You are on page 1of 24

PRESENTASI KASUS

EKLAMPSIA PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL PRETERM


DENGAN KOMPLIKASI PENURUNAN VISUS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti kepaniteraan klinik
Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi di RSUD Salatiga

Diajukan Kepada :
dr. Agung Supriandono, Sp.OG
Disusun oleh :
Dian Sidiq Wibowo
20080310156

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan laporan kasus dengan judul


Preeklampsia Berat pada Primigravida Hamil Preterm
dengan Komplikasi Penurunan Visus

HARI/ TANGGAL
Kamis/ 12 Februari 2015

Menyetujui
Dokter pembimbing/Penguji

dr. Agung Supriandono, Sp.OG

BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama

: Ny OKT

Umur

: 25 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Getasan, Semarang

Tanggal masuk RS

: 3 Februari 2015, pukul 10.00 WIB

B. Problem
1. Anamnesis
a. Keluhan utama
Pasien hamil dengan badan lemas, dan pandangan gelap
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUD atas rujukan dari Puskesmas Getasan
dengan G1 P0 A0 Hamil 36 minggu, riwayat kejang (+) pada pukul
08.00 WIB disertai tekanan darah tinggi (180/120 mmHg), saat ini
pasien merasa bingung (+), badan terasa lemas (+), pandangan gelap
(+), kepala pusing (+), ujung jari kaki dan tangan terasa kesemutan
(+), riwayat trauma benda tajam (-), vaksin TT (+) sebelum hamil.
Riw. Obstetri : G1 P0 A0
HPHT : 24 juni 2014
HPL : 3 maret 2015
UK
: 36 minggu
Riw. Gynecology
Menarche 12 tahun, Haid 6-7 hari, teratur, riwayat
keputihan selama kehamilan (+)
Riw. Pernikahan
(+), 1 kali, pada usia 24 tahun
Riw. Kontrasepsi
(-)
c. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat alergi (-), Asthma (-)


Riwayat trauma (-)
Riwayat DM (-), HT sebelum kehamilan (-)
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat alergi (-), Asthma (-)
Riwayat DM (-), HT (+) Ibu kandung
e. Resume Anamnesis
1. Hamil preterm
2. Memiliki riwayat kejang dengan tekanan darah tinggi
3. Terdapat gangguan visus dan perfusi perifer
Kesimpulan:
Hamil
Eklampsia
Preeklampsia
Hipertensi gravidarum
Tetanus
Epilepsi
2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Keadaan umum
Tekanan darah
Nadi
Suhu tubuh

: Lemah, composmentis, pucat


: 150/120 mmHg
: 112 kpm
: 37,2 C

b. Kepala
Mata
- Konjungtiva pucat
- Subkonjungtiva bleeding
- Visus
Hidung
- Alae Nasi
- Cavum Nasi
- Septum nasi
Mulut
- Labia superior et inferior
- Gigi dan gingiva
- Cavum Oris
- Tonsila et uvula
- Dinding orofaring
Telinga
- Auricula

:-/:-/: 0 (pandangan gelap)


: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN
: DBN

- OAE
: DBN
- Membrana tympani
: DBN
Limfadenopati Lnn. craniofacialis (-)

c. Leher

: Simetris (+), Limfadenopati Lnn. Coli (-), Massa (-)

d. Thorak
Suara dasar vesikular
Bunyi jantung

: +/+
: DBN

e. Abdomen
Inspeksi
: Cembung (+), Striae (+)
Aukskultasi: Bunyi usus (+), DJJ (147 kpm)
Perkusi
: tak dilakukan
Palpasi
: Teraba janin tunggal (+), TFU (4 jari dibawah
proceccus xiphoideus, 29 cm)
o Leopold 1 : Puncak bokong
o Leopold 2 : Letak memanjang, punggung kiri
o Leopold 3 : Preskep
o Leopold 4 : Konvergen
f. Ekstremitas
CRT
Edema
Spasme
Flaccid

