You are on page 1of 22

BAB II

RUANG LINGKUP FILSAFAT


A. Objek Material dan Objek Formal Filsafat.
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan. Namun tidak dapat dibalik
bahwa

kumpulan

pengetahuan

itu

adalah

ilmu

pengetahuan.

Kumpulan

pengetahuan untuk dapat disebut ilmu pengetahuan haruslah memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan di antaranya adalah objek
material (material object) dan objek formal (formal object).
Objek

material

adalah

sesuatu

yang

dijadikan

sasaran

pemikiran

(Gegenstand), sesuatu yang diselidiki atau sesuatu yang dipelajari. Objek material
mencakup apapun baik hal yang konkrit (badan manusia, badan hewan, tumbuhan,
batu, kayu, tanah) maupun hal yang abstrak (misalnya ide-ide, nilai-nilai, angka).
Objek formal adalah sudut pandangan, cara memandang, cara mengadakan
tinjauan yang dilakukan oleh seorang pemikir atau peneliti terhadap objek material
serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya
memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat yang sama membedakannya
dan bidang-bidang lain. Satu bidang objek material dapat ditinjau dari berbagai
sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda pula. Sebagai contoh,
misalnya objek materialnya adalah manusia dan manusia ini ditinjau dari berbagai
sudut pandangan sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di
antaranya : fisiologi, anatomi, psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu pendidikan dan
sebagainya.
Istilah objek material sering dianggap sama dengan pokok persoalan
(subject matter). Pokok persoalan dibedakan dalam dua arti. Arti pertama, pokok
persoalan dapat dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.
Misalnya penelitian tentang atom termasuk dalam bidang fisika, penelitian tentang
clorophyl termasuk penelitian bidang botani atau biokimia; penelitian tentang
bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok persoalan dimaksudkan
sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan. Anatomi dan
fisiologi keduanya bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari
strukturnya, sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu itu dapat
dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun dapat juga dikatakan
berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui bila dikaitkan dengan corak-corak
pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut.

Anatomi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi


mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.
Bertalian dengan pengertian objek material dan objek formal ini, ada
perbedaan antara filsafat dengan ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu yang bukan filsafat).
Misalnya objek material berupa pohon kelapa. Seorang ahli ekonomi akan
mengarahkan perhatiannya (objek formal) pada aspek ekonomi dari pohon itu.
Misalnya berapa harga buahnya, kayunya kalau dijual. Seorang ahli pertanian
mempunyai sudut pandangan yang khusus yang menyangkut pertumbuhan pohon
itu. Misalnya bagaimana caranya agar pohon kelapa itu tumbuh subur. Seorang
ahli biologi akan mengarahkan perhatiannya pada unsur-unsur yang terkandung
dalam pohon, daun dan buahnya. Seorang ahli hukum mengarahkan perhatiannya
pada siapa yang memiliki pohon itu.
Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ilmuwan yang
ahli di bidang tertentu, mengarahkan pethatiannya pada salah satu aspek dan
objek

materialnya.

Disiplin

ilmu khusus terbatas

ruang lingkupnya

atau

cakupannya, artinya bidang kajiannya tidak mencakup bidang-bidang lain yang


bukan wewenangnya. Setiap ilmu menggarap kaplingnya masing-masing dan tidak
begitu peduli dengan kapling ilmu lain. Inilah yang disebut otoritas dan otonomi
(kemandirian) keilmuan, yaitu wewenang yang dimiliki seorang ilmuwan untuk
mengembangkan disiplin ilmunya tanpa campur tangan pihak luar. Para ilmuwan
itu hanya berbicara tentang bidangnya sendiri. Pada hal kadangkala setiap
ilmuwan khusus menghadapi persoalan yang tidak dapat diselesaikan hanya
mengandalkan kemampuan ilmu yang dikuasainya. Ada sejumlah persoalan
fundamental yang melampaui wewenang setiap ilmu khusus. Persoalan-persoalan
umum yang ditemukan dalam bidang ilmu khusus itu antara lain seperti yang
berikut.
(a) Sejauh mana batas-batas (ruang lingkup) yang menjadi wewenang masingmasing ilmu khusus itu? Dari mana ilmu khusus itu mulai dan sampai mana
harus berhenti?
(b) Di manakah sesungguhnya tempat ilmu-ilmu khusus dalam realitas yang
melingkupinya?
(c) Metode-metode yang digunakan ilmu-ilmu itu sampai di mana berlakunya?
Misalnya metode yang digunakan ilmu-ilmu sosial berbeda dengan yang
digunakan ilmu kealaman maupun humaniora.

(d) Apakah persoalan hubungan sebab akibat (causality) yang berlaku dalam ilmu
kealaman juga berlaku dalam pula bagi ilmu-ilmu sosial ataupun humaniora.
Misalnya setiap logam kalau dipanaskan pasti memuai. Gejala ini berlaku bagi
semua logam. Panas merupakan faktor penyebab memuainya logam. Akan
tetapi sulit untuk memastikan bahwa setiap kebijakan (policy) pemerintah
menaikkan gaji pegawai negeri akan menimbulkan kenaikan harga barang.
Bisa saja kenaikan harga barang itu disebabkan oleh faktor lainnya misalnya
adanya inflasi, banyaknya permintaan konsumen, langkanya barang tertentu
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kenaikan gaji pegawai negeri agaknya
hanya salah satu dan beberapa sebab.
Contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa setiap ilmu khusus
menjumpai problim-problim yang bersifat umum atau bersifat kefilsafatan. Problim
semacam itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri (meskipun muncul dan ilmu
itu), karena setiap ilmu memiliki objek material yang terbatas.
Filsafat melampaui ilmu-ilmu khusus, baik dalam objek material maupun objek
formal. Objek formal filsafat terarah pada keumuman yang ada pada ilmu-ilmu
khusus. Dengan tinjauan yang terarah pada keumuman itu, filsafat berusaha
mencari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang ilmu yang bersangkutan.
Kegiatan filsafat yang demikian itu disebut multidisipliner.
B. Persoalan Filsafat
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum, heran dan takjub terhadap
gejala yang dihadapi. Pada tahap awalnya kekaguman, keheranan dan ketakjuban
itu terarah pada gejala-gejala alam misalnya gempa bumi, gerhana matahari,
banjir, pelangi. Orang yang heran berarti ada sesuatu yang tidak diketahuinya, atau
dia menghadapi persoalan. Problim inilah yang ingin dipecahkan oleh para filsuf
sehingga diperoleh jawaban. Dari mana jawaban diperoleh? Kalau jaman sekarang
jawaban lebih mudah diperoleh misalnya dari orang lain, membaca buku, atau
mendengarkan ceramah. Pada waktu itu yaitu awal dari munculnya filsafat, banyak
orang yang tidak mengetahui, maka untuk memperoleh jawaban dilakukan dengan
mengadakan refleksi (berpikir tentang pikirannya sendiri) yaitu bertanya pada
dirinya sendiri, dipikirkan sendiri dan dijawab sendiri. Dalam hal ini tidak semua
problim itu mesti problim filsafat. Ada problim sehari-hari, problim ilmiah, problim
filsafat dan problim agama. Problim filsafat berbeda dengan problim yang bukan
flisafat terutama yang menyangkut materi dan cakupannya.

