceed 100% because plants can
overlap. Cover is expressed as % of area.
Pengukuran penutupan tajuk biasanya dilakukan pada
tumbuh-tumbuhan bawah seperti tumbuhan herba dan semak,
sedangkan pada tumbuhan pohon pengukuran penutupan tajuk
sangat jarang dipakai tetapi digunakan pengukuran basal area.
Untuk keperluan praktis pada pengukuran tajuk, maka lubanglubang yang mungkin terdapat pada suatu tumbuhan yang
diamati dianggap tidak ada, dan tajuk-tajuk tersebut secara
imajiner dianggap bulat.
Pengukuran lus tajuk untuk vegetasi strata pohon jarang
dilakukan dan biasanya dilakukan hanya pada vegetasi starata
semak dan anakan pohon. Metode pengukuran penutupan tajuk

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

28

dari vegetasi pada strata semak


menggunakan rumus sebagai berikut:
D1 D 2
CC

dan

anakan

pohon

Keterangan : CC = Crown cover (penutupan tajuk); D 1


=
diameter tajuk pada radius pertama; D 2 = diameter tajuk pada
radius kedua, dan = 3,14875
Luas penutupan tajuk vegetasi herba dapat diketahui
dengan menentukan persentase luas penutupan tajuk herba
terhadap alat kuadrat. Hasil pengukuran luas tajuk kemudian
dikonversi ke dalam kelas-kelas penutupan tajuk yang
dikembangkan oleh Braun-Blaunquet dan dan Daubenmire. Kelaskelas penutupan tajuk tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Kisaran Penutupan Tajuk Braun-Blanquet.
Kelas
Kisaran Penutupan Rata-Rata
Penutupan
Tajuk (%)
Tajuk
5
75 100
87,5
4
50 75
62,5
3
25 50
37,5
2
5 25
15,0
1
15
2,5
+
<1
0,1
r
<< 1
*
Keterangan: * Individu muncul hanya sekali, penutupan
diabaikan.
Metode ini biasa digunakan pada kegiatan sampling
komunitas menggunakan plot. Berbagai metode pengukuran luas
tajuk lainnya tanpa menggunakan plot akan dibahas pada bagian
lain dari buku ini.
2. Basal Area
Berbagai kajian ekologi yang dilaksanakan di Amerika
Utara sering menggunakan basal area pohon untuk menaksir
dominansi. Measure only the proportion of the plant that extends into the
soil. Dalam bidang kehutanan basal area digunakan sebagai nilai
dasar
untuk
perhitungan
volume
kayu.
Kajian
yang
menggunakan basal area biasanya dilakukan untuk kajian pohonpohon pada areal hutan.
Basal area adalah area bidang melintang batang dan
nilainya diperoleh melalui diameter batang pohon yang diukur

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

29

pada ketinggian setinggi dada. Tinggi diameter batang setinggi


dada dapat 130 cm maupun 150 cm dari permukaan tanah.
Untuk memperoleh nilai basal ini, maka data pohon yang diukur
adalah data keliling lingkaran batang dari pohon tersebut. Melalui
data ini kemudian dapat diperoleh nilai dari jari-jari pohon yang
diukur dan kemudian dapat disubtitusikan kedalam persamaaan
berikut untuk memperoleh nilai basal area.
b a = ( d)2
Keterangan : ba = basal area = luas penutupan bidang dasar; d
= diameter batang setinggi dada (diukur pada ketinggian 130 cm
dari permukaan tanah); dan = 3.142875.
Berikut ini adalah cara mengukur diameter batang setinggi
dada pada berbagai kemungkinan bentuk pohon. (1) Pengukuran
dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas permukaan tanah).
(2) Untuk pohon yang berbanir lebih dari 130 cm di atas
permukaan tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir. (3)
Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi
dari 130 cm maka pengukuran dilakukan setinggi 130 cm (pohon
dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah
130 cm dari permukaan tanah maka pengukuran dilakukan
terhadap kedua cabangnya (pohon dianggap dua). (4)
Pengukuran diameter pohon yang berada pada permukaan tanah
yang miring dilakukan di sebelah atasnya searah dengan
menurunnya lereng. (5) Apabila setengah atau lebih dari garis
menengah pohon tersebut masuk ke dalam plot, maka
pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun jika
sebaliknya tidak dilakukan. (6) Khusus untuk tumbuhan bambu
yang tumbuh dalam rumpun, baik pada strata pohon maupun
semak, maka setiap 1 rumpun dihitung sebagai 1 tumbuhan.
Basal cover is generally more stable from year to year and less changes
due to climatic fluctuation or utilization by grazing animals. This measure is
usually used from trend comparisons or for calculation of species
composition. Can be difficult to measure for forbs with a single, small
stem.
read cover.pdf
3. Biomassa
Dominansi pun dapat dinyatakan dalam bentuk biomassa.
Biomassa merupakan berat kering material tumbuhan pada
suatu saat per luas area, dan memiliki sinonim dengan istilah
standing crop maupun phytomas. Biomassa suatu jenis
tumbuhan menunjukkan kapasitas dalam pengumpulan bahan

