You are on page 1of 18

WALKING WITH INIGO

There is no saint without a past, no sinner without a future


-St. Agustinus

A. PENYEMBUHAN dan PERTOBATAN


Inigo de Loyola, orang inilah yang nantinya akan dibentuk oleh Tuhan menjadi St. Ignatius
Loyola. Secara harfiah, kata Loyola berarti tempat yang berlumpur. Layaknya seorang tukang
periuk, Tuhan mengambil dalam tangan-Nya segenggam tanah liat yaitu Inigo dan
membentuknya menjadi sebuah bejana baru. Tanah liat itu akan mempertahankan kandungan
asalinya. Namun, dengan bentuk barunya ia dapat digunakan untuk suatu tujuan yang sangat
berbeda. Inigo akan digunakan untuk membawa penghormatan dan kemuliaan bagi Tuhan,
daripada hanya sekadar mempertahankan kehormatan keluarga Loyola.
1. Seorang manusia penuh lagak pertempuran Pamplona terluka
Sampai sekitar umur 30 tahun, tujuan utama hidup Inigo de Loyola adalah mendapatkan
ketenaran, entah itu melalui aksi-aksi berani sebagai seorang pemuda atau melalui kemenangan
yang diraih secara heroik dalam sebuah pertempuran yang hampir mustahil untuk dimenangkan.
Tidak seperti kakak-kakaknya, yang telah mengabdikan hidup mereka untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan Raja di luar Spanyol, Inigo nampaknya sudah puas
jika ia mendapatkan kemuliaan di tanah kelahirannya. Sebagai pengganti pertempuran di luar
negeri, Inigo selalu siap untuk berduel dengan saingan-saingannya di dalam istana. Ia ingin
meniru pahlawan-pahlawan yang dikisahkan dalam buku-buku roman kepahlawanan. Secara
khusus, kisah Amadis de Gaul memberi Inigo sebuah model keberanian, keperkasaan dan
romantisme.
Saat masih remaja, Inigo digambarkan sebagai berikut:
Walaupun ia terikat pada imannya, cara hidupnya sama sekali tidak sesuai dengan
itu. Ia sama sekali tidak peduli soal dosa. Ia sebaliknya malah sangat menggemari
permainan dan percintaan dengan perempuan, serta petualangan-petualangan yang
melawan norma-norma masyarakat, termasuk di antaranya adalah duel senjata.
Inigo memang sangat memperhatikan penampilannya. Caranya berpakaian menunjukkan
karakternya yang flamboyan dan hasratnya untuk memikat wanita. Ia mengenakan mantel lebar
pada bahunya untuk menonjolkan warna-warna bajunya. Ia juga selalu membawa pedang yang
terikat rapi pada sabuknya. Rambutnya yang sepanjang bahu ditata dengan rapi dan dihias
dengan sebuah topi merah.
Sebagai orang muda berusia pertengahan dua puluhan di istana Adipati Najera, Inigo tidak
banyak berubah:
selama waktu itu hidupnya begitu jauh dari hal-hal rohani. Sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh orang muda yang mencurahkan perhatiannya pada hal-hal yang
1

terkait dengan studi keistanaan dan kemiliteran, ia cukup bebas dalam berhubungan
dengan wanita, berjudi dan berduel untuk merengkuh kehormatan.
Inigo adalah seorang putra sejati keluarga Loyola dan di dalam darahnya mengalir rasa
bangga, hormat serta pengabdian yang setia. Hal-hal ini terus melekat di dalam dirinya. Polanco,
sekretaris Inigo ketika ia menjabat sebagai Jenderal Serikat Yesus, menggambarkan dia sebagai
seorang pribadi yang kuat dan pemberani, serta bergairah dalam melaksanakan karya-karya
besar. Hasrat keluarga Loyola untuk melakukan hal-hal besar mengalir dalam darah Inigo.
Bagi mereka yang berada di Kota Pamplona sangatlah jelas bahwa mereka tidak akan dapat
menahan kekuatan tentara Perancis yang jauh lebih unggul. Akan tetapi, bagi seseorang yang
sedang mencari kemuliaan diri, menyerah bukanlah sebuah pilihan. Bagi Inigo, meninggalkan
kota berarti melarikan diri dan seorang laki-laki pemberani tidak akan pernah melarikan diri dari
bahaya.
Melalui alasan-alasan yang diberikan Inigo kepada komandannya, kita bisa mendapat
gambaran mengenai karakternya:
Ia adalah seseorang yang persuasif. Ia mampu menghimpun berbagai alasan untuk
mendukung pendapatnya.
Ia adalah seseorang yang ambisius dan memiliki idealisme kehormatan dan kemuliaan yang
amat tinggi. Dalam situasi ini, Inigo melihat sebuah kesempatan besar untuk mewujudkan
mimpinya menggapai ketenaran dengan melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa.
Ia memiliki kehendak yang sangat kuat, kegigihan dan sifat keras kepala. Bertahun-tahun
kemudian, seseorang akan membuat sebuah komentar: Inigo sudah memakunya. Ini berarti
apabila Inigo sudah membuat keputusan, sangatlah sulit untuk mengubah pendapatnya. Di
Pamplona, tidak ada satu orang pun yang ingin berperang, tetapi Inigo tidak takut akan rasa
sakit ataupun kematian. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri dan orang lain
demi meraih ketenaran.
Ia sangat percaya akan dirinya sendiri dan kemampuannya. Nantinya ini akan berubah
menjadi kepercayaan kepada Tuhan.
Ia memiliki keberanian dan kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain sehingga
mereka yang sudah putus asa dan kehilangan harapan menjadi bersemangat lagi untuk
mengikuti dia.
Ia memiliki iman Kristiani yang diwariskan oleh keluarganya. Dalam riwayat hidup yang
dibacakan saat kematiannya, ibu Inigo diceritakan sebagai seseorang yang teguh dalam
iman dan taat kepada Gereja. Iman ibunya ini pasti berpengaruh pada seluruh anggota
keluarga yang lain. Di ambang kematian, Inigo berpaling pada Gereja dan menggunakan
sebentuk pengakuan dosa yang umum dan diizinkan pada masa itu.
Dalam pertempuran ini, Inigo membutuhkan sahabat-sahabat yang dapat diandalkan.
Ia adalah seorang pelaksana (man of action) dan penuh gairah. Inigo adalah seorang
pemimpin yang dapat menumbuhkan loyalitas dalam diri anak buahnya.
Setelah enam jam, tentara Perancis berhasil menghancurkan tembok dan menerobos pintu
gerbang. Pada saat inilah, sebuah peluru meriam menghantam kaki kanannya dan kaki kirinya
terluka oleh sebuah batu yang melayang. Perjuangan tentara Spanyol pun berakhir sudah.
2

