‘BENCHMARKING DALAM PENDIDIKAN
Mudin Simaauhuruk, Pudji Hartuti dan Edy Hermansyah
Universitas Bengkulu
ABSTRAK
Upaya pemerintah dalam pembangunan pendidikan selama ini masih terbatas pada penyediaan input
pendidikan seperti penyedisan sarana pendididikan, penyediaan buku dan alat belajar lainnya, pelatihan gura
dan tenaga kependidikan. input pendidikan semacam ini memang mutlak diperlukan (necessary condition)
akan tetapi tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, interaksi
diantara input pendidikan yang sudah kita miliki sax ini perlu dioptimalkan. Optimalisasi ini akan
menghasilkan kualitas proses pendidikan yang bermutu. Badan Akreditasi Nasional, Badan Akreditasi
Sekolah dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan adalah lembaga pemerintah yang ditugasi untuk
mengoptimalkan proses. BAN/BAS dan LPMP termasuk lembaga ekternal sekolah, sehingga peningkatan
kualitas proses pendidikan tidak dapat optimal dilakukan, Oleh karena itu diperlukan usaha internal untuk
meningkatkan kualitas proses pendidikan secara optimal. Benchmarking adalah suatu kegiatan internal yang,
mengoptimalkan peningkatan kualitas proses pendidikan secara intemal. Makalah ini mendiskusikan proses
benchmarking dalam dunia pendidikan,
A. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membawa manusia dalam
suasana kompetitif. Dalam kompetisi tersebut
siapa yang kuat dialah yang menang. Dalam
adu kekuatan tersebut yang diadu adalah
produk dari suatu industri di pasaran, Produk
yang kualitasnya baik, harganya terjangkau
dan mempunyai dampak negatif terhadap
lingkungan merupakan produk yang mampu
bersaing. Baik tidaknya suatu produk tentu
saja sangat tergantung pada teknologi yang
digunekan. Semakin canggih teknologi yanz
digunakan semakin baik kualitas dari produk
yang dihasilkan, Oleh karena itu siapa yang
dapat menguasai teknologi yang lebih
canggih, dialah yang menang dalam
persaingan di era globalisasi yang akan
datang. Dengan kata lain kompetisi di era
globalisasi sama saja dengan kompetisi para
pakar atau kompetisi kealitas sumber daya
manusia (SDM).
Perlu kita sadari bersama bahwa
penguasaan teknologi akan menghadapi
berbagai tantangan Karena bangsa-bangsa
yang maju ingin tetap mempertahankan
dominasinya dalam persaingan dengan
berbagai macam cara, termasuk pembatasan
akses terhadap —pendidikan, _ hasil-hasil
penelitian maupun teknologi kunci yang
mereka Kuasai. Selain itu kemajuan ilmu
SERUNAT Juinal Pendidikan PP — KP
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
sangat cepat dapat menyebabkan iptek yang
sudah dikuasai tidak bermanfaat agi.
Konsekuensi pengembangan kualitas SDM
sudah —seharusnya —ditujukan pada
pengembangan SDM yang mampu menguasai
Iptek dan mempunyai adaptasi yang tinggi.
Pendidikan memegang peran penting
dalam pengembangan sumber daya manusia.
