You are on page 1of 60

ISSN 1829-6610

Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

ISSN 1829-6610

Vol. 4. No. 2, Oktober 2010

JURNAL ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN (JAP)


(JOURNAL OF ARCHITECTURE & PLANNING STUDIES)

Editorial Board:
Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP, Ph.D
Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D
Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng
Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng
Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D

Managing Editor:
Ratna Eka Suminar, ST, M.Sc

Editorial Assistant:
Andryan Wikrawardana, ST
Dhani Andrianto

This Edition Board of Reviewer:


Prof. Ir. Bambang Hari W., MUP, M.Sc, Ph.D
Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA, Ph.D
Diananta Pramitasari, ST, M.Eng, Ph.D
M. Sani Roychansyah, ST, M.Eng, D.Eng
Dr. Ir. Arif Kusumawanto, MT

Editorial and Distribution Address:


Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No. 2 , Yogyakarta 55281, Indonesia
Telp.: +62-274-902320/902321
Fax.: +62-274-580854
Website: www.archiplan.ugm.ac.id
E-mail: ratna.es@ugm.ac.id

ii

CONTENTS

From the Editor

Peran Urban Design dalam Pengembangan


Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru
Imam Djokomono, Catharina Dwi Astuti Depari

1-8

Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan


Tipe Asrama Perorangan Di Kampung Kota Iromejan Dan Samirono
(Studi Kasus)
Soeleman Saragih

9-16

Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau


sebagai Pengurangan Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan
Lokal
Farida Khuril Maula

17-22

Factors Influencing Energy Consumption at Household Level Related


to Urban Residential Density in a Developing City
Nurrohman Wijaya

23-27

Perilaku Spasial Anak Jalanan di Yogyakarta


Jimly Al Faraby

28-33

The Role of Public Art in Urban Environment: A Case Study of


Mural Art in Yogyakarta City
Teguh Setiawan, Bakti Setiawan

34-41

iii

iv

FROM THE EDITOR

We would like to bestow our praise and gratitude to Allah, the God Almighty, for
accomplishing the publication of Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) or Journal of
Architecture and Planning Studies in October 2010 edition. By this publication, JAP has
proven its continuity to present regularly, once in a six month, in front of the honored
readers. JAP has passed its initial phase, which needs a great spirit and enthusiasm to
maintain the momentum and creates several adjustments on an ongoing process.
Although it is found that the writers sometimes have to face some technical difficulties
in putting up their writings, yet the ready-made and well-socialized template truly saves
much time for the process of "write-review-published". The editor also thanks to those
who keep on motivating and giving us some inputs on JAP.
Like what we have in previous editions, JAP is scheduled to publish once in a six month
(twice a year). In its practice, the Editor utilizes the principle of "rapid review process",
which enables us to process the "write-review-published" in less than 6 months. By the
simpler submission procedure (please read the complete procedure on the last page of
JAP) and easier access to obtain directly the template in the Publishing Unit facilities or
via website of Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering,
Gadjah Mada University (http://www.archiplan.ugm.ac.id/), it is expected that our goal
can be achieved.
This edition contains 6 essays with its topic varieties. They present such diverse topics,
including design, architecture, planning, and policy. We hope that through JAP with its
all topics on architecture and planning, it will directly lead to positive impacts on
scientific studies improvement in architecture and planning. Therefore, we invite
researchers, lecturers, and readers who are interested in architecture and planning
studies to submit your writings with terms and conditions applied in the last page of JAP
or by visiting our website above.
Your critics and suggestions for improving the quality of publication as well as the
content of JAP are highly appreciated.
Thank you and happy reading.

vi

Peran Urban Design dalam Pengembangan


Kecamatan Mempura sebagai Daerah Otonom Baru
Imam Djokomono1, Catharina Dwi Astuti Depari2
1

Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2
Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Indonesia

Abstract
The local autonomy policy conducted in some of Indonesian regions has an aim to deliver an independent
right to the Local Governments in determining their own development plans. However, if the objective
assessment of the local readiness is not performed prior to the policy, the negative results will take shape in
new urban problems. Therefore, the Central Government must act as a facilitator supporting all the
development activities run by the Local Governments.
Being a new autonomous area resulted from the urban extension of Siak District, Mempura begins to
construct its development plans. Facing the upcoming challenges, the necessity of an urban design concept
which accommodates the local needs is urgently demanded.
The objectives of this paper are to reveal the consequences of the autonomy policy in general, the efforts
of Mempura Government in arranging an Urban Design Guidelines and to emphasize the importance of
urban design approaches as an effective policy tool for creating a high quality district. The approaches must
be oriented to seek the best solution over Mempuras problems by taking the local potentials into design
considerations. Based on Mempuras characteristics, the linkage approach is the most suitable to be
implemented for solving the isolated-urban issues by facilitating an access for investment opportunities.
Keywords: autonomy policy, objective assessment, local readiness, urban design guidelines, urban design approaches

1. Latar Belakang
Sebagian besar isu pembangunan yang berkembang
di berbagai daerah di Indonesia sering dipandang
sebagai sebuah representasi kegagalan dari misi dan
visi kebijakan otonomi daerah yang dijalankan oleh
Pemerintah Pusat. Meskipun memiliki beberapa
keuntungan potensial, namun sampai sekarang
sebagian besar masyarakat di daerah otonom masih
belum merasakan secara langsung dampak positif dari
kebijakan tersebut.
Tujuan kebijakan otonomi daerah pada hakikatnya
adalah memberikan keleluasaan bagi Pemerintah
Daerah
dalam
menentukan
arah
kebijakan
pembangunan di daerahnya. Keleluasaan tersebut
tentunya harus diiringi oleh kesadaran akan
pentingnya sebuah assessment objektif terhadap
kesiapan lokal yang mencakup kesiapan untuk
menyusun berbagai program pembangunan dan
kesiapan menolak segala bentuk intervensi dari
pihak-pihak tertentu yang berpotensi merugikan
kepentingan masyarakat luas.
Kontak: Catharina Dwi Astuti Depari
Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Indonesia
E-mail: catharina2bfree@yahoo.com
(Diterima 30 Juli 2010 dan disetujui untuk diterbitkan 12
September 2010)

Sebagai daerah otonom baru, Kecamatan Mempura


saat ini sedang sibuk berbenah diri menyusun berbagai
kebijakan pembangunan di segala bidang. Kecamatan
Mempura sebelumnya merupakan bagian dari
Kecamatan Siak dan berdiri sendiri sebagai sebuah
daerah otonom baru berdasarkan Perda No. 04 Tahun
2005. Tujuan pemekaran wilayah Kecamatan Siak
adalah memberikan kemudahan bagi Pemerintah
Daerah setempat dalam menjalankan kegiatan
administrasi
sekaligus
untuk
mempermudah
jangkauan pembangunan ke seluruh kawasan.
Tulisan
Peran
Urban
Design
dalam
Pengembangan Kecamatan Mempura sebagai Daerah
Otonom Baru disusun dengan tujuan untuk
memaparkan seluruh konsekuensi dari kebijakan
otonomi daerah secara umum, permasalahan yang
dihadapi oleh kawasan objek studi dan potensi yang
dimilikinya serta beberapa pendekatan urban design
yang akan diterapkan dalam rangka mewujudkan
daerah otonom yang lebih berkualitas.
2. Kebijakan Otonomi Daerah dan Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
2.1. Kebijakan Otonomi Daerah dalam Paradigma
Pembangunan di Indonesia
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi yang
dijalankan Pemerintah sebenarnya memiliki beberapa
keuntungan potensial, yaitu meningkatnya efisiensi
kerja yang tanggap akan berbagai prioritas dan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

kapasitas lokal, mendorong partisipasi masyarakat


lokal dalam pembangunan di daerahnya, mengurangi
ketergantungan manajemen dan pendanaan pada
Pemerintah Pusat dan meningkatnya sense of
belonging Pemerintah Daerah akan berbagai program
pembangunan yang dijalankan.
Meskipun kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi akan memberikan banyak manfaat,
namun keputusan mengenai kebijakan tersebut bukan
hal yang sederhana mengingat adanya beberapa
langkah yang harus terlebih dahulu dipersiapkan oleh
Pemerintah Pusat. Langkah-langkah tersebut menurut
pendapat Sugijanto Soegijoko (Bunga Rampai
Perencanaan Pembangunan di Indonesia, 1997) antara
lain mengupayakan sebuah efisiensi, keberlanjutan
pembangunan, pemerataan, partisipasi pembangunan
dan stabilitas daerah. Proses menentukan waktu yang
paling tepat untuk menerapkan kebijakan otonomi
sangat tergantung kepada tingkat kesiapan lokal di
daerah terkait.
Agar kesiapan daerah mengalami peningkatan,
Pemerintah Daerah berkewajiban mengadakan
pembinaan dan pengelolaan pembangunan dengan
didukung oleh Pemerintah Pusat yang berperan
sebagai fasilitator. Meningkatkan kapasitas negosiasi
dan pengelolaan dengan pihak swasta untuk
melindungi aset-aset daerah dari kepemilikan pihak
asing merupakan salah satu usaha dalam rangka
meningkatkan kesiapan lokal.
2.2. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) sebagai Pedoman Pengembangan
Kawasan
Dalam
rangka
meningkatkan
kemampuan
Pemerintah lokal untuk mengemban tugas pada daerah
otonom baru yang dipimpinnya, dibutuhkan sebuah
pedoman pengembangan kawasan yang tersusun di
dalam sebuah Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL). Sebagaimana diuraikan dalam
RTBL Siak dan Sekitarnya Propinsi Riau (2006)
bahwa Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) pada hakikatnya merupakan sebuah rencana
geometrik pemanfaatan ruang kawasan perkotaan
yang disusun untuk mewujudkan sebuah daerah yang
berkualitas dengan memberdayakan seluruh potensi
yang ada.
Bagi daerah otonomi baru, RTBL dibutuhkan tidak
hanya dalam rangka mengendalikan pertumbuhan
fisik tata bangunan dan lingkungan sesuai dengan tata
ruang yang berlaku, namun juga untuk melengkapi
dan menindaklanjuti rencana tata ruang setempat yang
masih bersifat umum dengan menyusun kembali suatu
pedoman tata bangunan dan lingkungan yang lebih
terarah secara spesifik, lengkap, kompak dan saling
terkait. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan
bahwa manfaat RTBL adalah untuk mewujudkan tata
bangunan dan lingkungan yang lebih tertib, produktif,
manusiawi, berjati diri dan selaras-serasi dengan

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

lingkungan sekitar sehingga RTBL harus memenuhi


syarat-syarat sebagai berikut:
a. RTBL harus merupakan kesepakatan bersama atas
seluruh pemilik /pemegang hak atas tanah. Dalam
kasus penataan kawasan, diperlukan sebuah
konsolidasi lahan untuk perencanaan dan
pengembangan kawasan di masa depan.
b. RTBL harus berorientasi pada aspek kemampuan
daya dukung dari lokasi setempat, bukan pada
aspek tuntutan kebutuhan. Artinya seluruh
perencanaan dikaitkan dengan alokasi dan
distribusi sumber daya dan pelayanan lingkungan
yang ada.

Gambar 1. Pembangunan di Kawasan Sangatta Utara


Hasil Pemekaran Wilayah Kecamatan Sangatta
(Sumber: www.tribunkaltim.co.id, 2008).

3. Pendekatan Teknik dan Konsep Urban Design


3.1. Teknik Urban Design
Menurut Snyder (Introduction to Urban Planning,
1979, hal.62), urban design adalah sebuah jembatan
antara profesi perencanaan kawasan dengan Arsitektur
yang menekankan pada bentuk fisik suatu kawasan
atau kota. Dalam proses perancangan, urban design
menawarkan beberapa pendekatan atau teknik
perancangan yang dipilih berdasarkan jenis
permasalahan yang dihadapi oleh kawasan objek studi
(Proses dan Metoda Perancangan Kawasan-MDKB
UGM, 2007). Pendekatan urban design terdiri atas
dua kategori, yaitu:
a. Pendekatan yang lebih melihat kepada tradisi dan
keberadaan hal-hal yang sudah ada untuk
kemudian
mengembangkannya
secara
inkremental berdasarkan potensi kawasan.
b. Pendekatan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan
yang akan diraih dan mengembangkannya secara
visioner yang melihat kepada kriteria-kriteria dan
ukuran tertentu yang akan diraih.
Sedangkan beberapa teknik urban design yang
umumnya digunakan dalam proses perancangan,
antara lain:
a. Enam tahap proses perancangan kawasan menurut
Barton, dkk. (Shaping Neighbourhoods: A Guide
for Health, Sustainability, Vitality, 2003) dalam
rangka menciptakan kawasan berkelanjutan.
b. Figure ground, linkage dan place theory menurut
Trancik (Finding Lost Space: Theories of Urban
Spatial Design, 1986) dalam rangka memperkuat
bentuk struktur ruang suatu kawasan/kota.

Imam Djokomono

Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A


Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003,
hal.213) bahwa dalam menciptakan sebuah kawasan
berkelanjutan
dibutuhkan
sebuah
pendekatan
perancangan yang dimulai dari sistem transportasi
publik. Model pendekatan tersebut dianggap yang
paling efektif untuk diterapkan pada kawasan hasil
pemekaran sebuah kota (urban extension). Skema atau
rencana yang dihasilkan akan memberikan sebuah
gambaran besar berupa informasi mengenai potensi
kawasan objek studi dengan kawasan sekitarnya.
Selain itu, skema hubungan antarruang kawasan
sangat penting peranannya dalam rangka penyusunan
berbagai keputusan investasi, rumusan pembangunan
dan kontrol pengembangan kawasan.

Gambar 2. Enam Tahap Proses Perancangan Kawasan


(Sumber: Barton, 2003).

Berdasarkan faktor-faktor yang diamati, keenam


tahap proses perancangan kawasan tersebut (Shaping
Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability,
Vitality, 2003, hal. 213-215) dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Rute transportasi umum dan simpul kawasan yang
mencakup kegiatan:
Mengidentifikasi rute transportasi umum
utama
eksisting,
ke-efektifan-nya,
ketersediaan dan tingkat fleksibilitas sirkulasi
dalam rute tersebut.
Mengidentifikasi simpul-simpul transportasi
umum eksisting dan yang dinilai potensial.
Mengidentifikasi hubungan antarkota dan
koneksi lokal ke seluruh jalan utama.
b. Sistem ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru
yang mencakup kegiatan:
Mengidentifikasi elemen-elemen lingkungan
kritis bagi pengembangan kawasan yang
berhubungan dengan keanekaragaman hayati.
Mengidentifikasi ruang terbuka hijau dan
jalur rute transportasi yang dinilai baik.

c.

Aksisbilitas pejalan kaki mencakup kegiatan:


Memetakan aksesbilitas pejalan kaki ke halte
dan pusat-pusat kawasan serta hambatan
pergerakan.
Menganalisis aksesibilitas pejalan kaki ke
rute-rute transportasi baru
d. Pola tata guna lahan dan tingkat kepadatan
kawasan yang mencakup kegiatan:
Melengkapi dan mengevaluasi intensitas
lahan dan pola tata guna lahan.
Menghubungkan pola-pola tersebut dengan
analisis ruang terbuka dan aksisbilitas.
Membedakan empat tingkatan kepadatan
kawasan, berdasarkan aktivitas pusat kawasan,
hirarki jalan (jalan utama lokal dan
lingkungan), pencapaian lokal dan Ruang
Terbuka Hijau.
e. Jaringan jalan utama yang mencakup kegiatan:
Melengkapi jaringan jalan distributor
berdasarkan pola grid yang dimodifikasi
menyesuaikan dengan kontur lahan dan dapat
dilalui dengan memberikan pemusatan alami
ke pusat kawasan.
Merencanakan jalur bagi pengendara sepeda
dan pejalan kaki dengan prinsip 200 m grid.
Mengidentifikasi lingkungan permukiman,
pola jalan dan pencapaian jika belum dimiliki
oleh lingkungan tersebut.
f. Hubungan antar sub-kawasan yang harus dapat
memperlihatkan:
Kombinasi antara pola tata guna lahan dengan
jaringan jalan utamanya.
Hubungan antarruang kawasan.
Adanya kesesuaian antara tingkat kepadatan
lahan dan aktivitas dengan intensitas fungsi
lahan, penentuan lahan-lahan yang spesifik
bagi pengembangan baru, identifikasi daerah
yang membutuhkan masterplan secara
mendetail dan perancangan rona lingkungan
yang sesuai dengan karakter kawasan.
Berdasarkan analisis terhadap evolusi kota-kota
modern yang dilakukan oleh Trancik (Finding Lost
Space: Theories of Urban Spatial Design, 1986,
hal.97-98), maka terdapat tiga jenis teknik urban
design yang dinilai penting dalam pengembangan
suatu kawasan, yaitu:
a. Figure ground theory yang dibangun berdasarkan
kajian terhadap ketertutupan lahan secara relatif
dari massa bangunan-solid (figure) terhadap ruang
terbuka-void (ground). Pendekatan figure-ground
bertujuan untuk memperjelas struktur ruang suatu
kawasan serta membangun sebuah hirarki ruang.
b. Linkage theory yang menghubungkan satu elemen
dengan elemen lain yang dibentuk oleh jalan, jalur
pejalan kaki, ruang terbuka linear atau elemen
lainnya dan secara fisik menghubungkan seluruh
bagian kawasan dalam bentuk sebuah jaringan.
c. Place theory yang menambahkan sebuah dimensi
baru ke dalam perancangan berupa kebutuhan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

manusia dan budaya, konteks sejarah dan alam


lingkungannya. Menggunakan place theory akan
memberikan nilai tambah pada ruang fisik
kawasan melalui penerapan bentuk-bentuk unik
atau detail lokal pada lingkungannya.
Dalam rangka mendukung place theory yang
dikemukakannya, Trancik menguraikan lima elemen
pembentuk citra kota yang penting dalam merancang
suatu kawasan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Lynch (the Image of the City, 1960,
hal.46-48), yaitu:
a. Paths, yaitu sebuah channel/koridor penghubung
yang dilalui oleh para pejalan kaki dan dapat
berupa jalan, jalur pejalan kaki, kanal atau jalur
kereta api.
b. Edges, yaitu elemen linear yang membatasi antara
satu kawasan dengan kawasan sekitar atau berupa
garis panjang yang menghubungkan dan
menyatukan beberapa kawasan.
c. Districts, yaitu bagian dari kota yang secara fisik
mudah dikenali disebabkan oleh adanya beberapa
kesamaan yang dimiliki dan yang mampu
mengidentifikasikan adanya sebuah karakter.
d. Nodes, yaitu titik-titik lokasi strategis yang
terdapat pada suatu kota sekaligus sebagai titik
fokus orang ketika berjalan. Elemen kota yang
termasuk ke dalam kategori nodes adalah area
perpotongan jalan.
e. Landmarks, yaitu titik referensi orang ketika
berjalan mengalami suatu ruang kota sekaligus
sebagai objek sederhana yang mudah dikenali
dapat berupa bangunan, penanda, toko atau
gunung.

Gambar 3. Kelima Elemen Fisik Pembentuk Citra Kawasan


(sumber: Lynch, 1960).

Menurut Barton,dkk. (Shaping Neighbourhoods: A


Guide for Health, Sustainability, Vitality, 2003, hal.
213) bahwa sistem transportasi publik merupakan
bagian yang pertama kali harus diperhatikan dalam
proses perancangan kawasan. Pernyataan tersebut juga
didukung oleh Snyder (Introduction to Urban
Planning, 1979, hal.75) yang mengemukakan bahwa
jaringan transportasi merupakan faktor utama yang
akan menentukan bentuk struktur kawasan sehingga
merupakan hal pertama yang seharusnya dipikirkan
dalam proses perancangan.
3.2. Konsep Kota Berfungsi Banyak
Sebagai daerah otonom baru, Mempura sebenarnya
merupakan kawasan yang sangat potensial untuk

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

mengadopsi Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi


Function Polis) pada proses perancangannya
mengingat potensi fisik yang dimiliki, antara lain jalan
Siak Dayun sebagai koridor penghubung ke kota-kota
penting di Kabupaten Siak. Konsep Kota Berfungsi
Banyak berbasis pada konsep punggung dengan
kegiatan berpola linear dimana penduduk dapat
mencapai pusat kota dalam radius jarak kenyamanan
pejalan kaki.
Konsep Kota Berfungsi Banyak pada hakikatnya
merupakan penggabungan dari pola perkembangan
pita dengan pola sistem blok kawasan. Sasaran yang
hendak dicapai adalah rencana kawasan yang bersifat
linear dengan satu tulang punggung sebagai pusat
kegiatan vital kota dengan didukung oleh ketersediaan
pelayanan transportasi umum yang baik. Seluruh
fasilitas lapangan pekerjaan terkonsentrasi pada tulang
punggung kota untuk mencapai sebuah setting kota
yang menarik dan vital.

Gambar 4. Sebaran Konsep MFP dan Konsep Dasar Kegiatan


(Sumber: MDKB, 2009)

Sedangkan tujuan penerapan Konsep Kota


Berfungsi Banyak adalah untuk menarik berbagai
peluang investasi serta minat para pendatang dari luar
daerah dengan menyediakan berbagai jenis lapangan
pekerjaan serta memberi jaminan bagi hidup yang
lebih berkualitas. Perkembangan kawasan ditandai
oleh pembangunan fisik yang dimulai dari daerah
terdekat dengan tulang punggung dan kemudian
menyebar ke seluruh bagian kawasan.
4. Metode Kajian/Pembahasan
Daerah otonom baru yang akan menjadi objek studi
dalam kajian urban design adalah Kecamatan
Mempura yang merupakan wilayah pemekaran dari
Kecamatan Siak dengan batas-batas wilayah
administratif sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Siak dan
Kec. Siak
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sungai
Apit
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Dayun
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Ring Road dan
Kec. Kota Gasib
Secara garis besar, materi kajian mencakup kegiatan:
a. Mengkaji seluruh potensi, hambatan, peluang dan

Imam Djokomono

ancaman sebagai usaha untuk meningkatkan


kapasitas Mempura sebagai daerah otonom baru
b. Mengkaji potensi dan hambatan fisik kawasan
serta memberikan rekomendasi berupa konsep
perancangan kawasan yang paling ideal melalui
enam tahap proses perancangan sebagaimana
yang telah dikemukakan dalam kajian teori.

dapat berfungsi sebagai generator kawasan.


d. Dalam aspek estetika desain, Arsitektur Melayu
dapat terus diadopsi dalam perancangan untuk
meningkatkan identitas dan karakter kawasan.

Gambar 6. Bangunan Ber-arsitektur Melayu di Kab.Siak


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Meskipun berpotensi sebagai embrio bagi


pengembangan sistem jaringan jalan kawasan yang
baru,
keberadaan
kavling
penduduk
dapat
menimbulkan permasalahan tersendiri. Keberadaan
kavling harus dipertimbangkan dalam perancangan
untuk mencegah konflik antara rencana Pemerintah
dengan para pemilik lahan.

Gambar 5. Lokasi Kawasan Objek Studi Mempura


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif,


berdasarkan teori-teori dan teknik urban design akan
dicari sebuah konsep rancangan kawasan yang paling
tepat untuk diterapkan di kawasan Mempura. Proses
perancangan yang dilalui tentu harus senantiasa
mempertimbangkan
karakteristik
kawasan
menggunakan SWOT analysis.
5. Analisis Perancangan Kawasan
5.1. SWOT Analysis
Kondisi suatu kawasan objek studi yang akan
diamati harus mencakup aspek-aspek natural-ekologis,
fisik terbangun, sosio-ekonomi dan budaya,
teknis-rekayasa serta estetika-desainnya dalam rangka
inventarisasi seluruh potensi dan permasalahan
kawasan sebagai faktor pengaruh internal serta
peluang dan kendala sebagai faktor pengaruh
eksternal.
Kawasan Mempura memiliki beberapa potensi fisik
sebagai dasar pertimbangan perancangan, antara lain:
a. Kawasan pertanian yang dapat dikembangkan
sebagai daerah agrowisata sehingga perlu
dilakukan konservasi lahan pertanian.
b. Sungai Siak dan Mempura Besar yang dapat
dikembangkan sebagai daerah wisata air sekaligus
sebagai jalur transportasi air.
c. Jalan Siak Dayun sebagai koridor utama
penghubung antara dua kota utama di Kab. Siak

Gambar 7. Identifikasi Kelemahan Kawasan Mempura


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009).

