You are on page 1of 55

FILSAFAT

Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari
kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang
kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan
hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang
dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya.
1.1 SEJARAH FILSAFAT
Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada penelusuran
secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuna.
Pada masa itu (abad IV VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia
dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat,
philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi
orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang
bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari
pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan
dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani
diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan
mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada
genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa
Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak
rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir
diantara mereka.
Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang
diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu
bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa
Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu
keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu
bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah
tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat
upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau keterampilan
praktis itu muncul, berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan manusia secara
optimal.
Dalam perkembangannya kemudian, bangsa Yunani mengalami perubahan
dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang berbeda dengan yang
telah ada, yaitu mereka mulai mengembangkan daya penalaran yang lebih rasional dan
logis. Penalaran tersebut diaktualisasikan atau dalam pencarian sebab terdalam atau
sebab pertama dari alam semesta ini. Perubahan cara berpikir dari mitis ke logos
(rasional) memunculkan juga pandangan para filsuf yang berusaha menguak rahasia
alam dengan berbagai pendapat atau argumen yang lebih rasional. Filsuf alam yaitu
Thales, misalnya yang berpendapat bahwa asas di dunia ini adalah air, sementara
Anaximandros mengatakan asas itu adalah yang tidak terbatas (apeiron). Anaximenes
menyebut udara sebagai asas pertama. Beberapa filsuf lain yang secara tidak langsung
mewariskan pengetahuan pada umat di dunia ini ialah Plato (dengan dunia idea),
Aristoteles (dengan teori materi bentukhilemorfisme), Phytagoras (dengan dasar
perhitungan aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hipocrates (ahli pengobatan yang
dianggap sebagai Bapak Kedokteran).
Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages, abad IIX). Awal
Abad Masehi ini ditandai oleh munculnya para pujangga Kristen yang mendasarkan
pengetahuan keagamaan secara teologis. Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat
teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti pengetahuan manusia didasarkan
1

pada ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei berarti bahwa manusia dianggap
sebagai citra Tuhan, berperilaku dan bertindak haruslah sesuai dengan keinginan Tuhan
dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan antara
bangsa Timur dengan bangsa Barat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani
Klasik. Banyak filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat pada ajaran Aristoteles dan
ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran kepada Barat. Karya-karya bangsa
Yunani, khususnya ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
para filsuf Arab, dan dari sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan mempelajarinya
serta mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat.
Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (XXVII). Abad ini
merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat pada kekuatan manusia,
tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan kemampuan akal budi manusia.
Pengertian Renaissance atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau
dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya Abad Renaissance
ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan
karya-karya seni yang bernafaskan atau bergaya Yunani Kuno dan Roma. Berbagai
karya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni bangun arsitektur, dan kesusasteraan
sangat mewarnai kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu disebut
juga Gerakan Seni Humanisme (memuncak pada abad XIV), yang pada karya-karya
seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau bagian, baik dari struktur, bentuk,
ragam hias maupun estetisnya. Ciri lainnya adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan,
karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu
menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun bangunan ataupun
patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam hias/detil yang
sangat beragam. Dari gerakan seni humanisme ini manusia Renaissance mulai
mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan alam
semesta. Timbullah minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan kealaman dengan
keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta diamati, dan
diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat yang didukung oleh pemikiran yang
sangat rasional, bahkan sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu
kimia, ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance seperti
Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo Galilei,
Copernicus, dan J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan seni dan ilmu
pengetahuan kealaman di dunia ini.
Abad berikutnya adalah Abad Pencerahan (Aufklaerung) (abad XVIII). Puncak
kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa Aufklaerung (yang disebut juga
masa Pencerahan atau Fajar Budi). Abad ini merupakan kelanjutan dari masa
Renaissance, kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya ilmu
pengetahuan kealaman yang didukung oleh berbagai percobaan yang berlandaskan
aspek metodologis dan akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad
Renaissance memunculkan kaum intelektual di berbagai universitas di Eropa, yang
mencoba menggabungkan unsur teoretis dengan unsur praktis. Mereka berupaya agar
ilmu pengetahuan memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan intelektual
berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda.
Salah satu sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah munculnya
kaum ensiklopedis yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu
pengetahuan, dan kesenian ke dalam sejumlah buku yang kemudian lebih dikenal
sebagai ensiklopedi. Salah satu ensiklopedi yang tertua adalah ensiklopedi Britanica.
Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang fisika adalah Newton, David Hume tokoh
Empirisme dari Inggris, serta Voltaire, Montesquieu dan J.J. Rousseau yang berasal dari
Prancis, mereka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik.
2

Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai


berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat
yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan dengan
perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya dalam menganalisis
kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu
ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang
ilmu pengetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya
kajian lintas ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan
lainnya saling bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia
yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba
menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat.
1.2 PENGERTIAN FILSAFAT
Untuk menjawab pertanyaan misalnya, Apa itu Filsafat? tidaklah mudah.
Lebih mudah menjawab pertanyaan, Apa itu Antropologi? atau Apa itu ilmu
kedokteran? Menjawab pertanyaan itu orang dengan mudah dapat mengatakan bahwa
antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek budaya, dan ilmu
kedokteran adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek kesehatan. Pertanyaan Apa
itu Filsafat? mengajak kita untuk menjawabnya secara panjang lebar; kita tidak dapat
menjawabnya secara singkat. Mengapa? Pertanyaan itu sendiriApa itu filsafat?
sebenarnya telah mengajak kita berfilsafat. Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang
untuk bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikap heran, skeptis,
atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai
upaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap tertentu.
Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia yang terusmenerus untuk menggali sesuatu sampai ke akar-akarnya. Kecenderungan manusia
untuk mempertanyakan sesuatu secara terus menerus menyebabkan manusia menjadi
lebih kritis, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesuatu yang ingin
diketahuinya.
Oleh karena itu kita menelusuri pengertian filsafat lalu memberikan penjelasan
dan merumuskannya secara tepat. Pertama, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan
yang mempelajari berbagai fenomena kehidupan manusia secara kritis. Kedua, filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai pemikiran manusia secara kritis.
Ketiga, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mencari hakekat dari
berbagai fenomena kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang bersifat kritis refleksif dalam penyelidikan terhadap objek kajian yang berkaitan
dengan aspek ontologis (realitas konkret), aspek epistemologis (kebenaran
pengetahuan), dan aksiologis (nilai atau value tentang kebaikan dan keindahan).
Secara historis, filsafat berasal dan didasari oleh latar belakang kebudayaan
bangsa Yunani. Arti philosophia ataupun filsafat secara etimologis (philos dan sophos)
berarti senang atau suka mencari kebijaksanaan ataupun kebenaran. Di masa lalu
kebijaksanaan ini oleh bangsa Yunani diartikan mencari pengetahuan yang berguna
bagi manusia ataupun mencoba mencari suatu kebenaran dalam proses berpikir
manusia. Pengetahuan yang bersifat praktis diarahkan misalnya bagaimana menjadi
manusia yang sehat, untuk itu olah raga atau olah tubuh sangatlah diminati. Lihat saja
bagaimana mula-mula Olimpiade (pertandingan olahraga dunia) itu muncul. Mulanya
untuk menjaga agar badan tetap sehat, dikembangkan cara untuk membinanya, seperti
misalnya dengan berlari. Mencari kebenaran dalam proses berpikir manusia sudah lama
dikenal oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, berdialog adalah upaya mencari kebenaran
dalam berkomunikasi. Socrates mengajarkan, dalam berdialog kita harus bersikap aktif,
3

dan dialektis dinamis, dan kita harus seperti seorang bidan yang membantu persalinan
seorang ibu (techne maieutike), membantu mengeluarkan segala persoalan yang ada dan
untuk itu yang benar dan yang baik haruslah dijunjung tinggi.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan ilmu
pengetahuan maka filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu (science), yaitu
ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat haruslah memiliki objek dan metode yang khas dan
bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral,
radikal, logis, sistematis, dan universal (semesta). Lalu, apa sebenarnya fenomena
manusia itu, apa saja gejala yang terlihat ataupun berada di sekitar manusia? Fenomena
tersebut dapat diarahkan pada tema besar pada ilmu filsafat, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Dengan demikian fenomena tersebut sangat berkaitan
dengan ketiga tema ilmu filsafat.
Tema yang pertama, ontologi, mengkaji tentang keberadaan sesuatu, membahas
tentang ADA (onta), yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual maupun secara
epistemologi ataupun metafisis. Yang berkaitan dengan ADA misalnya wujud-wujud
fisik seperti alam, manusia benda-benda dan wujud yang epistemologi atau konseptual
misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan ataupun idea-idea. Tema yang kedua,
epistemologi, membahas tentang pengetahuan (episteme) yang akan dimiliki manusia
apabila ia membutuhkannya. Pada dasarnya manusia selalu ingin tahu tentang sesuatu,
untuk itulah ia mencarinya dan epistemologi beranjak dari beberapa pertanyaan tentang
apa sebenarnya batas-batas pengetahuan itu dan seperti apa? Struktur pengetahuan itu
apa? Kebenaran pengetahuan itu apa? Tema yang ketiga, aksiologi, membahas tentang
kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia. Norma-norma itu berada pada perilaku
manusia, berkaitan dengan yang baik dan yang buruk, yakni bagaimana seharusnya
menjadi manusia yang baik, dan ukuran atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang
mendasarinya. Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan pada
perilaku manusia tentang yang baik dan yang buruk, sedangkan pengalaman
tentang keindahan bagi seseorang menjadi semacam ukuran estetika dalam melihat
yang indah. Jadi, jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang mengakar pada
manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya secara intelektual.
Sebagai suatu ilmu, filsafat memiliki sasaran atau objek untuk dikaji. Objek
penelitian filsafat haruslah dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah objek materi
(material), dan aspek kedua adalah objek forma (formal). Objek materi adalah bahan
atau sesuatu yang menjadi kajian penelitiannya. Materi atau bahan kajian dapat bersifat
sangat umum atau sangat luas sehingga orang belum dapat memfokuskannya secara
lebih terperinci. Untuk itulah aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma
adalah fokus perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapinya atau, dengan
kata lain, salah satu aspek atau tema tertentu dalam penelitiannya. Bagi ilmu filsafat,
objek forma muncul dalam bentuk disiplin atau cabang ilmu filsafat tertentu. Sebagai
contoh, filsafat manusia adalah bentuk forma ilmu filsafat, karena manusia menjadi titik
pusat atau fokus perhatian, dan manusia akan dikaji dalam keterkaitan antara tubuh dan
jiwa. Contoh yang lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah objek forma dari ilmu filsafat
karena permasalahan ilmu pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan eksternal
(penemuan baru dalam kegiatan ilmiah) menjadi pusat perhatian dari ilmu filsafat dan
akan dikaji secara kritis dan filosofis.
Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajiannya sangat penting.
Dengan metode yang tepat dan khas, orang diharapkan dapat memahami persoalan
filsafat atau problema filosofis dengan lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih
sangat umum dapat membantu orang untuk menjelaskan dan memahami tema-tema
filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Metode-metode itu antara lain adalah
4

metode kritis-refleksif, metode dialektik-dialog (dari Socrates), metode fenomenologis


(Husserl), dan metode dialektika (Hegel).
Metode kritis refleksif adalah cara untuk memahami suatu objek atau
permasalahan dengan melihatnya secara mendalam dan mendasar untuk kemudian
merenungkannya kembali. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang terusmenerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran atau telah puas dengan apa
yang dikajinya. Selama ia masih meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu,
maka metode kritis refleksif tetap digunakannya.
Metode dialektik-dialog dari Socrates adalah cara untuk memahami sesuatu atau
objek kajiannya dengan melakukan dialog. Dialog berarti berkomunikasi dengan dua
arah; artinya, ada seseorang yang berbicara dan ada orang yang mendengarkan. Dalam
pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan
segala problema yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang
mengalami perkembangan karena mempertemukan antara ide yang satu dengan ide
yang lainnya. Tujuan metode dialektik-dialog ini adalah mengembangkan cara
berargumentasi di mana posisi yang sifatnya dua arah itu dapat diketahui dan
dihadapkan satu dengan yang lainnya.
Metode fenomenologi, yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Edmund
Husserl, adalah metode yang digunakan untuk melakukan persepsi (mengetahui dan
memahami) terhadap semua fenomena atau gejala yang berada di sekeliling manusia
dan untuk kemudian menemukan hakekat (eidos) dari seluruh fenomena itu. Eidos
diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap
tidak relevan dengan keinginan (kesadaran/rasionalitas) sehingga ditemukan fenomena
murni. Fenomena murni inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi dari fenomena
yang telah ada atau yang semula.
Metode yang bersifat dinamis, yaitu pendekatan induktif dan deduktif
diperkenalkan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles. Metode ini mengajak kita
bernalar secara dinamis dan logis. Penalaran induktif (mengambil kesimpulan dari yang
sifatnya khusus ke yang umum) menawarkan suatu proses dinamis berpikir tentang
suatu realitas yang dihadapi sehingga mampu mengambil kesimpulan sangat tepat dari
apa yang telah diamati dan dipikirkan. Penalaran deduktif adalah penalaran yang
mencoba menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum ke yang khusus.
Metode dialektika ala Hegel adalah cara untuk memahami dan memecahkan
persoalan atau problema dengan berdasarkan tiga elemen, yaitu tesis, antitesis dan
sintesis. Tesis adalah suatu persoalan atau problem tertentu sedang antitesis adalah suatu
reaksi atau tanggapan ataupun komentar kritis terhadap tesis (argumen dari tesa)
tersebut. Apabila kedua elemen itu saling dihadapkan maka akan muncul sintesis, yaitu
kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir yang dinamis,
dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang saling
berkontradiksi atau berhadapan itu sehingga dicapai kesepakatan yang rasional sifatnya.
1.3 KEGUNAAN FILSAFAT
Suatu pertanyaan yang menggelitik adalah apakah ada manfaat atau faedahnya
orang belajar filsafat. Pertanyaan itu hendaknya dijawab dari berbagai sudut pandang.
Pertama, filsafat kita dudukkan sebagai sebuah sarana, sebuah kata benda. Dengan
melihatnya sebagai sebuah kata benda, maka filsafat muncul berupa suatu tindakan
tertentu atau perilaku tertentu dari seseorang yang di dalamnya termuat pandanganpandangan hidup ataupun keyakinannya ataupun ide-ide serta gagasan-gagasan. Dalam
keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah sarana (tools) bagi ilmu pengetahuan
untuk memecahkan berbagai problem secara kritis. Oleh karena itu semua orang dapat
mempelajarinya dan menggunakannya sebagai tool dalam kegiatan ilmiah. Kedua,
filsafat kita lihat sebagai suatu actionmeaningfull actionyang dianggap sebagai
5

sebuah kata kerja. Sebagai sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang
sangat aktif mengisi tindakannya atau perilakunya (yang telah dipenuhi pandangan
hidup dan ide tertentu) dengan bermakna. Dengan bermakna berarti seseorang harus
bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya baik secara
individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat (karena memiliki pandangan
tertentu, misalnya sikap arif dan moralitas yang baik). Ia dapat mengaktualisasikan
kehidupan bermaknanya dalam bentuk tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan
tertentu, memiliki keluarga, atau memiliki teman secara bertanggungjawab dan
bermartabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat sangatlah erat dengan
kehidupan sehari-hari. Untuk itulah kita dapat menentukan faedah apa yang dapat kita
peroleh apabila kita belajar filsafat. Faedah pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak
orang untuk bersikap arif dan berwawasan luas terhadap berbagai problem yang
dihadapi manusia sehingga mampu memecahkan problem tersebut dengan cara
mengidentifikasinya memudahkannya dalam memperoleh jawaban-jawabannya
tersebut. Faedah kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang
secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup, dan ide-ide yang muncul karena
keinginannya. Faedah ketiga, filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam
menghadapi permasalahan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
ilmiah.

LOGIKA
Pada bab ini akan dikaji pengertian dan jenis logika. Logika sangat terkait
dengan pengalaman kebahasaan seseorang, yang dilakukan baik secara lisan maupun
tertulis. Bagaimana merumuskan sesuatu dengan tepat dan benar diuraikan dalam
bagian Definisi. Dibahas juga proposisi dan bentuk proposisi disertai dengan proses
penalaran baik secara langsung maupun tidak langsung, dan hukum silogisme. Proses
penalaran manusia sering mengalami kesesatan berpikir karena adanya pelanggaran
terhadap hukum silogisme, karena faktor bahasa, dan karena tidak adanya relevansi
antara premis dan kesimpulannya.
2.1 DEFINISI LOGIKA
Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang
digunakan dengan beberapa arti, seperti ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal
budi, ilmu (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat
logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang
berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis,
tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang
logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang
kurang lebih sama dengan masuk akal; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan,
dan dapat diterima oleh akal sehat.
Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih
belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika,
sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau,
sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi
mengenai istilah logika itu.
Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika
sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam
membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3).
Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi
ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini
tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau
berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui
bahwa orang yang telah mempelajari logikajadi sudah memiliki pengetahuan mengenai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikirmempunyai kemungkinan lebih besar
untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan
dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini
hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya
memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan
mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang
tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya
merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika
tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau
ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih
kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan
keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsipprinsip berpikir.
Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang
dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan
7

dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara


akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling
tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambatlaun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu
pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang
dilakukannya sendiri.
2.2 JENIS LOGIKA
Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang.
Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah
perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.
2.2.1 Sumber
Berdasarkan aspek ini kita mengenal adanya dua macam logika, yakni logika
alamiah dan logika ilmiah.
a) Logika Alamiah
Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari
kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai
makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini
memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun
disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja,
manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat
membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan
sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan
kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat
diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metodemetode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau
prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin
kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.
b) Logika Ilmiah
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah
akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu
membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu,
yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran
beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati,
logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum
penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum
tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.
2.2.2 Sejarah Perkembangan
Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal
dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika modern
a) Logika Klasik
Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384322 seb. M), salah seorang
filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang
melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu
disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak
menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika
dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusanputusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumenargumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.
Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini
8

tampak dari organon (yang berarti alat), judul yang ia berikan kepada kumpulan
karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan
ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang
mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander
Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal
sekarang (Bertens, 1979: 1356).
Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak
bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak
mengalami perubahan sedikit pun.
b) Logika Modern
Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli
matematika Inggris, seperti A. de Morgan (18061871) dan George Boole (1815
1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan
menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka
berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut
juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19
dibedakan dari logika klasik.
2.2.3 Bentuk dan Isi Argumen
Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas
logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen,
sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.
a) Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam
logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran.
Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis
ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila
ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga.
Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi,
suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran
tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan
kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah,
bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu
penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar
penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya
akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.
b) Logika Material
Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka
logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk
suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi
isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua
proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam
suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi,
dikatakan tidak benar.
Dengan demikian, dalam suatu argumen ada dua persoalan yang harus
dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan kebenaran isi. Pemahaman kita
mengenai kedua aspek tersebut kiranya dapat dibantu dengan memperhatikan Tabel 1:
Bentuk dan Isi Argumen.

Tabel 1: Bentuk dan Isi Argumen


LOGIKA
FORMAL
(Bentuk)

ARGUMEN

LOGIKA
MATERIAL
(Isi)

(1) Semua binatang adalah makhluk hidup.


Tidak sahih

Semua kucing adalah makhluk hidup.

Benar

Jadi, semua kucing adalah binatang.


(2) Semua binatang mempunyai sayap.
Sahih

Semua mobil adalah binatang.

Tidak benar

Jadi, semua mobil mempunyai sayap.


(3) Semua binatang mempunyai sayap.
Tidak sahih

Semua mobil mempunyai sayap.

Tidak benar

Jadi, semua mobil adalah binatang.


(4) Semua binatang adalah makhluk hidup.
Sahih

Semua kucing adalah binatang.

Benar

Jadi, semua kucing adalah makhluk hidup.

