You are on page 1of 14

1

Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi


melalui induksi aktif toleransi imunologis
Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono
Divisi Alergi Imunologi
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya

Abstrak
Pencegahan penyakit alergi pada trimester kehidupan bayi sangat penting dimulai dengan
pencegahan alergi susu sapi, oleh karena sekali respons IgE dimulai, kaskade inflamasi alergi
akan berlanjut pada usia bayi selanjutnya, dan sensitisasi terhadap alergen makanan lain dan
aero-alergen akan terjadi.
Probiotik mempunyai peran yang unik dalam proses pencegahan penyakit alergi, selain
menghambat pertumbuhan kuman lain, probiotik membangkitkan respons imun mukosa S-IgA.
Secara sistemik membangkikan peranan T regulator yang akan menghambat aktifitas Th2 yang
berlebihan, maupun aktifitas Th1 yang berlebihan.
Probiotik juga mengaktifkan respons imun non specifik (innate) dan spesific (adapted).
Abstract
Allergy prevention in the first trimester of infant age is very important especially to cows milk,
because once IgE response has been initiated, it progresses throughout the infant life, and
sensitization to other food allergen and aero-allergen may develop.
Probiotic has a unique role in the prevention of allergic disease, instead of inhibitory to other
patogen growth, probiotic also enhances the development of mucosal S-IgA response.
In the systemic immune response, probiotic enhances the development of regulatory T-cell which
in turn will down-regulate the over-activity of Th2, and down-regulate the over activity of Th1.
Key words: Probiotic, prevention of allergy, IgE, S-IgA, T-regulatory, Th2, Th1

Pendahuluan
Dampak buruk alergi adalah menurunnya kualitas hidup, besarnya biaya pengobatan dan
terjadinya ko-morbiditas seperti asma, sinusitis dan otitis media. Pada anak, pengaruhnya bahkan
sampai pada terganggunya kemampuan belajar dan penurunan kualitas hidup orang tuanya.
Untuk itu pencegahan efektif sangat diperlukan. Pencegahan primer sangat efektif namun masih
sulit dilaksanakan, karena menyangkut rekayasa in-utero.1,2 Sedangkan pencegahan sekunder,
misalnya diet eliminasi, tidak mudah diterapkan di masyarakat luas, karena setiap masyarakat
atau bangsa telah mempunyai kepercayaan kuat mengenai apa yang wajar tentang jenis makanan.
Perkembangan ilmu dan tehnologi memungkinkan perubahan paradigma
pencegahan alergi dari paradigma penghindaran faktor resiko menjadi
paradigma induksi aktif toleransi imunologik.3

Imunopatologi Alergi
Reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel
struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan
target organ dan tahap timbulnya gejala. Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh
APC. Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi
Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit T H2 untuk
memproduksi sitokin-sitokinnya.4 Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu
Toll-like receptors (TLR) dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate menentukan
respons imun adaptif TH1, Treg atau TH2. Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN- dan TNF-,
sedangkan Limfosit TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF.5
Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip TH2. Produksi sitokin TH2 terutama IL4 akan mensupresi perkembangan TH1 dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-akan
mensupresi perkembangan TH2.5,6 Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan
Limfosit B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi IgE.
Sitokin yang dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil.7 Interaksi
antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan degranulasi sel mast. 8 Degranulasi sel mast
melepaskan mediator histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di
target organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ, maka reaksi
alergi akan terjadi.9 Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses
radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi. 10 Reseptor H2-histamin mempunyai
peran dalam terjadinya rasa gatal dan nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan
vasodilatasi perifer, sedangkan reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter
seperti histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin.9

Gambar 1. Mekanisme alergi. Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan
aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan alergen
selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat
menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit
kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan

3
mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang
meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel
lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan
eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic
proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari
interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi
pada patofisiologi simptom alergi. (Dikutip dari Hawrylowicz CM dan OGarra A, 2005. Potential role of interleukin-10-secreting regulatory T cells in allergy and asthma. Nature Reviews
Immunology 5; 271-83)

Perkembangan pencegahan alergi dan problemnya di masa kini.


Anak yang menderita alergi cukup berat tidak dapat hidup dengan aman dan nyaman, karena
harus menjalani penghindaran alergen yang cukup menyulitkan. Penyebab ketidaknyamanan ini
adalah karena penatalaksanaan alergi masih dititikberatkan pada konsep penghindaran faktor
resiko. Program pencegahan masih menghadapi banyak kendala dari berbagai faktor, misalnya:
1. Alergen sudah mempengaruhi sistem imun sejak masa fetus. Pencegahan primer di masa ini
masih sulit dilaksanakan dan kontroversial karena menyangkut rekayasa in-utero. 2,11 Selain
itu kehamilan sendiri merupakan allergic phenomenon (sistem imun dengan dominasi Th2)
yang bertujuan menghindari penolakan fetus oleh sistem imun ibu.12
2. Eliminasi alergen pada ibu hamil mempunyai efek yang tidak konsisten pada manifestasi
alergi anak di masa depan.13,14 .
3. Program pencegahan berupa imunoterapi yang diketahui dapat memperbaiki natural course
of disease alergi secara keseluruhan masih menghadapi kendala pada acceptability pasien
dan hanya efektif pada aeroalergen.15
4. Regimen diet eliminasi hipoalergenik yang efektif untuk kepentingan penghindaran faktor
resiko berbeda-beda tergantung pada ras, geografis, kebiasaan makan dan sebagainya.