Rencana pengembangan kawasan waterfront di


Kabupaten Siak dan berbagai rencana pembangunan
di Kota Siak Indrapura akan memberikan pengaruh
positif bagi pengembangan kawasan Kecamatan
Mempura sekaligus membuka peluang bagi masuknya
investasi baru. Kota Siak Indrapura merupakan
Ibukota Kabupaten Siak yang berlokasi di bagian
utara kawasan Mempura dan dihubungkan oleh
Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah.
Kabupaten Siak dikenal sebagai wilayah dengan
potensi cadangan minyak bumi terbesar di Indonesia
sehingga menarik minat para investor asing untuk
menanamkan modalnya, antara lain PT. Caltex dan PT.
Chevron.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

Sebagai perusahaan minyak asing terbesar ke-2 di


dunia, PT. Chevron telah sejak lama melihat potensi
Kabupaten Siak. PT. Chevron mulai melakukan
eksplorasi sebagai kelanjutan dari kegiatan PT. Caltex
yang telah habis masa kontraknya dengan Pemerintah
setempat. Berbagai infrastruktur privat yang dapat
mendukung
kegiatan
operasional
perusahaan
dibangun, salah satunya adalah jalur penyeberangan
atau penghubung antara kawasan Kabupaten Siak
dengan Ibukota Riau, Kota Pekan Baru. Infrastruktur
tersebut hanya ditujukan untuk mendukung
kepentingan PT. Chevron dan secara otomatis tertutup
bagi aktivitas publik sehingga mengakibatkan
sebagian besar kawasan Siak dan sekitarnya semakin
terisolir
dari
berbagai
pengaruh
langsung
pembangunan dan pengembangan Kota Pekan Baru.

Gambar 9. Analisis Jaringan Jalan Baru


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Gambar 8. Akses Utama Penghubung Kota Pekan Baru


dengan Kabupaten Siak, Infrastruktur Khusus Milik
PT. Chevron
(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Berdasarkan karakteristik fisik kawasan Mempura,


maka direncanakan tiga simpul penting untuk
dirancang sebagai gerbang transisi antara kawasan
waterfront dengan kawasan Mempura, gerbang
kawasan agrowisata dan gerbang kawasan transisi
antara kawasan Dayun dengan kawasan Mempura.
Setiap simpul yang direncanakan harus memiliki
desain sesuai dengan karakteristik distrik di sekitar
simpul. Hal tersebut penting dalam rangka
meningkatkan
citra
kawasan
sebagaimana
dikemukakan oleh Lynch (the Image of the City,
1960).

5.2. Perancangan Kawasan


Berdasarkan pandangan Barton, dkk. (Shaping
Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability,
Vitality, 2003) dan Snyder (Introduction to Urban
Planning, 1979) bahwa sistem transportasi merupakan
faktor utama yang harus dipikirkan dalam merancang
kawasan yang berkelanjutan.
Jaringan jalan kawasan waterfront dihubungkan
secara langsung dan menerus dengan batas kavling
lahan yang merupakan embrio jalan, sehingga
menghasilkan sebuah sistem jaringan kawasan.
Sedangkan akses langsung dari jalan utama ke
kawasan agrowisata dibatasi untuk mempertahankan
kualitas lingkungan sekitar.

Gambar 10. Analisis Menentukan nodes Kawasan


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Imam Djokomono

Dalam tahap rancangan ruang terbuka hijau


kawasan Mempura, identifikasi potensi lokal juga
merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

Gambar 11. Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Biru Kawasan


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Areal pertanian dipertahankan sebagai daerah


konservasi mengingat potensi wisata yang dimilikinya
sedangkan pada area simpul yang merupakan titik
perpotongan antar jalan eksisting direncanakan taman
kota dalam rangka membangun kawasan Mempura
sebagai kawasan berwawasan ekologi. Dalam rangka
mempertahankan karakter kawasan Siak-Mempura
sebagai kota berbasis air, maka jalur-jalur sungai
sebagai sistem jaringan air sebaiknya dibangun secara
berimbang dengan sistem jaringan darat.

Sebagai daerah otonom baru, kawasan Mempura


harus dapat menyediakan berbagai fasilitas yang
dibutuhkan untuk dapat melayani seluruh kegiatan
lokal. Menurut pendapat Barton, dkk. (Shaping
Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability,
Vitality, 2003, hal.24) bahwa aksesibilitas pejalan kaki
dalam mengakses infrastruktur kota yang ada secara
normal memiliki waktu tempuh rata-rata 5-10 menit
atau jarak tempuh 400-800 m. Berdasarkan standar
tersebut, halte sebagai salah satu infrastruktur kota
yang mendukung pergerakan lokal diletakkan di
titik-titik strategis di dalam kawasan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Barton, dkk.
(Shaping Neighbourhoods: A Guide for Health,
Sustainability, Vitality, 2003, hal.16) bahwa
menggunakan batas-batas geografis/batas fisik lainnya
sebagai deliniasi antar zona kawasan merupakan
langkah yang pragmatis dan sederhana guna
membatasi sebuah tempat. Deliniasi zona-zona
kawasan Mempura ditentukan oleh batas fisik
eksisting baik berupa jalan eksisting, embrio jalan dari
batas kavling lahan penduduk dan jalur sungai.
Kriteria utama yang menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan lokasi pusat kawasan mengacu
pada
pendapat
Barton,
dkk.
(Shaping
Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability,
Vitality, 2003, hal.24), yaitu aksisbilitas pejalan kaki
dalam mencapai pusat-pusat kegiatan di pusat kota.
Setelah deliniasi pusat dan sub kawasan sekitar
ditentukan,
lalu
dilakukan
pengelompokkan
fungsi-fungsi ke dalam rencana zonasi/tata guna
lahan.

Gambar 13. Analisis zonasi lahan kawasan


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Gambar 12. Analisis Aksesibilitas Pejalan Kaki


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Berdasarkan pendapat Barton, dkk. (Shaping


Neighbourhoods: A Guide for Health, Sustainability,
Vitality, 2003, hal.215) bahwa sistem jaringan jalan
yang dibangun sebaiknya berdasarkan pola grid yang
disesuaikan dengan kontur lahan serta dapat dilalui
dengan memberikan pemusatan alami ke pusat
kawasan.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

Rencana atau skema kawasan Mempura yang


dihasilkan harus dapat memperlihatkan adanya
kombinasi antara pola tata guna lahan dengan jaringan
jalan utamanya, hubungan antar ruang kawasan
termasuk sistem jaringan jalan yang menghubungkan
seluruh zona kawasan dengan pusat-pusat kegiatan
secara jelas di dalam kawasan Mempura.
6. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kondisi real masyarakat di kawasan terisolir sering
diasosiasikan dengan kemiskinan yang sebagian besar
diakibatkan oleh hambatan terhadap pengaruh
pembangunan dari pusat kota ke kawasan terkait.
Dalam rangka memecahkan isu keterisoliran dan
kemiskinan suatu daerah otonomi baru, pendekatan
urban design dinilai dapat menjadi alat pendukung
kebijakan otonomi daerah yang paling efektif.
Strategi perancangan yang sebaiknya segera
diterapkan pada kawasan objek studi adalah terlebih
dahulu mengidentifikasi jalur-jalur darat yang
potensial dibangun sebagai akses penghubung
alternatif antara Kota Pekanbaru dengan Kabupaten
Siak. Tujuan dari penerapan strategi tersebut adalah
untuk melepaskan diri dari isu keterisoliran dengan
berupaya membuka akses bagi berbagai peluang
bisnis/investasi. Melalui upaya tersebut, pengaruh
pembangunan dari Kota Pekanbaru ke kawasan
Mempura akan lebih mudah tercapai. Selain
memanfaatkan potensi jalur darat, sungai Siak dan
beberapa sungai utama di kawasan Propinsi Riau
sangat potensial untuk dikembangkan sebagai jalur
penghubung alternatif antara Kota Pekanbaru dengan
Kabupaten Siak sekaligus dapat dikembangkan
sebagai jalur perdagangan/transportasi komoditas
barang.

Gambar 14. Potensi Jalur Darat dan Sungai di Kabupaten Siak


(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Selain pendekatan urban design dengan pendekatan


linkage, Konsep Kota Berfungsi Banyak (Multi
Function Polis) merupakan konsep yang paling
potensial diterapkan pada kawasan Mempura
mengingat potensi fisik yang dimiliki, yaitu koridor
Siak Dayun. Jalan Siak Dayun dinilai sebagai koridor

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

utama perdagangan yang paling potensial untuk


dikembangkan sebagai tulang punggung kawasan
karena perannya sebagai penghubung utama antara
kawasan Mempura dengan Kota Siak Indrapura.
Tujuan dari penerapan Konsep Kota Berfungsi
Banyak pada kawasan Mempura adalah untuk
menarik berbagai peluang investasi serta minat para
pendatang dari luar daerah dengan menyediakan
berbagai jenis lapangan pekerjaan serta memberi
jaminan bagi hidup yang lebih berkualitas.
Perkembangan kawasan ditandai oleh pembangunan
fisik yang dimulai dari daerah terdekat dengan tulang
punggung dan kemudian menyebar ke seluruh bagian
kawasan.

Gambar 15. Simulasi Penerapan Konsep MFP pada


Kawasan Mempura
(Sumber: RTBL Kawasan Mempura, 2009)

Referensi
1) Barton, H., Grant, M., Guise, R. (2003) Shaping Neighbourhoods:
A Guide for Health, Sustainability, Vitality, New York: Routledge
2) Cullen, G. (1971) Townscape , London: Architectural Press
3) Diktat Kuliah (2009)Multi Function Polis, Yogyakarta: Magister
Desain Kawasan Binaan UGM
4) English Partnership and The Housing Corporation (2000), Urban
Design Compendium, London: Llewelyn and Davies
5) Gramedia Widiasarana Indonesia, PT. (1997) Bunga Rampai
Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jakarta
6) Lynch, K. (1960) The Image of the City, Cambridge: M.I.T.
Press
7) Pemerintah Kabupaten Siak (2009) Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan Kecamatan Mempura, Propinsi Riau
8) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Kabupaten Siak, Propinsi Riau
9) Pemerintah Kabupaten Siak (2006) Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan Kabupaten Siak dan Sekitarnya, Propinsi Riau
10) Shirvani, H. (1985) The Urban Design Process, New York: Van
Nostrand Reinhold
11) Trancik, R. (1986) Finding Lost Space: Theories of Urban Spatial
Design, New York: Van Nostrand Reinhold
12) http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/47265 (2008)

Imam Djokomono

Mekanisme Pencapaian Privasi Mahasiswa Pada Pondokan


Tipe Asrama Perorangan di Kampung Kota Iromejan dan Samirono (Studi Kasus)1
Soeleman Saragih
Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
1
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 1994

Abstract
Yogyakarta has been cited as the city of education. This citation urged students to continue their study in
Yogyakarta. As the result, the amount of lodgings surround campus increased. Urban quarters near
educational institutions become the first choice of student residencies. Since the residents in urban quarter
realize and feel lucky to deal with lodging services, they make several types of lodgings. One of them is
individual boarding house type (IBH-type). Students who live in lodgings need privacy to be able to study
well. Therefore, the problem of this research is: How the boarders try to obtain privacy in their lodgings at
Iromejan and Samirono quarters. This research aims at studying variations of students effort to control
interaction in their lodgings. Six sample of lodgings had been examined (Individual Boarding House Type
1-6) with 30 under graduated students as respondents. The variations of students efforts in controlling
interaction were examined by interviewing and making observation. Components of lodging setting which
exposed by the solution of visual and audio disturbance have been examined, and data collections were
gathered by observation and interviews. Inductive data analysis was done using categorization, description
and explanation techniques. Working hypothesis had been obtained from inductive data analysis. The major
finding in this research is that: Privacy can be obtained in three ways, i.e.: a) avoidance (behavioral), b)
hindrance of visual and audio, and c) separation on spatial distance (distancing). In spatial way, privacy is
obtained outside the quarters, such as in campus where the students study. Physically, boarders fortified
themselves by making hindrance and visual evader (visually), such as painting window-glasses, install
awning or curtain, lowering equipments elevation and placing vases close to porch and windows. The
connecting structure of those efforts in obtaining privacy has been visualized in a model. This model is not
the same as proposed by the previous researcher (Altman, 1975). For the moment, this model only prevailed
for lodgings case of individual boarding house type 1-6 at Iromejan and Samirono, Yogyakarta.
Keywords: privacy, students, individual boarding house type, Iromejan and Samirono quarters

1. Pendahuluan
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota
Pendidikan Tinggi (PT) terbesar di Pulau Jawa.
Predikat ini mendorong siswa melanjutkan studi di
Yogyakarta. Akibatnya, jumlah pondokan di sekitar
kampus meningkat dalam berbagai tipe. Salah satu di
antaranya adalah pondokan Tipe Asrama Perorangan
(TAP). Pondokan Tipe Asrama Perorangan di kampung
Iromrjan dan Samirono dihuni oleh mahasiswa dengan
tingkat interaksi dan mobilitas yang tinggi. Mahasiswa
yang tinggal di pondokan ini membutuhkan privasi
yang diinginkan untuk dapat belajar dan istirahat
dengan baik. Dijelaskan oleh Altman (1975), bahwa
privasi yang dicapai (Pc) dan privasi yang diinginkan
(Pi) sebaiknya sama atau optimal. Seseorang akan

mengalami terisolasi jika Pc > Pi, sebaliknya seseorang


akan merasa sesak apabila Pc < Pi. Mencari privasi
yang optimal di tempat pondokan yang dihuni oleh
mahasiswa dengan interaksi serta mobilitas tinggi
membutuhkan berbagai cara atau upaya. Karena itu,
masalah penelitian adalah bagaimana pemondok
(mahasiswa) berupaya mencapai privasi yang
diinginkannya. Tujuan penelitian mencari keragaman
kemampuan mahasiswa di pondokan untuk mencapai
privasi yang diinginkannya.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan
bagi perumusan kebijakan perencanaan dan
perancangan kampung kota sebagai lingkungan
pondokan mahasiswa.

Kontak: Soeleman Saragih


Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur & Perencanaan, FT UGM
Tel: (0274) 485613 Fax: (0274) 485613
E-mail: leman_tio@yahoo.com
(Diterima 9 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan
28 September 2010)

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

Gambar 1. Lokasi Penelitian Kampung Iromejan dan Samirono


(Sumber: Saragih, 1994).

Lokasi penelitian dipilih di kampung kota yaitu


kelompok rumah yang merupakan bagian dari kota
(biasanya kondisi fisik kampung kurang baik).
Iromejan dan Samirono merupakan kampung kota.
2. Studi Pustaka
Kampung Iromenjan dan Samirono ditetapkan
sebagai area penelitian dengan alasan berpotensi tinggi
sebagai kampung pondokan mahasiswa dan area ini
strategis terhadap 8 PT yaitu: UGM, UNY, USD, AA,
ATA, UKDW, UAJ, dan IST/AKPRIND (Gambar 1).
Tinjauan pustaka berikut ini bertujuan untuk
menuntun pengumpulan data dan analisis data.

10

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Dengan demikian macam variabel penelitian, bahan


serta materi yang diperlukan dapat disusun. Variabel
penelitian adalah privasi, dijabarkan atas kajian
terhadap apa yang disebut privasi oleh empat pakar
menurut bidangnya masing-masing. Mereka adalah:
(a) Altman (1975), (b) Rapoport (1977), (c) Weisman
(1981) dan (d) Holahan (1982).
Pengertian privasi, meskipun menurut konsep barat
(Altman, 1975 dan Rapoport, 1977) menyatakan telah
jelas artinya, tentu saja mempunyai tingkat yang
berbeda untuk manusia yang berbeda dan kasus yang
berbeda. Istilah privasi, meskipun didefinisikan secara
berbeda oleh pakar, sebenarnya mempunyai prinsip

Soeleman Saragih

yang sama. Dikemukakan oleh Rapoport (1977)


bahwa privasi adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan proses interaksi di lingkungan mereka
berada. Dengan demikian, privasi yang dimiliki
seseorang dapat membantunya untuk mengatur jarak
personal, jarak sosial serta menata waktu untuk
menyendiri dan menjauh. Dijelaskan oleh Altman
(1975) bahwa privasi mempunyai hubungan erat
dengan atribut lain yaitu: personal space (jarak
personal), territory (batas daerah), isolasi dan
crowding (kesesakan). Dengan demikian, pencapaian
privasi yang diinginkan seseorang tergantung pada
kemampuan orang itu untuk mengontrol atribut
tersebut di atas. Salah satu atribut yang sangat
berkaitan erat dengan pencapaian privasi adalah
kontrol teritori (Altman, 1975).
Weisman (1981) mengemukakan bahwa privasi
adalah sama dengan apa yang dikemukakan Rapoport
(1977) dan merupakan atribut yang muncul dari
kerangka interaksi manusia dengan seting. Kerangka
interaksi tersebut disebut model sistem perilaku
lingkungan. Model tersebut meskipun tampak
sederhana, bisa memberikan berbagai isu penelitian
yang berkaitan dengan tiga komponen yaitu: (1)
tempat (seting), (2) fenomena perilaku, dan (3)
kelompok pemakai (organisasi dan individu).
Organisasi dapat dipandang sebagai institusi atau
pemilik yang mempunyai hubungan dengan seting.
kualitas hubungan antara seting dengan organisasi
disebut atribut atau fenomena perilaku. Adapun atribut
yang muncul dari interaksi tersebut antara lain; privasi,
kontrol, ruang personal, sosialisasi, kesesakan dan
isolasi. Individu juga dapat dipandang sebagai
manusia yang menggunakan seting. Manusia, baik
individu maupun kelompok-kelompok, berinteraksi di
dalam seting. Proses interaksi yang terjadi tidak hanya
antara manusia dengan manusia, tetapi juga interaksi
antara manusia dengan seting. Kualitas hubungan
antara seting dengan manusia disebut konsep atribut.
Ada banyak konsep atribut, misal: privasi, sosialisasi
dan lain-lain.
Seting fisik disebut sebagai lingkungan fisik,
tempat tinggal manusia. Hubungan antara seting
dengan manusia tersebut dinyatakan dengan konsep
atribut. Pengamatan atribut tertentu (misal: privasi)
sama dengan pengamatan hubungan antara manusia
dengan manusia dalam seting tertentu. Dengan
demikian jika konsep atribut privasi ingin diteliti,
maka pengamatan atau observasi harus ditujukan pada
konsep seting, manusia dan organisasi. Seting dapat
dilihat dari dua hal yaitu; komponen dan properti.
Properti adalah karakter atau kualitas dari komponen,
sedangkan komponen ada tiga kategori yaitu: (a).
komponen fix, (b). komponen semi-fix, (c). komponen
non-fix. Komponen fix dalam arsitektur dapat berupa
dinding, lantai dan atap bangunan. Weisman (1981),
mengatakan bahwa komponen seting, baik fix,
semi-fix maupun non-fix, selalu mengakomodasi
konsep atribut tertentu.

Holahan (1982), mendukung pengertian privasi


yang dikemukakan oleh Weisman (1981). Holahan
(1982) pernah membuat alat pengukur jenis privasi
dan ia mendapatkan enam jenis privasi yang terbagi
menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah: (1)
keinginan untuk menyendiri (solitude), (2) keinginan
untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara
tetangga atau kebisingan lalu lintas (seclusion), (3)
keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang
tertentu saja tetapi jauh dari semua orang lain.
Selanjutnya golongan kedua adalah; (4) keinginan
untuk merahasiakan jati diri (anonymity), (5)
keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu
banyak kepada orang lain (reserve), (6) keinginan
untuk tidak terlibat dengan tetangga (not
neighboring).
Berdasarkan kajian pustaka tentang privasi di atas,
nampak bahwa privasi adalah hasrat, kehendak dan
kemampuan untuk mengontrol akses fisik maupun
informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain.
Privasi juga merupakan inti dari personal space.
Pengertian personal space yang dikemukakan oleh
Altman (1975), didukung oleh Holahan (1982).
3. Metodologi Penelitian

Gambar 2. Prosedur Cara Penelitian


(Sumber: Saragih, 1994).

Fenomena privasi mahasiswa di pondokannya dapat


diteliti dengan berbagai cara. Cara penelitian yang
dipilih adalah naturalistic inquiry, kualitatif

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

11

rasionalistik (Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985),


dan bukan kuantitatif. Alasannya ada tiga, yaitu: (a)
karakteristik pondokan dan pemondok (mahasiswa) di
lokasi penelitian adalah heterogen, (b) populasi
pondokan dan pemondok tidak diketahui, (c)
penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan
hipotesis. Cara penelitian dimulai dengan penentuan
lokasi penelitian, penentuan kasus pondokan dan
responden, cara pengumpulan dan pencatatan data,
cara analisis, dan langkah terakhir adalah pembahasan
hasil penelitian dan kesimpulan.
Penelitian diawali dengan menetapkan tiga area
pengamatan: A, B, dan C dengan pertimbangan
kesamaan
karakteristik
fisiknya,
kemudian
menentukan sampel (purposive sampling) pada ketiga
area penelitian dan menggambarkan denah tata ruang
pondokan. Selanjutnya mengidentifikasi elemen
non-fisik pondokan (ruang dan kegiatan) dan elemen
fisik (dinding, pintu, jendela, akses atau sirkulasi
pencapaian).
Wawancara dan observasi dilakukan pada setiap
sampel pada ketiga area penelitian (A, B, C). Sampel
pondokan (TAP) dtetapkan sebanyak enam dari 10
TAP yang ada di area penelitian. Responden
ditetapkan sebanyak 30 orang mahasiswa dari 100
mahasiswa di area penelitian. Dalam penelitian
fenomenologi, peneliti sebagai alat (human
instrument) mencatat fenomena perilaku dibantu

dengan alat (kamera dan handycam). Hasil wawancara


dicatat dalam buku kompilasi atau rekaman data. Data
disajikan secara deskriptif menurut jenis data. Data
diolah dan disusun dalam bentuk catatan pada kartu
informasi atau unit informasi. Hasil observasi
fenomena perilaku dan tempat kegiatan, termasuk foto
observasi berkas kegiatan disajikan dengan jelas. Data
dan informasi dianalisis dengan cara: kategorisasi,
deskripsi dan ekplanasi secara siklikal. Hasil analisis
sementara menghasilkan sejumlah temuan yang
disebut hipotesis kerja. Berdasarkan hipotesis kerja
yang terkumpul selama penelitian (4 bulan), maka
kecenderungan
fenomena
keragaman
privasi
mahasiswa dapat diformulasikan sebagai hasil atau
temuan penelitian. (Perhatikan Gambar 2)
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian
a. Gambaran Kehidupan di Lokasi Penelitian
Kampung kota yang bernama Iromejan dan
Samirono ini adalah kampung yang memiliki potensi
pondokan mahasiswa, terletak pada jarak kurang dari
500 m dari delapan perguruan tinggi. Kedua
kampung ini, selain dikelilingi oleh perguruan tinggi,
juga berada di daerah pengaruh sub-pusat
perdagangan skala kota. Sub-pusat perdagangan kota
berada tepat di bagian selatan Kampung Iromejan.
Kedua kampung yang mempunyai luas wilayah tidak

Gambar 3. Sebaran Lokasi Pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP 1 s.d. TAP 6)
(Sumber: Saragih, 1994).

12

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Soeleman Saragih

lebih dari 25 hektar ini, cenderung berkembang


menjadi sebuah kampung yang disebut kampung
mahasiswa. Hal ini dibuktikan oleh data
kependudukan yang menunjukkan kurang lebih 2.500
mahasiswa tinggal sementara di kampung ini. Hampir
setiap rumah memiliki pondokan.
Berdasarkan rekaman data, ada dua elemen yang
berpengaruh pada kehidupan umum lokasi penelitian.
Pertama, perguruan tinggi yang ada di sekitar
kampung menjadi stimulator pertama. Sementara,
kawasan sub-pusat perdagangan di Jalan Urip
Sumoharjo sebagai stimulator kedua. Kedua
stimulator di atas merupakan penyebab jumlah
pemondok (mahasiswa) meningkat dan interaksi
kegiatan kehidupan dalam kedua kampung tersebut
menjadi tinggi. Situasi dan kondisi lingkungan
pondokan TAP 1 s.d. TAP 6, pada umumnya
bermasalah: padat penghuni, padat bangunan, padat
lalu-lintas, dekat jalan raya, ruang terbuka sempit,
tiada ruang tamu. Sebaran lokasi TAP 1 s.d. TAP 6
ditunjukkan pada gambar 3.
Di area penelitian ini, arus lalu-lintas dari utara ke
selatan dan sebaliknya relatif padat. Gambaran ini
mengindikasikan ada gejala kesesakan (crowding)
yang tentu saja terkait dengan privasi mahasiswa yang
tinggal di lokasi penelitian.

pondokan lainnya (TAP2 s.d. TAP6).

