You are on page 1of 55

Referat

PENDEKATAN BIOLOGI MOLEKULER


PADA MEKANISME STRES

Disusun oleh:
Dokter Muda Psikiatri Periode 2 -28 Maret 2015
Pritha Fajar Abrianti

G99141017

Meutia Halida

G99141018

Debora Marga Pangestika

G99141019

Annisa Pertiwi

G99141020

Coraega Gena Ernestine

G99141021

Muhammad Haydar

G99131006

Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA/PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat kepaniteraan
kliniki ilmu kedokteran jiwa/psikiatri dengan judul Pendekatan Biologi
Molekuler pada Mekanisme Stres.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr.,Sp.KJ(K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr.,Sp.KJ(K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr.,Sp.KJ(K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr.Sp.KJ(K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr.,Sp.KJ(K)
6. Yusvick M. Hadin, dr.,Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr.Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr.Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr.,Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra. MS
11. Debree Septiawan, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
13. Rohmaningtyas HS, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
14. RH Budhi M, dr.,Sp.KJ(K)
15. Maria Rini I, dr.,Sp.KJ
16. Adriesti H, dr.,Sp.KJ(K)
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr.,Sp.KJ.,M.Kes.
18. Setyowati Raharjo, dr.,Sp.KJ

Penulis menyadari dalam referat

ini masih banyak kekurangan dan

kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan referat ini.
Semoga apa yang telah penulis susun dapat bermanfaat bagi banyak
pihak dan dapat menjadi bahan informasi yang berguna.
Surakarta, 24 Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................1
Lembar Pengesahan...............................................................................................2
Kata Pengantar......................................................................................................3
Daftar Isi................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................5
BAB II STRES
A. Definisi Stres.............................................................................................7
B. Gejala dan Tanda Stres..............................................................................9
C. Sumber Stres............................................................................................10
D. Jenis-jenis Stresor....................................................................................13
E. Derajat Stres.............................................................................................14
F. Macam-macam Stres................................................................................15
G. Model Stres Kesehatan............................................................................16
H. Faktor Pengaruh Respon Terhadap Stresor..............................................17
I. Daya Tahan Stres.....................................................................................19
J. Sifat dan Reaksi Terhadap Stres...............................................................19
K. Fight or Flight Respon pada Stres............................................................22
L. Respon Fisiologi Stres.............................................................................23
M. Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Respon Stres.............................24
N. Dampak Stres...........................................................................................25
BAB III PENDEKATAN BIOMOLEKULER PADA MEKANISME STRES...28
Patofisiologi Hipertensi pada Stres.......................................................33
Patofisiologi Stres Menyebabkan Kekambuhan Asma Bronkhiale......35
Patofisiologi Terjadinya Stress Ulcer pada Stres..................................36
BAB IV MANAJEMEN STRES.........................................................................38
Konsep Koping......................................................................................40
BAB V PSIKOSOMATIS....................................................................................44
Singkatan .............................................................................................................53
Daftar Pustaka......................................................................................................54

BAB I
PENDAHULUAN
Stres merupakan suatu keadaan yang sudah tidak asing lagi bagi
kalangan masyarakat di seluruh dunia. Setiap orang kemungkinan pernah
mengalami stres dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Pada saat seseorang
mengalami stres, dapat ditemui gejala-gejala seperti sulit tidur, timbul rasa kuatir
yang berlebih, sulit berkonsentrasi, dan masih banyak gejala yang lainnya
(Kisker, 1997).
Definisi stres sampai saat ini masih sangat sulit untuk dijabarkan oleh
para ilmuwan, karena itu merupakan sensasi subjektif yang berhubungan dengan
gejalagejala yang bervariasi, dimana masing-masing ahli memiliki pendapat yang
berbeda. Dalam tingkatan yang rendah stres mungkin berguna bagi tubuh, tetapi
jika stres tersebut menjadi berat dan berkepanjangan akan mempengaruhi fungsi
fisik dan mental, hal ini akan menjadi masalah besar yang perlu penanganan lebih
lanjut (Kisker, 1997). Jika keadaan stres pada seseorang dibiarkan begitu saja,
tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan
banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan
(Tristiadi, 2007).
Prevalensi stres semakin meningkat baik dalam kalangan masyarakat
yang tinggal di perkotaan, maupun yang tidunggal di pedesaan. Bahkan di zaman
global ini stres cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat
perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah,
meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stres yang
dialami oleh masingmasing golongan masyarakat tersebut (Kisker,1997). Di
Amerika, stres menjadi masalah besar karena 43% orang dewasa mengalami
gangguan kesehatan akibat dari stres, 75-90% kunjungan ke pusat kesehatan
berkaitan dengan stres, dan 60-80% kecelakaan industri berkaitan dengan masalah
stres (Jaffe-Gill, 2007).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi
modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mempengaruhi
nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Hal tersebut merupakan stresor psikososial
5

sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan


dan dia harus berusaha untuk beradaptasi dan menanggulanginya. (Hawari, 2008;
Maramis, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa stres memberi kontribusi 50 sampai 70
persen

terhadap

timbulnya

sebagian

besar

penyakit

seperti

penyakit

kardiovaskuler, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi, penyakit metabolic, dan


yang berat akan memperlihatkan tanda-tanda mudah lelah, sakit kepala, hilang
nafsu, mudah lupa, bingung, gugup, kehilangan gairah seksual, kelainan
pencernaan, dan tekanan darah tinggi (Hawari, 2008; Yuliadi, 2014).
Stres adalah sesuatu yang alami, natural. Akan tetapi, stres dapat
mempengaruhi tubuh, pikiran, dan perilaku. Ia menimbulkan perasaan gelisah,
was-was, tidak nyaman, sulit tidur, tertekan hingga gangguan fisik (Hawari,
2008). Stres merupakan kondisi yang serius karena jika tidak mendapat
penanganan yang tepat dapat menyebabkan gangguan fungsi fisik maupun sosial.
Sampai saat ini penanganan yang memuaskan dalam menangani stres belum dapat
dirumuskan karena faktor etiologi dan perjalanan penyakitnya yang beragam
sehingga perlu kesepahaman dalam mengerti faktor-faktor yang berperan di dalam
gangguan stres.

BAB II
6

STRES

A. DEFINISI STRES
Istilah stres pertama kali digunakan oleh Hans Selye tahun 1936 dalam
laporan penelitiannya, didefinisikan sebagai respon tidak spesifik dari tubuh
terhadap tuntutan perubahan (Yuliadi, 2014). Dwight Carlson mengatakan bahwa
stres adalah suatu perasaan ragu terhadap kemampuannya untuk mengatasi
sesuatu, suatu anggapan bahwa persediaan yang ada tidak dapat memenuhi
permintaan yang didapat. Maramis mengatakan bahwa stres adalah segala
masalah atau tuntutan penyesuaian diri dank arena itu sesuatu yang menganggu
keseimbangan kita (Maramis, 2009). Menurut The American Institute of Stress,
stres adalah perasaan tidak mempunyai kendali atau hanya sedikit kendali
(Yuliadi, 2014).
Pengertian lain mengatakan bahwa stres menunjukkan suatu tekanan atau
tuntutan yang dialami individu atau organisme agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri, bila kita tidak dapat mengatasinya dengan baik, akan muncul
gangguan badan ataupun gangguan jiwa (Nevid, 2005; Maramis, 2009). Stres
adalah salah satu konsep dasar psikiatri (Sadock & Sadock, 2009).
Stres adalah respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Misalnya, bagaimana respons tubuh sesorang manakala
yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, dikatakan
yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya, ternyata ia
mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik ia disebut mengalami distres
(Hawari, 2008).
Stres dibedakan menjadi dua, yakni stres yang merugikan dan merusak
(disebut distres) serta stres yang positif dan menguntungkan (disebut eustres).
Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap jenis stres, dalam

kenyataannya stres menyebabkan sebagian individu menjadi putus asa, tetapi bagi
individu lain justru menjadi dorongan baginya untuk lebih baik (Yuliadi, 2014).
Konsep Dasar Stres
Sesuatu yang sangat penting dalam model konsep adalah organisme itu
sendiri. Tergantung pada proses internal seperti bekerjanya perhatian, persepsi,
dan memori, pada makna dari rangsangan baginya, organisme berbeda yang
mendapat rangsangan serupa dapat memberikan resnpons berbeda. Hal ini dapat
digambarkan

dengan

singkatan

S-O-R-C

(stimulus

organism

response

consequences). Model S-O-R-C adalah dasar bangunan dari teori pembelajaran


sosial kognitif dan perilaku (Froggatt, 2006).
Selye, seorang endrokrinologis yang telah memperkenalkan suatu riset
ilmiah, meurumuskan tiga tingkat respons individu terhadap stres yang disebut
general adaptation syndrome, yang meliputi: (1) tingkat alarm yang
mengaktifkan respon individu terhadap lawan atau membentuk defense
mechanism; (2) tingkat resistensi, kemampuan organisme untuk beradaptasi
sangat merosot tajam. Menurut Selye, istilah stres dapat digunakan baik untuk
pengertian secara positif (eustres) maupun negatif (distres) (Yuliadi, 2014).
Penjelasan dari sistem dari sistemregulasi fungsional, seperti sistem saraf,
hormone, kekebalan, yang menghubungkan pikiran dan tubuh adalah tema yang
penting dalam kedokteran psikosomatis. Sama dengan hal itu, penting juga untuk
menjelaskan bagaiman dan apa bentuk ketidakseimbangan atau distorsi faktor
psikis perilaku, seperti kebiasaan hidup harian yang tidak adekuat dan cara
coping stres yang tidak sesuai, telah mempengaruhi kemungkinan untuk atau
berlanjutnya suatu penyakit. Hal ini selanjutnya meliputi pendekatan sosial
budaya yang bersifat epidemiologis, tidak hanya memfokuskan secara tunggal
pada aspek psikologis atau perilaku (Yuliadi, 2014).
Setiap individu/pasien memiliki kekhususan atau (keunikan) sendiri yang
berakar pada jenis kelamin, konstitusi, pengalaman hidup, umur, fase kehidupan,
sumber-sumber kekuatan dan dukungan lain, agama, kepercayaan, budaya, dan
sebagainya, yang mempengaruhi keadaannya, baik dalam kondisi sakit maupun