2. Berada di ambang kematian disembuhkan oleh Tuhan


Reaksi inigo terhadap pengobatan kakinya yang terluka parah memberikan kita gambaran
tentang siapa Inigo sesungguhnya. Ia adalah seseorang yang kuat tidak hanya secara fisik, karena
ia dapat menanggung rasa sakit yang begitu besar dan lalu sembuh, tetapi juga secara mental,
karena ia dapat menentukan prioritasnya dan menggunakan sarana yang diperlukan untuk
mencapai tujuannya. Kesanggupan Inigo untuk menanggung apa yang disebutnya sebagai
sebuah pembantaian ini adalah tanda keteguhannya dalam meraih cita-citanya. Hal ini diamini
oleh kakak laki-lakinya yang mengatakan bahwa ia tidak akan mau menjalani operasi seperti itu.
Ini adalah pengalaman pertama Inigo menghadapi kematian. Ia menyikapinya secara sangat
dingin dan menerimanya sebagai akibat dari luka-lukanya. Selain menerima Sakramen Minyak
Suci, tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa ia membuat sebuah refleksi rohani
saat melewati momen kritis ini.
Secara umum, kematian jasmani tidak nampak sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bagi
Inigo. Dia jauh lebih peduli soal bagaimana menghayati hidupnya. Bagi Inigo, hidup haruslah
didasarkan pada sebuah tujuan yang patut diperjuangkan, entah itu raja duniawi atau raja
surgawi. Bahaya, rasa sakit dan kemungkinan mati adalah bagian dari caranya menghayati
sebuah jalan hidup yang memberinya kepuasan. Kalau ia tidak bisa hidup seperti ini, ia lebih
memilih untuk mati.
Ia berada di ambang kematian dan menerima sakramen-sakramen pada Hari Raya Kelahiran
St. Yohanes Pembaptis. Lima belas tahun kemudian, pada hari yang sama, ia akan menerima
sakramen yang lain, yaitu Imamat. Akan tetapi, pada tahun 1521 ini, St. Petrus juga ikut merawat
dia dan pada Hari Raya St. Petruslah Inigo mulai membaik. Di daerah Azpeitia tempat Inigo
dibesarkan, St. Petrus amat dihormati. Ia juga dijadikan Santo Pelindung sebuah tempat ziarah di
daerah Loyola. Inigo sendiri memiliki devosi pribadi yang mendalam kepada St. Petrus dan
ketika di Arevalo ia pernah menulis sebuah puisi sebagai wujud penghormatannya kepada St.
Petrus.
Walaupun penyembuhannya berlangsung cepat, Inigo tidak menyebutnya sebagai sebuah
mukjizat. Namun, saat melihat ke belakang, ia yakin bahwa Tuhan hadir dan berkarya di tengahtengah kekacauan hidup duniawinya.
3. Memotong tulang yang menonjol keluar menjadi martir bagi kepuasan pribadinya
Inigo dapat dengan tegar menghadapi kematian di Pamplona dan ia dapat menahan rasa sakit
saat dioperasi di Loyola, tetapi ia tidak dapat menerima bentuk lututnya yang telah menjadi amat
mengerikan. Bagaimana ia dapat melanjutkan romantismenya dengan para wanita jika ia telah
kehilangan penampilannya yang elegan dan atraktif? Pedro Ribadeneira, penulis biografi
Ignasius yang pertama, menceritakan bahwa potongan tulang yang menonjol keluar ini
membuatnya tidak bisa lagi memakai sepatu bot ketat. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat
diterima oleh pemuda yang trendi ini.
Keputusannya untuk meminta tulang yang menonjol keluar ini dipotong adalah perwujudan
prioritas dan nilai hidup Inigo. Ia lebih memilih menanggung sebuah kemartiran model baru
3

semacam ini daripada harus berjalan dengan pincang di hadapan para wanita. Hidup dan pikiran
Inigo masih berpusat pada kesenangan pribadinya daripada hasrat untuk menyenangkan Tuhan.
Selain luka di kakinya, ia juga terluka di dalam caranya memahami tujuan hidup dan ini
membutuhkan perawatan selama berbulan-bulan dari Tuhan sebelum ia akhirnya sembuh.
Namun, untuk saat ini, ia siap untuk menjadi seorang martir bagi kepuasan pribadinya. Di dalam
diri Inigo ada ketetapan hati dan kehendak sekeras besi, seperti besi di pegunungan yang
mengitari Istana Loyola.
4. Tuhan kita memulihkan kesehatannya diberikan buku-buku rohani sebagai bahan
bacaan
Penderitaan jasmaninya tak kunjung berakhir. Agar satu kakinya tidak menjadi lebih pendek
daripada yang satunya, tim dokter menggunakan sebuah alat untuk merentangkannya. Ini
melahirkan rasa sakit yang luar biasa dan membuatnya tidak bisa berjalan selama beberapa hari.
Metode ini ternyata amat sukses karena dengan hanya memakai sepatu yang sedikit lebih tinggi,
perbedaan kakinya tidak akan terlihat.
Sebenarnya cara Inigo menggambarkan dirinya sebagai seorang martir adalah sesuatu yang
sangat ironis. Dalam pemahaman religius, seorang martir adalah seseorang yang disiksa
oleh orang lain dan menderita karena imannya kepada Tuhan. Dalam kasus Inigo, ia
sendirilah yang menyebabkan sakit dan penderitaan bagi dirinya dan ia melakukan ini
untuk kesenangan pribadi dan citra dirinya yang fana.
Lebih jauh lagi, penjelasan Inigo tentang bagaimana Tuhan sedang memulihkan
kesehatannya memiliki dua makna. Tuhan tidak hanya berkehendak agar Inigo tidak mati dan
secara lembut memulihkan kesehatan dan kekuatannya. Tuhan juga sedang memulai sebuah jenis
penyembuhan lain dalam batin Inigo. Tuhan menggunakan waktu selama berbulan-bulan di mana
Inigo terpaksa beristirahat untuk membangunkannya dari mimpinya tentang kemuliaan duniawi
dan membawanya ke dalam dunia pengabdian yang nyata.
Cara digunakan oleh Tuhan ialah buku. Karena terpaksa beristirahat di atas tempat tidur,
Inigo meminta beberapa buku untuk dibaca. Buku-buku yang diinginkannya adalah buku-buku
tentang dunia fantasi yang sebelumnya begitu merasuki imajinasinya dan membawanya ke dunia
dosa; yang dipenuhi percintaan, pertengkaran dan ilusi kemuliaan semu. Buku-buku ini bercerita
tentang gergasi, naga, penyihir dan aneka musuh lain. Melalui cerita-cerita seperti ini ia ditipu
dan dibuat percaya bahwa semua itu akan memuaskan hatinya. Saat berada di antara temboktembok Benteng Pamplona, ia pastinya melihat dirinya sendiri sebagai salah seorang pahlawan
romantis seperti yang diceritakan dalam buku-buku ini.
Namun, buku-buku yang ada di rumah itu hanyalah buku-buku yang dibawa oleh kakak
iparnya ke Istana Loyola. Buku yang pertama adalah Riwayat Hidup Kristus dan yang kedua
adalah buku Riwayat Para Kudus. Buku-buku ini tidaklah menarik bagi Inigo, tetapi, ia
sungguh sedang bosan.
Buku Riwayat Para Kudus (Flos Sanctorum) diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol oleh
seorang Dominikan bernama Jacobs de Voragine. Inigo menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk membaca buku ini. Di dalam buku ini termuat kisah-kisah seru tentang bentuk-bentuk
kepahlawanan dan kesetiaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di awal masa hidupnya,
Fransiskus Asisi hidup dalam kesia-siaan sampai ia akhirnya jatuh sakit dan diubah menjadi
seorang manusia baru. Dia tidak lagi mengenakan pakaian mewah karena ia lebih memilih
mengenakan pakaian seorang pengemis. Ide ini nantinya akan ditiru oleh Inigo.