Gambar 4. Denah Pondokan TAP1


(Sumber: Saragih, 1994).

b.

Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan


TAP 1 s.d. TAP 6
1. Gambaran Pondokan TAP 1
Pondokan TAP1 yang mempunyai 16 kamar ini
terletak di tepi gang yang sering dilewati orang.
Kamar pondokan yang berukuran tidak lebih dari 3 x
3 m tersusun dengan pola saling berhadapan (face to
face). Jendela dari kayu dengan panil kaca transparan.
Ruang tamu tidak tersedia. Kamar disewakan untuk
satu atau dua orang tanpa perabot. Pondokan yang
mempunyai jalan pencapaian di tengah, terbuka (tanpa
atap), meskipun agak kotor tetapi selalu penuh, dihuni
oleh 16 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar
Jawa (5 orang), sedangkan lainnya dari Jawa
(perhatikan gambar 4).
Hipotesis Kerja Pondokan TAP1
Hipotesis kerja awal yang ditransfer atas dasar
rekaman data, unit informasi adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam
pondokan ada tiga cara, yaitu: a) penghalang
visual dan suara (fisikal), b) penghindaran dari
pandangan atau visual (behavioral), c) penjauhan
jarak (spasial).
2) Kertas yang dipasang di jendela merupakan
upaya penghalang visual (kategori fisikal).
3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan
merupakan upaya penarikan jarak (kategori
spasial).
Hipotesis kerja ini akan diperiksa atau
dikonfirmasikan kembali melalui rekaman data kasus

Gambar 5. Ruang dalam Pondokan TAP1


(Sumber: Saragih, 1994).

2.

Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP2


Pondokan TAP2 yang mempunyai 34 kamar ini
terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan
Jalan Urip Sumoharjo dengan Kampung Iromejan
bagian barat (lihat gambar 3). Kamar-kamar yang
berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m, tersusun dalam
dua pola, yaitu: a) saling berhadapan (face to face),
b) saling bertolak belakang (back to back). Pintu
setiap kamar langsung berhadapan dengan gang
(jaraknya tidak lebih dari 1 m), jendela dibuat dari
kaca yang sifatnya transparan atau tembus pandang.
Pondokan TAP2 yang dimiliki oleh Ketua RW ini
selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1),
meskipun terletak di tepi jalan/gang yang cukup ramai.
Seluruh penghuni adalah mahasiswa, dengan jumlah

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

13

tidak kurang dari 34 orang. Mereka berasal dari luar


Jawa (5 orang) dan yang lainnya dari Jawa.
Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 dan TAP2
Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1) pada
prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pondokan TAP2.
Perbedaannya terletak pada komponen seting yang
digunakan dalam upaya mendapatkan privasi belajar.
Komponen
tersebut
adalah:
pot-pot
bunga
ditempatkan di depan pintu dan digantungkan di dekat
jendela. Dengan demikian hipotesis awal diperbaharui
dengan rumusan hipotesis kedua, yaitu:
1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam
pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a)
penghalang visual dan suara (fisikal), b)
penghindaran dari pandangan atau visual
(behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).
2) Krei yang dipasang di jendela dan pintu,
merupakan upaya penghalang visual (kategori
fisikal).
3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan,
merupakan upaya penarikan jarak (kategori
spasial).
4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping
jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal),
merupakan upaya penghindar, agar orang
lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu
kamar.
Hipotesis kerja di atas akan diperiksa kembali
melalui rekaman data kasus pondokan TAP3 s.d.
TAP6.
3.

Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP3


Pondokan TAP3 yang mempunyai 8 kamar ini
terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan
Jalan Urip Sumoharjo dengan Jalan Kolombo.
Kamar-kamar yang berukuran tidak lebih dari 3 x 3 m,
tersusun dengan pola linier. Lima kamar
masing-masing mempunyai letak pintu yang langsung
berhadapan dengan jalan (jaraknya tidak lebih dari 1
meter). Jendela kamar dibuat dari kayu atau kaca yang
sifatnya transparan atau tembus pandang. Pondokan
TAP3 ini dimiliki oleh seorang purnawirawan ABRI,
selalu penuh dengan penghuni (mahasiswa S-1)
meskipun suasana cukup ramai, baik malam maupun
siang hari. Seluruh penghuni adalah mahasiswa,
dengan jumlah tidak kurang dari 10 orang mahasiswa.
Mereka berasal dari luar Jawa (7 orang), sedangkan
yang lainnya berasal dari Jawa. Kamar ini dilengkapi
listrik dengan daya 25 watt (maksimum) dan tanpa
perabot (tempat tidur, lemari dan meja belajar).
Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1, TAP2, TAP3
Hipotesis kerja awal (kasus pondokan TAP1 dan
TAP2) pada prinsipnya dapat diterima setelah
dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi
yang diperoleh dari kasus pondokan TAP3. setelah
diperiksa maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya
adalah:

14

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam


pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a)
penghalang visual dan suara (fisikal), b)
penghindaran dari pandangan atau visual
(behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).
2) Krei, vinil, kertas yang dipasang di jendela dan
pintu, merupakan upaya penghalang visual
(kategori fisikal).
3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan,
merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan
visual dan suara (kategori spasial).
4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping
jendela dan teras dekat pintu masuk merupakan
upaya agar orang lalu-lalang tidak mendekati
jendela dan pintu kamar (kategori fisikal).
5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang)
merupakan
upaya
mengatasi
gangguan
pandangan (visual) melalui jendela kaca.
Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali
melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP4
s.d. TAP6).
4.

Gambaran Privasi Mahasiswa di Pondokan TAP4


Pondokan TAP4 yang mempunyai 14 kamar ini
terletak di tepi jalan lingkungan yang menghubungkan
Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolombo (lihat
gambar 3). Kamar-kamar yang berukuran tidak leih
dari 3 x 3 m tersusun dengan pola linier. Pintu dari
lima kamar langsung berhadapan dengan jalan
lingkungan (jaraknya tidak lebih dari 2 m). Jendela
dibuat dari kayu dan kaca yang sifatnya tembus
pandang atau transparan. Pondokan TAP4 yang
dimiliki oleh pegawai negeri ini selalu penuh dengan
penghuni (mahasiswa S-1), meskipun terletak di
daerah yang ramai dan di tepi jalan. Seluruh penghuni
pondokan adalah putra, jumlahnya tidak kurang dari
14 orang mahasiswa. Mereka berasal dari luar Jawa (7
orang) dan selebihnya berasal dari Jawa. Kamar yang
disewakan dengan harga sebesar Rp. 100.000,- s.d. Rp.
200.000,- per kamar/bulan ini dilengkapi listrik
dengan daya (maksimum) 40 watt, perabot (1 meja
belajar dan 1 tempat tidur).
Hipotesis Kerja Pondokan TAP 1 s.d. TAP4
Hipotesis kerja sebelumnya (kasus pondokan TAP1,
TAP2, TAP3) pada prinsipnya dapat diterima setelah
dikonfirmasikan dengan rekaman data, unit informasi
yang diperoleh dari kasus pondokan TAP4. Karenanya,
maka rumusan hipotesis kerja selanjutnya adalah:
1) Untuk mendapatkan privasi belajar di dalam
pondokan ada tiga cara atau upaya, yaitu: a)
penghalang visual dan suara (fisikal), b)
penghindaran dari pandangan atau visual
(behavioral), c) penjauhan jarak (spasial).
2) Krei, viniyl, kertas yang dipasang di jendela dan
pintu, merupakan upaya penghalang visual
(kategori fisikal).
3) Belajar di tempat teman atau di luar pondokan,
merupakan upaya penarikan jarak dari gangguan

Soeleman Saragih

visual dan suara (kategori spasial).


4) Penempatan pot bunga dan tanaman di samping
jendela dan teras dekat pintu masuk (fisikal),
merupakan upaya penghindar, agar orang
lalu-lalang tidak mendekati jendela dan pintu
kamar.
5) Penurunan elevasi tempat tidur (ranjang)
merupakan
upaya
mengatasi
gangguan
pandangan (visual) melalui jendela kaca.
Hipotesis kerja di atas telah diperiksa kembali
melalui rekaman data kasus pondokan lainnya (TAP5
s.d. TAP6). Berdasarkan hasil pemeriksaan hipotesis
kerja di TAP1 s.d. TAP6, variasi upaya pencapaian
privasi mahasiswa dapat disederhanakan dalam bentuk
model berikut (perhatikan Gambar 8)

Gambar 6. Denah Pondokan TAP4


(Sumber: Saragih, 1994).

Gambar 7. Tampak Depan TAP 4


(Sumber: Saragih, 1994).

4.2. Pembahasan Hasil Penelitian


Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
bagaimana dan mengapa privasi mahasiswa di
pondokan TAP 1 s.d. TAP 6 di Iromejan dan Samirono.
Meskipun secara keseluruhan kampung Iromejan dan
Samirono mempunyai situasi dan kondisi (padat huni,
padat bangunan, padat lalu lintas, berada di pusat
kota), mahasiswa yang tinggal di pondokan TAP1 s.d.
TAP6 relatif mampu mengontrol interaksinya dan
mampu menggunakan pilihan-pilihan untuk mencapai
privasinya. Bagi mahasiswa baru yang tinggal di
pondokan ini, memang pada awalnya mengalami stres,
tetapi kemudian mereka mampu menyesuaikan diri.
Mereka tidak pindah ke pondokan lain di luar
Kampung Iromejan dan Samirono, meskipun kondisi
TAP1 s.d. TAP6 memiliki kondisi bermasalah
menyangkut: kepadatan lalu-lintas yang tinggi,
kondisi ruang publik relatif padat dan kumuh. Hal ini
mengindikasikan bahwa mahasiswa masih mampu
secara personal menyesuaikan diri dengan kondisi
kampung sebagaimana adanya. Indikasi lain bahwa
privasi bukanlah satu-satunya pertimbangan mengapa
mereka bertempat tinggal di TAP di Iromejan.
Pemilihan TAP di Iromejan, kemungkinan, karena
dekat kampus dan fasilitas umum (belanja). Meskipun
demikian, tempat atau pondokan ikut mempengaruhi
perilaku mahasiswa. Karenanya privasi (kenyamanan
visual dan audio) harus mendapat perhatian dalam
perbaikan kampung oleh Pemerintah dan warga
kampung setempat khususnya pemilik TAP atau
pondokan sejenis.
Walaupun konfigurasi kamar-kamar pada beberapa
pondokan berpola saling berhadapan (face to face),
kamar berukuran hanya 3 x 3 m2 untuk dua orang,
jendela dari panel kaca transparan, dekat dengan jalan
kampung, mahasiswa masih mampu mengendalikan
interaksi dengan menggunakan pilihan-pilihan untuk
mencapai privasi yang diinginkan tanpa melakukan
perubahan fisik komponen kamar (perhatikan
hipotesis kerja TAP 1 s.d. TAP6). Mereka menyadari
statusnya sebagai penyewa, namun mereka
dimungkinkan menata kamarnya dengan komponen
bersifat non-fix (misal; memasang krei, karpet, vinyl,
tanaman pot) yang dapat membantu pencapaian
tingkat keterbukaan atau ketertutupan kamar yang
diinginkannya.
Dalam situasi tertentu (mahasiswa mengalami
kesulitan penyesuaian diri terhadap kondisi TAP 1 s.d.
TAP 6), mahasiswa masih mampu melakukan pilihanlain untuk mencapai privasinya. Contoh, jika mereka
tidak dapat belajar di pondokannya, mereka dapat
memilih kampus terdekat sebagai tempat belajar.
Upaya semacam ini dapat dilakukan dengan mudah
sebab Iromejan berada dalam radius hanya 500 m
dari kampus perguruan tinggi /fasilitas belajar.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

15

Pi
Pc

=
=

Privasi yang diinginkan.


Privasi yang dicapai.

Gambar 8. Model Upaya Pencapaian Privasi Mahasiswa (Studi Kasus TAP1 sd. TAP6) di Kampung Iromejan dan Samirono.
(Sumber: Saragih, 1994).

Model upaya pencapaian privasi mahasiswa di


TAP1 s.d. TAP6 (perhatikan Gambar 8) pada dasarnya
mempunyai persamaan dengan model mekanisme
pencapaian privasi (Altman, 1975). Perbedaanya
terletak pada: konsep personal space, territory,
dan verbal behavior. Konsep barat, perilaku dilakukan
dengan cara mengatakan (verbal), sedangkan orang
timur, perilaku dilakukan dengan menunjukkan
ekspresi, wajah atau gerakan tubuh, termasuk
menghindar atau menarik jarak dari sumber gangguan.
Gejala ini disebabkan oleh perbedaan budaya, contoh
orang timur masih memilki sifat pakewoh.
Berdasarkan kajian manfaat hasil penelitian,
pengembangan pondokan TAP1 s.d. Pondokan TAP6,
tidak hanya menguntungkan para mahasiswa, namun
juga dapat menambah pendapatan warga kampung
khususnya pemilik pondokan. Tambahan lagi, manfaat
yang lebih baik akan dirasakan oleh semua pihak jika
perencanaan dan perancangan pondokan melibatkan
pemerintah setempat yang berkompoten.
5. Kesimpulan
Upaya mahasiswa mencapai privasi yang
diinginkan di TAP1 s.d. TAP6 di kampung kota
(Iromejan dan Samirono) cukup bervariasi. Tiga
kategori upaya yang fenomenal yaitu: penghindaran
(behavioral), penghalang (physical) dan penjauhan

16

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

jarak terhadap faktor gangguan (spasial). Ketiga upaya


yang fenomenal ini perlu diketahui dan dipahami.
Tidak hanya diketahui, tetapi disarankan agar privasi
diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan atau
perbaikan pondokan Tipe Asrama Perorangan (TAP),
sebagai bagian dari kehidupan kampus, termasuk
perencanaan dan perbaikan kampung kota sebagai
bagian dari kota Yogyakarta.
Referensi
1) Altman, Irwin, 1975, The Environment and Social Behavior, hal.:
5-7, Monterey, California.
2) BAPPEDA Dati I DIY, 1987, Penelitian Pemondokan di
Yogyakarta, Yogyakarta.
3) Holahan, C.J., 1982, Environmental Psychology, Random House,
New York.
4) Rapoport, Amos, 1987, (Dalam : Lang, J., Creating Architecture
Theory), VNR, New York.
5) Sarwono, W.S., 1992, Psikologi Lingkungan, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
6) Soeleman, 1994, Privasi Mahasiswa di Pondokan Tipe Asrama
Perorangan di Yogyakarta. Thesis S-2 UGM
7) Susilo, 1988, Perilaku Manusia Pada Penghunian Asrama dengan
Kasus Asrama Kampus LIPPI, Thesis S-2 ITB, Bandung.
8) Weisman, 1981, Modeling Environment Behavioral System,
Pennsylvania, USA.
9) Yvonna, Lincoln, and Guba, G., 1985, Naturalistic Inquiry,
Beverley Hills, California.

Soeleman Saragih

Prospek dan Permasalahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau sebagai Pengurangan


Dampak dan Adaptasi Terhadap Pemanasan Lokal
Farida Khuril Maula
Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota (KK-PPK)
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung

Abstract
The physical development activities tend to affect the existence of urban green spaces in cities. Urban
green spaces are essential to address micro-climate issues. Although Bandung City was famous as a garden
city in the past, maintaining an adequate extent of green space as mitigation and adaptation measure for
lokal warming has become difficult due to the rapid rate of land use changes for various urban purposes. A
survey conducted with a stratified random sample of residents revealed that majority of them considered
improving micro-climatic conditions as the main function of green space at the city level but not at the
individual premises level. The local authoritys recognition of green space only as a public amenity is a
barrier in ensuring a hierarchy of green spaces. It was also revealed that the city authority is not effective in
implementing command and control measures to ensure adequate green spaces at sub-city level. The
problems of green space in the city is related with the poor distribution and maintaining of green space,
ineffective implementation of the regulation, budget and land limitation for the development. In order to
maximize the potentials and minimize the problems of green space improvement, some solution to create
better environmental management measures of urban green space has been proposed. These involve three
main points which are public private partnership, improving the citizens participation and law enforcement.
Keyword: Green spaces, environmental management measures, lokal warming, mitigation, adaptation

1. Latar Belakang
Pada tahap awal perkembangan suatu kota,
sebagian besar dari lahan perkotaan masih berupa
ruang terbuka. Namun, karena tingginya kebutuhan
akan lahan untuk mengakomodasi penduduk dengan
berbagai kegiatannya akhirnya ruang terbuka tersebut
berubah menjadi ruang terbangun. Banyak Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang telah
berubah menjadi guna lahan lainnya yang lebih
banyak memberikan keuntungan bagi penduduk.
Tekanan terhadap penambahan ruang untuk
permukiman dan aktivitas bisnis di kawasan perkotaan
telah menyebabkan RTH yang ada menjadi lahan yang
berpotensi untuk dijadikan lahan terbangun. Oleh
karena itu, banyak RTH di kawasan perkotaan
berubah fungsi menjadi kawasan permukiman,
industri, atau perdagangan. Hal ini menyebabkan
semakin berkurangnya RTH di kawasan perkotaan.
Kurangnya
RTH
di
kawasan
perkotaan
menyebabkan munculnya berbagai masalah, terutama
Kontak: Farida Khuril Maula
Asisten Peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan dan
Perancangan Kota (KK-PPK), Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB
E-mail: nengrida@gmail.com
(Diterima 23 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan
23 Oktober 2010)

yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Semakin


sedikitinya RTH berarti semakin sedikit pula kawasan
yang berfungsi untuk menyerap panas yang
dikeluarkan
oleh
struktur
perkotaan
dan
Karbondioksida
(CO2)
yang
menyebabkan
bertambahnya suhu perkotaan. Selain itu, RTH juga
berfungsi untuk menyaring polusi suara dan menyerap
polusi udara yang dihasilkan oleh aktivitas industri
dan kendaraan bermotor. RTH juga dapat mencegah
banjir di kawasan perkotaan, karena lapisan serapan
airnya secara perlahan akan mengurangi limpasan air
(Heidt, 2008). RTH juga dapat berguna bagi penduduk
sebagai bentuk adaptasi terhadap pemanasan di
kawasan perkotaan. Pengembangan RTH berpotensi
untuk mengurangi dampak nyata dari urbanisasi
kawasan perkotaan secara berkelanjutan dengan
mengkombinasikan
manfaat
sosial,
ekonomi,
lingkungan dan lainnya, dan juga membuat kota
sebagai tempat yang menarik untuk ditinggali.
Tulisan
ini
mendiskusikan
prospek
dan
permasalahan yang dihadapi Kota Bandung dalam
mengembangkan RTH sebagai salah satu cara untuk
mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan lokal.
Prospek dan permasalahan tersebut dilihat dari dua
sisi yaitu masyarakat dan kesiapan institusi beserta
aturannya.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

17

2. Pemanasan Lokal
Dampak dari pemasan lokal di kawasan perkotaan
semakin terlihat nyata dari waktu ke waktu. Salah satu
persoalan penting dalam menghadapinya adalah
bagaimana cara menyikapi pemanasan lokal dan
dampaknya baik untuk saat ini maupun di masa yang
akan datang. Pada tingkat kota, fenomena pemanasan
lokal terjadi karena efek Urban Heat Island (UHI).
UHI efek adalah suatu fenomena dimana suhu di
kawasan perkotaan yang padat terbangun lebih tinggi
daripada di kawasan sub-urban atau perdesaan (Yu,
2005). UHI efek terjadi karena banyaknya panas yang
dipancarkan dari struktur perkotaan karena struktur
tersebut mengkonsumsi dan memancarkan radiasi
solar. Suhu yang lebih panas di kawasan perkotaan
menyebabkan kondisi yang kurang nyaman bagi
penduduk. Hal ini secara tidak langsung akan
meningkatkan penggunaan pendingin ruangan,
sehingga meningkatkan konsumsi energi yang pada
akhirnya akan memancarkan gas rumah kaca ke
atmosfer (Solecki, dkk., 2004).
Jusuf (2007) dalam penelitiannya mengenai
pengaruh dari guna lahan terhadap UHI di Singapura,
menyatakan bahwa penggunaan lahan di kawasan
perkotaan akan mempengaruhi suhu permukaan. Dari
hasil penelitiannya terbukti bahwa di siang hari,
kawasan industri memiliki suhu permukaan yang lebih
tinggi dibandingkan kawasan bisnis dan perdagangan.
Untuk kawasan hijau terbukti memiliki suhu
permukaan yang paling rendah. Sedangkan pada
malam hari, kawasan bisnis dan perdagangan
menghasilkan suhu permukaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kawasan industri. Hal ini
mungkin disebabkan karena adanya panas yang
tersimpan dalam struktur perkotaan yang sedikit demi
sedikit dikeluarkan ke lingkungan sekitarnya.
Efek UHI di kawasan perkotaan tidak hanya berasal
dari panas yang dipancarkan dari sekumpulan orang,
namun juga berasal dari bangunan-bangunan yang
telah memecah angin dan menghalangi pola
pencahayaan dan bayangan dalam suatu kawasan.
Sinar matahari diserap dan dipancarkan dari
permukaan gedung. Lapisan gedung yang berwarna
putih mempunyai nilai lapisan albedo yang tinggi,
sedangkan permukaan yang berwarna hitam memiliki
lapisan albedo yang rendah. Pada dasarnya, warna dari
material bangunan yang lebih terang secara tidak
langsung dapat menurunkan suhu perkotaan (Moore,
2006). Selain dari bentuk struktur bangunan,
kendaraan juga memancarkan panas. Hasil dari
pembakaran bahan bakar dalam mesin kendaraan
menghasilkan panas yang dikeluarkan ke atmosfer.
Akibatnya, suhu udara di jalan raya semakin tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, efek UHI
mempengaruhi kondisi suhu di kawasan perkotaan
dengan meningkatkan suhu udara dan menyebabkan
pemanasan lokal di kawasan perkotaan.