sehat. Berbagai aspek tersebut perlu dipertimbangkan dalam menangani masalah


kesehatan (Wibisono, 2007).
B. GEJALA DAN TANDA STRES
Stres dapat dialami oleh semua orang, bila stres bersifat eustres, artinya
dapat memotivasi agar seseorang bersemangat mengatasi problemnya, justru
diperlukan oleh seseorang sebagai pendorong dan pembangkit semangat, tetapi
bila bersifat distres, yaitu membuat seseorang menjadi terganggu dan tidak dapat
melakukan fungsi sosial dan pekerjaan seperti biasanya, dapat mempengaruhi
fungsi kehidupan yang lain (Accelerated Cure Project, 2007).
Stres mempengaruhi manusia baik secara fisik, kognitif, emosi, dan
perilaku sehingga gejala dan tanda stres dapat dibagi berdasarkan fisik, kognitif,
emosi, dan perilaku.gejala dan tanda ini berbeda-beda untuk setiap orang karena
faktor biologis dan pembawaan yang berbeda dari setiap individu (Jaffe-Gill et al.,
2007).
a. Gejala dan tanda fisik dapat berupa nyeri kepala atau nyeri punggung,
ketegangan atau kekakuan otot, mual, pusing, sulit tidur, mencret atau
diare, gangguan tidur, nyeri dada, jantung berdebar cepat, penambahan
atau pengurangan berat badan, gangguan kulit, hilangnya dorongan
seksual, dan sering meriang.
b. Gejala dan tanda kognitif dapat berupa gangguan daya ingat, kesulitan
konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit mengambil keputusan, hanya
berpikiran yang buruk, pikiran kecemasan, kekhawatiran yang menetap,
kehilangan objektivitas, dan antisipasi ketakutan.
c. Gejala dan tanda emosional dapat berupa tergantung mood, marah,
gampang emosi, gampang terpancing, tidak sabar, tidak dapat tenang,
merasa di ujung tanduk, merasa terancam, merasa sendiri dan tersingkir,
sedih.
d. Tanda perilaku dapat berupa tidur berlebihan atau kurang, menghindari
orang lain, menolak bertanggungjawab, penggunaan zat untuk santai,

gugup, menggertakan gigi, aktivitas berlebihan, bersikap berlebihan


terhadap suatu masalah, bertengkar dengan orang lain.
(Jaffe-Gill et al., 2007).
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata dampak stres ini tidak hanya
mengenai gangguan fungsional hingga organ tubuh, tetapi juga berdampak pada
bidang

kejiwaan,

misalnya

kecemasan

dan

atau

depresi.

Kecemasan

(anxiety/ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai oleh


perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, dimana
pasien tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (RTA masih baik) dan
kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam batasbatas normal. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai
dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga
gairah hidup hilang, tetapi tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas,
kepribadian tetap utuh, dan perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batasbatas normal (Hawari, 2008).
C. SUMBER STRES
Stresor atau sumber stres, dapat dalam berbagai bentuk, meliputi fisik,
psikologis, dan sosial-budaya, masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang,
positif dan negatif, serta akut dan kronis (Accelerated Cure Project, 2007).
Gejala emosional atau perilaku dapat terjadi sebagai respons peristiwa kehidupan
yang menimbulkan stres (Saddock & Sadock, 2009). Faktor penyebab stres
disebut stresor, sebagian contohnya (Hawari, 2008) yaitu:
a. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami
seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian salah
satu pasangan dan ketidaksetiaan.
b. Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalna tidak mempunyai anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik
dengan mertua, ipar, dan besan.

10

c. Hubungan interpersonal (antar pribadi)


Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang
mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dan bawahan.
d. Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masalah
perkawinan, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok,
mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, dan kehilangan pekerjaan
(PHK).
e. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan
seseorang, misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran.
Hidup dalam lingkungan yang rawan.
f. Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang,
kebangkrutan usaha, dan soal warisan.
g. Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber
stres.
h. Perkembangan
Yang dimaksud adalah perkembangan, baik fisik maupun mental
seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, dan usia
lanjut.
i. Penyakit fisik atau cidera
Sumber stres yang dapat menimbulkan depresi, misalnya penyakit
kecelakaan, operasi, dan aborsi.
j. Faktor keluarga
Faktor stres yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan oleh
kondisi keluarga yang tidak baik (sikap orang tua), misalnya orang tua
bercerai, jarang di rumah, ketegangan dengan anak, dan orang tua otoriter.

11

k. Trauma
Seseorang yang mengalami bencana alam, kecelakaan transportasi,
kebakaran, kerusuhan, peperangan, kekerasan, penculikan, perampokan,
perkosaan, dan kehamilan diluar nikah.
Apabila dikelompokkan, segala sumber stres pada manusia bersumber
dari 4 hal, yaitu (Maramis, 2009):
a. Frustrasi
Frustrasi muncul bila ada aral melintang antara individu dan
maksud/tujuannya, misalnya seseorang mau melanjutkan sekolah, tetapi
orang tuanya tak memiliki biaya. Frusatasi dapat berasal dari dalam dan
luar diri seseorang.
b. Konflik
Konflik terjadi bila individu tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustrasi terhadap
yang lain. Terdapat tiga macam konflik, yaitu:
1) Konflik pendekatan-penolakan: individu dihadapkan pada suatu
keadaan yang mengharuskan dia mengambil keputusan, tetapi ia tidak
dapat menentukan karena di satu sisi dia menginginkan hal tersebut,
tetapi di sisi lain ada risiko yang tidak dia sukai jika dia menuruti apa
yang dia inginkan tersebut. Misalnya, seseorang ingin menikah dengan
seorang perempuan yang cantik dan luwes, tetapi memiliki orang tua
yang galak dan judes.
2) Konflik pendekatan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama dia inginkan.senangi, tetapi dia tidak dapat memilih
keduanya sekaligus dan harus melepaskan salah satunya. Misalnya,
seorang yang jatuh cinta pada dua hati.
3) Konflik penolakan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama tidak dia senangi/inginkan, padahal dia harus memilih
salah satu. Misalnya, apakah dia memilih pekerjaan yang tidak
menarik atau menganggur.

12

c. Tekanan
Tekanan juga dapat menjadi sumber stres. Tekanan dapat berasal
dari dalam dan luar individu. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau
norma-norma yang kita gantungkan terlalu tinggi dan individu
mengejarnya tanpa ampun, sehingga dia terus-menerus berada di bawah
tekanan.
Tekanan dari luar misalnya anak yang menuntut orang tuanya
untuk selalu memenuhi keinginannya, seorang istri yang mengeluh pada
suaminya bahwa uang belanjanya tidak cukup.
d. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres
pada seorang individu ataupun suatu kelompok, misalnya: kematian,
kecelakaan, masuk sekolah yang pertama kali, bencana alam, dan
sebagainya.
Tak jarang, beberapa keadaan di atas secara bersamaan dialami oleh
seorang individu.
D. JENIS-JENIS STRESOR
Tabel 1. Jenis Stresor Dalam Tahap Perkembangan
Tahap Perkembangan

Jenis Stresor

Anak

Konflik mandiri dan ketergantungan


orang tua
Hubungan dengan teman sebaya
Kompetisi dengan teman

Remaja

Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Mandiri

Dewasa Muda

Menikah
Meninggalkan rumah
Mulai bekerja
Melanjutkan pendidikan
13

Membesarkan anak
Dewasa Tengah

Menerima proses menua


Status sosial

Dewasa Tua

Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pension
Proses kematian

(Alimul, 2008)
E. DERAJAT STRES
Stres dapat mengenai semua orang dalam berbagai tingkatan usia.
Menurut Hawari, sress timbul secara lambat dan tidak disadari kapan munculnya.
Adapun derajat stres terbagi dalam 6 tingkatan yaitu:
1) Stres tingkat I
Tingkat ini merupakan tingkatan dasar atau yang paling ringan dari
suatu stres. Pada tingkatan ini biasanya disertai semangat hidup yang
besar, penglihatan tajam seperti biasanya, gugup yang berlebihan. Sikap
pasien yang mengalami stres pada tahap ini biasanya menyenangkan,
tetapi tidak disadari cadangan energinya menipis.
2) Stres tingkat II
Tingkatan ini merupakan tahap lanjut dari stres dasar. Pada tahap ini
mulai muncul keluhan karena cadangan energi tidak cukup lagi untuk
sepanjang hari. Keluhan yang dialami pasien antara lain letih pada waktu
pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang sore, serta ada
gangguan otot dan pencernaan.
3) Stres tingkat III
Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami gangguan
pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar
tidak teratur, gangguan lain seperti ketegangan otot makin terasa dan
perasaan tidak tenang. Munculnya gangguan tidur pada pasien seperti
terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur. Pasien merasa dirinya

14

ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya pasien penderita berkonsultasi


dengan dokter.
4) Stres tingkat IV
Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh
kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, semula tanggap
terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara
adekuat, konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang tak
terdefinisikan.
5) Stres tingkat V
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tingkat IV. Gejala yang
muncul pun semakin berat. Stres tahap ini ditandai adanya kelekahan fisik
secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan dan
sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, perasaan
ketakutan, dan kecemasan semakin meningkat.
6) Stres tingkat VI
Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU karena gejala yang
muncul sangat membahayakan. Penderita dapat merasakan jantung
berdebar sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan oleh stres yang
cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin, dan berkeringat.
Bahkan penderita dapat mengalami kondisi di mana merasa tenaganya tak
ada sama sekali dan tak jarang pingsan.
(Contrada dan Baum, 2010).
F. MACAM-MACAM STRES
Ditinjau dari penyebab, maka stres dibagi menjadi 7 macam, antara lain:
1) Stres fisik
Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti dikarenakan
temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar
matahari, atau karena tegangan arus listrik.

15

2) Stres kimiawi
Stres ini disebabkan karena zat kimiawi seperti obat-obatan, zat
beracun asam, basa, faktor hormon, atau gas prinsipnya karena pengaruh
senyawa kimia.
3) Stres mikrobiologis
Stres ini disebabkan karena kuman, seperti adanya virus, bakteri,
atau parasit.
4) Stres fisiologis
Stres yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di
antaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lainlain.
5) Stres proses pertumbuhan dan perkembangan
Stres

yang

disebabkan

karena

proses

pertumbuhan

dan

perkembangan seperti pada pubertas, perkawinan, dan proses lanjut usia.


