You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN
Sinus paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os
frontal, os sphenoid, dan os ethmoid. Sinus-sinus ini dilapisi oleh mukoperiosteum
dan berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil. 1
Sinus udara ini meringankan berat tengkorak dan memperkeras suara pembicaraan.2
Penyakit yang berkenaan dengan sinus paranasal merupakan penyakit yang sering
ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari bahkan dianggap sebagai salah satu
penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sehubungan dengan hal
tersebut, penting bagi seorang dokter untuk memahami dengan baik anatomi,
histologi, fisiologi, serta patologi sinus paranasal agar dapat memberikan penanganan
yang tepat kepada pasien. Diharapkan dengan disusunnya refarat ini dapat menambah
pengetahuan mahasiswa mengenai sinus paranasal.
Dalam tinjauan pustaka, penulis membahas secara singkat mengenai anatomi,
histologi, fisiologi, serta macam-macam penyakit yang berkaitan dengan sinus
paranasal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
kerena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus
ethmoidalis dan sinus sphenoidalis kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1,2,3,4,5,6
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoidalis dan sinus frontal. Sinus maxilla dan sinus ethmoidalis telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.5
2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2.1 Sinus Maxillaris
Sinus maxillaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maxilla
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.5
Sinus maxilla berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan facial
os maxilla yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maxilla, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan

palatum. Ostium sinus maxilla berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid.1,5
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah 1)
dasar sinus maxilla sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maxilla dapat
menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maxilla terletak lebih tinggi dari
dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase
juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maxilla dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.5
Sinus maxillaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior, yakni cabang-cabang
nervus maxillaris (nervus cranialis V2). Perdarahan sinus maxillaris terutama berasal
dari arteria alveolaris superior cabang arteria palatine major mengantar darah ke dasar
sinus maxillaris.3 Gambar 2.1 dibawah adalah gambar sinus maxillaris.

Gambar 2.1 Sinus Maxillaris 7

2.2.2 Sinus Frontal


Sinus frontalis terletak antara tabula eksterna dan tabula interna ossis frontalis, di
belakang arcus superciliaris dan akar hidung. Masing-masing sinus berhubungan
melalui ductus frontonasalis dengan infundibulum yang bermuara di meatus nasalis
medius. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang-cabang kedua nervus supra-orbitalis
(nervus cranialis V1).1,3
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid.
Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.5
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
urang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.5
Tinggi sinus frontal adalah 2,8 cm, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Infeksi sinus
ditunjukkan dengan tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto Rontgen. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari
orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar
ke daerah ini. 5 Gambar 2.2 dibawah adalah gambar sinus frontal.

Gambar 2.2 Sinus Frontal 8

2.2.3 Sinus Ethmoidalis


Sinus ethmoidalis terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidalis, di
dalam massa lateral os ethmoidale, antara cavitas nasi dan orbita. Cellulae
ethmoidalis anterior dapat berhubungan secara tidak langsung dengan meatus nasalis
medius melalui infundibulum. Cellulae ethmoidalis tengah berhubungan langsung
dengan meatus nasalis medius. Cellulae ethmoidalis posterior berhubungan langsung
dengan meatus nasalis superior. Sinus ethmoidalis dipersarafi oleh nervus ethmoidalis
anterior dan nervus ethmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris ( nervus cranialis
V1).1,3
Sinus ethmoidalis adalah sinus yang paling bervariasi dari semua sinus paranasal,
dan dianggap paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus ethmoidalis seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.5
Sinus ethmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
5

Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding
lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus ethmoid posterior biasanya lebih
besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1,5
Resessus frontal adalah bagian sempit di depan sinus ethmoid anterior yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel ethmoid yang terbesar disebut bula ethmoid.
Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum.,
tempat bermuaranya ostium sinus maxilla. Pembengkakan atau peradangan di
resessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maxilla.5
Atap sinus ethmoidalis yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina
cribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus ethmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus ethmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoidalis.5 Gambar 2.3 dibawah adalah gambar
sinus ethmoidalis.

