Professional Documents
Culture Documents
PERITONITIS
Pembimbing :
Dr. H. Yarie Hendarman Hudly. Sp.B
Disusun Oleh:
Tatang Ade Permana
09310141
KEPANITRAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BAGIAN BEDAH RSUD TASIKMALAYA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi
akibat
penyebaran
infeksi
dari
organ-organ
abdomen (misalnya
untuk
melakukan
tindakan
bedah
harus
segera
morbiditas
dan
mortalitas.
Ketepatan diagnosis
dan
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai cara penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya
disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan
sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai
primary peritonitis.2
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus (Brian,2011)
Penyebab
Esophagus
Boerhaave syndrome
keganasan
Perut
(Adenokarsinoma,
Lympoma,
Saluran
Empedu
Pancreas
Usus kecil
Keganansan
Diventrikulitis
Colitis
Appendiksitis
Trauma (sebagian besar menembus)
salpingitis,
radang
tubo
panggul
ovarium
(misalnya
abses,
kista
ovarium
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized
(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).
2.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.8
Peradangan
menimbulkan
akumulasi
cairan
karena
kapiler
lebih lanjut
meningkatkan
tekanan
intra
abdomen,
membuat
bahan
permukaan peritoneum
yang
atau
menginfeksi
bila
infeksi
tersebar
menyebar,
luas
dapat
pada
timbul
Sumbatan
yang
lama
pada
usus
atau
obstruksi
usus
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.8
Tifus
abdominalis
adalah
penyakit
infeksi
akut
usus
halus
yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan,
defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.8
Perforasi
tukak
peptik
khas
ditandai
oleh
perangsangan
apendisitis
biasanya
biasanya
disebabkan
oleh
limfe
yang
mengakibatkan
oedem,
diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.8
Pada
trauma
abdomen
baik
trauma
tembus
abdomen
dan
misalnya
didaerah
lambung
maka
akan
terjadi
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada.9
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.10
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua
telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.2
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena
setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.10
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.2
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari
penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang
terlihat pada manusia.2
2.5.2 Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui
dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu
mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.10
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.2
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi.2
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan
yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik.
Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat
iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir
pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti
pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah
tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.2
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.10
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium
Resusitasi Cairan
Peradangan
yang
menyeluruh
pada
membran
peritoneum
murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.10
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.9
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.2
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.10
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.9
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.9
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung
kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan
respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative
termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
urinalisis.10
2.7.2
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidoneiodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida
dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat
ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage,
semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.9
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.9
2.7.3
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin
yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.9
2.8 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.9
2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal.9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda
peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat
mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan
organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal
pasien.
3.2 Saran
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin
penyakit berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin.
Pemeriksaan kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang
menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya
perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai resistensi
dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas
DAFTAR PUSTAKA
1. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 29 Agustus 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
2. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9 th Edition. AppeltonCentury Corp
3. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine
4. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is
not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra
Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt)
5. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci
6. Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology
7. Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious
Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol
8. Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw
Hill, Peritonitis
9. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies
10. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill