You are on page 1of 25

REFERAT

PERITONITIS

Pembimbing :
Dr. H. Yarie Hendarman Hudly. Sp.B

Disusun Oleh:
Tatang Ade Permana
09310141

KEPANITRAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BAGIAN BEDAH RSUD TASIKMALAYA
TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi

akibat

penyebaran

infeksi

dari

organ-organ

abdomen (misalnya

apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,


komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada
keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi
yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan
faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan

untuk

melakukan

tindakan

bedah

harus

segera

diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat


meningkatkan

morbiditas

dan

mortalitas.

Ketepatan diagnosis

dan

penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana menegakkan diagnosis peritonitis?


Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?

1.3 Tujuan

Mengetahui cara menegakkan diagnosis peritonitis


Mengetahui penatalaksanaan peritonitis

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai cara penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan peritonitis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya
disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan
sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai
primary peritonitis.2
2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Peritoneum viseral

Gambar 2. Potongan melintang abdomen


Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel
mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane
basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas
didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis
dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis.3
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal
yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel
normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya
terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin
dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai >
3000/mm3.
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui
limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.4
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan
partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel
difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe

substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke


mediastinum.5
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan
mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri
kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian
bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat
menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang
disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.4
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan
intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu,
asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini.6
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,
makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi.7
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi
zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan
prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan
eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan
fibrin.3
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan
respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan
dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses proinflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara
respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi

ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi


atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita.
Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan
kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ.3
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya
protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin
yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal
ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan
mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat
dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.4
2.3 Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

Peritonitis primer (Spontaneus)


Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis
primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan
berkembang menjadi peritonitis bakterial.

Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
strangulasi usus halus (Brian,2011)

Table 1. Penyebab peritonitis sekunder


Regio asal

Penyebab

Esophagus

Boerhaave syndrome
keganasan

Perut

Trauma (sebagian besar menembus)


Perforasi ulkus peptikum
Keganasan

(Adenokarsinoma,

Lympoma,

Tumor stroma gastrointestinal)


Duodenum

Trauma (sebagian besar menembus)


Perforasi ulkus peptikum

Saluran

Trauma (Tumpul dan Tajam)


Kolesistitis

Empedu

Perforasi batu di kandung empedu


Keganasan

Pancreas

Trauma (sebagian besar menembus)


Pancreatitis

Usus kecil

Trauma (Tumpul dan Tajam)


Usus iskemik
Hernia inkaserata
Obstruksi
Crohn disease
Keganasan
Diventrikulum meckel

Trauma (sebagian besar menembus)


Usus besar dan Usus iskemik
appendix

Keganansan
Diventrikulitis
Colitis
Appendiksitis
Trauma (sebagian besar menembus)

Uterus, salpinx Penyakit


dan ovarium

salpingitis,

radang
tubo

panggul
ovarium

(misalnya
abses,

kista

ovarium

Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized
(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).

2.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.8
Peradangan

menimbulkan

akumulasi

cairan

karena

kapiler

dan membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara


cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.8
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal

dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan


hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen
usus,

lebih lanjut

meningkatkan

tekanan

intra

abdomen,

membuat

usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.8


Bila

bahan

permukaan peritoneum

yang
atau

menginfeksi
bila

infeksi

tersebar
menyebar,

luas
dapat

pada
timbul

peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik


berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.8

Sumbatan

yang

lama

pada

usus

atau

obstruksi

usus

dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka


terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai

terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.8
Tifus

abdominalis

adalah

penyakit

infeksi

akut

usus

halus

yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan,
defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.8
Perforasi

tukak

peptik

khas

ditandai

oleh

perangsangan

peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium


akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak
kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian
terjadi peritonitis bacteria.8
Pada

apendisitis

biasanya

biasanya

disebabkan

oleh

penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda


asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus

tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai


keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran

limfe

yang

mengakibatkan

oedem,

diapedesis

bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.8
Pada

trauma

abdomen

baik

trauma

tembus

abdomen

dan

trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis


bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas,

misalnya

didaerah

lambung

maka

akan

terjadi

perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis


hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru
setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.8
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum .2
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.

Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,


gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.9
2.5.1 Gejala

Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada

peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada.9
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.10

Anoreksia, mual, muntah dan demam


Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.10

Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini

termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua
telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.2
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena
setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.10

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan


tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal
diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak
berkurang.2

Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.2
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari
penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang
terlihat pada manusia.2
2.5.2 Tanda

Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau

komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat
dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui
dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu
mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.10

Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya

distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.2

Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara

usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
yang mengalami strangulasi.2

Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman

pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi


intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang
berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda
awal dari peritonitis.2

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,


udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga
akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.10

Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada

kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan
yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik.
Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat
iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir
pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti
pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah
tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal.2
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.10
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara


riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.2
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.10
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.9
2.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak
dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang
menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak
difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya
udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos
abdomen.2
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus
dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus
perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu
posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat
ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola,
lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.2

2.7 Tata Laksana


Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.9
2.7.1 Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan
Peradangan

yang

menyeluruh

pada

membran

peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan


ruang intersisial.10
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari
hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole
Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan
yang hilang.9
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih

murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.10
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.9

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi

bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,


sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.10
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari
uji sensitivitas.2
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu,
selama dan setelah operasi.10
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan
dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin
juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta
unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap

penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.2
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.10
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.9
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.9

Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada

peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari


metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paruparu. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1)
ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan
meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan
dangkal.10

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari

abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung

kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan
respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative
termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
urinalisis.10
2.7.2

Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi

biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum.


Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis
primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari
apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan
dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen.10

Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab


utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang
terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika
didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis,
jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan
hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik
aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.9

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidoneiodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida
dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat
ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage,
semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.9

Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan

peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.9
2.7.3

Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang

tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada

keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin
yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.9
2.8 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.9
2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal.9

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda
peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat
mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan
organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal
pasien.
3.2 Saran
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin
penyakit berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin.
Pemeriksaan kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang
menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya
perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai resistensi
dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas

DAFTAR PUSTAKA
1. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 29 Agustus 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
2. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9 th Edition. AppeltonCentury Corp
3. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine
4. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is
not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra
Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt)
5. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci
6. Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology
7. Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious
Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol
8. Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw
Hill, Peritonitis
9. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies
10. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill

You might also like