18

JAP Vol.4 No.2 Okt.2010

3. Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan komponen
penting dari suatu kawasan perkotaan. (Levent, 2004)
mendefinisikan RTH sebagai ruang terbuka baik
publik maupun privat yang permukaannya ditutupi
oleh vegetasi, baik secara langsung atau tidak
langsung tersedia bagi pengguna. Definisi yang sama
juga tertulis dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 1 Tahun 2007, RTH Kawasan Perkotaan
merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi
dan estetika. Berdasarkan jumlah dan distribusinya di
suatu kawasan perkotaan, RTH dapat menjadi penentu
struktur dan identitas kota melalui fungsi sosial dan
estetikanya, sehingga secara tidak langsung
mempengaruhi kualitas hidup dari penduduknya.
Kombinasi dari RTH dan rencana tata ruang yang
tertata dan terawat dengan baik akan meningkatkan
fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari suatu kota
(Chiesura, 2004).
Dari masa ke masa, RTH di kawasan perkotaan
mengalami pergeseran fungsi. Pada sekitar abad 15,
RTH dibangun sebagai simbol kekuasaan dan
kemewahan keluarga kerajaan. Pada masa ini, RTH
biasanya berbentuk persegi dan berfungsi sebagai
tempat pertemuan untuk mengadakan pesta yang
mampu menampung ribuan orang. Pada era modern
(sekitar tahun 1700-1837), di negara Inggris RTH
diadaptasi menjadi ruang terbuka informal yang
memiliki lansekap alami. Di kawasan perkotaan,
ruang terbuka tersebut ditutupi oleh lapisan batu bata
dan patung, serta ditanami pepohonan untuk
membuatnya terlihat alami.
Selama 100 tahun terakhir, RTH mengalami
perubahan konsep yang cukup drastis. Tingginya
tingkat urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan
munculnya masalah lingkungan di kawasan perkotaan.
Oleh karenanya, Ebenezer Howard (1902)
berangan-angan untuk menciptakan suatu kawasan
perkotaan yang menawarkan berbagai kesempatan
sosial dan ekonomi namun memiliki suasana alami
dan sejuk seperti kawasan perdesaan. Sedangkan,
dalam konteks pembangunan kota berkelanjutan,
peran dari RTH seperti yang diidentifikasikan oleh
Chiesura (2004). Dari hasil studinya, diperoleh bahwa
RTH memiliki fungsi sosial dan psikologi yang
dibutuhkan untuk penduduk, sehingga RTH
merupakan sumber daya penting dari suatu kawasan
perkotaan dan merupakan kunci utama untuk
mencapai kota berkelanjutan.
Paradigma terbaru dari RTH adalah dalam
kaitannya dengan peran RTH terhadap fenomena
perubahan cuaca. Dalam konteks perubahan cuaca,
RTH merupakan salah satu cara mitigasi yang dapat
mengurangi dampak dari perubahan cuaca dengan
mengurangi suhu di kawasan perkotaan. Keberadaan
pepohonan dan ruang terbuka telah berkontribusi
terhadap penghematan energi di gedung dan juga

Farida Khuril Maula

meningkatkan kondisi iklim mikro di kawasan


perkotaan. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk
pemanasan dan pendinginan di dalam gedung dapat
dikurangi dengan penempatan yang tepat dari
pepohonan di sekitar bangunan.
4. Kondisi RTH di Kota Bandung
Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah RTH di Kota
Bandung dalam bentuk taman telah berkurang secara
perlahan. Tingginya permintaan terhadap perumahan
beserta infrastruktur dan fasilitas pendukungnya
dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Banyak
RTH dalam bentuk ladang dan perkebunan telah
berubah menjadi kawasan terbangun seperti kawasan
perkantoran, pusat perbelanjaan dan perumahan.
RTH di Kota Bandung tersebar secara tidak merata
di enam Wilayah Pengembangan (WP). Sebagian
besar dari RTH terletak di bagian utara Kota Bandung
yaitu WP Cibeunying. Sementara itu, untuk bagian
selatan, hanya terdapat sedikit RTH. Perbedaan
distribusi RTH di setiap wilayah Kota Bandung terjadi
karena perbedaan peruntukkan guna lahan di kedua
wilayah tersebut. Di bagian utara, sebagian besar guna
lahan diperuntukkan sebagai kawasan wisata dan jasa,
sehingga banyak RTH yang tetap dilestarikan sebagai
daya tarik. Sementara itu, di bagian selatan, sebagian
besar guna lahannya didominasi oleh industri dan
permukiman. Buruknya distribusi RTH ini akan
mempengaruhi kualitas lingkungan dan kualitas hidup
dari penduduk Kota Bandung itu sendiri.
Permasalahan lain yang terkait dengan RTH di Kota
Bandung adalah anggapan bahwa RTH hanyalah
fasilitas publik yang tidak terlalu penting
dibandingkan dengan fasilitas lainnya yang mungkin
akan dibangun di atasnya. Padahal, RTH seperti taman
kota, hutan kota, jalur hijau dan kebun memiliki
fungsi yang sangat penting dibandingkan dengan
fungsi ekonomi. Fungsi penting tersebut diantaranya
sebagai penyaring udara dan kawasan serapan air.
Minimnya RTH di Kota Bandung mungkin juga
disebabkan oleh pembangunan yang tidak terkendali
dalam
beberapa
tahun
terakhir.
Tingginya
pertumbuhan penduduk memberikan desakan terhadap
permintaan lahan permukiman dan fasilitas
pendukungnya.
5. Tindakan Pengelolaan Lingkungan untuk
Peningkatan Fungsi RTH
Tindakan
pengelolaan
lingkungan
dalam
peningkatan fungsi RTH merupakan sekumpulan
perangkat kebijakan, peraturan, perencanaan, ekonomi
dan ajakan. Perangkat tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pengelolaan RTH yang pada akhirnya
akan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.
Selain itu, perangkat tersebut juga berguna untuk
memperkirakan dampak yang terjadi dari keberadaan
dan ketidakberadaan RTH.
Perangkat kebijakan yang terkait dengan
pengembangan RTH adalah kebijakan yang tertuang

dalam Go Green Program yang berada di bawah


tanggung jawab Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Kota Bandung. Program Go Green bertujuan
untuk mengurangi polusi udara di Kota Bandung
melalui program penghijauan. Program penghijauan
ini terdiri dari banyak program yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH kota.
Perangkat peraturan mencakup semua aturan baik
di tingkat nasional maupun daerah yang mengatur
mengenai penyediaan dan pengelolaan RTH.
Peraturan yang terkait dengan RTH mencakup
Undang-undang No. 26 Tahun 2007, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008, dan
aturan mengenai izin mendirikan bangunan.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 mengatur
mengenai jumlah minimal dari RTH publik dan privat
yang harus ada di kawasan perkotaan. Dalam
Undang-undang ini disebutkan bahwa suatu kawasan
perkotaan harus memilki 30% RTH yang terdiri dari
20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu,
dalam Undang-undang Ini juga diatur mengenai
distribusi RTH yang harus disesuaikan dengan
distribusi penduduk dan tingkat pelayanannya, tanpa
mengubah rencana pola dan struktur ruang.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5
Tahun 2008, RTH didefinisikan sebagai area
memanjang/jalur
dan
mengelompok,
yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam. Peraturan ini merupakan
penjabaran dari Undang-undang No. 26 Tahun 2007.
Dalam peraturan ini diatur mengenai penyediaan dan
penggunaan RTH secara lebih mendetail. Hal-hal yang
terkait dengan RTH yang diatur dalam aturan ini
adalah jenis-jenis RTH, penyediaan RTH berdasarkan
luas total kota, jumlah penduduk, dan RTH khusus,
penentuan jenis tanaman dalam RTH, penggunaan
RTH pada berbagai tingkat, dan prosedur perencanaan
dan peran masyarakat dalam penyediaan dan
pemanfaatan RTH.
Setiap pembangunan baru di kawasan perkotaan
memerlukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
sebelum melakukan pembangunan. IMB ini hanya
akan dikeluarkan untuk pembangunan yang sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota. Dalam
IMB ini diatur mengenai Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) yang ditentukan berdasarkan lokasi dan
kondisi lahan. KDB tersebut akan menentukan
persentase lahan yang dapat dibangun dan tidak dapat
dibangun. Jika rencana pembangunan baru yang ada
tidak mengikuti aturan KDB maka IMB tidak akan
dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota Bandung.
Penentuan RTH yang lebih detail lagi dibahas
melalui perangkat rencana. Setiap kota di Indonesia
harus memiliki dua dokumen dasar perencanaan yaitu
rencana pembangunan dan rencana tata ruang.
Rencana pembangunan terdiri dari rencana jangka
pendek, menengah dan panjang. Dalam dokumen

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

19

rencana pembangunan, aturan RTH hanya membahas


mengenai jenis-jenis beserta luas minimal RTH yang
harus disediakan oleh pemerintah kota dalam kurun
waktu tertentu. Sementara itu, untuk sebaran RTH
diatur secara lebih detail dalam rencana tata ruang.
Menurut RTRW Kota Bandung Tahun 2010-2030,
pola pembangunan RTH yang harus dilakukan adalah
dengan:
- Meningkatkan jalur hijau di sepanjang jalan sampai
minimal 2% dari total luas kota
- Intensifikasi dan ekstensifikasi dari kawasan hijau
sepanjang pinggiran sungai, pinggir jalan dan tepian
jalan tol, serta taman kota, dan pemakaman.
- Pada tingkat mikro, pengembangan RTH difokuskan
pada pengembangan taman RT/RW, lingkungan dan
kota yang berlokasi di kawasan permukiman sesuai
dengan standar yang diberikan oleh Kementrian PU.
Dari hasil survey wawancara terhadap pemerintah
Kota Badung, tidak ada perangkat ekonomi formal
yang mengatur mengenai penyediaan RTH di lahan
privat. Namun, pada prakteknya, terdapat perangkat
insentif yang dapat dikategorikan sebagai perangkat
ekonomi. Perangkat ekonomi ini adalah kerjasama
pemerintah dan swasta terutama sektor bisnis. Hal ini
dilakukan melalui penyediaan RTH yang diatur oleh
pemerintah, namun pengelolaannya diberikan
sepenuhnya kepada pihak swasta. Sebagai timbal
baliknya, pihak swasta berhak untuk menjadikan RTH
tersebut sebagai media publikasi produknya.
Pengelolaan RTH semacam ini sedang dikembangkan
di beberapa taman publik di Kota Bandung dan telah
mampu meningkatkan kualitas RTH yang ada.
6. Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan
RTH di Kota Bandung
Dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH
kota, masyarakat memiliki dua peran penting. Peran
pertama, masyarakat merupakan penentu yang
menentukan keberadaan RTH di lahan pribadinya, dan
merawat RTH baik RTH publik maupun privat. Peran
kedua, masyarakat juga merupakan pihak yang
merasakan dampak positif dan negatif dari keberadaan
RTH. Oleh karenanya, persepsi dan sikap masyarakat
Kota Bandung akan menentukan bagaimana RTH
tersebut dirawat dan dilestarikan.
Dari hasil survey ditemukan bahwa semua
responden setuju akan pentingnya RTH bagi suatu
kota. Namun, mereka memiliki persepsi yang berbeda
terhadap fungsi dari RTH tersebut. Dari enam fungsi
penting RTH yang diberikan dalam kuesioner, mereka
menilai bahwa fungsi utama dari RTH yang paling
penting bagi suatu kota adalah untuk meningkatkan
kondisi iklim mikro. Mereka memahami bahwa RTH
dapat mengurangi suhu permukaan di kawasan
sekitarnya. Fungsi kedua yang paling penting yaitu
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dengan
mengurangi polusi udara dan suara.
Sementara itu, fungsi yang dianggap tidak begitu
penting adalah meningkatkan keindahan di lingkungan

20

JAP Vol.4 No.2 Okt.2010

sekitarnya. Namun, hal ini sangat kontradiktif jika


dibandingkan dengan alasan responden menyediakan
RTH di rumahnya yang sebagian besar mengatakan
bahwa mereka menyediakan RTH dengan tujuan
untuk meningkatkan keindahan rumah. Sementara itu,
untuk responden yang tidak menyediakan RTH di
areal rumahnya mengatakan bahwa keterbatasan lahan
areal rumah menjadi kendala dalam penyediaannya.
Berdasarkan tingkat pendapatan, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat yang berpenghasilan menengah
dan tinggi hampir semuanya mengetahui tentang
aturan mengenai RTH di kawasan permukiman.
Sedangkan, untuk masyarakat yang berpenghasilan
rendah, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui
adanya aturan mengenai penyediaan RTH tersebut.
Namun, jenis peraturan yang diketahui oleh
masyarakat dapat dikatakan masih dangkal karena
mereka hanya tahu bahwa setiap rumah harus
menyediakan sebagian lahannya untuk RTH tapi tidak
tahu nilai persentase lahan yang harus disediakannya
tersebut. Akan tetapi, beberapa diantaranya sudah tahu
bahwa 20% dari lahan rumahnya harus dijadikan RTH.
Sementara itu, masyarakat lainnya ada yang
mengetahui peraturan sebatas penanaman satu pohon
setiap orangnya baik itu di areal privat ataupun publik.
Tabel 1. Pengetahuan Responden mengenai Aturan RTH di
Kawasan Perumahan Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Pengetahuan Responden
Mengenai Aturan RTH di
Pendapatan Per
Total
Kawasan Perumahan
Bulan
Tahu
Tidak Tahu
12
26
38
< Rp 1.000.000
31.6%
68.4%
100%
Rp 1.000.000 - Rp
58
29
87
5.000.000
66.7%
33.3%
100%
Rp 5.000.000 - Rp
32
8
40
10.000.000
80.0%
20.0%
100%
Rp 10.000.000 9
4
13
Rp 15.000.000
69.2%
30.8%
100%
9
1
10
> Rp 15.000.000
90.0%
10.0%
100%
120
68
188
Total
63.8%
36.2%
100%
Sumber: Maula, 2010

Sekitar 76.1% dari responden setuju bahwa RTH


memberikan
lebih
banyak
dampak
positif
dibandingkan negatif. Sementara itu, 8% lainnya
cenderung tidak setuju. Hal ini dikarenakan mereka
menganggap bahwa keberadaan RTH menimbulkan
adanya masalah keamanan. RTH taman yang ada di
sekitar rumah mereka biasanya dijadikan tempat
nongkrong bagi anak muda dan terkadang dijadikan
tempat orang bermabuk-mabukan di malam hari.
Alasan lain karena adanya RTH yang tidak terawat
dianggap merusak keindahan lingkungan.
Mengenai masalah pengelolaan RTH di Kota
Bandung, responden menilai bahwa perubahan guna
lahan RTH ke fungsi lainnya merupakan masalah
utama pengembangan RTH di Kota Bandung. Selain

Farida Khuril Maula

itu, mereka menilai juga bahwa kurangnya peraturan


atau standar yang mengatur mengenai penyediaan
RTH dan buruknya implementasi dari aturan tersebut
juga merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.
Selain permasalahan RTH, responden pun ditanyai
mengenai solusi yang terbaik untuk penyelesaian
masalah tersebut. Mereka menilai bahwa kerjasama
antara pihak pemerintah dengan swasta merupakan
solusi utama untuk mengatasi buruknya pengelolaan
RTH di Kota Bandung. Mereka percaya bahwa ini
merupakan solusi efektif untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas RTH di Kota Bandung. Keterbatasan
dana yang selalu menjadi kendala bagi pemerintah
dalam mengembangkan RTH dapat diselesaikan
dengan adanya bentuk kerjasama tersebut. Selain itu,
meningkatkan jumlah RTH kota juga dianggap
penting untuk diprioritaskan karena banyak RTH yang
ada telah berubah menjadi lahan terbangun. Selain itu,
solusi lain yang juga dianggap penting oleh responden
adalah keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
dan pengelolaan RTH juga perlu dipertimbangkan.
Adanya
keterlibatan
masyarakat
ini
dapat
meningkatkan rasa memiliki terhadap RTH yang ada
sehingga masyarakat akan mampu merawatnya
dengan baik.
Berdasarkan persepsi responden, distribusi RTH di
Kota Bandung dapat dikatakan buruk. Lebih dari 50%
responden cenderung tidak setuju bahwa RTH di Kota
Bandung telah terdistribusi secara merata. Hanya
sekitar 2,6% responden yang setuju bahwa RTH sudah
terdistribusi secara merata. Sama halnya dengan
perawatan RTH, sekitar 50.6% responden cenderung
tidak setuju bahwa RTH di Kota Bandung telah
terawat dengan baik, dan hanya sekitar 7.5% saja yang
menyatakan setuju.
Sementara itu, penilaian responden terhadap
efektivitas dari pelaksanaan peraturan yang ada,
terbukti bahwa 68,4% responden menyatakan tidak
setuju bahwa peraturan yang ada sudah dilaksanakan
secara efektif. Sementara hanya sekitar 31,4% yang
menyatakan setuju.
Sekitar 30% responden menilai bahwa pemerintah
Kota Bandung tidak peduli terhadap pengelolaan RTH.
Dan hanya sekitar 10% responden saja yang menilai
bahwa pemerintah peduli terhadap pengelolaan RTH.
Sisanya sekitar 50% cenderung netral terhadap
pernyataan tersebut. Hal ini sejalan dengan persepsi
lainnya mengenai sikap pemerintah yang cenderung
melestarikan keberadaan RTH daripada mengubahnya
menjadi guna lahan lainnya. Sekitar 40% responden
menilai tidak setuju dan menganggap bahwa
pemerintah lebih memilih untuk mengubah RTH
menjadi guna lahan lain yang lebih menguntungkan
dibanding melestarikannya. Sementara itu, hanya 26%
responden saja yang setuju.
Dalam penyediaan RTH, sebagian besar responden
memiliki kemauan yang kuat untuk menyediakan
RTH tanpa memperhatikan keterbatasan yang mereka
miliki. Baik untuk masyarakat berpenghasilan rendah

maupun tinggi, mereka semua memiliki kemauan


yang kuat untuk menyediakan RTH di areal rumahnya.
Mereka juga memiliki kemauan yang kuat untuk ikut
berpartisipasi terhadap pengelolaan RTH baik di
lingkungan rumahnya maupun di tingkat kota.
Namun, ketika ditanyakan kemauan mereka untuk
membayar pajak lebih untuk pengelolaan RTH,
sebagian besar dari responden tidak setuju. Mereka
menganggap pemerintah sudah memiliki dana yang
cukup untuk mengelola RTH yang ada.
Dari hasil diskusi di atas mengenai pemahaman
responden terhadap variabel yang terkait dengan RTH,
dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Kota
Bandung memiliki pengetahuan yang cukup tentang
pentingnya RTH dalam konteks pemanasan lokal.
Selain itu, sebagian dari responden juga tahu
mengenai adanya standar atau peraturan yang terkait
dengan penyediaan RTH.
Sementara itu, responden memiliki persepsi yang
buruk terhadap distribusi dan pengelolaan RTH di
Kota Bandung. Sebagian besar responden juga
cenderung setuju bahwa pelaksanaan dari peraturan
yang terkait dengan RTH dapat dikatakan buruk. Hal
ini dapat terlihat dari ketidak konsistenan pemerintah
dalam melaksanakan aturan tersebut. Bukti
mengatakan bahwa pemerintah kota sendirilah yang
melanggar aturan tersebut.
Dalam penyediaan dan pengelolaan RTH, sebagian
besar responden memiliki sikap yang positif. Mereka
memiliki kemauan yang kuat untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan dan perawatan RTH yang berarti
mereka bertanggung jawab untuk menjaga RTH tetap
bersih dan terawat. Tanpa mempedulikan tingkat
pendapatan, hampir semua responden setuju bersedia
untuk menyediakan RTH di areal rumahnya. Hal ini
dapat menjadi suatu potensi yang perlu diperhatikan
oleh pemerintah kota dalam mengembangkan RTH di
Kota Bandung.
7. Permasalahan dan Prospek Pengembangan
RTH di Kota Bandung
Dari hasil analisis dan diskusi di atas dapat
disimpulkan mengenai permasalahan dan prospek
pengembangan RTH di Kota Bandung. Permasalahan
yang terkait dengan pengembangan RTH di Kota
Bandung secara garis besar yaitu:
- Perubahan guna lahan RTH menjadi kawasan
terbangun
- Distribusi RTH yang tidak merata
- Perawatan RTH yang buruk
- Pelaksanaan peraturan mengenai RTH yang
tidak efektif
- Keterbatasan dana yang dimiliki oleh
pemerintah kota
Selain permasalahan, Kota Bandung juga memiliki
potensi
yang
dapat
dikembangkan
untuk
meningkatkan RTH, prospek tersebut adalah:
- Kondisi fisik dari Kota Bandung yang sejuk
- Memaksimalkan penggunaan lahan di kawasan

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

21

perkotaan
- Kawasan pinggiran kota dilestarikan sebagai
areal sabuk hijau
- Aturan yang ada mengenai RTH
- Kemauan yang kuat dari masyarakat Kota
Bandung untuk ikut berpartisipasi dalam
menyediakan dan merawat RTH
- Lahan privat merupakan potensi yang dapat
dikembangkan untuk RTH
Solusi yang dapat diajukan untuk peningkatan
pengelolaan lingkungan yang terkait dengan RTH
adalah sebagai berikut:
- Mempromosikan secara lebih efektif kerjasama
antara pemerintah dengan pihak swasta
- Meningkatkan partisipasi masyarakat
- Penyelenggaraan hukum dan aturan yang tegas

Yan Hong. (2007) The Influence Of Land Use On The Urban Heat
Island In Singapore. Habitat International 31, 232242
5) Moore, Peter D. (2006) Agricultural and Urban Areas. Chelsea
House Publications
6) Levent, Tzin Baycan. (2004) Multidimensional Evaluation of
Urban Green Spaces: A Comparative Study on European Cities
7) Chiesura, Anna. (2004) The role of urban parks for the sustainable
city. Landscape and Urban Planning, 68, 129138

8. Kesimpulan
Pembangunan fisik di suatu kota cenderung
menyebabkan minimnya keberadaan RTH, karena
biasanya pembangunan yang ada telah mengubah
RTH menjadi kawasan terbangun. RTH merupakan
elemen perkotaan yang sangat penting untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup di perkotaan,
terutama dalam kaitannya dengan kondisi iklim mikro.
Dalam konteks ini, RTH yang ada harus mampu
mengurangi CO2 dan polusi udara. Di Kota Bandung,
pengembangan RTH dalam konteks mitigasi dan
adaptasi terhadap pemanasan lokal mengalami banyak
kendala.
Pemerintah Kota Bandung memiliki seperangkat
Tindakan Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk
aturan, rencana, kebijakan, dan lain-lain namun
pelaksanaan dari tindakan tersebut masih dikatakan
buruk. Banyak pelanggaran yang dilakukan terhadap
aturan rencana tata ruang yang mengancam
keberadaan RTH.
Berdasarkan analisis dari hasil survey kuesioner
terhadap 188 penduduk di Kota Bandung, dapat
disimpulkan bahwa responden memiliki sikap yang
positif terhadap penyediaan RTH. Mereka memahami
pentingnya RTH dalam konteks pemanasan lokal
meskipun hal ini bukan menjadi alasan utama dalam
penyediaan RTH di areal rumahnya. Selain itu,
responden juga memiliki kemauan yang kuat untuk
berpartisipasi baik dalam penyediaan maupun
perawatan RTH.
Referensi
1) Suparman, A., Haryana, Ronald, A. (2005) Arahan Rancangan tata
Massa pada Pemanfaatan Ruang Pemunduran akibat Laju
Perkembangan Bangunan. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan, Vol.
2, No. 1, 1-15
2) Yu, Chen., Wong Nyuk Hien. (2005) Study Of Green Areas And
Urban Heat Island In A Tropical City. Habitat International 29,
547558
3) Solecki, William D., Cynthia Rosenzweig, Lily Parshall, Greg
Pope, Maria Clark, Jennifer Cox, Mary Wiencke. (2005)
Mitigation of the heat island effect in urban New Jersey.
Environmental Hazards 6, 3949
4) Jusuf, Steve Kardinal., N.H. Wong, Emlyn Hagen, Roni Anggoro,

22

JAP Vol.4 No.2 Okt.2010

Farida Khuril Maula

Factors Influencing Energy Consumption at Household Level Related to Urban Residential


Density in a Developing City
Nurrohman Wijaya
Research Assistant of Urban Planning and Design Research Group (KK-PPK)
School of Architecture, Planning, and Policy Development (SAPPK) Bandung Institute of Technology

Abstract
Rapid urbanization growth with intensive energy consumption is the main driving force in developing
cities that leads to greenhouse gas emission (GHG) into the atmosphere. Indirectly, life style and
consumption pattern of urban people can also influence the impact. This study attempts to appraise the
factors influencing energy consumption at household level related to urban form by looking residential
density in Bandung City, Indonesia. A household survey was conducted at high and low residential density
areas. The study is limited on human activities in the household context, such as transport, cooking and
electricity usage purposes. Energy conversion factors are applied to get the amount of energy consumption
and statistical analysis is used to find the significant influencing factors to amount of energy use. It can be
found that in low residential density areas, energy for electricity purpose has given high contribution to total
of energy use. On the other hand, in high density residential area, energy for cooking purpose has given
higher contribution than energy for electricity purpose. In general, the key influencing factors are individual,
public transport, housing, and energy use behavior factors.
Keywords: developing city, energy consumption, influencing factors, residential density, statistical analysis

1. Introduction
Urban area has a considerable input on regional
climate change since their intensive material and
energy use accompanied by population growth,
anthropogenic greenhouse gas (GHG) emissions, and
the physical development by altering native plants
with structural materials (Golden, 2003). It is
estimated that about more than half of population will
live in urban areas in 2030 (United Nations, 2002).
Urbanization linked with the rapid expansion in urban
center area is one of the most significant demographic
trends in developing countries. Although urban area
can be seen as one of the most serious problems
causing in climate change, but it can also be an input
for solution by providing the basic need of services
and giving high standards quality of live for citizens
(Satterthwaite, 2009). The tremendous growth with
limited attention to climate change impact has
potentially been able to create severe adverse impacts
on environment, social and economic development in
the foreseeable future. It is mainly resulted from
human activities and closely related to energy
consumption. Development of the economy and
Kontak: Nurrohman Wijaya
Research Assistant of Urban Planning and Design Research
Group (KK-PPK) School of Architecture, Planning, and
Policy Development (SAPPK) ITB
E-mail: nuroc_2000@yahoo.com
(Diterima 12 Agustus 2010 dan disetujui untuk diterbitkan
21 Oktober 2010)

human society increase the need for energy


consumption. Dodman (2009) mentioned that it is
necessary to understand on climate change mitigation
and adaptation at the urban scale due to local
authorities has potential to apply the measures
effectively. Therefore, it is relevant to study on
assessing energy use at the local level in urban area.
This study attempts to appraise the factors influencing
energy consumption at household level related to
urban form by looking residential density in Bandung
City, Indonesia.
2. Urbanization and Energy Consumption
The land use of urban areas in Indonesia has
dominated by residential areas, including public and
private housing estate and settlements. The growing of
residential accompanied by behavior pattern of
citizens in metropolitan region has been increasing
and vast contribution to increase energy use. The
effect of energy consumption in developing countries
that can generate carbon emissions becomes serious
issues not only in environmental and socio-economic,
but also human well-being, including in major cities in
Indonesia. The main major sector contributing energy
use in Indonesia is from residential sector. Based on
WRI (2005) in Indonesia, residential sectors would
lead into largest energy consumers in terms of the
quantity of energy consumed which is about 56.1%,
and followed by industry and transportation sector
(19.8% and 19.7%).