: < 2 detik
: -/- // +/+
: (-)
: (-)

g. Pemeriksaan Inspekulo
Vulva Urethra tenang (+),
Laserasi pada dinding vagina (-), tanda-tanda peradangan (-),
Portio tampak mencucu (+), licin (+), warna kebiruan (+),
Pembukaan (-)
h. Pemeriksaan Vaginal Tushee
Ulva urethra DBN (+),
Dinding Vagina licin (+)
Portio mencucu (+), Tebal (+), bukaan (-)

i. Resume Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum lemah


Tekanan darah tinggi grade II disertai takikardi
Penurunan visus disertai edema pada ekstremitas inferior
Hamil dengan janin tunggal hidup, belum dalam persalinan
Kesimpulan : Hipertensi pada kehamilan dengan gangguan
visus dan edema tungkai
3. Pemeriksaan Lab
a. Darah Rutin
AL : 9,73 x 10^3/l
HT
: 34,1 %
AE : 4,30 x 10^6/l
AT
: 174 x 10^3/l
HB : 11,7 g/dl
HbsAg : (-)
b. Urinalisa
Protein
: +2
c. Resume Pemeriksaan Lab
Tak terdapat tanda-tanda peradangan
Proteinuri
Kesimpulan : Proteinuri e.c. selain proses peradangan
4. Diagnosis
Eklampsia pada primigravida preterm belum dalam persalinan dengan
komplikasi gangguan visus.
5. Terapi di RSUD
a. Bed rest
b. O2 nasal canule
5 lpm
c. RL 500cc + MgSO4 4 gram 20 tpm
d. Pasien dilakukan Sectio Caesaria pada pukul 12.00 (3-2-2015)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE-EKLAMPSIA dan EKLAMPSIA


1. Definisi
Pre-eklampsia adalah kelainan

multisistem

spesifik

pada

kehamilan, etiologi belum diketahui. Kelainan ini mempengaruhi sekitar 57% kehamilan menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.
Kriteria minimum untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia ialah
hipertensi, edema disertai proteinuria yang terjadi umumnya pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu.
Eklampsia merupakan komplikasi serius dari kehamilan ditandai
dengan timbulnya satu atau lebih kejang yang berhubungan dengan
sindrom pre-eklampsia. Eklampsia, ialah kejadian akut pada wanita hamil,
dalam persalinan, atau nifas yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda
pre-eklampsia disertai dengan kejang atau koma. Eklampsia sering timbul
pada trimester terakhir kehamilan dan semakin sering terjadi apabila
kehamilan mendekati aterm. Tanda khas eklampsia yaitu adanya kejang
tonik-klonik yang timbul pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan.
Pada kondisi seperti ini resiko kematian maternal dan perinatal meningkat.
Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein
(1982) yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver
Enzymes dan Low Platelet counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari
gejala multisistem pada pre-eklampsia berat dan eklampsia dengan
karakteristik

trombositopenia,

hemolisis

(anemia

hemolisis

mikroangiopatik) dan enzim hepar yang abnormal. Insidensi sindroma


HELLP terjadi 4-12% dari kasus komplikasi pre-eklampsia. Adanya
sindroma HELLP ini merupakan salah satu indikator progresifitas yang
memburuk dari pre-eklampsia berat karena morbiditas dan mortalitas
maternal dan perintal tinggi sehingga perlu segera dilahirkan.
Pre-eklampsia dibagi menjadi ringan dan berat. Dikategorikan
berat jika ditemukan:
o Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110mmHg

o Proteinuria > 5 gram/24 jam atau positif 3 pada pemeriksaan


o
o
o
o

kuantitatif
Oliguria, urin 400 ml/24 jam
Keluhan serebral, nyeri epigastrium, gangguan penglihatan
Sianosis karena edema paru
Trombosit turun, enzim hati meningkat

2. Etiologi
Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari pre-eklampsia/eklampsi
masih belum diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan
perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas, sehingga kelainan ini
sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori tersebut
antara lain:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan.
Pada pre-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada
kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga
terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2) Peran Faktor Imunologis.
Pre-eklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak
timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa
pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap
antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan
berikutnya. Fierlie FM mendapatkan beberapa data yang mendukung
adanya sistem imun pada penderita pre-eklampsia:
o Beberapa wanita dengan pre-eklampsia mempunyai komplek imun
dalam serum.
o Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen
pada pre-eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat menyimpulkan meskipun ada

beberapa

pendapat

menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi


pada pre-eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa
menyebabkan pre-eklampsia.
3) Peran Faktor Genetik/Familial.

Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada


kejadian pre-eklampsia antara lain:
o Pre-eklampsia hanya terjadi pada manusia.
o Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita pre-eklampsia.
o Kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsia pada anak dan
cucu ibu hamil dengan riwayat pre-eklampsia dan bukan pada ipar
mereka.
4) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

3. Patofisiologi
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis pre-eklampsia.
Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan
menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan
hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel,
kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain
itu Hubel mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan
menyebabkan

terjadinya

penurunan

perfusi

uteroplasenter

yang

selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia


jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses
hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen,
sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel
Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang
menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak merupakan
radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase terganggu,
dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan
yang disebut stess oksidatif.
Pada pre-eklampsia serum anti oksidan kadarnya menurun dan
plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada
wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan
sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase
lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase
lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk selsel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut.
Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain:

a)
b)
c)
d)
e)

adhesi dan agregasi trombosit.


gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin.
terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase

lemak.
Perubahan anatomi-patologik
Plasenta: pada pre-eklampsia terdapat spasme arteriola spiralis
desidua mengakibatkab menurunnya alirn darah ke plasenta. Proses
penuaan plasenta seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding
pembuluh darah dalam fili karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadi
jaringan fibrotik, menjadi lebih cepat pada pre-eklampsia.
Ginjal: organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada
pre-eklampsia

terdapat

kelainan

glomerolus,

hiperplasi

sel-sel

jukstaglomerular, kelainan pada tubulus henle, dan spasme pembuluh


darah ke glomerolus. Perubahan-perubahan tersebutlah tampaknya yang
menyebabkan proteinuria dan mungkin berhubungan dengan retensi garam
dan air. Sesudah persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang
digambarkan menghilang.
Hepar: organ ini besarnya normal dengan tempat perdarahan yang
tidak teratur. Tidak ada hubungan antara beratnya penyakit pre-eklampsia
dan luasnya perubahan pada hati.
Otak: pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema
dan anemia pada korteks serebri, pada keadaan lanjut dapat ditemukan
perdarahan.
Retina: kelainan yang ditemukan pada retina ialah spasme pada
arteriola dekat diskus optikus. Terlihat edema pada diskus optikus dan
retina.
Pulmo: terdapat tanda edema perubahan karena bronkopneumonia
sebagai akibat aspirasi.
Jantung: pada eklampsia mengalami perubahan degeneratif pada
miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling serta
nekrosis dan perdarahan.

4. Faktor Predisposisi
Pre-eklampsia hanya terjadi pada saat hamil, sehingga faktor
risikonya, antara lain:

Riwayat keluarga pre-eklampsia: Ibu hamil dengan sejarah


keluarga menderita pre-eklampsia akan meningkatkan risiko ikut

terkena pre-eklampsia.
Primigravida: Di kehamilan pertama, risiko mengalami pre-

eklampsia jauh lebih tinggi.


Usia: Ibu hamil berusia di atas 35 tahun akan lebih besar risikonya

menderita pre-eklampsia.
Obesitas: Pre-eklampsia lebih banyak menyerang ibu hamil yang

mengalami obesitas
Kehamilan kembar:

meningkatkan risiko pre-eklampsia


Kehamilan dengan diabetes: Wanita dengan diabetes saat hamil

memiliki risiko pre-eklampsia seiring perkembangan kehamilan


Riwayat hipertensi: Kondisi sebelum hamil seperti hipertensi

Mengandung

bayi

kembar

juga

kronis, diabetes, penyakit ginjal atau lupus, akan meningkatkan


risiko terkena pre-eklampsia
5. Gejala klinik
e. Pre-eklampsia
Gambaran klinis penderita pre-eklampsia sangat bervariasi, dari
penderita tanpa gejala klinik sampai penderita dengan gajala klinik yang
sangat progresif, berkembang dengan cepat dan membahayakan nyawa
penderita. Pada pre-eklampsia umumnya perubahan patogenik telah lebih
dahulu terjadi mendahului manifestasi klinik.
Dalam pengelolaan klinis, pre-eklampsia dibagi sebagai berikut:
Disebut pre-eklampsia ringan jika ditemukan:
- Tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110

mmHg
- Proteinuria 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick 1 + c
Ditegakkan diagnosa pre-eklampsia berat jika ditemukan tanda dan
gejala sebagai berikut:
- Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat: sistolik 160
-

mmHg dan diastolik 110 mmHg


Proteinuria 5 gr/24 jam atau dipstick 2 +
Oligourie < 500 ml/24 jam
Serum kreatinin meningkat
Oedema paru atau cyanosis

Dan disebut impending eklampsia apabila pada penderita ditemukan


keluhan seperti:
- Nyeri epigastrium
- Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur (gangguan
-

susunan syaraf pusat)


Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau

aspartate amino transferase


- Tanda-tanda hemolisis dan micro angiopatik
- Trombositopenia < 100.000/mm3
- Munculnya komplikasi sindroma HELLP
Dan disebut eklampsia jika pada penderita pre-eklampsia berat
dijumpai kejang klonik dan tonik dapat disertai adanya koma.

