You are on page 1of 17

SINUS PARANASALES

ANATOMI
Sinus paranasales adalah rongga-rongga yang terdapat di
dalam os maxllla, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale
(Gambar

11-62

dan

11-63).

Sinus-smus

ini

dilapisi

oleh

mucoperiosterum dan berisi udara, berhubungan dengan cavum


nasi melalui apertura yang relatif kecil. Sinus maxillaris dan
sphenoidalis

pada

waktu

lahir

terdapat

dalam

bentuk

yang

rudimenter. Setelah usia delapan tahun menjadi cukup besar, dan


pada masa remaja telah terbentuk sempurna.
Sekret

yang

dihasilkan

oleh

kelenjar-kelenjar

di

dalam

membrana mukosa didorong ke dalam hidung oleh gerakan silia selsel silindris. Aliran dari sekret juga dibantu oleh tenaga menyedot
yang terjadi pada waktu membuang ingus. Sinus berfungsi sebagai
resonator suara; sinus juga mengurangi berat tengkorak. Bila muara
sinus tersumbat atau sinus terisi cairan, kualitas suara jelas
berubah.
a. Sinus maxillaris
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini
berbentuk piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung
dan apex di dalam processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk
oleh dasar orbita, sedangkan dasar dibentuk oleh processus
alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga,
dan kadang-kadang akar caninus menonjol ke dalam sinus.
Ekstraksi sebuah gigi dapat mengakibatkan fistula, atau infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam

meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus


ethmoidalis anterior dan sinus
infundibulum,

kemudian

ke

frontalis bermuara

hiatus

semilunaris,

ke dalam

kemungkinan

penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maxillaris adalah


besar. Membrana mucosa sinus maxillaris dipersarafi oleh n.
alveolaris superior dan n. infraorbitalis.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar
kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif
yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui
pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan
hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang
sempit.

Infundibulum adalah

bagian

dari

sinus

etmoid

anterior

dan

pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
b. Sinus frontalis
Sinus frontalis ada dua buah, terdapat di dalam os frontale,
dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum tulang, yang
sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk
segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke
belakang ke bagian medial atap orbita. Masing-masing sinus

frontalis

bermuara

ke

dalam

meatus

nasi

medius

melalui

infundibulum. Membrana mucosa dipersarafi oleh n. supraorbitalis.


Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal:
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid
c. Sinus sphenoidalis
Sinus sphenoidalis, ada dua buah, terletak di dalam corpus
ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke dalam recessus
sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior. Membrana
mucosa dipersarafi oleh n. ethmoidalis posterior. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
d. Sinus ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terdapat di dalam os ethmoidalis, di antara
hidung dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis
tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke

dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga kelompok: anterior,


media, dan posterior. Kelompok anterior berrnuara ke dalam
infundibulum; kelompok media ke dalam meatus nasi medius, pada
atau diatas bulla ethmoidalis; dan kelompok posterior bermuara ke
dalam meatus nasi superior. Membrana mucosa dipersarafi oleh n.
ethmoidalis anterior dan posterior.

Gambar . Sinus Paranasales


Sumber:
Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (edisi
6). Terjemahan oleh: Liliana Sugiharto. EGC. Jakarta, Indonesia.
FISIOLOGI

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah:
a. Pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk menghangatkan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi untuk mempertahankan suhu, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya,
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tengkorak.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus

yang

dihasilkan

oleh

sinus

paranasal

memang

jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,


namun efektif untuk membersihkan partikel yang ikut masuk

dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.
Sumber:
Soetjipto, D. dan E. Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Dalam:
Soepardi, E.A., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher (edisi 6). Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indinesia. Jakarta, Indonesia. Hal: 145-149).