Oleh Karena itu pemerintah bersama-sama
dengan komponen masyarakat lainnya terus
berupaya membangun pendidikan yang icbih
berkualitas melalui pengembangan dan
perbaikan kurikulum, perbaikan sarana
pendidikan, pengembangan dan materi ajar
serta pelatihan bagi guru dan tenaga
kependidikan lainya. Namun, upaya tersebut
belum dapat meningkatkan —_kualitas
pendidikan,
Kelayakan guru mengajar baik untuk
3
spesifik, dan ekspektasi prestasi dari siswa
tertentu; (2) Karena ekspektasi yang berbeda-
beda , maka guru berperifaku sesuai dengan
ekspektsinya terhadap siswa tertentu; (3)
Perlakuan yang demikian atau perilaku guru
yang demikian akan menjclaskan kepada
siswa perilaku yang bagaimana dan prestasi
yang bagaimana yang diharapkan guru dari
mereka. Selain itu perilaku yang demikian
akan menjelaskan bagaimana _siswa
berperilaku dan bertindak; (4) Bila perlakuan
yang demikian dilakukan Konsisten dan
siswa tidak menolak perlakuan yang
demikian, maka ada kemungkinan perlakuan
yang demikian akan mempengaruhi konsep
pribadi para siswa, mempengacuhi prestasi
dan motivasi para siswa (5) Pengaruh ini
akan membuat para siswa menyesuaikan diri
dengan ekspektasi yang dimiliki oleh guru
dimana ekspektasi ini kadang-kadang
dari apa yang _sesungguhnya
dimiliki oleh para siswa (6) Sesuai dengan
perjalanan waktu prestasi dan tingkah laku
siswa lamatama semakin dekat dengan
ekspektasi yang sesungguhnya diharapkan
dari mereka.
C3. Efective School Leadership
iffective instructional and
administrative leadership is required to
implement change processes. Efective leaders
are proactive and seek help that is needed.
They also nurture an instruksional program
and school culture conductive to learning and
professional growth. Effective leaders can
have different styles and roles—teachers and
other staff, inchvling those in the disirict
office, often have a leactership role.
Berbagai literature telah menjelaskan
kepemimpinan sekolah yang efektif. Yang
menarik disimak di sini_— adalah
kepemimpinan sekolah yang dikemukakan
oleh Elmore (lihat Shannon, 2003, hal.i3).
Elmore berpendapat bahwa pemimpin
sekolah perlu mendistribusikan
kepemimpinan —_ kepada _individu-individu
(guru-guru) sesuai dengan minat, bakat, skill
yang dimilikinya, karena pengembangan
suatu sekolah terletak di tangan orang-orang
yang secara langsung bertanggung jawab
pada pengajaran, bukan terletak di tangan
para manager. Oleh karena itu pendekatan
leadership yang dilakukan oleh kepala
sekolah atau pemimpin yang Jain adalah
pendekatan collaborative _ professional
learning communities. Barth (dalam
Shannon, 2003 hal.14) menyatakan bahwa
sekolah yang baik adalah: “a place where
everyone is teaching and everyone is
learning “ secara serentak dalam koridor
yang sama. Oleh karena itu untuk membantu
para pimpinan dalam —_ pengembangan
sekolahnya langkah-langkah berikut dapat
menolong: (1) Kembangkan hubungan yang
saling menghargai dengan staf, orangtua, para
siswa; 2) Ciptakan professional learnning
community; (3) Focus on learning dan review
aturan-aturan sekolah, kurikulum dan
pengajaran untuk meyakinkan koherensi di
dalam sistim.
Benchmarking dalam Pendidikan.
--Mudin Simanubuerk, Pudji Hartt, dan Fay Hermansyah ”C4. High Levels of Collaboration and
Communication
There is strong leamwork among teachérs
across all grades and with other staf. Every
body is involved and connected to each
other, including parents and members of the
community, to identify problems and work on
solutions.
Hasil studi Little (1981, dalam
Shannon, 2003, hal.17) menunjukkan bahwa
kollaborasi yang baik di antara guru, kepala
sekolah dan staf cenderung menghasilkan
sebuah keputusan yang baik dan ditindak
lanjuti dengan implementasi yang baik pula.
Lebih jauh Little menunjukkan motivasi dan
prestasi belajar siswa meningkat karena ada
keconderungan para siswa meniru kerjasama
yang dilakukan oleh para guru dan staf.
