You are on page 1of 12

MPKP (Model Praktek Keperawatan Profesional) dan SP2KP (Sistem Pemberian

Pelayanan Keperawatan Profesional)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan profesionalisme keperawatan di Indonesia dimulai sejak diterima dan diakuinya
keperawatan sebagai profesi pada Lokakarya Nasional Keperawatan (1983). Sejak saat itu berbagai
upaya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan organisasi
profesi, diantaranya adalah dengan membuka pendidikan pada tingkat sarjana, mengembangkan
Kurikulum Diploma III keperawatan, mengadakan pelatihan bagi tenaga keperawatan, serta
mengembangkan standar praktik keperawatan. Upaya penting lainnya adalah dibentuknya Direktorat
Keperawatan di Departemen Kesehatan di Indonesia. Semua upaya tersebut bertujuan untuk
meningkatkan profesionalisme keperawatan agar mutu asuhan keperawatan dapat ditingkatkan.
(Sitorus, 2006).
Walaupun sudah banyak hal positif yang telah dicapai di bidang pendidikan keperawatan, tetapi
gambaran pengelolaan layanan keperawatan belum memuaskan. Layanan keperawatan masih sering
mendapat keluhan masyarakat, terutama tentang sikap dan kemampuan perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada klien atau keluarga. (Sitorus, 2006).
Layanan keperawatan yang ada di Rumah Sakit masih bersifat okupasi. Artinya, tindakan keperawatan
yang dilakukan hanya pada pelaksanaan prosedur, pelaksanaan tugas berdasarkan instruksi dokter.
Pelaksanaan tugas tidak didasarkan pada tanggung jawab moral serta tidak adanya analisis dan sintesis
yang mandiri tentang asuhan keperawatan. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan restrakturing,
reengineering, dan redesigning system pemberian asuhan keperawatan melalui pengembangan Model
Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) yang diperbaharui dengan SP2KP. (Sitorus, 2006).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari MPKP?
2. Apa tujuan dari MPKP?
3. Apa saja macam metode penugasan MPKP dalam keperawatan?
4. Menurut Hoffart & Woods (1996), sebutkan komponen MPKP?
5. Apa karakteristik MPKP
6. Bagaimana langkah-langkah dalam MPKP?
7. Bagaimana tingkatan MPKP?
8. Jelaskan pilar-pilar MPKP?
9. Apa pengertian SP2KP?
10. Apa kelebihan SP2KP?
11. Mana yang lebih baik, MPKP atau SP2KP?
12. Apa perbedaan dari SP2KP dan MPKP?
13. Apa hambatan dalam penerapan SP2KP dan MPKP?
14. Mengapa MPKP (model keperawatan tim) diubah menjadi SP2KP (model keperawatan
profesional)?
15. Bagaimana kinerja perawat setelah penerapan SP2KP?
16. Bagaimana perkembangan SP2KP di rumah sakt di sekitar Semarang?
17. Adakah perbedaan dampak bagi pasien setelah penerapan SP2KP?
18. Apa peran PP dalam SP2KP?

19. Jelaskan bagaimana renpra?


20. Apa fungsi perawat melakukan konferen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari MPKP
2. Untuk mengetahui tujuan dari MPKP
3. Untuk mengetahui macam-macam metode penugasan MPKP dalam keperawatan
4. Untuk mengetahui komponen dari MPKP
5. Untuk mengetahui karakteristik MPKP
6. Untuk mengetahui langkah-langkah dalam MPKP
7. Untuk mengetahui tingkatan MPKP
8. Untuk mengetahui pilar-pilar MPKP
9. Untuk mengetahui pengertian SP2KP
10. Untuk mengetahui kelebihan SP2KP
11. Untuk mengetahui alasan lebih baik MPKP atau SP2KP
12. Untuk mengetahui perbedaan MPKP dan SP2KP
13. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan SP2KP dan MPKP
14. Untuk mengetahui alasan MPKP (model keperawatan tim) diubah menjadi SP2KP (model
keperawatan profesional)
15. Untuk mengetahui kinerja perawat setelah penerapan SP2KP
16. Untuk mengetahui perkembangan SP2KP di rumah sakt di sekitar Semarang
17. Untuk mengetahui perbedaan dampak bagi pasien setelah penerapan SP2KP
18. Untuk mengetahui peran PP dalam SP2KP
19. Untuk mengetahui mengenai renpra
20. Untuk mengetahui fungsi perawat melakukan konferen
BAB II
PEMBAHASAN
MPKP (Model Praktik Keperawatan Profesional)
A. Pengertian MPKP
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai
profesional) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan
termasuk lingkungan, yang dapat menopang pemberian asuhan tersebut (Hoffart & Woods, 1996).
B. Tujuan dari MPKP
a. Menjaga konsistensi asuhan keperawatan
b. Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim
keperawatan
c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan
d. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijakan dan keputusan
e. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap tim
keperawatan.
C. Macam-macam Metode Penugasan MPKP dalam Keperawatan
1. Metode Kasus
Metode kasus merupakan metode pemberian asuhan yang pertama kali digunakan. Sampai perang
dunia II metode tersebut merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang paling banyak
digunakan. Pada metode ini satu perawat akan memberikan asuhan keperawatan kepada seorang klien
secara total dalam satu periode dinas. Jumlah klien yang dirawat oleh satu perawat bergantung pada
kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya kebutuhan klien. (Sitorus, 2006).