KOMPLIKASI SINUSITIS
FISTULA OROANTRAL
Fistula

oroantral

merupakan

suatu

saluran

yang

menghubungkan rongga dasar sinus maksilaris dengan rongga


mulut. Fistula oroantral ini merupakan suatu komplikasi akibat
tindakan pencabutan gigi molar 1, 2 atau premolar 2. Selain itu,
dapat juga diakibatkan oleh trauma iatrogenik, infeksi, tumor
ganas, osteomyelitis dan sifilis.
Dikutip dari Sokler K, Guven pada tahun 1998 menemukan
bahwa fistula oroantral banyak terjadi pada usia dekade ketiga.
Dikutip dari Meirelles, Lin pada tahun 1991, melaporkan bahwa
perkembangan rongga sinus pada wanita lebih besar dan dasar
rongga sinus lebih tipis daripada pria sehingga fistula oroantral
lebih banyak terjadi pada pria.
Sinus maksilaris mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengan akar gigi premolar dan molar atas. Bila terjadi infeksi atau
kondisi patologis lainnya berupa kista radikuler atau granuloma

periapikal pada ujung akar gigi dapat menyebabkan terjadinya


penipisan tulang dasar sinus maksilaris. Setelah dilakukan ekstraksi
gigi premolar dan molar atas dapat menyebabkan terjadinya fistula
oroantral sehingga kuman dari rongga mulut dapat masuk ke dalam
sinus yang menimbulkan terjadinya sinusitis maksilaris.
Fistula

oroantral

dapat

diklasifikasikan

berdasarkan

ukurannya, ukuran kecil (kurang dari 2 mm), ukuran sedang (3-5


mm) dan ukuran besar (lebih dari 5 mm). Pada ukuran kecil (kurang
2 mm) cenderung akan menutup dengan sendirinya, tetapi bila
dalam waktu tiga minggu tidak terjadi penutupan perlu dilakukan
tindakan operasi.
Tanda dan gejala klinis yang tampak dari fistula oroantral
adalah adanya pembukaan atau lubang antara rongga mulut
dengan antrum. Lubang yang terbentuk sering mengalami infeksi,
adanya pembentukan jaringan ikat atau jaringan granulasi dan
sering terjadi drainase mukopurulen. Pasien tidak mengeluh adanya
rasa sakit, kecuali terjadi infeksi akut pada sinus. Pada saat minum
ataupun kumur-kumur pasien mengeluhkan adanya cairan yang
keluar dari hidung. Fistula oroantral juga dapat diketahui dengan
melakukan tes tiup dengan cara pasien meniup dengan hidung
tertutup dan mulut terbuka. Pada keadaan telah terjadi fistula
oroantral, akan terdengar hembusan udara melalui daerah yang
mengalami kerusakan, dan pada soket gigi akan terlihat gelembung
udara seperti busa.

Gambar . Fistula oroantral


Pemeriksaan radiologi berupa foto polos panoramik berguna
untuk melihat keadaan akar gigi sehingga setelah tindakan
ekstraksi gigi tidak terjadi fistula oroantral. Biasanya terlihat
diskontinuitas dari dasar sinus, opasifikasi sinus, atrofi fokal alveolar
dan penyakit periodontal yang terkait terlihat ketebalan mukosa
antrum dan defek pada dasar tulang. Pada tomografi komputer
ditemukan diskontinuitas dinding dasar sinus maksilaris, tampak
adanya perselubungan opak di sinus maksilaris dan atrofi fokal
alveolar (Gambar 1). Atrofi tulang alveolar terlihat di segmen yang
berdekatan dengan fistula.
Berpedoman pada ukuran fistula oroantral dapat ditentukan
teknik menutup fistula. Bila ukuran kurang dari 2 mm dilakukan
observasi selama tiga minggu, bila tidak terjadi penutupan fistula
oroantral secara spontan dapat dilakukan tindakan penjahitan
mukosa atau teknik jabir alveolaris. Ukuran 3-4 mm dilakukan
penutupan fistula oroantral dengan teknik buccal flap. Ukuran lebih
dari 5 mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik
palatal flap. Pada fistula oroantral ukuran kurang dari 2 mm