Ciri-ciri problim filsafat adalah sebagai benikut.


(1)

Bersifat sangat umum. Problim keflisafatan tidak bersangkutan dengan objek-

objek atau peristiwa-peristiwa khusus. Dengan kata lain sebagian problim flisafat
bersangkutan dengan ide-ide besar (great ideas), misalnya ide tentang kebenaran
(truth), kebaikan (goodness) dan keindahan (beauty). Ide-ide pokok itu masingmasing bersangkutan dengan lingkungan tertentu atau dikenakan bagi pokok
persoalan tertentu.
Kebenaran secara umum bersangkutan dengan pemikiran dari cabang filsafat
yang disebut logika. Wacana-wacana dalam bidang pengetahuan, khususnya
pengetahuan ilmiah, dipengaruhi oleh ide kebenaran. Orang berbicara tentang
kebenaran dalam bidang ilmu pengetahuan, matematika, filsafat, sejarah, agama,
teologi. Kebenaran juga dipersoalkan apakah hanya ada dalam pertimbangan
pikiran ataukah dalam pengungkapannya dalam bentuk bahasa, atau pada
kemampuan pencerapan indera atau pada pengalaman-pengalaman manusia.
Persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan ide kebenaran sangat luas.
Apakah ukuran kebenaran itu? Bagaimana hubungan antara kebenaran dengan
kenyataan. Macam-macam kebenaran, misalnya kebenaran teoritis dan kebenanan
praktis, kebenaran illahi dan kebenaran manusiawi, kebenaran kata dan kebenaran
makna. Segi moral dan kebenaran, misalnya pensaratan untuk menemukan
kebenaran di antaranya kemerdekaan berpikir dan kebebasan berdiskusi.
Kebaikan pada umumnya bersangkutan dengan kehendak manusia atau
realisasinya dalam tindakan atau tingkah laku dan merupakan pokok persoalan
dalam etika atau moral. Ide tentang kebaikan (goodness) atau yang baik (the good)
atau sifat baik (good) dapat dikatakan bersangkutan dengan manusia, benda
maupun Tuhan. Orang dikatakan baik kalau dia sering menolong atau membantu
orang lain. Suatu kehendak dikatakan baik kalau dilatarbelakangi dorongan tanpa
pamrih. Suatu kehidupan keluarga dikatakan baik kalau keluarga itu hidup
sejahtera dan bahagia dan dihargai masyarakat. Suatu masyarakat dikatakan baik
kalau kehidupan sekelompok orang yang sifatnya adil dan suasana damai. Sebuah
pisau dikatakan baik karena benda itu tajam dan enak digunakan. Sebuah lukisan
dikatakan baik dalam arti lukisan itu baik dilihat dan menimbulkan perasaan
senang. Dalam ajaran agama ada ungkapan yang menyatakan Tuhan itu maha
baik.
Bertitik tolak dari ide kebaikan, manusia dalam melakukan tindakan yang
menyangkut sesama manusia pada umumnya berpijak pada tiga ide pokok lainnya

yaitu keadilan, persamaan dan kebebasan. Ketiga ide itu merupakan tiga serangkai
ide sebagai dasar dan ukuran dalam berbagai perbuatan seseorang dalam
hubungannya dengan orang-orang lain. Keadilan, persamaan dan kebebasan
merupakan tiga serangkai ide pokok secara bersama-sama menjadi cita yang baik
bagi perbuatan manusia dalam kehidupan masyarakat di manapun. Berbuat adil
berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan. Menghargai persamaan dan
kebebasam pada orang lain berarti berbuat baik atau mewujudkan ide kebaikan.
Keindahan pada

umumnya dikaitkan dengan perasaan senang dan

merupakan persoalan pokok dalam estetika (filsafat keindahan) dan seni (art).
Keindahan memberikan kepada manusia perasaan senang atau pengalaman yang
menyenangkan. Ide keindahan atau hal yang indah dalam kehidupan manusia
bertebaran dalam alam dan seni.
(2)

Bersifat spekulatif. Persoalan filsafat yang dihadapi manusia melampaui batas

pengetahuan

sehari-hari

bahkan

melampaui

batas

pengetahuan

ilmiah.

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berifat empiris atau pengetahuan


yang menyangkut fakta atau kenyataan yang dapat diindera. Pengetahuan fakta
adalah pengetahuan yang dapat diukur, dihitung atau ditimbang yang dinyatakan
dalam bentuk angka-angka atau bersifat kuantitatif. Memang ada fakta tentang
filsafat, misalnya Plato menulis buku Republik, dan Immanuel Kant meninggal
tahun 1804. Bila seseorang menanyakan pada Anda tentang Apa filsafat anda?,
berarti jawabannya bukanlah definisi-definisi atau fakta-fakta historis yang Anda
ketahui atau informasi khusus yang Anda miliki melainkan Anda mencoba
menyatakan makna tentang apa yang Anda ketahui dan Anda punyai.
Misalnya seorang ilmuwan memikirkan salah satu dan beberapa kejadian
alam yang disebut hujan. Ilmuwan dapat memikirkan sebab-sebab terjadinya
hujan dan memberikan deskripsi tentang kejadian itu. Dalam suatu kawasan
ilmuwan dapat meramal daerah-daerah mana yang terkena hujan yang tinggi
rendahnya hujan dapat dinyatakan dalam bentuk ukuran yang besifat kuantitatif.
Namun ilmuwan tidak mempersoalkan maksud dan tujuan hujan, karena hal itu di
luar batas kewenangan ilmiah. Ia tidak menanyakan apakah ada kekuatan atau
tenaga yang mampu menimbulkan hujan. Ilmuwan tidak memikirkan apakah
kekuatan atau tenaga yang menimbulkan hujan itu berwujud materi atau bukanmateri. Pemikiran tentang maksud, tujuan dan kekuatan itu bersifat spekulatif,
artinya melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf melampaui batas-batas