Setelah perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai jenis program meningkat dan
banyak lulusan bekerja di rumah sakit. Agar pemanfaatan tenaga yang bervariasi tersebut dapat
maksimal dan juga tuntutan peran yang diharapkan dari perawat sesuai dengan perkembangan ilmu
kedokteran, kemudian dikembangkan metode fungsional. (Sitorus, 2006).
2. Metode Fungsional
Pada metode fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas atau
prosedur. Setiap perawat diberi satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua klien di satu
ruangan. (Sitorus, 2006).
Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat dalam satu ruangan. Perawat akan
melaporkan tugas yang dikerjakannya kepada kepala ruangan dan kepala ruangan tersebut bertanggung
jawab dalam pembuatan laporan klien. Metode fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugastugas apabila jumlah perawat sedikit, tetapi klien tidak mendapatkan kepuasan asuhan yang
diterimanya. (Sitorus, 2006).
Metode ini kurang efektif karena (Sitorus, 2006) :
a. Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang menekankan pada pemenuhan
kebutuhan holistik
b. Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian asuhan keperawatan terfragmentasi
c. Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang
satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan.
d. Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas terhadap pelayanan atau asuhan
yang diberikan karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang
ditanyakan.
e. Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat.
Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa perawat pemimpin (nurse leader)
mulai mempertanyakan keefektifan metode tersebut dalam memberikan asuhan keperawatan
profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim digunakan untuk menjawab hal tersebut. (Sitorus,
2006).
3. Metode tim
Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat profesional
memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok
klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas, 1992). Metode tim didasarkan pada keyakinan
bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan
keperawatan sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi. (Sitorus, 2006).
Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) :
a. Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik kepemimpinan.
Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan, supervisi, dan evaluasi
asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah :
1) Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra
2) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis
3) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan memberikan bimbingan
melalui konferensi
4) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta mendokumentasikannya
b. Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang terbuka dapat
dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang merupakan pedoman
pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.
c. Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.
d. Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik apabila didukung
oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah :

1) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf


2) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan
3) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan
4) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan
5) Menjadi narasumber bagi ketua tim
6) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan
7) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka
Hasil penelitian Lambertson dalam Douglas (1992) menunjukkan bahwa metode tim jika dilakukan
dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk meningkatkan kemanfaatan tenaga
keperawatan yang bervariasi kemampuannya. (Sitorus, 2006).
Kekurangan metode ini, kesinambungan asuhan keperawatan belum optimal sehingga pakar menge
mbangkan metode keperawatan primer. (Sitorus, 2006).
4. Metode perawatan primer
Menurrut Gillies (1989) Keperawatan primer merupakan suatu metode pemberian asuhan
keperawatan, dimana terdapat hubungan yang dekat dan berkesinambungan antara klien dan seorang
perawat tertentu yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian, dan koordinasi asuha
keperawatan klien, selama klien dirawat. (Sitorus, 2006).
Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian asuhan
keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP. (Sitorus, 2006).
Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas, advokasi,
ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan komitmen. (Sitorus,
2006).
Setiap PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24 jam selama klien
tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat akan melakukan wawancara mengkaji secara
komprehensif, dan merencanakan asuhan keperawatan. Perawat yang peling mengetahui keadaaan
klien. Jika PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan akan di delegasikan kepada perawat lain
(associated nurse). PP bertanggungjawab terhadap asuhan keperawatan klien dan menginformasikan
keadaan klien kepada kepala ruangan, dokter, dan staff keperawatan. (Sitorus, 2006).
Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan, tetapi juga
mempunyai kewengangan untuk melakukan rujukan kepada pekerja sosial, kontrak dengan lembaga
sosial di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik, mengadakan kunjungan rumah dan lain lain.
Dengan diberikannya kewenangan, dituntut akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan
yang diberikan. Metode keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap klien,
perawat, dokter, dan rumah sakit (Gillies, 1989). (Sitorus, 2006).
Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia karena terpenuhi
kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan tercapainya layanan yang
efektif terhadap pengobatan, dukungan,
proteksi, informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan karena
(Sitorus, 2006) :
a. Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi asuhan
keperawatan
b. Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien
c. PP bertanggung jawab selama 24 jam
d. Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal
e. Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel.
Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP untuk pengembangan diri melalui
implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena adanya otonomi dalam membuat
keputusan tentang asuhan keperawatan klien. Staf medis juga merasakan kepuasannya dengan metode
ini karena senantiasa mendapat informasi tentang kondisi klien yang mutakhir dan komprehensif.

(Sitorus, 2006).
Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan klien. Keuntungan
yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus memperkerjakan terlalu banyak tenaga
keperawatan, tetapi harus merupakan perawat yang bermutu tinggi. (Sitorus, 2006).
Huber (1996) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus pada kebutuhan
klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang tinggi. Hasil penelitian Gardner
(1991) dan Lee (1993) dalam Huber (1996) mengatakan bahwa mutu asuhan keperawatan lebih tinggi
dengan keperawatan primer daripada dengan metode tim. Dalam menetapkan seseorang menjadi PP
perlu berhati-hati karena memerlukan beberapa kriteria, yaitu perawat yang menunjukkan kemampuan
asertif, perawat yang mandiri, kemampuan menmgambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan
klini, akuntabel, bertanggung jawab serta mampu berkolaborasi dengan baik dengan berbagai disiplin.
Di negara maju pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang spesialis perawat
klinis (clinical nurse specialist) dengan kualifikasi master keperawatan. Menurut Ellis dan Hartley
(1995), Kozier et al (1997) seorang PP bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang terkait
dengan asuhan keperawatan klien oleh karena itu kualifikasi kemampuan PP minimal adalah sarjana
keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006).
5. Differentiated practice
National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al (1995) menjelaskan baha differentiated practice
adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu asuhan melalui pemanfaatan sumber-sumber
keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu model kompetensi dan model pendidikan. Pada
model kompetensi, perawat terdaftar (registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan
struktur peran yang sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas
keperawatan didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan ditetapkan apa
yang menjadi tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan antar tenaga tersebut diatur
(Sitorus, 2006).
6. Manajemen kasus
Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan secara multi disiplin yang bertujuan
meningkatkan pemanfaatan fungsi berbagai anggota tim kesehatan dan sumber-sumber yang ada
sehingga dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang optimal. ANA dalam Marquis dan Hutson
(2000) mengatakan bahwa manajemen kasus merupakan proses pemberian asuhan kesehatan yang
bertujuan mengurangi fragmentasi, meningkatkan kualitas hidup, dan efisiensi pembiayaan. Focus
pertama manajemen kasus adalah integrasi, koordinasi dan advokasi klien, keluarga serta masyarakat
yang memerlukan pelayanan yang ektensif. Metode manajemen kasus meliputi beberapa elemen utama
yaitu, pendekatan berfokus pada klien, koordinasi asuhan dan pelayanan antar institusi, berorientasi
pada hasil, efisiensi sumber dan kolaborasi (Sitorus, 2006).
D. Komponen dari MPKP
Berdasarkan MPKP ysng sudah dikembangkan diberbagai rumah sakit Hoffart dan Woods
menyimpulkan bahwa MPKP terdiri dari lima komponen, yakni:
a. Nilai-nilai profesional
Nilai-nilai profesional menjadi komponen utama pada suatu praktik keperawatan profesional. Nilainilai profesional ini merupakan inti dari MPKP. Nilai-nilai seperti penghargaan atas otonomi klien,
menghargai klien, dan melakukan yang terbaik untuk klien harus tetap ditingkatkan dalam suatu proses
keperawatan.
b. Pendekatan manajemen
Dalam melakukan asuhan keperawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yang
bilamana ingin memenuhi kebutuhan dasar tersebut seorang
perawat harus melakukan pendekatan penyelesaian masalah, sehingga dapat diidentifikasi masalah
klien, dan nantinya dapat diterapkan terapi keperawatan yang tepat untuk masalah klien.
c. Metode pemberian asuhan keperawatan