Gambar 2.3 Sinus ethmoidalis 9

2.2.4 Sinus sphenoidalis


Sinus sphenoidalis terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoid
posterior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersphenoid.
Tingginya 2 cm, dalamnya 2, 3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5
sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral
os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sphenoidalis.5
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar
hypophysis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus cavernosus dan a.carotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.3,5
Sinus sphenoidalis terpisah dari beberapa struktur penting hanya oleh lembaranlembaran tulang yang tipis: kedua nervus opticus, chiasma opticum, hypophysis
[glandula pituitaria], arteria carotis interna, dan sinus cavernosus serta sinus
intercavernosi. Nervus ethmoidalis posterior dan arteria ethmoidalis posterior
mengurus persarafan dan pendarahan sinus sphenoidalis.3
adalah gambar sinus sphenoidalis.

Gambar 2.4 Sinus Sphenoidalis 10

Gambar 2.4 dibawah

2.2.5 Kompleks Osteo-Meatal


Muara-muara saluran dari sinus maxilla, sinus frontal dan sinus ethmoidalis
anterior ada pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteo-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang prosessus unsinatus, resessus
frontalis, bula ethmoid dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maxilla.3,5 Gambar 2.5 dibawah adalah gambar kompleks osteo-meatal.

Gambar 2.5 Kompleks Osteo-Meatal 11

2.3 Histologi Sistem Mukosiliar Sinus Paranasal


Sinus memiliki mukosa bersilia dan palut lendir seperti pada mukosa hidung di
dalam rongganya. Silia bergerak secara teratur di dalam sinus untuk mengalirkan
lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.5

Terdapat dua aliran transpor mukosiliar dari sinus pada dinding lateral hidung.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
ethmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus posterior bergabung di resessus sphenoethmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.5
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung
sedikit sel goblet. Lamina propianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu
dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan
rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam ronggarongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel
bersilia.12
Sinusitis adalah proses peradangan di sinus yang dapat bertahan untuk waktu
lama, terutama karena penyumbatan pada lubang keluarnya. Sinusitis kronik dan
bronkitis kronik merupakan bagian dari sindrom silia imotil, yang ditandai dengan
gangguan kerja silia.12
2.4 Fisiologi Sinus Paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
sebagai pengatur kondisi udara, sebagai penahan suhu, membantu keseimbangan
kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan membantu
produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.5,6
Salah satu fungsi sinus ialah sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah kerena
ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga
hidung. Volume pertukatan udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran
udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.5

Fungsi lainnya ialah sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.5
Sinus juga berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.2,5
Selain itu, sinus dapat berfungsi sebagai tempat produksi mukus dan peredam
perubahan tekanan udara. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang
jumlahnya kecil dibandingkan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. 5,12 Sedangkan fungsi sinus
sebagai peredam perubahan tekanan udara berjalan bila ada perubahan tekanan yang
besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.5,6
2.5 Pemeriksaan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari
luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan
radiologik dan sinoskopi.
Saat inspeksi yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan
mungkin menunjukkan sinusitis maxilla akut. Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis ethmoid akut jarang
menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses.5,6
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi pada pemeriksaan secara palpasi
menunjukkan adanya sinusitis maxilla. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di

10

dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis ethmoid
menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.5,6
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maxilla dan sinus frontal bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak
tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita,
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma
di dalam antrum.(4)(9) Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maxilla, akan
tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto Rontgen
tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maxilla.5
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk
kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus
berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin
berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.5,13
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan
radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi
Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maxilla, frontal dan ethmoid.
Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontal , sphenoid dan ethmoid.5,13
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah
pemeriksaan CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin dipakai adalah koronal dan
aksial. Indikasi utama CT Scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik,
trauma (fraktur frontobasal), dan tumor.5,14,15
Pemeriksaan ke dalam sinus maxilla dapat dilakukan dengan menggunakan
endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau
di fosa kanina.5 Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada
sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa
dan apakah ostiumnya terbuka.5,13