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

23

Urban area can be noticed in two notions. Firstly,


urban area can persuade sustainable development
since it is as center of economic growth that gives
space for employment, technology, knowledge,
innovation, basic services and infrastructures
(Satterthwaite, 2009). The compactness concept has
conveyed to employ natural resources effectively and
apply urban infrastructural development efficiently.
Secondly, urban area can bring problems to
socio-economic and environment conditions since it is
as central place of high living standards of
concentrated people with large amounts of material
goods consumption, limited natural resources
exploitation, including energy resources, and large
volumes of GHG emissions. Kessler, et al. (2009)
stated that the most unfavorable impacts of climate
change are likely to be in urban areas where people,
infrastructure, and resources are concentrated. For that
reason, urban sustainable development needs to be
concerned for major cities in developing countries to
face the challenge of climate change issues, especially
related to energy use.
In term of climate change, cities are debatably one
of the most important places with their higher of
economic activities, population concentration, energy
use and material consumption, and also giving the
prospect to replicable resolution and activate novel. In
general, cities represent three matters regarding to
climate change issues. Firstly, cities can contribute to
global climate change with a high level of energy use.
Secondly, cities are also vulnerable to diverse local
symptoms of climate change impacts with
human-made infrastructure concentration and a high
population density. Thirdly, rapid urbanization in
urban areas is a particular apprehension because of
assets and people concentrates and generally growth
of regional and global vulnerability to climate change
impacts (IPCC, 2007).
Prasad, et al. (2009) stated that the most
unfavorable impacts of climate change are likely to be
in urban areas where people, infrastructure, and
resources are concentrated. In contrast, cities can also
be an input for solution by providing the basic need of
services and giving high standards quality of live for
urban people, and also it can be seen as having huge
potential to climate change impacts in building
resilience (Satterthwaite, 2009). Hardoy, et al. (2001)
mentioned that low-income groups usually generate
much lower levels of fossil fuels use per person than
middle and high income groups. They may need space
for heating parts and use coal or biomass fuels in
efficient fires or stoves. The migrant movement to
suburban of metropolitan area is due to the high price
of land and the lack of public policies in the center of
the city. Real estate investments are growing most
significantly in suburban area. On the other hand,
Satterthwaite (2009) emphasized that driver of
growing GHG emissions in a city is not caused by the
growth in populations and urbanization but because of

24

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

increasing the number of consumers in their level of


consumption. In addition, he mentioned that possible
driver in residential buildings is the growth of fossil
fuels use and/or electricity use for space cooling
and/or heating, lighting and home appliances.
3. Factors Contributing Energy Consumption
There are some factors contributing energy use in
urban residential sector from literatures (see Table 1),
such as home energy usage, vehicle use, household
and housing characteristics, transport behaviors, and
individual factors. These factors can be divided into
direct and indirect factors. Fong, et al. (2007a) stated
that there are direct lifestyle aspects, which are
particularly the usage of energy consuming equipment,
and indirect lifestyle aspects such as family patterns,
employment, gender, age and city size influencing
energy consumption in Japan. In addition, these
factors are indeed crucial as they are the main
constituents of society and this study (Fong, 2007a) is
to investigate the impacts of the indirect lifestyle
factors (in terms of family patterns, occupation, age
and city size) and climatic factors under different
climate zones of Japan.
Table 1. Factors Influencing Energy Use in Urban
Residential Sector
Factors
Source
Direct factors
Dodman, 2009; Ewing &
- Home energy usage
Rong, 2008; Fong, et al.,
- Vehicle use
2007a; Fong, et al., 2007b;
Indirect factors
Haas, 1997; Saidur, 2007;
- Household characteristics
Seo, 2001; Takuma et al.,
- Housing characteristics
2006; Wei et al., 2006
- Transport behaviors
- Technological
- Individual factors
- Policy
- Climate factors
Source: Developed from various literatures

Furthermore, Ewing & Rong (2008) explained that


residential energy use has linked with housing
consumption that depends on such household
characteristics (income, number of members, and
ethnic background), house type, house size, and urban
temperature.
4. Methodology
Preliminary data collections including primary and
secondary data, as well as literature review have been
employed. The next step is to refine and adjust
tentative selected study areas when starting field work
to finalize them as designated area of study in research
methodology. After that, the step is to determine the
factors contributing to energy use in urban residential
sector by doing primary research. Then, literature
reviews are conducted to find a set of tentative
influencing factors to contribute energy use. The
factors of urban residential sector used in this study
are from home electricity use, cooking and private

Nurrohman Wijaya

vehicle use at household level. Quantification of


energy use from urban residential sector is by using
conversion factor calculation according to IPCC
(2007). This study quantified amount of energy use
connected with urban residential density. Energy use
portrayed corresponds to the total amount of fuel and
electrical energy required for cooking, transport and
home appliances used purposes, measured in mega
joules (MJ). To determine which factors hypothesized
from literatures review and previous studies, statistical
analysis is utilized for this study.
Bandung City in Indonesia is appropriate for the
case study area as a developing city that experiencing
in urban sprawling and rapid urbanization for past two
decades. Urban housing development in Bandung City
has been undergoing with inconceivable speed during
the 1970-1980 period. Urban expansion of Bandung
City can be distinguished from the residential area
development that is growing up from the inner city to
periphery or suburban area by following concentric
pattern and leads to the unplanned urban sprawl
development. Housing estate and new development of
residential areas are coming up in the suburban area
due to the available land. The residential development
in inner city is not much bigger than in suburban areas.
It makes the quality of urban environment is getting
deteriorated.

High residential density areas


Low residential density areas
Figure 1. Location of Study Areas in Low and
High Residential Density Areas
(Source: Wijaya, 2010)

The commonly features of urban residential area in


developing cities, especially in Indonesia, can be
divided to be three types of urban residential area,
which are low density area, medium density area and
high density area. This study only compares energy
consumption between low density area and high
density area. The meaning of high residential area is
limited by mostly that happened in developing cities,
which area slums or squatter housing area, excluding
high rise building. In addition, low density urban

residential area is usually developed by developer or


private property sector. In this area, they build
adequate facilities, such as green space, sport,
education and commercial area. In this study, the
definition of low density residential area is based on
gross residential density area that is less than 500
dwelling units per square kilometers area. The
residential plot form is generally regular or orderly
arranged and cluster planning. The type of this area is
real estate or housing estate.
5. Conversion Factor of Energy Use in
Residential Sector
Energy consumption in this study is including
transport, cooking and electricity energy that are
generated from human activities in the household
context. It is assumed that the transport energy is from
private passenger vehicle, such as car and motorbike.
The energy of cooking is based on fuel of cooking,
such as LPG or kerosene fuel. In addition, the
electricity energy is from hydropower plant source
used for home appliances. In Java Island, especially in
urban areas including Bandung City, they get the
electricity from hydropower plant. Conversion factor
for calculating the amount of energy use based on
information acquired from the questionnaire uses
assumptions as followings:
Transport energy that energy spent for residents
activities, such as working, shopping, studying in
household a month. For example, there is 100 liter
of gasoline in a month. It is equal to 34.87 MJ/liter
of gasoline multiplied by 100 liter = 3,487
MJ/Month/HH.
Energy for cooking is calculated from cooking fuel
of residents. In this study, the cooking fuel used is
LPG. For example, there is 10 kg LPG in a month.
So, it is equal to 10 kg/month multiplied by 53.42
MJ/kg = 532,2 MJ/Month/HH.
Energy from home electrical appliances use is
gained from total monthly electrical bill with
assumption that the energy source of electricity is
from hydropower plant. For example, there is the
bill with IDR 100,000 per month. This bill is
converted to MJ based on current states electrical
company. Monthly electrical energy consumption
is in kWh/month.
6. Result and Discussion
It can be found that in each different residential
density areas, energy for transport purpose has given
high contribution of total energy consumption than
electricity and cooking energy purposes. Moreover,
comparison between energy for cooking and
electricity purposes, it can be seen that in low
residential density areas, energy for electricity purpose
has given high contribution to total of energy use. On
the other hand, in high density residential area, energy
for cooking purpose has given higher contribution
than energy for electricity purpose. The average total

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

25

of energy consumption in study area is dominated by


transport energy (2,338.48 MJ/HH/month). The
average total of electricity is 914.69 MJ/HH/month
and the average of cooking is 853.65 MJ/HH/month.
Regarding to energy consumption in different type of
urban residential density areas, it can be concluded
that energy consumption in low density area is higher
than high density areas. It can be explained because
the residents who stay in low density areas are using
more electric appliances and using private vehicle for
transportation rather than residents in high density
area. In addition, the result indicates that the measure
for reduction energy consumption in urban residential
development context should be focused on transport
energy purpose.
To determine significant factor, the significant level
of statistical analysis result is at least 0.05 or better.
There are some factors influencing the amount of
energy consumption in different urban residential
areas as shown in Table 1. It is presented the findings
that there are six variables that are significantly
influencing energy consumption in low density
residential area and eight variables in high density
residential areas.
6.1. Low Density Area
The six factors significantly influencing energy
consumption in low density residential area are
gasoline usage for transport activity, LPG usage for
cooking activity, number of total older household
members, monthly expenditure level between IDR
500,000-1,000,000, house type, and number of total
male household members. The effect of using gasoline
fuel for transportation activity, LPG for cooking
activity, and number of male household members has
positive correlation to the amount of energy
consumption. This could be distinguished that more
increasing energy use in the residential area is more
the amount of energy consumption generated. It
explains also that more number of men in the home is

more energy consumption. Men have more activities


at home than women because in this area, women also
do productive activity and not much time stay at home.
On the other hand, the low of expenditure level,
number of older household members, and house type
has negative association with amount of energy
consumption. It could be implied that the residents
who have a low of expenditure level attempt to save
the energy consumption, for example by reducing the
using of home electricity. In addition, more number of
older people in the house is less energy consumption
because of level of activity. Young people are
commonly more active than older people as well as
the increasing of energy consumption. Furthermore,
the type of house is influencing energy consumption.
6.2. High Density Area
There are eight factors significantly influencing the
amount of energy consumption in high density
residential area located in city center, which are
gasoline usage for transport activity, LPG usage for
cooking activity, number of motorbikes, area of
building, stay duration, private ownership house status,
number of total female household members, and
monthly income level more than IDR 2,000,000.
Positive correlation factors are the using of gasoline
for transport activity and LPG for cooking activity,
number of motorbikes, building area, and private
ownership house status. In contrast, there are factors
that have negative association to amount of energy use
in this area which are the duration of stay, number of
female members, and high income level of resident. It
may be explained that longer of stay duration is less
amount of energy use because the residents have more
experience and knowledge to adapt and decrease
energy use, such as using LPG for cooking activity
than using kerosene or coal fuels, and using save
energys home appliance. In addition, generally in this
area, the women has reproductive role by taking care
the children and doing domestic home works, so they

Tabel 2. Statistical Analysis Factor Influencing Energy Use in Urban Residential Areas
Low Denisty Areas
Variables
Coefficients
t-value
Sig. level
Gasoline usage
35.18
27.13
0.00**
LPG usage
51.40
16.28
0.00**
Monthly
expenditure
level
(IDR
-1,360.74
-5.45
0.00**
500,000-1,000,000)
Total older household members
-692.75
-4.48
0.00**
House type
-755.80
-3.38
0.00**
Total male household members
220.04
2.29
0.03*
Number of motorbike
Area of building
Stay duration
Private ownership
Total female household members
Monthly income level (>IDR 3,000,000)
Adjusted R2
0.97
F-Test
208.74
0.00

High Density Areas


Coefficients
t-value
Sig. level
25.41
10.96
0.00**
52.10
6.72
0.00**
350.48
2.56
-15.52
578.93
-131.59
-506.09
0.93
79.10

5.26
3.03
-4.41
4.09
-3.10
-2.07

0.00**
0.00**
0.00**
0.00**
0.00**
0.04*
0.00

*Significant at the 0.05 level or better (p<0.05); **Significant at the 0.01 level or better (p<0.01)
Source: Wijaya, 2010

26

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Nurrohman Wijaya

more responsible and understand on energy use


condition at home compared with the men. Moreover,
it is implied that the monthly income level of the
residents has influenced to the amount of energy use
in this area since increasing income is making them to
concern on energy consumption in the house by using
home appliances that are more saving energy, for
instance removing the old appliances with the new
appliances that is more energy efficiency.
7. Conclusions
The result is found that the average total of energy
consumption in study area is dominated by transport
energy (2,338.48 MJ/HH/month). The average total of
electricity is 914.69 MJ/HH/month and the average of
cooking is 853.65 MJ/HH/month. The result of
statistical analysis shows that the key influencing
factors to amount of energy consumptions in low
density residential areas are gasoline usage for
transport activity, LPG usage for cooking activity,
number of total older household members, monthly
expenditure level between IDR 500,000-1,000,000,
house type, and number of total male household
members. In addition, there are eight factors
significantly influencing the amount of energy
consumption in high density residential area located in
city center, which are gasoline usage for transport
activity, LPG usage for cooking activity, number of
motorbikes, area of building, stay duration, private
ownership house status, number of total female
household members, and monthly income level more
than IDR 3,000,000.
The study provides a quantitative analysis by
comparing between energy consumption associated
with urban residential density areas in low and high
density areas at household level in a developing city
context. It is important to understand that these
conclusions are based only a partial assessment of
contributing factors to energy consumption in urban
residential sector. It means that this study of
measuring energy consumption is only a preliminary
step in addressing climate change rather than an
ending of it. Nevertheless, the findings of this study
provide a reasonably complete understanding of urban
form in term of urban residential density areas on
overall energy use in the city.

Engineering, Vol. 6, 395-402.


5) Golden, J. S. (2003) The Built Environment Induced Urban Heat
Island Effect in Rapidly Urbanizing Arid Regions - A Sustainable
Urban Engineering Complexity. Environmental Sciences, Vol. 1,
321349.
6) Haas, R. (1997) Energy Efficiency Indicators in The Residential
Sector: What Do We Know And What Has To Be Ensured?. Energy
Policy, Vol. 25, 789-802.
7) Hardoy, J. E., Mitlin, D., Satterthwaite, D. (2001) Environmental
Problems in an Urbanizing World: Finding Solutions in Africa,
Asia and Latin America, London: Earthscan.
8) International Panel on Climate Change (IPCC). (2007) Climate
Change 2007: Synthesis Report, Contribution of Working Group I,
II and III to The Fourth Assessment Report of The
Intergovernmental Panel on Climate Change, Switzerland.
9) Kessler, E., N. Prasad, F. Ranghieri, F. Shah, R. Sinha and Z.
Trohanis. (2009) Climate Resilient Cites: A Primer on Reducing
Vulnerabilities to Disasters. Washington: The World Bank.
10) Prasad, N., Ranghieri, F., Shah, F., Trohanis, Z., Kessler, E., Sinha,
R. (2009) Climate Resilient Cities: A Primer on Reducing
Vulnerabilities to Disasters, Washington DC: The World Bank.
11) Saidur, R., Masjuki, H. H., Jamaluddin, M. Y., Ahmed, S. (2007)
Energy and Associated Greenhouse Gas Emissions from
Household Appliances in Malaysia. Energy Policy, Vol. 35
1648-1657.
12) Satterthwaite, D. (2009) The Implications of Population Growth
and Urbanization for Climate Change. Environment and
Urbanization, Vol. 21, 545-567.
13) Seo, S., Hwang, Y. (2001) Estimation of CO2 Emissions in Life
Cycle of Residential Buildings. Journal of Construction
Engineering and Management, American Society of Civil
Engineers (ASCE), Vol. 127, 414-418.
14) Takuma, Y., Inoue, H., Nagano, F., Ozaki, A., Takaguchi, H.,
Watanabe, T. (2006) Detailed Research for Energy Consumption of
Residences in Northern Kyushu, Japan. Energy and Buildings, Vol.
38, 1349-1355.
15) United Nations. (2002) World Urbanization Prospects The 2001
Revision Data, Table and Highlights, Department of Economic and
Social
Affairs.
Available
online:
http://www.un.org/esa/population/publications/wup2001/wup2001
dh.pdf (accessed on 30th May 2010).
16) Wei, X., Xuan, J., Yin, J., Gao, W., Batty, B., Matsumoto, T. (2006)
Prediction of Residential Building Energy Consumption in Jilin
Province, China. Journal of Asian Architecture and Building
Engineering, Vol. 5, 407-412.
17) World Resource Institute. (2005) Energy Consumption and Carbon
Dioxide Emissions by Sector 2005. Available online:
http://earthtrends.wri.org/ (accessed on 30th May 2010).

References
1) Dodman, D. (2009) Blaming Cities for Climate Change? An
Analysis of Urban Greenhouse Gas Emissions Inventories.
Environment and Urbanization, Vol. 21, 185-201.
2) Ewing, R., Rong, F. (2008) The Impact of Urban Form on U. S.
Residential Energy Use. Housing Policy Debate, Vol. 19, 1-30.
3) Fong, W. K., Matsumoto, H., Lun, Y. F., Kimura, R. (2007a)
Energy Savings Potential of The Summer Time Concept in
Different Regions of Japan from The Perspective of Household
Lighting. Journal of Asian Architecture and Building Engineering,
Vol. 6, 371-378.
4) Fong, W. K., Matsumoto, H., Lun, Y. F., Kimura, R. (2007b)
Influences of Indirect Lifestyle Aspects and Climate on Household
Energy Consumption. Journal of Asian Architecture and Building

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

27

Perilaku Spasial Anak Jalanan di Yogyakarta


Jimly Al Faraby
Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract
This research aimed to describe the spatial behavior of street children in Yogyakarta urban area. It
attempted to understand the form and pattern of street childrens behavior in using space for their activities
places. This research was conducted by observing daily activities of two different groups of street children.
Different behavior and activity are found in two different groups. This expresses the motivation forcing
them to exist on the street, which are economic or survival motivations. However, they have the same
tendency in using space; they tend to use the rest space, defined as space that unused. This space can be
formed because of its design or using intensity. The space chosen also relates to characteristic of that space
itself. Street children will choose the rest space which has characteristics supporting their activities during
on the street. Some characteristics can be considered as one of support factors contributing to street
childrens existence on the street. Those factors are the shade place, accessibility to the street, and the size of
the rest space which is large enough.
.
Keywords: spatial behavior, street children, characteristics of space.

1. Pendahuluan
Fenomena anak jalanan seolah-olah sudah menjadi
suatu konsekuensi logis dari perkembangan suatu kota.
Hampir di setiap kota besar fenomena ini dapat
ditemukan.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia
tidak luput dari kenyataan ini. Namun sangat
disayangkan, anak jalanan masih sering luput dari
perhatian masyarakat, pemerintah, dan perencana.
Perencanaan kota sering memandang anak jalanan
sebagai sesuatu yang harus disingkirkan dari sebuah
kota. Selama ini anak jalanan hanya dipandang
sebagai masalah kota, tanpa adanya upaya
sungguh-sungguh untuk memahami perihal anak
jalanan.
Anak jalanan membutuhkan ruang untuk
melakukan berbagai aktivitas hidupnya. Kenyataannya,
kebutuhan
mereka
terhadap
ruang
sering
diterlantarkan. Berbeda dengan pelaku ruang
kebanyakan, anak jalanan merupakan golongan
minoritas yang tidak diperhitungkan dalam
perencanaan kota. Kondisi ini memaksa anak jalanan
untuk memenuhi kebutuhan ruangnya dengan caranya
sendiri. Oleh karena itu, anak jalanan melakukan
penyesuaian agar kebutuhannya terhadap ruang untuk
aktivitas hidupnya tetap dapat terpenuhi. Penyesuaian
Kontak: Jimly Al Faraby
Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan FT UGM
Tel: (0274) 485613 Fax: (0274) 485613
E-mail : jimlyalfaraby@ymail.com
(Diterima 16 September 2010 dan disetujui untuk diterbitkan
27 Oktober 2010)

28

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

ini muncul dalam berbagai bentuk perilaku dalam


memanfaatkan ruang kota, baik secara individu
maupun kelompok.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk
dan pola perilaku pemanfaatan ruang kota oleh anak
jalanan dan faktor-faktor yang ada di balik perilaku
tersebut.
Secara konseptual, penelitian ini akan memberikan
sumbangan teoritis melalui deskripsi pemahaman pola
spasial dari anak jalanan berupa gambaran tentang
perilaku pemanfaatan ruang kota oleh anak jalanan
beserta faktor-faktor yang terkait dengan perilaku
tersebut.
Adapun pada tingkat praksis, penelitian ini dapat
digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi
penanganan persoalan anak jalanan bagi ruang kota
melalui rekayasa ruang aktivitas anak jalanan.
2. Landasan Teori
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku
didefinisikan sebagai tanggapan atau reaksi individu
yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan
atau ucapan. Walgito (2004) menyebutkan bahwa
perilaku muncul sebagai akibat dari stimulus yang
diterima oleh organisme. Sedangkan Laurens (2004)
menambahkan adanya aspek interaksi manusia dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungannya yang
membentuk perilaku.
Di dalam kehidupannya, manusia selalu melakukan
interaksi dengan lingkungannya. Pada lingkungan
yang sudah dikenali, ada kecenderungan manusia
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mencapai keadaan seimbang (Sarwono, 1992).
Lingkungan jenis ini akan cenderung dipertahankan