6) Stres psikis atau emosional
Stres yang disebabkan karena gangguan stimulus psikologis, atau
ketidakmampuan kondisi psikologis saat menyesuaikan diri seperti
hubungan interpersonal, sosial budaya, atau faktor keganasan.
(Alimul, 2008).
G. MODEL STRES KESEHATAN
Model stres kesehatan merupakan suatu model di mana stres dapat
mempengaruhi status kesehatan seseorang. Model ini terdiri dari beberapa unsur
di antaranya:
1) Unsur langsung
Stres dapat menghasilkan atau mempengaruhi secara langsung dari
perubahan fisiologis dan psikologis, seperti adanya ketegangan (stres)
akan menyebabkan terjadinya proses pelepasan hormon secara langsung
yaitu hormon kotekolamin dan kortikosteroid yang kondisi berdebar-debar,
denyut nadi cepat dan lain-lain

16

2) Unsur kepribadian
Stes dapat dipengaruhi karena adanya tipe kepribadian yang memudahkan
timbulnya kesakitan.
3) Unsur interaktif
Stres dapat menyebabkan ketidakkebalan tubuh sehingga tubuh akan
menjadi mudah terjadi gangguan pada tubuh baik biologis maupun
psikologis. Proses ini dikarenakan adanya interaksi antara faktor dari luar
dan faktor dari dalam untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
4) Unsur perilaku sehat
Stres dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesakitan, akan tetapi
dapat merubah perilaku terlebih dahulu seperti adanya peningkatan
konsumsi alkohol, rokok, dan lain-lain.
5) Unsur perilaku sakit
Stres apat mempengaruhi secara langsung terhadap kesakitan tanpa
menyebabkan adanya perilaku sakit seperti mencari bantuan pengobatan.
(Alimul, 2008).
H. FAKTOR PENGARUH RESPON TERHADAP STRESOR
Menurut Alimul (2008), respon terhadap stresor yang diberikan setiap
individu akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari stresor
tersebut, dan koping yang dimiliki individu, di antara stresor yang dapat
mempengaruhi respon tubuh antara lain :
1) Sifat stresor
Sifat stresor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap stresor. Sifat stresor ini dapat berupa tiba-tiba atau
berangsur-angsur, sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung
dari pemahaman tentang arti stresor.
2) Durasi stresor
Lamanya stresor yang dialami klien akan mempengaruhi respon
tubuh. Apabila stresor yang dialami lebih lama, maka respon yang

17

dialaminya juga akan lebih lama dan dapat mempengaruhi dari fungsi
tubuh yang lain.
3) Jumlah stresor
Jumlah stresor yang dialami seseorang dapat menentukan respon
tubuh. Semakin banyak stresor yang dialami pada seseorang, dapat
menimbulkan dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya
dengan jumlah stresor yang dialami banyak dan kemampuan adaptasi baik,
maka seseorang akan memiliki kemampuan dalam mengatasinya.
4) Pengalaman masa lalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
stresor yang dimiliki. Semakin banyak stresor dan pengalaman yang
dialami dan mampu menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasi
sehingga kemampuan adaptifnya akan semakin baik pula.
5) Tipe kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respon
terhadap stresor. Apabila seseorang yang memiliki tipe kepribadian A,
maka akan lebih rentan terkena stres dibandingkan dengan tipe
kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri ambisius, agresif,
kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung, mudah
marah, memiliki kewaspadaan yang berlebihan, bicara cepat, bekerja tidak
kenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih
suka bekerja sendirian bila ada tantangan, kaku terhadap waktu, ramah,
tidak mudah dipengaruhi, bila berlibur pikirannya ke pekerjaan dan lainlain. Sedangkan tipe kepribadian B memiliki ciri tidak agresif, ambisinya
wajar-wajar, penyabar, senang, tidak mudah tersinggung, tidak mudah
marah, cara bicara tidak tergesa-gesa, perilaku tidak interaktif, lebih suka
kerjasama, mudah bergaul, dan lain-lain atau merupakan kebalikan dari
tipe kepribadian B.
6) Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat mempengaruhi
respon tubuh dimana semakin matang dalam perkembangannya, maka

18

semakin

baik

pula

kemampuan

untuk

mengatasinya.

Dalam

perkembangannya kemampuan individu dalam mengatasi stresor dan


respon terhadapnya berbeda-beda dan stresor yang dihadapinya pun
berbeda yang dapat digambarkan dalam pembahasan diatas pada poin D.
I. DAYA TAHAN STRES
Daya tahan stres atau nilai ambang stres (stres or frustration
threshold/tolerance) pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
keadaan somato-psiko-sosial orang tersebut. Ada orang yang sangat peka terhadap
stresor ternetu atau yang disebut dengan stresor spesifik. Stresor spesifik ini
kuncul karena adanya pengalaman dahulu yang menyakitkan dan tidak dapat
diatasi dengan baik. Salah satu contoh yang dapat diambil yaitu seroang istri
setiap kali berselisih dengan suaminya, istri tersebut lari dari rumah dan pulang ke
rumah ibunya. Ia tidak dapat mengatasi keadaan tersebut karena pada waktu anakanak, ia sering melihat ibunya dipukul oleh sang ayah yang menimbulkan stres
padanya hingga tidak dapat ditangani dengan baik (Maramis dan Maramis, 2009).
Setiap orang memiliki cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap stres
karena penilaian terhadap stresor dan stres yang berbeda-beda (faktor internal)
dank arena tuntutan terhadap individu yang berbeda (factor eksternal). Hal ini
antara lain tergantung dari umur, sex, keprbadian, intelegensi, emosi, status sosial,
dan pekerjaan individu (Maramis dan Maramis, 2009).
J. SIFAT DAN REAKSI TERHADAP STRES
Ada dua macam sifat stres, yaitu stres yang bersifat negatif disebut
sebagai distres, misalnya oleh karena merasa kehilangan jabatan setelah pensiun,
maka ia merasa tidak berdaya, minder, dan mengakibatkan muncul rasa segan
untuk bertemu dengan teman-temannya. Stres yang bersifat positif disebut
eustres. Dalam hal ini dapat dicontohkan adanya upaya-upaya untuk
mengantisipasi kehidupan setelah nanti. Melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang positif seperti mencari aktivitas pengganti atau mulai menyesuaikan gaya
hidup (Maramis dan Maramis, 2009).

19

Namun demikian, pengertian stres yang berkembang di masyarakat hanya


semata-mata stres yang negatif saja, sedangkan stres yang positif tidak
diperhitungkan. Oleh karenanya, orang menolak bila dikatakan stres walaupun
reaksi stresnya bersifat positif (Maramis dan Maramis, 2009).
Adapun reaksi-reaksi yang bersifat negatif adalah sebagai berikut:
a) Reaksi psikologis biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti
mudah marah, sedih, ataupun mudah tersinggung.
b) Reaksi fisiologis biasanya muncul dalam keluhan-keluhan fisik, seperti
pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di
kulit, ataupun rambut rontok.
c) Reaksi proses berpikir (kognisi), biasanya tampak dalam gejala sulit
berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.
d) Reaksi perilaku. Pada remaja tampak dari perilaku-perilaku yang
menyimpang seperti mabuk, ngepil, frekuensi merokok meningkat,
ataupun menghindar bertemu temannya. Sedangkan pada karyawan yang
akan purna karya tampak pada perilaku yang malas untuk bertemu dengan
teman sekantor karena merasa rendah diri.
Reaksi terhadap stres oleh Chevalier dkk., dikemukakan atas beberapa
aspek, yakni (Chevalier, 2011):
a) Aspek Biologis
Terdapat reaksi tubuh berupa fight-or-flight respone karena respons
fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari
situasi yang mengancam terseut. Fight-or-flight respone menyebabkan
individu dapat berespons dengan cepat terhadap situasi tak nyaman yang
akan memperbaiki keadaan yang akan yang mengancam.
Stres

dapat

mempengaruhi

sistem

simpatik

tubuh,

yakni

berhubungan dengan kelenjar pituitary anterior. Dapat dikatakan bahwa


indikator adanya stres pada seseorang ditandai dengan peningkatanpeningkatan aktivitas kelenjar pituitary tersebut ditandai dengan
meningkatnya konsentrasi ACTH dalam plasma darah manusia.

20

Dalam penelitiannya, Chevalier dkk., juga mempelajari akibat yang


diperoleh bila stresor terus meerus muncul. Ia kemudian mengemukakan
istilah general adaption syndrome (GAS) yang tediri dari rangkaian taapan
reaksi fisiologis terhadap stresor:
1) Alarm reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fighft-or-flight respone. Pada
tahap ini araousal yang terjadi pada tubuh organisme berada di bawah
yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir tahapan
ini, tubuh melindungi organisme terhadap stresor. Tetapi, tubuh tidak
dapat mempertahankan intensitas araousal dari alarm reaction dalam
waktu yang sangat lama.
2) Stage of resistance
Araousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk melawan
dan beradaptasi dengan stresor. Respons fisiologis menurun, tetapi
masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
3) Stage of exhaustion
Respons fisiologis masih terus berlangsug. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh
sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stresor yang terus akan
mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis, dapat juga
menyebabkan kematian.
b) Aspek Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi (Sarafino, 1994):
1) Kognisi
Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas
kognitif. Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit kognitif
pada anak-anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stres.
2) Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering meggunakan
keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Reaksi emosional

21

terhadap stres adalah rasa takut, fobia, keemasan, depresi, perasaan


sedih, dan rasa marah.
3) Perilaku sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain.
Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana
alam membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi
lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan. Stres yang
diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku negatif cenderung
meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif. Stres juga
dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu.
K. FIGHT OR FLIGHT RESPONSE PADA STRES
Walter Canon (1929) memperkenalkan frasa fight-or-flight response
untuk menjelaskan reaksi psikologis manusia dalam merespon suatu keadaan yang
berbahaya. Hans Selye (1956-1974) menjelaskan general adaptation syndrome
(GAS) yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni alarm reaction, resistance stage,
exhaustion stage (Alloy dkk, 2005).
Alarm reaction, selama alarm, perlawanan tubuh melawan stresor yang
diarahkan melalui aktivasi sistem saraf simpatetik. Aktivasi sistem-sistem tubuh
untuk kekuatan maksimal dan mempersiapkan mereka untuk respon fight or flight.
Adrenalin (epinefrin) dilepaskan, denyut jantung dan tekanan darah meningkat,
nafas menjadi lebih cepat, darah diarahkan dari organ dalam berpindah ke otot
skelet, kelenjar keringat diaktifkan, dan aktivitas gastrointestinal menurun.
Sebagai respon jangka pendek untuk keadaan emergensi, reaksi-reaksi fisik ini
dapat disesuaikan (Alloy dkk, 2005).
Resistance stage, pada tahap ini, organisme beradaptasi terhadap stresor.
Seberapa lama tahap ini tergantung keparahan stresor dan kapasitas organisme.
Jika organisme mampu beradapatasi maka kekuatan melawan pada tahap ini akan
berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Selama tingkatan ini, seseorang
memberikan gambaran keadaan normal. Akan tetapi, menurut ilmu jiwa, fungsi
internal tubuh tidak normal. Stres yang terus menerus akan menyebabkan