Dalam perkembangan keperawatan menuju layanan yang profesional, digunakan beberapa metode
pemberian asuhan keperawatan, misalnya metode kasus, fungsional, tim, dan keperawatan primer, serta
manajemen kasus. Dalam praktik keperawatan profesional, metode yang paling memungkinkan
pemberian asuhan keperawatan profesional adalah metode yang menggunakan the breath of
keperawatan primer.
d. Hubungan profesional
Pemberian asuhan kesehatan kepada klien diberikan oleh beberapa anggota tim kesehatan. Namun,
fokus pemberian asuhan kesehatan adalah klien. Karena banyaknya anggota tim kesehatan yang
terlibat, maka dari itu perlu kesepakatan tentang cara melakukan hubungan kolaborasi tersebut.
e. Sistem kompensasi dan penghargaan
Pada suatu layanan profesional, seorang profesional mempunyai hak atas kompensasi dan penghargaan.
Pada suatu profesi, kompensasi yang didapat merupakan imbalan dan kewajiban profesi yang terlebih
dahulu dipenuhi. Kompensasi dan penghargaan yang diberikan pada MPKP dapat disepakati di setiap
institusi dengan mengacu pada kesepakatan bahwa layanan keperawatan adalah pelayanan profesional.
E. Karakteristik MPKP
1. Penetapan jumlah tenaga keperawatan. Penetapan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan jumlah
klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien.
2. Penetapan jenis tenaga keperawatan. Pada suatu ruang rawat MPKP, terdapat beberapa jenis tenaga
yang memberikan asuhan keperawatan yaitu Clinical Care Manager (CCM), Perawat Primer (PP), dan
Perawat Asosiet (PA). Selain jenis tenaga tersebut terdapat juga seorang kepala ruang rawat yang
bertanggung jawab terhadap manajemen pelayanan keperawatan di ruang rawat tersebut. Peran dan
fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuannya dan terdapat tanggungjawab yang jelas
dalam sistem pemberian asuhan keperawatan.
3. Penetapan standar rencana asuhan keperawatan (renpra). Standar renpra perlu ditetapkan, karena
berdasarkan hasil obsevasi, penulisan renpra sangat menyita waktu karena fenomena keperawatan
mencakup 14 kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 1997).
4. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP digunakan metode modifikasi
keperawatn primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang disebut perawat primer yang
bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan yang diberikan. Disamping itu,
terdapat Clinical Care Manager (CCM) yang mengarahkan dan membimbing PP dalam memberikan
asuhan keperawatan. CCM diharapkan akan menjadi peran ners spesialis pada masa yang akan datang.
F. Langkah-langkah dalam MPKP
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu (Sitorus,
2006).:
a. Pembentukan Tim
Jika MPKP akan diimplementasikan di rumah sakit yang digunakan sebagai tempat proses belajar bagi
mahasiswa keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini melibatkan staf dari institusi yang berkaitan.
Sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan kolaborasi antara pelayanan/rumah saklit dan institusi
pendidikan. Tim ini bisa terdiri dari seorang koordinator departemen, seorang penyelia, dan kepala
ruang rawat serta tenaga dari institusi pendidikan. (Sitorus, 2006).
b. Rancangan Penilaian Mutu
Penilaian mutu asuhan keperawatan meliputi kepuasan klien/keluarga kepatuhan perawat terhadap
standar yang diniali dari dokumentasi keperawatan, lama hari rawat dan angka infeksi noksomial.
(Sitorus, 2006).
c. Presentasi MPKP
Selanjutnya dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil penilaian mutu asuhan kepada pimpinan
rumah sakit, departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang terlibat. Pada presentasi ini juga, sudah