Dia juga membaca cara Kristus menggambarkan Dominikus, Sesungguhnya, orang ini
adalah seorang ksatria baik yang gagah berani. Mungkin, suatu hari nanti Kristus akan
mengatakan hal yang sama tentang Inigo.
Iman Inigo, yang sejak awal sederhana, membuatnya mudah untuk menangkap kehidupan
seperti ini. Kristus menampakkan dirinya sebagai seorang pahlawan dan pemimpin seperti lakilaki hebat dalam kisah-kisah kepahlawanan yang ia baca di masa lalu. Para kudus terlihat seperti
ksatria-ksatria yang melayani Kristus dan masuk ke dalam kekudusan untuk meraih kemenangan.
Dengan cara seperti itulah Inigo membaca buku-buku tersebut.
5. Ia membaca ia berpikir ia terbuai oleh bayangan tentang perempuan impiannya
Inigo sebenarnya tidak hanya sedang membaca, tetapi juga sedang berpikir. Pada saat ini,
pikiran Inigo terpusat pada dua alternatif. Salah satunya berkisar pada kelanjutan hidup masa lalu
Inigo di istana. Ia mengingat-ingat waktu yang telah ia habiskan di sana, bagaimana ia
mengalami kebahagiaan ketika hidup di dalam istana dan bagaimana ia bermimpi melakukan
hal-hal berani yang mengesankan para wanita. Ribadeneira menggambarkan bahwa pada saat ini,
Inigo adalah seorang laki-laki mudah penuh tawa, mencintai tata krama dan hidup yang baik
(the good life). Ia amat bangga akan rambut pirangnya yang panjang, kukunya yang terawat
rapi, pakaiannya yang menarik dan caranya bergaya di hadapan orang lain. Ia adalah seorang
hidalgo yang sombong dan manja. Dengan semua yang dimilikinya, siapa yang dapat menolak
Inigo. Ia pun mulai membayangkan bagaimana ia akan memenangkan hati seorang perempuan.
Kita tidak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya perempuan ini, tetapi ia mungkin adalah
Putri Katarina dari Portugal.
6. Tuhan memberinya mimpi-mimpi lain manakah yang harus dipilih?
Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan lain yang mencuri perhatiannya dan yang ini berasal
dari Tuhan dan bukan dirinya sendiri. Kisah hidup para kudus, khususnya St. Fransiskus dari
Asisi dan St. Dominikus, memberinya contoh bagaimana dia dapat menjadi sempurna dan
memperoleh sebuah ketenaran model baru, yang berbeda dengan bayangan dia sebelumnya.
Ketika membaca kisah hidup St. Fransiskus, ia tentu akan dikejutkan oleh kemiripan antara
dirinya dengan St. Fransiskus. Seperti apakah reaksi yang muncul dalam dirinya ketika ia
membaca dalam Flos Sanctorum bahwa Tuhan menghukum St. Fransiskus dengan kelemahan
karena ia telah menghabiskan dua puluh tahun pertama hidupnya dalam kesombongan, dan
Tuhan mengubah dia pada jam itu juga menjadi seorang manusia yang berbeda? Inigo
kemudian merefleksikan bahwa ia telah hidup selama tiga puluh tahun mengejar kemuliaan
duniawi dan sekarang ia juga sedang diserang oleh sebuah penyakit. Mungkinkah bahwa Tuhan
sedang memintanya untuk mengubah gaya hidupnya?
Akan tetapi, saat ia memikirkan dan merenungkan masalah ini, hasratnya untuk
berkompetisi muncul. Walaupun motivasinya lebih dipengaruhi oleh hasrat tak terolah untuk
memenangi sebuah adu kesucian daripada hal-hal lain yang sifatnya lebih rohani, ia tak ingin
dikalahkan oleh St. Fransiskus dan St. Dominikus. Ia tidak hanya ingin melakukan hal-hal yang
telah dilakukan oleh mereka. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih daripada apa yang telah
dilakukan oleh mereka. Di dalam dirinya ada sebuah dorongan, dan ini akan sangat nampak
ketika ia berada di Manresa, meskipun saat itu ia sudah mulai melewati proses pemurnian.
Sangat mungkin juga bahwa ia melihat dirinya sebagai seseorang yang melebihi St. Fransiskus
dalam hal keberdosaan dan oleh karena itu ia merasa bahwa ia juga harus melebihinya dalam hal
5

penitensi. Ia masih sangat terpusat pada dirinya sendiri dan hal-hal besar yang ingin ia perbuat
sehingga penitensi dan tindakan-tindakan semacam itu nampak mudah baginya. Jiwa ambisius
Inigo di Pamplona belumlah hilang. Di benteng ini, Inigo menampakkan keberanian,
menanggung sakit dan siap menghadapi kematian. Sekarang, ia dapat menggunakannya untuk
menjadi seperti para kudus, seakan-akan ketenaran masih dapat diraihnya dengan cara ini.
Sejak saat ini, tanggapan Inigo sudah jelas. Apa yang sebelumnya hanya berada pada tataran
pemikiran kini telah menjadi sebuah keputusan bulat:

untuk mengikuti jejak para kudus dengan menghayati hidup dengan matiraga yang
kuat
untuk melaksanakan ziarah ke Yerusalem.

B. SI PEZIARAH MEMULAI PERJALANANNYA


7. tantangan orang Moor kebingungan apakah dia sudah sungguh-sungguh berubah?
Orang-orang Moor memiliki stigma sosial yang buruk di Spanyol pada masa itu sampaisampai sebagian besar dari mereka diusir keluar dari negara itu. Keluarga Loyola juga tidak
terlalu menoleransi keberadaan mereka. Maka, kemauan Inigo untuk berbicara dengan orang
Moor tersebut merupakan sebuah tanda perubahan dalam diri Inigo. Kita tidak tahu bagaimana
mereka bisa mulai mempercakapkan Bunda Maria. Mungkin mereka saling bertanya ke mana
mereka akan pergi dan Inigo menyebut bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Montserrat.
Percakapan mereka dimulai dengan tenang, tetapi ketika mereka mulai membahas keperawanan
Maria, nada pembicaraan mereka segera berubah.
Orang-orang Moor sendiri sebenarnya mempunyai penghargaan yang besar kepada Maria
dan Al-Quran juga mengajarkan bahwa ia mengandung secara ajaib. Akan tetapi, mereka percaya
bahwa ia melahirkan Yesus secara wajar. Mereka menambahkan bahwa kelahirannya terjadi di
bawah sebuah pohon palem. Inigo, yang memang tidak memahami Teologi Islam, begitu
menentang pendapat seperti ini sehingga timbulah sebuah perdebatan yang panas di antara
mereka. Seandainya Inigo hidup di masa ini, dia mungkin bisa diharapkan untuk lebih dapat
menerima pemahaman orang Moor tersebut. Orang Moor itu mulai menyadari bahwa Inigo
mulai marah dan memutuskan untuk segera meninggalkan medan pertempuran.
Apa yang terjadinya selanjutnya merupakan bagian yang sangat penting.
Kode etik ksatria menuntut seorang ksatria untuk membalas dendam apabila kehormatan
putrinya dinodai. Maria telah dihina. Apakah yang akan dilakukan oleh Inigo? Pikiran dan
perasaannya campur aduk. Ia merasa telah gagal melaksanakan tugasnya dan merasa tidak puas
dengan dirinya sendiri. Semakin ia memikirkan hal tersebut, ia menjadi semakin marah (dengan
orang Moor tersebut atau dengan dirinya sendiri?) dan akhirnya dikuasai oleh keinginan untuk
membunuh orang Moor tersebut. Kemarahan adalah sebuah bentuk emosi yang begitu berbahaya
dalam diri Inigo. Sewaktu muda, ketika ia sedang berjalan di Kota Pamplona, ia didorong secara
paksa ke tembok oleh sekelompok orang. Dalam sekejap ia mengeluarkan pedangnya dan
mengejar orang-orang itu ke jalan. Berdasarkan laporan saksi mata, Seandainya tidak ada orang
6

lain yang menahan dia, dia pasti sudah membunuh beberapa dari mereka atau malah mereka
yang akan membunuh dia. Kini, kemarahan yang serupa tertuju kepada orang Moor ini.
Dalam paragraf ini, Inigo untuk pertama kalinya menggambarkan dirinya sebagai seorang
peziarah, dan ini akan menjadi caranya memandang dirinya sendiri sepanjang Autobiografinya.
Peziarah berarti seseorang yang bepergian, berkelana dan membuka dirinya kepada Tuhan.
Peziarahan adalah sebuah pencarian akan arti yang lebih mendalam bagi hidup seseorang. Oleh
karena itu, hal ini merupakan gambaran dari pertobatan yang terus-menerus. Dalam hal ini
pertobatan berarti terjadinya perubahan di dalam setiap dimensi hidup seseorang:

apa yang mereka cintai


apa yang mereka impikan
apa yang mereka bayangkan pilih
Pada hakikatnya, ziarah selalu mencapai titik terdalam diri seseorang.

