Professional Documents
Culture Documents
Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama
peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir,
dikenal dengan sebutan Tahun Gajah, karena pada waktu itu terjadi penyerbuan Kabah di
Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu
propinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Pada era kenabian Muhammad, sistem penanggalan pra-Islam digunakan. Pada tahun ke-9
setelah Hijrah, turun ayat 36-37 Surat At-Taubah yang melarang menambahkan hari
(interkalasi) pada sistem penanggalan.
Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), tepatnya 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad,
khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun
dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Sebuah asumsi menyatakan
bahwa ada sebuah kritik yang ditujukan terhadap pemerintahan khalifah ke-2 Islam ini. Hal
ini disebabkan karena pemerintahan khalifah Umar bin Khattab dalam menyebarkan surat
kenegaraannya tidak mencantumkan tahun. Dari kritik inilah pemerintahan khalifah Umar
Umar bin Khattab bermusyawarah dan akhirnya berijma menjadikan momentum hijrah Nabi
sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan
(interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan
tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad.
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622 M. Dokumen tertua yang
menggunakan sistem Kalender Hijriah adalah Papirus di Mesir pada tahun 22 H.
Sejarah mencatat sebenarnya banyak peristiwa penting yang dapat dijadikan awal mula
perhitungan tahun Islam ini. Seperti tahun kelahiran nabi, tahun saat beliau diangkat menjadi
nabi, tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya haji wada (perpisahan) atau tahun
wafatnya Rasullullah SAW. Tapi mengapa yang dipilih adalah tahun dimana nabi hijrah?
Dari Abdullah ibn Umar ra. berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Sebaik-baik orang
yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT. (HR.
al-Tabarany dan Sahih menurut Syekh Nashiruddin Al Albany).
Secara harfiah, hijrah berarti perpindahan dari satu negeri ke negeri lainnya. Dan dari sejarah,
hijrah yang dimaksud adalah keberangkatan Rasulullah SAW beserta sahabatnya dari Mekkah
ke Madinah. Namun makna hijrah yang lebih penting lagi adalah saat dimana Rasulullah
membangun peradaban Islam, yang kelak akan mencapai kejayaannya. Saat di mana umat
Islam secara resmi menjadi sebuah badan hukum yang berdaulat, diakui keberadaannya
secara hukum internasional.
Berlandaskan hal-hal tersebut, pemerintahan khalifah Umar bin Khattab akhirnya
menetapkan tahun peristiwa tersebut sebagai tahun pertama Hijriah. Perhitungan ini bukanlah
sebuah sistem yang sentimental, tetapi merupakan sistem yang mempunyai kedalaman agama
dan peristiwa sejarah yang penting. Karena hijrah merupakan pengorbanan untuk sebuah
kebenaran atas wahyu. Hijrah merupakan perintah ilahiah. Allah menginginkan manusia
untuk memperjuangkan kebenaran. Dan tahun Islam mengingatkan kaum muslim bahwa pada
setiap tahun bukan terhadap kemenangannya, tetapi akan banyaknya pengorbanan yang sama
seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Anshar itu.
Kewalian Sunan Giri sebagai pemimpin Islam tertinggi di pulau Jawa diakui sepenuhnya oleh
masyarakat, bahkan pengaruhnya sampai di luar pulau Jawa. Pada tahun 1629 di jaman
Sultan Agung, masih ada utusan Sunan Giri yang datang di pulau Hitu untuk melestarikan
persahabatannya dengan rakyat di kepulauan Maluku itu.
Pengaruh Sunan Giri itu diketahui oleh Sultan Agung. Meski demikian, pada waktu Sultan
Agung naik tahta kerajaan Mataram, beliau tidak mohon restu kepada raja pendeta di Giri itu
seperti halnya sultan-sultan terdahulu.
Sultan Agung sejak bertahta selalu menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Para adipati
dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan yang berkiblat pada Sunan Giri, tidak mau
tunduk kepada Sultan Agung. Dengan demikian, Sultan Agung adalah raja Jawa yang paling
banyak mendapat lawan dengan berperang, termasuk dalam usahanya menyerang VOC
Belanda di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.
Dalam memimpin kerajaan Mataram dan menghadapi pemberontakan-pemberontakan, Sultan
Agung bersiasat mengupayakan agar kepercayaan rakyat terpusat penuh kepada dirinya.
Usaha ini tidak saja dengan memenangkan perang dan menundukkan para pemberontak,
tetapi juga meliputi kekuasaan di dalam agama Islam yang amat dipatuhinya. Sultan Agung
menggalang kekuasaan mutlak agar kekuasaan keagamaan pun berpusat pada dirinya.
Siasat itu dilancarkan dengan memerangi kewalian Giri yang diakui seluruh negeri sebagai
pimpinan agama Islam tertinggi. Dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya dengan
istrinya Ratu Pandansari (adik Sultan Agung), tentara Giri dapat dikalahkan kemudian
keluarganya diboyong ke Mataram.
Tindak lanjut dari Sultan Agung dalam memusatkan kepercayaan rakyat kepada dirinya
adalah dengan mengubah kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriah. Ide raksasa
itu didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau
perbintangan. Maka diciptakanlah kalender Jawa yang disebut juga kalender Sultan Agung
atau Anno Javanico.
Dari paparan singkat sejarah di atas, dapat dipahami bahwa di samping adanya motif agama,
motif politik juga menjadi motor utama yang memicu terjadinya akulturasi kalender Islam
dengan kalender Jawa. Hasil akulturasi dari dua jenis kalender ini masih digunakan dan
masih bisa dirasakan manfaatnya hingga saat ini.
Daftar Pustaka
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.
2001.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Logos. Jakarta. 1997.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
Purwadi, Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam Jurnal Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007.
http://www.dont let the hope gone.com
http://www.halaman putih.com
http://www.wikipedia indonesia.com
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.