Pemecahan problem pencegahan.


Untuk menghadapi berbagai masalah pada pencegahan alergi, pengembangan terapi saat ini
diarahkan pada perbaikan homoestasis sistem biologis penderita alergi yang ditujukan pada
imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2, sehingga
reaksi alergi dapat diperbaiki. Perkembangan ilmu dan tehnologi memungkinkan
perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa penghindaran
dari faktor resiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik. Beberapa
pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi
adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal,
pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual),
pemberian alergen bersama produk mikrobial dan pemberian alergen
bersama anti IgE.3

Peran vaksinasi
pencegahan.

alergen

(imunoterapi)

dalam

pemecahan

problem

Imunoterapi adalah suatu upaya yang mengusahakan perbaikan homoestasis sistem biologis
penderita alergi yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan
respon imun Th1 dan Th2. Mekanisme imunoterapi bertitik tangkap pada sel T dengan cara
menurunkan respons pembentukan IgE terhadap rangsangan alergen. Imunoterapi telah
digunakan dalam penyakit alergi lebih dari satu abad. Pada asma dan rinitis alergika yang
gejalanya jelas dicetuskan oleh paparan aeroalergen menunjukkan hasil yang baik. Jika

4
digunakan pada pasien yang tepat, imunoterapi sangat efektif dan aman, tetapi harus tetap
memperhatikan adanya efek samping. Masa depan imunoterapi lebih baik dengan adanya
pengembangan ekstrak yang terstandardisasi dan penggunaan ekstrak rekombinan. Keduanya
akan memberikan pola keamanan yang lebih sempurna. Seiring dengan itu, saat ini sedang
dikembangkan ekstrak alergen yang bersifat lebih mengarah modulator imun dengan tujuan
pendekatan yang lebih umum untuk penderita yang sensitif terhadap alergen multiple. Dalam
program pencegahan sekunder, penanganan dini alergi debu dengan program imunoterapi
diketahui dapat memperbaiki natural course of disease alergi secara keseluruhan.16 Namun
efektivitas klinis dari imunoterapi tersebut masih terbatas pada symptom yang ditimbulkan oleh
alergen inhalan,15 sedangkan untuk alergen makanan penderita alergi tetap harus menjalani diet
eliminasi agar tidak kambuh.

Apa peran probiotik dalam pemecahan problem pencegahan ?


Pemberian probiotik dalam pencegahan alergi juga merupakan upaya perbaikan homoestasis
sistem biologis penderita yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan
menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2. Alergi merupakan bentuk Th2-disease yang
upaya perbaikannya memerlukan pengembalian host pada kondisi Th1-Th2 yang seimbang.
Mengapa dalam konsep induksi aktif toleransi imunologis tersebut kita mengarah pada
probiotik? Sebab probiotik adalah flora normal saluran cerna yang mampu
mengontrol keseimbangan mikroflora usus dan menimbulkan efek fisiologis
yang menguntungkan kesehatan host. Probiotik juga memiliki kemampuan sebagai
aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang spesifik pada
dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut dikenal sebagai
pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-molekul spesifik (PAMPs) dikenali
oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah satu PAMPs
yang ada pada probiotik adalah lipoteichoic acid (LTA). LTA merupakan molekul yang secara
biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis
(misalnya dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan LPS.17,18 TLRs adalah PRRs
(pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang
berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali patogen serta melakukan
inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem
adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator.19,20 Semua TLRs
mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-B,
AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah
adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain Cterminal TIR. MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk
membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor
associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NFkB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB
inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi
ekspresi gen yang sesuai.19,20
Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang
mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin proinflamasi dalam
merespon stimulasi oleh mikroba. Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas
innate ke sistem adaptif TLR, mampu menginduksi respons imun baik ke arah T H1 maupun Treg.
TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh

5
paparan mikroba.21,22 Jadi konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif
dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan mengarah
pada pengembalian host pada kondisi Th1-Th2 yang seimbang.
Amankah pemakaian probiotik pada manusia ?
Probiotik adalah mikroba dari golongan Bakteri Asam Laktat yang bekerja
mempertahankan kesehatan host. Terdapat lebih dari 100 spesies dan lebih
dari 10 milyar bakteri dalam usus manusia. Bakteri pada saluran cerna
manusia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang berguna
(useful) dan yang berbahaya (harmful).23 Probiotik adalah mikroba yang berguna
(useful) dari golongan Bakteri Asam Laktat yang mempunyai sejarah panjang dalam
biotehnologi, khususnya pada produksi, penyimpanan, penggabungan dalam makanan, dan
proses fermentasi. Beberapa efek untuk peningkatan kesehatan sering dilaporkan pada
manusia.24,25 Definisi probiotik dalam perkembangannya diperluas menjadi
bakteria hidup atau bakteria campuran yang memiliki efek menguntungkan
pada saluran cerna dan saluran nafas host melalui kemampuannya
memperbaiki keseimbangan mikroflora usus. Lee et al. dan Salminen et al.
mendefinisikan probiotik lebih luas lagi, yaitu bakteria yang bekerja
mempertahankan kesehatan host.26,27

Gambar 2 : Sinyal TLR 2 dan TLR 4. Toll-like receptors (TLRs) membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem
adaptif. TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai cluster of differentiation (CD)-14
associated signal transducers, yang membantu sel untuk mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs
juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan kostimulator. Efektor hilir dari TLR2 dan TLR4 adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran
melalui domain C-terminal TIR. MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks
reseptor. IRAK berhubungan dengan adapter molecule TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6, selanjutnya
mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs).
Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang
sesuai. (Dikutip dari : Takeda dan Akira, 2004. Seminars in Immunology 16 : 39)

Mikroba telah dapat dikatakan sebagai probiotik bila memiliki :


kemampuan melekat pada jaringan epitel host; bertahan dari asam dan
mampu mentoleransi empedu; melakukan eliminasi patogen; mengurangi
perlekatan patogen; memproduksi: asam, hidrogen peroksida, dan antagonis
bakteriosin untuk pertumbuhan patogen; aman, tak bersifat patogenik; tidak
karsinogenik; serta memperbaiki mikroflora usus.28

Gambar 3. Hubungan antara probiotik dengan TLR dan stimulasi respons imun. Molekul biologis aktif probiotik berupa
peptidoglycan dan teichoic acid merupakan pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) akan dikenali PRRs (pattern
recognition receptors) dalam hal ini TLR2 dan TLR4. TLR2 dan TLR4 akan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin
proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh probiotik yang berfungsi membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem
adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator. (Dikutip dari : Saito T, 2004 Selection of useful probiotic lactic acid bacteria
from theLactobacillus acidophilus group and their applications to functional foods Animal Sci J; 75: 113)

Mekanisme kompetisi dan antagonisme diantara bakteri saluran cerna juga mampu
mempertahankan keseimbangan ekologis dengan mencegah pertumbuhan berlebihan dari
masing-masing spesies penghuninya. Kompetisi dari reseptor adhesi, kompetisi makanan, dan
produksi senyawa inhibitor (antagonis) juga merupakan mekanisme yang menghalangi
berlebihnya kolonisasi dan pertumbuhan bakteri. Senyawa inhibitor (antagonis) tersebut antara
lain adalah: asam lemak organik, hidrogen peroksida, asam laktat, antibiotik, enzim-enzim, dan
bakteriosin. Produksi asam laktat oleh Lactobacillus menghasilkan pH rendah dan menghambat
pertumbuhan bakteri patogen.

8
Tabel 1. Penelitian-penelitian terbaru pada manusia tentang efek probiotik pada
penurunan reaksi alergi.
No.
Peneliti
Judul Publikasi dan Nama Jurnal
Hasil Penelitian
Viljanen et Probiotics in the treatment of atopic
Pemberian probiotik LGG pada penderita
1.
al, 2004.

2.

Rosenveldt
etal, 2004.

3.

Wang et al,
2004.

4.

Pohjavouri
E, et al.
2004.

5.

Hart et al,
2004.

6.

Viljanen
etal, 2005.

7.

Mohamadz
adeh M,
2005
Viljanen
etal, 2005.

8.

eczema/dermatitis syndrome in infants: a


double-blind placebo-controlled trial.
Allergy, 10: 1-5
Effect of probiotic Lactobacillus strains in
children with atopic dermatitis. J Allergy
Clin Immunol; 111, 389-95
Treatment of perennial allergic rhinitis
with lactic acid bacteria.Pediatr Allergy
Immunol :15:152158.
Lactobacillus GG in increasing IFN-g
production in infants with cows milk
allergy. J Allergy Clin Immunol ;
114:131-6
Modulation of human dendritic cell
phenotype and function by probiotic
bacteria Gut, 53,1602-9.