dapat ditetapkan ruang rawat tempat implementasi MPKP akan dilaksanakan. (Sitorus, 2006).
d. Penempatan Tempat Implementasi MPKP
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penempatan tempat implementasi MPKP, antara lain
(Sitorus, 2006) :
1) Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang tersebut. Hal ini diperlukan sehingga dari
awal tenaga perawat tersebut akan mendapat pembinaan tentang kerangka kerja MPKP
2) Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut terdiri dari 1 swasta dan 1 ruang rawat
yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi perawat dari ruang rawat lain.
e. Penetapan Tenaga Keperawatan
Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang rawat ditetapkan dari klasifikasi klien
berdasarkan derajat ketergantungan. Untuk menetapkan jumlah tenaga keperawtan di suatu ruangrawat
didahului dengan menghitung jumlah klien derdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu tertentu,
minimal selama 7 hari berturut-turut. (Sitorus, 2006).
f. Penetapan Jenis Tenaga
Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah metode modifikasi
keperawatan primer. Dengan demikian, dalam suatu ruang rawat terdapat beberapa jenis tenaga,
meliputi (Sitorus, 2006).:
1) Kepala ruang rawat
2) Clinical care manager
3) Perawat primer
4) Perawat asosiet
g. Pengembangan Standar rencana asuhan Keperawatan
Pengembangan standar renpra bertujuan untuk mengurangi waktu perawat menulis, sehingga waktu
yang tersedia lebih banyak dilakukan untuk melakukan tindakan sesuai kebutuhan klien. Adanya
standar renpra menunjukan asuhan keperawtan yang diberikan berdasarkan konsep dan teori
keperwatan yang kukuh, yang merupakan salah satu karakteristik pelayanan professional. Format
standar renpra yang digunakan biasanya terdiri dari bagian-bagian tindakan keperawatan: diagnose
keperawatan dan data penunjang, tujuan, tindakan keperawatan dan kolom keterangan. (Sitorus, 2006).
h. Penetapan Format Dokumentasi Keperawatan
Selain standar renpra, format dokumentasi keperawatan lain yang diperlukan adalah (Sitorus, 2006) :
1) Format pengkajian awal keperawatan
2) Format implementasi tindakan keperawatan
3) Format kardex
4) Format catatan perkembangan
5) Format daftar infuse termasuk instruksi atau pesanan dokter
6) Format laporan pergantian shif
7) Resume perawatan
i. Identifikasi Fasilitas
Fasilitas minimal yang dibutuhkan pada suatu ruang MPKP sama dengan fasilitas yang dibutuhkan
pada suatu ruang rawat. Adapun fasilitas tambahan yang di perlukan adalah (Sitorus, 2006) :
1) Badge atau kartu nama tim
Badge atau kartu nama tim merupakan kartu identitas tim yang berisi nama PP dan PA dalam tim
tersebut. Kartu ini digunakan pertama kali sat melakukan kontrak dengan klien/keluarga.
2) Papan MPKP