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

30

organik dan dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan


suatu komunitas. Biomassa dinyatakan dalam berat kering
karena tumbuhan memiliki kandungan air yang berbeda.
Pengukuran biomassa tumbuhan herba atau semak
dilakukan pada sebuat plot yang telah ditetapkan sebelumnya.
Seluruh tumbuhan herba atau semak yang berada pada plot
tersebut dipangkas dan kemudian dikeringkan di dalam oven
pada suhu 850C 1050C selama 24 jam atau sampai tumbuhan
mencapai berat konstan. Satuan dari biomassa dinyatakan dalam
bentuk beratk kering oven per luas area (g/m 2 ; kg/m2; t/ha).
Keuntungan dari cara ini adalah dimungkinkannya untuk
membedakan spesies-spesies yang memiliki nilai penutupan
tajuk atau basal area yang sama tetapi berbeda dalam jumlah
jaringan tunas akibat variasi dalam hal ketinggian maupun
kerapatan daun.
Metode ini pun memiliki keterbatasan karena tidak
memasukkan jaringan tumbuhan di bawah permukaan tanah,
kehilangan akibat respirasi, bagian tumbuhan yang gugur atau
hilang akibat aktivitas herbivoti (daun, bunga, buah, ranting,
cabang, kulit) dalam perhitungan biomassa.
Keterbatasan berikutnya dari metode ini adalah bahwa,
pemangkasan mengakibatkan luka yang sangat parah pada
tumbuh-tumbuhan sehingga tumbuh-tumbuhan lebih banyak
yang mati. Selanjutnya pada tumbuhan herba dan semak, jarak
pemangkasan pada permukaan tanah sangat bervariasi karena
keterbatasan peneliti. Hal ini akan berpengaruh pada data yang
diperoleh karena karena banyak dari tumbuhan ini sebagian
besar biomassanya terakumulasi pada bagian dekat permukaan
tanah.
Lebih lanjut adalah menyangkut tekstur tumbuhtumbuahan yang dipangkas. Pada suatu plot dapat saja tersusun
sebagian atas tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar berkayu
dan sebagian lagi adalah tumbuhan succulent. Pada kasus
seperti ini penggunaan penutupan tajuk untuk menyatakan
dominansi akan menghasilkan data yang jauh lebih akurat.
Pengukuran biomassa untuk tumbuhan pohon jika
dilakukan dengan cara menebang seluruh pohon yang ada dalam
sebuah plot adalah tidak efiesien. Untuk itu dapat dilakukan
dengan memangkas beberapa saja pohon di dalam plot. Sebelum
penebangan dilaksanakanakan maka pohon-pohon tersebut
diukur diameter batang pada setinggi dada dan juga dapat