Probiotic efects on faecal inflammatory


markers and on faecal IgA in food allergic
atopic eczema/ dermatitis syndrome
infants.Pediatr Allergy Immunol : 16:
6571
Lactobacilli activate human dendritic cells
that skew T cells toward T helper 1
polarization. PNAS, 22: 2880-2885
Induction of inflammation as a possible
mechanism of probiotic effect in atopic
eczema-dermatitis syndrome. J Allergy
Clin Immunol; 115, 1254-9

DA, menurunkan gejala klinik (SCORAD)


Pemberian probiotik LGG pada anak DA,
menurunkan gejala klinik (SCORAD, dsb
Pemberian probiotik L paracasei (LP-33)
pada penderita Rhinitis Allergica,
menurunkan gejala klinik.
Pemberian probiotik LGG pada anak Alergi
Susu Sapi, meningkatkan kadar IFN-.
Pemberian VSL#3 (4 lactobacilli, 3
bifidobacteria, dan 1 streptococcal strains)
pada sel kultur (dari usus manusia)
meningkatkan IL-10, menurunkan IL-12 dan
IFN-
Pemberian probiotik LGG pada anak Alergi
Susu Sapi, meningkatkan kadar IgA fecal.

Pemberian probiotikLactobacillus
meningkatkan kadar IFN, IL-12, IL-10.
Pemberian probiotik LGG pada anak Alergi
Susu Sapi, meningkatkan kadar IL-6, IL-10
dan E-selectine

Apakah manfaat probiotik dalam menurunkan reaksi alergi sudah ditunjang oleh
Evidence Base Medicine (Kedokteran Berbasis Bukti ) yang memadai?
Syarat dari terapi medis, termasuk terhadap penyakit alergi, adalah dapatnya terapi itu dievaluasi
secara sistematik menggunakan metode evaluasi yang tidak bias, universal, diperoleh melalui
metode penelitian ilmiah yang baku, tidak bertentangan dengan pandangan masyarakat ilmuwan
dan senantiasa terbuka untuk diuji kebenarannya. Untuk itu digunakan pendekatan terapi melalui
Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence Based Medicine) berupa uji-uji klinik.29
Pada uji klinik terhadap probiotik (yang terbaru ditampilkan pada Tabel 1) telah dibuktikan
bahwa probiotik dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan
alergi makanan, 30,31 mencegah penyakit atopik dini pada anak dengan resiko tinggi alergi, 32
mencegah dermatitis atopik pada 2 tahun pertama kehidupan anak, 33 memodifikasi mikrobiata
usus anak atopi sehingga mampu mencegah reaksi alergi, 30 pada penderita dermatitis atopik
menurunkan gejala klinik,34,35,36 pada penderita Rinitis Alergika, menurunkan gejala klinik,36
pada anak Alergi Susu Sapi meningkatkan kadar IFN-, IL-6, IL-10, kadar IgA fecal dan E-

9
selectine,37,38,39 dan pada penderita atopik mampu meningkatkan kadar IL-10, menurunkan kadar
IL-12 dan IFN-40
Apakah mekanisme probiotik dalam penurunan reaksi alergi sudah jelas diketahui ?
Manfaat pendekatan terapi alergi melalui Kedokteran Berbasis Bukti telah diakui, namun tidak
dapat disangkal bahwa masih banyak yang mengkhawatirkan kredibilitas epistemologinya.
Baku emas dari Kedokteran Berbasis Bukti adalah randomised controlled clinical trial (RCT)
yang dianggap benar, memuaskan dengan blinding yang memadai.29
Tabel 2. Penelitian-penelitan terbaru pada hewan coba tentang mekanisme probiotik
dalam penurunan reaksi alergi.
No. Peneliti
Judul Publikasi dan Nama Jurnal
Hasil Penelitian
Von der
Induction by a Lactic Acid Bacterium of a
Pemberian probiotik pada mencit BALB/c
1.
Weid T,
2001

2.

Prioult et al,
2003

3.

Matsuguchi,
2003

4.

Iliev ID,
2004.

5.

Menard,
2004

6.

Bashir,
2004.

Population of CD41 T Cells with Low


Proliferative Capacity That Produce
Transforming Growth Factor b and
Interleukin-10. Clin Diagn Lab Immunol 8,
695-701
Stimulation of Interleukin 10 Production by
Acidic B-lactoglobullin-Derived Peptide
Hydrolized with Lactobacillus paracasei
NCC2461 Peptidases. Clin Diagn Lab
Immunol 11, 266-71
Lipoteichoic Acids from Lactobacillus
Strains Elicit Strong Tumor Necrosis Factor
Alpha-Inducing Activities in Macrophages
through Toll-Like Receptor 2. Clin Diagn
Lab Immunol 10, 259-66
Strong immunostimulation in murine immune
cells by Lactobacillus rhamnosus GG DNA
containing noveloligodeoxynucleotide
pattern. Cellular Microbiology: 1-12

meningkatkan IFN, IL-12, TGF- dan


IL-10, serta menurunkan IL-4 dan IL-5

Lactic acid bacteria secrete metabolites


retaining anti-inflammatory properties after
intestinal transport. Gut ;53:821828.
Toll-Like Receptor 4 Signaling by Intestinal
Microbes Influences Susceptibility to Food
Allergy J Immunol., 172: 69786987.