Jimly Al Faraby

oleh manusia, ataupun jika tidak manusia akan


berusaha untuk mencari lingkungan jenis ini.
Seringkali manusia harus berada pada situasi
dimana manusia berhadapan dengan lingkungan yang
asing baginya. Pada lingkungan jenis ini, ada
kemungkinan manusia akan menerima rangsangan
yang melebihi batas-batas optimal ataupun yang
berada di bawahnya karena rangsangan yang diterima
tidak terduga oleh persepsinya selama ini. Agar tetap
dapat eksis, manusia membutuhkan penyesuaian diri
terhadap stimulus dari lingkungannya. Sarwono
(1992) menyebutkan, ada dua cara penyesuaian diri
manusia terhadap lingkungannya, yaitu:
a. Menyesuaikan perilaku dengan lingkungan.
b. Menyesuaikan lingkungan dengan perilaku.
Persepsi, perilaku dan lingkungan merupakan tiga
hal yang memiliki keterkaitan yang sangat erat antara
satu dengan yang lain. Perilaku spasial muncul
sebagai tanggapan atas rangsang yang datang dari
lingkungannya. Kondisi lingkungan fisik yang ada di
sekitar manusia ditangkap oleh berbagai indra reseptor
manusia sebagai suatu bentuk stimulus. Di dalam
pikiran manusia informasi ini dikoordinasikan dan
ditafsirkan sehingga manusia dapat memahami
lingkungannya tersebut. Dengan berbekal persepsi
terhadap lingkungan fisiknya itu, manusia dapat
mengorganisasikan, menyimpan dan memanggil
kembali informasi yang terkait dengan tatanan pada
lingkungan fisiknya, seperti
lokasi, jarak, dsb.
Modal kognisi spasial inilah yang akan memandu
manusia untuk berperilaku dalam merespon
lingkungannya.
3. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan fenomenologi, dimana anak
jalanan dipandang sebagai suatu hal yang kompleks
yang tidak tidak dapat dilihat secara parsial.
Sebagaimana dikatakan oleh Muhadjir (1990),
fenomenologi menghendaki pendekatan yang sifatnya
menyeluruh, objek penelitian didudukkan dalam
konstruksi ganda, dan objek tidak dipandang secara
parsial.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode induksi kualitatif. Dengan metode
ini, perilaku anak jalanan dalam memanfaatkan ruang
kota dapat dieksplorasi secara lebih jauh untuk
mengkonstruksi konsep lokal tentang perilaku
pemanfaatan ruang kota oleh kelompok anak jalanan.
Untuk keperluan penelitian ini, peneliti mengadopsi
model penelitian etnografi dengan melakukan
beberapa penyesuaian. Etnografi sendiri digunakan
untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan
spesifik alamiah, sebagaimana yang disebutkan oleh
Frey, dkk (Mulyana, 2002).
Penelitian ini mengandalkan data-data primer yang
diperoleh melalui observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas
pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh anak jalanan

selama berada di jalan. Hasil observasi ini dipetakan


sehingga dapat diamati polanya. Observasi dilakukan
secara intensif terhadap dua kelompok anak jalanan,
yaitu:
a. Kelompok anak jalanan yang beroperasi di
perempatan Mirota Kampus-KFC Terban.
b. Kelompok anak jalanan yang beroperasi di
Pertigaan UIN Sunan Kalijaga Jl. Laksda
Adisucipto.
Kedua kelompok anak jalanan ini dipilih sebagai
objek pengamatan karena keduanya merupakan
kelompok anak jalanan yang cukup eksis
keberadaannya sehingga lebih mudah untuk diamati.
Selain itu, kedua kelompok ini mewakili perbedaan
karakter anak jalanan yang paling umum, yaitu
children of the street dan childreen on the street.
Adapun data wawancara merupakan sumber data
pendukung dalam penelitian ini. Wawancara sifatnya
lebih kepada mengeksplorasi hal-hal yang tidak dapat
ditangkap melalui observasi. Wawancara juga menjadi
alat untuk menafsirkan perilaku yang muncul dari
anak jalanan kepada nilai yang dianutnya.
Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menyatukan data-data hasil pemetaan aktivitas
anak jalan di tempat operasinya ke dalam satu
media peta agar dapat dilihat pola dan
kecenderungannya.
b. Mengklasifikasikan tema. Pengklasifikasian tema
dilakukan dengan melihat adanya kesamaan
antara fenomena yang satu dengan fenomena
yang lain. Fenomena-fenomena yang sejenis
dikelompokkan menjadi satu tema. Di dalam
merumuskan
tema-tema,
dilakukan
tahapan-tahapan di antaranya:
Mengidentifikasi kata-kata kunci pada
laporan deskripsi hasil temuan observasi
dan wawancara.
Melakukan coding pada hasil identifikasi.
Menyusun ke dalam kategori-kategori.
Meneliti hubungan antar kata kunci dan
antar kategori.
Menemukan tema-tema.
c. Menarik konsep.
Dari tema-tema yang telah diklasifikasikan,
ditarik konsep-konsep penting tentang perilaku
anak jalanan.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Perbedaan Bentuk Aktivitas
Anak-anak jalanan yang biasa beroperasi di
perempatan Mirota Kampus/KFC dan sekitarnya pada
dasarnya memiliki karakter yang berbeda dengan
anak-anak jalanan yang biasa beroperasi di pertigaan
UIN Sunan Kalijaga. Untuk lebih jelasnya,
perbandingan karakter antara kedua kelompok dapat
dilihat pada tabel berikut.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

29

Tabel 1. Perbedaan Karakter Antar Kelompok Anak Jalanan


Anjal Mirota
Anjal UIN
Kampus/KFC
Jenis kelamin Mayoritas laki-laki
Laki-laki
dan
perempuan dengan
jumlah merata.
Usia
Mayoritas
usia Usia SD-SMP
SD-SMP
Pendidikan
Tidak bersekolah
Mayoritas
masih
bersekolah
Frekuensi
Mayoritas
tidak Teratur, tiap hari
pulang
teratur
Hubungan
Banyak yang telah Masih bersama orang
dengan orang berpisah dengan orang tua.
tua
tua.
Lama
di >12
jam
sehari, 6-8 jam sehari
jalanan
bahkan bisa seharian
penuh hingga tidur di
jalanan
Kegiatan
Mengamen
dan Mengamen
dan
utama
meminta-minta
meminta-minta
Rekan
Sesama anak jalanan Sesama anak jalanan
aktvitas
dari kelompok yang dan beberapa anggota
berbeda.
keluarga dewasa.
(Sumber: Data primer, 2009)

dilihat bahwa aktivitas kelompok anak jalanan UIN


hampir seluruhnya terkait dengan kegiatan-kegiatan
yang menunjang untuk mencari uang. Ini
menunjukkan bahwa kegiatan kelompok anak jalanan
ini berorientasi pada motif ekonomi.
Adapun yang dilakukan oleh anak jalanan
kelompok Mirota lebih dari sekedar kegiatan ekonomi.
Aktivitas yang mereka lakukan di jalanan tidak hanya
untuk mencari uang, tapi juga aktivitas lain untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka, menurut
anggapan mereka, sekalipun hal tersebut dilakukan
dengan bentuk yang tidak biasa. Ini menunjukkan
bahwa aktivitas-aktivitas itu mereka lakukan sebagi
upaya untuk terus dapat survive di kehidupan jalanan.
4.2 Pemanfaatan Ruang
Bentuk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh
kedua kelompok anak jalanan yang berhasil dipetakan
dari penelitian ini yaitu:

Tabel 2. Perbedaan Aktivitas Antar Kelompok Anak Jalanan


Anjal
No.
Aktivitas
Anjal UIN
Mirota/KFC
1
Menunggu kendaraan

2
Beristirahat

3
Tidur

4
Berkumpul
dan

ngobrol
5
Makan dan membeli

makan
6
Menyimpan barang

7
Bermain

8
MCK

9
Ngelem

10
Sembunyi dari Pol PP

11
Belajar bersama

(Sumber: Data Primer, 2009)

a. Menunggu Kendaraan
Lokasi anak-anak jalanan menunggu kendaraan
selalu berada di sisi jalan. Sisi jalan yang dimaksud di
sini dapat berupa trotoar maupun median jalan. Dalam
melakukan kegiatan menunggu kendaraan, anak
jalanan ternyata mencari ruang-ruang yang memiliki
aksesibiltas yang baik, yang mencakup dua hal yaitu:
1) Kedekatan, yaitu dekat dengan deretan
kendaraan.
2) Kemudahan, yaitu tidak adanya hambatan berarti
untuk mencapai deretan kendaraan tersebut.
Selain itu, kriteria umum ruang yang dimanfaatkan
oleh anak jalanan sebagi tempat menunggu kendaraan,
yaitu:
1) Ukuran yang cukup, yaitu cukup dalam
pandangan anak jalanan itu sendiri, meskipun
mengandung bahaya.
2) Tidak terdapat aktivitas yang sibuk atau ramai
pada titik tersebut.
Selain kedua kriteria umum ruang tersebut, dari sisi
anak jalanan itu sendiri ada beberapa perilaku yang
dapat diamati dalam kaitannya dengan aktivitas
mereka menunggu kendaraan, yaitu:
1) Cenderung mencari tempat yang teduh jika
memang ada.
2) Menyenangi desain ruang yang membentuk
sandaran atau dudukan.

Bila diperhatikan, aktivitas-aktivitas yang muncul


secara sama di kedua kelompok anak jalanan
merupakan aktivitas yang terkait langsung dengan
kegiatan utama mereka di jalanan, yaitu mencari uang.
Lebih jauh lagi, ada hal yang lebih mendasar yang
dapat dilihat pada perbedaan bentuk aktivitas pada
kedua kelompok anak jalanan. Perbedaan bentuk
aktivitas ini menggambarkan perbedaan semangat
yang mendasari munculnya aktivitas-aktivitas tersebut.
Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, dapat

b. Istirahat
Aktivitas istirahat yang dimaksud di sini adalah
sengaja menghentkan kegiatan utama mereka sejenak
untuk menghilangkan penat, agar setelah pulih dapat
kembali melanjutkan aktivitasnya.
Dalam memilih ruang untuk beristirahat, ternyata
dijumpai kesamaan kriteria pilihan ruang oleh kedua
kelompok anak jalanan tersebut. Pilihan tersebut
terkait dengan 2 aspek utama, yaitu:
1) Aksesibilitas, yaitu kedekatan dan kemudahan

Dari tabel di atas, terlihat dengan jelas beberapa


perbedaan mencolok dari karakter kedua anak jalanan.
Dari kedua kelompok anak jalanan yang berbeda
karakter ini ternyata juga memunculkan perbedaan
bentuk perilaku yang tergambar dengan adanya
perbedaan aktivitas, seperti pada tabel berikut.

30

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Jimly Al Faraby

untuk kembali ke titik aktivitas (menunggu


kendaraan). Ruang istirahat anak jalanan selalu
berada tidak jauh dari tempat mereka menunggu
kendaraan.
2) Kenyamanan, dengan kriteria:
a) Adanya perlindungan dari sengatan sinar
matahari. Perlindungan dari sinar matahari
pada ruang-ruang tersebut dapat terbentuk
akibat:
Keberadaan pepohonan di titik tersebut.
Desain ruang buatan tersebut.
Arah bayangan yang terbentuk akibat
posisi relatif terhadap matahari.
b) Ukuran ruang yang cukup.
c) Tidak ada gangguan aktivitas lain di titik
tersebut, yang dapat disebabkan oleh:
Desain ruang yang memang tidak
memungkinkan atau tidak mendukung
terjadinya aktivitas lain.
Distribusi pemanfaatan ruang tersebut.
Desain ruang memungkinkan untuk
terjadinya aktivitas lain, namun aktivitas
tersebut tidak berlangsung di titik tempat
anak jalanan beristirahat, melainkan
pada bagian ruang yang lain.
c. Berkumpul dan Ngobrol
Titik-titik yang dipergunakan oleh anak jalanan
sebagai tempat berkumpul dan ngobrol pada
umumnya merupakan titik-titik untuk beristirahat dan
menunggu kendaraan, karena aktivitas berkumpul dan
ngobrol pada dasarnya terjadi ketika anak-anak
jalanan sedang beristirahat, ataupun ketika mereka
mengisi
kekosongan
sambil
menunggu
kendaraan-kendaraan berhenti saat lampu merah.
Oleh karena itu, karakter ruang pilihan yang
digunakan oleh anak-anak jalanan sebagai tempat
untuk berkumpul dan ngobrol mengikuti pilihan
mereka
terhadap
ruang
untuk
beristirahat,
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu
menekankan
pada
aspek
kenyamanan
dan
aksesibilitas.
d. Menyimpan barang
Ketika beroperasi di jalanan, tidak jarang anak-anak
jalanan membawa serta sejumlah barang-barangnya ke
jalanan. Barang-barang yang biasa mereka simpan
selama beroperasi di perempatan ini biasanya berupa
makanan ataupun barang-barang lain yang mereka
bawa. Faktor yang dipertimbangkan oleh anak jalanan
untuk menentukan tempat menyimpan barang-barang
selama berada di jalanan yaitu:
1) Keamanan.
Kemananan ini tercermin dalam lokasi
penyimpanan/peletakan barang-barang yang
berada dalam jangkauan pengawasan mereka
ketika mereka beraktivitas di jalanan.

2) Aksesibilitas.
Dekatnya
lokasi
penyimpanan/peletakan
barang-barang
dari
tempat
aktivitasnya
memudahkan mereka dalam mengakses barang
tersebut jika sewaktu-waktu mereka butuhkan
ketika sedang beraktivitas.
e. Bermain
Pada beberapa kesempatan ditemukan kejadian
dimana anak-anak jalanan, baik kelompok Mirota
maupun UIN, melakukan aktivitas bermain. Aktivitas
ini biasanya terjadi secara insidental, dan biasanya
dilakukan secara spontan di sela-sela aktivitas mereka
mencari uang.
Dilihat dari lokasinya, maka aktivitas ini pada
dasarnya dapat terjadi di mana saja. Tidak dilihat
adanya pola-pola tertentu dari lokasi ruang tempat
mereka bermain. Meskipun demikian, dapat diamati
bahwa ada kesesuaian antara jenis permainan dan
ruang yang dimanfaatkan sebagai tempat bermain.
Permainan yang dimainkan anak-anak jalanan ini
disesuaikan dengan ukuran ruang yang tersedia saat
itu. Apabila ruang yang tersedia cukup luas, maka
mereka dapat memainkan permainan dengan gerakan
yang sangat aktif, seperti berlari-larian. Sebaliknya,
jika ruang yang tersedia tidak terlalu lebar, maka
mereka menyesuaikan dengan ukuran ruang tersebut.
4.3 Pilihan Ruang Aktivitas
Bila memperhatikan pilihan ruang anak jalanan
terhadap ruang bagi aktivitasnya, maka dapat dilihat
adanya kecenderungan anak jalanan untuk
memanfaatkan ruang-ruang sisa sebagai wadah
aktivitasnya di jalanan. Ruang sisa yang dimaksud di
sini adalah ruang-ruang yang pada hakikatnya ada,
akan tetapi tidak termanfaatkan dan cenderung
menjadi ruang yang menganggur. Ruang-ruang sisa ini
ada beberapa macam, yaitu:
a. Ruang yang secara desain ataupun lokasi
memang
tidak
memungkinkan
untuk
dimanfaatkan, dan menjadi ruang sisa. Misalnya
kolong-kolong kecil.
b. Ruang yang memang sengaja dibuat untuk suatu
fungsi, namun tidak untuk dimanfaatkan bagi
aktivitas. Contohnya adalah ruang-ruang pada
median jalan.
c. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu fungsi,
ruang tersebut dimanfaatkan bagi fungsi tersebut,
akan tetapi ada bagian ruang yang tidak
termanfaatkan.
Misalnya
ruang
trotoar
diperuntukkan sebagai jalur pedestrian, Namun
demikian, ada sebagian dari ruang tersebut yang
tidak termanfaatkan. Ruang inilah yang
cenderung akan digunakan oleh anak jalanan.
d. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu fungsi,
namun tidak termanfaatkan bagi fungsi tersebut.
Contohnya adalah trotoar yang sama sekali tidak
termanfaatkan bagi pejalan kaki.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

31

Pilihan ruang-ruang sisa yang dimanfaatkan oleh


anak jalanan tidak harus berupa ruang publik dan
fasilitas umum, namun mereka juga dapat
memanfaatkan ruang-ruang milik privat. Ini
menunjukkan bahwa cakupan pemanfaatan ruang
yang dilakukan oleh anak jalanan sangat fleksibel.
Selama tidak ada penghalang ataupun hambatan untuk
memanfaatkan ruang tersebut, maka mereka bisa saja
memanfaatkannya bagi kepentingan mereka, tanpa
memperdulikan kepemilikan ruang tersebut.
Perilaku anak-anak jalanan untuk memanfaatkan
ruang-ruang sisa ini juga dapat dipandang sebagai
suatu wujud upaya penyesuaian diri untuk
mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap ruang
yang tidak terakomodasi dalam bentuk penyediaan
ruang bagi mereka.
Dalam tataran yang lebih mendasar lagi, perilaku
ini dapat dipahami sebagai bentuk aplikasi dari salah
satu nilai yang dianut oleh anak jalanan. Nilai ini ialah
keinginan untuk tidak dianggap sebagai pengganggu
bagi masyarakat luas. Nilai ini terwujud dalam bentuk
perilaku mereka untuk memanfaatkan ruang-ruang
sisa, yaitu ruang-ruang yang selama ini tidak
dimanfaatkan oleh orang lain. Dalam anggapan
mereka, perilaku seperti ini merupakan bentuk upaya
mereka untuk tidak mengganggu orang lain.
4.4 Skema Perilaku Spasial
Perilaku spasial yang muncul pada anak-anak
jalanan tidak terlepas dari keberagaman aktivitas dan
faktor-faktor yang ada di baliknya, pemanfaatan ruang
bagi aktivitas dan karakter ruang yang dipilih oleh
anak-anak jalanan. Pada dasarnya, hal-hal tersebut
saling terkait di dalam membentuk skema perilaku
spasial yang muncul dari anak jalanan. kema ini
melibatkan dua dimensi, yaitu:
a. Dimensi abstrak.
Dimensi ini mencakup hal-hal yang tidak dapat
ditangkap oleh mata, seperti motivasi dan nilai
yang dianut. Hal-hal ini berada di dalam diri
anak jalanan yang dapat ditangkap melalui
pemaknaan dari perilaku yang dapat ditangkap
oleh mata.
b. Dimensi empiris.
Dimensi empiris mencakup hal-hal yang sifatnya
nyata dan dapat diamati oleh mata, seperti
aktivitas yang dilakukan, karakter ruang yang
digunakan, dan perilaku pemanfaatan ruang yang
dilakukan oleh anak jalanan.

32

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Gambar 1. Skema Perilaku Spasial Anak Jalanan


(Sumber: Al Faraby, 2009)

5. Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan beberapa poin
kesimpulan sebagai berikut:
a. Perbedaan karakter antar kelompok anak jalanan
dapat melahirkan aktivitas dan perilaku yang
berbeda selama di jalanan.
b. Di dalam memenuhi kebutuhan ruangnya di
jalanan, anak-anak jalanan akan melakukan
penyesuaian dalam bentuk perilaku dalam
memanfaatkan ruang dan fasilitas yang ada di
jalanan.
c. Penyesuaian ini muncul dalam bentuk perilaku
anak
jalanan
yang
cenderung
untuk
menggunakan ruang-ruang sisa di sekitarnya.
d. Pemilihan ruang ini terkait dengan karakter ruang
yang
dimiliki
oleh
ruang
tersebut.
Karakter-karakter ruang tersebut merefleksikan
faktor-faktor yang menjadi pertimbangan anak
jalanan dalam memilih ruang bagi aktivitasnya
yang dipahami dari sisi pandang anak jalanan itu
sendiri.
6. Saran
Rekomendasi yang dapat diajukan berdasarkan
hasil penelitian ini adalah:
a. Mengembangkan solusi penanganan anak jalanan
yang berbasis kelompok anak jalanan itu sendiri,
karena karakter yang berbeda dari kelompok
anak
jalanan
seharusnya
membutuhkan
penanganan yang berbeda pula.
b. Merekayasa ruang di sekitar perempatan untuk
menangani permasalahan ruang kota yang terkait
dengan anak jalanan, dengan menghilangkan
faktor-faktor spasial pendukung keberadaan
mereka di jalanan.

Jimly Al Faraby

Namun demikian perlu dicatat bahwa ini tidak akan


menuntaskan akar permasalahan anak jalanan,
melainkan hanya menjadi penyelesaian permasalahan
di tingkat hilir saja.
Referensi
1)

Alwasilah,
Dasar-Dasar

Chaedar,

2002,

Merancang

dan

Pokoknya

Kualitatif:

Melakukan

Penelitian

Kualitatif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.


2)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus


Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

3)

Halim, Deddy, 2005, Psikologi Arsitektur Pengantar Kajian


Lintas Disiplin, Grasindo, Jakarta.

4)

Laurens, Joyce Marcella, 2004, Arsitektur dan Perilaku


Manusia, Grasindo, Jakarta.

5)

Muhadjir, Noeng, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif,


Rake Sarasin, Yogyakarta.

6)

Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitan Kualitatif:


Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,
Remaja Rosdakarya, Bandung.

7)

Sarwono, Sarlito Wirawan, 1995, Psikologi Lingkungan,


Grasindo, Jakarta.

8)

Spradley, James P., 1979, The Ethnographic Interview


(Metode Etnografi diterjemahkan oleh Elizabeth, M. Z.,
2007), edisi 2, Tiara Wacana, Yogyakarta.

9)

Walgito, B., 2004, Pengantar Psikologi Umum, edisi 4,


ANDI, Yogyakata.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

33

The Role of Public Art in Urban Environment


A Case Study of Mural Art in Yogyakarta City
Teguh Setiawan1, Bakti Setiawan2
1

Staf Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta


Dosen, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract
The mural art project in Yogyakarta City provides a unique example of the role that public art can play in
urban setting. The artist-initiated project involved a range of community groups to participate. However, the
policy on public art in urban environment remains absent. At the same time the literatures are not conclusive
on how the public art can benefit urban environment as well as the citizens. This research aims to explore the
impact of public art on urban environment within the context of Yogyakarta City. It translates into the
question of how public art affects the urban environment in Yogyakarta City.
This research is exploratory in nature and using single case study and survey strategies. A mix of
quantitative data analysis using statistical tools and qualitative data analysis is used in this research. The
grounded theory approach is also used to develop the research design. The research finds from the
questionnaires that there are multidimensional impacts of public art in urban environment. The perceived
benefits of public art either in physical, social or cultural domains suggest that public art is very prominent in
creating livability and sustainability of the city. However, further critical studies on public art are still needed
to really understand the functional and artistic aspects of public art in the context of urban environment.
Keywords: public art, mural, urban environment, citizen perception, participation.