Inigo adalah seseorang yang sedang mencari sesuatu. Hidup yang ia jalani sebelumnya
dipenuhi oleh mimpi-mimpi semu yang tidak membawanya pada suatu hidup yang sejati.
Sekarang ia mengira bahwa ia telah menemukan arti hidup yang sesungguhnya, yaitu menjadi
seorang peziarah. Dalam arti tertentu, ia memang sudah menemukannya. Namun, ia masih tetap
harus belajar tentang arti sebenarnya dari menjadi seorang peziarah. Menjadi peziarah tidak
hanya berarti bepergian menuju Yerusalem, tetapi meliputi perubahan secara menyeluruh di
dalam diri seseorang. Tuhan akan menunjukkan hal ini kepadanya secara perlahan-lahan.
8. diskresi keledai perhatian Tuhan pakaian peziarah
Peristiwa dengan orang Moor ini memang suatu kejadian yang penuh humor dan Inigo
sendiri pasti siap untuk mentertawakan dirinya sendiri dan kelakuannya. Walaupun ia
menyatakan bahwa jalanan ke desa begitu lebar dan baik, sebenarnya yang ia maksud mungkin
adalah sebuah jalanan kecil di samping kota Pedrola. Keledai yang ia tumpangi, mungkin karena
merasakan tarikan Tuhan di temalinya, tidak tergoda untuk berpindah jalan dan berjalan terus di
jalan utama. Ia pun dengan penuh kekaguman mulai memahami bahwa Tuhan telah hadir dalam
begitu banyak peristiwa hidupnya.
Persis sebelum Montserrat, Inigo melewati kota Igualada. Di sini ia kembali menunjukkan
kemampuannya menata diri dan memperhatikan hal-hal kecil. Di Loyola ia telah meninggalkan
pakaian yang menunjukkan status kebangsawanannya. Sekarang, karena ia sudah merencanakan
untuk memeluk cara hidup seorang peziarah, ia membeli bahan pakaian yang akan
menggambarkannya pilihannya tersebut. Meskipun ia tidak menyebutkannya, ia juga membeli
sepasang sandal yang terbuat dari tali. Ia kini sudah siap untuk membuat sebuah akhir pada hidup
masa lalunya secara ksatria. Menarik memang untuk mencermati apa yang disimbolkan dari
pakaian-pakaian yang ia pakai sepanjang hidupnya dan bagaimana itu dapat menimbulkan
masalah baginya.
9. seorang Amadis baru keputusan untuk membuat vigili sebagai seorang ksatria
Montserrat berada sekitar 550 kilometer dari Loyola. Jarak geografis antara dirinya dengan
Istana Loyola ini dapat mencerminkan perubahan rohani yang terjadi dalam dirinya. Dia
nampaknya tiba di Montserrat pada 21 Maret 1522, pada hari peringatan St. Benediktus. Kirakira sekitar 5.000 orang turut hadir merayakan peringatan ini.
7

Selama di perjalanan, ia membiarkan pikirannya silih berganti antara buku bacaan roman
ksatria dan buku-buku yang ia baca di Loyola. Apa yang ingin ia lakukan sekarang tidak lagi
untuk mendapatkan cinta seorang wanita di istana, seperti yang pernah ia bayangkan sewaktu di
Loyola, melainkan untuk merasakan cinta Tuhan. Dia membayangkan dirinya sebagai seorang
Amadis yang berbeda, yaitu Amadis Kristus yang siap mengambil resiko dan melakukan
perbuatan hebat demi Tuan barunya ini.
Gambaran tentang seorang ksatria pemberani yang mendapat kehormatan dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak berani dilakukan oleh orang lain telah terpatri di dalam benak
Inigo. Ketika mulai mendekati Montserrat, perbuatan heroik para ksatria memenuhi kepala
Inigo dan sungguh menarik perhatiannya sampai-sampai ia ingin meniru mereka, sebagaimana ia
ingin meniru para kudus. Sebelum dijadikan ksatria, Amadis melakukan pengakuan dosa dan
menghabiskan semalaman berdoa dengan memegang pedangnya untuk memohon rahmat Bunda
Maria. Kisah ini diceritakan secara terperinci dalam buku Amadis:
semua terkesima menatapnya berlutut penuh devosi dan dengan rendah hati
memohon Bunda Maria menjadi perantaranya di hadapan Putranya yang mulia dan
membantu serta membimbingnya sehingga dengan menjadi pelayannya ia pantas
untuk menerima kehormatan yang didapatnya dan untuk mencurahkan rahmatnya
dari kebaikannya yang tak terhingga, sehingga ia dan bukan orang lain yang dapat
mengembalikan Raja Lisuarte ke tahtanya Jadi, ia berjaga sepanjang malam tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, kecuali untuk doa-doa ini dan doa lainnya,
mengingat bahwa tidak ada kekuatan atau keberanian betapa pun besarnya yang lebih
berharga dan bernilai daripada kehormatan yang diberikan kepadanya.
Ritual yang menunjukkan dedikasi juga diharapkan dari seorang ksatria sebelum ia pergi
berperang. Inigo memutuskan untuk mengikuti jejak para ksatria yang kisah hidupnya telah
begitu mempengaruhi hidupnya ini.
Tahap berikut dari ritual ksatrianya adalah melaksanakan secara konkret perubahan arah
hidupnya. Di dalam tindakannya ini, terjadi sebuah kombinasi dua citra yang penting, yaitu
ksatria dan peziarah. Dia akan mengenakan pakaian ksatria, tetapi baju zirah yang ia kenakan
tidak terbuat dari besi atau kulit yang kuat, melainkan karung goni. Ini berarti ia memilih untuk
mengenakan baju zirah seorang ksatria Kristus yang miskin. Dia berjaga dengan senjatanya
sepanjang malam dan lalu senjata ini, yang di masa lalu hidupnya telah begitu sering
membawanya ke jalan yang salah, dipersembahkan kepada Maria, seperti para peziarah lain
meninggalkan persembahan mereka di Gua Maria ini.
Seorang ksatria sejati mendapatkan motivasi untuk melakukan aksi ksatrianya yang
terhormat dari rasa cinta yang dimilikinya terhadap wanita idamannya. Wanita yang cintanya
akan memberi Inigo motivasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan kudus
adalah St. Maria. Kepada Bunda Kristus inilah Inigo mendedikasikan peziarahannya.

C. MANRESA
Awalnya Inigo hanya berniat menghabiskan beberapa hari saja di Manresa. Namun, ia
akhirnya tinggal di sana selama sebelas bulan. Periode ini menjadi sebuah masa pembelajaran
8

yang penuh kejutan bagi Inigo, si novis. Ia meninggalkan kota ini setelah mendapatkan begitu
banyak pengalaman pribadi dan penerangan yang bersifat mistik dari Tuhan sendiri. Periode ini
adalah masa di mana ia diubah oleh Tuhan menjadi seorang manusia rohani, yang dapat
membantu orang-orang lain dengan kesulitan-kesulitan rohani mereka.
Inigo langsung memulai hidupnya sebagai seorang peziarah dengan mengemis dan
berpuasa. Ia sudah begitu ingin melakukan hal-hal ini dan sekarang hatinya dipenuhi dengan
kegembiraan dan kedamaian. Setiap hari Minggu, ia menyempatkan diri untuk merayakan hari
yang disebut sebagai hari Tuhan ini. Di Manresa, Inigo mengemis tidak hanya bagi dirinya
sendiri. Bela rasa yang ia tunjukkan bagi orang miskin di Montserrat telah membuka matanya. Ia
pun terdorong untuk keluar dari dirinya sendiri dan mulai memperhatikan orang lain. Dia tinggal
di Rumah Sakit St. Lusia dan makan bersama-sama orang-orang miskin dan melayani segala
keperluan mereka. Ia tidak peduli betapa rendah atau terhinanya mereka. Dia rela berjalan ke
penjuru-penjuru kota mengumpulkan sumbangan, yang digunakannya untuk membantu orangorang yang miskin dan terlantar. Ia sering mengunjungi orang sakit dan menghibur yang
menderita. Dari waktu ke waktu, ia meninggalkan Rumah Sakit St. Lusia, tempat di mana ia
melayani orang miskin, untuk pergi ke sebuah gua di luar kota, di mana ia melakukan matiraga
keras dan berkanjang dalam doa. Pada hari-hari awal di kota ini, ia tidak peduli akan rupanya.
Anak-anak kecil di kota itu sering mentertawakannya dan memanggilnya karung goni tua saat
ia berjalan dengan kaki pincangnya di jalanan kota Manresa.
Selama proses pertobatannya yang dimulai sejak ia berada di Loyola, Inigo telah menerima
begitu banyak pelajaran, tetapi tidak dari upayanya sendiri. Dia seperti seorang anak kecil yang
sedang menerima pelajaran dari seorang guru yang sabar. Dia pasti mengingat hari-harinya di
Loyola ketika ia sebagai seorang anak kecil diajarkan menulis dan membaca dan bagaimana ia
begitu terpesona pada kekuatan ilmu baru yang sedang dipelajarinya itu. Sekarang gurunya
adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah satu-satunya guru yang ia punyai dalam proses
perkembangan hidup rohaninya.
Sekarang, dengan mengikuti Yesus, Inigo siap untuk memulai perjalanannya ke Yerusalem.
Di Pamplona, Inigo telah menunjukkan keberanian duniawi pada mereka yang mempertahankan
benteng kota bersamanya. Di Manresa, Tuhan telah memampukannya untuk menyampaikan
sesuatu yang berbeda pada mereka yang berada di sekitarnya, yatu kekuatan dan idealisme
rohani. Dia tidak lagi menggantungkan diri pada pedang dan belatinya, tetapi pada
pengalamannya menjalankan Latihan Rohani.