Probiotik menurunkan kemampuan


agonist TLR dalam aktivasi NFB

Lactobacillus paracasei (NCC 2461),


Lactobacillus johnsonii (NCC 533) and
Bifidobacterium lactis Bb12 (NCC 362) pada
mencit yang disensitisai BLG, menurunkan
IgE, IgG1 dan IgG2a

TLR2 berperan dalam aktivasi NFB


olehLactobacillus .

Pemberian probiotik LGG motif


TTTCGTTT oligodeoxy- nucleotida
(ODN) 135 meningkatkan mRNA IL-12
dan mRNA IFN

Defisiensi TLR4 pada mencit


menyebabkan peningkatan IgE, dan
reaksi anafilaktik sedangkan IFN-
menurun dalam merespon alergen Ara h 1
(PN) dibandingkan pada TLR4 normal.
Pemberian antibiotic pada mencit
menyebabkan peningkatan IgE, dan
reaksi anafilaktik sedangkan IFN-
menurun dalam merespon alergen Ara h 1
(PN) dibandingkan dengan yang tak
diberi, baik pada TLR4 normal maupun
mutant atau defisien.

Namun peran RCT dalam Kedokteran Berbasis Bukti menimbulkan kontroversi dalam beberapa
hal antara lain RCT (hampir semuanya) merupakan solusi dari metodologi ke epistemologi klinik

10
yang tak menghasilkan informasi eksplanasi dan hubungan sebab akibat. Diakui bahwa pada
umumnya RCT telah memberikan yang benar, dipercaya dan digunakan secara luas di riset
klinik.29 Pemakaian probiotik dalam terapi alergi selalu disertai oleh pertanyaan bagaimana
mekanisme kerjanya dan di mana organ targetnya? Walaupun beberapa uji klinik menunjukkan
dampak yang bermakna pada penurunan reaksi alergi, namun banyak praktisi klinis yang belum
mantap dengan mekanisme kerjanya. Sejauh ini beberapa penelitian biomolekuler mengenai
probiotik yang berusaha mengetahui mekanisme kerja probiotik menunjukkan bahwa terdapat
kemampuan probiotik cukup beragam dalam modulasi respons imun, namun sayangnya karena
problem etik, banyak penelitian yang hanya dapat dilaksanakan pada hewan coba (Tabel 2).
Tabel 3. Kaitan teori imunologi dan fakta empirik tentang mekanisme probiotik dalam
penurunan reaksi alergi.
Tahap dalam
Teori imunologi
Fakta hasil penelitian mengenai probiotik
reaksi alergi
Tahap aktivasi
sel-sel
imunokompeten
(APC, DC, Sel T
Naive)

Tahap aktivasi
sel-sel
struktural.
(Th1,Th2 dan
Treg.)

Sistem imun innate


dipusatkan pada aktivasi
NF-B, (Zhang dan Ghosh,
2001).
TLR2 dan TLR 4 berperan
dalam aktivasi NFB.
(Means, 2001,Matsuguchi,
2003 )
TLR 2 dan 4 berperan dalam
peningkatan IFN- serta
penurunan IL-4, IL13 dan
eosinofil. (Revets et al,
2005)
Hampir semua TLR
mengontrol induksi respons
imun ke arah TH1.
(Miettinen, 2000; Murch,
2000; Aderem et al, 2000).
Sebagian besar TLR
mengontrol aktivasi
Limfosit TH1. (Matsuguchi,
2003).
TLR-2 mampu mengontrol
aktivasi Limfosit TH2.
(Umetsu et al, 2002; Baldini
et al 1999; Eder et al 2004)
TLR-4 mengontrol
optimalisasi aktivasi
Limfosit TH2.(Dabbagh,
2003).
TLR-4 mampu mengaktivasi
Limfosit TH1 dan Treg.
(Drachenberg, 2003;
Mothes, 2003).

Probiotik menurunkan kemampuan agonist TLR


dalam aktivasi NFB (Menard, 2004)
TLR2 berperan dalam aktivasi NFB oleh
Lactobacillus (Matsuguchi, 2003)

Probiotik menginduksi Limfosit TH1 (Ghosh et al.,


2004; Schon,1991; Lambrecht, 1998; Matsuzaki,
2000).
Probiotik menginduksi Limfosit Treg (von der Weid,
2001; Prioult, 2003; Murch,2000; Newberry, 1999;
Isolauri,2000).
Probiotik menginduksi Limfosit TH1 dan Treg melalui
reseptor di APC. (Hart, 2004; Christensen, 2002;
Miettinen,1998; Matsuguchi, 2003; Miettinen, 2000;
Murch, 2000; Aderem et al, 2000).
Probiotik meningkatkan IFN, IL-12, TGF-dan IL10, serta menurunkan IL-4 dan IL-5 (Von der Weid T,
2001)
Lactobacillus paracasei (NCC 2461), Lactobacillus
johnsonii (NCC 533) and Bifidobacterium lactis Bb12
(NCC 362) pada mencit yang disensitisasi BLG,
menurunkan IgE, IgG1 dan IgG2a (Prioult et al,
2003)
Probiotik LGG motif TTTCGTTT oligodeoxynucleotida (ODN) 135 meningkatkan mRNA IL-12
dan mRNA IFN (Iliev ID, 2004)