Argumen (1) di atas dari segi isi benar karena semua proposisinya sesuai dengan
kenyataan. Tetapi dari segi bentuk, argumen tersebut tidak sahih. Hal itu disebabkan
karena kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" bukan merupakan implikasi logis
dari premis-premisnya. Dengan perkataan lain, kesimpulan "Semua kucing adalah
binatang" tidak dapat ditarik berdasarkan fakta bahwa "Semua binatang adalah
makhluk hidup" dan bahwa "Semua kucing adalah makhluk hidup".
Sebaliknya, argumen (2) dari segi isi tidak benar karena semua proposisinya
tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, dari segi bentuk, argumen tersebut sungguhsungguh sahih. Atau, dapat dikatakan bahwa proses penalaran yang tampak dari
argumen (2) itu betul-betul tepat dan lurus. Mengapa? Karena, kalau saja premispremisnya ("Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil adalah binatang")
benar, maka kesimpulan "Semua mobil mempunyai sayap" pasti benar juga. Jadi, proses
penarikan kesimpulan dalam argumen itu tepat sekali; kesimpulan itu sungguh-sungguh
merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Dari argumen (3) dapat kita lihat bahwa, di samping isinya tidak benar (semua
proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan), juga bentuknya tidak sahih. Atas dasar
premis-premis "Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil mempunyai
sayap" tidak dapat kita simpulkan "Semua mobil adalah binatang".
Argumen (4) merupakan contoh argumen yang mengandung baik kebenaran isi
maupun kesahihan bentuk. Selain proposisi-proposisinya sesuai dengan kenyataan, juga
proses penalaran yang tercermin dari argumen tersebut sungguh-sungguh tepat.
Perlu pula ditekankan di sini, bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, setiap
argumen yang dibangun harus selalu memperhatikan kedua aspek itu bersama-sama.
Setiap argumen ilmiah harus selalu memperlihatkan kesahihan bentuk dan kebenaran
isi.
2.2.4 Proses Penyimpulan
Penyimpulan atau penalaran pada dasarnya merupakan suatu proses. Dalam
proses itu akal budi kita bergerak dari suatu pengetahuan lama yang sudah dimiliki,
menuju pengetahuan baru yang sebelumnya masih samar-samar.
Proses penyimpulan itu dapat menempuh dua jalan, yakni deduksi dan induksi.
Jenis-jenis logika yang berbicara mengenai kedua proses penalaran itu, masing-masing
disebut logika deduktif dan logika induktif.
10

a). Logika Deduktif


Logika deduktif secara khusus memperhatikan penalaran deduktif. Dalam
penalaran ini, akal budi bertolak dari pengetahuan lama yang bersifat umum, dan atas
dasar itu menyimpulkan suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus. Penalaran
deduktif ini biasanya terwujud dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme.
Silogisme adalah argumen yang terdiri atas tiga proposisi atau pernyataan: proposisi
pertama dan kedua (premis-premis) merupakan titik tolak atau landasan penalaran,
sedangkan proposisi ketiga (kesimpulan) merupakan tujuan penalaran, yang dihasilkan
berdasarkan hubungan yang terjalin antara premis-premisnya. Dengan demikian,
hubungan antara premis-premis dan kesimpulan, dengan demikian merupakan
hubungan yang tak terpisahkan satu dari yang lain. Tepat tidaknya sifat hubungan
tersebut menjadi pusat pengamatan logika deduktif. Itu berarti, setiap argumen deduktif
selalu atau sahih atau tidak sahih, dan tugas logika deduktif adalah menjelaskan sifat
dari hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dalam argumen yang sahih,
sehingga dengan itu kita dapat membedakan argumen-argumen yang sahih dari
argumen-argumen yang tidak sahih.
Dari premis-premis berikut
"Semua manusia berakal budi" dan
"Cecep adalah manusia"
kita dapat menyimpulkan bahwa "Cecep berakal budi". Kesimpulan itu kita turunkan
hanya lewat suatu analisis terhadap premis-premisnya tanpa bersandar pada pengamatan
inderawi atau observasi empiris mengenai diri Cecep; jadi, apriori sifatnya. Selain itu,
lewat analisis juga, kita menemukan bahwa kesimpulan "Cecep berakal budi"
merupakan konsekuensi yang sudah langsung terkandung di dalam premis-premisnya;
artinya, premis-premis "Semua manusia berakal budi" dan "Cecep adalah manusia"
terhubungkan sedemikian rupa sehingga "Cecep berakal budi" sungguh-sungguh sudah
tersirat di dalamnya. Dengan demikian, setiap argumen deduktif senantiasa memiliki
tiga ciri khas. Pertama, analitis; artinya kesimpulan ditarik hanya dengan menganalisa
proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada. Kedua, tautologis; artinya,
kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam
premis-premisnya, ketiga, apriori; artinya, kesimpulan ditarik tanpa berdasarkan
pengamatan inderawi atau observasi empiris. Ciri-ciri tersebut memungkinkan setiap
argumen deduktif selalu dapat dinilai sahih atau tidak sahih. Oleh karena itu, suatu
argumen deduktif yang sahih dengan sendirinya juga menghasilkan kesimpulan yang
mengandung nilai kepastian mutlak.
b) Logika Induktif
Jenis logika ini berurusan dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam
penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari
pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual,
dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu
menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum. Misalnya, observasi empiris
terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan,
ternyata berturut-turut memperlihatkan hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu.
Bila hasil observasi itu dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan
tampak seperti dalam Tabel 2: Argumen Induktif.

Tabel 2: Argumen Induktif


11

ARGUMEN INDUKTIF
(A)

(B)

Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum


jamu.

Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu.

Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka


minum jamu.

Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum


jamu.

Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum


jamu.

Shinta (orang Jawa, penyiar TV) suka minum


jamu.

Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu.

Bachtiar (orang Jawa, pesulap) suka minum jamu.


Fadillah (orang Jawa, tukang baso) suka minum
jamu.
Dewi (orang Jawa, pedangdut) suka minum jamu.
Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu

Dari kedua contoh argumen induktifmasing-masing (A) dan (B)di atas


tampaklah bahwa kesimpulan-kesimpulannya merupakan generalisasi karena
kesimpulan-kesimpulan tersebut menyebutkan kasus yang lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah kasus yang disebutkan dalam premis-premisnya. Dalam
hal seperti ini selalu ada bahaya bahwa orang melakukan generalisasi tergesa-gesa;
artinya, terlalu cepat menarik kesimpulan yang berlaku umum, sedangkan jumlah kasus
yang digunakan sebagai landasan dalam premis-premis tidak atau kurang memadai.
Untuk itu orang harus mempelajari ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu
penelitian ilmiah agar kesimpulan yang berupa generalisasi tersebut dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
Kedua contoh argumen di atas juga memperlihatkan bahwa kesimpulankesimpulannya berbentuk sintesis atau penggabungan dari kasus-kasus yang digunakan
sebagai titik tolak penalaran. Karena itu, penalaran induktif sering disebut juga
penalaran sintetis. Selain itu, karena kasus-kasus yang menjadi titik tolak argumen
induktif merupakan hasil pengamatan inderawi, maka argumen induktif selalu bersifat a
posteriori.
Atas dasar itu, setiap argumen induktif selalu memiliki tiga ciri khas. Pertama,
sintetis; artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan menyintesakan atau menggabungkan
kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, general artinya kesimpulan
yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum
sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga,
aposteriori; artinya, kasus-kasus konkret yang dijadikan landasan atau titik tolak
argumen selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi. Ciri-ciri yang demikian itu
menyebabkan setiap argumen induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan
kerena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak.
Suatu argumen induktif hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik,
tergantung seberapa besar (tinggi) derajat kebolehjadian (probabilitas) yang diberikan
premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak kasus sejenis yang
dijadikan landasan argumen (alasannya memadai), semakin besar (tinggi) probabilitas
kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulan suatu argumen
induktif, semakin baik argumen yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit
(kurang) kasus sejenis yang digunakan sebagai titik tolak argumen (alasannya kurang
memadai), semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil
12

(rendah) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin kurang baik argumen
induktif yang bersangkutan. Dengan demikian, mengenai kedua contoh argumen
induktif di atas, harus dikatakan bahwa argumen (A) kurang baik jika dibandingkan
dengan argumen (B), atau sebaliknya, argumen (B) lebih baik daripada argumen (A).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hanya dalam logika deduktif formal
diperhatikan tepat tidaknya sifat hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dan
dengan demikian hanya dalam lingkup logika deduktif formallah, suatu penalaran atau
argumen dapat dikatakan sahih atau tidak sahih. Dengan kata lain, perbincangan tentang
tepat tidaknya atau logis tidaknya suatu penalaran hanya dapat dilakukan dalam konteks
logika deduktif formal. Atas dasar itu, bila dalam pembahasan selanjutnya dalam buku
ajar ini diuraikan tentang kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis, maka yang
dimaksudkan adalah penalaran deduktif formal sedangkan penalaran induktif tidak akan
dibicarakan
2.3 KAIDAH-KAIDAH BERPIKIR TEPAT DAN LOGIS
Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung unsur yang
harus dipelajari satu demi satu. Dengan kata lain, keseluruhan kegiatan akal budi dapat
dibedakan dalam tiga tahap yang masing-masingnya memiliki prinsip-prinsip atau
kaidah-kaidah tersendiri namun tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Ketiga unsur pemikiran atau ketiga tahap kegiatan akal budi tersebut dapat
disimak dalam Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran..
Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran (Tahap-tahap Kegiatan Akal Budi)
Aspek Mental
(1) Pengertian
(Concept)
(2) Putusan
(Judgment)
(3) Penyimpulan
(Reasoning)

Aspek Ekspresi Verbal


(1) Term
(Term)
(2) Proposisi
(Proposition)
(3) Silogisme
(Syllogism)

2.3.1 Term
a) Term dan Kata
Dari Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran terlihat bahwa term selalu merupakan
ungkapan lahiriah atas suatu pengertian. Sebagai ungkapan lahiriah dari pengertian,
term dapat terdiri dari satu kata atau lebih. Jadi, dengan term dimaksudkan kata atau
kelompok kata yang merupakan ungkapan lahiriah dari pengertian. Kata-kata seperti
meja, kursi, buku, mahasiswa, dan jembatan layang, masing-masing disebut term
karena merupakan ekspresi verbal dari pengertian-pengertian meja, kursi, buku,
mahasiswa, dan jembatan layang.
Sebagai ekspresi verbal dari suatu pengertian tertentu, apabila diletakkan dalam
proposisi, maka term itu akan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Dengan demikian,
dalam konteks proposisi, term dapat didefinisikan sebagai bagian dari proposisi (satu
kata atau lebih) yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Kata manusia adalah
sebuah term karena mewakili pengertian manusia dan kata makhluk hidup adalah juga
sebuah term karena mewakili pengertian makhluk hidup. Apabila kata-kata itu
dihubungkan satu sama lain dalam proposisi menjadi Manusia adalah makhluk hidup,
maka manusia berfungsi sebagai term subjek, sedangkan makhluk hidup berfungsi
13

sebagai term predikat. Sebagai bagian dari proposisi, baik term subjek maupun term
predikat dapat saja terdiri atas sejumlah kata. Namun keseluruhan kata itu tetap
membentuk satu pengertian saja. Karena itu, dalam proposisi Pria berkebangsaan
Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan
Hongkong itu bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait,
maka term subjeknya adalah pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak
pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu,
sedangkan bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait
maka adalah term predikat.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap proposisi, betapapun sederhananya,
harus selalu terdiri atas dua bagian saja, yaitu term subjek dan term predikat; tidak ada
keterangan subjek, keterangan predikat, objek, atau pun keterangan-keterangan lainnya
sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa. Kesatuan antara term subjek dan
term predikat merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya proposisi karena hanya
dengan itulah bisa tampak unsur pengakuan atau pengingkarannya, dan dengan
demikian dapat ditentukan pula benar atau salah.
b) Klasifikasi Term
Dalam logika, term dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu:
berdasarkan jumlah kata, luas, sifat, dan penggunaan arti.
1) Berdasarkan jumlah kata
Ditinjau dari segi jumlah kata, term dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu
term tunggal dan term majemuk.
(a) Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja, misalnya: manusia,
binatang, rumah, gunung, dan pohon.
(b) Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih (beberapa kata),
misalnya kantor pos, rumah makan, jalan raya, arena balap sepeda, dan toko
serba ada.
2) Berdasarkan luas
Dari segi luas, term dapat dikenal dalam tiga jenis, yaitu term singular, term
partikular, dan term universal.
(a) Term singular adalah term yang dengan tegas menunjukkan satu benda, satu
individu, atau satu realitas tertentu, misalnya Pak Amir, Jawa, Gunung Merapi,
gadis tercantik di desa ini, dan danau itu.
(b) Term partikular adalah term yang menunjukkan hanya sebagian dari seluruh
luasnya; sekurang-kurangnya satu, dan yang satu itu tidak tertentu. Misalnya
beberapa gedung, banyak pengunjung, tidak semua peserta, seorang pelajar,
dan sebuah mangga.
(c) Term universal adalah term yang menunjukkan seluruh luasnya tanpa ada yang
dikecualikan, misalnya semua dokter, tak seekor pun, dan tak ada orang Jawa.
3) Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, term dapat dibedakan atas dua macam, yaitu term distributif dan
term kolektif.
(a) Term distributif
Suatu term disebut term distributif apabila pengertian yang terkandung dalam
term itu dapat dikenakan kepada semua anggota atau individu yang tercakup di
dalamnya, satu demi satu tanpa kecuali. Term manusia, misalnya. bersifat
distributif sejauh pengertian manusia itu terkena pada setiap individu atau
siapa saja (Anton, Clara, Lina, Peter, Suzy, Lina, dan lain-lain) yang berada
dalam lingkup pengertian manusia. Begitu juga term binatang. Term ini
bersifat distributif karena mengandung pengertian yang dapat diterapkan pada
setiap individu atau apa saja (kambing, kuda, sapi, ular, bebek, buaya ular, dan
lain-lain) yang bernaung dalam lingkup pengertian binatang.
14

Bila term distributif itu menduduki posisi sebagai term subjek dalam proposisi,
maka untuk menentukan luasnya perlu diingat pedoman berikut: term subjek
yang bersifat distributif, sejauh berdiri sendiri dan tidak didahului atau diikuti
kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, luasnya bisa universal dan dapat juga
partikular; jadi, tergantung konteksnya. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Manusia dapat khilaf.
(2) Ikan hidup di air.
(3) Ular itu binatang melata.
Ketiga proposisi di atas (13), secara berturut-turut memiliki term subjek yang
bersifat distributif (manusia. ikan, ular), yang masing-masing dalam
konteksnya, harus dipahami dalam luas universal. Amati pula contoh lain
berikut.
(4) Orang Batak pandai menyanyi.
(5) Wanita Solo senang memakai kebaya.
(6) Petani Jawa ulet dalam bekerja.
Ketiga proposisi di atas (46) secara berturut-turut rnemiliki term subjek yang
bersifat distributif (orang Batak, wanita Solo, petani Jawa), yang masingmasing, dalam konteksnya, tidak dapat dipahami dalam luas universal,
melainkan partikular.
(b) Term kolektif
Suatu term disebut term kolektif apabila pengertian yang terkandung di
dalamnya, tidak dapat dikenakan kepada anggota-anggota atau individuindividu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan kepada
kelompok sebagai suatu keseluruhan. Term keluarga, misalnya, bersifat kolektif
karena pengertian keluarga tidak menunjuk pada anggota-anggota atau
individu-individu yang berada dalam lingkup pengertian keluarga, melainkan
pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok atau komponen. Jadi,
yang dikenai pengertian 'keluarga' bukanlah individu-individu dalam keluarga
itu, melainkan komponennya. Di samping term keluarga, masih terdapat
sejumlah term lain yang bersifat kolektif, seperti: bangsa, masyarakat, divisi,
korps, rombongan, orkes, pasukan, armada, tim, partai, suku, dan kesebelasan.
Apabila term kolektif itu menempati posisi sebagai term subjek dalam suatu
proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu digunakan pedoman berikut.
(1) Bila term subjek terdiri atas satu term kolektif yang berdiri sendiri tanpa
didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, maka luasnya
selalu universal. Contoh:
a) Kesebelasan adalah nama regu dalam olahraga sepakbola.
(dikenakan kepada semua kesebelasan).
b) Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan generasi muda.
(dikenakan kepada semua keluarga).
c) Orkes sangat membutuhkan kekompakan.
(dikenakan kepada semua orkes).
(2) Bila term subjek yang bersifat kolektif itu secara tegas menunjuk pada satu
kelompok atau satu komponen tertentu, maka luasnya adalah singular.
Contoh:
a) Keluarga Pak Lukman sedang berlibur ke luar negeri.
(menunjuk pada satu keluarga tertentu).
b) Tim terkuat dalam turnamen basket kali ini adalah tim "Garuda".
(menunjuk pada satu tim tertentu).
c) Pasukan itu berhasil menghalau para pengacau.
(menunjuk pada satu pasukan tertentu)
15

4) Berdasarkan penggunaan arti


Suatu term atau kata dapat digunakan dalam tiga macam arti, yaitu dalam arti
univok, ekuivok, dan analog.
(a) Univok
Suatu kata digunakan dalam arti univok bila kata tersebut digunakan untuk dua
hal (realitas) atau lebih dalam satu arti yang sama, Perhatikanlah bahwa
pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat di
bawah ini memiliki satu arti yang sama.
1) Buku pelajaran lebih mahal harganya daripada buku novel.
2) Wajah puteri itu mirip benar dengan wajah ibunya.
3) Ditinjau dari segi martabatnya sebagai manusia, orang kota tidak berbeda
dengan orang desa.
(b) Ekuivok
Suatu kata digunakan dalam arti ekuivok bila dengan kata tersebut
dimaksudkan dua hal (realitas) yang sama sekali berbeda atau berlainan.
Amatilah contoh berikut ini.
1) Kata orang, bisa ular kobra bisa diramu sebagai obat untuk
menyembuhkan penyakit reumatik.
2) Informasi yang saya peroleh memang masih kabur tetapi tampaknya
narapidana kelas kakap itu sudah berhasil kabur dari penjara.
3) Menurut hemat saya, cara hidup hemat merupakan cara hidup yang paling
cocok dalam situasi krisis moneter dewasa ini.
(c) Analog
Suatu kata digunakan dalam arti analog bila kata tersebut digunakan untuk dua
hal (realitas) dalam arti yang sama tetapi sekaligus berbeda. Kata-kata dalam
arti analog ini biasanya digunakan bila orang ingin memperlihatkan kemiripan
antara dua hal (analogi berarti relasi kemiripan antara dua hal) dan itu terjadi
bila orang ingin membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lainnya.
Analogi itu bisa dilakukan ke arah bawah (analogi - ke arah - bawah) yaitu dari
manusia ke taraf bawah manusiawi atau ke arah atas (analogi-ke arah-atas)
yaitu dari manusia ke taraf Tuhan (Bertens, 1987: 128131). Sering kali
analogi atau perbandingan itu ditampilkan dalam bentuk kiasan (metafor).
Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing
contoh kalimat berikut ini digunakan dalam arti analog.
(1) Getaran dawai dan alat musik yang dimainkan penyanyi itu benar-benar
mencerminkan getaran jiwanya sendiri.
(2) Kobaran api yang menghanguskan benteng pertahanan mereka membuat
kobaran semangat para gerilyawan untuk terus berjuang semakin menjadijadi.
(3) Senyuman bulan itu mirip benar dengan senyuman gadis desa.
Setelah memperoleh pemahaman yang baik tentang term, langkah berikut yang
harus dilakukan seseorang pada taraf awal dalam menekuni logika adalah menyusun
definisi agar dapat terhindar dari kekacauan pemahaman mengenai arti sebuah term.
Langkah ini pun hanya dapat dilalui secara mulus apabila yang bersangkutan menguasai
sungguh-sungguh isi dan luas pengertian dari term yang hendak didefinisikan dengan
terlebih dahulu mempelajari secara mendalam sub-tema seputar klasifikasi, baik
menyangkut jenis maupun hukum-hukum yang melandasinya (Hayon, 2005: 4046).
2.3.2 Definisi
a) Pengertian Definisi
Kata definisi berasal dari bahasa Latin definire yang berarti membatasi atau
mengurung dalam batas-batas tertentu. Dalam rangka kegiatan ilmiah, definisi selalu
16