D. ZIARAH KE YERUSALEM
10. melihat kota untuk pertama kalinya keputusan untuk tinggal di sana masalah
dengan para penjaga
Inigo dapat mengenang dengan jelas peristiwa-peristiwa ini, yang membuatnya tidak dapat
mengesampingkan keinginannya untuk mengunjungi Tanah Suci. Dia mengenang kembali
tempat-tempat keramat dalam hidupnya:
Loyola, di mana hidupnya mendapat arah baru
Montserrat, di mana lewat vigili semalaman suntuk ia mempersembahkan diri sebagai
ksatria Kristus dan mengenakan busana Kristus
9

Manresa, di mana Tuhan telah mengajarkannya begitu banyak hal


Sekarang ia telah tiba di tempat-tempat yang dikuduskan oleh kehadiran Tuhan sendiri. Dia
menyiapkan diri dengan mengingat-ingat semua yang telah ia baca dalam Riwayat Hidup
Kristus tentang tempat-tempat yang pernah dilalui oleh Yesus.
Ketika ia pertama kali memandang Yerusalem, hatinya dipenuhi dengan kegembiraan luar
biasa. Dari reaksi mereka, para peziarah lain pun jelas mengalami hal serupa. Hal ini sepertinya
mempunyai sesuatu yang sangat khusus. Ia merasakan kegembiraan begitu mendalam yang tidak
mau meninggalkannya. Ini adalah rahmat amat khusus dari Tuhan. Dunia Tanah Suci seakanakan lalu menjadi Injil ke-lima bagi Inigo yang membuka kehadiran Tuhan sehingga kapanpun
ia berziarah ke tempat-tempat suci ia akan selalu merasakan kegembiraan yang sama.
Selama lebih dari satu tahun Inigo amat merindukan untuk mengunjungi tempat-tempat suci
ini. Hidupnya sekarang berpusat pada Kristus dan pengabdian kepada-Nya. Dengan mengunjungi
tempat-tempat di mana Tuhan secara fisik telah hadir, Inigo mengalami pertumbuhan rohani dan
mendapat gambaran yang lebih utuh tentang Kristus.
Niatnya semula adalah mengunjungi Yerusalem dan lalu kembali ke Spanyol [12]. Namun,
fakta bahwa ia telah membawa surat rekomendasi pada para Fransiskan menunjukkan bahwa
pada tahap tertentu ia pasti telah memikirkan secara lebih serius untuk tinggal lebih lama. Ini
mungkin terjadi ketika di Manresa, ketika pengalaman rohaninya meneguhkan hasratnya dan
mengembangkan kemampuannya untuk menolong sesama [26]. Jika digabungkan dengan
keinginannya untuk berziarah, ia mungkin berpikir bahwa Tanah Suci adalah tempat untuk
melakukan hal ini.
Bagi Inigo, Yerusalem, seperti Pamplona, akan menjadi peristiwa traumatik dalam hidupnya
dan juga sebuah panggung bagi perubahan besar berikutnya dalam hidup Inigo.
Ketika memberitahu para penjaga Tanah Suci bahwa ia ingin tetap tinggal dan mengunjungi
tempat-tempat suci, penjaga itu menjelaskan bahwa para Fransiskan tidak dapat mendukung dia.
Mereka sendiri kekurangan uang sehingga harus mengirim beberapa biarawan mereka kembali
ke Eropa. Inigo menjelaskan bahwa apa yang ia harapkan dari mereka hanyalah untuk
mendengarkan pengakuan dosanya. Ini nampak sebagai sesuatu yang wajar bagi penjaga, tetapi
ia kemudian menjelaskan bahwa hanya Pater Provinsial yang dapat memberikan persetujuan
akhir.
11. mempersiapkan diri untuk menetap keyakinan untuk bertahan diperintahkan
untuk pergi
Seperti yang dikatakan di atas, adalah sesuatu yang wajar bagi para peziarah untuk
menghabiskan hari-hari terakhirnya beristirahat dan selama itu, mereka tidak boleh pergi tanpa
ditemani orang Turki untuk menjaga dan melindungi mereka. Inigo menggunakannya untuk
menulis surat. Ia begitu yakin bahwa ia akan diberikan izin tinggal sehingga ia mulai menulis
surat kepada teman-temannya di Barcelona untuk memberitahu mereka bahwa rencananya telah
berubah. Salah satunya ditujukan kepada Ines Pascual dan ini menceritakan tentang seluruh
pengalamannya selama di Tanah Suci. Ribadeneira telah membacanya. Namun, sayang surat
tersebut hilang, padahal surat ini pasti akan menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan.
Ketika ia sedang menulis surat, dia dipanggil oleh Pater Provinsial Fransiskan. Ia memuji
niat baik Inigo, tetapi ia tidak dapat memperbolehkannya untuk tinggal karena terlalu berbahaya.
Di masa lalu, beberapa peziarah telah dibunuh dan ada yang ditangkap sehingga harus ditebus
oleh para religius. Inigo menyatakan bahwa tekadnya sudah bulat dan ia tidak takut. Dia begitu
10