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

31

ketinggiannya.
Pohon-pohon
yang
ditebang
kemudian
dikeringkan di dalam oven sampai mencapai berat konstan.
Selanjutnya dilakukan perhitungan regresi antara basal area
pohon dengan berat kering pohon atau biomassa pohon.
Berikutnya pohon-pohon di dalam plot yang belum ditebang
diukur diameter setinggi dada. Data yang diperoleh kemudian
disubtitusikan ke dalam permaan regresi untuk menduga
biomassa dari pohon-pohon yang tersisa tersebut, yang pada
akhirnya dapat diperoleh dugaan biomassa dari seluruh pohon di
dalam plot pengamatan.
KEKERAPAN (FREKUENSI)
Nilai Kekerapan diperoleh dengan mencatat hadir atau
tidak hadirnya suatu spesies pada sejumlah kuadrat atau plot
pengamatan. Idealnya kekerapan kehadiran suatu spesies
tersebar secara acak pada seluruh plot pengamatan.
Pengamatan kekerapan tidak melibatkan perhitungan jumlah
individu sama sekali. Kekerapan dinyatakan dalam bentuk
pesentase, misalnya sejenis spesies hadir pada 10 dari 15 plot
pengamatan maka kekerapan spesies tersebut adalah 1,67 %.
Nilai kekerapan sangat tergantung pada ukuran kuadrat
yang digunakan. Jika kuadrat yang digunakan sangat besar maka
sebagian besar spesies yang ada akan memiliki kekerapan 100 %
dan jika sebaliknya yaitu kuadrat yang digunakan sangat kecil
maka sebagian besar spesies akan memiliki kekerapan 0 %.
Daubenmire (1968) mengusulkan untuk mengurangi ukuran
kuadrat yang digunakan jika 1 atau 2 spesies memiliki kekerapan
100 %.
Cain dan Castro (1959) mengusulkan berbagai ukuan
kuadrat untuk digunakan dalam pengamatan vegetasi sebagai
berikut:
Tabel 2. Jenis komunitas dan luas kuadrat
Jenis Komunitas
Luas Kuadrat
Lapisan Lumut
0,01 - 0,1 m2
Lapisan Herba
1 - 2 m2
Semak rendah dan herba
4 m2
tinggi
Semak tinggi
16 m2
Pohon
100 m2

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

32

Indeks Nilai Penting


Nilai penting suatu spesies merujuk pada sumbangan
relatif suatu spesies kepada seluruh komunitas. Nilai penting
diperoleh dari jumlah kerapatan relatif, dominansi relatif dan
kekerapan relatif, namun nilai penting juga dapat dihitung jika
salah satu atau hanya dua dari parameter ini ada. Indeks Nilai
Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu
jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting
menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam
komunitas.
Indeks
Nilai
Penting
dihitung
berdasarkan
penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR)
dan Dominansi Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg,
1974; Soerianegara dan Indrawan, 2005). Penentuan indeks nilai
penting dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus yang
dikemukakan oleh Hardjosuwarno (1990) dan Cox (1978) sebagai
berikut:

Densitas Mutlak =

Jumlah individu suatu spesies


-------------------------------------Luas area sample

Densitas mutlak suatu spesies


Densitas Relatif =
--------------------------------------------- x 100 %
Total densitas mutlak seluruh spesies
Dominansi Mutlak =

Jumlah penutupan suatu spesies


---------------------------------------Luas area sample

Dominansi mutlak suatu spesies


Dominansi Relatif =
-------------------------------------------- x 100 %
Total densitas mutlak seluruh spesies
Jumlah sample dimana suatu spesies hadir
Frekuensi Mutlak =
--------------------------------------------------Jumlah seluruh area sampel
Frekuensi Relatif =

Frekuensi mutlak suatu spesies


---------------------------------------------- x 100 %
Total frekuensi mutlak seluruh spesies

Ketentuan yang digunakan dalam penentuan indeks nilai


penting setiap strata adalah, untuk pohon, anakan pohon dan
semak, indeks nilai penting dihitung dari kerapatan relatif,

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

33

frekuensi relatif dan dominansi relatif dengan rumus sebagai


berikut:
Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif +
dominansi relatif
Untuk tumbuhan herba indeks nilai penting dapat dihitung
dari dominansi relatif dan frekuensi relatif, mengingat sulitnya
menghitung individu dari spesies tumbuhan herba, sehingga dan
rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Indeks nilai penting = dominansi relatif + frekuensi relatif
Nilai penting memiliki sifat sebagai berikut:
1. Nilainya dalam satu komunitas berkisar antara 0 sampai 300
2. Nilai maksimum pada suatu tegakan adalah 300 jika pada
tegakan tersebut terdiri atas satu spesies saja.
3. Pada tegakan yang bersifat monodominan maka nilai yang
ada tidak menunjukkan perbedaan kuantitatif secara
langsung.
4. Nilai yang diperoleh memberikan informasi kuantitatif yang
baik jika suatu tegakan terdiri atas banyak spesies.
5. Nilainya merupakan harga relatif
6. Nilai yang diperoleh sangat baik untuk perhitungan Indeks
Similaritas (IS) dan Indeks Disimilaritas (ID).
Daftar Pustaka
Setiadi, D. 1984. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan Bawah dalam Hubungannya
dengan Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di Daerah Hutan Jati Cikampek,
KPH Purwakarta, Jawa Barat. Bogor: Bagian Ekologi, Departemen Botani,
Fakultas Pertanian IPB.