cenderung akan menutup dengan sendirinya, tetapi bila dalam


waktu tiga minggu tidak terjadi perlu dilakukan operasi menutup
fistula.3

Operasi

FESS

dilakukan

untuk

meningkatkan

fungsi

ventilasi dan aerasi dari sinus maksilaris. Von Wowern menyelidiki


90 kasus dan menyimpulkan bahwa penutupan spontan fistula
oroantral

dari

berbagai

ukuran

jarang,

dan

pada

akhirnya

dibutuhkan tindakan operasi untuk menutup fistula. Keberhasilan


operasi penutupan fistula oroantral tergantung pada teknik yang
digunakan, lokasi dan ukuran dari fistula dan ada atau tidaknya
infeksi pada sinus. Penyakit pada sinus biasanya ditatalaksana
secara teknik Caldwell-Luc atau BSEF. Pada pasien ini ukuran fistula
kurang dari 2 mm dan tampak adanya multisinusitis kronik dan
direncanakan dilakukan BSEF dan penutupan fistula dengan mukosa
sekitar celah. Penutupan fistula oroantral yang terletak diantara gigi
dilakukan dengan insisi melibatkan mukoperiosteum di daerah
distal gigi di anterior kemudian melewati daerah fistula oroantral
dilanjutkan ke daerah mesial gigi di posterior.7 Alveolar flap dapat
dilakukan untuk menutup fistula yang kecil (< 2 mm) bila tidak
terjadi penutupan fistula oroantral secara spontan. Khusus dalam
tindakan ini yang harus diperhatikan hindari terjadinya luka pada
duktus Stenon. Kerugian akibat tindakan alveolar flap, flap melewati
dan menutupi sebagian sulkus gingivolabial, sehingga sulit untuk
menggunakan prostesis, flap ini juga berada di bawah tekanan bibir
dan gerakan pipi.
Pasien post perawatan operasi diberikan antibiotik, analgetik,
kortikosteroid

dan

anjuran

untuk

tidak

menyikat

gigi

atau

mengganggu dengan lidah. Follow up pasien dilakukan secara


teratur hingga 1 bulan post operasi dan hasil operasi fistula

oroantral yang menutup dengan baik ditandai tidak adanya keluar


cairan yang berasal dari rongga hidung ke rongga mulut melalui
celah. Pada pasien ini sudah sesuai dengan perawatan post-operasi
dengan pemberian antibiotik, dekongestan, Anti Inflamasi Non
Steroid (AINS), disarankan untuk menghindari sikat gigi atau
mengenai luka bekas operasi dengan lidah, hindari hembusan dari
hidung.
Sumber:
Budiman, J.B dan J. Prijadi. 2012. Fistula oroantral pada sinusitis
maksilaris kronis. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang, Indonesia.
MUKOKEL
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang
timbul di dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus
maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis,
kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis
struktur sekitarnya.
Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada
dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan
gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya. Mukokel
primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan
duktus kelenjar saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris.
Mukokel sekunder disebabkan obstruksi ostium sinus sebagai
komplikasi obstruktif dari rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan,
dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala

tersering pada mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung


perlahan seiring membesarnya mukokel dalam beberapa tahun.
Etiologi dan patogenesis mukokel yang pasti masih belum
diketahui. Mukokel berkembang sebagai suatu obstruksi pada
saluran yang menghubungkan antara sinus dan rongga hidung.
Mukokel berasal dari beberapa penyebab, mulai dari komplikasi
pasca-inflamasi (alergi, infeksi kronis, kondisi peradangan kronis,
disfungsi

mukosiliar),

obstruksi

neoplastik

(osteoma,

nasoangiofibroma juvenil, karsinoma), proses inflamasi (prosedur


Caldwell-Luc) dan akibat pasca-trauma (kecelakaan iatrogenik),
secara umum berkembang dalam waktu yang lama.
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal
dan proptosis, serta bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas.
Nyeri hidung dan periorbita dalam dapat ditemukan. Berbeda
dengan sinusitis akut atau kronik, obstruksi nasal dan rinorhea
justru jarang didapat. Meskipun diagnosis dapat diduga berdasarkan
temuan

klinis,

pemeriksaan

radiografi

perlu

dilakukan

untuk

memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel. Pada


pemeriksaan CT scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens.
Massa dapat mengisi kavum sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi,
gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan
lebih berat.