f. Eklampsia
Gambaran klinik penderita eklampsia biasanya lebih berat dan
dapat disertai berbagai komplikasi seperti: koma, oedema paru, gagal
ginjal, solusio plasenta, gangguan pertumbuhan janin, dan kematian janin.
Oleh karena itu penanganan penderita eklampsia harus komprehensif dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu.
Penderita pre-eklampsia berat yang tidak mendapat penanganan
yang memadai atau terlambat mendapat pertolongan bisa mendapat
serangan kejang-kejang yang disebut eklampsia. Eklampsia sering terjadi
pada kehamilan nullipara, kehamilan kembar, kehamilan mola, dan
hipertensi dengan penyakit ginjal. Lebih kurang 75% penderita eklampsia
terjadi antepartum dan 25% sisanya terjadi pasca-melahirkan. Eklampsia
biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang terjadi akibat
peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang akan
menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah.
Sebelum serangan kejang pada eklampsia biasanya didahului oleh
kumpulan gejala impending eklampsia yang dapat berupa: nyeri kepala,
mata kabur, mual, muntah, dan nyeri epigastrium, jika keadaan ini tidak
segera ditanggulangi maka akan timbul kejang. Kejang pada eklampsia
dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu :

Tingkat awal atau aura: Keadaan ini berlangsung sekitar 30 detik.


Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan
bergetar dan kepala diputar kekanan atau kekiri.

Tingkat kejangan tonik: Berlangsung 30 detik. Pada tingkat ini


seluruh otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan
menggenggam dan kaki bengkok ke dalam. Pernafasan berhenti,
wajah menjadi sianotik dan lidah dapat tergigit. Stadium ini akan
disusul oleh tingkat kejangan klonik.

Tingkat kejangan klonik: Berlangsung antara 1-2 menit. Spasme


tonik menghilang, semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah
dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar lidah
yang berbusa, wajah menunjukkan kongesti dan sianotis. Setelah
kejang terhenti, pasien bernafas dengan mendengkur.

Tingkat koma: Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara


perlahan penderita biasa menjadi sadar lagi

6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya penanganan penderita pre-eklampsia dan
eklampsia yang difinitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh
hasil

konsepsi,

tetapi

dalam

penatalaksanaannya

kita

harus

mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur


kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan
organ.
-

Tujuan penatalaksanaan pre-eklampsia dan eklampsia adalah :


Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di

samping itu mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.


Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk
keadaan ibu hamil.
Pengelolaan pre-eklampsia berat sedapat mungkin berusaha

mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm


persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan
seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai
tandatanda impending eklampsia, kehamilan harus segera diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan. Di samping itu pemeriksaan terhadap
kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat. Biometri janin,

biophisical profile janin harus dievaluasi 2 x seminggu, bila keadaan


janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan,
tergantung dari keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan
pervaginam atau perabdominal. Pada kehamilan preterm 34 minggu
yang akan dilakukan terminasi pemberian kortiko steroid seperti
dexamethasone atau betamethasone untuk pematangan paru harus
dilakukan.
Pemberian terapi farmakoterapi pada kasus preeklamsia dan
eklamsia bertujuan untuk menurunkan angka kematian, mencegah
komplikasi dan memper-baiki kondisi eklampsia. Antikonvulsan
diberikan pada eklampsia untuk mencegah kejang lebih lanjut dan juga
diberikan pada pre-eklampsia dengan harapan mence-gah kejang
pertama dan dengan demikian diharapkan memperbaiki keadaan ibu
dan anak.
Pada penderita pre-eklampsia berat obat-obat yang dapat diberi
untuk memperbaiki keadaan ibu dan janinnya adalah:
Antikonvulsan
Antikonvulsan digunakan untuk mencegah kambuhnya
kejang dan mengakhiri aktivitas klinik dan elektrik kejang. Di United
Kingdom, diazepam popular digunakan sejak 1970 dan fenitoin sejak
1990 namun penggunaan magnesium sulfat masih jarang. Magnesium
sulfat telah digunakan secara luas selama puluhan tahun di Amerika
Serikat dan akhir-akhir ini dikenal sebagai antikonvulsan terpilih pada
eklampsia.