Secara teori Burkholder dalam Barbour et. al., (1987) telah menyusun berbagai
kemungkinan interaksi diantara dua spesies tumbuh- tumbuhan. Berbagai
kemungkinan interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Dengan menggunakan
perhitungan matematika maka akan diperoleh 81 kemungkinan interaksi, tetapi
menurut Burkholder hanya 10 dari interaksi tersebut yang secara logika dapat
diterima.
Tabel 3. Tipe-tipe Interaksi Antara Dua Spesies Tumbuh-Tumbuhan Menurut
Burkholder.
Jenis Interaksi
Netralisme
Kompetisi

ON
A
0
-

OFF
B
0
-

A
0
0

B
0
0

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Mutualisme
Tanpa Nama
Protokoperasi
Komensalisme
Tanpa Nama
Amensalisme
Parasit, Predasi, Herbivori

+
+
+
+
+
0 atau +
+

+
+
+
0
0
-

34

0
0
0
0
-

0
0
0
0
0

Jika kedua spesies tumbuh-tumbuahan cukup dekat sehingga dapat saling


berinteraksi maka dilambangkan dengan ON sedangkan jika sebaliknya
dilambangkan dengan OFF. Jika ada rangsangan dilambangkan dengan +,
sedangkan jika tidak ada rangsangan maka dilambangkan dengan 0, dan jika
menghambat dilambangkan dengan -.
Salah satu cara untuk menentukan adanya interaksi antara dua spesies
tumbuh-tumbuhan di lapangan adalah dengan menggunakan tabel contigency 2 x
2. Hardjosuwarno (1993) mengatakan bahwa, kejadian interaksi yang
sesungguhnya di lapangan hanya dapat ditunjukkan dengan percobaan, sedangkan
kalau hanya sampling di lapangan maka hasil yang diperoleh hanya berupa tanda
atau bukti awal adanya interaksi.
Sampling yang dilakukan di lapangan berdasarkan asumsi bahwa, interaksi
positif akan menghasilkan hubungan ruang positif di antara spesies yang
berinteraksi: jika pasangan interaksi pertama ditemukan di lokasi sampling maka
besar kemungkinan akan ditemukan pasangan interaksi kedua di sekitarnya.
Interaksi negatif menghasilkan hubungan ruang yang negatif: Jika pasangan
interaksi pertama ditemukan di lokasi sampling maka besar kemungkinan tidak
akan ditemukan pasangan interaksi kedua di sekitarnya. Jika tidak ada interaksi
maka kemudian lokasi pasangan interaksi pertama tidak berpengaruh terhadap
lokasi pasangan interaksi kedua.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tentukan secara acak sejumlah kuadrat di areal pengamatan. Misalnya 150
kuadrat. Jika yang akan di amati hanya tumbuhan semak dan herba maka
ukuran setiap kuadrat dapat seluas 1 x 1 m atau 2 x 2 m.
2. Pada setiap kuadrat dilakukan pencatatan semua jenis tumbuhan herba dan
semak yang ditemukan. Jadi yang diamati adalah hadir atau tidak hadirnya
tumbuhan di dalam kuadrat.
3. Tentukan nama spesies tumbuhan yang ditemukan. Usahakan identifikasi
sampai ke tingkat spesies. Identifikasi dapat langsung dilakukan di lapangan
atau di laboratorium (jika spesies yang ditemukan tidak dapat diidentifikasi
secara langsung di lapangan). Untuk itu spesies tersebut harus dibuatkan
herbariumnya.
4. Langkah selanjutnya adalah pengolahan data yang dilakukan sebagai berikut:
a. Tentukan hipotesis statistik, yaitu sebagai berikut:
H0 : tidak ada interaksi diantara dua spesies tumbuh-tumbuhan
HA : ada interaksi diantara dua spesies tumbuh-tumbuhan
b. Kriteria penerimaan:
Tolak hipotesis H0 jika nilai 2 hitung lebih besar dari nilai 2 tabel.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