Pertanyaan mengenai mekanisme dan hubungan sebab akibat dalam kaitan terapi alergi dengan
probiotik sebagian dapat dijawab melalui ekstrapolasi dan sintesis dari fakta-fakta ilmiah yang

11
telah dihasilkan oleh penelitian sebelumnya. Langkah ini tentu tak akan benar-benar memuaskan,
namun akan membantu dalam mengatasi problem yang berkaitan dengan dampak terapi. Dari
ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah yang telah dihasilkan oleh penelitian
sebelumnya, baik pada manusia maupun hewan, menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat
menurunkan reaksi alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4 (Gambar 4), dan respon imun adaptif
yang diaktifkan TLR2 otonom dari regulasi Treg, sedangkan yang diaktifkan TLR4 tidak.

Apakah probiotik dapat berperan pada pencegahan dini?


Perkembangan sistem imun fetus.
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dimulai sejak masa fetus. Oleh karena itu
pencegahan primer sangat terkait dengan perkembangan sistem imun in-utero. Harus dipahami
bahwa suatu kehamilan bisa berlangsung apabila fetus dan plasenta mampu mengatasi penolakan
dari aktivitas Th1 sistem imun ibu dengan memproduksi sitokin Th2. Konsekuensi dari aktivitas
proteksi ini adalah sistem imun fetus menjadi lebih dominan ke Th2. Sitokin-sitokin Th2 berada
di plasenta bersama dengan IgE maternal dan alergen yang telah mencapai cairan amnion melalui
sirkulasi maternal. Sebagai konsekuensi ditelannya amnion yang mengandung alergen itu oleh
fetus (fetal swallowing) maka terjadilah priming ini sistem imun saluran cerna fetus yang
menghasilkan sensitisasi alergi untuk pertama kalinya.41,42,43

Gambar 5. Perkembangan sistem imun fetus. (A). Konsekuensi dari aktivitas proteksi fetus menghadapi penolakan sistem
imun ibu adalah sistem imun fetus menjadi dominan Th2 (dominasi produksi IL-4 dan 13) dan Treg (produksi IL-10 dan TGF). (B). Sebagai konsekuensi fetal swallowing alergen dari cairan amnion maka terjadilah priming sistem imun saluran cerna
fetus yang menghasilkan sensitisasi alergi untuk pertama kalinya. (Dikutip dari Warner JO, 2004. The early life origins of asthma and related
allergic disorders. A focus on the way the disease evolves in early life. Arch Dis Child; 89:97102)

Pada fetus usia 12 minggu, produk antibodi asli fetus hanyalah sejumlah kecil IgM (10% dari
dewasa) serta sedikit IgA, IgD, dan IgE. Mengenai IgE, diketahui bahwa sintesis IgE sudah
dapat diinduksi pada fetus melalui alergen yang dikonsumsi ibunya. Sementara itu APC, sel T,
dan sel B saluran cerna mengalami maturitas pada 16 minggu usia fetus.11,44
Penelitian probiotik untuk pencegahan dini alergi

12
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor in-utero yaitu keberadaan IgG maternal,
sCD14 (soluble CD14), dan kemampuan fetus menghasilkan IFN-akan menseimbangkan
respons imun fetus dari didominasi Th2 menjadi Th1-Th2 yang seimbang. 44 Sebagai molekul
PAMPs, sCD14 akan dikenali oleh TLR4 di sel DC yang selanjutnya akan mengaktivasi Limfosit
Th1 dan Treg.
Uji klinik probiotik (Lactobacillus GG vs plasebo) telah dilakukan pada ibu hamil dan
menyusui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 2 dan 4 tahun, bayi dari ibu yang
menerima probiotik lebih sedikit yang menderita dermatitis alergi dibandingkan dengan yang
menerima plasebo, namun kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan dalam
sensitisasi alergi yang dicerminkan oleh kadar IgE total dan hasil uji kulit. 45 Penelitian ini dan
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada ibu yang menerima probiotik, efek dini yang
utama bukanlah terjadinya supresi Th1 namun lebih mengarah pada aktivasi Treg dengan efek
bukan hanya sebagai regulator Th1 tetapi juga regulator Th2, dengan hasil tercapainya
homeostasis Th1-Th2.32,45,46