Beberapa

penelitian

telah

mengungkapkan

bahwa

magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mengobati kejang


eklamptik. Ditambah lagi dengan harganya yang murah maka dapat
dikatakan magnesium sulfat merupakan drug of choice untuk terapi
eklampsia. Selain itu masih ada obat pilihan lain seperti fenitoin,
diazepam, hidralazin, labetalol dan nifedipin.
Magnesium sulfat (MgSO4)
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk
mencegah kejang berkelanjutan dan mengakhiri kejang yang sedang
berlanjut. Di samping itu juga untuk mengurangi komplikasi yang

terjadi pada ibu dan janin. Pada pemberian MgSO4 pasien harus
dievaluasi bahwa refleks tendon dalam masih ada, pernafasan
sekurangnya 12 kali per menit dan urine output sedikitnya 100 ml
dalam 4 jam.
Magnesium sulfat merupakan antikonvulsan yang efektif
dan membantu mencegah kejang kambuhan dan mempertahankan aliran
darah ke uterus dan aliran darah ke fetus. Magnesium sulfat berhasil
mengontrol kejang eklamptik pada >95% kasus. Selain itu zat ini
memberikan keuntungan fisiologis untuk fetus dengan meningkatkan
aliran darah ke uterus.
Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah menekan
pengeluaran asetilkolin pada motor endplate. Magnesium sebagai
kompetisi antagonis kalsium juga memberikan efek yang baik untuk
otot skelet. Magnesium sulfat dikeluarkan secara eksklusif oleh ginjal
dan mempunyai efek antihipertensi.
Dapat diberikan dengan dua cara, yaitu IV dan IM. Rute
intravena lebih disukai karena dapat dikontrol lebih mudah dan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat terapetik lebih singkat. Rute
intramuskular cenderung lebih nyeri dan kurang nyaman, diguna-kan
jika akses IV atau pengawasan ketat pasien tidak mungkin. Pemberian
magnesium sulfat harus diikuti dengan pengawasan ketat atas pasien
dan fetus.
Terapi magnesium biasanya dilanjutkan 12-24 jam setelah bayi
lahir, dapat dihentikan jika tekanan darah membaik serta diuresis yang
adekuat. Kadar magnesium harus diawasi pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, pada level 6-8 mg/dl. Pasien dengan urine output yang
meningkat

memerlukan

dosis

rumatan

untuk

mempertahankan

magnesium pada level terapetiknya. Pasien diawasi apakah ada tandatanda perburukan atau adanya keracunan magnesium.
Protokol pemberian magnesium menurut

The

Parkland

Memorial Hospital, Baltimore, adalah sebagai berikut:


4 g. magnesium sulfat IV dalam 5 menit, dilanjutkan dengan 10
g. magnesium sulfat dicampur dengan 1 ml lidokain 2% IM dibagi pada

kedua bokong. Bila kejang masih menetap setelah 15 menit lanjutkan


dengan pemberian 2 g. magnesium sulfat IV dalam 3-5 menit. Sebagai
dosis rumatan, 4 jam kemudian berikan 5 g. magnesium sulfat IM,
kecuali jika refleks patella tidak ada, terdapat depresi pernafasan, atau
urine output <100 ml dalam 4 jam tersebut. Atau dapat diberikan
magnesium sulfat 2-4 g/jam IV. Bila kadar magnesium >10 mg/dl
dalam waktu 4 jam setelah pemberian bolus maka dosis rumatan dapat
diturunkan. Level terapetik adalah 4,8-8,4 mg/dl.
Dengan protokol di atas, biasanya serum magnesium akan
mencapai 4-7 mg/dl pada pasien dengan distribusi volume normal dan
fungsi ginjal yang normal. Pengawasan aktual serum magnesium hanya
dilakukan pada pasien dengan gejala keracunan magnesium atau pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Pasien dapat mengalami kejang ketika mendapat magnesium
sulfat. Bila kejang timbul dalam 20 menit pertama setelah menerima
loading dose, kejang biasanya pendek dan tidak memerlukan
pengobatan tambahan. Bila kejang timbul >20 menit setelah pemberian
load-ing dose, berikan tambahan 2-4 gram magnesium. Dosis
pemberian MgSO4:
1. Dosis inisial: 4-6 g. IV bolus dalam 15-20 menit; bila kejang
timbul setelah pemberian bolus, dapat ditambahkan 2 g. IV dalam
3-5 menit. Kurang lebih 10-15% pasien mengalami kejang lagi
setelah pemberian loading dosis.
2. Dosis rumatan: 2-4 g./jam IV per drip. Bila kadar magnesium >
10 mg/dl dalam waktu 4 jam setelah pemberian per bolus maka
dosis rumatan dapat diturunkan.
Pada Magpie Study, untuk keamanan, dosis magnesium
dibatasi. Dosis awal terbatas pada 4 g. bolus IV, dilanjutkan dengan
dosis rumatan 1 g./jam. Jika diberikan IM, dosisnya 10 g. dilanjutkan 5
g. setiap 4 jam. Terapi diteruskan hingga 24 jam.
Kontraindikasi pemberian MgSO4 adalah pada pasien dengan
hipersensitif terhadap magnesium, adanya blok pada jantung, penyakit
Addison, kerusakan otot jantung, hepatitis berat, atau myastheniagravis.