11

2.6. Penyakit Pada Sinus


Penyakit pada sinus meliputi sinusitis, sinusitis non-infeksiosa, penyakit sinus
konginental, penyakit sinus traumatik, dan penyakit sinus neoplastik.
2.6.1 Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.4,5,14
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus
ethmoid dan maxilla.5
Sinus maxilla disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang
atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.5,14
Bakteri penyebab sinusitis adalah Streptococcus Pneumonia, Hemophylus
Influenzae dan Moraxella Catarrhalis. Sedangkan infeksi jamur pada sinus paranasal
menyebabkan sinusitis jamur. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi
sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.5,13,14
Sinusitis dapat menjadi berbahaya kerena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.5
Menurut Adams, berdasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis terbagi atas:
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu,
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan,
3. Sinusitis kronik, bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (menurut
Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan).13
Beberapa faktor penyebab sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-

12

meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartagener, fibrosis kistik, dan hipertrofi adenoid pada anak.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok yang lama-lama dapat menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.5,14 Gambar 2.6 dibawah adalah skema dari penyebab
terjadinya sinusitis, simptom dari sinusitis, dan pengobatan bagi penderita sinusitis.

Gambar 2.6 S Skema dari penyebab terjadinya sinusitis, simptom dari sinusitis, dan pengobatan bagi
penderita sinusitis

13

16

2.6.2 Sinusitis Non-Infeksiosa


Sinusitis non-infeksiosa sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi
bahan-bahan kimia. Sinusitis non-infeksiosa meliputi barosinusitis dan sinusitis
alergika.
2.6.2.1 Barosinusitis
Homeostasis sinus paranasalis tergantung pada keutuhan ostium. Dengan
berubahnya tekanan atmosfer lingkungan, ostium yang terganggu akan mencegah
terjadinya keseimbangan tekanan dalam sinus. Sehingga perubahan lingkungan
menimbulkan tekanan negatif intrasinus yang bermakna. Misalnya pada penyelam
yang memakai alat scuba diving dapat terjadi transudasi cairan atau perdarahan ke
dalam sinus. Perubahan ini biasanya disertai nyeri dan tekanan dan terkadang
epistaksis ringan.14
2.6.2.2 Sinusitis Alergika
Sinus alergika mencakup perubahan-perubahan pada sinus serupa dengan yang
ditemukan pada hidung. Polip dalam hidung biasanya berasal dari sinus dan dapat
pula memenuhi sinus tersebut. Perubahan polipoid mengubah mekanisme
homeostatik normal di dalam sinus, dan merupakan predisposisi sinusitis akut dan
kronik, misalnya sumbatan ostium dan hilangnya epitel bersilia.14
2.6.3 Penyakit Sinus Konginental
Penyakit sinus konginental meliputi variasi ukuran sinus, sindrom Kartagener,
dan fibrosis kistik.

14

2.6.3.1 Variasi Ukuran


Variasi ukuran sinus yang disertai asimetri terkadang dapat ditemukan; sinus
bahkan gagal untuk berkembang. Yang agak sering terjadi adalah tidak adanya sinus
frontalis atau hanya berupa sel udara yang kecil. Terkadang kejadian serupa juga
dialami sinus sphenoidalis.14
2.6.3.2 Sindrom Kartagener
Sindrom Kartagener diturunkan sebagai sifat autosomal resesif. Sindrom
Kartagener klasik berupa sites inverses, bronkiektasis dan sinusitis, meskipun
terdapat beberapa varian fenotip. Manifestasi lain berupa tidak adanya atau hipoplasia
satu atau lebih sinus, infeksi berulang, dan poliposis hidung.14
2.6.3.3 Fibrosis Kistik
Fibrosis kistik ditularkan sebagai sifat autosomal resesif lengan manifestasi dan
komplikasi yang mudah berubah, penyakit ini melibatkan berbagai kelenjar penghasil
mukus pada saluran napas dan cerna. Disebut juga mukovisidosis, produksi mukus
kental abnormal dengan sumbatan jalan napas yang ditimbulkannya mengarah pada
infeksi sekunder. Di samping sumbatan hidung oleh mukus, mukosa hidung juga
menebal dan sering terbentuk polip hidung.14
2.6.4 Penyakit Sinus Traumatik
Fraktur sinus frontalis, fraktur nasoethmoidalis, fraktur tulang pipi umumnya, dan
semua fraktur maxilla selalu berhubungan dengan sinus paranasalis, dan dengan
demikian merupakan fraktur terbuka. Pembengkakan mukosa pasca trauma dapat
mengganggu ostium sinus, dan bersama dengan darah yang terkumpul di dalam sinus
merupakan predisposisi terhadap infeksi akut.14