Kollaborasi yang dimaksud oleh Little paling
sedikit mencakup 4 karakteristik berikut: (1)
Adults in schools talk about practice. Setiap
orang dewasa di sekolah selalu diskusi
tentang mengajar dan belajar; (2) Adults in
schools observe each other. Setiap orang
dewasa di sekolah saling mengobservasi satu
sama lain datam pelaksanaan pengajaran dan
administrasi; (3) Adults in schools work on
curriculum. Setiap orang dewasa di sekolah
terlibat dalam pembuatan kurikulum baik itu
perencanaan, desain, dan evaluasi kurikulum;
(4) Adults in schools teach each other. Setiap
orang saling mengajar satu sama lain. Oleh
karena itu Kepala Sekolah sebagai pimpinan
harus menciptakan suasana kondusif agar
terbentuk kollaborasi yang baik.
C5. Curriculum, — Instruction and
Assessments Aligned with State Standards
The planned and actual curriculum are
aligned with esential academic learning
requirements. Research based teaching
sirtegies and materials are used. Staff
understand the role of classroom and state
assesments, what the assesments measure,
and how student work-is evaluated.
Alignment —(kesejajaran) pada
dasarnya adalah kescsuaian atau overlap
antara apa yang diajarkan (what is taught),
bagaimana hal itu diajarkan (How it is
taught) dan bagaimana hal itu diuji (how it
is test) sesuai dengan standard nasional.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mensejajarkan kurikuium yang dilaksanakan
SERUNAT Jumal Pendidikan PP ~ BKP
dengan kurikulum nasional adalah membuat
peta kurikulum. Proses pengembangan peta
kurikulum tersebut dapat dilakukan melalui
langkah-langkah berikut: (1) Secara individu
setiap guru mengidentifikasi hal-hal yang
dilakukan. Setiap guru membuat peta yang,
diajarkan, Peta tersebut memuat kompetensi,
isi kurikulum, — pengajaran(instructional),
penilaian, estimasi waktu yang dibutuhkan:
(2) Para staf pengajar share setiap map yang
dibuat och guru. Pengalaman menunjukkan
pada umunnya guru tidak mengetahui apa
saja yang diajarkan oleh guru lain; (3)
Seluruh staf pengajar meréview map untuk
melihat gap yang terjadi; (4) Staf pengajar
bekerjasama untuk mengidentifikasi efective
instructional method.
C.6, Frequent Monitoring of Learning and
‘Teaching
A steady cycle of different assesments identify
students who need hélp. More support and
instructional time is provided, either during
the school day or outside normal school
hours, to students who need more help.
Teaching is adjusted based on frequent
monitoring of student progress and needs.
Assesment results are used to focus and
improve intructional programs.
Kegiatan monitoring adalah kegiatan
menganalisa hal-hal yang dilakukan dengan
hasil-hasil yang diperoleh. Hasil monitoring
dijadikan sebagai unpan halik bagi guru dan
siswa sebagai upaya perbaikan. Hasil
monitoring jangan digunakan sebagai suatu
Keputusan tentang student’s future or a
teacher’s career. Error are treated as
learning opportunities, not test failures.
Oleh Karena itu kegiatan monitoring secara
kontinu akan memberikan ‘unpan bailk secara
Kontinu pula. Dengan demitian perbaikan
segera dapat dilakukan,
C.7, Focused Professional Development
A strong emphasis is placed on training
staff in areas of most need. Feedback from
learning and teaching focuses extensive and
ongoing professional development. The
support is also aligned with the school or
district vision and objectives.
Pengembangan profesi guru secara
konvensional baik yang terjadi di Indonesia
maupun di luar negeri temnyata tidak
58membawa banyak kemajuan. — Bentuk-
bentuk penataran di mana para peserta
bersifat passif ternyata tidak berhasil. Oleh
karena itu pemerintah sedang “Go and get
training by out side experts with educators
as passive recipients is less effective than
job embeded professional development. that
‘occurs through multiple forms that are
facilitated over time” Shanon(2003)
Di antara sekian banyak variabel
pendidikan, variabel guru adalah variabel
yang utama. Untuk melukiskan hal ini
mantan menteri pendidikan Fuad hasan
pernah mengemukakan “ sebaik apapa pun
kurikulum jika tidak dibarengi guru yang
berkualitas, maka semuanya akan sia-sia.