22

perubahan neurologis dan hormon. Hipotesis Seyle, menyatakan bahwa ketakutan


dalam melawan stres akan menyebabkan perubahan terhadap sistem imun
sehingga rentan terhadap infeksi (Alloy dkk, 2005).
Exhaustion stage, tahap akhir, kemampuan organisme untuk bertahan
habis, dan menghasilkan suatu kerusakan. Karakteristik tahap ini adalah aktivasi
parasimpatik dari sistem saraf otonom. Fungsi parasimpatik abnormal,
menyebabkan seseorang menjadi kelelahan, tahap ini sering menghasilkan depresi
dan kadang-kadang kematian (Alloy dkk, 2005).
L. RESPON FISIOLOGIS STRES
Keadaan stres menimbulkan respon fisiologis, reaksi fisiologis stres
dimulai dengan persepsi stres yang menghasilkan aktivasi simpatetik pada sistem
saraf otonom, yang mengarahkan tubuh untuk bereaksi terhadap emosi, dan
keadaan darurat. Pengarahan ini terjadi dalam dua jalur, yang pertama melalui
aktivasi simpatetik terhadap autonomic nervus system (ANS) dari sistem medula
adrenal, mengaktifkan medula adrenal untuk menyekresi epinefrin dan
norepinefrin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular, pencernaan dan respirasi.
Rute kedua yaitu hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) aksis, yang meliputi
semua struktur ini. Tindakan ini mulai dengan persepsi terhadap situasi yang
mengnacam, aksi yang cepat pada hipotalamus. Hipotalamus merespon pelepasan
corticotrophin releasing hormone (CRH), yang akan merangsang hipofisis
anterior untuk menyekresikan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Hormon ini
merangsang korteks adrenal untuk menyekresi glukokortikoid, termasuk kortisol.
Sekresi kortisol mengarahkan sumber energi tubuh, meningkatkan kadar gula
darah yang berguna untuk energi sel. Kortisol juga sebagai antiinflamasi yang
memberikan perlawanan alami selama respon fight or flight (Alloy dkk, 2005;
Carlson, 2005; Pinel, 2009).
M. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN RESPON STRES
Salah satu teori stres adalah model psikologis dari Lazarus (Baron, 1994),
yang menekankan pentingnya interpretasi dari stresor. Untuk sampai pada proses

23

stres, haruslah dimulai dari penilaian kognitif. Ada dua macam penilaian kognitif,
yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Yang dimaksud penilaian primer
adalah penilaian atau evaluasi terhadap situasi apakah yang dirasakan sebagai
sesuatu yang mengancam ataukah menantang. Jika sesuatu dipersepsikan sebagai
suatu tantangan, maka orang akan berusaha mengatasi situasi tersebut. Jika situasi
tertentu dipersepsikan sebagai suatu hal yang mengancam, maka orang akan
menghindar. Yang dimaksud dengan penilaian sekunder adalah penilaian terhadap
sumber daya yang dimiliki baik yang berbentuk fisik, psikis, social, maupun
materi. Proses penilaian primer dan sekunder terjadi bersama-sama dalam
membentuk makna setiap peristiwa yang dihadapi sehingga akan menentukan
perilaku pengatasan (Baron, 1994).
Perilaku pengatasan bersifat dinamis artinya perilaku pengatasan yang
digunakan tergantung situasi yang dihadapi dan sumber daya yang dimiliki. Oleh
karena

itu,

ada

berbagai

macam

perilaku

pengatasan

stres,

yang

dapatdikategorikan dalam dua hal, yait perilaku pengatasan yang bersifat


emosional yakni upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan emosi saat
belangsungnya stres sedangkan yang bersifat rasional adalah bagaimana
memperbaiki proses penilaian primer dan sekunder (Baron, 1994).
Secara garis besar ada dua tipe manusia dalam menghadapi situasi sulit,
yaitu orang optimis dan orang yang pesimis. Optimism dan pesimisme ini
dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang. Orang pesimis akan melihat peristiwa
dari sisi negatif sedangkan orang optimis akan menilai dari sisi positif (Baron,
1994).
Yang membedakan orang berpikir positif atau negatif adalah bagaimana
gaya seseorang dalam menjelaskan (explanatoru style) suatu peristiwa yang tidak
mengenakkan. Orang-orang yang berpikir negatif akan mengalami berbagai
kesalahan proses berpikir, yaitu: kurangnya data akurat, berpikir hitam putih,
berpikir perfek, terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan berpikir ekstrem. Orang
yang berpikir positif akan menggunakan cara-cara model berpikir rasional,
menggunakan data sebagai dasar mengambil kesimpulan dan bersikap terbuka
terhadap alternatif (Baron, 1994).

24

N. DAMPAK-DAMPAK STRES
Menurut Powell (1983) stres dapat berdampak positif yang mencakup
pemuasan kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga inokulasi stres.
Dampak negatif yang berupa gangguan fisik dan mental serta dapat juga
mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Stres yang terjadi dapat
berpengaruh terhadap kondisi psikologis, tingkah laku, kognitif, fisiologis,
maupun berdampak pada kemampuan organisasi.
Adapun beberapa contoh dampak stres tersebut adalah sebagai berkut:
a. Dampak psikologis
1) Emosi, menangis. marah
2) Menarik diri
3) Bermusuhan, agresif
4) Cemas, curiga, merasa tidak berguna
5) Menyalahkan lingkungan
b. Dampak tingkah laku
1) Selalu terburu-buru
2) Pelupa
3) Alkoholik, perokok berat
4) Tidak bersemangat, malas
5) Makan berlebih/kurang
c. Dampak kognitif
1) Sulit memutuskan
2) Kurang konsentrasi
3) Kurang kreatif
4) Peka terhadap kritik
d. Dampak fisiologis
1) Kadar gula meningkat
2) Keringat berlebihan
3) Tekanan darah meningkat
4) Denyut jantung meningkat
5) Sakit kepala

25

6) Tidak nafsu makan


7) Rambut rontok
e. Dampak stres terhadap organisasi
1) Tingkat absensi meningkat
2) Produktifitas menurun
3) Ketidak puasan kerja
(Powell, 1983).
Dampak dari Stres Sesuai Tahapan Perkembangan
Bagaimana efek dari pemaparan stres yang kronis atau berulang
(pemaparan tunggal stres yang berat) pada tahapan yang berbeda dari kehidupan,
tergantung pada area otak yang berkembang atau berkurang pada saat pemaparan.
Stres pada periode prenatal mempengaruhi perkembangan berbagai region otak
yang terlibat dalam pengaturan aksis HPA, yaitu hipokampus, korkteks frontal,
dan amigdala (efek pemrograman). Stres postnatal mempunyai efek yang
bervariasi: pemaparan perpisahan maternal selama masa kanak menyebabkan
peningkatan sekresi glukokortikoid, sedangkan pemaparan penyiksaan yang erat
berkaitan

dengan

penurunan

kadar

glukokortikoid.

Sehingga,

produksi

glukokortikoid selama masa kanak bervariasi sebagaimana fungsi dari lingkungan


(efek diferensiasi) (Lupien et.al., 2009).
Dari periode prenatal hingga selanjutnya, semua area otak yang
berkembang sensitif terhadap efek hormon stres; bagaimanapun beberapa area
mengalami periode pertumbuhan cepat selama periode tertentu. Dari lahir sampai
usia 2 tahun, hipokampus berkembang. Hal ini menyebabkan area otak ini sangat
rentan terhadap efek dari stres pada masa ini. Sebaliknya, pemaparan stres dari
lahir sampai masa kanak akhir dapat menyebabkan perubahan volume amigdala,
sebagaimana daerah otak berlanjut untuk berkembang sampai usia 20 tahun akhir.
Hipokampus berkembng sempurna pada masa remaja, amigdala masih
berkembang dan ada pertumbuhan yang penting pada volume frontal.
Konsekuensinya, pemaparan stres selama periode ini mempunyai efek yang besar
pada korteks frontal. Penelitian menunjukkan bahwa remaja sangat rentan

26

terhadap stres, kemungkinan disebabkan oleh respon glukokortikoid yang tinggi


terhadap stres yang bertahan sampai usia dewasa (efek potensiasi/inkubasi). Pada
usia dewasa dan selama penuaan, region otak yang mengalami penurunan paling
cepat sebagai akibat proses penuaan sangat rentan terhadap efek hormone stres.
Stres selama periode ini dapat menyebabkan manifestasi dari efek inkubasi dari
kelainan otak masa awal (efek manifestasi) atau mempertahankan efek kronis dari
stres (efek mempertahankan) (Lupien et.al., 2009).

BAB III
PENDEKATAN BIOMOLEKULER PADA MEKANISME STRES
Hampir setiap jenis stres fisik maupun stres mental dalam waktu beberapa
menit saja sudah dapat meningkatkan sekresi adrenocorticotropic hormone
(ACTH) dan akibatnya sekresi kortisol juga meningkat, sering kali meningkat
hingga 20 kali lipat. Efek ini digambarkan oleh respon sekresi adenokortikal yang
cepat dan kuat. Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres fisik atau
kerusakan jaringan pertama-tama dihantarkan ke atas melalui batang otak dan

27

akhirnya ke eminensia mediana hipotalamus. Disini CRF disekresikan ke dalam


ke dalam sistem portal hipofisis. Dalam beberapa menit, seluruh rangkaian
pengaturan mengarah kepada sejumlah besar kortisol di dalam darah (Guyton,
2002).
Stres mental dapat menyebabkan peningkatan secara cepat sekresi ACTH
yang sebanding. Keadaan ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam
sistem limbik, khususnya dalam region amigdala dan hipokampus, yang kemudian
menjalarkan sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus (Guyton, 2002).