dihubungkan dengan suatu konsep atau suatu istilah tertentu yang hendak dijelaskan
artinya. Jadi, definisi secara sederhana dipahami sebagai penentuan batas pengertian
bagi sebuah istilah. Penentuan batas itu sedapat mungkin dilakukan secara singkat, jelas,
tepat, padat, dan lengkap sehingga konsep atau term yang hendak dirumuskan itu dapat
dimengerti secara jelas pula. Dengan demikian, definisi berarti penentuan batas
pengertian sebuah istilah atau konsep secara singkat, tepat,jelas, padat, dan lengkap
sehingga istilah yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas dan dapat
dibedakan dari istilah-istilah yang lain.
Dari definisi tentang definisi di atas terungkap bahwa, di satu pihak, suatu
definisi yang baik haruslah berupa rumusan yang singkat, tepat, jelas, padat, dan
lengkap yang mencakup semua elemen yang terkandung dalam konsep yang
didefinisikan dan, di lain pihak, definisi itu harus juga mampu memperlihatkan
perbedaan antara konsep yang hendak dijelaskan itu dengan konsep lainnya.
Pendefinisian secara singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap ini sangat penting artinya
dalam kegiatan ilmiah karena dengan itu kemungkinan akan terjadinya kesimpangsiuran
pandangan serta kesalahpahaman mengenai sebuah konsep dapat dihindari. Kerancuan
pemahaman akan sangat sulit diatasi bila sejak awal suatu pembicaraan atau tulisan
ilmiah tidak terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan sebuah konsep.
Dalam sebuah definisi selalu terkandung dua unsur, yaitu hal atau simbol yang
hendak didefinisikan (lazim disebut definiendum), dan hal atau (kumpulan) simbol yang
digunakan untuk menjelaskan arti definiendum (lazim disebut definiens). Dengan
rumusan lain, definiendum adalah istilah yang hendak dijelaskan artinya, sedangkan
definiens adalah perumusan atau penjelasan yang diberikan.
b) Aturan Definisi
Penyusunan definisi yang benar sudah barang tentu harus mengikuti sejumlah
aturan. Dalam tradisi ditetapkan lima aturan yang harus diperhatikan dalam membentuk
definisi yang benar. Satu per satu aturan-aturan itu akan diuraikan di bawah ini.
1) Definiens harus dapat dibolak-balikkan dengan definiendum.
Aturan ini mengandaikan bahwa luas definiens dan definiendum harus sama besar.
Perbedaan dalam luas mengakibatkan kedua unsur itu tidak dapat dipertukarkan
tempatnya. Karena itu, mendefinisikan sepatu sebagai sesuatu yang digunakan
sebagai alas kaki tentu saja tidak tepat sebab luas pengertian sesuatu yang
digunakan sebagai alas kaki (definiens) lebih besar daripada luas pengertian sepatu
(definiendum). Pembalikan tempat definiens dan definiendum ini merupakan cara
pengujian yang sangat efektif untuk meneliti tepat-tidaknya sebuah definisi.
2) Definiendum tidak boleh masuk ke dalam definiens.
Aturan ini mengingatkan kita kembali bahwa definisi pada hakekatnya merupakan
pembatasan pengertian terhadap suatu istilah atau term yang dilakukan dengan
tujuan agar istilah tersebut dapat dipahami artinya secara jelas dan dapat dibedakan
dari istilah-istilah lain. Karena itu, masuknya definiendum ke dalam definiens, entah
secara eksplisit atau implisit, sebetulnya hanya akan membuat definisi bergerak
melingkar (sirkular) atau berputar-putar untuk itu akhirnya kembali lagi pada titik
persoalan semula, dan dengan demikian definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa.
Ambillah contoh, bila seseorang mendefinisikan logika sebagai 'ilmu yang
mempelajari aturan-aturan logika' atau ilmu yang mengkaji aturan-aturan agar
dapat berpikir logis, maka bagi mereka yang ingin mengetahui apa sebetulnya
"logika" itu, definisi tersebut tidak memberikan manfaat sedikit pun karena
persoalan mengenai logika tetap tak terjawab.
3) Definiens harus sungguh-sungguh menjelaskan.
Aturan ini pun menegaskan bahwa setiap definisi yang baik harus selalu berusaha
agar istilah atau term yang didefinisikan betul-betul dipahami secara jelas. Untuk
maksud itu penggunaan kata-kata dalam definiens yang bersifat ambigu, tidak jelas
17

atau mengandung kiasan sedapat mungkin dihindari karena penggunaan kata-kata


semacam itu akan berakibat pada timbulnya kerancuan atau salah pengertian
terhadap definiendum-nya. Jadi, mendefinisikan advokat sebagai orang yang
membela penjahat-penjahat sudah tentu akan menimbulkan salah pengertian.
Selain itu, dengan hanya menyebutkan contoh pun sesuatu definiens belum
terumuskan secara jelas, meskipun dari segi tertentu pemberian contoh memang
bermanfaat untuk membantu pemahaman yang lebih baik mengenai suatu istilah.
Sebagai contoh, janganlah mendefinisikan alat tulis dengan misalnya bolpoin, pen,
kapur tulis, spidol, atau kertas.
4) Definiens harus bersifat paralel dengan definiendum.
Maksud aturan ini ialah bahwa definiens harus mengandung perumusan yang tepat
tentang definiendum. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa definiens harus
diawali dengan kata atau term yang sama strukturnya dengan definiendum. Jadi
janganlah misalnya, definiens dimulai dengan sebuah kata yang strukturnya adalah
kata benda, padahal definiendum-nya berstruktur kata sifat, atau sebaliknya.
Ambillah contoh, jujur adalah orang yang bertutur atau bertindak sesuai dengan
suara hatinya. Kiranya tak ada yang menyangkal bahwa jujur merupakan sifat yang
terdapat pada manusia (orang) dan hanya manusia (orang) memiliki sifat jujur, tetapi
definisi itu tidak dapat dibenarkan karena jujur bukanlah orang, dan orang bukanlah
jujur. Kedua kata atau term itu berbeda strukturnya. Yang satu (jujur) dalam
definiendum berstruktur kata sifat, sedangkan yang lain (orang) dalam definiens
berstruktur kata benda.
5) Definiens tidak boleh berbentuk negatif, sejauh masih dapat dirumuskan secara
afirmatif.
Penetapan aturan kelima ini berdasarkan alasan bahwa suatu definisi disebut definisi
yang benar bila definiens-nya mampu mengungkapkan apa sebenarnya makna dari
definiendum-nya. Dengan kata lain, tujuan setiap definisi yang benar hanya mungkin
dapat tercapai bila apa yang merupakan hakekat definiendum terungkap dalam
definiens-nya. Dalam definisi di mana definiens-nya berbentuk negatif, tujuan
tersebut tidak tercapai karena hakekat definiendum tidak terungkap. Jadi, orang
yang mendefinisikan sepak bola, sebagai, misalnya, sejenis olahraga yang tidak
dimainkan dengan menggunakan tangan, tidak menerangkan apa-apa mengenai
sepak bola.
Namun demikian, ada istilah-istilah atau term-term tertentu yang mau tidak mau
dirumuskan secara negatif karena tidak ada kemungkinan merumuskannya secara
afirmatif. Hal ini berlaku antara lain pada realitas-realitas yang sebenarnya bukanlah
merupakan realitas-realitas yang positif. Sebagai contoh, "Lumpuh adalah tidak
dapat berjalan". Definisi ini benar meskipun definiens-nya berbentuk negatif.
Alasannya ialah karena "tidak dapat berjalan" (definiens) sudah mengungkapkan
apa sebenarnya makna dari lumpuh (definiendum). Dengan kata lain, "tidak dapat
berjalan" sesungguhnya merupakan hakekat dari lumpuh.
2.3.3 Proposisi
a) Apa Itu Proposisi
Bila term merupakan ekspresi verbal dari pengertian, maka proposisi merupakan
ungkapan lahiriah dari putusan. Sebagai ungkapan lahiriah dari putusan, proposisi selalu
terdiri atas rangkaian term-term yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Hubungan
antara term subjek dan term predikat ini senantiasa berbentuk pengakuan atau
pengingkaran semata tentang sesuatu yang lain. Maka, proposisi dapat dirumuskan
sebagai pernyataan yang di dalamnya manusia mengakui atau mengingkari sesuatu
tentang sesuatu yang lain.
b) Unsur-unsur proposisi
Proposisi terdiri atas term subjek, term predikat, dan kopula.
18

1) Term subjek ialah sesuatu yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
2) Term predikat ialah sesuatu yang diakui atau diingkari tentang term subjek.
3) Kopula ialah penghubung antara term subjek dan term predikat, yang sekaligus
memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan tersebut.
Perlu diketahui bahwa ketiga unsur tersebut hanya terdapat di dalam proposisi
kategoris standar. Adapun sebuah proposisi disebut proposisi kategoris jika apa yang
menjadi term predikat diakui atau diingkari secara mutlak (tanpa syarat) tentang apa
yang menjadi term subjek. Proposisi Ayah membaca surat kabar merupakan
proposisi kategoris karena membaca surat kabar (term predikat) diakui tanpa syarat
tentang ayah (term subjek). Begitu pula proposisi Emilia tidak lulus ujian tergolong
proposisi kategoris karena lulus ujian (term predikat) diingkari secara mutlak tentang
Emilia (term subjek). Sementara itu, sebuah proposisi kategoris hanya dapat disebut
standar jika proposisi kategoris itu memenuhi dua syarat: pertama, ketiga unsurnya
(term subjek, term predikat, dan kopula) dinyatakan secara eksplisit; dan kedua, term
subjek dan term predikat sama-sama berstruktur kata benda. Oleh karena itu "Lydia
cantik" bukanlah sebuah proposisi kategoris standar. Itu adalah sebuah sebuah proposisi
kategoris non-standar karena di samping kopulanya tidak dinyatakan secara eksplisit,
juga term subjek dan term predikat dari proposisi tersebut berbeda strukturnya: Lydia
(term subjek) berstruktur kata benda, sedangkan cantik (term predikat) berstruktur kata
sifat. Jika proposisi kategoris ini dijadikan standar, maka bentuknya harus menjadi
"Lydia adalah wanita yang cantik".
Proposisi kategoris (standar atau non-standar), dalam bahasa, selalu berbentuk
kalimat berita. Dengan demikian, mudah dimengerti mengapa setiap proposisi
(kategoris) selalu berupa kalimat, tetapi tidak setiap kalimat disebut proposisi.
Dalam logika, sebuah kalimat hanya dapat disebut proposisi bila memenuhi ciriciri berikut:
(1) mengandung term subjek dan term predikat yang dihubungkan dalam sebuah
pernyataan;
(2) mengandung sifat pengakuan atau pengingkaran; dan
(3) mengandung nilai benar atau salah
Ciri pertama merupakan ciri pokok. Jika sebuah kalimat sudah memenuhi ciri
pertama, maka secara otomatis juga akan memenuhi kedua ciri berikutnya. Ambillah
contoh kalimat Kampus Universitas Indonesia terletak di wilayah Depok. Ini adalah
proposisi karena memiliki term subjek Kampus Universitas Indonesia dan term
predikat terletak di wilayah Depok (ciri pertama); memiliki sifat pengakuan (ciri
kedua) karena terletak di wilayah Depok diakui tentang Kampus Universitas
Indonesia; dan, akhirnya, dapat ditentukan bahwa memang benarlah demikian (ciri
ketiga). Jadi, sebuah proposisi, bagaimanapun sederhananya, harus memiliki dua unsur
pokok, yakni term subjek dan term predikat. Perlu diingatkan kembali bahwa dalam
logika tidak dikenal adanya objek, keterangan subjek, keterangan predikat atau
keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah tersebut maka jenis kalimat non-berita,
seperti kalimat seru, kalimat perintah, dan kalimat tanya seperti contoh berikut
(1)
Oh, Tuhan! Mengapa bencana ini hanya terjadi pada keluarga saya?
(2)
Segera tinggalkan tempat ini!
(3)
Di mana ayahmu bekerja?
(4)
Selamat Hari Ulang Tahun, Adi. Semoga panjang umur.
tidak dapat disebut proposisi.
Kecuali itu, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau membaca
kalimat-kalimat yang meskipun mengandung berita atau pernyataan yang maknanya
dapat dipahami namun karena tidak memiliki term subjek dikategorikan sebagai
proposisi yang tidak logis. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh.
19

(1)
(2)

Di sini menerima jahitan pakaian pria dan wanita.


Dari pihak keluarga korban mengharapkan agar kepolisian segera mengungkap
kasus pembunuhan ini.
(3)
Untuk tiga orang pemenang masing-masing akan mendapatkan hadiah
Rp500.000,00.
(4)
Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah MPKT harap berkumpul di aula.
(5)
Dengan dinaikkannya tunjangan transport diharapkan akan meningkatkan
semangat kerja para karyawan.
Sebenarnya, di dalam logika masih ada jenis proposisi lain di mana term
predikat mengakui atau mengingkari term subjek dengan suatu syarat (tidak secara
mutlak) yang disebut proposisi hipotetis. Jenis proposisi ini tidak dibahas dalam buku
ajar ini; yang dibicarakan hanyalah proposisi kategoris.
c) Klasifikasi Proposisi Kategoris
Proposisi kategoris dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yakni aspek
kuantitas, kualitas serta kuantitas dan kualitas.
1) Kuantitas proposisi
Kuantitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh luas term subjeknya.
Karena luas suatu pengertian dapat berupa singular, partikular, dan universal, maka
proposisi kategoris, berdasarkan kuantitasnya, dapat dibedakan atas proposisi singular,
proposisi partikular, dan proposisi universal.
(a) Proposisi singular adalah proposisi yang luas term subjeknya singular. Artinya,
pengertian term subjek itu menunjuk hanya kepada satu hal, benda, atau individu
ter- tentu. Misalnya, Gedung baru itu berlantai dua belas.
(b) Proposisi partikular adalah proposisi yang luas term subjeknya partikular. Artinya
pengertian term subjek itu tidak menunjuk kepada keseluruhan luasnya, melainkan
hanya sebagian atau paling kurang satu, namun yang satu itu tidak tentu yang mana.
Misalnya, Tidak semua binatang dapat dijinakkan.
(c) Proposisi universal adalah proposisi yang luas term subjeknya universal. Artinya,
pengertian term subjek itu meliputi semua hal, benda, atau individu, yang terdapat di
dalamnya tanpa kecuali. Misalnya: "Semua manusia dapat mati".
2) Kualitas Proposisi
Ciri khas sebuah proposisi kategoris adalah bahwa di dalamnya selalu
terkandung unsur pengakuan (afirmasi) atau pengingkaran (negasi), dan karena itu
hanya tentang proposisi kategoris dapat dikatakan benar atau salah. Itu berarti kualitas
sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh bentuk kopula yang digunakan. Atas dasar
itu, menurut kualitasnya, proposisi kategoris dapat dibedakan atas dua macam, yakni
proposisi afirmatif dan proposisi negatif.
(a) Proposisi afirmatif
Suatu proposisi dikatakan afirmatif apabila apa yang menjadi term predikat diakui
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Karim adalah pedagang buah
apel", misalnya, berkualitas afirmatif, karena "pedagang buah apel" (term predikat)
dalam proposisi tersebut diakui tentang "Karim" (term subjek).
(b) Proposisi negatif
Suatu proposisi dikatakan negatif apabila apa yang menjadi term predikat diingkari
tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Dina bukan peragawati",
misalnya, berkualitas negatif, karena "peragawati" (term predikat) dalam proposisi
tersebut diingkari tentang "Dina" (term subjek).
(c) Kuantitas dan kualitas proposisi
Pengklasifikasian proposisi kategoris menurut kuantitas dan kualitas secara teoretis
akan menghasilkan enam macam proposisi, yakni, (1) Proposisi universal afirmatif,
(2) Proposisi partikular afirmatif, (3) Proposisi singular afirmatif, (4) Proposisi
universal negatif, (5) Proposisi partikular negatif, dan (6) Proposisi singular negatif.
20

Jika ditarik suatu garis perbandingan antara proposisi singular di satu pihak
dengan proposisi universal dan proposisi partikular di lain pihak, maka akan ternyata
bahwa dalam arti tertentu sifat proposisi singular lebih mempunyai persamaan dengan
proposisi universal ketimbang dengan proposisi partikular. Dalam proposisi singular
afirmatif "Irwan gemar bermain di pantai", sesungguhnya "gemar bermain di pantai"
diakui tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan,
yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Demikian pula dalam proposisi
singular negatif "Lindawati bukan mahasiswi Fakultas Psikologi UI" sesungguhnya
"mahasiswi Fakultas Psikologi UI" diingkari tentang seluruh (bukan sebagian) term
subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu.
Karena alasan itulah, maka para ahli logika tidak membedakan lambang yang
digunakan, baik untuk proposisi universal afirmatif dan proposisi singular afirmatif,
maupun untuk proposisi universal negatif dan proposisi singular negatif. Dengan
demikian, di kalangan para ahli logika digunakan hanya empat lambang saja untuk
mewakili keenam macam proposisi di atas. Lambang-lambang yang dimaksud itu ialah
A, E, I, dan O, seperti terlihat pada Tabel 4: Proposisi Kategoris.
Tabel 4: Proposisi Kategoris
Menurut kualitas
Afirmatif

Negatif

Universal / singular

Partikular

Menurut kuantitas

Proposisi A: Proposisi universal/singular afirmatif


Contoh:
"Semua penumpang selamat."
"Bandung terletak di wilayah Jawa Barat. "
Proposisi E: Proposisi universal/singular negatif
Contoh:
"Semua jalan di sini tidak beraspal."
"Hasan bukan peternak ayam."
Proposisi I: Proposisi partikular afirmatif
Contoh:
"Beberapa mahasiswa pandai menyanyi."
"Ada karyawan yang bergelar sarjana. "
Proposisi O: Proposisi partikular negatif
Contoh:
"Sebagian mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi."
"Tidak semua binatang dapat berenang."
Dari penjelasan tentang keempat macam proposisi di atas, kiranya tampak jelas
bahwa dalam proposisi universal (A dan E) term subjeknya berdistribusi, sedangkan
dalam proposisi partikular (I dan O) term subjeknya tidak berdistribusi. Suatu term
disebut distributif apabila penggunaan term itu meliputi semua anggotanya secara
individual, satu demi satu, jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu
21

disebut term universal. Term yang tidak berdistribusi hanya meliputi sebagian dari
semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu anggotanya
saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya, disebut term partikular.
d) Luas Term Predikat
Jika luas term subjek menentukan kuantitas suatu proposisi, maka kualitas suatu
proposisi menentukan luas term predikatnya. Dalam hubungan dengan kualitas
proposisi, masalah pokok tentang luas term predikat adalah: apakah term predikat suatu
proposisi meliputi semua anggotanya secara individual (universal/berdistribusi) atau
hanya sebagian anggotanya (partikular/tidak berdistribusi). Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kiranya perlu dicamkan hukum pokok mengenai luas term predikat, baik dalam
proposisi yang berkualitas afirmatif maupun dalam proposisi yang berkualitas negatif.
1) Luas term predikat dalam proposisi afirmatif
Hukum pokok berbunyi: Dalam proposisi afirmatif, luas term predikat selalu
partikular. Jika kita perhatikan sebuah proposisi A seperti "Semua kucing adalah
binatang", luas term "binatang" (predikat) bukan universal, melainkan partikular.
Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Semua kucing" adalah "semua binatang",
melainkan "Semua kucing" adalah "sebagian binatang". Itu berarti luas term
predikatnya adalah partikular, yaitu hanya mewakili sebagian saja dari anggotanya
(tidak berdistribusi).
Selanjutnya, apabila kita perhatikan sebuah proposisi I, seperti "Sebagian
pejabat adalah koruptor", luas term koruptor (predikat) adalah juga partikular. Dalam
proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Sebagian pejabat" adalah "semua koruptor",
melainkan dikatakan bahwa "sebagian pejabat" adalah "sebagian (dari) koruptor".
Kalau begitu term predikatnya meliputi hanya sebagian saja dari anggotanya; jadi, tidak
berdistribusi.
Pengecualian terhadap hukum ini hanya berlaku bagi proposisi A yang memiliki
corak tertentu. Pertama, hukum ini tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan
term predikatnya sama-sama mempunyai luas universal. Corak proposisi semacam ini
hanya terdapat dalam definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan, salah satu hukum definisi
mengatakan "Definens dan definendum harus dapat di bolak-balik". Untuk itu, luas dari
kedua bagian itu harus sama besarnya, yaitu sama-sama universal. Amatilah contoh
berikut ini.
(1) "Manusia adalah hewan yang berakal budi."
(2) "Janda adalah wanita yang pernah bersuami."
(3) "Dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi."
Ketiga pernyataan di atas tidak sekadar berupa proposisi, melainkan proposisi yang
berbentuk definisi, yakni definisi hakiki. Karena itu, luas term predikat dari masingmasingnya bukan partikular, melainkan universal.
Kedua, hukum ini juga tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan
term predikatnya sama-sama mempunyai luas singular. Seperti diketahui, term singular
adalah term yang pengertiannya menunjuk pada satu hal atau satu individu tertentu.
Perhatikanlah bahwa luas term predikat dari masing-masing proposisi berikut ini bukan
partikular, melainkan singular.
(4) "Tommy adalah putera sulung Tuan Jamal."
(5) "Sungai ini adalah sungai terpanjang di daerah ini."
(6) "Asri adalah wanita pertama yang menyaksikan kejadian itu."
2) Luas term predikat dalam proposisi negatif
Hukum pokok berbunyi: "Dalam proposisi negatif, luas term predikat selalu
universal." Dalam suatu proposisi E, seperti "Semua kelinci bukan gajah", term gajah
(predikat) sama sekali terpisah dari term kelinci (subjek); begitu juga sebaliknya. Itu
berarti gajah yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian gajah,
22