1. Introduction
1.1 Background & Problem Statement
The Mural Art in Yogyakarta City has shown a
case of creating public art as a collaborative action
between the artists and other stakeholders to respond
to the degradation of the urban environment caused
by graffiti. Setiawan (1997) stresses that there are
not many research conducted on the local issues or
cases of urban development in Indonesia, therefore a
study on the effects of public art on the urban
environment is very important.
Comprehension about the people's participation in
public art and perception about the public art project
and how it affects the urban environment will make
a great contribution to urban studies, especially in
the local context of Yogyakarta City.
There are two-fold underlying reasons of the
research. Academically, the research aims to
contributing to the body of knowledge in the
interlinked fields of study, namely visual art and
urban management studies. Pragmatically, the
research is also expected to contribute an insight to
improve the quality of urban environment through
Kontak: Teguh Setiawan
Staf Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta
Telp: +628127288603
(Diterima 30 Juli 2010 dan disetujui untuk diterbitkan 12
September 2010)

34

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

integrating public art into urban environmental


management policies. Three problems are stated in
this research:
a. The mural art project in Yogyakarta City
provides a unique example of the role that
public art can play in urban setting. However,
the policy on public art in urban environment
remains absent.
b. At the same time the literatures are not
conclusive on how the public art in this case,
mural art can benefit urban environment as well
as the citizens.
c. In-depth information does not exist on how the
public art can improve the quality of urban
environment, especially in the local context of
Yogyakarta City, since little research has been
conducted on the subject in the field of urban
management.
1.2 Research Objective and Research Questions
The objective of the research is to explore the
impact of public art on urban environment within the
context of Yogyakarta City. The objective of the
research translates into the main research question:
"How does public art affect the urban environment
in Yogyakarta City?" The following sub-questions
are then developed to address the main research
question:

Teguh Setiawan

a. What is the citizen perception upon public art?


b. How does public art affect urban environment?
c. How does the citizen perception on public art
influence their participation in public art
projects? What is the prospect of public art in
Yogyakarta City?
This research is conducted in the city of
Yogyakarta by observing the existing condition of
the murals either at the city or the Kampung scale.
Technical and artistic aspects of the art will be
discussed only in a very limited portion as far as
necessary since the intrinsic aspects of the art is not
the focus of this research. Discussion on technical
and artistic aspects of the art will be discussed only
in the context of the above scopes.
2. Review of the Literature
2.1 Public Art Definition
The term public art is widely open to various
interpretations and has been referred to everything
from
government-commissioned
monumental
sculpture to subway graffiti. It is often used as an
umbrella term covering any art that is not displayed
in art galleries or formal museums (Hunting, 2005).
Selwood (1995 p. 8) refers the term 'public art' to
"...art intended for the public, created by the public
or sited in spaces, which although not publicly
owned are nevertheless intended for public use".
Another definition of public art is "art [which is]
made public" (Norman & Norman, 2000). Norman
& Norman (2000) also share the same definition
with Selwood (1995), public art is sited in a public
space and often permanently fixed.
Traditionally, the purpose of such public art is
either to commemorate a certain famous figure (or
event), or simply to beautify the physical
environment (ornamentation). Nowadays, its
purpose has been linked with a lot of urban issues
with regards to politics and policies, economy, the
use of public money, urban regeneration and
improvement of the city image (Norman & Norman,
2000).
zsoy & Bayram (2007) notices that the public
space does not necessarily refer only to physical
space but may also refer to non-physical space such
as the internet or other virtual media. Therefore, it is
not the spatial boundaries that define whether an art
is for public or private audience, but its accessibility
to public (zsoy & Bayram, 2007). Public art can be
installed either outdoor or indoor as long as it is
accessible to all (Edmonton Arts Council, 2009).
Nikitin (2000) as quoted by Stephens (2006)
emphasizes that to be effective public art (projects)
must be part of an integrated multi-disciplinary
approach "to enlivening the city, neighbourhood or
downtown, and produced in collaboration with the
people for whom they are meant". The conventional
roles of artists and audience are now re-defined

where artists now play as facilitators who supervise


the artwork, while the community gets involved
actively as creative contributor (Stephens, 2006).
Such an active engagement of public or community
in the process of art making has characterized the
concept of public art today which is sometimes
distinctively referred as participatory public art or
community art, as opposed to the conventional
definition of public art.,Hence, the term 'public art'
being used throughout this research refers to the
definition of participatory public art or community
art which emphasize the process in which
community members are involved in the creative
stages of the art itself; and its accessibility to all.
2.2 Different Forms of Public Art
Public art can manifest in any different forms as
long as it is possible to be displayed in public spaces
and accessible for public. Based on its media, public
art can be encountered in different forms (Halim,
2008; Wisetrotomo, 2010; Edmonton Arts Council,
2009), such as performing arts, three-dimensional
visual arts or two dimensional visual arts. Recent
literature also includes contemporary non-visual arts
as forms of public art, such as sound art or aromatic
art. Based on its purposes, Charmichael (as quoted
in zsoy & Bayram, 2007) there are three forms of
public art: historical, aesthetic and functional.
(zsoy & Bayram, 2007).
2.3 Benefits of Public Art
From the urban manager/local government's
viewpoint, the role of public art in urban
development or urban regeneration is perceived to
bring benefits not only to the artists and the
community who are involved the public art project,
but also to the city. Public art has been credited with
some roles in urban context which seem to be
associated with other factor than the art itself such as
the participatory process in which the public
engagement in the project is crucial and often seen
as necessary element of how community accept the
art (Selwood, 1995; Sharp et al., 2005, Halim,
2008).
Marschall's (1999) review regarding the
community mural art in Durban, South Africa,
collected several claims on the benefits of mural art
and further finds that murals sometimes are
presented as a catalyst for social or political change
by creating public awareness, providing social
critique, and sometimes encouraging action. Yet,
Marschall critically stresses that assuming murals
affecting a lasting change is an overstatement. He
also warns that not all murals involve community
participation in the production process and therefore
cannot claim the same benefits as those
participatory-based murals (Marschall, 1999).

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

35

From the arrays of the benefits of any forms of


public art found in the literatures, it can be said that
the role of public art in urban environment does not
only give benefits to the built environment
(physical/visual benefits), but the social and cultural
benefits as well (see Table 2).
2.4 The Role of Public Art in Urban Environment
As already discussed in the previous paragraphs,
public art seems to bring a vast range of benefits
either
physically,
socially,
culturally,
or
economically. The following paragraphs try to see
more specifically the role of public art in urban
environment, namely how the public art might
affects the urban environment seen from the three
environmental dimensions (physical/built, social and
cultural environment).
Built Environment
The main reason for many cities in Australia,
Canada and the US such as Melbourne, Edmonton
and Philadelphia among others to promote mural art
projects is to combat graffiti and vandalism (City of
Melbourne, 2007; City of Philadelphia, 2010;
Edmonton Arts Council, 2009). Mural art as a form
of public art mainly affects the aesthetic quality of

built environment (Craw et al., 2006). This impact is


indicated by the change of perception of built
environment from the perception of visual
degradation to perception of visual amenity.
According to Craik & Zube, cited in Defares (1979),
the perception of amenity and the perception of
degradation are indicators of visual quality of urban
built environment (Defares, 1979).
Social Environment
The public art can increase the citizens'
belongingness to their locality (reclaiming their own
environment) and their feeling of safety (Wardani,
2002). Public art is also claimed to contribute to the
development of a more pleasant, safe and viable
community (City of Hamilton, 2008).
Cultural Environment
Derived from the discussion on the benefits of
public art in the previous paragraphs, the impact of
public art to cultural environment in a way that it
cultural vitality of the community through
strengthening local values by recognition of local
culture, opening more exposure to art for the people
(developing new artistic skills and creativity) and
highlighting the identity of a community.

Table 2. Benefits of Public Art


Visual /Physical benefits
Making a place more interesting and attractrive
Making bukt environment more humane
Optimizing the use of open space
Creating richer visual environment
Reducing vandalism
Beautify neighbourhood through creative process
Creating a sense of place
Cultural Benefits
Being a cultural investment
Fostering the genius loci and culture
Making contemporary arts and crafts more accessible to
public
Increasing citys/countrys/companys investment in the arts
Opening more exposure to art for the people (developing
new artistic skills and creativity)
Highlighting the identity og a community
Promoting community values
(Source: Researcher's Construct, 2010)

The Role of Public Art in Place Making


Physically, a place is a space which is attached with
values. A space is a threedimensional structure; a
place is how it is used. One same space can be
different places in different times. A place is generally
a space with something addedsocial meaning,
convention, cultural understandings about role,
function and nature and so on. A sense of place is the
collection of meanings, beliefs, symbols, values, and
feelings that individuals or groups associate with a
particular space (Williams & Stewart, 1998). zsoy &

36

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Social/Political Benefits
Bringing greater pride to the citizens for their locality
Creating job opportunities
Creating confidence among the communities (giving a sense
of purpose
Reducing violence
Creating public awareness
Providing social critique
Allowing communities to express and address problems
Economic Benefits
Creating employment for artists and other art-supporting
businesses
Improving the conditions for economic regeneration
Encouraging closer links between artists and the
environment-related profesions: architecture, landscaping,
engineering and design
Enhancing land values
Enhancing tourism and economic development

Bayram (2007) suggest that the integration of


public art in urban transformation projects can create a
feeling of place and a place identity; that helps to
define urban pattern. A definable urban pattern creates
a permanent impression related to the city (image of
the city). From the abovementioned examples, it can
be seen that public art plays a vital role in the place
making in the city by creating a distinctive identity of
the city or neighbourhoods.
Public Art as Cultural Capital
The concept of cultural capital was first developed
by French sociologist PierrecBourdieu in early 1960s.

Teguh Setiawan

According to Bourdieu (1986; in Weininger & Larau,


2007) cultural capital exists in three distinct forms,
namely embodied form, objectified form and
institutionalized form. Firstly, in its embodied form,
cultural capital is a competence or skill acquired
through the investment of time for learning or training.
Secondly, the mural itself may function as a form of
cultural capital because its use (production) or
consumption presupposes a certain amount of
embodied cultural capital. The public art here is an
objectified form of cultural capital since it requires
skills in painting to create, and certain degree of
knowledge in art to understand/appreciate. Thirdly, in
societies with a system of formal education, cultural
capital exists in an institutionalized form which
manifests in certification and standardization
(Weininger & Lareau, 2007). DiMaggio & Mukhtar
(2004) interpret Bourdieu's cultural capital as
"comprising types of tastes, knowledge, and modes of
appreciation that are institutionally supported and very
broadly acknowledged to be high-status and worthy of
respect", and based on their observation on the arts
participation as cultural capital in the US, 19822002,
they conclude that art remain central in cultural capital
(DiMaggio & Mukhtar, 2004). The citizen
participation in public art is thus important for
developing the citizens' tastes, knowledge and modes
of appreciation to arts; while the citizens' level of
participation in public art itself can indicate how much
of cultural capital that the citizens have. Craik (2005)
mentions that policy support for culture (a broader
term than the Arts) is believed to increase the cultural
capital of citizens; and hence contributes to the
democratizing process by empowering people through
creative knowledge and skills. This argument justifies
why local government should allocate public funding
to support public art (Craik, 2005).
The Prospect of Public Art in the Context of Urban
Environment.
Public art is perceived to bring benefits to the city,
especially for urban development and regeneration.
Many Western cities have adopted public art policy of
some sort as part of their economic development
strategies. Public art master plan seems to become an
important element of the contemporary urban
planning as a tool to implement the public art policy.
The fact that many cities in western countries have
adopted public art policy indicates the importance of
public art for the city development. Not only can it
generate economic return through tourism, it also can
increase the cultural capital of citizens in form of
creative knowledge and artistic skills. Therefore,
public art seems to have a great prospect in the future
to be more accepted and adopted in the field of urban
management.
Conceptual Model
The conceptual model provides the logical
framework for the research in the following diagram:

Figure 1. Conceptual Model


(Source: Researcher's Construct, 2010)

3. Research Methodology
The research is an exploratory study and uses case
study and survey strategies. The research uses the
combination of qualitative and quantitative deductive
methods. Secondary data are collected through desk
study (literature and documentary review). Primary
data are acquired through interviews, questionnaires
and field observation. This research uses purposive
technique to select the source persons. A group of
people representing all stakeholders involved in the
subject of the study are interviewed, namely key
people from the artists group, key people of the local
authorities, key people of the communities, and some
experts of the related disciplines. The unit of analysis
is individuals representing the stakeholders involved
or related to the Mural Art. Complimentary to the
interviews, the purposive random sampling technique
is used to acquire general opinion of the communities,
by distributing questionnaires to users of Yogyakarta
City, namely random individuals whose activities are
in the city regardless of their home locations with the
assumption that these people are the users of the urban
spaces in which the murals are located.
From 150 questionnaires distributed in two sub
districts, namely Timoho (public offices area),
Kotabaru (educational and commercial area) and 124
were filled and returned (82.67% response rate). All
missing data where people had indicated a "no
opinion" response to a question or had failed to
answer were given a dummy code and entered into the
compilation so that all of the 124 useable
questionnaires could be use in the analysis. The
composition of respondents by sexes comprises of
54% female and 46% male. The fieldwork observation
is conducted within the administrative boundary of
Yogyakarta City. Street murals (murals along urban
streets) are observed at the areas around
Lempuyangan Flyover, Kelurahan Kotabaru, and Jalan
Mataram. Kampung murals (murals in the
neighbourhood areas) are observed in Kampung
Gemblakan Bawah, Kampung Jetisharjo, Kampung
Balapan and Kampung Jogokariyan.

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

37

Table 3. Source persons and Respondents Sampling


Stakeholder
Artist Group
Local Authorities
Urban Expert
Local Communities
City Users

Organizations
Jogja Mural
Forum (JMF)
Yogyakarta City
(Managerial
Level)
Duta Wacana
University
Local Artists
(Kampung Level)
General Public

Sample
2
4
1
2
124

Data
In-depth
Interviews
In-depth
Interviews
In-depth
Interviews
In-depth
Interviews
Questionnaire

(Source: Researcher's Construct, 2010)

4. Research Area and The Case of Study


4.1 Description of the Research Area
Yogyakarta City is the capital of the Yogyakarta
Special Province, Indonesia. It is the only
sub-provincial region with the City1 status whereas
the other four sub-provincial regions are given the
Regency2 status. Yogyakarta City is situated in the
center of the Yogyakarta Special Province which
borders with Sleman Regency in the north, Bantul
Regency and Sleman Regency in the east, Bantul
Regency in the south, and Bantul Regency and
Sleman Regency in the west. It comprises 14 districts
called Kecamatan and 45 sub-districts called
Kelurahan. The administrative area of Yogyakarta City
covers the area of 32.50 sq km., which is 1.02% of
Yogyakarta Special Province area, with the altitude of
75 to 132 meters above the sea level. Based on the
census in 2000, the projected population in 2008 was
456,915 lives (48.86% male and 51.14% female). The
population density was 14,059 lives per km
(BPS-Statistics of Yogyakarta City, 2009). Yogyakarta
City has envisioned herself as "a city of quality
education, cultural tourism, prime services and growth,
sustainable environment and civil society with the
spirit of nurturing the harmonious world" (Municipal
Regulation No. 17 of Yogyakarta Municipality, 2007).
One of the missions of Yogyakarta City is to make
tourism, arts and culture predominant to develop an
image of Yogyakarta as a city of cultural tourism
space.
4.2 The Case of Study: Mural Art in Yogyakarta
Left over and abandoned spaces are common
phenomena in Indonesian cities. In many major cities
in Indonesia, like Jakarta, such neglected spaces
would be illegally occupied by informal sectors or the
homeless. In Yogyakarta, such spaces seem to be left
empty and unoccupied, making them ideal spaces for
vandalism and graffiti to establish their existence
(Scheepers, 2004)another visual terror for
community. Besides, such neglected marginal spaces
create dirty and gloomy image to the city (Groth &
Corijn, 2005). Apotik Komik, a group of comic and
visual artists, initiated a public art project taking the

form of murals in several spots of the Yogyakarta City


in
2002
in
the
City
Mural
Project
"Sama-sama/Together" in collaboration with a group
of mural artists from California. A year later, in 2003,
Apotik Komik collaborated again now in California
with their Mural Project "Sama-sama/You're
Welcome". Apotik Komik dismissed in 2004. After the
earthquake in 2006, the Jogja Mural Forum, a new
community of mural artists and enthusiasts did the
Midnight Live City Mural. This project then later was
socialized to several kampungs (neighbourhood units)
and received enthusiastic response from the
communities. Many kampungs then painted the walls
in the neighbourhoods and regarded the art as part of
their communal identity (IVAA, 2006). The previously
dull and ignored spaces then transformed into more
cheerfulcolourful spaces which give more value to
urban spacesboth at the city and neighbourhood
levels. During the process, Apotik Komik, the artists
group, started to involve local communities in 2004 to
participate in the project at the kampung scale. The
project continued in 2006 and then in 2008 by
renewing the murals beneath the flyover at Jalan
Lempuyangan organized by Jogja Mural Forum
(JMF)3 and involving some traditional artists like
Ledjar Subroto, Subandi, Sutjipto Setiyono, Sutjipto
Wibagsa, Sulasno and Nursaman; and the youth of
several kampungs, namely kampung Gemblakan
Bawah, Kumendaman, Mancasan, Balapan, Kepuh,
Prawirotaman,
Brontokusuman,
Pakelmulyo,
Jetisharjo, Jogokaryan, Mranggen Tegal, Pasekan,
Onggobayan, Kembaran, Badran and Karanganyar.
5. Case Study Analysis
5.1 Citizen Perception on Public Art
To ask the respondent their perception on each
aspect of public art (represented by mural), a photo
questionnaire is used. Three different pictures of
artworks resembling different kinds of art are
presented, namely tag graffiti, piece graffiti and mural
art, each with the same corresponding questions of the
seven aspects, namely artistic value of the work,
aesthetic contribution to environment, nuisance,
acceptability, message, appreciation for artists, and
legal aspect. The respondents were only given the
pictures without name of the three forms of artwork.
The five-point Likert scale is used to quantify
respondents' responses to the questions. With the
median as normal line, the horizontal axis is on scale 3,
which means scale 1 and 2 are interpreted as negative
values while 4 and 5 are positive. Using the bar charts
it can be seen whether the respondents perceive each
aspect of public art positively or negatively (Figure 2).
Each of the seven aspects of the three forms of
artwork is reviewed in the following paragraphs.

The City (Kota in Indonesian Language) administrative status is given to sub-provincial regions with urban characteristic; led by an elected Mayor.
The ;Regency; (Kabupaten in Indonesian language) administrative status is given to sub-provincial regions which are characterized by their rural
villages, led by an elected Bupati. Even though the status is of the same level as city , regencies usually have larger geographic areas than cities.
3
Jogja Mural Forum, founded 2006, is a community of artists, observers and young people interested in mural art. This community identifies itself as
a medium of art education for urban communities. JMFs basic principle is to position public art as a means for citizens to express their ideas.
1
2

38

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Teguh Setiawan

the Kampung and see murals on the walls alongside


the alley rather than see gang tags everywhere
(Interview, 08 September 2009). In the urban context,
Eko Prawoto agrees that mural makes better urban
spaces, positive and livable spaces (Email, 12
September 2009).

Figure 2. Citizens' Response to 'Mural


(Source: Data Analysis, 2010)

Figure 2 shows that from the three forms of artwork


exposed to the respondents the "tag" graffiti got the
most negative response whereas the mural art got the
most positive response. The "piece" graffiti got fairly
positive response, but slightly negative on
acceptability and message aspects. It is now clear that
the stronger points of mural art compared to "piece"
graffiti (which requires the similar artistic skills as
mural art) are on the aspects of acceptability and,
especially, the message. The valuable message
perceived in mural art is lacking in graffiti. Therefore,
compared to graffiti, either simple "tagging" or
sophisticated "piece", mural art has more positive
qualities that justify the mural as the chosen form of
public art in Yogyakarta City.
5.2. Impacts of Public Art on Urban Environment
5.2.1. Physical Environment
From the questionnaire, most respondents agree that
mural can improve the visual quality of urban
environment (Figure 3).

5.2.2. Social Environment


Two impacts of mural on social environment are
confirmed from the questionnaire, namely the people's
belongingness to their environment and youths'
creative energy outlet. The citizens' sense of
ownership or belongingness to their environment is
believed to improve the perception of safety. When
the people in one neighbourhood or Kampung do
murals on their walls, they will intuitively take care of
their work. Agus Sularto asserts that murals in the
Kampungs are better preserved and maintained than
murals in urban streets/spaces, because nobody feels
like the owner of urban spaces more than like the
owner of their own surrounding (Interview, 30
September 2009).Another social impact of public art
on urban environment is that mural art can make an
energy outlet for the youths. This impact is confirmed
by Bernard, youth mural activist in Kampung
Jogokariyan. Bernard claims that because of doing
mural and other art projects, the teenagers in the
Kampung who used to spend their idle time drinking
and causing nuisance to the neighbourhood now prefer
to participate in mural painting or other art projects.
Bernard further describes how proud they were when
their project a two dimensional figure depicting the
local hero of their Kampung, the Jogokariyan Warrior
was displayed in Jogja National Museum and attended
by the Sultan himself. Such achievement has brought
confidence to the youth in his Kampung who used to
be labelled negatively by the community (Interview,
11 September 2009).
5.2.3. Cultural Environment

Figure 3. Citizens' Response to 'Mural Improves the Beauty of


Their Environment' (Source: Data Analysis, 2010)

This aesthetic impact seems obvious, and confirmed


by all local government officials being interviewed, as
the main reason why the local government supports
the mural art at the first place, namely to replace
graffiti vandalism with artistic mural art.
Another impact perceived by respondents is that
mural can make their neighbourhood feel friendlier to
visitors. Samuel Indratma, the coordinator of Jogja
Mural Forum (JMF), describes this impact as people
feel fewer burdens to greet strangers, because the
mural paintings on the walls along the alley can make
effective bridge of communication, the people in the
Kampung now can talk about the mural on their walls
to start a conversation. Also the strangers/visitors will
feel more welcome when they enter a narrow alley in

Figure 4. Citizens' Response to 'Mural Can Pull Out Hidden


Talents in the Neighbourhood' (Source: Data Analysis, 2010)

From the statistical analysis, it can be seen from


Figure 4 that most respondents agree that mural can
pull out hidden talents in the neighbourhood. In other
words, mural can increase artistic capacity and
creative skills of the citizens (improving the cultural
capital of the citizen). Apart from that, mural can be
developed as the cultural promotion for the city

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

39

(Prawoto, Email 12 September 2009). This is a kind of


cultural benefits that can improve economic viability
of the city, as confirmed by Agus Sularto (Interview,
30 September 2009) who said that if this mural
phenomenon can make Yogyakarta become an
international mural destination, he will support that
because it means more tourists will come to
Yogyakarta to make murals. Another impact of mural
on cultural environment is highlighting local values.
Mural can affect people's thoughts and perceptions of
a place because of certain value attached to that place.
5.3. From Perception to Participation
The following paragraphs discuss the relations
among three variables, namely General Perception on
Mural Art, Decision to Participate, and Acceptance to
Public Art. The statistical descriptive analysis using
crosstabulation and Chi-square tests shows that the
general perception of the public art is not directly
related to the citizens' decision to participate in mural
project, but significantly related to their acceptance to
the public art and the acceptance is significantly
related to the decision to participate. Therefore, the
relations among the three aspects seem linear as
illustrated in the following diagram (Figure 5).

Figure 5. Linear Relations of Perception, Acceptance and


Participation
(Source: Data Analysis, 2010)

5.4. The Prospect of Public Art in Yogyakarta City


The prospect of public art in Yogyakarta City can
be observed through three indicators, namely the
continuity of the public art activities/projects, the long
term benefits and the public art policy.
5.4.1. Long Term Persistence: Continuity
It is important to know the Citizen Perception on
the future existence of the mural art in the city. The
majority of respondents want mural art to be
continued for the next 20-50 years.

Figure 7. Citizens' Response to 'Mural Can Trigger Other


Public Art Activities' (Source: Data Analysis, 2010)

In the long run, the Mural Art in Yogyakarta City


can trigger other public art activities. Respondents
confirm this statement (see Figure 7). This can initiate
the cultural vitality of the city as the fourth pillar of
sustainability beside economic viability, social justice
and ecological responsibility.

Figure 8. Citizens' Response to 'Mural Can Make the City


Image of Yogyakarta' (Source: Data Analysis, 2010)

As the following outcome of lively cultural


activities in the urban context, the identity of the city
or the city image can be strengthened; as confirmed by
the statistic results (Figure 8). This can foster the
characteristics of Yogyakarta as a cultural city, which
is emphasized by Eko Prawoto, "Strengthening the
image of cultural city, living tradition, openness, and
high sense of livability" (Email, 12 September 2009).
The long term benefits that can be expected from the
public art is the urban sustainability. Assuming
cultural vitality as the fourth pillar of sustainability,
public art can be central to improving the livability
and sustainability of Yogyakarta City.
5.4.3. Public Art Policy
Mural as a form of public art occupy public spaces
and involving the citizens in its participatory process.
Since it is supported by local government, it makes
sense to assume that there needs to be a public policy
concerning the public art. The local urban expert
being interviewed, Eko Prawoto, supported the idea of
the city having a specific policy on public art (Email,
12 September 2009).

Figure 6. Continuity of the Mural Project


(Source: Data Analysis, 2010)

5.4.2. Long Term Benefits


To see if the public art needs to be sustained or not,
it is necessary to identify the long term benefits that
public art contributes to the people and to the city.

40

JAP Vol.4 No.2 Okt. 2010

Figure 9. Citizen Perception on the Need of Mural Regulation


(Source: Data Analysis, 2010)

Teguh Setiawan

It is clear from the diagram (Figure 9) that the need


for regulating mural art is statistically significant.
Most of respondents (75.8%) indicated either agree or
strongly agree on regulating the mural art in the city;
that leads to the question of what aspects were to be
regulated if they were given authority to do so. The
next question is what are there to regulate.

Figure 10. Citizen Perception on Aspects of Mural Regulation


(Source: Data Analysis, 2010)

It appears (Figure 10) that three aspects got more


than 50% responses, namely style/color theme (54%),
content/message (73.4%) and location (59.7%), while
the content or message of the mural appears to be the
main concern for the most respondents. Eko Prawoto
further explains that there needs to be a kind of grand
design or master plan (Email, 12 September 2009).
6. Conclusion
Based on citizen perception on public art and its
impact on urban environment in Yogyakarta City, it
can be concluded that public art has positive impact
on urban environment either physically, socially or
culturally. The perceived benefits of public art in
physical, social and cultural domains of urban
environment determine the livability and thus
sustainability of the city. However, public art needs to
be further studied critically and to be integrated in a
public art policy that includes the grand design or
master plan of public art in Yogyakarta City. The
issue of public art in Yogyakarta City should be taken
seriously by the local government as it holds a lot of
potential benefits for the city's livability and
sustainability. A public art policy and public art master
plan should be prominent priority for the cultural
development of Yogyakarta City to achieve its vision
as a cultural city. The conceptual framework to study
the impact of public art in urban context is still open
for possible development. More valid variables and
indicators need to be developed to study different
aspects of public art in urban context. The topic of
public art in urban management is still growing.
Production of further literature regarding the topic is
still a vast opportunity. More studies of the similar
topic in different cases and urban settings will be
significant contributions to the body of knowledge,
especially in the field of urban environmental
management.