Gambar 1 Mekanisme Stres


Saat otak mendeteksi ancaman, koordinasi respons fisiologis melibatkan
komponen sistem autonomik, neuroendokrin, metabolis dan imun. Sistem stres
mempunyai dua cara operasi. Cara cepat melibatkan corticotropin-releasing
hormone (CRH) yang mengendalikan respon simpatetis dan perilaku fight or
flight response yang dimediasi oleh reseptor CRH1 (CRHR1). CRHR1 juga
mengaktivasi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA). Aksis HPA melibatkan
corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang
dihasilkan oleh neuron di regio medial parvocellular dari hypothalamic
paraventicular nucleus (PVN), neuron ini mengeluarkan peptida ke dalam
gerbang masuk sistem untuk mengaktifkan sisntesis dari pro-opiomelanocortin
28

(POMC) anterior pituitary, yang akan memproses kortikotropin (ACTH), opioid


dan peptida melanokortin , dan lainnya. ACTH merangsang korteks adrenal untuk
memproduksi glukokortikoid. Disamping itu, medula adrenal melepaskan
katekolamin (adrenalin dan noradrenalin). Responsivitas aksis HPA terhadap stres
sebagian ditentukan oleh kemampuan glukokortikoid untuk mengatur pelepasan
ACTH dan CRH dengan ikatan pada dua reseptor kortikosteroid, glukocorticoid
receptor (GR) dan mineralocorticoid receptor (MR) (Guyton, 2002).
Mengikuti aktivasi dari sistem dan saat stresor yang diterima telah
ditanggapi,lengkungan umpan balik dipicu berbagai tingkat sistem (kelenjar
adrenal sampai hipotalamus dan region otak lainnya seperti hipokampus dan
korteks frontal) untuk menutup aksis HPA dan kembali ke titik homeostatik.
Sebaliknya, amigdala, yang terlibat dalam proses ketakutan, mengaktivasi aksis
HPA untuk mempersiapkan gerakan respon stres yang perlu untuk menghadapi
tantangan. Sistem dan faktor utama lain yang merespon stres, termasuk sistem
saraf autonomik, sitokin inflamatori, dan hormon metabolik. Semua ini
dipengaruhi aktivitas HPA, sebaliknya mempengaruhi fungsi HPA, dan juga
berakibat pada perubahan patofisiologi yang terjadi dalam respon stres kronis,
dari pengalaman masa kecil sampai usia dewasa (Guyton, 2002).
Cara yang lebih lambat meningkatkan adaptasi dan pemulihan dibangun
oleh urokortin II dan III yang baru saja ditemukan, beraksi melalui sistem
CRHR2. Sistem CRHR 1 dan CRHR2 mempunyai bagian yang saling tumpang
tindih pada otak, yang sesuai dengan bagian terminal dari CRH dan urokortinnya.
Pemberian CRH intraserebroventrikuler memberikan efek serupa dan respon
perilaku, autonomik, dan neuroendrokrin awal dari stres dan bersifat anxiogenik,
selain itu urokortin tampaknya mempunyai peran anxiolitik (Guyton, 2002).
Mengikuti aktivasi dari sistem dan saat stresor yang diterima telah
ditanggapi,lengkungan umpan balik dipicu berbagai tingkat sistem (kelenjar
adrenal sampai hipotalamus dan region otak lainnya seperti hipokampus dan
korteks frontal) untuk menutup aksis HPA dan kembali ke titik homeostatik.
Sebaliknya, amigdala, yang terlibat dalam proses ketakutan, mengaktivasi aksis
HPA untuk mempersiapkan gerakan respon stres yang perlu untuk menghadapi

29

tantangan. Sistem dan faktor utama lain yang merespon stres, termasuk sistem
saraf autonomik, sitokin inflamatori, dan hormon metabolik (Guyton, 2002;
Yuliadi, 2014).

Gambar 2 Hormon-hormon yang berpengaruh pada Stres

Stresor yang muncul terus menerus akan menimbulkan respon tubuh yang
disebut general adaptation syndrom(GAP) yang terdiri dari 3 fase, yaitu:
1) Alarm reaction
Respons fight or flight merupakan respons tahap awal dari tubuh kita bila
bereaksi terhadap stres, stres akan mengaktifkan sistem saraf simpatis dan
sistem hormon tubuh kita seperti kotekolamin, epinefrin, norepinefrine,
glukokortikoid, kortisol dan kortison. Kortisol memiliki efek umpan balik
negatif langsung terhadap (1) hipotalamus untuk pembentukan CRF dan (2)
kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH. Kedua
umpan balik ini membantu mengatur konsentrasi kortisol dalam plasma. Jadi,
bila konsentrasi kortisol menjadi sangat tinggi, maka umpan balik ini secara
otomatis akan mengurangi jumlah ACTH sehingga kembali lagi ke nilai
30

normalnya. Sistem hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) merupakan bagian


penting dalam sistem neuroendokrin yang berhubungan dengan terjadinya
stres, hormon adrenal berasal dari medula adrenal sedangkan kortikostreroid
dihasilkan oleh korteks adrenal. Hipotalamus merangsang hipofisis, kemudian
hipofisis akan merangsang saraf simpatis yang mempersarafi:

Medula adrenal yang akan melepaskan norepinefrin dan epinefrin;

Mata menyebabkan dilatasi pupil;

Kelenjar air mata dengan peningkatan sekresi;

Sistem pernafasan dengan dilatasi bronkiolus, dan peningkatan


pernafasan;

Sistem kardiovaskular (jantung) dengan peningkatan kekuatan


kontraksi jantung, peningkatan frekwensi denyut jantung, tekanan
darah yang meningkat;

Sistem gastrointestinal (lambung dan usus), motilitas lambung dan


usus yang berkurang, kotraksi sfingter yang menurun;

Hati, peningkatan pemecahan cadangan karbohidrat dalam bentuk


glikogen (glikogenolisis) dan peningkatan kerja glukoneogenesis,
penurunan sintesa glikogen. Sehingga gula darah akan meningkat di
dalam darah;

Sistem kemih terjadi peningkatan motilitas ureter, kontraksi otot kandung


kemih, relaksasi sfingter;

Kelenjar keringat, peningkatan sekresi;

Sel lemak, terjadi pemecahan cadangan lemak (lipolisis);

(Guyton, 2002).

31

Gambar 3 Respon Stres pada Organ Target


2) Stage of Resistance
Reaksi terhadap stresor sudah melampaui batas kemampuan tubuh,
timbul gejala psikis dan somatik. Individu berusaha mencoba berbagai
macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta
mengatur strategi untuk mengatur stresor, tubuh akan berusaha mengimbangi
proses fisiologi yang terjadi pada fase waspada, sedapat mungkin bisa
kembali normal, bila proses fisiologis ini telah teratasi maka gejala stres akan
turun, bila stresor tidak terkendali karena proses adaptasi tubuh akan
melemah dan individu akan tidak akan sembuh (Guyton, 2002).
3) Stage of Exhaustion
Pada fase ini gejala akan terlihat jelas. Karena terjadi perpanjangan tahap
awal stres yang telah terbiasa, energi penyesuaian sudah terkuras, individu
tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber untuk penyesuaian,
timbullah gejala penyesuaian seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit
arteri koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada gastrointestinal), depresi,
32

ansietas, frigiditas, impotensia. Bila terjadi stres, kecemasan, kegelisahan,


maka tubuh akan bereaksi secara otomatis berupa perangsangan hormon dan
neurotransmiter,

untuk

menahan

stresor,

sehingga

penting

untuk

mempertahankan kondisi mental dan fisik mahluk hidup. Dalam hal ini stres
akan merangsang pusat hormonal di otak yaitu hipotalamus (Guyton, 2002).
Fungsi Hipotalamus yaitu mengatur keseimbangan air, suhu tubuh,
pertumbuhan tubuh, rasa lapar, mengontrol marah, nafsu, rasa takut, integrasi
respons saraf simpatis, mempertahankan homeostasis. Bila saraf simpatis
terangsang maka, denyut nadi dan jantung akan meningkat, aliran darah ke
jantung, otak, dan ototpun meningkat, sehingga tekanan darah pun akan ikut
terpengaruhi, pemecahan gula di hati meningkat sehingga gula darah ikut
meningkat di darah. Kortisol yang dikeluarkan oleh korteks adrenal karena
perangsangan hipotalamus, menyebabkan rangsangan susunan saraf pusat
otak. Tubuh waspada dan menjadi sulit tidur (insomnia). Kortisol merangsang
sekresi asam lambung yang dapat merusak mukosa lambung. Menurunkan
daya tahan tubuh (Guyton, 2002).
Patofisiologi Hipertensi pada Stres
Stres akan mengaktivasi hipotalamus, di mana hipotalamus memberikan
pengaruh pada 2 sistem yaitu sistem neuroendokrin (saraf simpatis dan adrenal).
Sistem saraf simpatis berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu
dengan mengaktifasi berbagai sistem organ dan otot polos yang berada di bawah
pengendaliannya, sebagai contoh peningkatan denyut nadi, dilatasi pupil, dan
peningkatan tekanan darah. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal pada
medulla adrenal untu melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah.
Hipotalamus mensekresi CRF, sementara hipofisis anterior mensekresi ACTH ,
dan adrenak mensekresi kortisol yang dibawa ke aliran darah. ACTH juga
memberikan sinyal pada kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30
hormon. Salah satu kelenjar endokrin yang dipengaruhi adalah kelenjar tiroid
yang mensekresi tiroksin.

33

Epinefrin, tiroksin, dan kortisol sebagai hormon utama stress akan


meningkkat jumlahnya dan berpengaruh pada bomeostasis. Epinefrin bekerja
secara sinergis dengan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan denyut jantung
dan tekanan darah. Tiroksin selain meningkatkan basal meltabolic rate (BMR)
juga meningkatkan denyut jantung dan frekuensi napas. Aktivasi sistem saraf
simpatik akan menyebabkan vasokonstriksi. Gabungan dari vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung akan menyebabkan peningkatan tekanan darah
(Guyton, 2002).

Patofisiologi Stres Menyebabkan Kekambuhan Asma Bronkhiale

34

Gambar 3. Patofisiologi Asma akibat Stres


IL-5 dan vaskular endothelial growth factor adalah sitokin penting dalam
terjadinya hiperaktivitas bronkus pada pasien asma. Sekresi glukokortikoid dari
korteks adrenal dan sekresi epinefrin maupun norepinefrin dari medulla adrenal
mempengaruhi eksaserbasi asma pada pasien yang mengalami stres. Akibatnya,
bronkus mengalami konstriksi, hipersekresi mucus, dan terjadi sekresi dari
mediator pro inflamasi seperti histamin, leukotrien, sitokin (IL1, IL6, TNF).
Sitokin menuju ke sumsum tulang dan menyebabkan diferensiasi eusinofil yang
selanjutnya akan berinteraksi dengan selectine yang akan menempel di endotel
melalui perikatannya dengan integrine di Superfamily Immunoglobulin Protein
Adhesi yaitu Vascular-Cell Adhesion Molecule (VCAM-1) dan Intercellular
Adhesion Molecule (ICAM-1).

