Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sinus paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os
frontal, os sphenoid, dan os ethmoid. Sinus-sinus ini dilapisi oleh mukoperiosteum
dan berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. 1
Sinus udara ini meringankan berat tengkorak dan memperkeras suara pembicaraan.2
Penyakit yang berkenaan dengan sinus paranasal merupakan penyakit yang sering
ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari bahkan dianggap sebagai salah satu
penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sehubungan dengan hal
tersebut, penting bagi seorang dokter untuk memahami dengan baik anatomi,
histologi, fisiologi, serta patologi sinus paranasal agar dapat memberikan penanganan
yang tepat kepada pasien. Diharapkan dengan disusunnya refarat ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa mengenai sinus paranasal.
Dalam tinjauan pustaka, penulis membahas secara singkat mengenai anatomi,
histologi, fisiologi, serta macam-macam penyakit yang berkaitan dengan sinus
paranasal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
kerena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus
ethmoidalis dan sinus sphenoidalis kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1,2,3,4,5,6
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoidalis dan sinus frontal. Sinus maxilla dan sinus ethmoidalis telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.5
2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2.1 Sinus Maxillaris
Sinus maxillaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maxilla
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.5
Sinus maxilla berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan facial
os maxilla yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maxilla, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maxilla berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid.1,5
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah 1)
dasar sinus maxilla sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maxilla dapat
menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maxilla terletak lebih tinggi dari
dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase
juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maxilla dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.5
Sinus maxillaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior, yakni cabang-cabang
nervus maxillaris (nervus cranialis V2). Perdarahan sinus maxillaris terutama berasal
dari arteria alveolaris superior cabang arteria palatine major mengantar darah ke dasar
sinus maxillaris.3 Gambar 2.1 dibawah adalah gambar sinus maxillaris.
Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding
lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus ethmoid posterior biasanya lebih
besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1,5
Resessus frontal adalah bagian sempit di depan sinus ethmoid anterior yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel ethmoid yang terbesar disebut bula ethmoid.
Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum.,
tempat bermuaranya ostium sinus maxilla. Pembengkakan atau peradangan di
resessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maxilla.5
Atap sinus ethmoidalis yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina
cribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus ethmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus ethmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoidalis.5 Gambar 2.3 dibawah adalah gambar
sinus ethmoidalis.
Terdapat dua aliran transpor mukosiliar dari sinus pada dinding lateral hidung.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
ethmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus posterior bergabung di resessus sphenoethmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.5
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung
sedikit sel goblet. Lamina propianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu
dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan
rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam ronggarongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel
bersilia.12
Sinusitis adalah proses peradangan di sinus yang dapat bertahan untuk waktu
lama, terutama karena penyumbatan pada lubang keluarnya. Sinusitis kronik dan
bronkitis kronik merupakan bagian dari sindrom silia imotil, yang ditandai dengan
gangguan kerja silia.12
2.4 Fisiologi Sinus Paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
sebagai pengatur kondisi udara, sebagai penahan suhu, membantu keseimbangan
kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan membantu
produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.5,6
Salah satu fungsi sinus ialah sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah kerena
ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga
hidung. Volume pertukatan udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.5
Fungsi lainnya ialah sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.5
Sinus juga berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.2,5
Selain itu, sinus dapat berfungsi sebagai tempat produksi mukus dan peredam
perubahan tekanan udara. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang
jumlahnya kecil dibandingkan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. 5,12 Sedangkan fungsi sinus
sebagai peredam perubahan tekanan udara berjalan bila ada perubahan tekanan yang
besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.5,6
2.5 Pemeriksaan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari
luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan
radiologik dan sinoskopi.
Saat inspeksi yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan
mungkin menunjukkan sinusitis maxilla akut. Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis ethmoid akut jarang
menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses.5,6
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi pada pemeriksaan secara palpasi
menunjukkan adanya sinusitis maxilla. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di
10
dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis ethmoid
menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.5,6
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maxilla dan sinus frontal bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak
tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita,
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma
di dalam antrum.(4)(9) Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maxilla, akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto Rontgen
tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maxilla.5
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk
kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus
berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin
berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.5,13
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan
radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi
Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maxilla, frontal dan ethmoid.
Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal , sphenoid dan ethmoid.5,13
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah
pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin dipakai adalah koronal dan
aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik,
trauma (fraktur frontobasal), dan tumor.5,14,15
Pemeriksaan ke dalam sinus maxilla dapat dilakukan dengan menggunakan
endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau
di fosa kanina.5 Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada
sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa
dan apakah ostiumnya terbuka.5,13
11
12
meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartagener, fibrosis kistik, dan hipertrofi adenoid pada anak.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok yang lama-lama dapat menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.5,14 Gambar 2.6 dibawah adalah skema dari penyebab
terjadinya sinusitis, simptom dari sinusitis, dan pengobatan bagi penderita sinusitis.
Gambar 2.6 S Skema dari penyebab terjadinya sinusitis, simptom dari sinusitis, dan pengobatan bagi
penderita sinusitis
13
16
14
15
16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di sekitar hidung dengan bentuk bervariasi
yang merupakan hasil pneumatisasi tulang kepala. Ada 4 pasang sinus, yaitu sinus
maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Muara sinus maxillaris,
frontalis dan ethmoidalis anterior terletak pada sepertiga tengah dinding lateral
hidung yang memiliki struktur yang rumit yang disebut kompleks osteo-meatal. 1,2,3,4,5,6
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung
sedikit sel goblet. Lamina propianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu
dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan
rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam ronggarongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel
bersilia.5,12
Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernapasan;
penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam
perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk membersihkan
rongga hidung. 5,6
Pemeriksaan sinus paranasal dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan
transiluminasi. Bila dicurigai adanya kelainan pada sinus paranasal, dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi dengan posisi Waters, PA dan lateral. Bila hasil pemeriksaan
radiologik meragukan dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal.5,6
Penyakit pada sinus meliputi sinusitis, sinusitis non-infeksiosa, penyakit sinus
konginental, penyakit sinus traumatik, dan penyakit sinus neoplastik. Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sinusitis non-infeksiosa
sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi bahan bahan kimia. Sinusitis
non-infeksiosa meliputi barosinusitis dan sinusitis alergika. Penyakit sinus
17
konginental meliputi variasi ukuran sinus, sindrom Kartagener, dan fibrosis kistik.
Penyakit sinus traumatik disebabkan oleh adanya fraktur terbuka pada daerah sinus,
sedangkan penyakit sinus neoplastik disebabkan oleh adanya perkembangan tumor
pada daerah sinus paranasal.9
3.2 Saran
Penulis menyarankan agar koleksi buku ajar yang berkenaan dengan sinus
paranasal di perpustakaan ditambah untuk mempermudah mahasiswa mencari
informasi yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC,
2006.
2. Pearce, E.C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia, 2009.
3. Moore, K.L dan Agur, A.M.R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates, 2002.
4. Pray, W.S. Acute Sinusitis and Treatment Strategies. US Pharmacist
( http://www.medscape.com/viewarticle/407637 ), 2000. Diakses pada 22
Maret 2011.
5. Soepardi, E.A dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
6. Sudoyo, A.W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing, 2009.
7. Knol. (http://knol.google.com/k/-/-/pi3gI5WQ/l3TZAw/Frontal%20view%20%20larger%20font%20copy.jpg). Diakses pada 27 Maret 2011.
8. MedicaLook.
(http://www.medicalook.com/systems_images/paranasal_sinuses_large.gif).
Diakses pada 22 Maret 2011.
9. The Medical City. (http://www.designink.info/medicalcityent/images/sinus.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.
10.Kalbe.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14TrappedGaspadaPenerbangan024.pdf
14TrappedGaspadaPenerbangan024002.png). Diakses pada 22 Maret 2011.
11.British Medical Journal.(http://www.bmj.com/content/334/7589/358/F1.large.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.
12.Junqueira, L.C dan Carneiro, J. Histologi Dasar Teks & Atlas. Jakarta: EGC,
2007.
13.Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta:
Media Aesculapius, 2009.
14.Adams, G.L; Boies, L.R; dan Higler, P.A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC, 1997.
19
15.Lynch, J.S. 2001. How Should I Identify and Treat Rhinosinusitis? Medscape
(http://www.medscape.com/viewarticle/412469 ). Diakses pada 22 Maret
2011.
16.Delmar Medical Center, P.A. (http://delmarmedicalcenter.com/Sinusitis.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.
20