Ringkasan
Alergi merupakan bentuk Th2-disease yang upaya perbaikannya memerlukan pengembalian
penderita pada kondisi Th1-Th2 yang seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi
memungkinkan perubahan paradigma pencegahan alergi dari paradigma
penghindaran faktor resiko menjadi paradigma induksi aktif toleransi
imunologik. Konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon
imunologik menuju keseimbangan Th1-Th2. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan dapat
menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan alergi makanan.
Kelemahan uji klinik adalah ketidakmampuannya dalam menghasilkan informasi mengenai
mekanisme dan hubungan sebab akibat. Ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah yang
telah dihasilkan oleh uji klinik dan penelitian mekanisme probiotik pada hewan coba
menunjukkan bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4.
Penelitian probiotik pada ibu hamil menunjukkan bahwa efek dini probiotik pada sistem imun
ibu bukanlah pada supresi Th1 tetapi pada aktivasi Tregulator yang berfungsi menjaga
homeostasis Th1-Th2, sehingga kelangsungan kehamilan tidak terganggu.

Referensi.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Holt, PG, Jones CA, 2000 The development of the immune system during pregnancy. Allergy; 55: 688-97
Strachan DP, 1994. Is allergic disease programmed in early life? Clin Exp Allergy;24:603-5
Wahn U, Nickel R, Illi S, Lau S, Gruber C, Hamelmann E, 2004. Strategies for early prevention of allergic
disorders. Clin Exp All Rev; 4:194199
Kapsenberg ML, 2003. Dendritic-cell Control of Pathogen-driven T-cell Polarization. Nature Reviews
Immunology, 3,984-993.
Oettgen HC, Geha RS, 2003. Regulation and biology of Immunoglobulin E. Pe. In : Leung DYM, Sampson
HA, Geha RS, Szefler SJ eds. Pediatric Allergy. Principle and practice. 1st ed.St.Louis; Mosby: 39-50.
Bashir, 2004.Toll-Like Receptor 4 Signaling by Intestinal Microbes Influences Susceptibility to Food
Allergy. J Immunol; 172: 69786987.
Borish L, 2003. Allergic rhinitis: Systemic inflammation and implications for management. J Allergy Clin
Immunol;112,1021-31.
Ashcroft RE, 2004. Current epistemological problem in evidence based medicine. J Med Ethics;30: 131-5.

13
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.

Roecken M, Grevers G, Burgdorf W, 2003. Allergen. In : Roecken M, Grevers G, Burgdorf W eds.


Allergic Dissease 1th ed. New York ; Georg Thieme Verlag. 34-43.
Togias A, 2003. H1-Receptors: Localization and role in airway physiology and in immune functions.J
Allergy Clin Immunol . 112,S60-8.
Bousquet J, Hejjaoui A, Clauzel AM, Guerin B, Dhivert H, Skassa-Brociek W et al, 1988. Specific
immunotherapy with a standardized Dermatophagoides pteronyssinus extract. II.Prediction of efficacy
immunotherapy. J Allergy Clin Immunol; 2:971.
Dabbagh K, Dahl ME, Stepick-Bick P, Lewis DB, 2002. Toll Like Receptor 4 is Required for Optimal
Development of Th2 Immune Responses: Role of Dendritic Cells. J Immunol; 168: 4524-30.
Gore C, CustovicA, 2004. Can we prevent allergy? Allergy: 59: 151161
Drachenberg KJ, Heizkill M, Urban E, Woroniecki SR, 2003. Efficacy and tolerability of short-term
specific immunotherapy with pollen allergoids adjuvanted by monophosphoryl lipid A (MPL) for children
and adolescencts. Allergol Immunopathol (Madr);38: 811-9
Frew AJ. 2003 Immunotherapy of allergic disease. J Allergy Clin Immunol;111:S712-9
Eder W, 2004. Toll-like receptor 2 as a majorgene for asthma in children of European farmers. J. Allergy.
Clin. Immunol. 113:482488.
Jrvelinen HA, Miettinen M, 2001. "Bakteerirakenteiden aiheuttama akuutti tulehdusvaste," Duodecim, ,
2015-2022
Miettinen M, Sareneva T, Julkunen I, Matikainen S, 2001. IFNs activate toll-like receptor gene expression
in viral infections. Genes Immun 2: 349-355.
Zhang G, Ghosh S, 2001. Toll-like receptor-mediated NF-kappaB activation: a phylogeneticallyconserved
paradigm in innate immunity. J Clin Invest 107: 13-19.
Fuller R, 1991. Probiotics in human medicine. Gut 32, 439442.
Iwasaki A, Medzhitov R, 2004. Toll-like receptor control of the adaptive immune responses. Nature
Immunol;5(10): 987-995.
Supajatura V, Ushio H, Nakao A, Akira S, Okumura K, Ra C, Ogawa H, 2002. Differential responses of
mast cell Toll-Like receptor 2 and 4 in allergy and innate immunity. J Clin. Invest, 109, 1351-9
Isolauri E, 2001. Probiotics in the prevention and treatment of allergic disease. Pediatr Allergy Immunol, 12
(suppl 14): 56-59
Perdign G, Fuller R, Raya R, 2001. Lactic acid bacteria and their effect on the immune system.Curr.
Issues Intest. Microbiol. 2:27-42.
Perdign G, Medina M, Vintini E, Valdez JC, 2000. Intestinal pathway of internalisation oflactic acid
bacteria and gut mucosal immunostimulation. Int. J. Immunopath. Pharmacol. 13:141-150.
Lee YK, Nomoto K, Salminen S, Gorbach SL. 1999. Handbook of Probiotics. John Wiley & Sons, New
York.
Salminen S, Ouwehand A, Benno Y, Lee YK. 1999. Probiotics: how should they be defined? Trends in
Food Science and Technology 10, 107110.
Ouwehand AC, Salminen S, Isolauri E. 2002. Probiotics: anoverview of beneficial effects. Antonie Van
Leeuwenhoek 82, 279289
Ashcroft RE, 2004. Current epistemological problem in evidence based medicine. J Med Ethics;30: 131-5.
Isolauri E, Arvola T, Stas Y, Moilanen E, Salminen S, 2000. Probiotics in the management of atopic
eczema. Clin Exp Allergy;30:1604-10
Rosenveldt V, Benfeldt E, Nielsen SD, Michaelsen KF, Jeppesen DL, Valerius NH, Paerregaard A, 2004.
Effect of probiotic Lactobacillus strains in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol; 111,
389-95
Kalliomaki M, Salminen S, Arvilonni H,2001. Probiotics in primary prevention of atopic disease: a
randomised placebo controlled trial. Lancet ;357:10769.
Rautava S, Kalliomaki M, Isolauri E, 2002 Probiotics during pregnancy and breast-feeding might confer
immunomodulatory protection against atopic disease in the infant. J Allergy Clin Immunol ;109:119-21
Viljanen M, Savilahti E, Haahtela T, Juntunen-Backman K, Korpela R, PoussaT, Tuure T, Kuitunen M,
2004. Probiotics in the treatment of atopic eczema/dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebocontrolled trial. Allergy, 10, 1-5
Matsuguchi, 2003. Lipoteichoic Acids from Lactobacillus Strains Elicit Strong Tumor Necrosis Factor
Alpha-Inducing Activities in Macrophages through Toll-Like Receptor 2. Clin Diagn Lab Immunol 10,
259-66