Interaksi MgSO4 terhadap obat lain adalah jika penggunaan


bersamaan dengan nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan blokade
neuromuskular.

Dapat

meningkatkan

terjadinya

blokade

neuromuskular bila digunakan dengan aminoglikosida, potensial terjadi


blokade neuromuskular bila digunakan bersamaan dengan tubokurarin,
venkuronium dan suksinilkolin. Dapat meningkatkan efek SSP dan
toksisitas dari depresan SSP, betametason dan kardiotoksisitas dari
ritodrine.
Kategori keamanan pada kehamilan : A - aman pada kehamilan.
Perhatikan selalu adanya refleks yang hilang, depresi nafas dan
penurunan urine output: Pemberian harus dihentikan bila terdapat
hipermagnesia dan pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi.
Depresi SSP dapat terjadi pada kadar serum 6-8 mg/dl, hilangnya
refleks tendon pada kadar 8-10 mg/dl, depresi pernafasan pada kadar
12-17 mg/dl, koma pada kadar 13-17 mg/dl dan henti jantung pada
kadar 19-20 mg/dl. Bila terdapat tanda keracunan magnesium, dapat
diberikan kalsium glukonat 1 g. IV secara perlahan.
Magnesium sulfat harus dipikirkan untuk wanita hamil dengan
eklampsia karena harganya murah, cocok digunakan di negara yang
pendapatannya rendah. Pemberian intravena lebih disukai karena efek
sam-pingnya lebih rendah dan masalah yang disebabkan oleh tempat
penyuntikan lebih sedikit. Lamanya pengobatan umumnya tidak lebih
dari 24 jam, dan bila rute intravena digunakan untuk terapi rumatan
maka dosisnya jangan melebihi 1 g/jam.Pemberian dan peng-awasan
klinik selama pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan oleh staf
medik, bidan dan perawat yang sudah terlatih.
Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang
eklamptik, namun diduga menyebabkan bradikardi dan hipotensi.
Fenitoin bekerja menstabilkan aktivitas neuron dengan menurunkan
flux ion di seberang membran depolarisasi.
Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk
beberapa hari sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga

memiliki kadar terapetik yang mudah diukur dan penggunaannya dalam


jangka pendek sampai sejauh ini tidak memberikan efek samping yang
buruk pada neonatus.
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepat-an < 50
mg/min, diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/kgbb 2 jam kemudian.
Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap fenitoin, blok sinoatrial,
AV blok tingkat kedua dan ketiga, sinus bradikardi, sindrom AdamsStokes.
Interaksi: Amiodaron, benzodiazepin, kloramfenikol, simetidin,
flukonazol,

isoniazid,

metronidazol,

mico-nazol,

fenilbutazon,

suksinimid, sulfonamid, omeprazol, fenasemid, disulfiram, etanol


(tertelan secara akut), trimethoprim dan asam valproat dapat
meningkatkan toksisitas fenitoin. Efektivitas fenitoin dapat berkurang
bila digunakan bersamaan dengan obat golongan barbiturat, diazoksid,
etanol, rifampisin, antasid, charcoal, karbamazepin, teofilin, dan
sukralfat.

Fenitoin

kortikosteroid,

dapat

menurunkan

dikumarol,disopiramid,

efektifitas

asetaminofen,

doksisiklin,

estrogen,

haloperidol, amiodaron, karbamazepin, glikosida jantung, kuinidin,


teofilin, methadon, metirapon, mexiletin, kontrasepsi oral, dan asam
valproat.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-Tidak aman untuk
kehamilan
Peringatan: Diperlukan pemeriksaan hitung jenis dan analisis
urin saat terapi dimulai untuk mengetahui adanya diskrasia darah.
Hentikan penggunaan bila terdapat skin rash, kulit mengelupas, bulla
dan purpura pada kulit. Infus yang cepat dapat menyebabkan kematian
karena henti jantung, ditandai oleh melebarnya QRS. Hati-hati pada
porfiria intermiten akut dan diabetes (karena meningkatkan kadar gula
darah). Hentikan penggunaan bila terdapat disfungsi hati.
Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan
pada kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang pendek dan efek
depresi SSP yang signifikan.
Dosis : 5 mg IV