35

Eusinofil, sel mast, basophil, limfosit-T dan Sel Langerhans masuk ke


saluran nafas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti Monocyte
Cemotactic Protein (MCP-1) dan makrofag inflammatory protein (MIP-1) yang
dilepas oleh epitel. Eusinofil teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti
leukotriene dan protein granule untuk menciderai saluran napas. Survival eusinofil
dipengaruhi oleh IL-4 dan GM-CSF mengakibatkan inflamasi saluran napas yang
persisten.

Patofisiologi Terjadinya Stress Ulcer pada Stres


Stres

Gambar 4. Patofisiologi stress ulcer


Mekanisme terjadinya kekambuhan stress ulcer masih belum jelas. Faktor
ulcerogenik seperti Helicobacter pylori, NSAID, dan stres, dapat meningkatkan
ekskresi dari sitokin inflamasi pada mukosa gaster. Inflamasi pada mukosa gaster
menjadi kunci utama kekambuhan stress ulcer. Defisiensi prostaglandin akan
menyebabkan peningkatan infiltrasi neutrofil yang selanjutna akan berakibat pada
iritasi pada mukosa gaster. IL-1 merupakan sitokin pro inflamatori utama yang
terlibat dalam mekanisme terjadinya ulkus peptikum. IL-1 akan meningkatkan
sekresi dari molekul adesi baik leukosit dan sel endotelial. Sementara sitokin
menginduksi infiltrasi neutrofil pada mukosa lambung yang teriritasi. Asam
lambung juga memegang peranan penting pada terjadinya stress ulcer. Asam
36

lambung meregulasi proses inflamasi termasuk ekspresi dari molekul adesi dan
sitokin pro inflamasi.
Pada stres, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dari pembuluh darah. Akibatnya arteri splanchnicus akan
mengalami hipoperfusi. Peningkatan dari sitokin pro inflamasi yang disebabkan
oleh penurunan respon imun akan memperparah hipoperfusi dari arteri
splanchnicus. Pada lambung dikenal adanya faktor defensif antara lain sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa lambung, motilitas gastrointestinal, faktor
protektif seperti HSP dan TFF, dan acid-back diffusion. Faktor defensif ini digun
akan sebagai pertahanan lambung dalam melawan factor agresif penyebab ulkus
peptikum. Pada kondisi stress, hipoperfusi dari arteri splanchnicus akan
menurunkan sekresi bikarbonat, aliran mukosa lambung, faktor protektif, dan
acid-back diffusion. Aktifasi dari sistem saraf simpatis akan menurunkan motilitas
dari gastrointestinal. Penurunan faktor defensif akan menurunkan pertahanan
epitel gaster sehingga mudah terjadi stress ulcer.

37

BAB IV
MANAJEMEN STRES

Stres merupakan sumber dari berbagai penyakit pada manusia. Apabila


stres tidak cepat ditanggulangi atau dikelola dengan baik, maka akan berdampak
lebih lanjut seperti mudah terjadi gangguan atau terkena penyakit. Untuk
mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat, maka
dapat dilakukan dengan cara:

Modifikasi gaya hidup


-

Pengaturan diet dan nutrisi

Istirahat dan tidur yang cukup

Olahraga atau latihan teratur

Berhenti merokok

Tidak konsumsi minuman keras

(Greenberg, 2004)

Terapi psikofarmaka
Penggunaan obat bukanlah yang utama. Pemberian obat hanya
dilakukan jika psikoterapi atau terapi kelompok telah dilakukan, tetapi
tidak memberikan hasil yang diharapkan atau jika individu tersebut
berbahaya, sangat agitatif atau menunjukan gejala-gejala psikotik (Yuliadi,
2014).
Untuk ansietas dan gangguan tidur yang berat dapat diberikan
benzodiazepine, misalnya diazepam 5-10 mg pada malam hari. Obat lain
yang dapat digunakan adalah lorazepam 0,5-1 mg atau klobazam 10-20
mg. Penggunaan benzodiazepin seyogyanya hanya dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama, antara 1-2 minggu, karena mudah terjadi toleransi
dan ketergantungan. Hati-hati pada proses penghentian, karena dapat
terjadi efek rebound. Alternatif obat lain yang dapat digunakan adalah
trazodon (50-100 mg) dan amitriptilin dosis rendah (12,5-50 mg) (Yuliadi,
2014).

38

Obat antiadrenergik dapat digunakan untuk mengurangi kesiagaan


berlebihan (hyperarousal), agresivitas, iritabilitas, memori yang intrusive
(flashback) dan insomnia, misalnya klonidin dan propanolol. Hati hati
menggunakan golongan obat ini pada orang yang juga menderita penyakit
kardiovaskular karena dapat menurunkan tekanan darah. Obat obat ini juga
dapat mengganggu regulasi glukosa pada penderita diabetes apabila terjadi
hipoglikemi (Yuliadi, 2014).
Apabila gejala utama yang dialami adalah pengingatan kembali
(recollection),

penghindaran

(avoidance),

kesiagaan

berlebih

(hyperarousal) dan depresi lebih baik digunakan obat-obat golongan SSRI


(spesific serotonin reuptake inhibitor). Obat ini juga berguna untuk
mengatasi ansietas dan iritabilitas. Akan tetapi, pemberiannya harus
dimulai dari dosis kecil dan perlahan ditingkatkan. Karena ada
kemungkinannya timbul ansietas, agitasi, psikosis atau mania pada awal
pemberian. Dapat pula disertakan 25mg atau fluoxetin 10 mg, dinaikan
secara bertahap (Yuliadi, 2014).

Terapi somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat
stres yang dialami sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem
tubuh yang lain (Gunarsa, 1995).

Psikoterapi
Terapi ini dengan menggunakan teknik psikologis yang disesuaikan
dengan kebutuhan seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif
dan psikoterapi reedukatif dengan memberikan pendidikan secara
berulang. Selain itu, juga terdapat psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi
kognitif dan lain lain (Gunarsa, 1995).

Terapi psikoreligius
Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam
mengatasi permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi atau
mempertahankan kehidupan seseorang harus sehat secara fisik, psikis,

39

sosial dan spiritual sehingga stres yang dialami dapat diatasi (Gunarsa,
1995).
Manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi
koping, yaitu koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada
masalah. Penggunaan koping yang berfokus pada emosi dengan cara pengaturan
respons emosional dari stres melalui perilaku individu seperti cara meniadakan
fakta-fakta yang tidak menyenangkan, kontrol diri, membuat jarak, penilaian
secara positif, menerima tanggung jawab, lari dari kenyataan (menghindar).
Sedangkan strategi koping berfokus pada masalah dengan mempelajari cara-cara
atau keterampilan yang dapat menyelesaikan masalah seperti merencanakan
problem solving dan meningkatkan dukungan sosial (Gunarsa, 1995).
KONSEP KOPING
a) Definisi koping
Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam
upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang
melelahkan dan melebihi sumber individu (Contrada dan Baum, 2010).
b) Mekanisme Koping
Dalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang
mengganggu equilibrium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami
perubahan hubungan dengan orang lain dalam harapannya terhadap diri sendiri
secara negatif. Munculnya ketegangan dalam hidup mengakibatkan munculnya
perilaku pemecahan masalah atau yang disebut dengan mekanisme koping.
Mekanisme koping bertujuan untuk meredakan ketegangan tersebut. Equilibrium
merupakan proses keseimbangan yang terjadi akibat adanya proses adaptasi
manusia terhadap kondisi yang akan menyebabkan sakit. Proses menjaga
keseimbangan dalam tubuh manusia terjadi secara dinamis di mana manusia
berusaha menghadapi segala tantangan dari luar sehingga keadaan seimbang dapat
tercapai (Lazarus dan Folkman, 1984).

40

Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dialami atau


beban yang diterima. Apabila mekanisme koping ini berhasil, seseorang akan
dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat, yang
dimulai sejak awal munculnya stresor dan saat mulai disadari dampak stresor
tersebut. Kemampuan belajar ini tergangung ada kondisi internal dan eksternal,
sehingga yang berperan bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stresor
tetapi juga kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stresor
tersebut (Contrada dan Baum, 2010).
Efektifitas koping memiliki kedudukan sangat penting dalam daya tahan
tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan penyakit
(fisik maupun psikis). Jadi ketika terdat stresor yang lebih berat dan bukan stresor
yan biasa dihadapi, individu secara otomatis melakukan mekanisme koping.
Mekanisme koping merujuk baik pada mental maupun perilaku untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi atau meminimalisir suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan. Mekanisme koping merupakan suatu proses di
mana individu berusaha untuk menangani dan menguasai stres yang menekan
akibat dari masalah yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapinya
dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh
rasa aman dalam dirinya (Contrada dan Baum, 2010).
Strategi penanganan stres atau koping terdiri dari dua bentuk antara lain:
1) Koping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping)
Istilah ini digunakan untuk menjelaskan koping di mana inividu
secara aktif mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan
kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Cara ini biasa digunakan
untuk menghadapi masalah-masalah yang biasanya dapat dikontrol,
seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan.
2) Koping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping)
Strategi penanganan stres di mana individu memberikan respons
terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan
menggunakan penilaian definitif. Pada strategi penanganan stres yang

41

berfokus pada emosi, seseorang bisa saja menghindari sesuatu,


merasionalisasi paa yang terjadi padanya, menyangkal bahwa hal itu
tengah terjadi, atau menertawakannya. Strategi koping ini biasa
dipakai ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya
sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang berat misalnya HIV/AIDS atau kanker (Alimun, 2008).
Hasil penelitian membuktikan bahwa inividu menggunakan kedua cara
tersebut untuk mengatasi beberapa masalah yang menekan dalam berbagai ruang
lingkup kehidupan sehari-hari. Faktor yang menentukan strategi mana yang paling
banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan
sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya.
Penggolongan mekanisme koping menurut Folkman dan Lazarus antara lain:
1) Planful problem solving (problem-focused)
Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh sousi dan
kemudian mengambil tindakan langsunguntuk menyelesaikan masalah.
2) Confrontative coping (problem-focused)
Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan
kemarahan atau mengambil risiko untuk merubah situasi.
3) Seeking social support (problem or emotional-focused)
Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau
dukungan informational.
4) Distancing (emotion-focused)
Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi untuk
menciptakan pandangan yang positif untuk masalah yang dihadapi.
5) Escape-avoidanceting (emotion-focused)
Menghadapi masalah dengan cara berkhayal atau berfikir dengan
penuh harapan tentang masalah yang dihadapi.
6) Self control (emotion-focused)
Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan apapun
dalam hubungannya dengan masalah.