14
36. Wang MF, Lin HC, Wang YY, Hsu CH, 2004. Treatment of perennial allergic rhinitis with lactic acid
bacteria.Ped Allergy Immunol:15:152158.
37. Pohjavouri E, Viljanen M, Korpella R, Kuitunen M, Tittanen M, Vaarala Q, Sahvilahti E, 2004.
Lactobacillus GG in increasing IFN-g production in infants with cows milk allergy. J Allergy Clin
Immunol;114:131-6
38. Viljanen M, Kuitunen M, Haahtela T, Juntunen-Backman K,Korpela R, Savilahti E, 2005. Probiotic e.ects
on faecal in.ammatorymarkers and on faecal IgA in food allergic atopic eczema/dermatitissyndrome
infants.Pediatr Allergy Immunol : 16: 6571
39. Viljanen M, Savilahti E, Haahtela T, Juntunen-Backman K, Korpela R, PoussaT, Tuure T, Kuitunen M,
2004. Probiotics in the treatment of atopic eczema/dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebocontrolled trial. Allergy, 10, 1-5
40. Hart AL, Lammers A, Brigidi P, Vitali B, Rizzello F, Gionchetti P, Campieri M, Kamm MA, Knight SC,
Stagg AJ, 2004. Modulation of human dendritic cell phenotype and function by probiotic bacteria Gut ,
53,1602-9.
41. Wegmann T, Lin H, Guilbert L, 1993. Bi-directional cytokine interactions in the maternal fetalrelationship:
is successful pregnancy a Th-2-likephenomenon? Immunol Today;14:3536.
42. Raghupathy R, 1997. Th-1-type immunity is incompatible with successful pregnancy. Immunol Today;
43. Warner JO, 2004. The early life origins of asthma and related allergic disorders. A focus on the way the
disease evolves in early life. Arch Dis Child;89:97102.
44. Jones CA, Holloway JA, Popplewell EJ, 2000. Reduced soluble CD14 levels in amniotic fluid and breast
milk are associated with the subsequent development of atopy, eczema or both. J Allergy Clin
Immunol;109:85866.
45. Kalliomaki M, Salminen S, Poussa T, Arvilommi H, Isolauri E, 2003. Probiotics and prevention ofatopic
disease: 4-year follow-up of a randomised placebocontrolled trial. Lancet ;361:18691871.
46. Revets H, Pynaert G, Grooten J, De Baetselier P, 2005. Lipoprotein I, a TLR2/4 Ligand

Modulates Th2-Driven Allergic Immune Responses. J Immunol, 174: 10971103.

You might also like