Kontraindikasi: Hipersensitif pada diazepam, narrow-angle


glaucoma
Interaksi: Pemberian bersama fenotiazin, barbiturat, alkohol dan
MAOI meningkatkan toksisitas benzodia-zepin pada SSP.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-tidak aman digunakan
pada wanita hamil
Peringatan : Dapat menyebabkan flebitis dan trombosis vena,
jangan diberikan bila IV line tidak aman; Dapat menyebabkan apnea
pada ibu dan henti jantung bila diberikan terlalu cepat. Pada neonatus
dapat menyebabkan depresi nafas, hipotonia dan nafsu makan yang
buruk.
Antihipertensi
Hipertensi yang berasosiasi dengan eklampsia dapat dikontrol
dengan adekuat dengan menghentikan kejang. Antihipertensi digunakan
bila tekanan diastolik >110 mmHg. untuk mempertahankan tekanan
diastolik pada kisaran 90-100 mmHg. Antihipertensi mempunyai 2
tujuan utama:
o Menurunkan angka kematian maternal dan kematian yang
berhubungan dengan kejang, stroke dan emboli paru
o Menurunkan angka kematian fetus dan kematian yang disebabkan
oleh IUGR, placental abruption dan infark.
Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan menyebabkan
hipoperfusi uterus. Pembuluh darah uterus biasanya mengalami
vasodilatasi maksimal dan penurunan tekanan darah ibu akan
menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta. Walaupun cairan tubuh
total

pada pasien eklampsia

berlebihan,

volume

intravaskular

mengalami penyusutan dan wanita dengan eklampsia sangat sensitif


pada perubahan volume cairan tubuh. Hipovolemia menyebabkan
penurunan perfusi uterus sehingga penggunaan diuretik dan zat-zat
hiperosmotik harus dihindari.
Obat-obatan yang biasa digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi adalah hidralazin dan labetalol. Nifedipin telah lama
digunakan tetapi masih kurang dapat diterima.
Hidralazin

Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan


takikardi dan peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu
meningkatkan aliran darah ke uterus dan mencegah hipotensi.
Hidralazin dimetabolisir di hati. Dapat mengontrol hipertensi pada
95% pasien dengan eklampsia.
Dosis: 5 mg IV ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan
darah <110 mmHg. Aksi obat mulai dalam 15 menit, puncaknya 30-60
menit, durasi kerja 4-6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap
hidralazin, penyakit rematik katup mitral jantung. Interaksi: MAOI
dan beta-bloker dapat meningkatkan toksisitas hidralazin dan efek
farmakologi hidralazin dapat berkurang bila berinteraksi dengan
indometasin. Peringatan: Pasien dengan infark miokard, memiliki
penyakit jantung koroner; Efek sampingnya kemerahan, sakit kepala,
pusing-pusing, palpitasi, angina dan sindrom seperti idiosinkratik lupus
(biasanya pada penggunaan kronik).
Kategori keamanan pada

kehamilan:

keamanan

penggunaanya pada wanita hamil belum pernah ditetapkan.


Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV
dan per oral. Digunakan sebagai pengobatan alternatif dari hidralazin
pada penderita eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipengaruhi oleh pemberian labetalol IV.
Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40
mg, dosis berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal
300 mg; Dapat diberikan secara konstan melalui infus; Aksi obat
dimulai setelah 5 menit, efek puncak pada 10-20 menit, durasi kerja
obat 45 menit sampai 6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif pada
labetalol,

shock

kardiogenik,

edema

paru,

bradikardi,

blok

atrioventrikular, gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi;


penyakit saluran nafas reaktif, bradikardi berat. Interaksi: Menurunkan
efek diuretik dan meningkatkan toksisitas dari metotreksat, litium, dan
salisilat. Menghilangkan refleks takikardi yang disebabkan oleh
penggunaan nitrogliserin tanpa efek hipotensi. Simetidin dapat

meningkatkan kadar labetalol dalam gula darah. Glutetimid dapat


menurunkan

efek

labetalol

de-ngan

cara

menginduksi

enzim

mikrosomal. Peringatan: Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan


gangguan fungsi hati. Hentikan penggunaan bila terdapat tanda
disfungsi hati. Pada pasien yang berumur dapat terjadi keracunan
ataupun respons yang rendah.
Kategori keamanan

pada

kehamilan

C-keamanan

penggunaanya pada wanita hamil belum ditetapkan.


Nifedipin
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek
vasodilatasi kuat arteriolar. Hanya tersedia dalam bentuk preparat oral.
Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis
maksimal 120 mg/ hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap
nifedipin. Interaksi: Hati-hati pada penggunaan bersamaan dengan obat
lain yang berefek menurunkan tekanan darah, termasuk beta blocker
dan opiat; H2 bloker (simetidin) dapat meningkatkan toksisitas.
Peringatan: Dapat menyebabkan edema ekstremitas bawah, jarang
namun dapat terjadi hepatitis karena alergi. Masalah utama penggunaan
nifedipin

adalah

hipotensi.