Papan MPKP berisi darfat nama-nama klien, PP, PA, dan timnya serta dokter yang merawat klien.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah berikut ini (Sitorus, 2006) :
a. Pelatihan tentang MPKP
Pelatihan MPKP diberikan kepada semua perawat yang terlibat di ruang yang sudah ditentukan.
b. Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan konferensi.
Konferensi merupakan pertemuan tim yang dilakukan setiap hari. Konferensi dilakukan setelah
melaukan operan dinas, sore atau malam sesuai dengan jadwal dinas PP. Konferensi sebaiknya
dilakukan di tempat tersendiri sehingga dapat mengurangi gangguan dari luar. (Sitorus, 2006).
c. Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan ronde dengan porawat asosiet
(PA).
Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga dilakukan setiap hari. Ronde ini penting selain
untuk supervisi kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk memperoleh tambahan data tentang kondisi
klien. (Sitorus, 2006).
d. Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar renpra.
Standar renpra merupakan acuan bagi tim dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Semua masalah
dan tindakan yang direncenakan mengacu pada standar tersebut. (Sitorus, 2006).
e. Memberi bimbingan kepada PP dalam membuat kontrak/orientasi dengan klien/keluarga.
Kontrak antara perawat dan klien/keuarga merupakan kesepakatan antara perawat dan
klien/keluarganya dalam pemberian asuhan keperawatan. Kontrak ini diperlukan agar hubungan saling
percaya antara perawat dan klien dapat terbina. Kontrak diawali dengan pemberian orientasibagi klien
dan keluarganya. (Sitorus, 2006).
f. Memberi bimbingan kepada PP dalam melakukan presentasi kasus dalam tim.
PP secara teratur diharapkan dapat mempresentasikan kasus-kasus klien yang dirawatnya. Melalui
kasus ini PP dan PA dapat lebih mempelajari kasus yang ditanganinya secara mendalam. (Sitorus,
2006).
g. Memberi bimbingan kepada Critical Care Manager (CCM) dalam membimbing PP dan PA.
Bimbingan CCM terhadap PP dan PA dalam melakukan implementasi MPKP dilakukan melalui
supervisi secara berkala. Agar terdapat kesinambungan bimbingan, diperlukan buku komunikasi CCM.
Buku ini menjadi sangat diperlukan karena CCM terdiri dari beberapa orang yaitu anggota tim/panitia
yang diatur gilirannya untuk memberikan bimbingan kepada PP dan PA. Bila sudah ada CCM tertentu
untuk setiap ruangan, buku komunikasi CCM tidak diperlukan lagi. (Sitorus, 2006).
h. Memberi bimbingan kepada tim tentang dokumentasi keperawatan.
Dokumentasi keperawatan menjadi bukti tanggung jawab perawat kepada klien. Oleh karena itu,
pengisisan dokumentasi secara tepat menjadi penting.
3. Tahap Evaluasi
Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen evsluasi MPKP oleh CCM. Evaluasi
prses dilakukan oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi
secara dini maslah-masalah yang ditemukan dan dapat segera diberi umpan balik atau bimbingan.
Evluasi hasil (outcome) dapat dilakukan dengan (Sitorus, 2006) :
a. Memberika instrumen evaluasi kepuasan klien/keluarga untuk setiap klien pulang.

b. Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar yang dinilai berdasarkan dokumentasi.


c. Penilaian infeksi nosokomial (biasanya ditetapkan per ruang rawat).
d. Penilaian rata-rata lama hari rawat.
4. Tahap Lanjut
MPKP merupakan penataan struktur dan proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan. Agar
implementasi MPKP memberikan dampak yang lebih optimal, perlu disertai dengan implementasi
substansi keilmuan keperawatan. Pada ruang MPKP diuji coba ilmu dan teknologi keperawatan karena
sudah ada sistem yang tepat untuk menerapkannya. (Sitorus, 2006).
a. MPKP pemula ditingkatkan menjadi MPKP tingkat I. Pada tingkat ini, PP pemula diberi kesempatan
meningkatkan pendidikan sehingga mempunyai kemampuan sebagai SKp/Ners. Setelah mendapatkan
pendidikan tambahan tersebut berperan sebagai PP (bukan PP pemula). (Sitorus, 2006).
b. MPKP tingkat I ditingkatkan menjadi MPKP tingkat II. Pada MPKP tingkat I, PP adalah SKp/Ners.
Agar PP dapat memberikan asuhan keperawatan berdasarkan ilmu dan teknologi mutakhir, diperlukan
kemampuan seorang Ners sepeialis yang akan berperan sebagai CCM. Oleh karena itu, kemampuan
perawat SKp/ Ners ditingkatkan menjadi ners spesialis. (Sitorus, 2006).
c. MPKP tingkat II ditingkatkan menjadi MPKP tingkat III. Pada tingkat ini perawat denga kemampuan
sebagai ners spesialis ditingkatkan menjadi doktor keperawatan. Perawat diharapkan lebih banyak
melakukan penelitian keperawatan eksperimen yang dapat meningkatkan asuhan keperwatan sekaligus
mengembangkan ilmu keperawatan. (Sitorus, 2006).
G. Tingkatan MPKP Menurut Sudarsono (2000), berdasarkan pengalaman mengembangkan model PKP
dan masukan dari berbagai pihak perlu dipikirkan untuk mengembangkan suatu model PKP yang
disebut Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (PKPP). Ada beberapa jenis model PKP yaitu:
a. Model Praktek Keperawatan Profesional III Melalui pengembangan model PKP III dapat berikan
asuhan keperawatan profesional tingkat III. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan
kemampuan doktor dalam keperawatan klinik yang berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing
para perawat melakukan riset sera memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan
keperawatan. b. Model Praktek Keperawatan Profesional II Pada model ini akan mampu memberikan
asuhan keperawatan profesional tingkat II. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan
kemampuan spesialis keperawatan yang spesifik untuk cabang ilmu tertentu. Perawat spesialis
berfungsi untuk memberikan konsultasi tentang asuhan keperawatan kepada perawat primer pada area
spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan
asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer pada
area spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam
memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10 perawat
primer (1:10).
c. Model Praktek Keperawatan Profesional I. Pada model ini perawat mampu memberikan asuhan
keperawatan profesional tingkat I dan untuk itu diperlukan penataan 3 komponen utama yaitu:
ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan pada model ini
adalah kombinasi metode keperawatan primer dan metode tim disebut tim primer. d. Model Praktek
Keperawatan Profesional Pemula Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (MPKPP)
merupakan tahap awal untuk menuju model PKP. Model ini mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional tingkat pemula. Pada model ini terdapat 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan,
metode pemberian asuhan keperawatan dan dokumentasi asuhan keperawatan.
H. Pilar-pilar MPKP
a) Pilar 1: Pendekatan manajemen keperawatan