yakin dalam hatinya bahwa hingga saat ini Tuhan telah begitu memperhatikannya dan ia percaya
bahwa hal ini akan terus berlangsung di masa depan.
Sekarang ia akan segera belajar hal baru tentang diskresi. Walaupun kita yakin bahwa Tuhan
memanggil kita untuk mengambil sebuah keputusan, ini bukan berarti bahwa Tuhan
menghendaki keputusan tersebut dilaksanakan.
Ini bisa jadi merupakan sebuah ujian, di mana Tuhan sedang menguji kemurahan hati dan
kesiapan kita untuk mengikuti jalan yang sulit. Inigo harus belajar bahwa keputusan yang
didiskresikannya bukan merupakan jalan yang Tuhan kehendaki. Seberapa merdekakah orang ini
di hadapan Tuhan? Terkadang, keputusan akhir berada di tangan otoritas Gereja dan inilah yang
persis terjadi di sini. Provinsial mengatakan bahwa ia tidak hanya mempunyai otoritas dari Tahta
Suci untuk menyuruh orang untuk pergi, tetapi juga untuk mengekskomunikasi mereka jika
mereka menolak untuk taat.
Hal ini pasti sangat mengejutkan bagi Inigo. Ini adalah pertama kalinya ia berseberangan
dengan Gereja dan ujian pertamanya dalam hal ketaatan. Sebelumnya, orang-orang telah
memberinya nasihat, tetapi ia merasa bebas untuk mengikutinya atau tidak. Hanya saja, pada saat
seperti ini, di mana ia tidak tahu harus mengambil keputusan apa, ia lalu berkonsultasi dengan
pihak Gereja lewat figur seorang bapa pengakuan. Sekarang, ia sedang sungguh-sungguh diuji.
Apakah ia setia dengan Gereja? Dalam sejarahnya, keluarga Inigo telah setia dan menghormati
Gereja. Ibunya setia dalam iman dan secara khusus dipuji karena ketaatannya pada Hierarki
Gereja. Sekarang, anaknya sedang diuji dalam hal serupa.
12. kehendak Tuhan menjadi jelas melakukan devosi-devosi untuk terakhir kalinya
Tanggapan Inigo sendiri mengejutkan. Dua kali dalam paragraf sebelumnya ia menyatakan
bahwa tekadnya untuk tinggal begitu bulat sehingga tidak akan ada alasan yang dapat
menggagalkannya. Hanya ada satu alasan yang dapat mengubahnya, yaitu otoritas Gereja. Di
dalamnya, ia melihat perwujudan kehendak Tuhan bagi dirinya. Dia taat dengan begitu cepatnya
sehingga ia bahkan tidak merasa perlu melihat dokumen-dokumen resmi.
Kehendak Tuhan telah menjadi jelas dalam masalah utama yang dihadapi Inigo, yaitu
apakah ia akan terus tinggal di Tanah Suci. Akan tetapi, autoritas Gereja tidak berkata apa-apa
tentang mengunjungi Bukit Zaitun sekali lagi.
Dia telah menghabiskan 21 hari yang penuh kenangan di Tanah Suci. Ia dengan penuh
keengganan meninggalkannya demi ketaatan pada Gereja. Namun, hasrat untuk kembali tetap
tinggal dalam dirinya dan mengemuka kembali ketika ia sudah bersama sahabat-sahabatnya pada
tahun 1535. Pada kesempatan ini, ini akan kembali gagal pergi ke Tanah Suci dan lalu
menghabiskan 16 tahun sisa hidupnya di Roma.

E. KEMBALI KE SPANYOL
13. Apa yang harus ia lakukan terdorong untuk studi pemberi derma
Setelah dua setengah bulan berada di laut, mereka tiba di Venezia pada pertengahan bulan
Januari 1524.
Selama perjalanan panjang di laut dari Yerusalem, Inigo mempunyai banyak waktu untuk
berpikir. Satu hal yang baginya telah menjadi jelas adalah Tuhan tidak menghendaki agar ia
tinggal dan bekerja di Tanah Suci. Hasrat untuk pergi ke Yerusalem ini lahir ketika ia masih di
11

Loyola dan telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah niat yang kokoh dan
keyakinan teguh bahwa inilah tempat yang Tuhan kehendaki baginya. Akan tetapi, keputusan
otoritas Gereja menjadikan keinginan ini tidak mungkin untuk diwujudkan. Dia pasti merasa
sangat bingung tentang cara Tuhan membimbingnya.
Maka, ia sekarang bertanya, Apa yang Tuhan ingin untuk saya lakukan?
Inigo tidak lagi bertanya bagaimana ia ingin mengabdi Tuhan, melainkan bagaimana
Tuhan ingin diabdi olehnya.

Dia merenung dan bertanya pada dirinya sendiri, Apa yang harus aku lakukan? Perhatikan
bahwa ia tidak bertanya, Apa yang ingin aku lakukan? tetapi Apa yang Tuhan minta untuk
aku lakukan?

Cara bertindak ini khas Inigo. Ia merefleksikan pengalamannya untuk mendapatkan buah dan
pembelajaran darinya.
Kecenderungannya untuk studi adalah sesuatu yang baru dan mengejutkan. Dari manakah
asal keinginannya untuk studi ini? Tidak ada indikasi yang jelas. Hal ini pasti merupakan sebuah
keputusan sulit baginya, karena menurut Ribadeneira, sepanjang hidupnya studi senantiasa
menjadi sesuatu yang sulit baginya. Mungkin dalam keheningan permenungannya, Roh
Kudus menyatakan bahwa dia harus studi jika ingin dapat membantu jiwa-jiwa. Dalam tahuntahun berikutnya, pengalaman-pengalaman Inigo menunjukkan kebenaran hal ini.
F. STUDI DI BARCELONA, ALCALA, dan SALAMANCA
14. memulai studi di Barcelona
Inigo tiba di Barcelona antara awal hingga pertengahan bulan Maret 1524. Di kota inilah
Inigo memulai pendidikan lanjutnya, yang nantinya akan bercorak lebih akademis daripada
rohani. Inigo kini harus mencari tahu bagaimana mempelajari unsur-unsur tata bahasa Latin akan
membantunya mencapai keinginannya membantu orang lain bertumbuh dalam Roh.
Inigo bukanlah seseorang yang terlahir untuk menjadi seorang pelajar. Ia tidak pernah
menunjukkan cinta yang mendalam pada hidup akademis. Sebelas tahun studi yang akan
dijalaninya pastilah merupakan sebuah ujian bagi kegigihan Inigo. Inigo memulai studinya
dengan mempelajari dasar-dasar gramatika Bahasa Latin sembari duduk di lantai dengan anakanak kecil. Ia mencoba sebisanya untuk menghafalkan materi-materi yang diberikan kepadanya.
Akan tetapi, cintanya yang utama adalah pada hal-hal rohani.
15. disarankan untuk studi lanjut diejek karena mengemis
Walaupun mengalami banyak kesulitan, Inigo berhasil menyelesaikan studinya. Gurunya
lalu menyarankan agar ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Alcala.
Inigo sepertinya meninggalkan Barcelona pada akhir bulan Maret 1526 untuk memulai
perjalanan sejauh 640 kilometer menuju Alcala. Inigo bepergian seorang diri. Ini selalu menjadi
keputusannya sampai saat ini.
12

mengumpulkan sahabat-sahabat dan ini adalah sebuah keinginan yang baru dan penting
bagi dirinya.
Sahabat yang bergabung pertama kali dengan Inigo adalah Calixto, yang merupakan
keturunan orang Portugis. Dua orang berikutnya yang akan bergabung dengannya adalah dua
orang Spanyol, yaitu Arteaga dan Caceres. Orang yang keempat ialah orang Perancis bernama
Jean Reynalde, yang akan bergabung dengannya di Alcala.
Sejak di Manresa, Inigo hidup dalam keadaan yang begitu miskin. Mengemis telah menjadi
cara yang biasa ia lakukan untuk mendapatkan makanan. Selama tahun-tahun awal studinya, ia
terus melakukan hal ini. Ini adalah bagian dari ketergantungannya secara penuh pada Tuhan dan
keinginannya untuk hidup dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian. Sebagai orang miskin yang
tidak dikenal, ia bergantung pada amal kasih sesama. Akan tetapi, ketika di Alcala, ia merasakan
akibat dari keputusannya untuk mengemis. Sebuah kelompok, termasuk di dalamnya seorang
Imam, mulai mentertawakan dan mengejeknya ketika melihat ia mengemis.
16. studi di Alcala
Inigo nampaknya tiba di Alcala pada bulan Maret 1526. Ia lalu pergi meninggalkan kota ini
pada bulan Juni 1527, atau bahkan mungkin lebih awal. Ada satu hal menarik yang pantas untuk
dicatat. Selama Inigo berada di Alcala, ada empat orang lain yang juga sedang studi di sini dan
nantinya akan bergabung dengan Inigo. Mereka adalah Diego Laynez, Alfonso Salmeron,
Nicholas Bobadilla dan Jerome Nadal. Ketiga yang disebut pertama bertemu dengan Inigo di
Paris dan dapat langsung dimenangkan hatinya oleh Inigo. Nadal juga bertemu dengan Inigo di
Paris, tetapi menolak pendekatan Inigo dan tidak akan bergabung dengan Serikat Yesus sampai
dengan tahun 1545, lima tahun setelah Serikat Yesus berdiri. Karisma dan kemampuan Inigo
memang tidak selalu membawa hasil instan.
17. masalah di Salamanca
Inigo tiba di Salamanca pada bulan Juli 1527. Penangkapan Inigo dan kelompoknya pasti
menarik perhatian karena ia belum melakukan apa pun yang membuatnya layak dipenjara. Dia
telah berkata bahwa ia akan menjawab mereka yang memiliki wewenang. Pada waktu itu, para
Uskup mempunyai kuasa untuk menahan mereka yang melanggar hukum Gereja sehingga
mereka lalu mengirim seorang petugas untuk membawa Inigo dan sahabat-sahabatnya ke rumah
tahanan milik Uskup. Tempat ini adalah bagian dari penjara umum kota, tetapi mereka
ditempatkan di bagian yang berbeda. Rantai dan kotoran di dalam ruangan mereka pasti
menjadikan mereka amat tidak nyaman. Mungkin, serangga membuat mereka terjaga semalaman
sehingga mereka lalu menghabiskan waktu dengan berdoa dan melakukan vigili.