pengetahuan yang telah mapan (established), artinya para filsuf itu berusaha untuk
menduga kemungkinan yang akan terjadi. Para filsuf telah memberikan sumbangan
yang penting dengan membuat terkaan-terkaan yang cerdik (intelligent guess)
tentang hal-hal yang tidak tercakup dalam pengetahuan yang sekarang dimiliki
masyarakat.
Misalnya tentang kematian, kebahagiaan, masyarakat adil makmur,
manusia seutuhnya, civil society. Dalam sejarah filsafat Yunani dicatat bahwa
Democritos (460-370 SM) menyatakan jauh sebelum bukti-bukti ilmiah kemudian
membuktikan adanya atom-atom. Demikian pula Empedocles (w. 433 SM)
mengajukan teori tentang evolusi jauh sebelum para ilmuwan biologi menarik
kesimpulan yang sama tentang teori itu. Banyak temuan-temuan ilmiah dalam
bidang psikologi dan sosiologi yang memperkuat teori-teori filsafat yang telah
dikemukakan sebelumnya oleh para filsuf. Namun tidak dapat diingkari bahwa para
filsuf telah mengajukan banyak sekali terkaan namun kemudian ditolak oleh faktafakta yang dikemukakan oleh para ilmuwan.
Para filsuf merenungkan apa hakikat kenyataan sampai melampaui batasbatas pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris. Pertanyaan-pertanyaan apakah
Tuhan itu ada atau tidak, apakah ada nilai-nilai yang terdalam, apakah ada tujuan
terakhir dan semua yang ada. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak ditujukan
pada seorang ilmuwan, akan tetapi ditujukan pada seorang filsuf. Pertanyaan
kefilsafatan bukanlah pertanyaan yang menyangkut fakta yang mungkin ilmuwan
dapat menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan menanyakan nilai-nilai
dan makna-makna dan bahkan mencakup nilai dan maka itu sendiri. Jawaban atas
pertanyaan kefilsafatan menuntut perenungan secara imajinatif, dan kesiapan
untuk melampaui fakta-fakta dengan maksud dapat merumuskan beberapa
hipotesis yang lebih dapat dipahami daripada semata-mata meninjau secara ilmiah.
(3)

Bersangkutan dengan nilai-nilai. Persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian

dengan keputusan-keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama dan sosial.


Filsafat merupakan kegiatan untuk mencari kebijaksanaan atau kearifan (wisdom),
jadi bukan mencari informasi tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan wisdom
adalah suatu sikap menilai dan menimbang-nimbang sejumlah tindakan dengan
memberikan penafsiran yang masuk akal.
Nilai (value) adalah keberhargaan atau keunggulan pada sesuatu hal yang
menjadi objek dan keinginan manusia yang didambakan, diperjuangkan dan

dipertahankan. Dengan adanya nilai-nilai yang ada dalam kehidupan manusia,


maka manusia merasa senang, merasa puas atau merasa bahagia. Nilai-nilai
bersangkutan dengan pemahaman dan penghayatan manusia. Para filsuf
mendiskusikan pertanyaan tentang nilai-nilai yang terdalam (ultimate values).
Kebanyakan pertanyaan kefilsafatan berkaitan dengan hakikat nilai-nilai. Hasil-hasil
pemikiran manusia tentang alam, kedudukan manusia dalam alam, sesuatu yang
dicita-citakan manusia, semuanya itu secara tersirat mengandung nilai-nilai.
Misalnya pertanyaan apakah Tuhan itu? Jawaban yang diberikan berupa normanorma yang digunakan dalam menilai tindakan dan memberi bimbingan dalam
mengadakan pilihan atas perbuatan yang akan dilakukan.
Ada perbedaan antara flisafat dan ilmu dalam kaitannya dengan masalah
nilai-nilai. Ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fakta-fakta
yang bersifat kuantitatif. Ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan. Apabila seorang ilmuwan
diajukan pertanyaan tentang hydrogin cyanide dan penicilin, maka mereka akan
menjawab bahwa hydrogin cyanide adalah racun yang baik, sedangkan penicilin
adalah zat pembunuh kuman. Jawaban ilmuwan hanya berupa fakta-fakta. Dalam
hal ini ilmuwan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan apakah euthanasia
atau mematikan (bukan membunuh) pasien karena belas kasihan (mercy killing)
dapat dibenarkan secara moral ataukah tidak.Hanya mengandalkan ilmu saja, para
ilmuwan tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan terhadap penicilin dan
hydrogin cyanide.
(4)

Bersifat kritis. Filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-

konsep dan asumsi-asumsi yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh para
ilmuwan tanpa sebelumnya diperiksa secara kritis. Setiap bidang pengalaman
manusia baik yang menyangkut ilmu maupun agama mendasarkan penyelidikannya
pada anggapan-anggapan dasar (assumption) yang diterima sebagai titik tolak
untuk pangkal berpikir atau berbuat. Asumsi-asumsi itu diterima dengan begitu saja
dan diterapkan tanpa diperiksa secara kritis. Salah satu tugas utama ahli filsafat
atau seorang filsuf adalah memeriksa dan menilai asumsi-asumsi, mengungkapkan
artinya dan menentukan batas-batas penerapannya.
(5)

Bersifat sinoptik. Dengan pandangan sinoptik dimaksudkan meninjau hal-

hal atau benda-benda secara menyeluruh. Ilmu hanya membahas aspek khusus
atau aspek tertentu dan benda-benda. Dalam menghadapi kenyataan yang manusia
terlibat di dalamnya, para filsuf berusaha mengadakan generalisasi, mengadakan

sintesis, mengadakan kritik dan menyatupadukan (mengintegrasikan). Dengan


demikian

persoalan

filsafat

mencakup

struktur

kenyataan

sebagai

suatu

keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai


keseluruhan.
(6)

Bersifat implikatif. Kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka

dari jawaban itu akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan.
Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh
kepentingan-kepentingan hidup yang pokok bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan
mutakhir yang menyangkut manusia misalnya : Apakah manusia seutuhnya itu?
Apakah manusia yang berkualitas itu? Apakah negara yang adil dan makmur itu?
Semua pertanyaan yang diajukan itu bersifat implikatif karena pertanyaan itu
sebagai kelanjutan (implikasi) dari jawaban pertanyaan yang jauh sebelumnya
sudah dipersoalkan oleh para filsuf yaitu: Apakah manusia itu?
C. Pertanyaan Kefilsafatan
Menurut Plato, filsafat dimulai karena adanya rasa kekaguman, ketakjuban
(Ingg. Wonder; Yun. Thauma). Orang yang kagum atau heran berarti ia
menghadapi problim. Ada sesuatu yang tidak diketahui dan yang dihadapi,
misalnya dari mana asalnya dan bagaimana sifat-sifatnya. Pada jaman dahulu
sekitar 6 abad sebelum Masehi di Yunani, tempat munculnya filsafat, manusia
kagum terhadap kejadian-kejadian alam yang merusak misalnya gempa bumi,
banjir, badai, wabah penyakit, bencana kelaparan. Pada tahap awal kekaguman
manusia lebih terarah pada hal-hal yang bersangkutan dengan alam semesta, atau
hal-hal yang di luar diri manusia. Namun dalam perkembangan lebih lanjut manusia
juga kagum terhadap dirinya sendini, sehingga dia menanyakan siapakah saya,
darimana asalnya saya, kemana pada akhimya saya .
Hal yang tidak diketahui itu merupakan problim bagi manusia yang harus
diperoleh jawabannya. Untuk memenuhi ketidaktahuannya itu manusia mulai
mengajukan pertanyaan. Pada tahap awalnya, pertanyaan itu tidak ditujukan pada
orang lain karena orang lain yang ditanya itu juga tidak tahu. Berdasar pada
ketidaktahuan orang lain itulah maka pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
lnilah yang disebut berefleksi atau berfilsafat. Mereka berfilsafat hanya sekedar
memperoleh pengetahuan tanpa adanya dorongan (motif) untuk menggunakannya.
Akal manusia mempunyai dua fungsi. Manusia menggunakan akalnya dengan cara
deliberative (menurut Aristoteles praktikos, yaitu yang menyangkut perbuatan).