15

2.6.5 Penyakit Sinus Neoplastik


Tumor jinak tampak pada sinus serupa dengan tumor jinak yang ditemukan dalam
hidung. Tumor lain yang perlu dijelaskan adalah osteoma, yaitu tumor jinak yang
berkembang di dalam sinus-paling sering pada sinus frontalis. Makna klinisnya
terletak pada kemampuan tumor menyumbat sinus dengan pertambahan besamya.14

16

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di sekitar hidung dengan bentuk bervariasi
yang merupakan hasil pneumatisasi tulang kepala. Ada 4 pasang sinus, yaitu sinus
maxillaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Muara sinus maxillaris,
frontalis dan ethmoidalis anterior terletak pada sepertiga tengah dinding lateral
hidung yang memiliki struktur yang rumit yang disebut kompleks osteo-meatal. 1,2,3,4,5,6
Sinus paranasal dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung
sedikit sel goblet. Lamina propianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu
dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasal berhubungan langsung dengan
rongga hidung melalui lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan di dalam ronggarongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel
bersilia.5,12
Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernapasan;
penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam
perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk membersihkan
rongga hidung. 5,6
Pemeriksaan sinus paranasal dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan
transiluminasi. Bila dicurigai adanya kelainan pada sinus paranasal, dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi dengan posisi Waters, PA dan lateral. Bila hasil pemeriksaan
radiologik meragukan dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan sinus paranasal.5,6
Penyakit pada sinus meliputi sinusitis, sinusitis non-infeksiosa, penyakit sinus
konginental, penyakit sinus traumatik, dan penyakit sinus neoplastik. Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Sinusitis non-infeksiosa
sebagian besar disebabkan oleh karena alergi dan iritasi bahan bahan kimia. Sinusitis
non-infeksiosa meliputi barosinusitis dan sinusitis alergika. Penyakit sinus

17

konginental meliputi variasi ukuran sinus, sindrom Kartagener, dan fibrosis kistik.
Penyakit sinus traumatik disebabkan oleh adanya fraktur terbuka pada daerah sinus,
sedangkan penyakit sinus neoplastik disebabkan oleh adanya perkembangan tumor
pada daerah sinus paranasal.9
3.2 Saran

Penulis menyarankan agar koleksi buku ajar yang berkenaan dengan sinus
paranasal di perpustakaan ditambah untuk mempermudah mahasiswa mencari
informasi yang lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

18

1. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC,
2006.
2. Pearce, E.C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia, 2009.
3. Moore, K.L dan Agur, A.M.R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates, 2002.
4. Pray, W.S. Acute Sinusitis and Treatment Strategies. US Pharmacist
( http://www.medscape.com/viewarticle/407637 ), 2000. Diakses pada 22
Maret 2011.
5. Soepardi, E.A dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
6. Sudoyo, A.W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing, 2009.
7. Knol. (http://knol.google.com/k/-/-/pi3gI5WQ/l3TZAw/Frontal%20view%20%20larger%20font%20copy.jpg). Diakses pada 27 Maret 2011.
8. MedicaLook.
(http://www.medicalook.com/systems_images/paranasal_sinuses_large.gif).
Diakses pada 22 Maret 2011.
9. The Medical City. (http://www.designink.info/medicalcityent/images/sinus.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.
10.Kalbe.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14TrappedGaspadaPenerbangan024.pdf
14TrappedGaspadaPenerbangan024002.png). Diakses pada 22 Maret 2011.
11.British Medical Journal.(http://www.bmj.com/content/334/7589/358/F1.large.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.
12.Junqueira, L.C dan Carneiro, J. Histologi Dasar Teks & Atlas. Jakarta: EGC,
2007.
13.Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta:
Media Aesculapius, 2009.
14.Adams, G.L; Boies, L.R; dan Higler, P.A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC, 1997.

19

15.Lynch, J.S. 2001. How Should I Identify and Treat Rhinosinusitis? Medscape
(http://www.medscape.com/viewarticle/412469 ). Diakses pada 22 Maret
2011.
16.Delmar Medical Center, P.A. (http://delmarmedicalcenter.com/Sinusitis.jpg).
Diakses pada 22 Maret 2011.

20

You might also like