G. DI UNIVERSITAS PARIS
Paris dan universitasnya berada di persimpangan kehidupan intelektual Eropa dan
atmosfirnya amat hidup dan gelisah. Secara religius, masa-masa itu adalah kurun waktu yang
penuh gejolak. Iman Katholik seorang mahasiswa di sana dapat dengan mudah terancam oleh

13

apa yang sedang terjadi. John Calvin, seorang tokoh penting gerakan Reformasi, tinggal di salah
satu kolese di universitas itu.
Peristiwa ini terjadi di Saint-Barbe ketika ia ditempatkan satu kamar dengan Petrus Faber
dan Fransiskus Xaverius. Keduanya telah berada di Kolese ini selama empat tahun. Inigo sendiri
hanya menulis bahwa ia berkenalan dengan mereka dan lewat sebuah ungkapan yang begitu
sederhana, ia merujuk pada sebuah peristiwa yang akan sangat mengubah hidupnya.
Inigo pergi ke Paris untuk studi dan sekarang telah lulus sebagai Magister Humaniora. Studi
selama bertahun-tahun tidaklah mudah bagi Inigo.
18. hubungannya dengan para sahabatnya Yerusalem atau Roma?
Pola baru dalam relasi Inigo dengan sahabat-sahabatnya ini menarik untuk dicermati. Orangorang muda yang dididik bersama-sama di istana membangun persahabatan yang amat erat dan
mereka disebut sebagai saudara sesumpah. Inigo pasti merasakan semangat seperti ini ketika ia
berada di lingkungan istana. Sampai titik ini, ia telah menjadi guru bagi sahabat-sahabatnya,
mengajari mereka dan membimbing mereka melewati perjalanan Latihan Rohani. Akan tetapi,
sekarang suatu semangat baru telah berkembang karena mereka telah menjadi sahabat-sahabat
dalam Tuhan.
Dalam Misa Kudus yang dipimpin oleh Petrus Faber, masing-masing dari mereka
mengikrarkan kaul untuk menghabiskan hidup mereka bekerja di Yerusalem atau jika tidak dapat
melakukannya, mempersembahkan diri mereka kepada Wakil Kristus. Keputusan dan komitmen
untuk menghayati rencana masa depan ini mempersatukan mereka sebagai sebuah kelompok.
Mulai saat ini nasib masing-masing dari mereka, termasuk Inigo akan ditentukan oleh kelompok.
Walaupun mereka setuju untuk pergi ke Tanah Suci, tidak semua dari mereka berkeinginan untuk
tinggal di sana selamanya. Ini akan menjadi sebuah keputusan di waktu lain bagi mereka dan
keinginan Inigo untuk tinggal di sana harus disesuaikan dengan penegasan rohani bersama
teman-teman kelompoknya.
H. VENEZIA DAN VICENZA
19. Sahabat-sahabat Inigo tiba di Venezia
Pada tanggal 8 Januari 1537, sahabat-sahabat Inigo tiba di Venezia. Dari enam yang pertama
(Faber, Xaverius, Laynez, Salmeron, Rodriguez dan Bobadilla), ada tiga lagi, (Jean Codure,
Claude le Jay dan Paschase Broet).
Supaya tidak menarik perhatian, mereka meninggalkan kota Paris dalam dua kelompok.
Mereka telah menjadi populer di kalangan banyak orang dan mereka khawatir bahwa orangorang ini mau menahan mereka supaya tetap di Paris. Di kota Meaux, kira-kira 45 kilometer dari
Paris, mereka bergabung kembali untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama.
Dalam surat ini, Inigo menggunakan ungkapan sahabat-sahabat dalam Tuhan (amigos
en El Senor) yang kemudian menjadi terkenal. Ternyata, ia hanya menggunakan ungkapan ini
sekali ini, tetapi ini adalah gambaran sempurna untuk kelompok kecil mereka. Masing-masing
ingin menjadi seorang peziarah seperti Inigo dan mengikuti cara hidupnya yang didasarkan pada
Injil. Maka, setelah menerima Tahbisan Imamat, mereka menyebut diri mereka sebagai Imamimam Peziarah.

14

Agar mereka dapat melakukan peziarahan ke Tanah Suci, mereka membutuhkan berkat
Paus. Untuk itu, pada tanggal 16 Maret 1537, kesembilan sahabat ini memulai perjalanan mereka
ke Roma. Ini bukan sebuah perjalanan yang mudah karena mereka ingin bergantung sepenuhnya
pada derma. Seringkali mereka merasa lapar dan bahkan bisa berjalan satu hari penuh tanpa
makan. Mereka berjalan kaki di bawah guyuran hukan sampai menjadi keletihan pada akhir hari.
Mereka tidur di mana mereka mendapat tempat. Mereka akhirnya tiba di Roma pada hari
Minggu Palma, 25 Maret 1537.
Lalu, berbeda dengan pengalaman Inigo empat belas tahun sebelumnya, Paus kali ini
menyatakan bahwa wakil Gereja tidak dapat memaksa mereka untuk pergi. Bagi mereka yang
bukan Imam, ia memberi izin untuk menerima tahbisan Imamat oleh Uskup manapun tanpa perlu
menunda-nunda lagi.
Mereka kembali ke Venezia pada awal bulan Mei dengan berjalan kaki dan mengemis. Ini
adalah cara Inigo melakukan perjalanan dan mereka ingin mengikuti praktik kemiskinan dan cara
hidup Inigo. Mereka begitu menghayati ini sampai-sampai mereka tidak mau membawa uang.
Mereka membawanya dalam bentuk nota, sehingga tidak dapat dipergunakan dalam perjalanan
pulang karena ini telah diberikan kepada mereka untuk suatu tujuan khusus. Ketika nanti mereka
mengetahui bahwa mereka tidak dapat pergi ke Yerusalem, mereka mengembalikan uang tersebut
kepada para benefaktor. Di dalam perjalanan, mereka membagi menjadi kelompok-kelompok
kecil yang masing-masing terdiri atas orang-orang dari kebangsaan yang berbeda supaya mereka
dapat lebih memahami satu sama lain dan memperkuat ikatan di antara mereka.
Pada tanggal 24 Juni 1521 Inigo diberitahu oleh para dokter bahwa ia akan mati akibat luka
yang dideritanya di Pamplona. Sekarang, pada hari yang sama pada tahun 1537, Inigo bersama
kelima sahabatnya ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Vincenzo Nigusanti dari Arbe di
sebuah kapel di rumahnya (tiga dari mereka sudah menerima tahbisan Imamat dan Salmeron
masih terlalu muda untuk ditahbiskan).
20. tidak ada kapal menuju Tanah Suci Keputusan untuk pergi ke Roma
Di Montmartre mereka memutuskan untuk menunggu selama satu tahun di Venezia untuk
mendapatkan kapal yang dapat mengantar mereka ke Yerusalem. Tidak jelas apakah satu tahun
ini dihitung mulai dari bulan Januari 1537 ketika mereka tiba di Venezia atau dari musim
berlayar yang baru dimulai beberapa bulan setelahnya. Faktanya, kebanyakan dari mereka
bertahan hingga bulan Mei tahun 1538. Namun, tidak ada kapal peziarah yang berlayar dalam
rentang waktu kaul mereka.
Tiba-tiba, Inigo memutuskan untuk pergi ke Roma pada akhir bulan Oktober 1537
bersama dengan Faber dan Laynez.