Manusia berpikir tentang perbuatan-perbuatan apa yang harus dipilih dalam


kerangka tujuan yang terakhir. Di lain pihak, muncul suatu keadaan dimana muncul
suatu pemikiran yang tidak menyangkut tindakan. Pada kasus yang kedua ini
manusia tertarik untuk memperoleh kebenaran tentang sesuatu yang tidak ada
sangkut

pautnya

dengan

tujuan-tujuan

praktis.

Manusia

hanya

sekedar

mengetahui. ini disebut pemakaian akal secara contemplative (Aristoteles


menggunakan kata theoretikos yang berarti bersangkutan dengan mengetahui).
Dalam perkembangan lebih lanjut, problim-problim yang dihadapi para filsuf
jawabannya dapat diperoleh dengan berpikir sendiri atau ditanyakan kepada orang
lain dengan mengadakan dialog (tanya jawab). Pengetahuan yang dicari para filsuf
mencakup baik pengetahuan tentang dunia tempat mereka hidup yaitu yang
menyangkut pertanyaan apakah sesuatu hal itu (knowledge of what is) dan juga
pengetahuan tentang apa yang seharusnya diperbuat (knowledge of what ought to
be). Pengetahuan tentang dunia yang mengelilingi manusia sebagian merupakan
apa yang sekarang disebut ilmu (science), sehingga para filsuf angkatan pertama
adalah juga sebagai ilmuwan. Di samping mencari pengetahuan tentang dunia
yang mengelilinginya dan pengetahuan tentang kehidupan yang baik para filsuf
mengadakan refleksi tentang apa yang mereka perbuat dan mengadakan
pemeriksaan secara kritis terhadap dasar-dasar pengetahuan.
Filsuf Yunani Socrates (469-399 SM) tidak hanya tertarik untuk memperoleh
pengetahuan tentang jenis kehidupan yang dianggap paling benilai, namun ia juga
mengadakan pemeriksaan tentang dasar-dasar sesuatu kehidupan yang lebih
bernilai dibanding dengan kehidupan yang lain.
Plato (427-347 SM), menulis tentang masyarakat yang dicita-citakan (ideal
society), dimana terwujud keadilan yang sempurna dan juga meneliti makna kata
keadilan serta meneliti pelbagai cara untuk menetapkan apakah sesuatu
masyarakat dikatakan adil ataukah tidak.
Demikian juga Aristoteles (384-322 SM), sebagai murid Plato, tidak hanya
menulis buku-buku tentang fisika, biologi dan psikologi, tetapi juga menulis tentang
logika, dan juga epistemologi (teori pengetahuan).
Terhadap sesuatu problim para filsuf di samping memikirkan sendiri, namun
untuk memperoleh jawaban yang berupa kebenaran mereka juga mengadakan
dialog-dialog (tanya jawab). Kata dialog berasal dan kata Yunani dialectic yang
berarti bercakap-cakap. Dalam filsafat Yunani, dialektic berarti kemahiran (art)
untuk

menari kebenaran melalui percakapan.

Menurut

Socrates, dialog

merupakan kegiatan kefilsafatan yang pokok dan penting. Kebenaran tidak pernah
selesai, sehingga perlu mendengar pendapat atau buah pikiran orang lain. Karena
itu dalam melaporkan dan menerangkan filsafat, Socrates dan Plato menggunakan
bentuk dialog.
Ada beberapa ciri metode dialektis yang perlu mendapat perhatian khusus.
Berpikir secara dialektis adalah:
(1)

Memeriksa

perbedaan-perbedaan

dengan

maksud

untuk

memperoleh

kesamaan-kesamaan dasar.
(2)

Memeriksa kesamaan-kesamaan yang nampak dengan maksud untuk


memperoleh perbedaan-perbedaan yang penting sehingga dapat mengetahui
hubungan di antara perbedaan itu.

(3)

Memahami masing-masing gagasan dalam konteks yang lebih luas.


Keheranan (wonder) para filsuf akan diikuti dengan mengajukan pertanyaan.

Ada beberapa bentuk pertanyaan kefilsafatan.


(1) Pertanyaan Apa (What).
Pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf yang pertama kali adalah
pertanyaan apa. Misalnya ditanyakan Apakah gempa itu?; Apakah pelangi
itu?; Apakah hujan itu?; Apakah manusia itu?. Pertanyaan ini dimaksudkan
agar dapat diperoleh pengetahuan tentang keapaan (whatness) dan sesuatu
hal, atau pengetahuan tentang hakikat atau essensi dan sesuatu yang
ditanyakan. Hakikat ini dianggap menentukan adanya sesuatu hal. Dengan
pertanyaan apa diharapkan dapat diperoleh pengetahuan yang bersifat
teoritis, artinya sekedar memperoleh pengetahuan tentang sifat-sifat hakikat
atau sifat-sifat yang menentukan keapaan sesuatu hal.
(2) Pertanyaan Mengapa (Why).
Para filsuf tidak puas dengan hanya memperoleh pengetahuan tentang
sifat-sifat sesuatu hal yang dihadapi. Pikirannya bergerak lebih lanjut sehingga
mengajukan bentuk pertanyaan yang lain yaitu mengapa. Ketika menghadapi
dunia para filsuf merasa bahwa dirinya belum mengetahui dan untuk itu
berhasrat memperoleh bentuk pengetahuan yang lain dengan menanyakan
mengapa peristiwa itu dapat terjadi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
akan sia-sia kecuali kalau di dunia ini terdapat sifat-sifat yang saling berkaitan
yang memberikan dasar bagi jawaban yang akan diperoleh. Sifat-sifat yang
terdapat dalam dunia didekati dengan berbagai cara dari berbagai jenis
pertanyaan sesuai dengan keperluan, kebiasaan dari perspektif intelektual yang