melainkan semua (yang disebut) gajah. Dengan demikian, term gajah dalam proposisi
tersebut meliputi semua anggotanya; jadi, berdistribusi.
Demikian pula halnya dengan proposisi O, seperti "Sebagian bintang film bukan
penyanyi". Dalam proposisi tersebut term bintang film yang dimaksud (sebagian saja)
sama sekali terpisah dari term penyanyi; begitu juga sebaliknya. Itu berarti penyanyi
yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian penyanyi, melainkan semua
penyanyi; dan karena itu term penyanyi dalam proposisi itu berlaku untuk semua
anggotanya; jadi, berdistribusi.
Satu-satunya pengecualian terhadap hukum ini terdapat pada proposisi E yang
luas term subjek beserta predikatnya sama-sama singular. Perhatikan ketiga proposisi
berikut ini.
(1) "Semarang bukan kota terbesar di lndonesia. "
(2) "Ingrid bukan puteri bungsu Nyonya Farida."
(3) "Menara ini bukan menara yang paling tinggi di kota ini."
Term predikat dari masing-masing proposisi di atas ini dengan jelas menunjuk pada satu
hal tertentu, dan karena itu luasnya bukan universal, melainkan singular.
2.3.4 Penyimpulan Deduktif dan Silogisme
a) Apa itu penyimpulan deduktif dan silogisme?
Sebagaimana telah dikemukakan, deduksi adalah proses pemikiran yang dengan
berpijak pada pengetahuan yang lebih umum, dan yang membuahkan kesimpulan yang
lebih khusus. Dalam penyimpulan (penalaran) deduktif itu, meskipun kesimpulan yang
diturunkan merupakan sesuatu yang baru, namun pada hakekatnya kesimpulan tersebut
sudah tersirat dalam premis-premisnya.
Ditinjau dari segi cara menurunkan kesimpulan, penyimpulan (penalaran) itu
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak
langsung. Penyimpulan langsung adalah penalaran yang hanya bertolak dari sebuah
premis, dan, atas dasar itu, langsung menurunkan kesimpulan. Sebaliknya, sebuah
penalaran disebut penyimpulan tidak langsung jika proses penalaran itu bergerak dari
proposisi pertama (premis mayor) dan, dengan melalui proposisi kedua (premis minor),
menghasilkan kesimpulan. Penalaran tidak langsung inilah yang nantinya terwujud
dalam suatu bentuk (struktur) logis yang disebut silogisme.
1) Penalaran langsung
Salah satu prosedur yang lazim digunakan dalam mempraktekkan penalaran
langsung adalah melakukan konversi. Yang dimaksud dengan konversi adalah
pengungkapan kembali makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dengan cara
menukarkan tempat term subjek dengan term predikatnya tanpa mengubah kualitas
proposisi tersebut. Itu berarti, bila dalam suatu proposisi terdapat suatu hubungan
tertentu antara term subjek dan term predikatnya, maka atas dasar itu dapat pula
disimpulkan mengenai hubungan antara term predikat dan term subjeknya. Jadi, jika
memang ternyata "SP", maka dapat disimpulkan bahwa "P S".
Agar kesimpulan dari sebuah penalaran langsung melalui proses konversi dapat
mempunyai makna yang sama (ekuivalen) dengan premisnya, maka perlu diperhatikan
hukum pokoknya yang berbunyi: Luas term predikat pada proposisi asal (premis) harus
sama besar dengan luas term tersebut pada proposisi baru (kesimpulan). Akan tetapi,
konversi yang menghasilkan kesimpulan yang benar-benar ekuivalen atau semakna
dan karena itu juga senilaidengan premisnya, hanya bisa dilakukan untuk proposisi E
dan proposisi I. Hal ini disebabkan baik proposisi E maupun proposisi I masing-masing
memiliki term subjek dan term predikat dengan luas yang sama besar.
Pada proposisi E, term subjek dan term predikat sama-sama mempunyai luas
universal. Dengan demikian proposisi E, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi E.
Amatilah contoh berikut ini.
23

Premis
Kesimpulan

: "Semua becak bukan mobil" (proposisi E).


: "Semua mobil bukan becak" (proposisi E).

Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas ekuivalen atau semakna
halnya dengan proposisi I. Term subjek dan term predikat pada proposisi I keduanya
mempunyai luas partikular. Dengan demikian proposisi I, jika dikonversi, tetap menjadi
proposisi I. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis
: "Beberapa mahasiswa adalah penyanyi" (proposisi I).
Kesimpulan : "Beberapa penyanyi adalah mahasiswa" (proposisi I).
Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas pun ekuivalen atau semakna.
Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan proposisi I itu hanya berupa
penukaran tempat term subjek dan term predikat. maka disebut konversi sederhana.
Prosedur konversi sederhana tidak dapat dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini
disebabkan dalam proposisi A (ingat: kualitasnya afirmatif!), luas term predikatnya
adalah partikular. Jika dikonversi secara sederhana begitu saja, maka term predikat,
yang dalam premis mempunyai luas partikular, akan memperoleh luas universal dalam
kesimpulan. Amatilah contoh di bawah ini:
Premis
: "Semua emas adalah logam" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua logam adalah emas" (proposisi A).
Jelaslah bahwa kesimpulan itu salah. Karena itu, untuk mendapat konversi yang
tepat terhadap proposisi premisnya, maka term predikat (logam) pada premis tersebut
harus dibatasi luasnya dalam kesimpulan menjadi partikular. Dengan demikian,
konversi terhadap premis dalam penalaran langsung di atas seharusnya begini.
Kesimpulan: "Sebagian logam adalah emas" (proposisi I).
Jadi, proposisi A hanya dapat dikonversi menjadi proposisi I. Itulah sebabnya
untuk proposisi A hanya berlaku konversi terbatas. Pengecualian hanya bisa terjadi
apabila proposisi A itu memang merupakan sebuah definisi karena kedua unsur dalam
definisi, yakni definiens dan definendum, dituntut harus sama-sama mempunyai luas
universal agar dapat dipertukarkan tempatnya. Kalau begitu, kesimpulan dalam
penalaran langsung berikut ini benar sekaligus ekuivalen dengan premisnya.
Premis
: "(Semua) manusia adalah makhluk yang berakal budi" (proposisi A).
Kesimpulan : "Semua makhluk yang berakal budi adalah manusia" (proposisi A).
Proposisi O tidak dapat dikonversi, karena dalam proposisi O luas term
predikatnya adalah universal. Itu berarti, sejalan dengan hukum pokok di atas, term
predikat itu harus diturunkan ke dalam kesimpulan dengan luas universal pula, dan
kalau begitu kesimpulannya selalu berupa proposisi E. Dengan demikian, kesimpulan
yang ditarik bukan hanya tidak ekuivalen dengan premisnya, tetapi juga selalu salah.
Amatilah contoh berikut ini.
Premis
: "Sebagian bintang film bukan penyanyi" (proposisi O).
Kesimpulan : Semua penyanyi bukan bintang film (proposisi E)
Atau
Premis
: Sebagian manusia bukan dokter (proposisi O)
Kesimpulan : Semua dokter bukan manusia (proposisi E)
Secara keseluruhan, prosedur konversi untuk semua jenis proposisi di atas dapat dilihat
pada Tabel 5: Prosedur Konversi.
Tabel 5: Prosedur Konversi
Jenis
Proposisi

Proposisi asal

Konversi

24

Semua becak bukan mobil.

Semua mobil bukan becak.


(konversi sederhana)

Beberapa mahasiswa adalah penyanyi.

Beberapa penyanyi adalah mahasiswa.


(konversi sederhana)

Semua emas adalah logam.

Sebagian logam adalah emas.


(konversi terbatas)

Sebagian bintang film bukan penyanyi.

(tidak ada konversi)

2) Penalaran tidak langsung


Seperti dikatakan di atas, penalaran tidak langsung diwujudkan dalam satu
bentuk logis yang disebut silogisme. Karena menurut sifat pengakuan dan pengingkaran
term predikat tentang term subjek kita mengenal dua macam proposisi, yaitu proposisi
kategoris dan proposisi hipotetis, maka dalam pembicaraan tentang silogisme, kita juga
mengenal silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.
(a) Silogisme Kategoris Standar
Silogisme kategoris (atau dengan singkat silogisme) adalah suatu bentuk logis
argumen deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan, yang semuanya
merupakan proposisi-proposisi kategoris. Sementara itu, suatu silogisme kategoris
hanya dapat disebut standar jika semua proposisi yang terkandung di dalamnya
(premis-premis dan kesimpulan) merupakan proposisi-proposisi kategoris standar.
Kecuali itu, suatu silogisme kategoris standar selalu berisikan tiga term atau tiga kelas,
yang masing-masingnya hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme.
Kesimpulan dari silogisme kategoris standar yang berupa proposisi kategoris
standar itu mengandung dua dari tiga term silogisme yakni term subjek (S) dan term
predikat (P). Term predikat dari kesimpulan disebut term mayor silogisme, sedangkan
term subjek dari kesimpulan disebut term minor silogisme. Jadi, dalam bentuk
silogisme kategoris standar, seperti
Semua pahlawan adalah orang dewasa.
Beberapa prajurit adalah pahlawan.
Jadi. Beberapa prajurit adalah orang berjasa.
Term prqjurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor. Term
ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat
dalam kedua premis, disebut term menengah (dilambangkan dengan M yang
merupakan singkatan dari (terminus) medius). Dalam contoh di atas, term pahlawan
adalah term menengah.
Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris standar masingmasing terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme. Premis yang
mengandung term mayor disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung
term minor disebut premis minor. Dalam silogisme di atas, premis mayor adalah
Semua pahlawan adalah orang berjasa, sedangkan premis minor adalah Beberapa
prqjurit adalah pahlawan.
Dalam silogisme standar, premis mayor selalu ditempatkan sebagai proposisi
pertama pada baris pertama, sedangkan premis minor selalu ditempatkan sebagai
proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai
pangkal tolak seluruh penalaran. Kesimpulan penalaran diturunkan dengan
memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor tersebut atau, dalam
contoh di atas, antara term menengah (M) dengan term predikat (P) dalam premis
mayor, dan antara term subjek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu
25

berarti, kalau memang ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan S sama dengan M,
maka S mesti sama juga dcngan P:
M=P
S=M
... S = P
Penalaran yang menggunakan term menengah (M) untuk menarik kesimpulan
dalam sistem Aristoteles, disebut penalaran tidak langsung.
(b) Sifat Formal Argumen Silogistis
Dari segi tinjauan logika, bentuk argumen merupakan aspek yang paling
penting. Masalah kesahihan atau ketidaksahihan silogisme kategoris tergantung sematamata pada bentuk (forma)-nya dan sama sekali tidak tergantung pada isi (materi)-nya.
Dan, seperti sudah disinggung, pembicaraan tentang isi suatu silogisme kategoris adalah
pembicaraan tentang benar tidaknya proposisi-proposisi (premis-premis dan
kesimpulannya). Jadi istilah sahih dan tidak sahih hanya dapat dikenakan pada (bentuk)
argumen, sedangkan istilah-istilah benar dan tidak benar hanya dapat dikenakan pada
proposisi-proposisi.
Silogisme dengan bentuk, seperti
Semua M adalah P
Semua M adalah P
Jadi, semua S adalah P
adalah suatu argumen yang sahih tanpa memperhatikan isinya. Itu berarti, term-term apa
pun yang digunakan untuk menggantikan lambang-lambang "S", "P", dan "M" argumen
yang dilahirkan akan tetap sahih. Jika kita menggantikan lambang-lambang tersebut
dengan term-term mahasiswa-mahasiswa UI, hewan berakal budi, dan manusia, maka
kita akan memperoleh argumen yang sahih:
Semua manusia adalah hewan berakal budi
Semua mahasiswa UI adalah manusia
Jadi, semua mahasiswa UI adalah hewan berakal budi
Apabila, dalam bentuk yang sama, kita menggantikan lambang-lambang tersebut
dengan term-term lele, binatang yang hidup dalam air, dan ikan, maka
Semua ikan adalah binatang yang hidup dalam air.
Semua lele adalah ikan.
Jadi, semua lele adalah binatang yang hidup dalam air.
adalah juga argumen yang sahih.
Suatu silogisme kategoris yang sahih adalah argumen yang sahih secara formal,
sahih berdasarkan bentuknya saja. Ini menunjukkan bahwa silogisme lain, asal
menggunakan bentuk yang sama, juga tetap disebut sahih. Sebaliknya, jika suatu
silogisme tertentu ternyata tidak sahih, maka silogisme lain mana pun, sejauh
menggunakan bentuk yang sama, tetap juga tidak sahih. Perhatikanlah kedua contoh
berikut ini:

(1) Semua penyanyi adalah orang yang bersuara bagus.


Beberapa mahasiswa UI adalah orang yang bersuara bagus
Jadi, beberapa mahasiswa UI adalah penyanyi.
(2) Semua kelinci adalah binatang berkaki empat.
26

Semua kuda adalah binatang berkaki empat.


Jadi, semua kuda adalah kelinci.
Pada contoh (1) kita melihat bahwa premis-premis dan kesimpulannya, dari segi
isi (menurut kenyataan), adalah benar. Namun, dari segi bentuk, argumen itu tidak
sahih. Dalam contoh (2) kita melihat bahwa, dari segi isi, premis-premisnya benar
sedangkan kesimpulannya salah. Hal ini justru disebabkan jalan pikirannya tidak lurus;
dengan kata lain, argumen tersebut, menurut bentuknya, tidak sahih. Persoalan
mengenai bentuk argumen ini akan dengan lebih mudah dipahami bila kita mendalami
sungguh-sungguh semua seluk-beluk yang berkaitan dengan hukum-hukum silogisme.
b) Hukum Silogisme Kategoris
Untuk membangun suatu bentuk argumen silogistik yang sungguh-sungguh
logis, kita harus mematuhi kaidah-kaidah penyimpulan yang semuanya berjumlah
delapan hukum. Dari kedelapan hukum ini, empat di antaranya tentang term, dan empat
lainnya tentang proposisi (Hayon, 2005: 140-149)
c) Silogisme Hipotetis
Silogisme hipotetis adalah model argumentasi yang premis mayornya berupa
sebuah proposisi kondisional. Premis mayor ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama
mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan Jika; lazimnya disebut antesedens,
dan bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan
Maka; lazimnya disebut konsekuens. Dalam logika, premis mayor dari argumentasi
ini biasanya tersusun dalam empat pola, yakni:
(a) Jika A, maka B.
(b) Jika A, maka bukan B.
(c) Jika bukan A, maka B.
(d) Jika bukan A, maka bukan B
Argumentasi kondisional dengan premis mayor yang tersusun dalam empat pola
itu dikenal dalam dua jenis, yakni argumentasi kondisional dalam arti luas dan
argumentasi kondisional dalam arti sempit.
(1) Silogisme kondisional dalam arti luas
Jenis argumentasi ini secara keseluruhan memiliki empat bentuk, namun hanya
ada dua bentuk yang sahih, sedangkan dua bentuk lainnya tidak sahih.
(a) Bentuk Sahih
Agar bentuk argumentasi kondisional dalam arti luas ini dapat sahih, kita harus
berpegang pada dua hukum Pertama, proses penyimpulan harus bergerak dari pembenaran terhadap syarat (sebab) dalam antesedens (premis minor) kepada
pembenaran terhadap apa yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens
(kesimpulan). Proses penyimpulan dengan tata aturan seperti ini disebut modus
ponens. Kita ambil sebuah contoh dengan mengikuti pola pertama sebagai berikut:
Jika Jones Ginting terserang flu burung,
maka ia mengalami sesak nafas.
Ternyata Jones Ginting terserang flu burung,
Jadi, ia mengalami sesak nafas.
Jalan pikiran ini logis.
Hukum kedua, proses penyimpulan harus bergerak dari pengingkaran terhadap apa
yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (premis minor) kepada
pengingkaran terhadap syarat (sebab) yang termuat dalam antesedens (kesimpulan).
Tata aturan penyimpulan seperti ini disebut modus tollens. Dengan mengambil
contoh dari pola yang sama, bentuk argumentasi itu menjadi demikian:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
27

Ternyata Jones Ginting tidak mengalami sesak napas. Jadi, ia tidak terserang
flu burung.
Jalan pikiran ini pun logis
(b) Bentuk yang tidak sahih
Ada dua bentuk tidak sahih yang diperoleh dari argumentasi konsidional ini. Bentuk
yang satu mirip dengan modus ponens di atas. Amatilah contoh di bawah ini:
Jika Jones Ginting terserang flu burung,
maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas.
Jadi, ia terserang flu burung.
Jalan pikiran seperti ini tidak logis karena proses penyimpulan tersebut masih
membuka peluang bagi adanya kemungkinan lain. Dari adanya kenyataan bahwa
Jones Ginting mengalami sesak napas (akibat), tidak dapat secara pasti
disimpulkan bahwa Jones Ginting terserang flu burung. Mungkin karena ada
penyebab lain.
Bentuk lain yang juga tidak sahih, mirip dengan modus tollens di atas. Perhatikan
contoh berikut:
Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung. Jadi, ia tidak mengalami
sesak napas.
Jalan pikiran ini pun tidak logis karena masih terdapat kemungkinan lain. Dari
adanya kenyataan bahwa Jones Ginting tidak terserang flu burung (sebab), tidak
dapat secara pasti disimpulkan bahwa Jones Ginting tidak mengalami sesak napas
(akibat). Bisa saja Jones Ginting memang mengalami sesak napas tetapi
penyebabnya lain, bukan karena ia terserang flu burung.
(2) Silogisme Kondisional dalam arti sempit
Berbeda dengan argumentasi kondisional dalam arti luas, argumentasi
kondisional dalam arti sempit memiliki empat bentuk yang kesemuanya sahih. Hal ini
disebabkan argumentasi kondisional dalam arti sempit ini tidak membuka peluang bagi
adanya kemungkinan lain; jadi, eksklusif sifatnya. Tetapi agar keempat bentuk itu dapat
sahih semuanya, maka hanya ada satu aturan yang harus dipatuhi, yakni syarat (sebab)
yang terkandung dalam antesedens harus merupakan satu-satunya syarat (sebab). Untuk
itu frase Jika, maka. harus diubah menjadi Jika dan hanya jika., maka.
Dengan memakai rumusan ini, kita dapat menghasilkan empat bentuk argumentasi
kondisional yang sahih. Dengan menggunakan contoh yang sama, keempat bentuk sahih
tersebut menjadi demikian:
(a) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak
napas.
Ternyata, Jones Ginting terserang flu burung.
Jadi, ia mengalami sesak nafas.
(b)
Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting tidak mengalami sesak napas.
Jadi, ia tidak terserang flu burung.
(c)
Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas.
Jadi, ia terserang flu burung.
(d)
Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia
mengalami sesak napas.
28

Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung.