15

Lampiran I (UTUSAN: Dalam Segala Mencari Dia, No. 08, Tahun ke-62,
Agustus 2012, hlm. 2-3)
MENCINTA DENGAN BERANI KEHILANGAN
Oleh Gabriel Possenti Sindhunata, SY
Kita adalah manusia yang mudah sekali tergantung pada sesuatu. Misalnya, dengan
kreativitas dan keringat, kita membentuk sebuah perkumpulan atau lembaga.
Setelah sekian lama, tak ingin kita melepaskannya, walau kita sudah terbukti tidak
mampu menanganinya. Kita ingin terus campur tangan, padahal kemampuan kita
sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan zaman.
Kita juga ingin terus memiliki harta kita, mulai dari yang paling besar dan berharga
sampai yang paling kecil dan tak berarti. Banyak hal seharusnya bisa kita lepas,
tetapi kita merasa kehilangan bila melepasnya. Banyak orang lain
membutuhkannya,
walau
bekas
sekalipun,
tetapi
kita
merasa
tetap
membutuhkannya, walau sebanarnya tidak kita pakai lagi. Kita seperti anak kecil,
yang tidak mau kehilangan mainannya. Jangankan diambil, dipinjam saja, anak itu
akan menangis.
Tidak hanya dalam hal harta dan karya, dalam hal relasi pun kita tak pernah mau
kehilangan. Contoh paling mencolok adalah relasi orang tua dan anak. Orang tua
merasa telah memelihara, membesarkan, mendidik, dan menemani anak-anaknya.
Anak-anak makin hari makin besar dan dewasa, dan datanglah saat, ketika mereka
harus menentukan masa depannya sendiri. Perpisahan mau tak mau terjadi, dan
kerap kali orang tua merasa sedih, rasanya tak ingin perpisahan itu terjadi.
Mengapa kita harus disalahkan, jika kita tak mau kehilangan anak kita? Tidakkah
kita sungguh mencintai mereka, sampai kita tak mau kehilangan mereka?
Cinta memang tidak sesederhana yang kita kira. Menurut pujangga Gereja
Agustinus, kita harus membedakan adanya dua cinta. Pertama, amor
concupiscientiae atau cinta kenafsuan dan amor benevolentiae atau cinta
kemurahan hati. Dengan amor concupiscientiae, kita merasa sungguh mencintai
seseorang. Kita membuat apa saja demi yang kita cintai. Kita rela untuk
memberikan apa yang lebih baik baginya. Namun, pada saat yang sama, kita
dicekam rasa takut, jangan-jangan kita akan kehilangan dia yang kita cintai. Karena
itu kita berusaha, mesti ada jaminan dan kepastian, bahwa kita takkan kehilangan
dia. Akibatnya, kita memproteksi dengan berlebih-lebihan yang kita cinta. Kita
harus memiliki dia seterusnya.
Menurut penulis rohani, Andreas Knapp, tanpa kita sadari, kita sering mencinta
dengan amor concupiscientiae itu. Itulah sebabnya mengapa, misalnya, kita tak
mau kehilangan anak kita. Mereka sudah dewasa, dan harus menempuh jalan
16

hidupnya sendiri, juga dengan risiko, bahwa mereka akan mengalami kegagalan.
Kita tidak rela. Demikian juga kita tidak rela lengser dari karya buatan kita, ketika
waktunya tiba. Kita tidak merasa bahwa cinta macam ini justru menghancurkan
anak yang kita cinta, atau karya yang telah kita cipta. Semuanya jadi tergantung
pada kita, sampai anak atau karya buatan kita tidak dapat berkembang dengan
lebih baik. Itulah saat di mana semuanya akan mulai hancur, dan sia-sialah segala
yang kita buat dan bangun.
Cinta demikian lain dengen amor benevolentiae. Amor benevolentiae, cinta
kemurahan hati, membuat kita berani melepas. Kita justru bergembira, bila orang
yang kita cinta menempuh jalannya sendiri. Dengan cinta macam ini, kita tidak
membentuk anak-anak kita sesuai dengan gambaran keinginan kita. Memang,
kehilangan itu menyakitkan, tetapi karena cinta yang murah hati, kita diberanikan
untuk merelakannya. Kita juga tak dicekam oleh kegelisahan karena kehilangan itu
menyakitkan, tetapi karena cinta yang murah hati, kita diberanikan untuk
merelakannya. Kita juga tak dicekam oleh kegelisahan karena kehilangan itu. Kita
malah senang, bila orang yang kita cintai meraih apa yang lebih baik daripada yang
bisa kita bayangkan, karena sekarang ia telah menempuh jalan hidupnya sendiri.
Karena amor benevolentiae itu, kita jadi sadar: siapa sungguh mencinta, dia harus
berpikir bahwa kebebasan dan perkembangan orang lain jauh lebih penting
daripada terpenuhinya keinginan kita sendiri. Cinta macam ini juga akan
membelalakkan diri kita bahwa, kita tak pernah bisa memaksakan kebahagiaan apa
pun kepada orang lain, betapa pun kita mempunyai maksud yang terbaik sekalipun
untuknya. Dan kita lalu tahu, bahwa jika kita selalu mau mengontrol dan memiliki
orang yang kita cinta, juga demi kebaikan yang kita bayangkan, kita hanya akan
menghancurkan cinta yang ingin kita berikan kepadanya.
Menurut Andreas Knapp, kita takkan pernah mampu mencinta dengan amor
benevolentiae sepenuh-penuhnya. Sebab yang ada dalam dasar hati kita terdalam
adalah ketakutan akan kehilangan orang yang kita cinta. Juda karena hati kita selalu
merasa, hanya dengan tidak kehilangan kita bisa mengatur orang lain agar
mereka meraih kebaikannya. Bagaimana kita dapat memperoleh cinta yang murah
hati itu? Itu hanya bisa terjadi, bila kita merenungkan dan merasa-rasakan,
bagaimana Tuhan sendiri mencintai kita.
Bila itu kita lakukan, kita akan tahu, bahwa Tuhan adalah cinta yang murah hati itu
sendiri. Tuhan pasti tahu, apa yang baik buat kita, dan di mana kelemahan kita, dan
apa yang membuat kita akan jatuh dan gagal. Toh Tuhan tidak memaksakan
kehendak-Nya untuk mencintai kita. Dengan kata lain Tuhan mencintai kita dengan
menyerahkan semua kebebasan pada kita sendiri. Dengan kebebasan itu, kita bisa
menentukan sendiri apa yang kita inginkan. Jadi, Tuhan juga merisikokan, bahwa
kesalahan manusia mungkin saja terjadi dan membawa kesulitan baginya. Tuhan
bahkan siap, jika manusia melupakan-Nya dan memusuhi-Nya. Tetapi bagi Tuhan,
kebebasan yang Dia berikan kepada manusia adalah suci, sehingga Dia tidak ingin
memanfaatkan kita atau memaksakan sebuah rencana kepada kita. Singkatnya,
Tuhan tak ingin mengkontrol dan mengekangi kita, kata Andreas Knapp.
Kita mesti kagum dan bersyukur, betapa Tuhan mempunyai cinta yang demikian
murah hati kepada kita. Sepatutnyalah kita mohon, agar kita juda dianugerahi cinta
seperti cinta-Nya. Hanya cinta seperti cinta-Nyalah yang membuat kita mampu
17

mencintai sesama seperti seharusnya. Dan cinta macam itulah yang akhirnya
membebaskan kia dari segala ketakutan akan kehilangan orang yang kita cinta.

18

You might also like