42

7) Accepting responsibility (emotion-focused)


Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk
memperbaikinya.
8) Positive reappraisal (emotion-focused)
Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari masalah
yang dihadapi (Contrada dan Baum, 2010).

43

BAB V
PSIKOSOMATIS

Stres mempengaruhi keadaan psikologik termasuk emosi, faktor kognitif,


perilaku, yang dapat menyebabkan sakit. Stres merupakan faktor perusak regulasi
homeostasis. Stres dialami hamper setiap orang, Reaksi setiap individu berbeda,
ada yang merasakan berat, ada yang ringan bergantung tipe kepribadian individu.
Stres dapat mengaktifkan SSP, respons stres mengakibatkan hipotalamus
mengeluarkan CRH, CRH menstimulasi kelenjat pituitari melepas ACTH. ACTH
menstimulasi korteks adrenal memproduksi kortisol. Glukokortikoid termasuk
kortisol akan menekan fungsi imun, proteksi terhadap mikroorganisme menurun,
daya tahan jaringan menurun (Roit, 2003).
Usaha tubuh pada dimensi fisik dan emosi. Kegagalan menghadapi
ketidakseimbangan menimbulkan kondisi patologik. Stres juga menimbulkan
respons yang akan ditransmisikan ke sistem saraf otonom, lalu ke medulla
adrenal, kemudian disekresikan katekolamin berupa epinefrin dan norepinefrin.
Katekolamin menginduksi pelepasan prostaglandin dan protease yang dapat
menyebabkan terjadinya destruksi jaringan (Genco, 1998). Stres sebagai jalur
untuk terjadinya penyakit, karena stres dapat meregulasi fungsi neuroendokrin
dalam sistem psikoneuroimunologi (Roit, 2003).
A. DEFINISI PSIKOSOMATIS
Psikosomatis berasal dari dua kata, yaitu psycho yang artinya pikiran dan
soma yang artinya tubuh. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang dokter Jerman
Heinroth ke dalam kedokteran Barat. Pada tahun 1818 ia menerbitkan desertasi
yang menekankan pentingnya faktor psikososial dalam perkembangan penyakit
fisik. Psikosomatis dalam dunia medis adalah suatu suatu penyakit yang mulamula dipengaruhi oleh faktor kejiwaan (psikologis), kemudian berjalannya waktu
sehingga menjadi penyakit fisik. Gangguan psikosomatis ini akan mampu

44

berkembang sangat pesat di masa ketegangan, pergolakan, kekacauan, serta krisis


kejiwaan (Roit, 2003).
Psikosomatis merupakan penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflikkonflik psikis, gangguan mental, dan kecemasan-kecemasan kronik yang
menyebabkan kegagalan sistem pada saraf dan system fisik. Faktor psikologis
yang mempengaruhi kondisi medis (yaitu, gangguan psikosomatis), menyatakan
bahwa faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis
seseorang dalam salah satu dari bermacam-macam cara. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum, ditunjukkan oleh hubungan
temporal yang erat antara faktor psikologis dengan perkembangan atau
eksaserbasi dari atau pemulihan yang lambat dari kondisi umum (Roit, 2003).
B. FAKTOR PENYEBAB PSIKOSOMATIS
Faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit psikosomatis memiliki
beberapa penyebabnya, diantaranya ialah :
1. Penyebab umum
Munculnya gangguan psikosomatis ini disebabkan oleh faktor
kejiwaan yang benar-benar berat sehingga membuat ketegangan,
memikirkan suatu masalah terlalu berlebihan, serta emosi yang tidak stabil
atau emosi yang meningkat terlalu berlebihan. Gejala psikosomatis ini bias
terjadi pada wanita tua ketika akan melewati masa menopause karena pada
saat ini mereka akan mengalami suatu kecemasan yang sangat luar biasa,
terjadinya transisi antara usia muda menjadi kondisi tidak lagi dalam masa
subur, sehingga hal ini dapat memicu adanya gejala psikosomatis.
Kekurangan vitamin B, terutama vitamin B1 dan B6 bisa mengakibatkan
masalah-masalah emosional yang bias menjadi sumber dari suatu
permasalahan yang menimbulkan terjadinya gangguan psikosomatis. Pada
seseorang yang kekurangan vitamin B akan mengalami kemurungan serta
selalu gelisah.
2. Penyebab khusus
Penyebab khusus terdiri dari berbagai macam, yaitu :

45

a) Faktor genetik
b) Kepekaan terhadap bagian tubuh tertentu
c) Kepribadian
d) Hubungan interpersonal yang tidak sehat
(Roit, 2003).
Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan psikosomatik
berdasarkan teori-teori utama psikosomatik adalah sebagai berikut :
a) Teori psikososial
Individu-Individu memperlihatkan respon psikologis spesifik untuk
emosi-emosi tertentu. Sebagai contoh, dalam berespon terhadap emosi
marah, seorang individu mungkin mengalami vasokonstriksi perifer,
yang menyebabkan suatu peningkatan tekanan darah. Dengan emosi
yang sama, pada individu yang lain mungkin menimbulkan
vasodilatasi serebral yang dimanifestasikan dengan suatu sakit kepala
migrain.
b) Teori biologis
Kelainan psikofisiologis terjadi saat tubuh terpajan pada stres yang
berkepanjangan, sehingga menghasilkan sejumlah pengaruh fisiologis
di bawah kontrol langsung dari aksis hipofisis adrenal. Kecenderungan
genetik mempengaruhi sistem organik yang akan dipengaruhi dan
menentukan jenis kelainan psikosomatik yang akan berkembang dalam
diri seorang individu.
c) Teori dinamika keluarga
Kecenderungan

dari

individu-individu

merupakan

anggota

keluarga dari suatu sistem keluarga yang disfungsional, yakni


menggunakan

masalah-masalah

psikofisiologis

untuk

menutupi

konflik-konflik interpersonal. Suatu konflik yang menimbulkan


ketegangan pada manusia dan bila hal ini tidak diselasaikan dan
disalurkan dengan baik maka timbullah reaksi-reaksi yang abnormal
pada jiwa yang dinamakan nerosa. Banyak sekali sebab mengapa
perkembangan nerotik sebagian besar menjadi manifestasi pada badan.

46

Mudah sukarnya timbul gangguan tergantung sebagian besar pada


kematangan kepribadian individu, tetapi juga pada berat dan lamanya
stres itu. Ansietas dalam suatu situasi keluarga disfungsional
dipindahkan dari konflik yang terjadi terhadap individu yang sakit.
Ansietas menurun, konflik dihindari, dan individu tersebut menerima
penghargaan yang positif untuk gejala-gejala yang dialaminya. Situasi
tersebut tampaknya lebih nyaman, tetapi masalah yang sesungguhnya
tetap belum terpecahkan (Roit, 2003).
Penyebab timbulnya gangguan psikosomatik, yaitu :
a) Penyakit organik dahulu
Penyakit organik yang dulu pernah diderita dapat
menimbulkan

predisposisi

untuk

timbulnya

gangguan

psikosomatik pada bagian tubuh yang pernah sakit. Misalnya,


pernah ada trauma kepala sehingga menderita sakit kepala
sesudahnya, lalu kelak bila terjadi suatu konflik, mungkin timbul
lagi sakit kepala; dulu menderita disentri, lalu kemudian dalam
emosi tertentu timbulah keluhan pada saluran pencernaan.
b) Identifikasi dengan seseorang yang sakit
Penderita itu sangat merasakan penyakit orang lain yang
secara tidak sadar diidentifikasinya. Misalnya sering sakit perut
sesudah usus bantu anaknya dioperasi, istri mengeluh tentang
pernapasan sesudah suaminya meninggal dunia karena TBC paruparu, sering sakit kepala waktu saudaranya dirawat di rumah sakit
karena meningoencephalitis.
c) Tradisi dan adat istiadat
Tradisi keluarga dapat mengarahkan emosi kepada fungsi
tertentu. Misalnya bila menu diet terlalu diperhatikan, mungkin
nanti sering mengeluh tentang lambung, bila sering ditakut-takuti
tentang hal-hal seksual, dan konflik tidak dapat diselesaikan
dengan baik, timbul impotensi, ejakulasi, perokok, atau dismenore.

47

d) Emosi yang menjelma secara simbolik elementer


Suatu emosi menjelma secara simbolik elementer menjadi
suatu gangguan fisik tertentu. Misalnya, bila seseorang cemas,
timbul keluhan pada jantung; rasa benci menimbulkan rasa ingin
muntah; emosi atau afek yang salah terhadap kesucian dapat
menimbulkan impotensi atau frigiditas.
e) Kepercayaan dan anggapan masyarakat
Dapat ditentukan juga oleh kebiasaan, anggapan, dan
kepercayaan masyarakat di sekitarnya. Misalnya, anggapan bahwa
klimaterium menyebabkan wanita yang mengalaminya sakit,
seorang wanita yang mengalami klimaterium dan berada di sekitar
masyarakat dengan anggapan seperti itu akan mengeluh sakit.
Mudah atau sukarnya suatu gangguan psikosomatik, sebagian besar
tergantung pada kematangan kepribadian individu, berat, dan
lamanya konflik pada kejiwaan. Konflik pada kejiwaan yang
berlangsung lama, terus menerus, dan tanpa menyelesaian akan
menimbulkan ketegangan pada jiwa serta perasaan tidak nyaman.
(Genco, 1998).
Gangguan

psikosomatis

dapat

timbul

bukan

saja

pada

yang

berkepribadian atau emosi labil, tetapi juga pada orang yang dapat dikatakn stabil,
atupun pada orang dengan gangguan kepribadian dan pada orang dengan psikosa.
psikosomatis terjadi karena reaksi pertahanan yang berlangsung lama terhadap
stresor (Genco, 1998).
C. TANDA-TANDA PSIKOSOMATIS
Keluhan pada penderita gangguan psikosomatik biasanya keluhan fisik,
sangat jarang yang mengeluh tentang kecemasan, depresi dan ketegangannya.
Biasanya penderita psikosomatik mengeluhkan gangguan yang berkaitan dengan
sistem organ, yaitu :
a) Kardiovaskuler: stres yang menimbulkan kecemasan mempercepat denyut
jantung, meningkatkan daya pompa jantung dan tekanan darah,