mengajukan pertanyaan. Pada umumnya untuk memperoleh pengetahuan


tentang sifat-sifat yang saling berkaitan adalah dengan mengajukan pertanyaan
mengapa. Pertanyaan mengapa mengandung tiga arti yaitu:
(a) sebab (causal)
(b) tujuan (telic)
(c) struktural (structural)
(a) Pertanyaan mengapa yang berarti sebab (causal).
Dengan mengajukan pertanyaan mengapa, manusia ingin mengetahui
peristiwa-peristiwa yang mendahului atau peristiwa yang mengakibatkan
terjadinya sesuatu gejala. Misalnya pertanyaan Mengapa terjadi halilintar?
Jawabnya, karena muatan listrik (kilat) berbenturan dengan awan.
Mengapa Anda pincang? Dijawab, karena lutut saya luka. Penemuan dan
generalisasi tentang hubungan sebab-akibat (kausal) dilakukan dengan
metode empiris, dengan mendasarkan diri pada banyaknya rangkaian
peristiwa yang telah terjadi dalam kondisi yang terkontrol.
(b) Pertanyaan mengapa yang berarti tujuan (telic).
Seringkali kalau ada orang diajukan pertanyaan Mengapa Anda pergi
ke Malioboro? Jawaban yang dikemukakan misalnya untuk membeli
buku; untuk membeli baju; untuk meilihat-lihat saja; hanya sekedar
jalan-jalan. Dengan pertanyaan semacam itu, berarti orang tidak
mengharapkan memperoleh pengetahuan tentang sebab seseorang
melakukan perbuatan akan tetapi menanyakan tujuan mengapa dia
melakukan hal itu. Jawaban atas pertanyaan mengapa merupakan suatu
peristiwa yang terjadi sesudah perbuatan pokoknya. Jadi, kegiatan pergi
ini mendahului perbuatan membeli buku.
(c) Pertanyaan mengapa yang berarti struktural.
Kadang-kadang pertanyaan mengapa dijawab tidak dengan meninjau
ke belakang (masalah sebab) atau dengan meninjau ke depan (masalah
tujuan). Dalam hal ini pertanyaan mengapa jawabannya dilakukan dengan
menghubung-hubungkan gagasan-gagasan khusus dengan kumpulan
gagasan yang sudah dikenal. Misalnya Sekarang dingin, karena musim
hujan; Ia berbicara seperti itu sebab ia mahasiswa fakultas filsafat.
Dengan demikian jawaban yang diberikan seseorang berdasarkan struktur
yang lebih rumit. Hal-hal seperti itu terutama berdasar pada struktur yang
agak ilmiah dan teologis misalnya Ia bertingkah laku seperti itu sebab

menderita perasaan rendah diri; Semua yang terjadi adalah wujud dari
kekuasaan Tuhan.
Ada kemungkinan untuk menafsirkan kembali sesuatu penjelasan
struktural (seperti halnya penjelasan tujuan) sebagai kumpulan penjelasan
menurut sebab; cara ini banyak dilakukan oleh kaum positivisme. Bagi
penganut positivisme, suatu penjelasan yang bukan kausal (sebab) tidak
dianggap sah secara objektif.
D. Rintangan Berpikir Secara Jelas.
Berpikir bagi manusia merupakan sarana untuk memahami kenyataan atau
untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah yang bersifat ilmiah.
Semuanya itu tidak dengan begitu saja dapat dilakukan melainkan ada rintanganrintangan sehingga kegiatan berpikir itu tidak mencapai sasaran sebagaimana
yang diharapkan. Seperti halnya rintangan dalam berbicara yang memungkinkan si
pembicara tidak dapat berbicara secara jelas, demikian pula ada beberapa
rintangan yang menghambat manusia untuk dapat berpikir secara jelas. Hal-hal
seperti emosi, kepentingan pribadi, tekanan-tekanan dari luar dapat menyesatkan
pemikiran. Rintangan-rintangan untuk berpikir secara jelas dapat merupakan sebab
sehingga ilmu dan filsafat menjadi sesat. Secara khusus rintangan-rintangan ini
mempengaruhi dan menyesatkan pengetahuan sehari-hari atau pengetahuan akalsehat (common sense).
Francis Bacon (1564-1626) inembenikan contoh-contoh kiasik tentang
kesalahan-kesalahan berpikir yang disebutnya Idols of the Mind, yang terdin atas
the Idols of the Tribe, the Idols of the cave, the Idols of the Market-place dan the
Idols of the Theater.
1.

Idola Kesukuan (Idols of the Tribe). Idola ini bersumber pada sifat dasar

manusia sendiri yaitu bahwa setiap manusia mesti terikat pada lingkungan
kesukuan, ras, atau golongan-golongan. Manusia cenderung untuk setuju terhadap
hal-hal yang sesuai dengan dirinya sendiri. Dengan demikian mereka dengan
mudah sampai pada kesimpulan dan tidak mengetahui bukti-bukti yang saling
bertentangan. Hal ini secara khusus dapat terjadi apabila melibatkan kepentingan
ras, suku atau kelompok. Temperamen seseorang mungkin ditentukan oleh
jabatan atau status sosialnya. Orang suka bekerjasama dengan mereka yang
memiliki selera dan pandangan yang sama. Kelompok orang-orang tertentu

cenderung untuk menerima kesimpulan-kesimpulan yang sama dan berbagai


kepentingan kemungkinan dapat menguasai mereka.
2.

Idola Goa (Idols of the cave). Idola ini bersangkutan dengan manusia

sebagai individu. Setiap manusia dikiaskan mempunyai goa (cave) atau kandang
(den) nya sendiri-sendiri yang dapat memberi warna sift-sifatnya. Manusia
cenderung menmjau dirinya sebagai pusat dari dunia sekelilingnya. Semua
penafsiran ditentukan oleh sudut pandangan pribadinya dan terbatas. Mereka
cenderung melebih-lebihkan pengetahuan yang disenanginya yang diperoleh dari
bacaan dan pengalaman pnibadi.
3.

Idola Pasar (Idols of the Market-place). Idola ini timbul karena penggunaan

kata-kata dan nama-nama dalam pembicaraan sehari-hari. Bahasa dapat


menyesatkan manusia untuk menjelaskan gagasan-gagasan. Pemilihan kata-kata
yang jelek dan tidak tepat dapat menimbulkan pemikiran yang sesat. Hal ini dapat
terjadi bila manusia menggunakan kata-kata yang kabur, bermakna ganda
(ambigous) dan emosional. Kata-kata seperti orang komunis, orang Islam,
kelompok radikal, gerakan ekstrim artinya mungkin tidak jelas. Kata-kata itu dapat
membangkitkan emosi dan menimbulkan perilaku yang salah bila diterapkan.
4.

Idola Teater (Idols of the Theater). Idola ini terjadi karena keterikatan

manusia pada partai, keyakinan, dogma-dogma, filsafat, ilmu, agama dan sistemsistem pemikiran pada waktu tertentu. Sistem-sistem yang diterima sedemikian
banyaknya yang menjadi dunia ciptaan manusia sendiri. Semuanya itu dapat
mempengaruhi manusia karena dianut oleh orang banyak. Mode-mode, hobby
dengan mudah dapat menggoncangkan kehidupan manusia. Isme-isme, ideologi,
aliran-aliran pemikiran dalam bidang filsafat, ekonomi, politik dan seni dapat
mempengaruhi alam pikiran penganutnya dan mereka dapat menyimpulkan secara
sesat.
Rintangan-rintangan untuk berpikir secara jelas, di samping karena empat
hal di atas juga dapat diungkapkan dengan cara lain yaitu karena prasangka,
propaganda dan autoritarianisme. Prasangka selalu menghalangi manusia untuk
berpikir secara lurus. Akal manusia sering sulit menerima pendapat orang lain
kecuali kalau semua bukti sudah dikemukakan. Meskipun bukti-bukti sudah
dikumpulkan, prasangka sering menghambat untuk menyimpulkan secara lurus.
Prasangka biasanya berdasar pada emosi dan cenderung sesuai dengan
kesenangan dan kepentingan pribadi. Bila orang berprasangka, ia berusaha untuk

merasionalisasikan,

berusaha

menemukan

alasan

atas

hal-hal

yang

dipercayainya
Orang

tidak

dapat

berpikir

secara

jelas

karena terpengaruh

oleh

propaganda. Bila manusia ingin menghadapi fakta-fakta dan berpikir jelas,


pemikirannya dapat sesat karena informasi-informasi yang diterima dapat
diputarbalikkan. Para ahli propaganda menggunakan radio, tv, surat kabar dan film
untuk mengendalikan pemikiran manusia. Para ahli propaganda pertama-tama
membangkitkan emosi atau keinginan orang dan kemudian dengan cara yang
sugestif menyajikan cara bertindak yang kelihatannya dengan cara yang
memuaskan bagi perwujudan emosi atau keinginan.
Rintangan lain yang menghambat berpikir secara jelas adalah authority
(kewibawaan atau wewenang). Ketertarikan secara tidak kritis atau membuta
adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang tidak filsafat dan tidak
ilmiah. Authority dapat berupa kebiasaan, tradisi, keluarga, agama, negara atau
media

massa.