Hipotensi

biasanya

terjadi

bila

mengkonsumsi kalsium. Sebaiknya dihindari pada kehamilan dengan


IUGR dan pada pasien dengan fetus yang terlacak memiliki detak
jantung abnormal.
Kategori keamanan

pada

kehamilan:

Keamanan

penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan.


Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( beta 2-agonis). Obat ini
merangsang adrenoreseptor 2 di SSP dan perifer, tetapi efek
antihipertensinya terutama akibat perangsangan reseptor 2 di SSP.
Dosis: dimulai dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat
ditingkatkan 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Penggunaan klonidin
menurunkan tekanan darah sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak
2-4 jam dan durasi kerja 6-8 jam. Efek samping yang sering terjadi
adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik kadang terjadi.
Penghentian mendadak dapat me-nimbulkan reaksi putus obat.

Kontraindikasi: Sick-sinus syndrome, blok artrioventrikular derajat dua


atau tiga. Interaksi: Diuretik, vasodilator, -bloker dapat mening-katkan
efek antihipertensi. Pemberian bersamaan dengan -bloker dan atau
glikosida jantung dapat menurunkan denyut jantung dan disritmia.
Pemberian bersamaan dengan antidepresan trisiklik dapat menurunkan
kemampuan klonidin dalam menurunkan tekanan darah. Peringatan:
Hati-hati pada pasien dengan kelainan ritme jantung, kelainan sistem
konduksi AV jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi SSP ataupun
perifer,

depresi,

polineuropati,

konstipasi.

Dapat

menurunkan

kemampuan mengendarai mobil ataupun mengoperasikan mesin.


Kategori keamanan pada kehamilan: C - keamanan
penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan.
Kortikosteroid
Pada pre-eklampsia berat kortikosteroid hanya diberikan
pada kehamilan preterm < 34 minggu dengan tujuan untuk
mematangkan paru janin. Semua kehamilan 34 minggu yang akan
diakhiri diberikan kortikosteroid dalam bentuk dexamethasone atau
betamethasone.
National Institute of Health (NIH, 2000) menganjurkan
pemberian kortikosteroid pada semua wanita dengan usia kehamilan 2434 minggu yang berisiko melahirkan preterm, termasuk penderita preeklampsia berat. Pemberian betamethasone 12 mg intra-muskuler dua
dosis dengan interval 24 jam, atau pemberian dexamethasone 6 mg
intra-vena empat dosis dengan interval 12 jam.

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pasien G1 P0 A0 H 36 minggu datang dengan
keluhan riwayat kejang pada pukul 08.00 WIB disertai tekanan darah tinggi,
merasa bingung, badan terasa lemas, pandangan gelap, kepala pusing, ujung jari
kaki dan tangan terasa kesemutan, sudah mendapat vaksin TT sebelum hamil..
Pada pemeriksaan vital sign didapatkan kesimpulan bahwa keadaan umum
lemah, tekanan darah tinggi grade II disertai takikardi, penurunan visus disertai
edema tungkai dan hamil dengan janin tunggal hidup, serta belum dalam
persalinan.
Pemeriksaan lab dengan sampel darah dan urin menunjukkan hasil
proteinuria (+2) tanpa disertai munculnya tanda-tanda peradangan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dapat disimpulkan pasien didiagnosis Eklampsia pada primigravida preterm
belum dalam persalinan dengan komplikasi gangguan visus.
Pada kasus ini, pasien di IGD diberi terapi Mg SO4 4 gram dalam cairan
fisiologis 500cc dengan kecepatan 20 tpm. Hal ini bertujuan untuk menurunkan
tekanan darah, namun menurut kami, hal tersebut masih memiliki kekurangan
karena, pasien hanya diberikan dosis rumatan dan tidak diberikan dosis inisial
berupa MgSO4 4-6 g. IV bolus dalam 15-20 menit. Tindakan sectio caesaria pada
pasien ini sudah tepat, karena pasien sudah mengalami gangguan sistemik berupa
riwayat kejang, penurunan visus dan akral kesemutan/ hypoxia.

DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta : PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Cunningham, 2005, Obstetri Williams, Edisi 21. EGC. Jakarta
Sastra Winata S, 2004, Obstetric Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi, Edisi
II. Cetakan I.EGC. Jakarta.
Wiknjosastro Hanifa, dkk, 2008, Ilmu Kandungan. Cetakan VI. PT Bina
Pustaka. Jakarta.

You might also like