Jadi, ia tidak mengalami sesak napas.
2.4 KESESATAN BERPIKIR
Secara sederhana kesesatan berpikir (atau disingkat kesesatan) dapat dibedakan
dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal
adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau
tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap hukum-hukum silogisme.
Sebaliknya, kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi)
penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) dan juga
karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan
kesimpulannya (kesesatan relevansi).
2.4.1 Kesesatan Bahasa
Salah satu model kesesatan bahasa yang sering dilakukan orang adalah kesesatan
amfiboli. Kesesatan ini terjadi karena kekeliruan penempatan suatu kata atau term dalam
sebuah ungkapan (kalimat) sehingga makna ungkapan (kalimat) itu menjadi bercabang.
Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padahal hanya salah
satu saja yang benar, dan yang lain pasti salah. Amatilah contoh berikut:
Putera pengusaha yang gemar bermain golf itu mengalami kecelakaan.
Kalimat itu mengandung ambiguitas atau percabangan arti. Hal ini bersumber
pada letak term yang gemar bermain golf. Yang dipersoalkan dalam konteks kalimat
itu ialah term tersebut menerangkan yang mana: Putera dari pengusaha atau pengusaha
itu sendiri? Kesesatan yang sama terlihat dalam kedua contoh berikut ini:
(1) Kami mengharapkan kehadiran Saudara pada acara pelantikan Dekan Fakultas
Psikologi yang baru.
(2) Selamat Hari Ulang Tahun Golkar ke-41
2.4.2 Kesesatan Relevansi
Kesesatan relevansi timbul apabila seseorang menarik kesimpulan yang tidak
relevan dengan premisnya. Artinya secara logis kesimpulan itu tidak merupakan
implikasi dari premisnya. Penalaran yang mengandung kesesatan relevansi sama sekali
tidak menampakkan sama sekali hubungan logis antara premis dan kesimpulannya. Di
bawah ini dikemukakan beberapa jenis kesesatan relevansi yang umum dilakukan.
a) Argumentum Ad Hominem
Ad Hominem secara harafiah berarti mengacu pada orangnya. Kesesatan
argumentum ad hominem terjadi bila seseorang berusaha untuk menerima atau menolak
suatu gagasan (ide) bukan berdasarkan faktor penalaran yang terkandung dalam gagasan
itu, melainkan berdasarkan alasan yang berhubungan dengan pribadi dari orang yang
melontarkan gagasan. Singkatnya, yang disoroti bukan penalarannya, melainkan
orangnya. Bila orangnya disenangi, pandangannya diterima, tetapi bila orangnya tidak
disenangi, pandangannya ditolak.
Contoh :
Dalam suatu rapat umum yang dipimpin oleh kepala desa, semua warga desa yang
hadir dimintai pandangannya mengenai cara-cara memelihara lingkungan desa
agar dapat terhindar dari bahaya demam berdarah. Marzuki, salah seorang warga
desa, juga ikut hadir dan memberikan pendapatnya. Tetapi pendapatnya langsung
ditolak oleh sebagian warga desa yang hadir. Alasannya ialah karena Marzuki itu
di desanya dikenal sebagai orang yang suka mabuk-mabukan.
b) Argumentum Ad Populum
Argumentum ad populum (dalam bahasa Latin, populus berarti rakyat atau
massa) adalah penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak. Di sini pembuktian logis
29

tidak diperlukan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar,


membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar menerima suatu
pernyataan tertentu. Argumentum ad populum kerap dijumpai dalam kampanye politik,
pidato-pidato, dan propaganda-propaganda seperti yang terdapat dalam dunia iklan.
Simaklah contoh berikut ini yang diangkat dari pidato dalam sebuah kampanye
menjelang Pemilu.
... Sejak awal tekad Golkar hanya satu, yakni memperjuangkan dan membela
kepentingan rakyat. Golkar memahami aspirasi rakyat, Golkar merasakan
penderitaan rakyat, Golkar tidak pernah meninggalkan rakyat, Golkar selalu
menyatu dengan rakyat, Golkar merupakan hati nurani rakyat. Karena itu siapa
pun yang menentang program Golkar, dia menentang perjuangan rakyat dan
yang menentang perjuangan rakyat, dia adalah musuh rakyat ... .
c) Argumentum Ad Verecundiam
Jenis kesesatan relevansi ini disebut juga argumentum auctoritatis (dalam
bahasa Latin, auctoritas berarti kewibawaan) yang memang sangat mirip dengan
argumentum ad hominem. Dalam argumentum ad verecundiam atau argumentum
auctoritatis ini, nilai suatu penalaran terutama ditentukan oleh keahlian atau
kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi, suatu gagasan diterima sebagai
gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seseorang yang
sudah terkenal karena keahliannya.
Contoh:
Apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Solichin itu pasti benar karena beliau adalah
seorang psikolog ulung dan namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia
pendidikan.
d) Ignoratio Elenchi
Kesesatan ignoratio elenchi terjadi bila seseorang menarik kesimpulan yang
sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Dengan demikian ketiga jenis
kesesatan yang sudah disebutkan terdahulu (argumentum ad hominem, argumentum ad
populum, dan argumentum ad verecundiam) dapat dikategorikan sebagai bagian dari
kesesatan ignoratio elenchi ini.
Ignoratio elenchi memperlihatkan loncatan sembarangan dari premis ke
kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan premis tadi. Karena itu hubungan
antara premis dan kesimpulan hanya suatu hubungan yang semu, bukan hubungan yang
sesungguhnya. Dalam kesesatan ini biasanya prasangka, kepercayaan mistis, emosi, dan
perasaan subjektif merupakan faktor-faktor yang memainkan peranan utama. Selidikilah
kedua contoh di bawah ini.
(1) Fitri itu puteri bungsu; pasti dia keras kepala.
(2) Saat melihat seekor kupu-kupu hinggap di jendela rumah, sang ibu rumah
tangga berkata kepada suaminya, Pak, hari ini kita akan kedatangan tamu.
e) Kesesatan karena Generalisasi Tergesa-gesa
Jenis kesesatan ini sebetulnya merupakan akibat dari induksi yang keliru karena
bertumpu pada hal-hal khusus yang tidak mencukupi. Orang yang melakukan kesesatan
ini biasanya tergopoh-gopoh menarik kesimpulan yang berlaku umum (general),
sementara percontoh (sample) yang dijadikan titik tolak kurang, atau bahkan tidak
memadai. Perhatikan ketiga contoh di bawah ini.
(1) Remaja-remaja masa kini sulit diajak berdialog.
(2) Supir-supir kendaraan umum di Jakarta lebih mengutamakan uang setoran
daripada keselamatan penumpang.
(3) Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik.
f) Kesesatan karena Komposisi
Kesesatan karena komposisi dilakukan bila seseorang berpijak pada anggapan
30

bahwa apa yang benar (berlaku) bagi satu atau beberapa individu dari suatu kelompok
tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Dengan kata
lain, kesesatan karena komposisi terjadi karena suatu predikat yang seharusnya hanya
dikenakan kepada satu atau beberapa individu dalam suatu kesatuan, oleh seseorang
justru dikenakan kepada kesatuan tersebut secara keseluruhan.
Contoh:
(1) Dari pernyataan Polo itu seorang ayah pengedar shabu-shabu, seseorang
menarik kesimpulan Keluarga Polo itu juga pasti pengedar shabu-shabu.
(2) Beberapa pemain depan kesebelasan Belanda, dalam pertandingan melawan
kesebelasan Brasil baru-baru ini, bermain sangat cermerlang. Minggu depan
kesebelasan Belanda itu akan berhadapan dengan kesebelasan Argentina.
Pasti tim Belanda itu akan tetap bermain bagus.
Setiap pernyataan yang bersifat ilmiah haruslah memenuhi tuntutan logis, kritis,
dan rasional. Dengan berbekalkan kemampuan berpikir logis yang kuat, seseorang dapat
memasuki bidang ilmu pengetahuan yang akan dibahas dalam bab berikut di bawah
judul Filsafat Ilmu.

FILSAFAT ILMU
31

Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan, dan pengetahuan serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang
keduanya. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja ilmu empiris yang sifatnya
induktif, cara kerja ilmu deduktif, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengenalan tentang
berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam
menentukan dasar seseorang dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia
ilmiah.
3.1 PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
3.1.1 Pengertian Pengetahuan
Bagi manusia hal utama yang sangat penting adalah keingintahuan tentang
sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, atau nyata
seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, dan buku. Baginya apa yang nampak
dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan
itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat
membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang
mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang
kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi (karena sentuhan, penglihatan,
pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya)
maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana
sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejalagejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh
manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang
menyengat dari got yang sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul
dihadapan kita. Kita harus menangkap gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, atau
observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih
menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan
empiris atau pengetahuan aposteriori. Setelah mengenal pengetahuan yang bersifat
empiris, maka pengetahuan empiris itu harus dideskripsikan, sehingga kita mengenal
pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat
melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang nampak olehnya, dan
penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang
diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu yang terjadi berulang kali juga
dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Ani merasa bahwa ia
akan terlambat kuliah di kampus (kuliah dimulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari
rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam.
Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari rumah pukul 7.30
pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat
pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber
pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau
empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang dikenal
sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi)
lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang
tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi,
bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pernyataan: Jika benda
A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A pasti tidak dapat hadir di
sini. Dalam matematika, perhitungan 2 + 2 = 4 merupakan penjumlahan itu sebagai
sesuatu yang pasti dan sangat logis.
3.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan
32

Sebuah pernyataan yang muncul di benak orang ialah, sebenarnya ilmu


pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita
mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman
manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus.
Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu
fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa
kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah
yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab
peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung oleh
kepandaian dan inteligensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi, seseorang
dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat
diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu
pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti mobil, pesawat terbang,
kereta api, komputer, dan telpon selular) dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan
ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang
lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah
suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu
laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan
kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis
atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek
penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi
yang didukung oleh alat bantu tertentu seperti mikroskop, tape recorder, atau kuesioner
sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta
penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi
dan faktual disebut ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris bergantung
pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar dan tercium
oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan,
digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat dan bentuk dari
gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut ilmu pengetahuan
deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran, antropologi,
arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, dan ilmu fisika, sedang contoh ilmu
deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu
keperawatan, sosiologi, dan antropologi.
Bagi seorang ilmuwan, lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses
penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia
harus mengenal langkah-langkah dan istilah teknis dalam kegiatan penelitiannya. Ia
harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah atau tahapan dalam setiap
penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses
penalaran berikut.
a) Observasi: pengamatan terhadap objek penelitian yang merupakan fenomena yang
sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, dan
penyakit.
b) Fakta: suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang dilihat atau sesuatu
yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
c) Data: hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah
ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan
gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya,
misalnya, jumlah rumah sakit swasta di DKI Jakarta ada 30 buah, dan penderita
33

diabetes mellitus di Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10


orang.
d) Konsep: pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan
pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan
oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Seseorang atau
peneliti yang memiliki konsep tertentu, atau konsep tentang sesuatu, maka ia harus
menuliskan konsep itu agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori: pengelompokan gejala atau data
penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar
kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan atau kategori haruslah
memiliki ciri, dan sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri dan sifat dari gejala
itu tidak sama, maka klasifikasi gejala atau data penelitian itu tidak menunjukkan
kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi: perumusan sesuatu yang disebut (yang disebut definiendum) dengan apa
yang dinamakan definiens. Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk
merumuskan sesuatu/ hal agar orang lain lebih mudah memahaminya. Ada beberapa
jenis definisi, yang masing-masing dijelaskan berikut ini.
(1) Definisi etimologis menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata
biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang
mempelajari tentang mahluk hidup
(2) Definisi stipulatif merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan
digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengertian
yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan
ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3) Definisi deskriptif menjelaskan sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat.
(4) Definisi operasional merumuskan pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan
peran gejala, alat, atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan
dalam ilmu teknik, dan ilmu pengetahuan kealaman.
(5) Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut
dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai
dalam kegiatan periklanan yang dimuat di media cetak atau ditayangkan di
media elektronik maupun kegiatan kampanye politik, dan sebagainya.
Harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan
bahasa. Dalam ilmu pengetahuan bahasa memegang peran penting karena dapat
mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan, baik secara lisan
maupun tertulis. Bahasa ilmiah (bahasa ilmu), yaitu bahasa yang digunakan seorang
ilmuwan dalam penelitiannya, sangatlah penting karena segala upaya pembenaran
metodologisnya berada di dalamnya, seperti penjelasan dalam perumusan hipotesis,
konsep, definisi, dan teori.
Proses penalaran ialah hipotesis dan teori.
g) Hipotesa: suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus
dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesis, perumusan masalah sangatlah penting.
Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalahan penelitian dengan cermat
dan teliti. Atas dasar hipotesis itu, akan membuat analisis lebih lanjut.
h) Teori: hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan
hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Teori yang telah teruji
kebenarannya berasal dari hipotesis yang telah dirumuskan.
3.1.3 Cara Kerja Ilmu Empiris
a) Pengertian Ilmu Empiris
Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak dari pengalaman indrawi.
Pengalaman indrawi ialah sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan
pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian pengalaman
34

indrawi berkaitan dengan objek penelitian yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam
pengamatan atau observasi terhadap objek, seorang peneliti dapat menggunakan sarana
untuk menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti
mikroskop, teleskop, thermometer, neraca dan alat-alat pengukur lainnya. Tujuan
pengamatan ialah untuk memperoleh atau menangkap semua gejala terhadap semua
objek yang diamati, lalu menjelaskannya dengan benar. Hasil pengamatan itu berupa
data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi
analisis sebuah penelitian.
b) Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek
materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat diamati oleh
manusia, seperti alam semesta dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian
seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma
atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa, misalnya, minat yang sangat
tinggi terhadap kesehatan manusia, pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuhtumbuhan atau hewan, dan adat-istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil
objek forma yang beraneka ragam itulah muncul ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya
empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi,
dan ilmu sosiologi.
c) Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang peneliti mendapatkan data saat
ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan
menggunakan pendekatan atau metode induktif yang mencoba menarik kesimpulan dari
penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada
penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang peneliti akan mengamati sesuatu atau
beberapa hal yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Toby melihat
buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia memperhatikan bahwa kedua
puluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Toby
menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20) yang berada di dalam keranjang
semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu
empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan
berpijak pada ilmu empiris.
3.1.4 Cara Kerja Ilmu-ilmu Deduktif
a) Pengertian Ilmu Deduktif
Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan kebenaran ilmiahnya
melalui penjabaran-penjabaran yang disebut deduksi. Berbeda dengan ilmu empiris
yang mendasarkan pengalaman indrawi, penjabaran-penjabaran itu melalui penalaran
yang berdasarkan hukum-hukum serta norma-norma yang bersifat logis. Hukum-hukum
serta norma-norma logis memunculkan suatu penalaran yang mencoba membuktikan
sesuatu atas dasar perhitungan yang sangat pasti. Dengan demikian, dalam ilmu
deduktif terdapat suatu penalaran yang diperoleh dari kesimpulan yang bersifat umum
untuk menuju ke penalaran yang bersifat khusus.
Ilmu-ilmu deduktif dikenal sebagai ilmu matematik. Penalaran yang deduktif
diperoleh dari penjabaran dalil-dalil, atau rumus-rumus yang tidak dibuktikan
kebenarannya melalui penyelidikan empiris, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil
yang telah ada sebelumnya. Suatu dalil atau rumus matematika dibuktikan
kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang telah ada atau dalil lain, berdasarkan suatu
perhitungan/hitung-menghitung, ukur-mengukur, timbang-menimbang, bukan atas dasar
observasi. Dalam membuktikan kebenaran itulah kita mengenal adanya, pada awalnya
aritmatika, matematika, goniometri, ilmu ukur dan sebagainya. Asas matematika hanya
mengenal logika dua nilai (two value logic) yaitu benar dan tidak benar (salah).
Contoh yang sederhana adalah dua ditambah dua sama dengan empat. Itu berarti
35

penjumlahan tersebut memiliki nilai benar. Apabila kita mengatakan tiga kali empat
sama dengan lima belas, maka hasil itu dikatakan tidak benar (salah).
b) Objek Ilmu Deduktif
Objek ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang mungkin jumlahnya satu
atau lebih dari satu, yang dikenal dengan himpunan atau semacam deret. Objek itu
berupa lambang atau simbol yang digunakan sebagai relasi antar objek. Kita mengenal
angka Romawi (I, II, III, dan seterusnya) atau angka-angka Arab (1, 2, 3, dan
seterusnya), yang semuanya merupakan simbol atau lambang. Selain itu, kita juga
mengenal simbol dalam bentuk lain seperti +, -, >, <, , dan %. Pemakaian simbolsimbol dalam ilmu deduktif berguna agar validitas atau keabsahan dari pembuktian
penjabaran-penjabaran dalil atau axioma atau rumus terbukti tidak salah dan, oleh
karena itu, dianggap benar.
3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu Hayat
dan Ilmu-Ilmu tentang Manusia
a) Cara Kerja Ilmu Alam
1) Pengertian Ilmu Alam
Ilmu alam adalah ilmu yang membahas gejala-gejala alam (gejala alam yang
tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris; artinya, gejala alam itu dianggap sebagai
fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam
adalah geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, dan geodesi.
2) Sifat Ilmu Alam
Ada praanggapan bahwa ada hukum alam yang dapat dikenakan pada seluruh
gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada
gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri
kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan
karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu, hukum alam memiliki
sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam, dan sifat
keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu alam. Pertama, metode observasi
atau pengamatan melalui pancaindra manusia yang didukung oleh alat tertentu. Kedua,
metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan gejala-gejala
alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam itu. Ketiga, metode erklaeren atau
metode eksplanasi yang menerangkan berbagai hubungan gejala-gejala alam itu, yang
satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas yang mencoba menjelaskan
gejala alam atas dasar hubungan sebab-akibat.
b) Cara Kerja Ilmu Hayat
1) Pengertian Ilmu Hayat
Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat
hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala
alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh ilmu
hayat adalah ilmu tumbuh-tumbuhan dan ilmu hewan (zoologi).
2) Sifat Ilmu Hayat
Sesuatu yang bersifat hidup memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati,
berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu
sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai
suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling
melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu hayat. Pertama, metode kausal
yang berguna untuk melihat hubungan sebab-akibat yang berasal dari hubungan atau
interaksi antarorgan. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam
36

informasi di antara masing-masing organ yang memungkinkan organ itu berproses


swakendali, yang disebut proses sibernetik. Proses sibernetik merupakan proses yang
dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara
teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal
balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil)
berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika
daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur.
Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu,
dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan, dan proses itu
disebut proses sibernetik (proses swakendali). Sementara itu, karena adanya asupan
informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat
berlangsung secara teratur.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan
tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya hidup dari organisme. Metode
mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir)
agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji secara historis bagaimana
terjadinya sebuah organ, sel atau jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing
organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan
dengan teratur dan baik.
c) Cara Kerja Ilmu-ilmu Kemanusian
1) Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan
seperti masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terdapat dalam masyarakat.
Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek
itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus
yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah
antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, sosioplogi, dan ilmu ekonomi.
2) Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol dari ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya
berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action).
Dengan tindakan bermakna manusia, atau seseorang, menghasilkan karya-karya tertentu
misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris,
karya seni seperti tari Pendet, dan lukisan Monalisa yang termashur karya
Michelangelo. Untuk itu, apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih
mendalam haruslah digunakan metode yang tepat agar objektivitas dan kebenaran
ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode
pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami,
meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia menciptakan suatu karya seni ataupun
terlibat dalam peristiwa sejarah seperti jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia
pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara
mendalam (depth intervieuw) yang bertujuan memahami dengan lebih baik dan
mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah
atau saat menciptakan karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu
metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan
menggambarkan seluruh sifat dan karakteristik objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif,
yaitu metode yang bertitik tolak dari nilai-nilai (values) kemanusiaan (nilai moral, nilai
budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data
37

penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmuilmu kemanusiaan sejak awal abad XX ini telah menggabungkan metode statistik ke
dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian psikologi, ilmu sosial, dan
ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data
penelitiannya.
3.2 REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN
Apa yang hendak kita ketahui tentang revolusi ilmu pengetahuan? Apakah
revolusi semacam itu memiliki kegunaan bagi kita? Sebenarnya revolusi macam apakah
itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan penjelasan yang cermat.
Revolusi ilmu pengetahuan muncul di Eropa pada abad XVII. Pada masa itu
Eropa dilanda krisis kehidupan yang cukup berat. Banyaknya pengangguran, kehidupan
perekonomian yang sangat tidak menguntungkan rakyat jelata, dan kehidupan
kenegaraan feodalisme yang sangat materialistis kapitalistis telah menumbuhkan
berbagai gejolak. Berbagai revolusi muncul dalam sejarah perjalanan bangsa Eropa,
seperti revolusi industri, revolusi pertanian, revolusi Prancis, serta revolusi ilmu
pengetahuan.
Revolusi ilmu pengetahuan terjadi pada abad XVII. Revolusi yang menandai
bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa itu adalah sebuah revolusi tentang
perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi
dirinya. Perubahan persepsi manusia itu menyangkut bagaimana cara berada sebuah
objek yang menjadi pokok perhatian dalam kegiatan ilmiahnya. Sebuah objek (misalnya
benda) dalam penelitian haruslah tampil di depan seorang peneliti secara nyata, konkret.
Benda itu tampil secara konkret karena ada persentuhan indrawi si peneliti dengan
benda itu. Selain itu, benda tersebut dapat diukur dan terukur secara matematis sehingga
orang dapat mengamati berat, gerak, atau perubahan yang terjadi pada benda itu.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat
intelektual Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematismekanistis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa
ketika pada Abad atau Masa Pertengahan (Middle Ages) diberlakukan hukum agama
bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Dunia yang dialami manusia
beserta pengetahuan yang dimilikinya merupakan keberadaan secara apa adanya
(natura), alamiah yang memang itu milik manusia. Keadaan itu berlangsung cukup
lama, hingga muncul Abad Renaissance yang mengubah segalanya. Manusia tidak lagi
menjadi citra Tuhan, tetapi manusia memiliki rasio atau kesadaran manusia (akal budi)
serta kreativitas keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaannya.
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang
terpusat pada "kekuataan" akal budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun
kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan
rasionalitas dan empiristis. Berbagai peninggalan bangunan yang megah seperti karya
seni (seni lukis, seni pahat, dan arsitektur) di daratan Eropa menandai bangkitnya
bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh
pembaharu Humanis Renaissance, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, N.
Copernicus, J. Keppler, dan Galileo Galilei sangatlah termashur dengan karya-karya
seni dan penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam dan sosial budaya
dipelajari secara cermat untuk kemudian dimanfaatkan. Dari upaya yang cukup lama
dan tak kenal lelah, maka berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan kealaman seperti
fisika, ilmu kimia, dan kedokteran hingga ke Abad Aufklaerung (Abad Pencerahan),
abad XVIII. Perintis ilmu fisika adalah Sir Isaac Newton yang mendasarkan fisika
klasik dengan bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (Ilmu
pengetahuan alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis). Sejak itulah ilmu
38

pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam


kajiannya.
Cara berpikir matematis-mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton menjadi semacam "gaya" para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pengamatan terhadap alam di sekitar para ilmuwan dilihat
sebagai sesuatu yang dapat diukur, dan benda dianggap memiliki kriteria tertentu (berat,
luas, isi, dan sebagainya.). Dengan pengamatan semacam itulah maka berbagai
pendekatan terhadap cara kerja ilmu pengetahuan dikembangkan. Pendekatan yang
bersifat kausalitas (hukum sebab-akibat) sangat mewarnai cara kerja ilmu pengetahuan.
Benda, atau sesuatu, memiliki sifat seperti alam semesta dan terstruktur sehingga
keteraturan hukum alam atau sifat mekanistis itu menjadi fokus dalam cara kerja ilmu.
Cara kerja ilmiah didukung oleh percobaan atau eksperimen yang selalu berusaha
menyempurnakan hasil percobaannya itu melalui usaha uji coba (trial and error). Di
dalam laboratorium, percobaan itu juga didukung oleh sebuah model, suatu tiruan dari
objek yang sesungguhnya, yang kemudian dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan
model itu para peneliti dapat menganalisis dan mengembangkan penelitiannya dengan
lebih sempurna.
Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu pengetahuan, muncullah nilainilai dasar pada cara berpikir manusia. Pertama, nilai alam. Alam semesta memiliki
tata susunan yang berada pada hukum alam, dan kosmos adalah sesuatu yang dianggap
memiliki struktur tertentu. Kedua, nilai budaya. Kemajuan manusia ditandai dengan
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memajukan
kebudayaan manusia. Dengan kemajuan manusia, terutama dalam cara berpikir yang
antroposentris, manusia mampu mengubah kebudayaannya dan teknologinya menjadi
sesuatu yang sangat berarti dan bermakna bagi kehidupannya melalui proses belajar.
Ketiga, nilai ekonomi. Nilai ini tercipta karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan
memiliki semangat kerja yang tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang
tepat guna bagi kebutuhan masyarakat, sehingga muncullah mesin-mesin dalam
berbagai sektor industri. Pada awalnya industri berasal dari kerja rumahan (industri
rumahan) baru kemudian berkembang menjadi industri pabrikasi. Barang-barang yang
dihasilkan oleh mesin-mesin (industri pabrikasi) itu mampu menembus pasaran dengan
daya jual yang tinggi. Dengan demikian terciptalah nilai ekonomis yang menuntut
kemandirian, tanggung jawab, dan kerja sama di antara para pelaku ekonomi sehingga
nilai ekonomis dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh sekelompok orang saja melainkan
juga oleh seluruh masyarakat.
3.3 PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
3.3.1 Kedudukan Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dari tradisi Filsafat Barat.
Diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan kealaman dari universitas Wina,
pada abad XIX, Filsafat Ilmu menjadi mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli ilmu
pengetahuan kealaman yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (ilmu kimia, fisika,
matematika) itu, antara lain Moritz Schlick, Hans Hahn, dan Hans Reichenbach, telah
memberikan sumbangan yang besar kepada filsafat ilmu pada awal perkembangannya.
Dipelopori oleh Moritz Schlick, mereka tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang
dikenal sebagai "Lingkaran Wina" (Viena Circle). Lingkaran Wina menginginkan bahwa
di dalam ilmu pengetahuan terdapat unsur pemersatu. Unsur pemersatu itu, yang mereka
sebut ilmu terpadu (unified science) haruslah bertitik tolak dari bahasa ilmiah dan cara
kerja ilmiah yang pasti dan logis.
Filsafat ilmu telah sangat berkembang dan menjadi kajian yang lebih modern.
Beberapa bidang keilmuan sangat membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan
dengan pokok perhatian atau fokus yang lebih spesifik. Contohnya adalah filsafat ilmu
39

kedokteran dan filsafat ilmu sosial. Dalam kajian tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan
pada bagaimana ciri dan cara kerja kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia
dan kesehatan atau kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan
masyarakat. Secara historis, cikal-bakal filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa
Yunani yang diawali oleh filsuf Aristoteles (abad VI seb.M). Dalam tradisi filsafat Barat
telah dikenal pula adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema-tema
tertentu, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tema ontologi berbicara tentang
problem "ada", yaitu tema yang membahas masalah keberadaan sesuatu, misalnya
keberadaan makhluk hidup dan alam semesta, yang semuanya itu merupakan
keberadaan yang dapat ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain tema ontologi
terdapat keberadaan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau
konkret, yaitu metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang konkret)
adalah sebagai sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, idea,
ataupun konsep. Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam prinsip yang muncul
atas dasar penalaran manusia. Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara
empiris, tetapi orang akan mengenal prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui
sebuah tulisan. Sebagai contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh
masyarakat ilmuwan apabila ia tidak membuktikan gagasannya dan menuliskan
gagasannya itu setelah melalui berbagai penelitian yang tidak kenal lelah secara uji coba
(trial error).
Tema kedua, epistemologi, ialah tema yang mengkaji pengetahuan (episteme
berarti pengetahuan). Dalam epistemologi dibahas berbagai hal seperti batas
pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria kebenaran. Batas pengetahuan adalah
pengalaman manusia dalam mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh
karena itulah ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat
berbeda, karena masing-masing ilmu itu memiliki ruang lingkup sendiri (objek forma
yang berbeda). llmu kedokteran membahas masalah kesehatan manusia yang berkaitan
dengan penyakit tertentu sedangkan psikologi membahas perilaku manusia dari aspek
kejiwaannya. Sumber pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya
manusia mampu berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan
karya-karya seni atau teknologi, dan dengan akal budinya pula manusia dapat belajar,
berhubungan dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja dengan siapa saja.
Sedang kriteria kebenaran sebagai upaya pencarian objektivitas terhadap pengenalan
manusia yang bersifat empiris. Apa yang dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu
haruslah sesuai dengan kriteria kursi, memiliki alas duduk, sandaran. Atas dasar itulah
maka objektivitas sebuah benda yang diamati memiliki kebenaran.
Tema ketiga, aksiologi, ialah tema yang membahas masalah nilai atau norma
yang berlaku dalam kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai sebuah penilaian
tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam kaitannya dengan relasi manusia,
baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai (value) muncul dalam kehidupan manusia
dalam bentuk sebagai nilai yang berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya
nilai moral/nilai etis, nilai budaya, nilai keagamaan/religius, dan nilai keindahan.
Sebagai contoh, Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, ia bekerja sebagai seorang
arsitek di sebuah perusahaan kontraktor bangunan Indah Selalu dengan penuh
tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak suka memfitnah
atau menjelek-jelekkan teman sejawatnya di hadapan atasannya dengan harapan ia dapat
menjadi orang kepercayaannya.
Dengan uraian di atas, maka sampailah kita pada pemetaan atau kedudukan
filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup ilmu filsafat. Agaknya lingkup
epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi filsafat ilmu.
Filsafat ilmu membahas persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai
problematiknya, terutama yang berkaitan dengan metodologi atau pembenaran ilmiah.
40

Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah
menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Sedang epistemologi membahas batas,
sumber, dan kebenaran pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang
bersifat rasional. Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu
pengetahuan berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa
jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek epistemologi untuk
menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu pengetahuan.
3.3.2 Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Filsafat Ilmu
Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah untuk dapat (1) memahami persoalan
ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan
cermat dan kritis; (2) melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar
dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu
teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) dan
juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia seperti: lingkungan hidup,
peristiwa sejarah, dan kehidupan sosial politik; (3) memahami bahwa terdapat dampak
kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan
oleh bidang medis, teknik, dan komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung
jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut ialah masalah euthanasia dalam
dunia kedokteran yang masih sangat dilematis dan problematis, penjebolan terhadap
sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI),
dan plagiarisme dalam karya ilmiah.
3.3.3 Cara Kerja dan Problema Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat ilmu haruslah dimulai dengansuatu anggapan bahwa setiap
ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang bersifat: (1) sistematis (sistem dalam susunan
pengetahuan dan cara memperolehnya karena adanya berbagai hubungan gejala yang
teratur sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh); (2) logis (gejala pengetahuan
diamati dan dianalisis secara rasional); (3) intersubjektif (kepastian ilmu pengetahuan
tidak melulu didasarkan pada emosi atau pemahaman si ilmuwan tetapi didasarkan dan
dijamin oleh sistem pengetahuan itu sendiri); (4) rasional; (5) serta memiliki cara kerja
ilmu pengetahuan yang mengupayakan pembenaran secara metodologis.
Dengan demikan filsafat ilmu dapat melihat bahwa refleksi kritis terhadap ciri
dan cara kerja ilmu pengetahuan dapat menunjukkan adanya dua aspek, yaitu aspek
internal dan aspek eksternal. Aspek internal lebih mengarah pada kegiatan ilmiah
yang bersifat metodologis. Aspek internal context of justification berkaitan erat dengan
pembenaran suatu pengetahuan. Sebagai contoh, ilmu kedokteran atau teknik akan
menjadi sangat kokoh apabila secara de jure memiliki landasan filosofis yaitu kebenaran
epistemologis (teori kebenaran atau teori pengetahuan). Aspek eksternal context of
discovery lebih mengarah pada hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibuat
oleh para ilmuwan di masa lalu hingga kini. Oleh karena itulah timbulnya ilmu
pengetahuan serta kegunaan ilmu itu dapat ditelusuri secara historis. Dalam rangka
penelusuran secara historis, secara de facto hasil ilmu dan teknologi diterima dan
digunakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Teknologi berkembang seiring
dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu.
3.4 TEORI KEBENARAN
Di bagian ini akan dijelaskan bahwa kebenaran dalam kegiatan ilmiah dan
filsafat ilmu bersumber pada kebenaran epistemologi. Kebenaran filsafat ilmu itu
mengacu pada teori pengetahuan atau teori kebenaran klasik yang terkait dengan tradisi
filsafat Barat. Teori pengetahuan dipandang sebagai teori kebenaran yang sifatnya
universal dan berlaku umum untuk berbagai bidang keilmuan (misalnya ilmu
kedokteran, teknik, ilmu ekonomi, dan ilmu budaya) yang bertujuan mencari
objektivitas dan kebenaran ilmiah.
41

Teori pengetahuan atau teori kebenaran dalam epistemologi terdiri atas tiga teori
kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatik. Teori
korespondensi adalah teori kebenaran yang bersumber dari persesuaian antara seorang
subjek dengan objek yang dilihatnya. Sebagai contoh, seseorang akan mengatakan
bahwa yang dilihatnya adalah sebuah meja besi apabila kriteria meja besi (biasanya
berkaki empat, mempunyai daun, terbuat dari besi) itu sesuai benar dengan meja itu. Ini
berarti bahwa ada teori korespondensi dalam kasus itu. Teori koherensi akan terjadi
apabila ada persesuaian di antara beberapa subjek dengan objek yang diamatinya.
Sebagai contoh, semua orang di rumah Bapak Santoso setuju dan sepakat bahwa televisi
itu memiliki antena yang berwarna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kebenaran
koherensi di antara semua orang di rumah bapak Santoso. Teori pragmatik adalah teori
kebenaran yang terjadi karena ada manfaat serta kegunaan dari sebuah ilmu
pengetahuan. Contoh, Tuti akan belajar dengan tekun di Fakultas Teknik Arsitektur agar
ia cepat lulus menjadi seorang arsitek dan dapat segera bekerja.
Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi dan pragmatik) yang ada pada
filsafat ilmu adalah sebagai dasar mencari kebenaran dalam setiap kegiatan ilmu
pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran terjadi berbagai perubahan gejala,
peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga teori kebenaran itu pun
mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai penerapan antara
sisi teoretis dengan sisi praksis, praktek dan kegunaannya.
Di sisi lain, batas pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran.
Ruang lingkup pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu, pengetahuan dibatasi oleh pancaindera
manusia. Dengan demikian sejauh mata memandang terhadap apa yang dilihat kita,
maka hal menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia
bersumber pada indera manusia dan hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan
indrawi atau pengetahuan empiris (empiris dari kata empria yang artinya pengalaman
manusia muncul karena diperoleh oleh sentuhan indrawi). Selain pengetahuan indrawi,
terdapat pengetahuan non-indrawi yang juga menjadi sumber pengetahuan manusia.
Pengetahuan non-indrawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia atau
rasio manusia. Melalui akal budi atau rasio, manusia dapat berpikir, dapat memiliki
gagasan atau ide dan hasil dari kemampuan berpikir itu adalah pengetahuan non-indrawi
atau pengetahuan rasional.
Struktur pengetahuan juga menjadi landasan bagi teori kebenaran. Struktur
pengetahuan adalah susunan dari berbagai elemen pengetahuan yang dilandasi oleh
suatu konsep tertentu. Berbagai elemen pengetahuan seperti fenomena atau gejala atau
sesuatu yang berada di depan kita (gunung, pasien, rumah, mobil ambulans), ide tentang
masa depan sebuah negara, atau teori Newton, semua itu dapat menjadi elemen dari
"bangunan" pengetahuan kita. Sebenarnya, bangunan pengetahuan itu merupakan
kumpulan berbagai elemen yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk bangunan
pengetahuan yang kokoh. Dalam proses itu terdapat pelaku yang sangat berperan, yaitu
subjek. Subjek ialah seseorang yang tertarik mencari pengetahuan atas dasar minat serta
keterarahan (intensionalitas), dan yang dicari itu adalah objek. Dengan demikian
terdapat interaksi antara subjek dengan objek dalam pencarian pengetahuan. Struktur
pengetahuan akan terjadi apabila terdapat hubungan atau interaksi antara subjek dengan
objek
3.5 PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang
digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau
berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan
ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran.
42

Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak mutlak (absolut). Setiap kebenaran
yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi atau dikaji
apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai model
atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar seperti nilai kualitas,
nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan
membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah penulis meletakkan model dasar
pada paradigma. Paradigma ilmu mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1) paradigma
kuantitatif, (2) paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduktif, (4) paradigma
piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus empiris, dan (6) paradigma "rekonstruksi
teori".
Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada
perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan berbagai gejala atau
fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan
perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu perhitungan
matematis. Gejala-gejala medis pada pasien, seperti suhu tubuh, dapat diukur dengan
alat pengukur. Gejala gempa dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter.
Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas
objek penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal
religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan simbol-simbol ritual
atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau "diukur" berdasarkan
pendekatan tertentu (misalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik,
atau teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya. Paradigma kualitatif
menghindari perhitungan matematis karena yang dicari adalah nilai (value) yang
muncul dari objek kajian yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu
mengandung tindakan bermakna (meanin full action).
Paradigma induktif-deduktif adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan
sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran yang induktif
(mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum)
dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai
pada hal-hal yang khusus). Seseorang dapat menggunakan paradigma induktif-deduktif
secara bersamaan. Artinya ia dapar berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir
secara deduktif, tetapi dapat pula menggunakan penalaran induktif atau deduktif saja.
Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif dalam penalaran dan
digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang dapat memiliki penalaran yang
logis dan konsep berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif
dapat diterapkan ketika mencari data, menggolong-golongkan data, merumuskan
masalah, dan sebagainya.
Paradigma piramida atau limas ilmu adalah model penyelidikan ilmiah dengan
menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah
secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian
yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin
berkurang. Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu
dimaksudkan sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu kepada tahapantahapan observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa
teori baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: makin
ke atas, tujuan penelitian makin tercapai; puncak kerucut merupakan gambaran
ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model piramida lain adalah piramida
ganda. Piramida ganda atau bahkan piramida-piramida lain akan muncul apabila
seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan piramida yang telah ada.
Lihat Bagan 1: Model Piramida Ilmu.
43

Bagan 1: Model Piramida Ilmu

Piramida ganda
Piramida terbalik
Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang
berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida
terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (yang telah dianggap baku). Melalui
teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap teori
tersebut. Observasi menentukan langkah berikutnya, yaitu tahap-tahap penelitian atau
lapisan-lapisan piramida) seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian
hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru.
Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma tersebut
membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif Beberapa tokoh
seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada
pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus empiris memiliki komponenkomponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa
tersebut dapat dievaluasi secara siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam
siklus empiris akan membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam
melakukan kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus
empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma siklus
empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa
elemen yang terdiri atas komponen informasi (data, konsep, kategori) dan komponen
kontrol metodologis (evaluasi, pengujian, teori). Kemampuan seseorang dalam
mengolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.
Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha
membangun (rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian. Tujuan penggunaan paradigma rekonstruksi teori adalah untuk menunjang
proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat
terjaga sesuai dengan proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, seseorang yang ingin
menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" haruslah memahami dengan benar teoriteori yang akan digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu
saling menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai
pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan
menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan utama apabila
seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori".
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam
penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak.
Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma
metodologis sehingga secara de jure dapat dipertahankan secara benar dan sahih.
Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu merekonstruksikan
berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah
"catatan" bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi harus saling menunjang dan
sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan
agar rekonstruksi terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang
kebenaran ilmiah.
44

ETIKA
Bab ini menguraikan rumusan etika dan pembagian etika menjadi etika
deskriptif, etika normatif, metametika, dan etika terapan. Sebagai ilmu tentang moralitas
manusia, muncul dalam perkembangannya etika profesi. Kaidah atau norma etika yang
berkaitan dengan moralitas seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai dan
norma, hak dan kewajiban akan diuraikan secara sistematis.
4.1 DEFINISI ETIKA
Etika adalah salah satu cabang dari filsafat yang bertitik tolak dari masalah nilai
(value) dan moral manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia. Kata etika berasal
dari bahasa Yunani Kuno, ethos, yang artinya cara bertindak, adat, tempat tinggal,
kebiasaan. Sedang kata moral berasal dari bahasa Latin, mos yang berarti sama dengan
etika. Istilah etika sendiri sudah dipakai oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384
3322 SM), untuk menunjukkan pengertian tentang filsafat moral.
Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain, karena tidak hanya
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan juga bagaimana ia harus bertindak dan
berperilaku. Tindakan manusia adalah norma-norma moral yang dapat berasal dari
suara batin hati nurani. Norma-norma ini merupakan bidang dan kajian etika.
Perumusan dari sudut etimologis belumlah cukup untuk memahami etika.
Penelusuran melalui beberapa rumusan atau sumber dapat memberikan gambaran yang
utuh tentang pengertian etika. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1993),
dijelaskan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak
dan kewajiban (ahlak). Dalam KBBI tersebut dibedakan pula antara etika, etik dan
etiket. Etik ialah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; atau, etik
adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Penjelasan ini mengingatkan kita tentang kode etik profesi seperti kode etik dokter,
kode etik profesional informasi, kode etik pegawai negeri, kode etik pustakawan, dan
sebagainya. Etiket adalah tata cara (adat, sopan santun, dan sebagainya) di masyarakat
beradab dalam memelihara hubungan yang baik dengan sesama manusia.
Di kalangan masyarakat luas, orang mengenal pula etiket sebagai label atau
penamaan tentang sesuatu yang dituliskan pada secarik kertas dan dilekatkan pada
benda tertentu (botol, kaleng, kotak, dan sebagainya). Dari ketiga kata tersebut, hanya
etika dan etik yang berkaitan dengan nilai, moral. Etiket tidak berkaitan atau
berhubungan dengan moral. Ada istilah lain (yang sebenarnya merupakan kata dasar
dari etika), yaitu ethos. Di dalam KBBI (1993) ethos dirumuskan sebagai pandangan
hidup yang khas dari suatu golongan sosial.
Dalam bahasa Indonesia, kata etos (ethos)1 dikaitkan dengan suatu profesi atau
cara bekerja seseorang atau sekelompok masyarakat. Muncullah ethos kerja pegawai
negeri, ethos kerja banker, ethos kerja profesional informasi, dan sebagainya. Arti ethos
kerja menurut KBBI 1993 adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan
seseorang atau suatu kelompok. Sebagian besar profesi memiliki aturan-aturan tertentu
yang tercermin dalam kode etik (profesi pengacara, wartawan, arsiparis, dokter dan lainlain).
Dari penjelasan tentang etika yang bersumber pada pengertian dasar, maka
pemahaman selanjutnya adalah memahami tentang etika dari aspek filosofis. Etika
merupakan bagian dari ilmu filsafat yang mempelajari berbagai nilai (value) yang
diarahkan pada perbuatan manusia, khususnya yang berkaitan dengan kebaikan dan
keburukan dari hasil tindakannya. Perbuatan seseorang itu baik ataukah buruk di mata
1

Kata ethos dari bahasa Yunani sudah lazim dipakai sesuai ejaan aslinya. Untuk itu sebaiknya kita
menggunakan ejaan aslinya dalam kebutuhan akademis maupun di luar masyarakat akademis agar
pengertian yang sebenarnya itu terungkap secara implisit.