48

menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan


putus asa mengurangi frekwensi, daya pompa jantung dan tekanan darah.
Adapun gejala yang sering didapati yaitu hipertensi, migren, sakit kepala
vaskuler. Belum diketahui dengan jelas berapa banyak pengaruh emosi
dalam pembentukan hipertensi. Tetapi banyak gejala yang dikatakan
karena hipertensi sebenarnya disebabkan oleh emosi.
b) Gastrointestinal: nafsu makan berasal dari susunan syaraf pusat dan timbul
karena ingatan dan asosiasi, tetapi rasa lapar juga timbul karena gerakan
saluran pencernaan yang agak keras. Muntah, isi lambung disemprotkan
ke luar sebab ada kontraksi otot-otot dinding perut dan diafragma serta
kardia dalam keadaan relaksasi. Muntah ialah suatu refleks yang
kompleks. Muntah dipengaruhi oleh banyak sentra yang lain antara lain
pengaruh dari olfaktorius, dari penglihatan dan dari vertibularis. Diare,
jalannya makanan terlalu cepat dan resorpsi air kurang sekali.
c) Respiratorius: gangguan psikosomatis yang sering timbul dari saluran
pernapasan ialah sindrom hiperventilasi dan asma bronkiale dengan
bermacam-macam keluhan yang menyertainya. hiperventilasi biasanya
merupakan tarikan nafas panjang, dan dapat menjadi suatu kebiasaan,
seperti ada orang yang mengisap rokok bila ia tegang, yang lain mulai
bernafas panjang. Kecemasan dapat menggangu ritme pernapasan dan
diketahui juga dapat menimbulkan serangan asma. Stimuli emosi bersama
dengan alergi penderita menimbulkan kontruksi bronkoli bila sistem saraf
vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang.
d) Dermatologi: keluhan gatal, eksim, Emosi dapat menimbulkan gangguan
pada kulit telah lama diketahui. Baru tahun-tahun belakangan ini
diperhatikan dan diselidiki hubungan antara timbulnya neurodermatitis
dan hiperhidrosis dan reaksi kulit lain dengan kesukaran penyesuain diri
terhadap stres dalam hidup manusia.
e) Muskuloskeletal: karena tekanan psikologik, maka tonus otot meninggi
dan penderita mengeluh nyeri kepala, kaku kuduk dan nyeri punggung

49

bawah. Ketegangan otot dapat menyebabkan ketegangan sekitar sendi dan


menimbulkan nyeri sendi.
f) Endokrinologi: gangguan psikosomatik mengenai sistem endokrin yang
mungkin terjadi adalah hipertiroidi dan syndrome menopause. Sebelum
gejala-gejala hipertiroidi timbul sering didahului konflik atau stres dalam
hidup penderita. Hampir semua penderita mengalami krisis emosional
sebelum sakit. Sering gejala-gejala pada hipertiroidi hanya merupakan
mengerasnya sifat-sifat kepribadian yang ada sebelumnya, seperti : lekas
terpengaruh, mudah terkejut bila menerima suara atau cahaya keras,
gugup, lekas marah, rasa cemas yang ringan. Dalam syndrom menopause
sering timbul gangguan jiwa dalam waktu ini yang merupakan gangguan
psikosomatis, nerosa ataupun psikosa.
g) Urogenitalia: keluhan masih ngompoh, gangguan gairah seks
h) Serebrovaskuler: keluhan pusing, migraine, sering lupa, sukar konsentrasi,
kejang epilepsi.
(Genco, 1998).
Selain itu, masalah kejiwaan yang menyertainya gejala ansietas dan
gejala depresi. Ciri-ciri psikosomatis ditandai dengan adanya keluhan fisik yang
beragam, antara lain :
a) Pegal-pegal
b) Nyeri di bagian tubuh tertentu
c) Mual, muntah, kembung, dan perut tidak enak
d) Sendawa
e) Kulit gatal, kesemutan, mati rasa
f) Sakit kepala
g) Nyeri bagian dada, punggung, dan tulang belakang
Keluhan-keluhan ini biasanya sering terjadi dan terus berulang serta
berganti-ganti atau berpindah-pindah tempat, dirasa sangat mengganggu dan tidak
wajar sehingga harus sering periksa ke dokter (Roit, 2003).

50

D. TERAPI PSIKOSOMATIS
Adapun tipe-tipe terapi yang digunakan bagi para penderita psikosomatis
adalah:
a) Psikoterapi Kelompok dan Terapi keluarga
Karena kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam
perkembangan gangguan psikosomatik, modifikasi hubungan tersebut
telah diajukan sebagai kemungkinan focus penekanan dalam psikoterapi
untuk gangguan psikosomatik. Toksoz Bryam Karasu menulis bahwa
pendekatan kelompok harus juga menawarkan kontak intrapersonal yang
lebih besar, memberikan dukungan ego yang lebihh tinggi bagi ego pasien
psikosomatis yang lemah dan merasa takut akan ancaman isolasi dan
perpisahan parental. Terapi keluarga menawarkan harapan suatu perubahan
dalam hubungan antara keluarga dan anak. Kedua terapi memiliki hasil
klinis awal yang sangat baik.
b) Terapi Perilaku
Biofeedback. Ini adalah terapi yang menerapkan teknik behavior
dan banyak digunakan untuk mngatasi psikosomatik. Terapi yang
dikembangkan oleh Nead Miller ini didasari oleh pemikiran bahwa
berbagai respon atau reaksi yang dikendalikan oleh sistem syaraf otonam
sebenarnya

dapat

diatur

sendiri

oleh

individu

melalui

operant

conditioning. Biofeedback mempergunakan instrumen sehingga individu


dapat mengenali adanya perubahan psikologis dan fisik pada dirinya dan
kemudian berusaha untuk mengatur reaksinya.
Misalnya seseorang penderita migrain atau sakit kepala. Dengan
menggunakan biofeedback, ia bisa berusaha untuk rileks pada saat
mendengan singal yang menunjukkan bahwa ada kontraksi otot atau
denyutan dikepala.
Penerapan teknik ini pada pasien dengan hipertensi, aritmia
jantung, epilepsi dan nyeri kepala tegangan telah memberikan hasil
terapetik yang membesarkan hati tetapi tidak menyakitkan.

51

Teknik relaksasi sebagai contoh terapi hipertensi. Hasil yang positif


telah diterbitkan tentang pengobatan penyalahgunaan alkohol dan zat lain
dengan menggunakan meditasi transcendental. Teknik meditasi juga
digunakan dalam pengobatan nyeri kepala (Yuliadi, 2014).
E. PENCEGAHAN GANGGUAN PSIKOSOMATIK
Pencegahan merupakan suatu bentuk usaha untuk menurunkan faktor
risiko terhadap suatu penyakit. Terdapat beberapa upaya pencegahan untuk
mengurangi stres sehingga tidak terjadi gangguan psikosomatis.
a) Membangun kebiasaan baru. Misalnya, pada seorang ibu yang
memutuskan berhenti bekerja untuk mengurus anaknya, yang akhirnya
merasa bosan tidak ada kegiatan ketika anak-anaknya dewasa.
b) Menghindari perubahan yang tidak perlu atau yang dapat ditunda
c) Menyediakan waktu tertentu atau membatasu waktu untuk memfokuskan
diri beradaptasi dengan stresor (Yuliadi, 2014).
Pengelolaan waktu yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dapat
melakukan pekerjaan dalam waktu bersamaan (Yuliadi, 2014).

SINGKATAN
ACTH
AVP
CRF
GM-CSF
GR

Adrenocorticotropin Releasing Hormone


Arginine Vasopressin
Corticotropin Releasing Factor
Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
Glucocorticoid Reseptor

52

HPA
ICAM
IL
MCP
MIP
MR
PVN
POMC
TNF
VCAM

Hypofisis, Pituitary, Adrenal


Intercellular Adhesion Molecule
Interleukin
Monocyte Chemotactic Protein
Macrofage Inflamatory Protein
Mineralocorticoid Receptor
Paraventricular Nucleus
Proopiomelanocortin
Tumor Necroting Factor
Vascular Cell Adhesion Molecule

DAFTAR PUSTAKA

Accelerated Cure Project Inc. 2007. A Framework for Describing Physical and
Psychological Trauma and Stress as a Cause of Disease.
Alimul H 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika
53

Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos. 2005. Stres and Physical Disorders. In
Abnormal Psychology: Current Perspectives. 9th ed. New York : McGrawHill. p. 214-221
Baron R.A, dan Byrne D.B. 1994. Social Psychology. Understansing Human
Interaction. Boston: Allyn & Bacon.
Carlson, N.R., 2005. Stres Disorders. In: Foundations of Physiological
Psychology 6 Edition. USA: Thomson Wadsworth, 99-122.
Chevalier, Gaetan et.al. 2011. Emotional Stres, Heart Rate Variability, Grounding,
and Improved Autonomic Tone: Clinical Applications. Integrative Medicine
Journal. 10:119-127.
Contrada dan Baum (ed) (2010). The Handbook of Stres Science: Biology,
Psychology, and Health. New York: Springer Publishing Company.
Froggatt W. 2006. A Brief Introduction to Cognitive-Behaviour Therapy. New
Zealang. Author.
Genco RJ, Ho AW, Kopman J, Grossi SG, Dunford RG, Tedesco LA. 1998.
Models to Evaluate the Role of Stres in Periodontal Disease. Ann Periodont
(3): 288 -302.
Gunarsa. 1995. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: Gunung
Mulia.
Guyton. 2002. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbt Buku
Kedokteran ECG.
Hawari, D. 2008. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI.
Jaffe-Gill Ellen, Smith Melinda, Larson Heather, dan Segal Jeanne. 2007.
Understanding Stres: Signs, Symptoms, Causes, and Effects. Helpguiede.org.
(Diakses tanggal 10 Februari 2015)
Lazarus RS, Folkman S. 1984. Stress Appraisal and Coping. Springer Publishing
Company: New York
Lupien Sonia J, McEwen Bruce S., Gunnar Megan R. dan Heim Christine. 2009.
Effects of Stres Troughout The Lifespan on The Brain, Behavior, and
Cognition. Nature Reviews Neuroscience 10:434-445.

54

Maramis WF dan Maramis AA. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Pinel, J.P.J., 2009. Stres dan Kesehatan. Dalam: Biopsikologi Edisi ke-7.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Powell, D. 1983. Human Adjusment Normal Adaptation Through The Life Cycle.
Toronto: Litlle Browm & Co.
Roit JM. 2003. Essensial Immunology. 8 th ed. Oxford: Blackwell Science
Limited.
Sadock, BJ., Sadock, VA. 2009. Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology (2.Ed). New York; Willey.
Wibisono Sasanto: Kuliah Consultation Liasion Psychiatry. FK UI, 2007.
Yuliadi I. 2014. Stres dan Libido. Surakarta: Sebelas Maret University Press

55

You might also like