35

c. Tentukan derajat kepecayaan, dalam hal ini = 0,99, dan derajat bebas
adalah 2-1 = 1
d. Model tabel contigency adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Model tabel contigency
Tumbuhan 2
Hadir
Tidak Hadir
Jumlah

Tumbuhan 1
Hadir
Tidak hadir
A
B
C
D
(a+c)
(b+d)

(a+b)
(c+d)
n =a+b+c+d

5. Hitung nilai 2 hitung dengan menggunakan tabel contigency. Misalnya untuk


tumbuhan Andropogon scoparius dan Ammophila brevugulata.
Tabel 5. Penggunaan tabel contigency untuk 2 spesies
Andropogon scoparius
Hadir
Tidak Hadir
Jumlah

Ammophila brevugulata
Hadir
Tidak hadir
8
47
75
20
83
67

55
95
150

Peluang untuk menemukan A. scoparius di dalam 1 kuadrat adalah 55/150


= 0,367 dan untuk A. brevugulata adalah 83/100 = 0,553. Jika kedua spesies ini
tidak berasosiasi maka peluang untuk menemukan mereka dalam satu kuadrat
adalah 0,367 x 0,553 = 0,202951 0,203.
Dari data di atas, maka: diharapkan untuk menemukan kuadrat yang hanya
terdapat A. scoparius saja adalah:
(a + b) (b + d)
55 x 67
------------------ = ------------ = 24,57
n
150
Harapan untuk menemukan kuadrat yang hanya terdapat A. brevugulata saja
adalah:
(a + c) (c + d) 83 x 95
------------------ = ------------ = 52,57
n
150
Harapan untuk menemukan kuadrat yang terdapat A. scoparius dan A.
brevugulata adalah:
(a + b) (a + c) 55 x 83
------------------ = ------------ = 30,43
n
150

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

36

Harapan untuk menemukan kuadrat yang tidak terdapat A. scoparius dan A.


brevugulata adalah:
(b + d) (c + d) 67 x 95
------------------ = ------------ = 42,43
n
150
2
6. Tentukan hitung dengan rumus:
n (ad - bc)2
hitung = -----------------------------------(a +b) (c+ d) (a + c) (b + d)
2

dimana n = jumlah seluruh kuadrat.


150 (8 x 20) - (47 x 75)2
2 hitung = ---------------------------------------------(8 +47) (75 + 20) (8 + 75) (47 + 20)
2 hitung = 58,45
Bandingkan nilai 2 hitung dengan nilai 2 tabel pada = 0,99 dan db = 1.
Hasil yang diperoleh adalah 58,45 > 6,63. Sehingga hipotesis H 0 ditolak,
yang berarti bahwa di antara kedua spesies tumbuhan ini ada interaksi. Oleh
karena itu harus dicari apakah bentuk interaksi diantara kedua spesies ini
positif atau negatif. Untuk itu lakukan langkah nomor 7.
7. Tentukan bentuk interaksi di antara kedua spesies dengan menggunakan rumus
koefisien asosiasi sebagai berikut:
KA

ad bc
a b c d a c b d

dengan kriteria sebagai berikut:


Jika KA bernilai positif maka interaksi bersifat positif, sebaliknya jika
KA bernilai negatif maka interaksi bersifat negatif.
(8 x 20) - (47 x 75)
KA = ------------------------------------------------- (8 +47) (75 + 20) (8 + 75) (47 + 20)
KA = - 0,62
Kesimpulan : interaksi di antara kedua spesies adalah interaksi negatif
Hasil serupa di atas juga dapat di tentukan melihat harapan untuk
menemukan kedua spesies tumbuhan dalam satu kuadrat lalu