Terdiri dari :
(1) Perencanaan dengan kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi ( perumusan visi,
misi, filosofi, kebijakan dan rencana jangka pendek, harian, bulanan dan tahunan).
(2) Pengorganisasian dengan menyusun struktur organisasi, jadwal dinas, dan daftar alokasi pasien.
(3) Pengarahan
Terdapat kegiatan delegasi, supervisi, menciptakan iklim motivasi, manajemen waktu, komunikasi
efektif yang mencakup pre dan post conference, dan manajemen konflik.
b) Pilar 2: Sistem penghargaan
Manajemen sumber daya manusia diruang MPKP berfokus pada proses rekruitmen, seleksi kerja
orientasi, penilaian kerja, staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum membuka ruang MPKP dan
setiap ada penambahan perawatan baru.
c) Pilar 3: Hubungan profesional
Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan (tim kesehatan) dalam penerimaan
pelayanan keperawatan (klien dan keluarga). Pada pelaksanaannya hubungan profesional secara
internal artinya
hubungan yang terjadi antara pembentuk pelayanan kesehatan misalnya perawat dengan perawat,
perawat dengan tim kesehatan lain, sedangkan hubungan profesional secara eksternal adalah hubungan
antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
d) Pilar 4: Manajemen asuhan keperawatan
Manajemen asuhan keperawatan yang diterapkan di MPKP adalah asuhan keperawatan dengan
menerapkan proses keperawatan.
SP2KP (Sistem Pemberian Pelayanan Keperawtan Professional)
A. Pengertian SP2KP
SP2KP adalah Sistem Pemberian Pelayanan Keperawtan Professional. SP2KP adalah system
pemberian pelayanan keperawatan professional yang merupakan pengembangan dari MPKP (Model
praktek Keperawatan Profesional) dimana dalam SP2KP ini terjadi kerjasama professional antara
perawat primer (PP) dan perawat asosiet (PA) serta tenaga kesehatan lainnya.
B. Kelebihan SP2KP
Kelebihan dari SP2KP adalah pelayanan keperawatan kepada pasien lebih terstruktur dan kinerja
perawat lebih professional.
C. Mana yang Lebih Baik SP2KP atau MPKP
Lebih terstruktur, terorganisir SP2KP karena SP2KP merupakan bantuk pengembangan dari MPKP
yang lebih profesional dan lebih baik dalam memberikan tingkat pelayanan asuhan keperawatan
terhadap klien
D. Perbedaan MPKP dan SP2KP
Dalam model MPKP tidak terdapat PP (perawat primer), jika di SP2KP mengenal mengenai PP dan PA
(perawat associate)
E. Hambatan dalam penerapan SP2KP dan MPKP
Adapun hambatan dalam penerapan MPKP dan SP2KP adalah kurangnya sumber daya manusia yang
kompeten