Gambar . CT-scan dengan rekonstruksi koronal menunjukkan


konten sedikit hiperdens yang berkaitan dengan jaringan otak
dalam sinus frontal kiri, dengan adanya herniasi ke rongga orbita.
Terapi umum mukokel adalah dengan pengangkatan total
mukokel dan umumnya melalui pembedahan terbuka. Saat ini,
teknik

endoskopik

transnasal

digunakan

untuk

mengatasi

komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding mengangkat total,


merupakan konsep terapi yang mementingkan kemampuan mukosa
sinus untuk kembali ke kondisi normal atau mendekati normal.
Sumber:
Rahmawan, A. dkk. 2009. Tinjauan Pustaka: Berbagai Komplikasi Sinusitis dan
Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Unlam. Banjarmasin, Indonesia.
Adams, G.L. dkk. 1997. BOIES: Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
(edisi 6). EGC. Jakarta, Indonesia.
Carvalho, B. V. D., Lopes, I. D. C. C., Correa, J. D. B., Ramos, L. F. M.,
Motta, E. G. P. C., dan Diniz, R. L. F. C. 2013. Typical and atypical
presentations

of

paranasal

sinus

mucocele

at

tomography. Radiologia Brasileira: 46(6), hal: 372-375.

computed

OSTEOMIELITIS DAN TUMOR POTT


Tumor Pott merupakan massa tumor bundar yang tidak nyeri,
pertama kali diperkenalkan oleh Percival Pott pada tahun 1760.
Infeksi

yang

masuk

ke

sinus

frontalis

dan

menyebabkan

osteomyelitis progresif di sana, pada akhirnya akan membentuk


abses subperiosteal perikranial anterior, abses periorbita, atau
abses epidural. Penumpukkan pus subperiosteal pada dahi tersebut
akan membentuk struktur berupa benjolan yang fluktuatif dan
sembab (tumor Pott).

Gambar . Gambaran klinis tumor Potts


Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke
tulang kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan
erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala klinis tampak udem
yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di
superiosteum.

Berlanjutnya

terjadinya tumor Pott.

kelainan

ini

akan

menyebabkan

Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis

dan

pemeriksaan fisik. Tanda dan gejala dapat berupa sakit kepala,


rhinorrhea,

demam,

defisit

kesadaran.

Pemeriksaan

neurologi

laboratorium

fokal

dan

umumnya

penurunan

menunjukkan

leukositosis dan ESR yang tinggi. Pemeriksaan penunjang yang


mendukung

adalah

CT

scan

dan

MRI.

CT-scan

dapat

mengidentifikasi komplikasi intrakranial dan ekstrakranial yang


berhubungan dengan sinusitis frontalis. Dapat pula dilakukan bone
scanning untuk melihat osteomyelitis.

Gambar . CT-scan aksial otak menunjukkan subperiosteal (panah)


dan abses epidural (lingkaran)