45

orang lain telah menunjukkan tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya.
Sedang bagi seseorang yang melakukan tindakan atau perbuatan tertentu diharapkan
darinya memunculkan keinginan atau kesadaran untuk berbuat baik. Berbuat baik tanpa
merugikan orang lain merupakan suatu kehendak yang sangat terpuji. Tetapi tidak
semua orang dapat melakukan perbuatan baik atau dianggap baik karena adanya
berbagai faktor seperti keinginan dirinya terlalu besar untuk misalnya tidak ingin
dipersalahkan dalam suatu hal, atau adanya konflik terhadap orang lain dan sebagainya.
Oleh karenanya dalam melakukan tindakan etis atau melakukan perbuatan baik
diperlukan berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional.
Pertimbangan rasional artinya mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk
berbuat baik atau melakukan tindakan baik secara jernih, tanpa dilandasi oleh sikap
emosional yang berlebihan. Mempelajari etika haruslah dilandasi dengan pendekatan
rasional dan kritis agar etika itu dapat diterapkan pada tindakan keseharian seseorang,
baik dalam bekerja maupun melakukan relasi dengan orang lain. Selain itu, etika harus
dilihat dan dipahami di dalam cara seseorang bertindak atau berperilaku dalam
mengikuti aturan maupun norma-norma moralitas yang berlaku (moralitas tertentu)
serta bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab terhadap
berbagai norma moralitasnya.
Etika sering disebut filsafat tentang moral. Berfilsafat tentang moral berarti
melakukan refleksi atau merenungkan secara mendalam berbagai ajaran moral
(kebaikan) secara kritis. Harus dibedakan antara etika dengan moral. Etika tidak lain
mempelajari keilmiahan secara kritis dan logis tentang tindakan manusia mengenai
yang baik dan yang buruk; atau, dengan kata lain, etika mempelajari berbagai
ajaran moral secara kritis dan logis. Sedang moral lebih merupakan nasihat-nasihat,
ataupun wejangan-wejangan yang berasal atau bersumber pada masyarakat, yang dapat
berupa ajaran-ajaran pada adat-istiadat suatu masyarakat dan ajaran agama. Moral lebih
menunjukan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang yang baik dan yang
buruk. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik atau moralis,
tidak etis, sering dikatakan orang itu immoral (bukan amoral, sebab amoral berarti
tidak berhubungan dengan konteks moral).
Seperti lazimnya dalam ilmu pengetahuan, maka etika memiliki objek atau
sesuatu yang dibahas. Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis
manusia dalam menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang
bertanggung jawab. Ajaran-ajaran moral tersebut sangat menentukan tantang bagaimana
moral manusia itu dibina baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Banyak yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang bersifat praktis.
Pengertian praktis menunjukan bahwa etika sebagai ilmu yang lebih mengarah pada
kegunaan etika itu sendiri manakala menerapkannya pada perilakunya. Perilaku
seseorang tersebut ditunjukan pada kehidupan sehari-hari baik itu secara individual
maupun dalam kehidupan masyarakat.
4.2 ETIKA NORMATIF DAN ETIKA TERAPAN
Sebagai ilmu tentang moralitas, etika juga dapat dianggap sebagai ilmu yang
menyelidiki tingkah laku moral manusia. Di dalam perkembangannya, etika dibedakan
menjadi etika deskriptif, etika normatif dan metaetika (Bertens, 2001: 1522). Dalam
bagian ini akan dibahas dahulu pembagian etika dan kemudian dibahas tentang etika
terapan.
4.2.1 Etika Deskriptif
Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalam arti
yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau
individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau
46

periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang
berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu.
Sebagai contoh, masayarakat Jawa mengajarkan bertatakrama terhadap orang
yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan sapaan yang halus merupakan
ajaran yang harus diterima. Apabila seseorang menolak melakukan hal itu, maka
masyarakat menganggapnya aneh; ia dianggap bukan orang Jawa.
Norma-norma tersebut berisi ajaran atau semacam konsep etis tentang yang baik
dan tidak baik, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Dengan kata lain,
etika deskriptif mengkaji berbagai bentuk ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan
yang baik dan yang buruk. Ajaran tersebut lazim diajarkan oleh para pemuka
masyarakat pada masyarakatnya ataupun individu tertentu dan nampaknya sering
terdapat pada suatu kebudayaan manusia. Pemerian atau penggambaran etika orang
Jawa, atau etika orang Bugis, adalah contoh bentuk etika deskriptif.
4.2.2 Etika Normatif
Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif karena
ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang berkaitan
dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang mengkaji apa yang harus
dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab
dapat digunakan oleh manusia. Di dalam etika normatif hal yang paling menonjol
adalah munculnya penilaian tentang norma-norma tersebut. Penilaian tentang normanorma tersebut sangat sangat menentukan sikap manusia tentang yang baik dan yang
buruk.
Dalam mempelajari etika normatif, dijumpai etika yang bersifat umum dan etika
yang bersifat khusus. Etika umum memiliki landasan dasar seperti norma etis/norma
moral, hak dan kewajiban, hati nurani, dan tema-tema itulah yang menjadi kajiannya.
Sedang etika khusus berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas perilaku
manusia yang khusus. Lama kelamaan etika khusus tersebut berkembang menjadi etika
terapan (applied ethics). Etika khusus mengembangkan dirinya menjadi etika individual
dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap individu terhadap
dirinya sendiri. Sedang etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai anggota umat manusia atau masyarakat. Bentuk etika sosial
yang diterapkan pada berbagai bentuk memunculkan kajian-kajian mengenai etika
keluarga, etika profesi (etika biomedis, etika perbankan, etika bisnis, dan sebagainya),
etika politik, dan etika lingkungan hidup.
4.2.3 Metaetika
Metaetika adalah kajian etika yang membahas ucapan-ucapan atau kaidahkaidah bahasa, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis (yaitu bahasa yang
digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian
etis terhadap ucapan mengenai yang baik dan yang buruk dan kaidah logika.
Sebagai contoh, sebuah tayangan iklan obat-obatan dengan merk tertentu di televisi
swasta sering menyesatkan banyak orang dengan slogan-slogan yang menganjurkan
untuk minum obat tertentu dengan khasiat semua penyakit yang diderita akan hilang dan
orang menjadi sehat kembali. Slogan-slogan tersebut sangat berlebihan dan ketika orang
mulai mengkritiknya, maka oleh sekelompok produsen dimunculkan sebuah ucapan etis
yang berbunyi: Jika sakit berlanjut, hubungi dokter. Ucapan etis tersebut seakan
menjadi semacam perilaku moral yang baik yang dihadirkan oleh sekelompok produsen
dan disampaikan agar masyarakat menjadi lebih bijaksana dalam meminum obat.
4.2.4 Etika Terapan
Etika terapan (applied ethics) adalah studi etika yang menitikberatkan pada
aspek aplikatif teori etika atau norma yang ada. Etika terapan muncul akibat
perkembangan yang pesat dari etika dan kemajuan ilmu lainnya. Sejak awal Abad XX,
etika terapan menjadi suatu studi yang menarik karena terlibatnya berbagai bidang ilmu
47

lain (ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu keperawatan, dan sebagainya)
dalam mengkaji etika.
Disebut etika terapan karena sifatnya yang praktis, yaitu memperlihatkan sisi
kegunaannya. Sisi kegunaan itu berasal dari penerapan teori dan norma etika ketika
berada pada perilaku manusia. Sebagai ilmu praktis, etika bekerja sama dengan bidang
ilmu lain dalam melihat prinsip yang baik dan yang buruk. Penyelidikan atau kajian
etika terapan meliputi dua wilayah besar, yaitu kajian yang menyangkut suatu profesi
dan kajian yang berkaitan dengan suatu masalah. Kajian tentang profesi berarti
membahas etika terapan dari sudut profesi tertentu, misalnya etika kedokteran, etika
politik, etika bisnis, etika keperawatan. Etika terapan yang meyoroti berbagai masalah
misalnya pencemaran lingkungan hidup menimbulkan kajian tentang etika lingkungan
hidup; pembuatan, pemilikan dan penggunaan senjata nuklir menimbulkan kajian
tentang etika nuklir; diskriminasi dalam berbagai bentuk (ras, agama, gender, warna
kulit, dan lain-lain) menyebabkan munculnya studi tentang hal itu (misalnya etika
feminisme dan etika multikultural). Jadi jelaslah bahwa etika terapan yang berkaitan
dengan masalah tersebut sangat diminati oleh masyarakat modern saat ini karena
topiknya aktual dan sangat relevan dengan kehidupan kontemporer.
a) Pengertian Etika Profesi
Bidang etika terapan yang dapat dipelajari secara lebih khusus adalah etika
profesi. Etika profesi merupakan bidang yang sangat diperlukan oleh dunia kerja,
khususnya yang berkaitan dengan kemajuan teknologi. Dalam arus globalisasi yang
sedemikian pesat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan sumber daya
manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan, serta kepandaian dalam mengolah
dan menguasai teknologi yang dihadapinya ketika ia bekerja. Selain menguasai
pendidikan formal, dan berpengalaman bekerja, sumber daya manusia itu membutuhkan
semacam sarana untuk berpijak dalam bidang yang digelutinya. Sarana itu adalah etika
profesi. Mengapa harus etika profesi? Etika profesi adalah etika yang berkaitan dengan
profesi atau etika yang diterapkan dalam dunia kerja manusia. Di dalam dunia kerjanya,
manusia membutuhkan pegangan, berbagai pertimbangan moral dan sikap yang bijak.
Secara lebih khusus, etika profesi dapat dirumuskan sebagai bagian dari etika
yang membahas masalah etis tentang bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi
tertentu, seperti dokter (kedokteran), pustakawan (perpustakaan), arsiparis (kearsipan),
profesional informasi, ahli hukum, dan pengacara. Yang menjadi pertanyaan sekarang,
sebenarnya profesi itu apa? Profesi (dalam bahasa Latin: professues ) semula berarti
suatu kegiatan manusia atau pekerjaan manusia yang dikaitkan dengan sumpah suci.
Atas dasar sumpah itulah manusia harus bekerja dengan baik. Selain itu ada beberapa
istilah profesi yang harus dijelaskan, yaitu profesi yang menyangkut tindak bekerja
yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup serta
mengandalkan keahlian tertentu. Pengertian profesi yang lain, adalah sebagai perbuatan
seseorang yang dilakukan untuk memperoleh nilai komersial. Dalam perbuatan itu,
misalnya Tuan Komang bekerja sebagai pegawai administrasi perusahaan rokok BB. la
merasa tidak bahagia, tetapi ia terpaksa menerima pekerjaan itu (meskipun dengan
honor yang dianggapnya kurang memadai) karena mencari pekerjaan yang lebih
memadai sangat sulit. Selain itu terdapat pengertian profesi sebagai komunitas moral
(moral community) yang diikat oleh adanya cita-cita dan nilai bersama yang dimiliki
seseorang ketika ia berada dan bersama-sama dengan teman sejawat dalam dunia
kerjanya.
Di sisi lain, seorang profesional hendaknya memiliki sejumlah keahlian yang
diperolehnya secara formal, misalnya belajar di perguruan tinggi, sekolah tinggi dan
sebagainya. Perolehan keahlian secara formal sangat penting dan menjadi bagian
terpenting bagi seorang profesional ketika ia kelak disumpah atas dasar profesi tertentu.
Tidaklah mungkin seorang dokter melakukan sumpah jabatan (dokter) apabila ia belum
48

menyelesaikan studinya secara penuh. Dengan keahliannya seorang profesional bekerja


di suatu tempat, membuka praktek, memberikan pelayanan kepada khalayak yang
membutuhkannya.
Dalam kaitannya dengan profesinya itu, seorang profesional berhadapan dengan
klien atau pasien atau pemakai jasa, yaitu seseorang yang menaruh kepercayaan
terhadap dirinya sehingga profesional tersebut memberikan pelayanan tertentu atas
dasar keahliannya Untuk itu seorang profesional dapat menerima sejumlah honor atau
pembayaran atas pelayanan yang diberikannya. Hubungan professional
klien/pasien/pemakai jasa berdasarkan semacam kontrak kerja atau perjanjian yang
disepakati bersama. Dengan kesepakatan itu seorang profesional wajib membela
kepentingan kliennya/pasiennya/pemakai jasa dan, sebaliknya, si klien/pasien/pemakai
jasa harus memberikan sejumlah pembayaran yang juga telah disepakati bersama.
Dalam hubungan kerja antara profesionalklien terdapat juga beberapa aspek moral atau
pertimbangan-pertimbangan etis. Aspek moral atau pertimbangan etis menjadi landasan
bagi kedua pihak untuk menjaga kepercayaan di antara mereka.
Segala bentuk pelayanan haruslah memiliki aspek pro bono publico (segala
bentuk pelayanan untuk kebaikan umum). Dalam hubungan pelayanan itu kebaikan
umum dapat beraspek ganda. Pertama, adanya profesional yang memiliki profesi
khusus, yang mementingkan pro lucro, yaitu demi keuntungan, sehingga pelayanan
diberikan kepada klien. Kedua, pro bono, demi kebaikan si klien, sehingga pelayanan
yang diberikan si profesional tidak semata-mata demi pembayaran. Dampak aspekaspek itudapat berupa timbulnya ketidakpastian dalam hubungan pelayanan (saling
tidak percaya sehingga antara si profesional dengan kliennya tidak terdapat hubungan
yang harmonis yang dapat berakibat pada pemutusan hubungan). Namun, aspek pro
bono dapat memunculkan profesional yang memiliki profesi luhur, yaitu profesi yang
semata-mata tidak mementingkan upah melainkan berdasarkan pengabdian pada
masyarakat, misalnya perawat, guru, dosen, dan rohaniwan.
Sesuatu yang tidak terpisahkan dari etika profesi adalah kode etik profesi yang
merupakan akibat dari hadirnya etika profesi, yang muncul karena etika profesi
tersebut berada dalam komunitas tertentu yang memiliki keahlian yang sama. Kode etik
profesi merupakan aturan atau norma yang diberlakukan pada profesi tertentu. Di dalam
norma tersebut muncul beberapa persyaratan atau kriteria yang bersifat etis dan harus
ditaati oleh para pemilik profesi. Di dalam masyarakat ilmiah seperti kedokteran, ilmu
perpustakaan, atau ilmu sejarah muncul kode etik yang berlaku bagi para dokter, para
pustakawan, atau sejarawan yang tergabung dalam wadah tertentu (Ikatan Dokter
Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia,
dan lain-lain).
Kode etik profesi yang tertua dipelopori oleh Hippocrates, seorang dokter
Yunani Kuno yang hidup pada Abad V SM, yang dianggap sebagai Bapak llmu
Kedokteran. Kode etik profesi itu kemudian terkenal dengan sebutan Sumpah
Hippocrates. Melalui pemikiran-pemikiran etis, produk etika profesi muncul dalam
masyarakat moral (moral community) yang dianggap memiliki cita-cita bersama dan
dipersatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama dan keahlian yang sama pula.
Refleksi etis muncul di dalam kode etik profesi. Itu berarti bahwa kode etik dapat
diubah atau diperbaharui susunan aturan-nya atau dibuat baru demi situasi atau
kondisi yang baru akibat implikasi-implikasi yang muncul. Perubahan kode etik tidak
mengurangi nilai etis atau nilai moral yang telah ada, tetapi justru menjadi nilai tambah
bagi kode etik profesi itu sendiri.
Selain itu di dalam kode etik profesi termaktub pernyataan-pernyataan yang
berisikan pesan moral dan rasa tanggung jawab moral bagi yang akan menjalankan
profesi itu. Bila terjadi pelanggaran kode etik profesi, maka profesional yang melanggar
itu akan mendapatkan sangsi dari masyarakat moralnya (dalam hal ini institusi atau
49

lembaga yang memiliki masyarakat dengan keahlian tertentu). Tujuan sangsi tersebut
ialah untuk menyadarkan betapa pentingnya tanggung jawab moral ditegakkan di dalam
dunia profesi.
Sebagai sebuah kajian yang berkaitan dengan perilaku etis manusia yang
bekerja, etika terapan memiliki objek. Objek forma etika profesi adalah perilaku etis
atau perilaku manusia yang berkaitan dengan yang baik dan buruk. Untuk memperjelas
objek tersebut, haruslah disebut juga objek forma etika profesi. Objek forma atau pokok
perhatian dari etika profesi adalah perilaku manusia tentang yang baik dan buruk yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Dan dalam kaitannya dengan pekerjaannya itu maka
seseorang hendaknya dapat memiliki kepekaan moralitas atau kepedulian etis untuk
bersikap baik terhadap sesama rekan kerja, dan sesama manusia yang berkaitan dengan
profesinya tanpa merugikan orang lain.
b) Etika Profesi sebagai Ilmu Praktis dan Terapan
Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat praktis. Oleh karena
itu, di dalam kajiannya etika profesi tidak meninggalkan segi atau landasan teoretisnya.
Sebagai ilmu praktis, etika profesi memiliki sifat yang mementingkan tujuan perbuatan
dan kegunaannya, baik secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan deontologis.
Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat bagaimana kegunaan
itu memiliki makna bagi seorang profesional melalui tindakan positif berupa pelayanan
terhadap klien, pasien atau pemakai jasa. Kegunaan yang bersifat utilitaristis akan
sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang baik. Seorang arsitek
akan mendapatkan kebahagiaan apabila rancang bangunnya dipakai oleh orang lain dan
diterapkan dalam pembuatan rumahnya, dan pada akhirnya orang itu merasa puas atas
disain rumahnya.
Pada kegunaan etika profesi yang bersifat deontologis, kegunaan itu akan dinilai
baik apabila disertai kehendak baik. Pelayanan kesehatan di rumah sakit X akan
dinilai baik dan sangat berguna bagi masyarakat umum apabila para dokter rumah sakit
itu memiliki kehendak baik dalam menjalankan tugasnya. Kegunaan secara deontologis
tidak hanya menyaratkan unsur kehendak baik tetapi juga kewajiban, yakni apa yang
harus dilakukan. Kewajiban moral, menurut Kant, mengandung imperatif kategoris,
yakni perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Seorang profesional
menjalankan kewajiban atau tugasnya yang memang menjadi tanggung jawabnya tanpa
harus diperingatkan berulang kali oleh pimpinannya. Di dalam penerapannya, yakni di
dunia kerja, seorang profesional harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang
mewajibkan tanpa syarat (begitu saja) tanpa disertai pertimbangan lain.
c) Metode atau Pendekatan Etika Profesi
Dalam mempelajari etika profesi, pendekatan yang harus dipakai adalah
pendekatan kritis refleksif dan dialogis. Pendekatan (metode) tersebut dipakai oleh
seseorang yang memiliki profesi tertentu (dokter, pustakawan, arsitek, dan sebagainya)
dalam menilai apa yang telah ia lakukan (tindakan) terhadap bidang atau pekerjaan
tertentu. Orang perlu merenungkan secara kritis dan mendialogkan segala sesuatu yang
telah ia lakukan selama bekerja, baik saat itu maupun di masa mendatang. Pendekatan
itu bertujuan agar seseorang profesional dapat bekerja dengan sebaik mungkin sehingga
tercapai tujuan yang diinginkan. Dalam berdialog, pertimbangan-pertimbangan moral
menjadi dasar bagi hubungan profesional dengan klien. Pertimbangan-pertimbangan
moral yang baik membutuhkan sikap awal yang jernih dalam melihat kasus/bentuk
pelayanan, norma etis, cara berpikir yang logis dan rasional, serta informasi yang
memadai tentang kasus atau bentuk pelayanan yang ditanganinya.
d) Peran Etika Profesi dalam Ilmu-ilmu Lain
Sebenarnya etika profesi itu milik siapa atau diletakkan di mana? Etika profesi
dapat diberlakukan pada, pertama, individu-individu yang memiliki kewajibankewajiban tertentu seperti kewajiban seorang profesional informasi terhadap kliennya,
50