Penerimaan

secara

tidak

kritis

dan

authority

disebut

authoritarianism. Bila seseorang menerirna pengetahuan atau informasi dan


authority secara tidak kritis berarti usahanya untuk menentukan mana yang benar
dan mana yang salah menjadi tidak bebas. Cara yang tepat untuk menerima
pengetahuan atau informasi dan authority adalah cara yang kritis dalam arti tidak
menerima begitu saja melainkan penerimaan tentng kebenaran pengetahuan ini
dapat dilakukan setelah diperoleh bukti-bukti yang memperkuatnya.
E. Prinsip-prinsip Pemikiran
Berpikir secara ilmiah dan berpikir secara kefilsafatan mempunyai tujuan yang
sama yaitu untuk memperoleh kebenaran. Proses berpikir yang khas disebut
penalaran (reasoning) yang tahap terakhir adalah memperoleh kesimpulan
(inference) yang benar dari segi isinya dan valid dari segi bentuknya. Penalaran
adalah suatu corak pemikiran yang khas yang dimiliki manusia untuk dari
pengetahuan yang ada kemudian memperoleh pengetahuan airnya terutama
sebagai sarana untuk memecahkan sesuatu masalah. Supaya kebenaran itu dapat
diperoleh maka dalam berpikir tersebut hams mengikuti prinsip-prinsip berpikir.
Istilah Prinsip-prinsip berpikir, disebut dengan nama yang berbeda. Misalnya
Ueberweg

menyebutnya

dengan

Axioms

of

lnference,

John

Stuart

Mill

menyebutnya denganUniversal Postulates of Inference. Istilah prinsip dapat


diartikan dengan kaidah atau hukum, yang inti artinya adalah suatu pernyataan

yang mengandung kebenaran universal. Kebenaran ini tidak terbatas oleh ruang
dan waktu, dimana dan kapan saja dapat digunakan. Prinsip itu tidak
membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas atau terbukti dengan sendirinya (selfevident), karena terlalu sederhana, maka prinsip itu disebut dengan aksioma atau
prinsip dasar.
Aksioma berasal dari bahasa Yunani axioma yang dipikirkan bernilai.
Aksioma atau assumsi di dalam logika berarti keterangan yang kebenarannya
diterima tanpa pembuktian lebih lanjut untuk menjadi dasar awal atau pegangan
dalam sesuatu penalaran. Dalam arti umum aksioma dapat didefinisikan sebagai
suatu pemyataan yang mengandung kebenaran universal yang kebenarannya
sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident). Aksioma merupakan sesuatu hal
yang diterima sebagai pernyataan yang bersifat universal, dan merupakan
pernyataan fundamental yang tidak dapat dideduksikan dan pernyataan lain serta
sebagai titik totak dan diperolehnya suatu kesimpulan. Misalnya aksioma yang
dikemukakan oleh Euklidus, seorang ahli geometrika Iskandariah di sekitar tahun
300 SM, yang menyatakan suatu keseluruhan lebih besar daripada sebagian.
Pernyataan semacam ini merupakan suatu keterangan yang jelas atau terbukti
dengan sendirinya, secara langsung dapat dimengerti sehingga tidak perlu
membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.
Prinsip-prinsip berpikir ada empat, yang dikemukakan oleh Aristoteles dan
Leibniz. Aristoteles mengemukakan 3 prinsip yaitu: Prinsip kesamaan (principle of
identity), prinsip kontradiksi (principle of contradiction) atau ada yang menyebut
princip tidak ada pertentangan (principle of non-contratiction) dan prinsip
penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan ketiga (principles of
excluded middle). Sedangkan Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)
mengemukakan satu prinsip cukup lalasan (principle of sufficient reason).
(1) Prinsip kesamaan. Dalam istilah Latin disebut principium identitatis. Prinsip
kesamaan dapat berarti secara ontologis dan secara logis. Dalam anti ontologis
adalah sesuatu yang ada itu ada atau sesuatu hal itu identik dengan diri sendiri.
Identik artinya satu dan sama. Dalam arti logis yaitu bahwa sesuatu benda (thing)
adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Selanjutnya bahwa arti yang
sebenamya dan sesuatu benda tetap sama selama benda itu dibicarakan ataupun
dipikirkan. Konsep-konsep (pengertian) yang digunakan di dalam suatu pemikiran
haruslah tetap sama artinya selama pembicaraan itu berlangsung. Dengan
demikian kalau kita mulai dengan pengertian bahwa suatu objek tertentu

mempunyai sifat-sifat (atribut) yang tertentu pula, maka kita tidak boleh melupakan
bahwa objek-objek itu tetap mempunyai sifat-sifat yang telah ditentukan itu dan
sifat-sifat itu tidak boleh berubah, karena kalau sifat-sifat itu berubah maka arti
konsep itu berubah pula. Sebuah konsep yang memiliki arti yang berubah-ubah
akan menimbulkan kekacauan dalam pemikiran, dan selanjutnya kesimpulan yang
diperoleh menjadi sesat (fallacy).
Secara simbolis pernyataan identitatis dapat dirumuskan: sesuatu yang disebut p
maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain.
(2) Prinsip kontradiksi. Dalam istilah Latin disebut principium contradictionis.
Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non kontradiksi, karena tidak adanya
kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran yang sah (valid). Dengan demikian
penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, yang dimaksudkan adalah
tidak adanya kontradiksi (pertentangan yang saling menyisihkan) dalam suatu
pernyataan, artinya bukan kontradiksi itu yang menjadi prinsip. Prinsip ini direvisi
menjadi prinsip tidak adanya kontradiksi (principle of non-contradiction). Prinsip
non kontradiksi berbunyi : sesuatu hal tidak dapat sekaligus merupakan hal itu
dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan atau sesuatu pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar atau tidak benar pada waktu yang sama.
Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah bahwa dua sifat yang bertentangan
secara kontradiksi (bertentangan secara mutlak, misalnya hidup dengan tidak
hidup) tidak mungkin ada pada satu hal dalam waktu dan tempat yang sama.
Misalnya pemyataan: manusia ini hidup dan tidak hidup. Kedua pengertian sebagai
sifat untuk manusia itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam waktu yang
sama, meskipun manusia itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dari pada
saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya (hidup dan tidak hidup)
bersamaan waktu.
Secara simbolis dapat dirumuskan: sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan
merupakan p dan non p.
(3) Prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan ketiga
(principle of excluded middle) yang bahasa Latin disebut principium exclusi tertii.
Menurut prinsip ini dua sifat yang berkontradiksi tidak mungkin kedua-duanya
dimiliki oleh satu benda. Hanya salah satu dari dua sifat itu yang dimiliki oleh
benda tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa salah satu dari dua sifat
yang berkontradiksi mestilah benar bagi satu benda. Misalnya jika dikatakan Meja
ini hitam adalah salah, maka pemyataan Meja ini tidak hitam mesti benar. Tidak