Gambar . CT-scan aksial tanpa kontras menunjukkan erosi pada


bagian anterior dan posterior sinus frontalis (panah), opasifikasi
sinus frontal (panah), dan pembengkakan jaringan lunak di dahi.
Penanganan untuk kasus ini adalah dengan pemberian
antibiotik intravena, drainase abses, dan bila perlu debridement
tulang. Pada beberapa kasus, dapat dilakukan frontoetmoidektomi
eksternal, terkadang dilakukan kraniotomi meskipun sangat jarang.
Antibiotik intravena diberikan selama 3 minggu, dilanjutkan dengan
pemberian oral 3-5 minggu.
Sumber:
Rahmawan, A. dkk. 2009. Tinjauan Pustaka: Berbagai Komplikasi Sinusitis dan
Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Unlam. Banjarmasin, Indonesia.
Adams, G.L. dkk. 1997. BOIES: Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
(edisi 6). EGC. Jakarta, Indonesia.
Suwan, P. T., Mogal, S., & Chaudhary, S. 2012. Potts Puffy Tumor: an
uncommon clinical entity. Case reports in pediatrics; vol. 2012.
ABSES SUBPERIOSTEAL
Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang
sering terjadi di orbita superomedial atau inferomedial, yang

berhubungan

dengan

sinusitis

etmoidalis.

Abses

berkembang

setelah infeksi menembus lamina papirasea atau melalui foramen


etmoidalis anterio/posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal
yang meluas dapat menyebabkan kebutaan, yaitu sebagai akibat
langsung penekanan saraf II, peningkatan tekanan intraorbita, atau
proptosis

yang

menyebabkan

peregangan

saraf

II.

Dengan

penanganan medik dan intervensi bedah agresif sekalipun, sekitar


15-30% pasien akan mengalami sekuele gangguan visus.
Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik.
Secara klinis abses subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan
selulitis orbita, mengalami proptosis dan gangguan lapang pandang
yang semakin berat, akibat peningkatan tekanan intraorbita.
Kehilangan

persepsi

warna

merah/hijau

dapat

mendahului

penurunan visus.
Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih
merupakan kontroversi. Meskipun pemberian antibiotik intravena
dapat dimulai pada tahap awal, beberapa ahli THTKL tetap
menganjurkan drainase sinus secepatnya. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya kasus abses subperiosteal yang responsif
terhadap pengobatan konvensional, terutama pada anak-anak yang
lebih muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria inklusi
untuk pengobatan medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9
tahun, tidak terdapat sinusitis frontalis, lokasi abses di medial, tidak
terbentuk gas abses, ukuran abses kecil, bukan kasus berulang,
tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak terdapat
infeksi gigi. Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah
ditunda dan diberikan penanganan konservatif, bila memenuhi
seluruh kriteria, antara lain pemeriksaan oftalmologikus (visus,

reaksi pupil, dan keadaan retina) normal, tidak ada oftalmoplegia,


tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg, proptosis maksimal 5
mm, ukuran abses maksimal 4 mm.

Drainase operatif dilakukan

bila terjadi penurunan visus, defek pupil, demam yang berlangsung


selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada
perbaikan setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang
digunakan

pada

endoskopik,
dilakukan

dan

untuk

kasus

ini

meliputi

kombinasi.
drainase

pendekatan

Etmoidektomi

abses.

Pada

eksternal,

eksternal

anak-anak,

dapat

sebaiknya

dilakukan pendekatan endoskopik untuk menghindari perdarahan


dan

inflamasi

mukosa

akut.

Teknik

endoskopik

meliputi

etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita.


Drainase transkarankular merupakan salah satu contoh pendekatan
kombinasi yang diperkenalkan oleh Pelton pada tahun 1996.
Dengan cara ini, dilakukan insisi di area antara karankula dan
lipatan semilunar. Periosteum orbita diinsisi tajam dan dibuka untuk
mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat diterapkan pada dinding
medial orbita pada sisi lamina papiracea.
Sumber:
Rahmawan, A. dkk. 2009. Tinjauan Pustaka: Berbagai Komplikasi Sinusitis dan
Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Unlam. Banjarmasin, Indonesia.
Adams, G.L. dkk. 1997. BOIES: Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
(edisi 6). EGC. Jakarta, Indonesia.
Elango, S. dkk. 1990. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J; 31.
hal: 341-344.

You might also like