Sebaliioya, kurikulum yang kurang baik akan
dapat ditopang oleh guru yang berkualitas.
Oleh sebab itu, peningkatan mutu guru
sepannnya menjadi perhatian utama dalam
peningkatan mutu
pendidikan "(Kompas, 2 Maret 2005).
Pengembangan profesi guru yang
selama ini ditakukan ternyata beium
membawa kemajuan yang berarti, Kelayakan
mengajar guru rata-rata masih rendah.
Menyadari hal ini salah satu upaya yang
dilakukan olen pemerintah adalah
merumuskan —kebijakan sertifikasi_ guru
sebagai mana dirumuskan dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, Undeng-Undang ini
‘mensyaratkan kualifikasi calon guru minimal
D4. Selain itu izazah D4 atau SI diperlukan
sebagai syarat mengikuti pendidikan professi
di lembaga tenaga kependidikan(LPTK). Kita
berharap upaya ini akan meningkatkan
kompetensi guru.
Hal yang patut dipikirkan dalam
pengembangan profesionalisme guru adalah
kritisi Shanon (2003). Shanon berpendapat
bahwa pengembangan profesionalisme guru
dalam bentuk: “go and get training by outside
experts with educotors as passive recipients
is less effective than job embedded
professional development that occurs through
multiple forms that are facilitated over time”.
Jadi_ pengembangan professionalisme guru
yang tidak melekat langsung pada pekerjaan
guru kurang efektif. Oleh karena itu Shanon
menyarankan pengembangan profesionalisme
guru yang melekat langsung pada pekerjaan
guru seperti berikut: (1) Intensive mentoring
and peer support; (2) study group and action
research; (3) collaborative lesson study dan
(4) looking at student work.
C.8. Supportive Learning Environment
The school has a safe, civil, healthy and
intelectually stimulating learning enviroment.
‘Student feel respected and connected with the
staff and are engaged in learning. Instruction
is personalized and small learning
enviroments increase student contact with
teachers.
Lingkungan belajar yang mendukung
adalah lingkungan yang tertib dan tenang
tanpa suatu paksaan. Suasana belajar yang
demikian dapat terwujud melalui pendekatan
berikut: (1) Penerapan atauran dan regulasi
secara konsisten dan adil; (2) Penghargaan
yang baik terhadap siswa yang ditunjukkan
melalui sikap yang ramah ‘terbuka dan
komunikatif.
C9. High Level of Family and Community
Javolment
There is a sense that all have a
responsibility to educate students, not just the
teachers and staff in school. Families,
businesses, social service agencies, and
community colleges/universities all play a
vital role in this effort.