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

37

membandingkannya dengan hasil pengamatan untuk menemukan kedua .spesies


tumbuhan dalam satu kuadrat. Untuk kasus ini, maka harapan untuk
menemukan kedua spesies tumbuhan dalam satu kuadrat adalah sebagai berikut:
(a + b) (a + c) 55 x 83
------------------ = ------------ = 30,43
n
150
sedangkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah kuadrat di mana
kedua spesies tumbuhan hadir adalah 8. Jika hasil pengamatan lebih besar dari
harapan maka asosiasi kedua spesies tumbuhan adalah positif dan jika
sebaliknya adalah negatif. Dari data yang diperoleh terlihat asosiasi kedua
spesies adalah negatif.
8. Langkah berikutnya adalah menyajikan ringkasan data dalam bentuk tabel
matriks. Berikut ini adalah contoh tabel matriks ringkasan yang di olah dari
hasil penelitian Djufri (1993) di padang rumput taman nasional Baluran
Banyuwangi Jawa Timur.
Tabel 6. Ringkasan asosiasi tumbuhan di taman nasional Baluran Banyuwangi
Jawa Timur.
Dactylotenium aegyptium
+ Sclerachne punctata
- + Stachytarpheta indica
- - - Cyperus kylinga
- - - - Thespesia lanpas
- - + - - Brachiaria reptans
- + + - + + Heteropogon contortus
- - + - * - * Eragrotis tenella
* - + + + + * + Indigofera spesies
- - + + + - - + + Acalypha indica
* + + * - + * + + * Pogonatherum panicum
+ * + + - + * + + + + Themeda arguens
+ + + * + + * + + + - + Digitaria ciliaris
- - + - - - + + + + * * - - Dichantium coricosum
- + + - - + + - + + + + + + + Eragrostis amabilis
- + + - + + + + + - + + + + + + Amaranthus gracilis
Keterangan dari simbol pada tabel matriks di atas adalah + menunjukkan asosiasi
positif, - menunjukkan asosiasi negatif, dan * menunjukkan tidak ada asosiasi.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

38

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

39

yang akan dikerja: (Cek ludwig dan Reynold, Krebs, dan satu lagi
Buku Coklat dari copy Pak Sunarto).
Interaksi spesies
Pola distribusi spesies
Quarter Method
Keanekaragaman Spesies (banyak macam keanekaragaman)
b. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat
berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk
mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui
tingkatan
suksesi
atau
kestabilan
suatu
komunitas.
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
dimana : H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-n
N = Total jumlah individu
a. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)
dimana :
R1 = Indeks kekayaan Margallef
S = Jumlah jenis
N = Total jumlah individu
a. Indeks Kemerataan Jenis

Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis
H = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5
menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R1 = 3.5
5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R 1
tergolong tinggi jika > 5.0.
Besaran H < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis
tergolong rendah, H = 1.5 3.5 menunjukkan keanekaragaman
jenis tergolong sedang dan H > 3.5 menunjukkan
keanekaragaman tergolong tinggi.
Besaran E < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong
rendah, E = 0.3 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E
> 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.
a. Koefisien Kesamaan Komunitas

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

40

Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan


struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut (Bray dan Curtis, 1957
dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005) :
dimana :
IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan
komunitas
W = Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari
jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a, b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
pada tegakan pertama dan kedua
Nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100 %.
Semakin mendekati nilai 100%, keadaan tegakan yang
dibandingkan mempunyai kesamaan yang tinggi. Dari nilai
kesamaan
komunitas
(IS)
dapat
ditentukan
koefisien
ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 IS. Untuk
menghitung IS, dapat digunakan nilai kerapatan, biomassa,
penutupan tajuk atau INP.
Sebagai contoh, kita membandingkan tingkat permudaan
semai hutan primer dengan hutan setelah ditebang dan dapat
dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Nilai Kesamaan Kerapatan antara Hutan Primer dengan
Hutan setelah ditebang pada tingkat Semai

Maka nilai kesamaan komunitas (IS) = ((2 x 55) / (224 + 84)) x 100%
= 35.71%.
Nilai di atas menunjukkan bahwa antara kondisi primer dan setelah
ditebang dari segi jumlah individu (kerapatan) hanya mempunyai tingkat
kesamaan sekitar 35.71% artinya setelah dilakukan penebangan terjadi
kehilangan jumlah individu sekitar 64.29%.
f. Indeks Dominasi
Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan
penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada
satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

41

beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks


dominasi akan rendah. Untuk menentukan nilai indeks dominasi
digunakan rumus Simpson (1949) dalam Misra (1973) sebagai berikut :

Dimana :
C : Indeks dominasi
ni : Nilai penting masing-masing jenis ke-n
N : Total nilai penting dari seluruh jenis
Daftar Pustaka:
Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Muhammad Wiharto Caronge-FMIPA Jur. Biologi UNM

Spesies Indikator
Preferansi Relung
uji t
uji regresi
Ordinasi Polar
Ordinasi non Polar
Klasifikasi dengan Analisis Kluster

42

You might also like