mungkin diantara kedua sifat yang berkontradiksi itu (hitam dan tidak hitam) tidak
akan ada yang benar. Tidak ada kemungkinan ketiga yaitu keduanya benar atau
keduanya salah pada satu benda.
(4) Prinsip cukup alasan. Dalam bahasa Latin disebut principium rationis
suffecientis. Prinsip ini melengkapi prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan berbunyi
bahwa sesuatu hal itu identik dengan dirinya sendiri, kemudian dilengkapi oleh
prinsip ke empat suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah
berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin secara tiba-tiba berubah tanpa
sebab-sebab yang mencukupi. Diuraikan secara lain, adanya sesuatu itu mesti
mempunyai adalan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan
sesuatu. Misalnya, jika suatu benda jatuh (ke bawah), alasannya ialah adanya
daya tarik bumi (gravitasi), sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya.
(5) Prinsip yang ke empat ini sebagai tambahan bagi prinsip ke satu artinya
secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak
berubah, tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi
perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya
sebagai penyebab perubahan.
F. Berpikir Secara Kefilsafatan
Menurut Aritoteles, filsafat dimulai dari rasa kagum (lnggris, wonder; Yunani,
thauma) yang tumbuh dari suatu aporia. Aporia berarti problim atau tanpa jalan
keluar. Problim dapat diartikan sebagai suatu situasi yang teoritis maupun praktis,
untuk itu tidak ada jawaban yang lazim secara otomatis memadai, oleh karena itu
memerlukan proses perenungan.
Titik tolak untuk mengadakan pemikiran secara kefilsafatan merupakan hal
yang unik. Filsafat dapat dikatakan serupa dengan lingkaran geometri. Titik awal
pemikiran kefilsafatan seperti halnya salah satu titik yang terdapat pada lingkaran
tersebut yang terdiri dari jumlah titik yang tidak terhingga banyaknya. Setiap titik
dapat digunakan sebagai titik awal. Dalam hal ini tidak satu titikpun benar-benar
memuaskan sebagai permulaan, karena tiap-tiap titik, sebagai titik pada lingkaran
bergantung pada semua titik lingkaran lainnya. Tiap-tiap titik lingkaran bergantung
pada tiap-tiap titik lingkaran yang lain; demikian juga halnya tiap-tiap persoalan
filsafat bergantung pada tiap-tiap persoalan filsafat yang lain dan membutuhkannya
sebagai bukti.

Sesuatu hal yang dihadapi manusia yang berupa persoalan itu belum jelas
duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban yang dapat menjelaskannya.
Jawaban atas persoalan ini dapat diperoleh dengan kegiatan akal yang disebut
berpikir.
Berfilsafat adalah berpikir. Namun tidak dapat dibalik bahwa berpikir adalah
berfilsafat. Kalau dikatakan berfilsafat adalah berpikir, hal ini dimaksudkan bahwa
berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata adalah dalam berfilsafat adalah
berpikir mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berpikir
melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua orang
yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang
berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah berpikir
dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya seorang mahasiswa berpikir bagaimana agar
memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang
pegawai negeri memikirkan berapa jumlah gaji yang akan diterima untuk bulan
yang akan datang, atau seorang pedagang berpikir tentang laba yang akan
diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh yang dikemukakan itu bukanlah berpikir
secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa atau berpikir sehari-hari yang
jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada beberapa ciri
berpikir secara kefilsafatan.
(1) Berfilsafat adalah berpikir secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani
radix yang berarti akar. Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya
atau berpikir sampai ke hakikat, essensi, atau substansi yang dipikirkan. Berfilsafat
adalah berpikir sarnpai pada keapaan (whatness) dari sesuatu hal. Pada awal
munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh
pengetahuan lewat indera, karena pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak tetap
atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat dengan menggunakan akalnya
berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat yaitu pengetahuan yang
mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat itu adalah
pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati itu adalah pengetahuan
yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak
kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang
kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak
berubah dan inilah yang disebut hakikat.
(2) Berfilsafat adalah berpikir secara universal. Yang dimaksud berpikir secara
universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses yang bersifat umum.

Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum manusia (common experience of


mankind). Dengan cara penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai
pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara yang ditempuh
seorang filsuf untuk mencapai sasaran pemikirannya berbeda-beda, namun yang
dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam
kenyataan.
(3) Berfilsafat adalah berpikir secara konseptual. Yang dimaksud konsep di sini
adalah hasil dari generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta
proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang manusia tertentu atau
manusia khusus melainkan berpikir tentang manusia secara umum atau
kemanusiaan. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran
atas perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, orangorang khusus, sebagaimana dipelajari oleh psikologi, melainkan bersangkutan
dengan pemikiran tentang apakah kebebasan itu?. Dengan ciri yang konseptual
ini, berpikir secara kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup seharihari.
(4) Berfilsafat adalah berpikir secara koheren. Yang dimaksud dengan koheren
adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian umum, bertalian dengan suatu
prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum logika. Misalnya
dalam bentuk penalaran : A=B; B=C; jadi A=C. Suatu pernyataan dikatakan benar
kalau putusan itu selaras (coherence) dengan putusan sebelumnya yang dikatakan
benar.
(5) Berrfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah
konsep atau bentuk uraian yang tidak mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah
pertentangan yang saling menyisihkan. Contoh pernyataan yang tidak konsisten
misalnya lingkaran yang berbentuk segitiga; bujangan yang sudah nikah
(6) Berfilsafat adalah berpikir secara sistematik. Sistematik berasal dari kata
sistem. Yang dimaksud dengan sistem adalah kebulatan dari sejumlah unsur
yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu
maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan
jawaban terhadap sesuatu masalah, para filsuf atau ahli filsafat menggunakan
pernyataan-pernyataan sebagai wujud dari proses berpikir secara kefilsafatan.
Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus berhubungan
secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan mengapa uraian itu
dibuat.