F. MPKP (model keperawatan tim) diubah menjadi SP2KP (model keperawatan profesional)
a. Pada metode keperawatan primer, pemberian asuhan keperawatan dilakukan psecara
berkesinambungan sehingga memungkinkan adanya tanggung jawab dan tanggung gugat yang
merupakan esensi dari suatu layanan profesional
b. Terdapat satu orang perawat professional yang disebut PP, yang bertanggung jawab dan bertanggung
gugat atas asuhan keperawatan yang diberikan. Pada MPKP , perawat primer adalah perawat lulusan
sarjana keperawatan/Ners.
a. Pada metode keperawataan primer, hubungan professional dapat ditingkatkan terutama dengan
profesi lain.
G. Kinerja Perawat Setelah Penerapan SP2KP
Lebih bertanggung jawab kepada klien, lebih profesional dari pada sebelumnya.
H. Peran PP dalam SP2KP
Dalam pengembangan konsep SP2KP, perawat PP berugas dalam menjalankan komunikasi dengan
tenaga kesehatan lain seperti dokterm, ahli gizi, farkamasi, dll. Dalam hal ini, perawat PP bertugas
untuk memberikan hasil pemeriksaannya berdasarkan hasil pengkajiannya dan yang berhubungan
dengan perawatannya pasien, sehingga dapat membantu dalam memutuskan tindakan medis nantinya.
I. Perkembangan SP2KP di rumah sakt di sekitar Semarang
Menurut sumber yang kami dapatkan bahwa Rumah Sakit di sekitar Semarang yang sudah berhasil
menerapkan MPKP dan SP2KP adalah Rumah Sakit Kariadi. Karena RS Kariadi merupakan Rumah
Sakit Pusat di Semarang dan mempunyai banyak sumber daya manusia yang unggul.
J. Perbedaan dampak bagi pasien setelah penerapan SP2KP
Setelah diterapkannya SP2KP di rumah sakit memberikan dampak tersendiri bagi pasien. Pasien di
rumah sakit menjadi merasa lebih diperhatikan karena rumah sakit tekah menggunakan metode yang
lebih professional yakni metode moduler.
K. Renpra
Rencana asuhan keperawatan ( renpra ) selain berfungsi sebagai :
1. Pedoman bagi PP-PA
2. Landasan profesional bahwa asuhan keperawatan diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan
Kerjasama profesional PP-PA, renpra selain berfungsi sebagai penunjuk perencanaan asuhan yang
diberikan juga berfungsi sebagai media komunikasi PP pada PA. Berdasarkan renpra ini, PP
mendelegasikan PA untuk melakukan sebagian tindakan keperawatan yang telah direncanakan oleh PP.
Oleh sebab itu, sangat sulit untuk tim PP-PA dapat bekerjasama secara efektif jika PP tidak membuat
perencanaan asuhan keperawatan ( renpra ). Hal ini menunjukan bahwa renpra sesungguhnya dibuat
bukan sekedar memenuhi ketentuan ( biasanya ketentuan dalam menentukan akreditasi rumah sakit ).
L. Fungsi Perawat Melakukan Konferen
Konferensi adalah pertemuan yang direncanakan antara PP dan PA untuk membahas kondisi pasien dan
rencana asuhan yang dilakukan setiap hari. Konferensi biasanya merupakan kelanjutan dari serah
terima shift. Hal-hal yang ingin dibicarakan lebih rinci dan sensitif dibicarakan didekat pasien dapat
dibahas lebih jauh didalam konferensi. Konferensi akan efektif jika PP telah membuat renpra dan
membuat rencana apa yang akan dibicarakan dalam konferensi. Konferensi ini lebih bersifat 2 arah
dalam diskusi antara PPPA tentang rencana asuhan keperawatan dari dan klarifikasi pada PA dan hal
lain yang terkait. Ketika PP melakukan konferensi, biasanya melalui tahap pre konferen, konferen, dan
post konferen. Pada saat konferen PP akan menjelaskan mengenai renpra yang telah dibuat, dan untuk
menyatukan pendapat antara perawat PP dan PA

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
SP2KP adalah Sistem Pemberian Pelayanan Keperawtan Professional. SP2KP adalah system
pemberian pelayanan keperawatan professional yang merupakan pengembangan dari MPKP (Model
praktek Keperawatan Profesional) dimana dalam SP2KP ini terjadi kerjasama professional antara
perawat primer (PP) dan perawat asosiet (PA) serta tenaga kesehatan lainnya.
B. Saran
Sebagai seorang perawat nantinya, kita diharapkan mampu memahami konsep MPKP dan SP2KP
sehingga nantinya kita dapat menerapkan konsep tersebut ketika kita sudah bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Sitorus, Ratna.2006.Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit:Penataan Struktur dan
Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat.Jakarta:EGC.
Sitorus, Ratna.2006.Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit:Penataan Struktur dan
Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat:Implementasi.Jakarta:EGC.
Swanburg, Russel C.2000. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Perawatan
Klinis.Jakarta:EGC.

You might also like