You are on page 1of 10

LBM 5 SGD 21

Step 7
1. Step of clinical trial ?

Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase.


1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama
dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang
sehat
2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang
diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa
pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas kronik, uji
sediaan bahan obat
Fase II akhir :dilakukan
pembanding.

pada

pasien

jumlah

terbatas,

dengan

3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding efeknya
pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang.
Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk diproduksi
oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang
dapat diresepkan oleh dokter.
-

Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan.
Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang
disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih

kecil dari obat yang sudah ada.


Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan,
o di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration),
o di Kanada oleh Health Canada,
o di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory
Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European Agency for the
Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics

Good Administration).
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan
data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan,
efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet,
kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas.

Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi
dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti
indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan
baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus
didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi.
Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug
delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan
liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik
rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam

produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.


Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan
obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru
diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan
nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.

4. Fase IV setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran yang


diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan pada
jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini dievaluasi, masih memungkinkan obat
ditarik dari perdagangan jika membahayakan.
Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak
ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat
menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat antidiabetes di
Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Prof Dr Ellin Yulinah, Farmakolog Institut Teknologi Bandung.
http://www.trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1467
http://www.kalbe.co.id/index.php?
mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=141

a.
b.
c.
d.

Fase I: terbuka, tanpa kontrol


Fase II: paralel, acak, tersamar
Fase III: paralel, acak, tersamar
Fase IV: studi observasional atau paralel

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum

digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna
mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis
empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam
melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat
tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
2. What is the purpose of scientification of traditional herbal ?

Tujuan dan ruang lingkup scientifikasi jamu


TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:
a. Memberikan

landasan

ilmiah

(evidence

based

penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis


pelayanan kesehatan.
b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan
tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya
preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan
jamu.
c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien
dengan penggunaan jamu.
d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat
nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas
baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan
kesehatan.
Ruang lingkup:
Pasal 3
1) Ruang

lingkup

saintifikasi

jamu

diutamakan

untuk

upaya

preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif.


2) Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat
dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementeralternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.
Kriteria/syarat dari scientifikasi jamu
Pasal 8
1) Klinik Jamu terdiri dari :

a. Klinik Jamu Tipe A


b. Klinik Jamu Tipe B
2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan:
a. Ketenagaan yang meliputi :
1. Dokter sebagai penanggung jawab
2. Asisten Apoteker.
3. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai
kebutuhan.
4. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat
tradisional

ramuan

yang

tergabung

dalam

Asosiasi

Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.


5. Tenaga administrasi.
b. Sarana yang meliputi:
1. Peralatan medis
2. Peralatan jamu
Memiliki ruangan:
a) Ruang tunggu.
b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record).
c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian.
d) Ruang pemeriksaan/tindakan.
e) Ruang peracikan jamu.
f) Ruang penyimpanan jamu.
g) Ruang diskusi.
h) Ruang laboratorium sederhana.
i) Ruang apotek jamu.
3) Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan:
a. Ketenagaan yang meliputi:
1. Dokter sebagai penanggung jawab
2. Tenaga kesehatan komplementer _alternatif lainnya sesuai
kebutuhan.
3. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat
tradisional

ramuan

yang

tergabung

dalam

Asosiasi

Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.


4. Tenaga administrasi.
b. Sarana yang meliputi:
1. Peralatan medis.
2. Peralatan jamu.
3. Memiliki ruangan :
a) Ruang tunggu dan pendaftaran.
b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian dan
rekam medis (medical record).
c) Ruang peracikan jamu.

4) Tenaga pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat


(2)

dan

(3)

hanya

merupakan

tenaga

penunjang

dalam

pemberian pelayanan jamu.


5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 5

Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis


pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum,
atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional

Saintifikasi Jamu.
Harus aman, sesuai dg MMI, farmakope indo dan harus dibuktikan

secara empiris.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.
3. What is the limitation of clinical trials in indonesia ?

4. Indication of traditional herbal medicine used ?

5. What is the different between clinical trial of phytofarmaceuticals


and scientification of traditional herbal medicine ?

Perbedaan
Ramuan

Fitofarmaka
Ramuan (komposisi) hendaknya terd

Saintifikasi Jamu
Tidak ada batasan berapa jumlah

iri dari 1 (satu) simplisia/sediaan simplisia/


galenik.

Bila

hal

tersebut

tidak digunakan

sediaan
dan

galenik

telah

yang

digunakan

mungkin, ramuan dapat terdiri dari secara turun temurun


beberapa simplisia,/sediaan galenik
dengan syarat tidak melebihi 5 (lima)
simplisia/sediaan galenik. Simplisia
tersebut

masing-masing

sekurang-

kurangnya telah diketahui khasiat dan


keamanannya berdasar pengalaman.
Dukungan

Agar

supaya

fitofarmaka

dapat Penelitian

dibedakan

menjadi

penelitian

dipertanggung jawabkan keamanan untuk formula turun temurun dan


dan khasiatnya dalam pemakaiannya formula baru.
Subjek penelitian adalah pasien yang
pada manusia, maka pengembangan
berobat pada dokter saintifikasi jamu
obat tradisional tersebut harus
(SJ)
mencakup berbagai tahap pengujian
dan pengembangan secara sistematik.
Tahap-tahap ini meliputi:
1. Pemilihan.
2. Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologik
diperlukan

bila

belum

terdapat

petunjuk mengenai khasiat.