(7) Berfilsafat adalah berpikir secara komprehensif. Yang dimaksud komprehensif


adalah mencakup secara keseluruhan. Filsafat berusaha untuk menjelaskan alam
semesta beserta bagian-bagiannya secara menyeluruh. Kalau suatu sistem filsafat
bersifat komprehensif, berarti sistem itu mencakup secara keseluruhan, dan tidak
ada sesuatu pun yang berada di luarnya.
(8) Berfilsafat adalah berpikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka
setiap filsafat dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran secara bebas.
Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural maupun religius. Sikapsikap bebas ini banyak ditunjukkan oleh para filsuf di segala zaman. Socrates
memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan
kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir
kehilangan kebebasannya untuk berpikir menolak pengangkatannya sebagai guru
besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki
secara bebas itu tidaklah berarti sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan
sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang sangat terikat. Akan tetapi ikatan itu
berasal dari dalam, dan kaidah (hukum) dan disiplin pikiran itu sendiri. Di sinilah
berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu berarti berpikir dan menyelidiki
menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya. Dengan demikian pikiran yang dari
luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat. Ditinjau dan aspek ini
berfilsafat dapatlah dikatakan mengembangkan pikiran dengan sadar, sematamata menurut kaidah pikiran itu sendiri (laws of thought).
(9) Berfilsafat adalah berpikir yang bertanggungjawab. Orang yang berfilsaft
adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang
pertama adalah terhadap hati nuraninya (conscience) sendiri. Di sini nampak ada
hubungan

antara

kebebasan

berpikir

dalam

filsafat

dengan

etika

yang

mendasarinya. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan


pikirannya menjelajahi kenyataan yang dihadapinya. Akan tetapi tidak sampai di
situ saja yang dirasakan menjadi tugasnya. Tahap berikutnya adalah bagaimana
caranya filsuf itu merumuskan pikirannya agar dapat dikomunikasikan kepada
orang lain; dalam usaha ini sebenamya seorang filsuf berusaha mengajak orang
lain untuk ikut serta dalam alam pikirannya.

G. Pentingnya Filsafat.
Ada orang yang menyatakan bahwa tidak begitu penting mempersoalkan apa
yang diyakini atau dipercayai seseorang. Yang penting adalah melakukan hal-hal
yang baik dari hasilnya diharapkan juga baik. Di lain pihak ada beberapa orang
yang berkecenderungan menilai tindakan yang didasarkan pada kepercayaankepercayaan (beliefs) dan keyakinan-keyakinan (convictions). Gagasan-gagasan
(ideas) merupakan dasar dari tindakan, dengan kata lain seseorang tidak mungkin
melakukan perbuatan kecuali dia mempercayai sesuatu. Komunisme mungkin tidak
pernah ada kalau Karl Marx tidak meletakkan dasar-dasar dalam filsafatnya. Sekali
seseorang menerima suatu gagasan maka hampir dapat dipastikan dia akan
menyatakan gagasan tersebut dalam bentuk ucapan, tindakan atau sikap. Dengan
demikian gagasan merupakan kekuatan (daya) yang menentukan dalam sejarah
ummat manusia. Filsafat sebagai suatu idea, juga dapat memberikan sumbangan
bagi kehidupan manusia baik dalam hidup sehari-hari maupun kehidupan ilmiah.
Manusia memang membutuhkan filsafat.
1.

Setiap orang harus memutuskan dan melakukan tindakan. Kalau seseorang

akan memutuskan secara bijaksana dan berbuat secara runtut (consistent), dia
perlu menemukan nilai-nilai (values) dan makna sesuatu hal. Kehidupan memaksa
manusia untuk mengadakan pilihan-pilihan dan bertindak berdasarkan pada skala
nilai-nilai. Manusia perlu menjawab masalah tentang benar dan salah, keindahan
dan keburukan, bermoral dan tidak bermoral. Pencarian atas patokan-patokan
(standards) dan tujuan-tujuan merupakan bagian yang penting dan tugas filsafat.
Filsafat tertarik pada aspek kualitatif dan hal-hal yang direnungkan. Filsafat tidak
mengabaikan

aspek

autentik

(asli)

pengalaman

manusia

dan

mencoba

merumuskan patokan-patokan dan tujuan-tujuan dengan cara yang paling masuk


akal.
Sesudah mengajukan pertanyaan tentang Apa guna filsafat? Jacques
Maritain menyatakan bahwa filsafat mengingatkan manusia atas kegunaan yang
luhur dan hal- hal yang tidak menyangkut sarana-sarana melainkan bersangkutan
dengan tujuan-tujuan. Manusia tidak hanya hidup dengan roti, vitamin dan
penemuan-penemuan teknologis. Manusia juga hidup dengan nilai-nilai (values)
dan kenyataan-kenyataan yang mengatasi ruang dan waktu dan berharga bagi
kepentingannya sendiri.
2.

Tindakan kita adalah milik kita dan kita benar-benar bebas kalau kita

menyadari pengendalian batin (inner controls) memilih tujuan sendiri. Kalau

manusia berbuat semata-mata adat, tradisi atau hukum, berarti dia tidak bebas.
Ketika ditanya apa yang telah dilakukan filsafat terhadapnya, Aristoteles
menyatakan bahwa filsafat memungkinkan dia berbuat secara bebas, sedangkan
orang lain berbuat karena takut pada hukum. Seseorang yang bebas adalah
mereka yang membuat asas-asas dan kaidah-kaidah yang dengannya dia dapat
hidup. Dalam suatu masyarakat yang ideal, setiap orang akan menyetujui atas
setiap kaidah, dan kalau dia tidak suka pada kaidah tersebut maka dia akan
mengkritiknya dan berusaha untuk mengadakan perubahan. Dia akan melakukan
hal ini berdasar atas fakta-fakta dan asas-asas yang konsisten.
3.

Filsafat adalah salah satu dari beberapa sarana yang terbaik untuk

memelihara

kebiasaan

berefleksi

(perenungan).

Filsafat

dapat

membantu

memperluas bidang-bidang kesadaran untuk menjadi lebih hidup, lebih kritis dan
lebih cerdas. Dalam banyak bidang pengetahuan khusus, ada kumpulan fakta-fakta
yang tertentu dan khusus, dan kepada para mahasiswa diajukan masalah-masalah
sehingga dipraktekkan untuk sampai pada jawaban yang cepat dan mudah. Namun
dalam

filsafat

ada

perbedaan-perbedaan

sudut

pandangan

yang

harus

dipertimbangkan. Ada masalah-masalah yang belum terselesaikan yang penting


bagi kehidupan. Akibatnya, rasa kekaguman, rasa ingin tahu, dan perhatiannya
pada hal-hal yang bersifat spekulatif dan para mahasiswa dapat terus dipelihara
dan dikembangkan.
4.

Kita hidup dalam abad yang tidak pasti, selalu berubah dan banyak

kepercayaan dan cara lama yang sudah tidak memadai lagi. Dalam keadaan
semacam itu, manusia membutuhkan skala nilai-nilai dan arah tujuan. Seperti
halnya manusia merasakan tidak enak jasmaninya bila berada di tengah
kekacauan material dan merasakan tidak enak moralnya bila mereka dihadapkan
pada kekejaman dan ketidakadilan. Di samping itu inteleknya merasa terganggu
hidup di tengah pandangan dunia yang terpecah dan meragukan. Tanpa kesatuan
pandangan, dapat menimbulkan tegangan psikologis.

You might also like