Para pakar pendidikan berpendapat
bahwa pola pengelolaan pendidikan yang
dilakukan selama ini tidak memadai untuk
menyelesaikan masalah pendidikan yang
bersifat dinamis dan kompleks. Umaedi
(2005), Direktur Pendidikan Menengah
‘Umum, berpendapat bahwa pola pengelolaan
pendidikan yang bersifat macro-oriented
yaitu pengelolaan pendidikan yang diatur
oleh jajaran birokrat pusat tidak dapat
menjawab permasalahan pendidikan dengan
tepat. Permasalahan pendidikan yang
dinamis dan sangat kompleks _tersebut
memerlukan kerjasama yang erat antara
sekolah, pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan pemikiran ini pemerintah sedang
mengembangkan pengelolaan _pendidikan
yang dikenal dengan Manajemen Pendidikan
Berbasis Sekolah (MBS). Pengelolaan
pendidikan model MBS berusaha_
meningkatkan partisipasi orang tua murid,
masyarakat dan pemerintah = dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Di Amerika
al
Benchmarking dalam Pendidikan
-Mudtin Simanuburd, Pudi Hartui, dan Edy Hermansyah 59.Serikat Parent Teacher Organisation telah
menetapkan suatu standard keterlibatan orang
tua-murid dalam MBS seperti berikut: (1)
Communication between home and school is
regular, two way, and meaningfull: (2)
Parenting skills are promoted and supported;
(3) Parents play an integral role in assisting
student learning, (4) Parents are welcome in
the school and their support and assistance
are sought; (5) Community resources are
used to strengthen schools, families, and
student learning,
D. Kesimpulan
Untuk meningkatkan = mutu
pendidikan, maka peningkatan kualitas proses
pendidikan sudah scharusnya dilakukan. Jka
usaha-usaha pembangunan _pendidikan
selama ini masih berorientasi_ pada
penyediaan input pendidikan, maka pada
‘masa yang akan datang usaha tersebut perlu
ditingkatkan dengan mengoptimalkan
interaksi diantara berbagai input pendidikan
sehingga kualitas proses _pendidikan
meningkat yang pada akhimya akan
meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah
satu cara yang telah banyak dilakukan oleh
negara maju dalam meningkatkan kualitas
proses pendidikan adalah benchmarking.
Sekolah-sekolah — mengidentifikasi dan
mengadopsi praktek-praktek yang dilakukan
oleh sekolah terbaik sebagai upaya untuk
meningkatkan prestasi_belajar_—_siswa.
Prosedure dan teknis pelaksanaan di lapangan
oleh sekolah terbaik tersebut di
sebagai standard kinerja normatif oleh
sekolah yang ingin meningkatkan prestasinya
melalui strategi benchmarking. Para pembaca
yang ingin mengetahui lebih dalam
karakteristik _sekolah-sekolah _terbaik
berdasarkan kajian literature dipersilahkan
membaca literatur yang dikemukakan pada
referensi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adewuyi,D.A. 2002. Comparison between
schooll efectiveness characteristics and
classroom instruction strategies in the
United States and Nigeria. Africa
Development, VoILXXVIL, No.1 & 2
SERUNAT Jurnal Pendidikan PP - BKP.
Anonim. 2006. What is benchmarking?
Anonim.2006. Applying benchmarking to
higher education: Some Lesson from
experience.
Austin. 2006. Strategic Plan 2005-2010.
Austin
Badan Akreditasi Sekolah Nasional. 2004.
Instrumen Evaluasi Diri, Jakarta:
Depdiknas.
Cotton. 1995. Effective Schooling Practices:
A Research Synthesis.
hup/Avww nwrelorangy
sepd/esp/esp9Sint.himl.
Forum Koordinasi Nasional Pendidikan
Untuk Semua, 2005. Analisis Situasi
dan Kondisi Pendidikan Untuk Sermua
Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.
Kercheval, A. and Newbill, S. L. A Case
Study of Key Effective Practices in
Ohio's. Improved School Districts.
http/curriculum.risd4 orang/committ
ee/best_practices/04-05/Ohio Full
Report. pdf.
Saltrick, D. and Schiller, J. Benchmarking:
South Carolina’s Aproach to Student
Achievement.
http://www.asbj.com/achievement/sbsa
/sbsa6.html.
Shannon, G.S.2003. Nine Charateristics of
High-Performing Schools.
http://Awww.k12..Wwa.us/
research/pubdocs/pdf/Scharacifor%20S
IP.pdf
Umaedi. 2005. Manjemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah.
hitp:/Avunw geocities.com/cbet_centrel
mpmbs.himil,
Watson,G.H. 1997. Strategic Benchmarking.
Terjemahan. Alih Bahasa Robert
Haryono Imam, Jakarta: Gramedia.
60