atau kewajiban seorang dokter terhadap pasiennya, atau kewajiban seorang pengacara
terhadap kliennya. Kedua, etika profesi dapat diterapkan pada kelompok-kelompok
tertentu yang memiliki profesi tertentu, misalnya kewajiban kelompok wartawan
terhadap masyarakat pembacanya, atau kewajiban kelompok ilmuwan atas hasil temuan
mereka yang berupa teknologi.
Di sisi lain, bidang-bidang yang bersifat multi disipliner atau kajian lintas ilmu
dapat menjadi media atau lahan penerapan etika profesi. Dengan perkembangan dunia
ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, etika profesi menjadi semakin diperkaya
oleh ilmu-ilmu tersebut seperti munculnya etika profesi bagi ilmu-ilmu kesehatan, ilmu
teknik, dan ilmu komputer. Etika profesi mampu berdialog dengan berbagai ilmu,
bertahan dan dibutuhkan selama hubungan profesional-klien masih tetap ada.
Bagi seorang profesional yang bergerak di bidang tertentu seperti perpustakaan,
kedokteran, disain interior, atau dosen, etika profesi dapat berperan sebagai kompas
moral, penunjuk jalan bagi si profesional yang berdasarkan nilai-nilai etisnya: hati
nurani, kebebasan-tanggung jawab, kejujuran, kepercayaan, hak-kewajiban dalam
bentuk pelayanan terhadap kliennya. Peran yang kedua, etika profesi diharapkan dapat
menjamin kepercayaan masyarakat (klien-klien) terhadap pelayanan yang diberikan
oleh si profesional. Untuk itulah harus diciptakan semacam kode etik yang baik (kode
etik pustakawan, kode etik dokter, kode etik dosen, dan sebagainya).
4.3 KAIDAH ATAU NORMA ETIKA
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang kaidah atau norma etika/moral yang
lazim dimunculkan pada etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung
jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban.
4.3.1 Hati Nurani
Apakah yang dimaksud dengan hati nurani? Hati nurani, atau yang sering
disebut kata hati, suara hati, hati kecil, adalah penghayatan tentang yang baik dan yang
buruk yang berkaitan dengan tindakan nyata atau perilaku konkret manusia. Hati nurani
semacam nur (cahaya) yang menerangi hati kita. Suara hati atau hati nurani
memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu atau tindakan tertentu pada
saat tertentu pula. Suara hati tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang
suatu situasi yang nyata. Sebagai contoh, Anti, seorang gadis remaja, ingin memiliki
sebuah telpon genggam tetapi orangtuanya enggan membelikannya. Tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Anti sering ke kamar ayahnya dan diam-diam mengambil
uang dari dompet ayahnya. Uang itu akan digunakan untuk membeli telpon genggam.
Sebenarnya, ketika Anti mengambil uang tersebut, hati nuraninya bekerja
memerintahkan untuk tidak mengambil uang tanpa sepengetahuan ayahnya. Tetapi Anti
tidak mengindahkan hati nuraninya, ia tertutup oleh keinginan yang kuat untuk
memiliki telepon genggam.
Contoh tersebut menunjukan bahwa Anti tidak mengikuti hati nuraninya. Tidak
mengikuti hati nurani secara tidak langsung telah menghancurkan moralitas pribadi dan
menghianati martabat yang terdalam pada kita. Hati nurani dikendalikan oleh kesadaran
manusia (akal budi manusia). Dengan kesadaran atau rasionalitasnya, manusia
sebenarnya mampu mempertimbangkan apa yang baik dan apa yang buruk baginya.
Kesadaran manusia atau rasionalitas atau akal budi manusia, sesungguhnya adalah
kemampuan manusia merefleksikan merenungkan dirinya dengan lebih baik tentang
apa yang telah diperbuatnya. Kesadaran manusia mampu menilai bagaimana hati nurani
kita itu berperan di masa lalu atau masa yang akan datang. Perbuatan atau perilaku kita
di masa lalu dinilai oleh hati nurani yang sifatnya retrospektif. Perbuatan atau perilaku
kita itu di masa lalu buruk ataukah baik. Hati nurani prospektif dapat merencanakan
perbuatan yang akan kita lakukan di masa yang akan datang dan menilainya, apakah
51

perbuatan yang akan dilakukan itu nantinya baik atau buruk. Orang yang memiliki
pekerjaan tertentu perlu mengembangkan hati nurani secara total agar kepribadian etis
tetap terjaga dengan baik. Kedewasaan berpikir secara rasional akan membawa hati
nurani kepada suatu penilaian (judgment) yang lebih bijaksana dan apabila pernyataanpernyataan itu muncul mungkin saja bersifat subjektif maka pernyataan subjektif itu pun
berasal dari hati nurani yang sesuai dengan kualitas yang sebenarnya dari tindakannya
itu.
4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab
Kebebasan adalah salah satu unsur yang sangat hakiki dan manusiawi yang
dimiliki oleh manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebebasan, dan
kebebasan itu melekat padanya tanpa mengenal perbedaan suku, ras, agama, derajat
maupun bentuk-bentuk lainnya. Di dalam bahasa Indonesia, kebebasan berasal dari kata
bebas, yang artinya tidak ada pembatasan atau tidak dibatasi oleh apa pun. Tetapi untuk
mengerti kata bebas, seyogianya kata itu dilekatkan pada kata benda sehingga
memperjelas arti kata itu sendiri. Sebagai contoh, seseorang mendapat tiket bebas
pesawat terbang untuk bepergian ke Bali, artinya orang itu mendapatkan tiket bepergian
ke Bali tanpa harus membayar sejumlah uang (seharga tiket tersebut). Kata lainnya,
pergaulan bebas berarti berteman dengan siapa pun tanpa mengendalikan norma sopan
santun dan adat-istiadat kebiasaan masyarakat setempat.
Apabila kata bebas itu dilekatkan pada seseorang maka ia menjadi seseorang
yang mampu menentukan diri sendiri, dan tidak dibatasi oleh orang lain atau
masyarakat dalam menentukan dirinya sendiri atau pun jalan hidupnya. Dengan
kebebasannya manusia tampil mengoptimalkan kemampuannya. Mungkin timbul
pertanyaan, Mengapa kebebasan begitu berarti bagi banyak orang sehingga orang
seakan-akan berlomba-lomba mendapatkan kebebasan bagi dirinya? Sebenarnya
dengan kebebasannya itu manusia menjadi lebih manusiawi dan lebih berbudaya, dan
itulah yang membedakannya dari makhluk lain di dunia ini. Perilaku hewan ditentukan
oleh perangsang dari luar dan insting dari dalam organnya. Seorang pakar filsafat
budaya, Ernst Cassirer mengatakan bahwa manusia lebih tinggi dari hewan, yang tidak
hanya menerima perangsang dan memiliki insting saja melainkan mampu menentukan
dan berperilaku melalui, dan sesuai dengan akal budinya. Dengan akal budinya,
martabat manusia ditampilkan melalui kebebasannya.
Kita berhak atas kebebasan kita. Tetapi apakah itu berarti bahwa kita dapat
bertindak sewenang-wenang atau berperilaku sesuai dengan kehendak kita tanpa ada
batasnya? Pertanyaan itu haruslah dijawab secara jernih. Sebagaimana disadari, manusia
adalah mahluk sosial. Sebagai makhluk sosial, seseorang selalu ada bersama dengan
orang lain, dengan sesamanya, dan ia menjadi bagian atau anggota dari suatu
masyarakat atau komunitas atau kelompok tertentu. Dengan demikian kebebasan yang
dimilikinya bukanlah kesewenangan, melainkan kebebasan yang secara hakiki dibatasi
oleh kenyataan bahwa ia adalah anggota masyarakat. Ia harus menyadari bahwa ia
hidup bersama orang lain yang memiliki kebebasan juga, dan ia berada pada suatu
lingkup yang sebenarnya dibatasi atau ditentukan oleh, misalnya, suatu keadaan,
peristiwa, situasi, ruang, waktu, atau aturan. Dengan pembatasan-pembatasan yang ada
itu, maka kebebasan yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada seseorang
haruslah diisi dengan sikap, dan tindakan yang tepat. Orang itu sendirilah yang
menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan keinginan tanpa merugikan orang lain.
Menentukan sikap dan keinginan yang tepat adalah salah satu bentuk tanggung jawab
seseorang.
Ada hubungan yang erat antara kebebasan dengan tanggung jawab. Keputusan
atau tindakan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan oleh diri sendiri, bukan oleh
orang lain. Seseorang tidak boleh melemparkan tanggung jawab kepada orang lain atas
perbuatan yang tidak dilakukan orang itu. Tidak setiap keputusan dapat disebut
52

bertanggung jawab. Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
seseorang, yang berkaitan dengan tugasnya dan kewajiban terhadap apa yang
dilakukannya dan terhadap harapan lainnya, dan itulah nilai-nilai kemanusiaannya yang
sebenarnya. Dengan demikian kebebasan yang dimiliki manusia haruslah diisi dengan
penuh makna tanpa kesewenang-wenangan.
4.3.3 Nilai dan Norma
Di dalam kehidupan manusia ada banyak nilai yang muncul, misalnya nilai
ekonomis, nilai moral, nilai etis, nilai estetis, dan nilai keagamaan. Nilai di sini diartikan
sebagai suatu perangkat untuk melakukan penilaian atas sesuatu. Hasil penilaian dapat
bersifat positif sejauh itu menguntungkan atau memberikan hasil yang memuaskan bagi
yang dinilai. Sedangkan hasil yang negatif menunjukkan bahwa penilaian terhadap
sesuatu dianggap tidak memuaskan, bahkan tidak benar, atau ada semacam kesalahan
yang terjadi ketika unsur-unsur nilai itu muncul. Setiap penilaian atas sesuatu selalu
berkaitan dengan kaidah, atau norma, atau semacam aturan yang mendasarinya. Norma
atau kaidah selalu memiliki semacam kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seseorang ketika ia akan menilai sesuatu. Oleh karena itu muncul anggapan bahwa
norma dapat dianggap sebagai aturan atau kaidah sebagai tolok ukur untuk menilai
sesuatu. Dengan demikian terdapat banyak norma, seperti norma benda, norma hukum,
norma etiket dan norma moral.
Etika mengkaji nilai yang berasal dari moral, dari perbuatan yang baik dan
buruk yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa nilai moral berkaitan
dengan pribadi atau individu yang memiliki tanggung jawab. Nilai-nilai moral
menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung
jawab atas apa yang diperbuatnya. Di dalam nilai moral terdapat norma moral yang
menentukan apakah tindakan kita baik atau buruk. Di antara norma-norma yang ada,
maka norma moral dianggap paling tinggi karena norma moral memberi kita berbagai
pertimbangan secara rasional tentang apa yang menjadi tolok ukur ketika kita
melakukan perbuatan tertentu. Apakah perbuatan atau tindakan itu memiliki kegunaan
bagi seseorang atau tidak, hanya orang itu saja yang mengetahuinya. Oleh karena itu
pertimbangan yang bersifat rasional sangat menentukan mutu dari tindakan seseorang.
4.3.4 Hak dan Kewajiban
Seperti halnya dengan kebebasan, hak merupakan elemen yang sangat
manusiawi yang dimiliki manusia. Pada dasarnya hak merupakan klaim yang dibuat
oleh orang, atau kelompok yang satu terhadap yang lain, atau terhadap masyarakat.
Dengan mempunyai hak, orang dapat menuntut bahwa orang lain akan memenuhi dan
menghormati hak itu. Hak itu dapat berupa hak atas warisan, hak atas tanah, atau hak
atas lingkungan alam. Bermacam jenis hak dapat memperjelas hak yang berkaitan
dengan moral. Untuk itu akan dijelaskan jenis-jenis hak seperti hak legal, hak khusus
dan hak umum, hak individual dan hak sosial, serta hak positif dan hak negatif.
a) Hak legal
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk yang
dimunculkan melalui undang-undang, peraturan, atau dokumen yang sifatnya resmi,
atau yang berasal dari suatu lembaga atau instansi tertentu. Hak legal berfungsi dalam
sistem hukum dan didasari oleh prinsip hukum.
b) Hak khusus dan hak umum
Hak khusus adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Hak
tersebut timbul karena ada relasi khusus antara beberapa orang atau karena fungsi
khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Sebagai contoh, orang tua
mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya dan, di pihak lain, anak memiliki
hak bahwa ia akan diberi makanan serta kebutuhan lainnya oleh orang tuanya. Hak
umum adalah hak yang diberikan kepada seseorang karena ia adalah manusia. Tanpa
kecuali, setiap orang memiliki hak tersebut. Hak umum sering disebut hak asasi
53

manusia (human right atau natural right).


c) Hak individual dan hak sosial
Hak individual adalah hak berupa kebebasan berpendapat, hak berserikat, hak
beragama, hak menetap di suatu tempat, dan sebagainya, yang dimiliki oleh individu
terhadap negara atau suatu masyarakat. Hak individual memperjuangkan hak hati nurani
masing-masing individu. Apabila hak individual diarahkan pada anggota masyarakat
atau suatu kelompok akan muncul hak yang sifatnya sosial. Jadi, hak sosial adalah hak
yang diperoleh seseorang ketika sebagai anggota suatu masyarakat ia berinteraksi
dengan anggota masyarakat lainnya. Contoh hak sosial adalah hak atas pelayanan
kesehatan, hak atas pendidikan. hak atas pekerjaan, dan hak mendapatkan upah yang
layak.
d) Hak positif dan hak negatif
Hak positif timbul apabila seseorang berhak atas tindakan orang lain kepadanya.
Sebagai contoh, seseorang yang ditabrak oleh sepeda motor sehingga terjatuh di jalan
berhak atas pertolongan orang lain. Contoh yang lain, sebagai seorang warganegara
lndonesia saya berhak atas makanan sehat, pendidikan yang baik, dan pelayanan
kesehatan.
Hak negatif timbul apabila seseorang bebas menginginkan, atau mendapatkan
atau menginginkan atau melakukan sesuatu. Contoh hak negatif adalah hak untuk
berbicara di depan kelas, hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi di luar negeri, dan
sebagainya. Dalam hak negatif terkandung suatu maksud yaitu pihak lain atau orang
lain tidak dapat atau tidak boleh menghindari apa yang saya inginkan. Kebebasan
seseorang memungkinkan segala yang diinginkannya dan terwujud dalam hak-haknya.
e) Hak moral
Hak moral adalah hak seseorang yang didasari oleh prinsip atau peraturan etis.
Oleh karena itu, hak moral berada dalam sistem moral, yakni sistem yang memiliki
beberapa elemen atau kaidah moral (hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, hak dan
kewajiban). Kaidah itu saling terjalin sedemikian rupa, dan hasil sistem itu terwujud
dalam tindakan atau perilaku baik atau perilaku buruk manusia. Contoh hak moral ialah
hak seorang dosen untuk mengharapkan mahasiswanya berlaku jujur dalam menjawab
soal ujian.
Bagaimana dengan kewajiban? Kewajiban seseorang tergantung pada hak-hak
yang diperolehnya. Terdapat kewajiban atas hak legal, hak individual dan hak sosial,
hak khusus dan hak umum, serta hak negatif dan hak positif. Kewajiban yang harus
ditunaikan oleh seseorang tidak selalu sama dengan kewajiban orang lain. Hal itu
tergantung pada bagaimana hak-hak diperolehnya. Ketika ia berhak mendapatkan hak
individual, misalnya hak pendidikan di perguruan tinggi, maka ia harus melakukan
kewajiban sesuai dengan haknya itu, yaitu umpamanya membayar uang SPP secara
tepat waktu. Dengan demikian antara hak dan kewajiban terjadi korelasi atau hubungan
timbal balik. Kewajiban dapat terkait dengan hak orang tetapi dapat juga tidak. Menurut
J. S. Mill (Bertens, 2001: 194-196) kewajiban dengan hak orang lain disebut sebagai
kewajiban sempurna, karena adanya prinsip keadilan. Sedangkan kewajiban yang tidak
terkait dengan hak orang lain disebut kewajiban tidak sempurna karena tidak adanya
unsur keadilan.
4.4 PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN
DALAM KEHIDUPAN ILMIAH
Setiap orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang perlu beretika. Tetapi
mengapa dan untuk tujuan apa etika masih diperlukan di masa kini, di Abad
Globalisasi? Etika tidak langsung membuat kita menjadi manusia yang lebih baik (itu
tugas ajaran moral!), tetapi etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis
yang berhadapan dengan berbagai moralitas yang kadangkala membingungkan. Sebagai
54

pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin menimbulkan suatu keterampilan intelektual,
yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi kritis
dibutuhkan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme moral yang
merupakan ciri khas zaman sekarang.
Ada beberapa alasan mengapa etika masih dibutuhkan saat ini. Pertama, terdapat
pandangan-pandangan moral yang beraneka ragam yang berasal dari berbagai suku,
kelompok, daerah, dan agama yang berbeda dan yang hidup berdampingan dalam suatu
masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan teknologi membawa
perubahan besar dalam struktur masyarakat yang akibatnya dapat bertentangan dengan
pandangan-pandangan moral tradisional. Ketiga, muncul berbagai ideologi yang
menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan manusia, masing-masing dengan
ajarannya tentang kehidupan manusia.
Alasan-alasan tersebut yang memicu manusia untuk memikirkan dan
merenungkan kembali pentingnya etika dalam kehidupannya. Selama manusia berupaya
mencari jati dirinya, dan eksistensi dirinya, dan berada dalam suatu situasi kehidupan,
ia memerlukan semacam kompas moral, pegangan dan orientasi kritis agar tidak
terjebak, bingung atau ikut-ikutan saja dalam pluralisme moral yang ada, dan terlebur
dalam kehidupan yang nyata. Peran etika harus menjadi lebih nyata agar orang tidak
mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan kembali
semangat hidup manusia sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik dan bijaksana
melalui eksistensi, dan profesinya.
Dalam kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok perhatiannya
ialah problem dan proses kerja keilmuan sehingga muncullah studi etika keilmuan.
Etika keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang ilmu-wan terhadap kegiatan
yang sedang dilakukannya (belajar, melakukan riset dan sebagainya). Tanggung jawab
ilmuwan dipertaruhkan ketika ia dalam proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam sikap
kejujuran ilmiah. Pokok perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai.
Bebas nilai adalah suatu posisi atau keadaan di mana seorang ilmuwan memiliki hak
berupa kebebasan dalam melakukan penelitian ilmiahnya. Ia boleh meneliti apa saja
sejauh itu sesuai dengan keinginan atau tujuan penelitiannya. Kebalikan bebas nilai
adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam suatu penelitian adalah munculnya
hambatan yang berasal dari luar (norma agama, norma hukum, norma budaya) ketika
seorang peneliti sedang menyelesaikan penelitiannya. Norma-norma tersebut menjadi
semacam pagar yang merintangi kebebasan si peneliti atas dasar tujuan dan
kepentingan norma tersebut. Sebagai contoh, ketika penelitian tentang bayi tabung
pertama kali dikemukakan, muncul penolakan dari berbagai pihak, terutama dari
kelompok agama. Penolakan itu karena kelompok agama berpendapat bahwa
munculnya makhluk baru (bayi) bukan berasal dari kreasi ilmuwan tetapi secara
alamiah berasal dari persatuan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkawinan yang
disahkan oleh norma atau aturan agama.

55

You might also like