b. Bila telah ada petunjuk mengenai
khasiat

maka

langsung

pemastian khasiat.
3. PengujianToksisitas
a. Uji toksisitas akut.
b. Uji toksisitas sub akut.
c. Uji toksisitas kronik.

dilakukan

d. Uji toksisitas spesifik:


- Toksisitas pada janin.
- Mutagenisitas.
- Toksisitas topikal.
- Toksisitas pada darah.
- Dan lain-lain.
4. Pengujian Farmakodinamik
5.Pengembangan Sediaan (formulasi).
6. Penapisan Fitokimia dan
Standarisasi Sediaan.
7

Sediaan

Pengujian klinik.

Sediaan Oral :
Serbuk ; Rajangan

Bentuk sediaan yang dapat dipakai


;

Kapsul

(ekstrak ) ; Tablet ( ekstrak ) ; Pil


( ekstrak )

Sirup

Sediaan

terdispersi ( emulsi / suspensi ).


Sediaan Topikal :
Salep / Krim ( ekstrak )

sebagai bahan uji pada program


Saintifikasi

jamu

(untuk dijadikan jamu godhogan),


; Obat

Herbal
bentuk

Terstandar,

ekstrak

tanaman

tunggal,

( ekstrak ) ; Bedak ; Param.

campuran

ekstrak

Sama dengan obat modern

bentuk sediaan lainnya.


Tidak seperti obat modern, tetapi
sudah ada EBMnya

Phytopharmaceutical

adalah

tradisional, ramuan simplisia kering

Suppositoria ( ekstrak ) ; Linimenta dalam

Level

Jamu

Scientific traditional herbal medicine

tanaman,

dan

pengembangan obat dari tanaman


dan

senyawa

alam

lainnya

sekarang menjadi daerah yang


signifikan dari penelitian untuk
pengembangan obat baru dengan
dasar historis suara.
Can be reciped by doctor
terstandarisasi dengan uji klinik
berjumlah
6 berupa fitofarmaka.

Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus adalah Klinik Tipe


A, merupakan implementasi Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam

Terdiri dari tidak lebih dari 5 Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu
bahan herbal

aman, bermutu dan berkhasiat. Bahan yang digunakan berupa


simplisia yang telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui
uji praklinik

http://www.uel.ac.uk/study/courses/phytopharmaceuticals.htm
http://www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id/v110606/index.php?
mod=menu.page&id_menu=106
6. What is the term and condition to a certain herbal clinic of hospital
with the license from the goverment ?

Bagian Ketiga
Ketenagaan
Pasal 11
1) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang
memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (2) harus memiliki:
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia
untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat
izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi
tenaga kesehatan lainnya.

b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan
surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan
lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat
komplementer

alternatif

(SBR-TPKA)

dari

Kepala

Dinas

Kesehatan Propinsi.
d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer
alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
PERATURAN

MENTERI

KESEHATAN

REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI


JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN.
7. How about the etical view about scientification traditional herbal
medicine ?
SYARAT-SYARAT SCIENTIFICASI JAMU :

Kelemahan dan kelebihan dari scientifikasi


jamu :
1. Weakness

Belum melalui uji preklinik uji klinik uji toksisitas


Belum tau dosis pasti .
Kelemahan dari birokrasi
Terdapat produk-produk palsu yang menyebabkan produsen jamu ini
semakin berkurang
2. Benefit
Saintifikasi Jamu
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 50%
penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan
maupun untuk pengobatan karena sakit. Data Riskesdas ini menunjukkan bahwa,
jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat
Indonesia.
Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak digunakan
oleh tenaga kesehatan profesional maupun battra, namun banyak tenaga profesional
kesehatan yang mempertanyakan pengobatan tradisional (jamu) dalam pelayanan
kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan Undang-undang No.
29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi dalam memberikan
pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis, yang pada prinsipnya
harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine).
Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan dan manfaat pengobatan
tradisional (jamu) dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada pelayanan
kesehatan formal. Dengan kata lain, pengobatan tradisional (jamu) masih memerlukan
bukti ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga profesional kesehatan.

Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait mutu, keamanan, dan


manfaat obat tradisional (jamu), maka Pemerintah Indonesia, dalam hal ini
Kementerian Kesehatan RI, telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi Jamu.
Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian
berbasis pelayanan kesehatan.2 Salah satu tujuannya adalah
memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara
empirik melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana
pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik
jamu. Untuk menjalankan Saintifikasi Jamu sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010, maka telah ditetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan No.1334 Tahun 2010 tentang Komisi
Nasional Saintifikasi Jamu, yang salah satu tugasnya adalah menyusun
pedoman metodologi penelitian jamu.
http://www.litbang.depkes.go.id/riset-jamu,
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/permenkes/PMK_No.
_03_Th_2010.pdf

You might also like