Reference
1) BPS-Statistics of Yogyakarta City (2009) Yogyakarta City in
Figures 2009, Yogyakarta, BPS-Statistics of Yogyakarta City.
2) City of Hamilton (2008) City of Hamilton Public Art Master Plan.
3) City of Melbourne (2007) Do Art Not Tags. (11 July, 2010)
4) City of Philadelphia (2010) The City of Philadelphia Mural Arts
Program Retrieved 11 July, 2010
5) Craik, J. (2005) Dilemmas in Policy Support for the Arts and
Cultural Sector. Australian Journal of Public Administration
6) Craw, P. J., Leland, L. S., Bussell, M. G., Munday, S. J. & Walsh,
K. (2006) The Mural as Graffiti Deterrence. Environment and
Behavior, 38:3, 422-434.
7) Defares, P. B. (1979) Social Perception and Environmental Quality.
Urban Ecology, 4, 119-137.
8) DiMaggio, P. & Mukhtar, T. (2004) Arts participation as cultural
capital in the United States, 19822002: Signs of decline
9) Edmonton Arts Council (2009) Edmonton Public Art Master Plan,
Edmonton, Edmonton Arts Council.
10) Groth, J. & Corijn, E. (2005) Reclaiming Urbanity: Indeterminate
Spaces, Informal Actors and Urban Agenda Setting. Urban Studies,
42:No.3, 503-526.
11) Halim, D. K. (2008) Psikologi Lingkungan Pekotaan (Psychology
of Urban Environment), Jakarta, PT Bumi Aksara.
12) Hunting, D. (2005) Public Art Policy: Examining an Emerging
Discipline. Perspectives in Public Affairs, 2.
13) IVAA (2006) Jogja Berhati Mural. Video. Yogyakarta,
C-Cinema/IVAA.
14) Marschall, S. (1999) A Critical Investigation into the Impact of
Community Mural Art. Transformation, 40, 54-86.
15) Norman, E. H. & Norman, J. M. (2000) Community Operational
Research Issues and Public Art Practice: The Art Director System.
The Journal of the Operational Research Society, 51:5, 510-517.
16) zsoy, A. & Bayram, B. (2007) The Role of Public Art for
Improving the Quality of Public Places in the Residential
Environment. Paper presented at ENHR International Conference:
Sustainable Urban Areas, Rotterdam, The Netherlands.
17) Scheepers, I. (2004) Graffiti and Urban Space. (July 29th, 2009)
18) Selwood, S. (1995) The Benefits of Public Arts: The polemics of
permanent art in public places, London, Policy Studies Institute.
19) Setiawan, B. (1997) Indonesian Cities in Transformation: Research
Agenda on the Local, Socio-Political Dynamics of Urban
Development. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 8:2, 16-23.
20) Sharp, J., Pollock, V. & Paddison, R. (2005) Just Art for a Just
City: Public Art and Social Inclusion in Urban Regeneration.
Urban Studies, 42:5/6, 1001-1023.
21) Stephens, P. G. (2006) A Real Community Bridge: Informing
Community-Based Learning through a Model of Participatory
Public Art. Art Education, 59:2.
22) Wardani, F. (2002) Mural project reclaims public space in Yogya.
The Jakarta Post, Tuesday, 19 November 2002, Jakarta,
23) Weininger, E. B. & Lareau, A. (2007) Cultural Capital, in Ritzer, G.
(Ed.) Encyclopedia of Sociology. Oxford, UK, Blackwell.
24) Williams, D. R. & Stewart, S. I. (1998) Sense of Place: An Elusive
Concept That Is Finding a Home in Ecosystem Management.
Journal of Forestry, May 1998, 18-23.
25) Wisetrotomo, S. (2010) Seni Rupa (di Ruang) Publik. Kompas,
Minggu, 10 Januari 2010, Jakarta, Kompas Gramedia.
26) Yogyakarta Municipality (2007) Municipal Regulation No. 17 of
2007 on Medium Term Regional Development Plan of Yogyakarta
Municipality 2007-2011

Jurnal Arsitektur dan Perencanaan/Oktober 2010/2

41

PEDOMAN BAGI PENULIS

Deskripsi Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP)


Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JAP) diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Jurusan
Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan
namanya, jurnal ini mempunyai misi sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya dalam bidang arsitektur dan perencanaan. Area tulisan dalam jurnal ini
sangat luas, mulai dari teknologi bangunan, arsitektur, disain kota, sampai perencanaan
lingkungan kota, dan beberapa derivasinya. Cakupan penulisan mulai dari teori maupun
praktik yang ditulis dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah yang baik dan benar. JAP
direncanakan terbit 2 kali dalam setahun.
Kriteria Tulisan
JAP menerima dan menerbitkan tulisan ilmiah yang memenuhi persyaratan atau kriteria
dengan tipe atau kualitas sebagai berikut:
1. Tulisan mengandung materi asli yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu di bidang
arsitektur dan perencanaan.
2. Tulisan memberi kerangka penelitian atau proyek yang ringkas, jelas dan pembahasan
yang sesuai dengan tujuan penulisannya.
3. Tulisan mengandung informasi dan referensi detail yang bisa diketahui pembaca, sehingga
bila dikehendaki pembaca akan mudah memverifikasi keakuratannya.
4. Tulisan bebas dari usaha komersial, kepentingan pribadi, atau pun politik, di samping
tidak mengandung unsur SARA.
5. Kontribusi lain berupa diskusi yang terkait dengan tulisan yang pernah dipublikasikan
juga dimungkinkan untuk diterbitkan, dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Persiapan Tulisan
Tulisan seharusnya ditulis dan diatur dalam sebuah format atau gaya yang singkat, padat, jelas,
serta mudah untuk diikuti. Sebuah tulisan informatif dengan judul yang singkat, diawali oleh
abstrak dan kata kunci yang representatif. Sebuah latar belakang atau pengantar yang ditulis
secara baik akan membantu mewujudkan tujuan ini. Jika ditulis dalam Bahasa Indonesia,
seharusnya menerapkan kaidah penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ditulis dengan bahasa yang sederhana, berstruktur kalimat singkat, dengan pemilihan istilah
yang tepat akan membantu mengkomunikasikan informasi yang ada dalam tulisan lebih
efektif. Penyimpangan pembahasan dari pokok yang seharusnya dituju sebaiknya dihindari.
Tabel dan gambar seharusnya digunakan untuk lebih membuat jelas tulisan. Pembaca
seharusnya dipandu secara hati-hati, tetapi jelas, dalam memahami keseluruhan tulisan.
Penulis dituntut untuk selalu berpikir bagi kepentingan pembaca.
Tulisan diskusi atau tanggapan (discussion manuscript) juga harus mengikuti persyaratan
aturan tulisan baku. Tulisan jenis ini harus dikirimkan paling lambat 6 bulan setelah tulisan
yang ditanggapi terbit.
Prosedur Review
Redaksi akan menyerahkan tulisan yang telah diterima kepada sidang redaksi untuk
menentukan review bagi tulisan yang telah diterima. Pada dasarnya setiap tulisan akan
direview oleh seorang ahli (mitra bestari) yang berkompeten di bidang yang menjadi fokus
tulisan. Sistem yang dipakai adalah double blind proses, di mana mitra bestari tidak akan

mengetahui penulis, dan sebaliknya penulis juga tidak akan mengetahui nama mitra bestari.
Berdasar hasil review pertama, Sidang Redaksi akan menentukan prosedur lanjutan dari
sebuah tulisan, diterima dengan perbaikan minor; diterima dengan perbaikan mayor, atau
ditolak. Tulisan yang telah direview dan memerlukan perbaikan, akan segera dikirim kepada
penulis kontak yang tertera dalam tulisan. Selain substansi tulisan yang diatur dalam proses
review, Redaksi juga berhak meminta perbaikan teknis, sebelum tulisan benar-benar
diterbitkan. Waktu perbaikan harus memenuhi ketentuan seperti yang diberikan. Setelah
proses perbaikan selesai, dan tulisan dinyatakan siap terbit, maka penulis juga harus
menyerahkan pernyataan pengalihan hak cipta bagi distribusi tulisan kepada Redaksi JAP atau
Penerbit. Semua tulisan yang masih dalam proses review, menjadi tanggung jawab redaksi
dan redaksi akan bertanggung jawab terhadap kerahasiaan isi tulisan. Semua tulisan dan
dokumen lain yang telah diserahkan kepada redaksi tidak akan dikembalikan.
Redaksi menghimbau bagi tulisan yang ditulis dengan bahasa Inggris dan penulis tidak
sebagai penutur asli, sebaiknya mencantumkan hasil review bahasa, sebelum diserahkan ke
redaksi.
Biaya Penerbitan
Tidak dikenakan biaya pada tulisan maupun pembahasan yang diterbitkan. Namun demikian,
perubahan format dari standar penerbitan yang diminta oleh penulis, akan dibebankan pada
penulis. Untuk semua kontak penggandaan tulisan, silakan kontak alamat redaksi.
Hak Cipta
Penyerahan tulisan pada JAP ini mengimplikasikan bahwa tulisan yang diterbitkan harus
orisinal, karya sendiri, belum pernah atau tidak sedang dalam proses penerbitan di publikasi
yang lain. Penulis akan diminta menyerahkan surat keterangan bermaterai yang berisi
penyerahan hak cipta (copyright) tulisan kepada penerbit, dalam hal ini redaksi JAP. Hak
cipta ini secara ekslusif akan meliputi hak untuk memproduksi, menterjemahkan, atau
mengambil sebagian/utuh tulisan (termasuk tabel, gambar, lampiran) untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan. Jika ada pihak ketiga yang mengajukan izin untuk
memproduksi atau menggandakan tulisan, maka seharusnya Redaksi JAP yang dihubungi,
kemudian Redaksi akan menghubungi penulis untuk meminta persetujuannya. Penulis yang
menginginkan mempublikasikan ilustrasi atau gambar dan akan digunakan dalam tulisan,
seharusnya memperoleh izin tertulis dari penerbit yang bersangkutan, termasuk memuatnya
dalam keterangan ucapan terima kasih (acknowledgement) dalam gambar yang digunakan.
Izin tertulis hendaknya disertakan dalam versi final tulisan sebelum diterbitkan.

Pedoman Format Tulisan


Tulisan ditulis dengan software pengolah kata (saat ini yang paling disarankan adalah MS
World, sementara Page Maker dan software lainnya belum diterima) dalam kertas ukuran A4
(210x297cm). Tepi atas dan bawah adalah 25mm dan tepi samping (kanan maupun kiri)
adalah 20mm. Tulisan diatur dalam 2 kolom, dengan lebar kolom adalah 82mm dan jarak
antarkolom selebar 6mm. Gambar, tulisan, dan keterangannya diletakkan dan diatur (lay-out)
masuk dalam tulisan.
Tulisan ditulis dalam bahasa Indonesia (dengan abstrak berbahasa Inggris) atau keseluruhan
dalam bahasa Inggris, menggunakan jenis huruf Times New Roman ukuran 10.5point. Sebisa
mungkin atur spasi dalam area tulisan untuk bisa mengakomodasi 59 baris tulisan dari atas

sampai bawah. Tulisan tangan akan langsung ditolak. Jumlah halaman dihitung mulai
halaman judul.
Panjang tulisan yang diserahkan harus memenuhi ketentuan batas halaman yang diizinkan.
Tulisan dalam hal ini termasuk gambar, tabel, referensi, maupun ruang sisa- tidak
diperkenankan melebihi 8 halaman.
Halaman judul adalah halaman pertama tulisan. Halaman judul ini harus mengandung judul
tulisan, penulis (bisa perseorangan atau pun grup penulis), posisi, afiliasi, dan kontak penulis
yang berisi nama, posisi, afiliasi, alamat lengkap yang disertai nomer telepon, faksimili, dan
e-mail. Judul tulisan tidak diizinkan melebihi 75 karakter, termasuk spasi di antara judul.
Abstrak dan kata/frase kunci dimuat pada halaman pertama (halaman judul). Abstrak tidak
lebih dari 200 kata dan ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak harus secara jelas menjelaskan
isi tulisan, mulai permasalahan, metode, termasuk kesimpulannya. Kata kunci (keywords)
juga perlu dipilih secara hati-hati, sehingga pembaca terbantu secara mudah dalam
pencariannya.
Tulisan utama dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian (heading) yang mencerminkan urutan
sekaligus mengantarkan cerita dalam tulisan. Misalnya: Pengantar akan mendeskripsikan latar
belakang, motivasi, atau maksud riset; metode akan memberikan informasi yang diperlukan
sehingga pembaca bisa memahami dan mengikuti pekerjaan atau riset yang sama;
Keseimpulan akan menyatakan kesimpulan dari fokus yang dikerjakan secara jelas, sehingga
bebas dari interpretasi.
Referensi menggunakan Harvard System. Referensi dalam teks seharusnya dikutip sesuai
aturan yang ada, misalnya Katz (1994) atau (Jenks dan Burgess, 2000) atau jika lebih dari 2
orang, Williams, dkk. (1998). Referensi atau daftar pustaka ini harus disusun berdasar abjad
di akhir tulisan dengan menampilkan nama keluarga penulis (surname). Jika ada daftar
pustaka yang ditulis orang yang sama dalam tahun yang sama, maka harus dibedakan dengan
tambahan abjad, seperti 2000a dan 2000b. Aturan penulisan referensi atau daftar pustaka ini
seharusnya mengikuti contoh berikut:
Referensi dalam bentuk buku
Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul, Edisi (jika bukan edisi
pertama), Penerbit, Tempat diterbitkan
Misalnya:
Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Referensi dalam bentuk jurnal
Nama keluarga penulis, Inisial (tahun publikasi), Judul Tulisan, Judul Jurnal, Volume
dan nomer jurnal, Penerbit, Halaman
Misalnya:
Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and
people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban
Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning,
and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No 546, 207-214

Referensi dari internet, sesedikit mungkin digunakan. Jika digunakan, maka penulisannya pun
tetap harus mengikuti kaidah penulisan referensi yang ada, ditambah tanggal terakhir diakses.
Catatan kaki masih dimungkinkan bila tulisan memang memerlukan keterangan tambahan,
tetapi hendaknya dibatasi. Cara penulisannya harus disesuaikan, dengan memberi keterangan
angka yang lebih kecil (superscript) pada akhir kalimat yang akan diberi keterangan. Daftar
keterangannya diletakkan sesuai nomer urut pada bagian akhir tulisan, sebelum daftar pustaka,
dengan ukuran tulisan yang lebih kecil (9point).
Rumus matematika dan simbolnya juga dimungkinkan untuk ditambahkan, dengan
memperhatikan penulisan rumus yang benar dan meletakkan angka atau tanda yang lebih
kecil secara benar (subscript atau superscript). Standar internasioanl (SI) untuk ukuran
seharusnya digunakan bila mencantunkannya. Bila ukuran tidak dalam SI maka persamaan
dalam standar SI seharusnya ditulis dibelakangnya menggunakan tanda kurung.
Tabel dan gambar bisa ditata hanya menggunakan satu kolom (82mm) atau dua kolom
sekaligus (170mm), sesuai kebutuhan dan mengingat estetika perletakan. Cara penulisan tabel
atau gambar adalah diurutkan dan menggunakan angka arab, misalnya Tabel 1, Tabel 2, atau
Gambar 1, Gambar 2, dan seterusnya. Isi tabel atau pun detil gambar sebisa mungkin harus
tetap terbaca dengan jelas. Untuk diharap memperhatikan kekontrasan maupun resolusi
gambar, sehingga memungkinkan perbesaran/perkecilan dengan baik. Untuk negatif gambar,
tidak akan diterima dan saat penerbitan izin dari penggunaan gambar (orang lain atau sumber
asli) harus disertakan.
Pada dasarnya JAP diterbitkan dalam format hitam-putih. Cetak warna dimungkinkan dengan
biaya tambahan dibebankan pada penulis. Sebaiknya hindari teknik gambar transparansi.
Penulis dalam mempersiapkan tulisan, disarankan dengan sangat untuk menggunakan model
format (template) yang telah disediakan dan dapat diunduh (download) di
http://www.archiplan.ugm.ac.id/

GUIDELINES FOR WRITERS

The Description on Journal of Architecture and Planning Studies (JAP)


Journal of Architecture and Planning Studies (JAP) was first published in 2004 by
Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University.
As the name implies, this journal has a mission as a medium for the development of science
and technology, especially in architecture and planning studies. JAP has broad topics of
writing, ranging from technology of building, architecture, city design, to urban
environmental planning and its derivations. The coverage of writing in JAP starts from
theories to practices, and they are well-written according to the correct scientific writing rules.
JAP is planned to publish twice a year.
Writing Criteria
JAP accepts and publishes scientific papers that meet the requirements or criteria as follows:
1. It contains beneficial authentic material for science development in architecture and
planning studies.
2. It gives brief and clear research or project framework, as well as an appropriate
explanation due to the purpose of writing.
3. It contains detail information and references generally known so that readers are able to
verify its accuracy if it is needed.
4. It is free from any commercial, personal or political interests, and does not contain the
four elements of SARA (ethnicity, religions, races, and inter-classes).
5. Another contribution in the form of discussion related to published paper is also possible
to publish, with terms and conditions applied.
Writing Preparation
Papers should be written and arranged in a concise, clear, and understandable format. It is
also should be informative with brief title, preceded by abstract and representative keywords,
plus a well-written background or introductory paragraph. If it is written in Indonesian, the
rules on good and correct writing in Indonesian should be applied. Furthermore, papers
should be written in simple language, short-sentence structured with appropriate terms and
dictions. Deviation from the main discussion should be avoided. Tables and figures should be
used to clarify the papers. Readers should be guided carefully but clearly, in understanding
the whole text. The author is required to think for the benefit of the readers.
Discussion manuscript or written responses also must follow the requirements of standard
written rules. This type of writing should be submitted no later than 6 months after the paper
responded is published.
Procedure Review
The Editor will submit all papers received to editorial staff to determine the paper review.
Basically, every article submitted to editorial staff will be reviewed by a competent expert
(mitra bestari). The system used is "double blind" process, where the mitra bestari will not
recognize the author, and the author will not recognize also the name of the mitra bestari.
Based on the result of the first review, Editor Meeting will determine the continuation
procedures of a paper, which are: accepted with minor revision, accepted with major revision,
or rejected. Papers reviewed and in need of revision will be sent to the authors according to
the listed contacts. The Editor has a right to regulate the writing substance in review process

and to request technical improvements, before the writing is actually published. The revision
period has to meet the requirement. After revision process is completed and papers are
declared to be ready to publish, the authors must submit a statement of copyright transfer
toward the writing distribution to the JAP Editor or Publisher. All writing in the review
process becomes the responsibility of the Editor and the confidentiality of the writing
contents is guaranteed. All papers and other documents submitted to the Editor will not be
returned.
The Editor suggests to Indonesian authors who submit their English written papers to include
the language review before it is submitted to the Editor.
Publishing Costs
The papers and discussions published are not charged. However, if the author requests for
any format changes, the cost will be charged upon the author. For all copies made, please
contact the Editor address.
Copyright
The Editor accepts only authentic and original writings that have not published yet or not in
the process of publishing in other publications. The author will be asked to submit a stamped
letter containing the writing copyright transfer to the Editor of JAP. This copyright will
exclusively include the right to reproduce, translate, or take part/whole text (including tables,
images, and attachments) to the interest of science development. If there is a third party who
asks for a permission to produce or reproduce the writing, the Editor of JAP should be
contacted, then the Editor will ask the authors for approval. The author, who would like to
publish illustrations or images will be used in his/her writing, should obtain the written
permission from the related publisher, including put down the acknowledgement for images
used. Written permission should be included in the final version writing before publication.
Guidelines for Writing Format
The paper is written with word processing software (most recommended is MS Word, while
Page Maker and other software are not yet suggested). It is written in A4 size paper
(210x297cm), with top and bottom edge is 25mm and the margin (right or left) is 20mm. The
writing is formatted in 2 columns with its column width is 82mm and its inter-column width
is 6mm. Images, writings, and notes are placed and formatted into the text.
The paper written in Indonesian (with English abstract) or a whole paper is in English should
use Times New Roman font with 10.5 point. Wherever possible, please arrange the space in
the writing area to accommodate 59 lines of sentences from top to bottom. Handwriting will
automatically be rejected. The number of pages is calculated from the title page.
The length of submitted paper must comply with the provisions of the page limit allowed. A
paper including images, tables, references, and remained space are not allowed to exceed
8 pages.
The title page is the first page of the paper. The title page should contain title, author (could
be individual or group of authors), position, affiliation, and authors contact contained of
name, position, affiliation, complete address with telephone number, fax, and e-mail. The
paper title is not permitted beyond 75 characters, including spaces between titles.
The abstract and keywords/key phrases are stated in the first page (the title page). The

abstract is no more than 200 words and written in English. It must clearly describe the
contents of writings, problem formulation, methods, and the conclusion. Keywords should be
selected carefully, so that readers can be easily understood.
The main writings are divided into several headings which reflect the order and its discussion,
for example: Introduction will describe the background, motivation, or the research aims;
Methods will provide the necessary information so that readers can understand and follow the
discussion; Conclusion will wrap up the focus in clear explanation and interpretation free.
The writing on references should use the Harvard System. References in text should be cited
according to the rules, for example Katz (1994) or (Jenks and Burgess, 2000) or if it is more
than two people: Williams, et al. (1998). References or bibliography should be arranged
alphabetically in the end of text by displaying the author's family name/surname first. If there
is a reference written by the same person in the same year, it must be distinguished by
additional letters, such as 2000a or 2000b. Rules on writing references or bibliography should
go after the example follows:
References from Books
Author's surname, Initial (year of publication), Title, Edition (if it is not the first
edition), Publisher, Place of publication
For example:
Ronald, A (2005), Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
References from Journals
Author's surname, Initials (year of publication), Paper Title, Journal Title, Volume and
number of journal, Publisher, Page
For example:
Sarwadi, A; Tohiguchi, M; Hashimoto, S. (2001) A typological analysis of houses and
people-gathering places in an urban riverside settlement. A Case Study in the Musi Urban
Riverside Settlement, Palembang City, Sumatra, Indonesia, Journal of Architecture, Planning,
and Environmental Engineering (Transactions of AIJ) No. 546, 207-214

References from the Internet are used as little as possible. If it is used, the writing still
follows the rules of referencing, plus the last date accessed.
Footnote is still possible if the paper requires additional information, but it should be limited
instead. Its format should be adjusted too, by using superscript format at the end of the
sentence which needs additional notes. The description list is placed according to serial
number at the end of the writing, before the bibliography, with a smaller size text (9 point).
Any mathematical formulas and symbols are also possible to add by putting more attention to
the correct formula writing and putting the numbers or smaller signs correctly (either
subscript or superscript). The International Standard (SI) for measure should be used if it is
required. If the measurement is not in the SI equation, thus it should be written using
parentheses behind.
Tables and images can be arranged using only one column (82mm) or two columns at once
(170mm), according to the needs and layout aesthetic. The format on putting tables or

drawings are sorted by using Arabic numbers, such as Table 1, Table 2, or Figure 1, Figure 2,
and so on. The content of tables or detail images should be clearly readable as good as
possible. Please notice to the contrast or image resolution, so the magnification/reduction can
be well applied if it is needed. The negative image will not be accepted. The permission letter
of pictures using from others or original sources should be included when it is published.
Basically, JAP is published in black and white format. Color printing is possible with
additional fees charged to the author. Avoid transparency image technique.
In preparing the paper, it is suggested to the authors to use the template format provided and
can be downloaded at http://www.archiplan.ugm.ac.id/

You might also like